• Tidak ada hasil yang ditemukan

URGENSI ETIKA KEPEMIMPINAN

Dalam dokumen BAB PENGANTAR ETIKA PROFESI PNS (Halaman 148-153)

ETIKA KEPEMIMPINAN

D. URGENSI ETIKA KEPEMIMPINAN

Banyak keluhan saat ini bahwa pemimpin tidak punya etika. Misalnya, tidak mempunyai pendirian dalam berkoalisi (kasus politik di Indonesia), berbicara yang tidak pantas di depan publik, saling mencerca dan mencaci maki, bahkan tidak malu lagi untuk melakukan korupsi. Mereka seolah-olah sudah merasa nyaman saja melakukan kesalahan.

Banyak orang merasa bahwa pemimpin tidak beretika dan perlu dibuatkan pedoman. Contoh kasus, adanya penyusunan pedoman tentang etika DPR Indonesia. Namun, pembuatan/penyusunan pedoman etika tersebut juga menimbulkan kontroversi. Ada yang mengatakan tidak perlu ada pedoman etika karena yang penting adalah hatinya. Menurut mereka yang tidak setuju, ―Kalau mau dosa bisa di mana saja, manusia itu kan lebih lihai dari aturan dan pedoman!‖. Jika memnag demikian, apakah benar pemimpin perlu dibuatkan pedoman etika?

Pertanyaannya, apa arti ―tidak punya etika‖? Apakah hanya tentang kesantunan belaka, atau tentang moralitas dan integritas pemimpin? Hal ini penting karena etiket berbeda dengan etika. Etiket adalah hal-hal tentang sopan santun baik dari segi cara berbicara atau bersikap, mungkin ada yang halus dan ada pula yang kasar. Misalnya, cara berbicara yang kasar dan tingkah laku yang tidak sopan adalah sebuah etiket. Etiket tetap penting untuk dipelajari dan dimiliki, namun tidak masuk

68

dalam ranah etika. Lain halnya dengan etiket, etika berbicara tentang baik dan buruk atau benar dan salah. Itulah sebabnya mengapa setiap pemimpin harus mengembangkan etika bagi dirinya dan perlunya ada pedoman etika sebagai pemimpin.

Untuk apa pemimpin harus mempunyai etika? Etika memberikan tuntunan kepada para pemimpin di tengah-tengah masyarakat yang memiliki nilai yang beragam atau pluralism moral (Bertens, 31). Etika juga akan membimbing dan memampukan pemimpin dalam menghadapi persoalan akibat muncul/berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.

Secara umum, sudah tentu etika sangat dibutuhkan di dalam kehidupan manusia yang hidup di zaman globalisasi. Baik dan buruk dalam masyarakat sudah bukan urusan pribadi atau suatu masyarakat saja, tetapi sudah menjadi kepedulian bersama suatu konteks yang lebih besar, misalnya lingkungan hidup, kekejaman, korupsi, kemiskinan, dan ketidakadilan, juga termasuk banyak kasus moralitas di dalam kehidupan pemimpin.

Dalam suatu organisasi, etika kepemimpinan sangatlah penting. Pemimpin harus membuat keputusan yang tidak hanya menguntungkan, tetapi pemimpin juga harus memikirkan tentang pengaruhnya terhadap masyarakat. Pemimpin yang baik mengetahui nilai-nilai dan etika, serta mengaplikasikannya dalam gaya dan pelaksanaan kepemimpinannya. Ketika seorang pemimpin menggunakan etika dalam kepemimpinannya, ia akan dihormati dan dikagumi oleh bawahan dan karyawannya.

Ada beberapa hal yang perlu dimiliki oleh pemimpin yang beretika. Di sini kita tidak berbicara tentang tingkah laku (behavior) yang terlihat, atau dengan kata lain mengubah tingkah laku yang terlihat saja, tetapi juga mempertimbangkan motif-motif hati si pemimpin. Oleh karena itu, syarat pertama pemimpin yang beretika adalah memiliki hati nurani yang baik. Kata ―hati nurani‖ berasal dari kata ―conscienta‖ yang berarti ―turut mengetahui‖ atau ―dengan diketahui oleh‖. Dalam hal ini, siapa yang turut mengetahui? Maksud dari kata tersebut tentu ada suatu instansi di dalam diri manusia yang berfungsi sebagai saksi yang mengamati atau menilai kehidupan batin manusia dan mempertimbangkan sesuatunya (bdk. Verkuyl, 65; Bertens, 53). Jadi,

69

hati nurani adalah suatu penghayatan tentang baik dan buruk yang berhubungan dengan tingkah laku konkret/nyata manusia (Bertens, 51-52). Harga diri dan integritas manusia sebagai pemimpin terletak pada hati nuraninya.

Bentuk hati nurani ada dua yaitu hati nurani retrospektif dan prospektif (Bertens, 54-56). Hati nurani retrospektif adalah hati nurani yang mengevaluasi terhadap perbuatan manusia pada masa lalu, apakah perbuatan tersebut baik ataukah buruk. Hati nurani retrospektif berfungsi sebagai instansi kehakiman yang mencela jika melakukan perbuatan yang tidak baik atau jahat, tetapi akan memberi pujian jika melakukan perbuatan yang baik dan terpuji. Hati nurani yang sehat dari seorang pemimpin adalah jika pemimpin tersebut memiliki hati nurani yang menuduh atau mencela yang disebut ―a bad conscience‖ jika melakukan sesuatu yang buruk dan memiliki ‖a good conscience‖ atau ‖a clear conscience‖ jika melakukan sesuatu yang baik.

Hati nurani prospektif adalah hati nurani yang memberikan penilaian atas perbuatan di masa yang akan dating. Ia memberikan nilai kondisional atas perbuatan manusia. Artinya, sebelum melakukan sesuatu hal maka hati nuraninya akan memberitahu mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Hati nurani bekerja pada saat suatu hal sedang dilakukan seseorang.

Di samping memiliki hati nurani yang baik, setiap pemimpin wajib memiliki komitmen terhadap etika keutamaan. Maksud dari etika keutamaan adalah berfokus kepada manusia dan martabatnya, dan bukan kepada apakah suatu perbuatan sesuai norma atau tidak. Etika ini mempelajari keutamaan (virtue) sifat watak yang dimiliki manusia. Etika keutamaan bukan menilai perbutan, tetapi lebih kepada apakah manusia (kita) adalah orang yang baik atau buruk.

Di samping etika keutamaan, ada pula etika kewajiban. Etika kewajiban menekankan pada ―being‖ manusia, yaitu siapakah saya di hadapan Tuhan dan sesama. Di sini, manusia bukan memilih mana yang harus dipegang, apakah etika kewajiban ataukah etika keutamaan (bukan either-or), tetapi kedua-duanya perlu dipelajari dan dipraktikkan (both-and). Kita wajib tahu mana yang benar dan yang salah, baik dan buruk, tetapi juga mengembangkan watak serta karakter yang penuh pengorbanan, pelayanan, dan kebaikan sebagai etika keutamaan.

70

Hubungan antara etika keutamaan dan etika kewajiban adalah bahwa moralitas selalu berhubungan dengan aturan dan prinsip sertakualitas manusianya juga. Manusia tidak hanya baik karena menaati aturan, tetapi juga perlu pembentukan watak. Karakter atau watak manusia juga memerlukan norma. Jika ada yang berkata bahwa DPR tidak perlu ada pedoman etika, berarti dia tidak memahami fungsi etika kewajiban, bahwa manusia hanya bisa taat jika ada pedoman dan sanksi yang mengaturnya. Tetapi pedoman dan sanksi saja tidak cukup menjadikan manusia baik. Manusia memerlukan pengembangan watak dan karakter yang baik yang disebut pengembangan etika keutamaan. Di sini, keduanya berjalan bersamaan di dalam kehidupan seorang pemimpin.

Kepemimpinan adalah suatu konsep yang mengagumkan. Kepemimpinan mampu menyiratkan tanggung jawab, pengetahuan dan komunikasi efektif. Etika kepemimpinan terutama mempunyai arti penting pada waktu-waktu belakangan ini ketika kepercayaan publik telah terkikis oleh tindakan tidak baik dari banyak entitas nirlaba maupun entitas komersial.

Berikut ini adalah beberapa komponen dari etika kepemimpinan beserta pentingnya, yaitu:

Ethical Communication

Pemimpin yang beretika akan menetapkan standar kejujuran untuk setiap bawahan yang dipimpinnya. Ketika seseorang mengambil posisi sebagai pemimpin, ia mempunyai kesempatan untuk menempatkan kejujuran pada tempat tertinggi. Dalam hal ini, keteladanan pemimpin saja tidak cukup dalam melaksanakan standar ini. ―Kejujuran adalah tugas nomor satu‖ harus menjadi slogan entitas tersebut. Informasi yang jujur adalah informasi yang berkualitas, baik untuk CEO, dewan direksi, maupun para investor.

 Ethical Quality

Seorang pemimpin yang beretika paham bahwa aa tiga faktor yang menentukan tingkat kompetitifnya suatu organisasi, yaitu produk yang berkualitas, pelayanan pelanggan yang berkualitas, dan pengiriman yang berkualitas. Pemimpin harus bertanggungjawab dalam memimpin,

71

mengendalikan, dan mendanai dalam hal peningkatan kualitas. Keuntungan yang besar hanya dapat terjadi jika pemimpin dapat melaksanakan tanggungjawab tersebut.

Ethical Collaboration

Pemimpin yang beretika membutuhkan banyak penasihat. Ia akan memilih penasihat yang paling unggul di dalam organisasinya dan akan mempekerjakan beberapa orang penasihat dari luar perusahaan. Pemimpin yang bijak berkolaborasi untuk menciptakan best practice, memecahkan masalah, dan menemukan issue-issue yang sedang dihadapi organisasi. Sayangnya, secara alamiah pemimpin akan cenderung menciptakan ―lingkaran penasihat‖ yang tertutup. Pemimpin yang menggunakan etika kolaborasi akan menjaga agar ―lingkaran penasihat‖ ini lebih terbuka dan cair. Tujuan dari pemimpin yang beretika adalah untuk menurunkan risiko organisasi dengan cara mempeoleh para ahli (dalam hal ini adalah penasihat) yang terpercaya.

Ethical Succession Planning

Jika pemimpin yang berprinsip memiliki/menuntut kebutuhan akan pengendalian, ia akan memenuhi kebutuhan tersebut dengan menciptakan standar organisasi dan prosedur operasi untuk kualitas dan komunikasi yang kuat. Sementara itu, seorang pemimpin yang beretika harus memberikan kesempatan pada para penerus yang potensial untuk berlatih dan membangun kemampuan kepemimpinan mereka. Hal tersebut harus dipimpin oleh si pemimpin sendiri dengan memberikan kesempatan untuk berkomunikasi 3600, dan melatih mereka tentang peran-peran yang mungkin akan mereka jalankan suatu saat nanti.

Ethical Tenure

Berapa lamakah seharusnya seorang pemimpin mepimpin organisasinya? Di Indonesia, wakil rakyat dipilih setiap lima tahun sekali. Di Amerika, pemimpin pemerintahan memimpin selama empat sampai delapan tahun. Sedangkan dalam bidang industri tidak memiliki standar masa kepemimpinan (tenure). Menurut seorang pakar kepemimpinan, Peter Block, kepemimpinan seringkali diukur lebih berdasarkan kepercayaan terhadap

72

individu daripada talenta/kemampuannya. Block juga mengemukakan bahwa misi dari pemimpin yang beretika adalah untuk melayani institusi yang dipimpinnya, bukan untuk melayani diri mereka sendiri. Pemimpin yang beretika berkolaborasi dan menyiapkan rencana penerusan kepemimpinan di dalam organisasinya yang akan menjamin pertumbuhan organisasinya. Pemimpin bekerja atas permintaan dari entitas, pelanggan, dewan direksi, dan para pemegang saham. Jika kepercayaan dari masing-masing pemegang kepentingan tersebut tidak berubah/menurun, si pemimpin harus tetap memimpin hingga ia memilih untuk mundur dan turun jabatan. Sedangkan pemimpin yang merusak kepercayaan bawahannya, pelanggan, dan masyarakat luas harus menyingkir dan membiarkan pemimpin lain yang lebih baik mengambil alih kepemimpinan dan kekuasaannya.

Dalam dokumen BAB PENGANTAR ETIKA PROFESI PNS (Halaman 148-153)