• Tidak ada hasil yang ditemukan

Usia (Age). Anak ajaib berusia lima tahun yang mahir memainkan biola akan

Dalam dokumen Pers Dan Jurnalistik (Halaman 53-59)

NILAI BERITA

8. Usia (Age). Anak ajaib berusia lima tahun yang mahir memainkan biola akan

tampil dalam pertunjukan Jakarta Philharmonic bulan depan. Seorang petani di hari ulang tahunnya yang ke-100 memberikan saran tentang rahasia usia panjangnya, "Lakukanlah segala sesuatu itu dengan wajar."

9. Binatang (Animals). Seekor kucing yang terjepit pipa pembuangan telah membangunkan seluruh penghuni rumah susun. Seekor harimau yang untuk pertama kalinya melahirkan di kebun binatang menarik perhatian pengunjung. Seekor anjing menyelamatkan majikannya yang buta dalam suatu peristiwa kebakaran.

10. Humor (Humor). Seorang politisi mengucapkan pidato didepan televisi selama setengah jam tanpa menyadari mikrofonnya itu mati. Seorang penjaga gawang bukannya menangkap bola yang ditembakkan kearahnya, tetapi malah menangkap sepatu sang pencetak gol yang lepas saat menendang bola.

Unsur-unsur berita yang disebutkan di atas tidak pernah berdiri sendiri dalam satu berita. Biasanya unsur-unsur berita tersebut ditemukan dalam kombinasi-kombinasi misalnya, unsur ketidak-laziman dengan unsur humor; atau unsur dampak, unsur nama-nama terkenal, dan unsur aktualitas, dengan unsur konflik. Wartawan yang terlatih akan "merasakan" sendiri mana aspek-aspek berita yang perlu ditonjolkan, seberapa banyak alinea ia ditulis, dan seberapa jelas aspek-aspek itu harus ditonjolkannya.

Selain unsur-unsur berita di atas, sebenarnya masih ada unsur lain dalam berita, yakni unsur magnitude. Peristiwa yang memiliki magnitude akan bernilai sebagai berita untuk layak dimuat. Misalnya, dijumpai seorang yang sangat pendek atau tinggi melampui kelaziman. Unsur magnitude ini biasanya dimasukkan ke dalam pengertian ketidak laziman. Lebih rinci tentang human interest ini lihat Bab 10.

Awas Berita Sensasi

Membahas masalah berita tidaklah lengkap jika tidak membahas juga apa yang disebut berita sensasi. Kita sering mendengar orang berkata, "Ah, itu sih sensasi!" Memang, unsur jurnalistik yang paling dikenal orang, bahkan orang awam sekalipun, adalah unsur sensasi itu. Lalu apa sebenarnya berita

sensasi itu?

Berita sensasi adalah berita yang menekankan secara berlebihan "unsur manusia" dalam pemberitaan, yakni perasaan atau emosi.

Perkataan sensasi yang berasal dari perkataan Inggris sensation, dari akar kata sense, sudah cukup menggambarkan apa yang disebut berita sensasi, yakni berita yang isinya, dan terutama cara mengemukakannya, terlalu didasarkan pada keinginan untuk menarik perhatian, membangkitkan perasaan, emosi. Jadi, berita sensasi harus hebat, harus menimbulkan keheranan, ketakjuban, kengerian, pendeknya harus meluapkan berbagai macam perasaan.

Dengan demikian, berita sensasi sedikit sekali didasarkan pada nalar atau samasekali tidak didasarkan pada nalar yang sehat. Surat kabar yang gemar menyiarkan berita-berita sensasional biasanya juga gemar menyiarkan berita-berita mengenai sex, crime dan berita yang disebut "key-hole news", yaitu berita sekitar dapur dan kamar tidur orang lain hasil mengintip yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kepentingan umum. Surat kabar-surat kabar semacam itu disebut orang juga sebagai Jazz papers (koran hura-hura), Boulevard paper (koran pinggir jalan), Gutter papers (koran got), Yellow papers (koran kuning) dan macam-macam lagi.

Ketika perdana menteri Myanmar, U Thant, menjadi Sekretaris Jenderal PBB pada tahun 1950-an, ia mengemukakan di depan American Newspaper Publishers Association bahwa "sensationalisme, sayangnya, menjadi sifat khas dunia modern."41 Ia membuat pernyataan ini dalam konteks diskusi seputar berita "sensasional" tentang PBB dan kegiatan-kegiatannya. Komentar U Thant sebenarnya lebih santun daripada banyak kritik yang diarahkan kepada pers yang mengatakan bahwa "pers selalu overemphasized, selalu melebih-lebihkan, dan berita-beritanya selalu overdramatized, selalu didramatisir dan terkadang diclistorsikan agar laku dan menarik perhatian orang"

Seorang penulis, Peg Conner, yang sezaman dengan U Thant bahkan 41. Michael V. Charnley, ibid.

lebih pedas lagi kritiknya terhadap pers sensasional. Apa yang dikatakan Conner masih memiliki relevansi dengan keadaan sekarang dan pendapatnya lebih menggambarkan kecenderungan sebagian besar pers kita di era reformasi sekarang: "The regular capitalist press is a business which is operated for a profit and not as a cultural enterprise. It prints what is in its own self interest, what is sensational news that will attract purchasers — not what will educate or will promote the general welfare. It often is also a 'literatur' of escape from the fears and pressures of an unstable economic system from the horrors of the atomic war (which is also sponsor) and from the empty cultural life. It keeps the average man from thinking too much about his employer or his government and its policies, by sensational treatment of sex, gangsterism, sport and comics."42

Sebagian besar berita memang sensasional, yang memancing emosi orang dan bisa meletupkan api kemarahan. Barangkali tidak ada dalam sejarah Indonesia berita-berita yang lebih sensasional daripada ketika terjadi penculikan terhadap empat jenderal oleh pasukan pengawal Presiden "Cakrabirawa" saat meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pemberitaan pers saat itu sedemikian sensasional tentang terbunuhnya keempat jenderal tersebut di Lubangbuaya, sehingga menimbulkan kemarahan masyarakat.

Saat itu di Lubangbuaya tengah dilakukan latihan militer oleh sejumlah sukarelawan yang dipersiapkan untuk menghadapi perang berkonfrontasi 4 2. Sifat tetap pers kapitalis adalah sebagai bisnis yang dijalankan demi profit dan bukan sebagai kegiatan budaya. la mencetak apa yang sesuai dengan kepentingannya sendiri, apa yang tergolong berita sensasional yang dapat menarik perhatian pembeli (koran) — bukan apa-apa yang akan mendidik atau memajukan kesejahteraan umum. la juga sering merupakan 'kesusasteraan' yang melarikan diri dari ketakutan dan tekanan sistem ekonomi yang tidak stabil, dari kengerian perang nuklir (yang juga merupakan sponsor) dan dari kehidupan budaya yang kosong. la mencegah rata-rata orang memikirkan terlalu banyak tentang majikannya dan tentang pemerintahnya beserta kebijakan-kebijakannya, melalui penggarapan berita secara sensasional tentang seks, gangsterisme, dan lawakan.

dengan Malaysia. Para sukarelawan itu terdiri dari anggota-anggota organisasi massa Partai Komunis Indonesia, sehingga kemarahan itu pun ditujukan kepada semua anggota partai itu. Mereka yang berlatih adalah sejumlah angggota organisasi massa mantel partai tersebut antara lain Pemuda Rakyat dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).

Peristiwa lain yang juga sensationalized adalah ketika Presiden Soeharto digulingkan dari kekuasaannya pada tahun 1998. Pemberitaan pers saat itu sedemikian didramatisir tentang dosa-dosa mantan presiden itu selama 32 tahun kekuasaannya, sehingga pemberitaan pers tentang dia dan keluarganya sudah mengarah kepada trial by the press, pengadilan oleh pers, yang merugikan pihak yang diberitakan.

Tetapi, suasana politik waktu itu memang sedang diliputi oleh suasana euphoria, suasana maraknya kegembiraan karena baru lepas dari kekangan penguasa yang membelenggu kebebasan rakyat selama lebih dari tiga dekade. Dan, pokok pembicaraan masyarakat pun adalah berkisar seputar keburukan-keburukan pemerintah Orde Baru terutama para pemimpinnya yang tidak boleh terulang lagi setelah terjadi reformasi. Dengan demikian, masyarakat ingin laporan-laporan rinci tentang keburukan-keburukan pemerintahan masa lalu itu, dan berita-berita tidak akan dibaca orang jika tidak mengikuti harapan masyarakat yang menginginkan "berita-berita panas".

Tetapi, dalam suasana demikian, pers pun terseret untuk melebih-lebihkan pemberitaannya, dan pemberitaan juga cenderung sensasional. Charnley menyebut bahwa dosa pers bukanlah terletak pada perbuatannya melaporkan peristiwa sensasionalnya itu sendiri, melainkan dalam membuat berita itu lebih hebat dari kenyataannya. Lebih hebat ini misalnya menyebut perkelahian antara dua kelompok siswa SMA yang cepat dapat dilerai sebagai kerusuhan. Atau, boleh dinamakan sensional jika berita menyebutkan bahwa sebuah truk menghajar tiang listrik, padahal truk tersebut hanya menyerempet tiang itu saja.

Sehubungan dengan bahaya yang ditimbulkan oleh berita-berita sensasi ini seperti terlihat dari kasus Lubangbuaya dan mantan Presiden Soeharto di

atas, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pernah membuat kesepakatan dengan pemerintah agar wartawan Indonesia menghindari pemberitaan yang dapat memicu pertentangan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Yang dimaksud "dengan memicu pertentangan" tentu saja "membuat berita sensasional tentang isu-isu SARA". Kesepakatan ini dipertegas oleh penjelasan Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik PWI.43

Tetapi, hal ini malah membawa konsekuensi yang berlebihan pula karena, para wartawan bukan saja tidak berani memberitakan isu-isu SARA itu, tetapi para redaktur surat kabar-surat kabar sendiri untuk keamanannya samasekali tidak mau memuat berita wartawannya yang menyerempet-nyerempet SARA. Berita SARA seakan-akan momok bagi wartawan Indonesia di zaman Orde Baru itu. Apalagi pada masa itu kelangsungan hidup sebuah media bisa dihentikan seketika oleh penguasa yang berhak mencabut SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).

Tetapi, apakah benar tindakan mengekang pemberitaan SARA ini demi menjamin kelangsungan hidup yang harmonis? Sebagai contoh kita ambil peristiwa Ambon yang menghadapkan dua kaum (kelompok penduduk Muslim dan Kristen) yang saling bunuh pada awal abad ke-21 ini. Peristiwa ini gagal diantisipasi karena konflik yang bagaikan api dalam sekam ini selama masa Orde Baru tidak pernah diungkapkan ke publik. Akibatnya ketika kekuasaan represif pemerintah Orde Baru tumbang, konflik pun meledak menjadi peperangan antar-kaum.

Jika sudah demikian, masyarakat mungkin tidak salah kalau mengatakan bahwa pers gagal memberikan peringatan dini tentang kemungkinan meledaknya peristiwa Ambon itu. Jadi, jelas meredam berita pun tidak lebih baik dari pada melebih-lebihkan.

4 3. Sebelum era reformasi (1998), PWI adalah satu-satunya persatuan wartawan di Indonesia yang memiliki otorita normatif terhadap wartawan.

BAB 4

Dalam dokumen Pers Dan Jurnalistik (Halaman 53-59)