• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pers Dan Jurnalistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pers Dan Jurnalistik"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

PERS DAN JURNALISTIK

Jurnalistik dan Sejarahnya

Jurnalistik atau journalisme berasal dari perkataan journal, artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti surat kabar. Journal berasal dari perkataan Latin diurnalis, artinya harian atau tiap hari. Dari perkataan itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan Jurnalistik.

MacDougall1 menyebutkan bahwa journalisme adalah kegiatan

menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Jurnalisme sangat penting dimanapun dan kapanpun. Jurnalisme sangat diperlukan dalam suatu negara demokratis. Tak peduli apa pun perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan- baik sosial, ekonomi/politik maupun yang lain-lainnya. Tak dapat dibayangkan, akan pernah ada saatnya ketika tiada seorang pun yang fungsinya mencari berita tentang peristiwa yang terjadi dan menyampaikan berita tersebut kepada khalayak ramai, dibarengi dengan penjelasan tentang peristiwa itu.

Sejarah jurnalistik dimulai ketika tiga ribu tahun yang lalu, Firaun di Mesir, Amenhotep III, mengirimkan ratusan pesan kepada para perwiranya di provinsi-provinsi untuk memberitahukan apa yang terjadi di ibukota. Di Roma 2.000 tahun yang lalu Acta Diurna ("tindakan-tindakan harian") -tindakan-tindakan senat, peraturan-peraturan pemerintah, berita kelahiran dan kematian- ditempelkan di tempat-tempat umum. Selama Abad Pertengahan di Eropa, siaran berita yang ditulis tangan merupakan media informasi yang penting bagi para usahawan.

1 1. Curtis D. MacDougall, Interpretative Reporting, Macmillan Publishing Co., Inc., New

(2)

Keperluan untuk mengetahui apa yang terjadi merupakan kunci lahirnya jurnalisme selama berabad-abad. Tetapi. jurnalisme itu sendiri baru benar-benar dimulai ketika huruf-huruf lepas untuk percetakan mulai digunakan di Eropa pada sekitar tahun 1440. Dengan mesin cetak, lembaran-lembaran berita dan pamflet-pamflet dapat dicetak dengan kecepatan yang lebih tinggi, dalam jumlah yang lebih banyak, dan dengan ongkos yang lebih rendah.

Surat kabar pertama yang terbit di Eropa secara teratur dimulai di Jerman pada tahun 1609: Aviso di Wolfenbiittel dan Relation di Strasbourg. Tak lama kemudian. Surat kabar-surat kabar lainnya muncul di Belanda (1618); Perancis (1620), Inggris (1620), dan Italia (1636). Surat kabar-surat kabar abad ke-17 ini bertiras sekitar 100 sampai 200 eksemplar sekali terbit, meskipun Frankfurter Journal pada tahun 1680 sudah memiliki tiras 1.500 sekali terbit.

Pada tahun 1650, surat kabar pertama yang terbit sebagai harian adalah Einkommende Zcitung di Leipzig. Jerman. Pada tahun 1702 menyusul Daily Courant di London yang menjadi harian pertama di Inggris yang berhasil diterbitkan. Ketika lebih banyak penduduk memperoleh pendapatan lebih besar dan lebih banyak di antara mereka yang belajar membaca, maka semakin besarlah permintaan akan surat kabar. Bersamaan dengan itu, terjadi penemuan mesin-mesin yang lebih baik dalam mempercepat produksi koran dan memperkecil ongkos.

Pada tahun 1833, di New York City, Benjamin H. Day, menerbitkan untuk pertama kalinya apa yang disebut penny newspaper (surat kabar murah yang harganya satu penny). Ia memuat berita-berita pendek yang ditulis dengan hidup, termasuk peliputan secara rinci tentang berita-berita kepolisian untuk pertama kalinya. Berita-berita human-interest dengan ongkos murah ini menyebabkan bertambahnya secara cepat sirkulasi suratkabar tersebut. Kini di Amerika Serikat beredar 60.000.000 eksemplar harian setiap harinya.

(3)

Jurnalisme kini telah tumbuh jauh melampaui surat kabar pada awal kelahirannya. Majalah mulai berkembang sekitar dua abad lalu. Pada tahun 1920 radio komersial dan majalah-majalah berita muncul ke atas panggung. Televisi komersial mengalami boom setelah Perang Dunia II.

Pengertian Pers

Apa yang dimaksud dengan pers? Pers berasal dari perkataan Belanda pers yang artinya menekan atau mengepres. Kata pers merupakan padanan dari kata press dalam bahasa Inggris yang juga berarti menekan atau mengepres. Jadi, secara harfiah kata pers atau press mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Tetapi, sekarang kata pers atau press ini digunakan untuk merujuk semua kegiatan jurnalistik, terutama kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun berita, baik oleh wartawan media elektronik maupun oleh wartawan media cetak.

Berdasarkan uraian di atas, ada dua pengertian mengenai pers, yaitu pers dalam arti kata sempit dan pers dalam arti kata luas. Pers dalam arti kata sempit yaitu yang menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Sedangkan pers dalam arti kata luas adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi baik yang dilakukan dengan media cetak maupun dengan media elektronik seperti radio, televisi maupun internet. Buku ini menggunakan istilah tersebut dalam arti sempit maupun luas tergantung dari konteksnya.

Falsafah Pers

Seperti juga negara yang memiliki falsafah, pers pun memiliki Falsafahnya sendiri. Falsafah atau dalam bahasa Inggris philosophy salah satu artinya adalah tata nilai atau prinsip-prinsip untuk dijadikan pedoman dalam menangani urusan-urusan praktis.

(4)

Falsafah pers disusun berdasarkan sistem politik yang dianut oleh masyarakat dimana pers bersangkutan hidup. Falsafah pers yang dianut bangsa Amerika yang liberalistis2 berlainan dengan falsafah pers yang dianut Cina

atau Uni Soviet yang bersifat komunistis sebelum negara tersebut dilebur menjadi Rusia pada tahun 1991. Falsafah pers yang dianut Indonesia yang sistem politiknya (sekarang) demokratis berlainan dengan falsafah pers yang dianut Myanmar yang militeristis.

Dalam membicarakan falsafah pers, terdapat sebuah buku klasik mengenai hal ini, yaitu Four Theories of the Press (Empat Teori tentang Pers) yang ditulis Siebert bersama Peterson dan Schramm dan diterbitkan oleh Universitas Illinois pada tahun 1956.3 Dari karya ini, pada tahun 1980, muncul

"teori" baru tentang tanggung jawab sosial dalam komunikasi massa yang dipelopori oleh Rivers, Schramm dan Christians dalam buku mereka berjudul Responsibility in Mass Communication.4

Baik Siebert dkk. maupun Rivers dkk. pada prinsipnya sama mewakili pandangan Barat yang pada dasarnya mengembangkan tiga cara dalam mengaitkan pers dan masyarakat. Ketiga cara tersebut masing-masing melibatkan definisi yang berlainan tentang manusia, tentang negara, tentang kebenaran, dan tentang perilaku moral. Hanya saja, bagi Siebert dkk., ketiga cara tersebut merupakan landasan untuk lahirnya empat teori tentang pers atau "four theories of the press", sedangkan bagi Rivers dkk menjadi konsep dasar untuk mengembangkan "teori" baru tentang tanggung jawab sosial dalam komunikasi massa.

2 . Pengertian liberalistis dalam konteks Amerika di sini jangan dicampuradukkan dengan paham

libertarian. Pers liberal dalam pengertian libertarian atau bebas tanpa batas sudah ditinggalkan AS sejak tahun 1956 dengan terbitnya buku The Four Theories of the Press oleh F. Siebert dkk. seperti akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini.

3 . F. Siebert, T. Peterson, dan Wilbur Schramm, Four Theories of the Press, Urbana, III. 1956. 4 . William L. Rivers, Wilbur Schramm, dan Clifford G. Christians, Responsibility in Mass

(5)

Teori pers dengan tanggung jawab sosial yang dikembangkan Rivers dkk ini tidak akan dibahas panjang lebar di sini. Cukup barangkali dikemukakan bahwa teori Rivers dkk tersebut merupakan perkembangan dari teori libertarian yang tidak terlalu jauh bedanya dengan teori tanggung jawab sosial dalam "four theory of the preess"-nya Siebert dkk.5 Hanya saja perlu

dicatat bahwa penerima-an atas teori Rivers dkk. ini didukung oleh kecurigaan dan ketidakpuasan orang ternadap libertarianisme dari jurnalisme yang terlalu pers-sentris.

Four Theories of the Press yang masih sangat besar pengaruhnya itu memaparkan pandangan normatif Siebert dkk. tentang bagaimana media massa berfungsi dalam berbagai tipe masyarakat. Asumsi dasar mereka adalah bahwa "pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur sosial dan politik di mana ia beroperasi." Dan, berdasarkan sistem-sistem sosial dan politik yang berlaku di dunia pada waktu itu, maka dikembangkanlah "empat teori tentang pers" tersebut.

Teori pertama dalam Four Theories of thhe Press, yakni,

Authoritarian Theory (Teori Fers Otoriter), yang diakui sebagai teori pers

paling tua, berasal dari abad ke-16. la berasal dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan absolut. Penetapan tentang hal-hal "yang benar" dipercayakan hanya kepada segelintir "orang bijaksana" yang mampu memimpin. Jadi, pada dasarnya, pendekatan dilakukan dari atas ke bawah. Pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada negara. Para penerbit diawasi melalui paten-paten, izin-izin terbit, dan sensor. "Konsep ini menetapkan pola asli bagi sebagian besar sistem-sistem pers nasional dunia, dan masih bertahan sampai sekarang," tulis Siebert dkk.

Yang penting dicatat juga, prinsip authoritarian theory ini adalah bahwa negara memiliki kedudukan lebih tinggi daripada individu dalam skala nilai kehidupan sosial. Bagi seorang individu, hanya dengan menempatkan 5 . Untuk lebih lengkapnya silakan baca buku William L. Rivers dkk tersebut dan bukunya John

C. Merril. Journalism Ethics – Philisopical Foundations for News Media, St. Martin’s Press, New York, 1997.

(6)

diri dibawah kekuasaan negara, maka individu yang bersangkutan bisa mencapai cita-citanya dan memiliki atribusi sebagai orang yang beradab.6

Ketika kebebasan politik, agama dan ekonomi semakin tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya pencerahan, maka tumbuh pula tuntutan akan perlunya kebebasan pers. Dalam saat seperti itulah lahir teori baru, yaitu

Libertarian Theory atau Teori Pers Bebas, yang mencapai puncaknya pada

abad ke-19. Dalam teori ini, manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan tidak benar. Pers harus menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran, dan bukan sebagai alat pemerintah. Jadi, tuntutan bahwa pers mengawasi pemerintah berkembang berdasarkan teori ini.

Sebutan terhadap pers sebagai "The Fourth Estate" atau "Pilar Kekuasaan Keempat" setelah kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif pun menjadi umum diterima dalam teori pers libertarian. Oleh karenanya, pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah. Dalam upaya mencari kebenaran, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan, sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan, sedangkan yang sebaliknya akan lenyap.

Gagasan John Milton tentang "self-righting process" (proses menemukan sendiri kebenaran) dan tentang "free market of ideas" (kebebasan menjual gagasan) menjadi sentral dalam teori pers bebas ini. Berdasarkan gagasan Milton ini, dalam sistem pers bebas atau pers libertarian, pers dikontrol oleh "self-righting process of truth", lalu oleh adanya "free market of ideas", dan oleh pengadilan. Implikasi dari "self-righting process" adalah bahwa semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama ke semua saluran komunikasi dan setiap orang punya akses yang sama pula ke sana.

Teori pers bebas atau teori libertarian ini memang paling banyak memberikan landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Oleh karena itu, pers bebas juga paling banyak memberikan informasi, paling banyak 6 . William L. Rivers, Wilbur Schramm, dan Clifford G. Christians, Responsibility in Mass

(7)

memberikan hiburan, dan paling banyak terjual tirasnya. Tetapi, dibalik paling banyak dalam ketiga segi itu, pers bebas juga paling sedikit berbuat kebajikan menurut ukuran umum dan sedikit pula mengadakan kontrol terhadap pemerintah. Dalam perusahaan pers semacam ini memang terdapat sedikit sekali pembatasan-pembatasan serta aturan-aturan yang membatasi. Sebagian besar aturan-aturan yang ada hanyalah untuk menciptakan keuntungan berupa materi bagi pemiliknya sendiri. Pers semacam ini cenderung kurang sekali tertarik pada soal-soal bagi kepentingan masyarakat.

Dua teori lainnya, yaitu Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) dan Soviet Communist Theory (Teori Pers Komunis Soviet) dipandang sebagai modifikasi yang diturunkan dari kedua teori di atas tadi. Social Responsibility Theory atau Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial dijabarkan berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers libertarian terlalu menyederhanakan persoalan. Dalam pers libertarian, para pemilik dan para operator perslah yang terutama menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh disiarkan kepada publik dan dalam versi apa. Teori pers libertarian tidak berhasil memahami masalah-masalah seperti proses kebebasan internal pers dan proses konsentrasi pers. Teori pers bertanggung jawab sosial yang ingin mengatasi kontradiksi antara kebebasan media massa dan tanggung jawab sosialnya ini diformulasikan secara jelas sekali pada tahun 1949 dalam laporan "Commission on the Freedom of the Press" yang diketuai oleh Robert Hutchins.

Komisi yang selanjutnya terkenal dengan sebutan Hutchins Commission ini mengajukan 5 prasyarat sebagai syarat bagi pers yang bertanggung jawab kepada masyarakat. Lima prasyarat tersebut adalah:7

1. Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya, lengkap, dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna. (Media harus akurat; mereka tidak boleh berbohong, harus memisahkan antara fakta dan opini, harus melaporkan dengan cara yang memberikan arti secara 7 . John C. Merril, Journalism Ethics – Philosopical Foundations for News Media, St. Martin’s

(8)

internasional, dan harus lebih dalam dari sekadar menyajikan fakta-fakta dan harus melaporkan kebenaran).

2. Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik. (Media harus menjadi sarana umum; harus memuat gagasan-gagasan yang bertentangan dengan gagajan-gagasan mereka sendiri, "sebagai dasar pelaporan yang objektif; semua "pandangan dan kepentingan yang penting" dalam masyarakat harus diwakili; media harus mengidentifikasi sumber informasi mereka karena hal ini "perlu bagi sebuah masyarakat yang bebas." 3. Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari

kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat. (Ketika gambaran-gambaran yang disajikan media gagal menyajikan suatu kelompok sosial dengan benar, maka pendapat disesatkan; kebenaran tentang kelompok mana pun harus benar-benar mewakili; ia harus mencakup nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi kelompok, tetapi ia tidak boleh mengecualikan kelemahan-kelemahan dan sifat-sifat buruk kelompok).

4. Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat. (Media adalah instrumen pendidikan, mereka harus memikul suatu tanggung jawab untuk menyatakan dan menjelaskan cita-cita yang diperjuangkan oleh masyarakat.)

5. Media harus menyediakan tikses penuh terhadap informasi-informasi yang tersembunyi pada suatu saat. (Ada kebutuhan untuk "pendistribusian berita dan opini secara luas.")

Meskipun laporan Komisi Hutchins ini sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap dunia pers Amerika selain meramaikan wacana dan diskusi-diskusi seputar tuntutan masyarakat terhadap pers Amerika untuk lebih memperhatikan kepentingan masyarakat, namun baru pada tahun 1956 pers Amerika mulai meninggalkan prinsip-prinsip teori pers libertarian yang bebas tanpa batas itu dan bergeser ke pers yang bertanggung jawab sosial. Ini adalah tahun ketika tiga guru besar ilmu komunikasi dari Universitas Illinois menerbitkan buku Four Theories of the Press. Inilah kebebasan pers yang

(9)

dikehendaki oleh masyarakat Amerika waktu itu, yaitu kebebasan yang selalu dengan syarat terhadap kewajiban-kewajiban pers kepada masyarakat.

"Pers di AS," kata Siebert dkk.8 "yang menikmati posisi istimewa di

bawah pemerintahan kami, berkewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat untuk menjalankan fungsi-fungsi pokok komunikasi massa dalam masyarakat kontemporer." Enam fungsi pers pun ditetapkan, yakni bahwa pers berfungsi untuk:

1. Melayani sistem politik yang memungkinkan informasi, diskusi dan konsiderasi tentang masalah-masalah publik dapat diakses oleh masyarakat. 2. Memberikan informasi kepada publik untuk memungkinkan publik bertindak

bagi kepentingannya sendiri.

3. Melindungi hak-hak individu dengan bertindak sebagai watchdog (anjing penjaga) terhadap pemerintah.

4. Melayani sistem ekonomi, misalnya dengan mempertemukan pembeli dan penjual melalui media iklan.

5. Memberikan hiburan (dengan mana hanya hiburan yang "baik" yang dimaksudkan, apa pun hiburan itu).

6. Memelihara otonomi di bidang finansial agar tidak terjadi ketergantungan kepada kepentingan-kepentingan dan pengaruh-pengaruh tertentu.

Teori pers bertanggung jawab sosial ini merespon pendapat bahwa orang dengan sia-sia mengharapkan adanya pasar media yang mengatur sendiri dan mengontrol sendiri sebagaimana digemborkan oleh pendukung teori pers libertarian. Dalam pers libertarian, fungsi ganda media massa yang dimiliki oleh perusa-haa«n swasta, yaitu untuk mencari untung dan melayani para pengiklan mereka versus melayani publik hanya dipenuhi secara sepihak. Sebagaimana biasanya. publik hanya menerima bagian yang paling merugikan dari tawar-menawar tersebut, sehingga Lazarfeld dan Merton dalam sebuah tulisan mereka9 menyatakan, "Perusahaan. besar membiayai produksi dan

8. Ibid.

(10)

distribusi media massa. Dan, diatas segala-galanya, dia yang menanggung biaya dialah yang menentukan semuanya."

Dalam tulisan yang sama, kedua pengarang itu memberikan ciri pada fungsi-fungsi media dalam masyarakat sebagai berikut: "Karena media massa kita yang disponsori secara komersial itu mempromosikan kesetiaan tanpa berpikir kepada struktur sosial kita, media massa ini tidak dapat diandalkan bekerja untuk perubahan, bahkan perubahan kecil pun, dalam struktur tersebut."

Teori pers bertanggung jawab sosial ini relatif merupakan teori baru dalam kehidupan pers di dunia, dan tidak seperti teori pers bebas libertarian, teori ini memungkinkan dimilikinya tanggung-jawab oleh pers. Dengan teori ini juga pers memberikan banyak informasi dan menghimpun segala gagasan atau wacana dari segala tingkatan kecerdasan.

Media yang menggunakan teori pers bertanggung jawab sosial ini memiliki sesuatu yang tidak disukai oleh pers bebas atau pers libertarian, yaitu prinsip-prinsip etika di belakang cita-cita bahwa pers berdasarkan tanggung jawab sosial ini bukan saja akan mewakili mayoritas rakyatnya tetapi juga memberikan jaminan atas hak-hak golongan minoritas atau golongan oposisi untuk turut bersuara lewat medianya. Jaminan inilah yang sukar diperoleh dari media-media yang menggunakan teori-teori pers lainnya. Teori pers bertanggung jawab inilah yang paling banyak digunakan oleh pers di negara-negara yang menganut sistem demokrasi dalam ketatanegaraannya, dimana rakyatnya telah mencapai tingkat kecerdasan yang cukup tinggi, sehingga rakyat mempunyai suara yang berpengaruh dan menentukan terhadap pejabat-pejabat yang akan melayani mereka.

Teori yang keempat, yaitu The Soviet Communist Theory atau Teori Pers Komunis Soviet baru tumbuh dua tahun setelah Revolusi Oktober 1917 di Rusia dan berakar pada teori pers penguasa atau authoritarian theory. Sebanyak 10 sampai 11 negara yang dulu berada di bawah payung kekuasaan Uni Republik Sosialis Soviet menganut sistem pers ini. Sistem pers ini

(11)

menopang kehidupan sistem sosialis Soviet Rusia dan memelihara pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap segala kegiatan sebagaimana biasanya terjadi dalam kehidupan komunis. Sebab itu, di negara-negara tersebut tidak terdapat pers bebas, yang ada hanya pers pemerintah. Segala sesuatu yang memerlukan keputusan dan penetapan umumnya dilakukan oleh para pejabat pemerintah sendiri. Dengan bubarnya negara Uni Republik Sosialis Soviet pada 25 Desember 1991 yang kini menjadi Negara Persemakmuran, negara tersebut sekarang telah melepaskan sistem politik komunisnya. Dengan demikian, kini teori pers komunis praktis hanya dianut oleh RRC karena negara yang dulu berada di bawah payung kekuasaan Uni Soviet pun sekarang ini hampir semua melepaskan sistem politik komunisnya. Perbedaannya dengan teori-teori pers lainnya adalah:

1. Dihilangkannya motif profit (yakni prinsip untuk menutup biaya) pada media. 2. Menomorduakan topikalitas (topikalitas adalah orientasi pada apa yang sedang

ramai dibicarakan")

3. Jika dalam teori pers penguasa orientasinya semata-mata pada upaya mempertahankan "status-quo", dalam teori pers komunis Soviet orientasinya adalah perkembangan dan perubahan masyarakat (untuk mencapai tahap kehidupan komunis).

Selain empat teori tentang pers yang dibahas di atas tadi, kami juga ingin menyinggung serba sedikit dua teori lainnya dari Denis McQuail. Dalam tulisannya "Uncertainty about the Audience and the Organization of Mass Communications",10 McQuail telah menambahkan dua teori lagi di samping

1 0. Terungkap dalam Michael Kunczik, Conceps of Journalism, North and South, Friedrich

Ebert Stichtung, 1988. konsep teori pers pembangunan pada awalnya digagas pada tahun 1960 oleh tokoh pergerakan kemerdekaan Afrika yang juga jurnalis seperti Kwame Nkrumah dari Ghana, pemimpin umum “Accra Evening News”; Jomo Kenyatta dan Julius Nyerere dari Tanzania. Kemudian gagasan ini menjadi bahan diskusi di Philipine University of Los Banos, Filipina. Setelah terbentuknya Press Foundation of Asia pada tahun 1967, konsep jurnalisme pembangunan mendapat perhatian lebih besar dari Negara-negara berkembang. Apalagi setelah DEPTH-News pada awal 1970-an menyelenggarakan pelatihan bagi aplikasi

jurnalisme pembangunan di Negara-negara Dunia Ketiga. DEPTH-News merupakan akronim dari Development, Economics and Population Theme concentrating on-depth reporting. (Tentang Jurnalisme Pembangunan ini selengkapnya baca Bab 13)

(12)

keempat teori pers di atas: teori pers pembangunan dan teori pers partisipan demokratik.

McQuail mengaitkan teori pers pembangunan dengan negara-negara Dunia Ketiga yang tiuak memiliki ciri-ciri sistem komunikasi yang sudah maju seperti berikut ini: infrastruktur komunikasi, keterampilan-keterampilan profeskmal, sumberdaya-sumberdaya produksi dan kultural, audiens yang tersedia. Disamping itu adanya ketergantungan pada negara-negara maju untuk teknologinya, keterampilan-keterampilannya, dan produk-produk kulturalnya. Ciri-ciri negara-negara ini adalah bahwa tujuan utama mereka adalah pembangunan, dengan para politisinya yang berangsur-angsur sadar akan keadaan mereka yang sama. Unsur normatif yang esensial dari teori pers pembangunan yang muncul adalah bahwa pers harus digunakan secara positif dalam pembangunan nasional, untuk otonomi dan identitas kebudayaan nasional. Preferensi diberikan kepada teori-teori yang menekankan keterlibatan akar rumput. Prinsip-prinsip yang ditetapkan sebagai dalil adalah:

• Pers harus menerima dan melaksanakan tugas-tugas pembangunan yang positif sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan secara nasional.

• Kebebasan pers harus terbuka bagi pembatasan sesuai dengan (1) prioritas-prioritas ekonomi dan (2) kebutuhan-kebutuhan pembangunan bagi masyarakat.

• Pers harus memberikan prioritas dalam isinya kepada budaya dan bahasa nasitmal (Dalam konteks ini McQuail kurang melihat masalah kolonialisme internal, yakni penghancuranbudaya-budaya dan bahasa-bahasa lokal dan regional.)

• Pers harus memberikan prioritas dalam berita dan informasi untuk menghubungkannya dengan negara-negara berkembang lain yang berdekatan secara geografis, secara budaya atau secara politis.

• Para wartawan dan para pekerja pers lainnya mempunyai tanggung jawab maupun kebebasan dalam tugas menghimpun dan menyebarkan informasi

(13)

mereka.

• Demi kepentingan tujuan pembangunan, negara mempunyai hak untuk ikut campur dalam, atau membatasi, operasi-operasi media pers, serta penyelenggaraan sensor, pemberian subsidi dan kontrol langsung dapat dibenarkan.

Tentang teori yang keenam, yaitu teori pers partisipan demokratik, McQuail dalam bukunya Mass Communication Theory, mengatakan bahwa teori ini lahir dalam masyarakat liberal yang sudah maju. Ia lahir sebagai "reaksi atas komersialisasi dan monopolisasi media yang dimiliki swasta dan sebagai reaksi atas sentralisme dan birokratisasi institusi-institusi siaran publik, yang timbul dari tuntutan norma tanggung jawab sosial."11 la melihat

organisasi-organisasi siaran publik khususnya sebagai terlalu paternalistik, terlalu elitis, terlalu dekat kepada kekuasaan, terlalu responsif terhadap tekanan-tekanan politis dan ekonomi, terlalu monolitik, terlalu diprofesionalkan. Teori ini juga mencerminkan kekecewaan terhadap partai-partai politik yang mapan dan terhadap sistem demokrasi perwakilan yang nampak menjadi tercerabut dari akar-rumput asalnya. Inti dari teori partisipan-demokratik terletak pada kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan dan aspirasi-aspirasi pihak penerima pesan komunikasi dalam masyarakat politis. Teori ini menyukai keserbaragaman, skala kecil, lokalitas, deinstitusionalisasi, kesederajatan dalam masyarakat, dan interaksi.

Fungsi Pers

Manusia harus berkomunikasi dengan manusia lainnya agar ia dapat tetap 1 1. Konsep teori pers partisipan demokratik ini hamper sama dengan landasan konsep yang

digunakan oleh “jurnalisme publik” yang kini sedang menjadi acana dalam kehidupan pers di Amerika. Persamaannya adalah dalam hal ketidakpuasan public terhadap pers Amerika yang semakin elitis dan menjauh dari kehidupan civic masyarakat akar rumput. Jurnalistik public tidaka kami bahas dalam buku ini karena belum tampak kegunaan praktisnya.

(14)

mempertahankan hidupnya. la harus mendapat informasi dari orang lain dan ia memberikan informasi kepada orang lain. Ia perlu mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya, di kotanya, di negaranya, dan semakin lama semakin ingin tahu apa yang terjadi di dunia.

Tugas dan fungsi pers adalah mewujudkan keinginan ini melalui medianya baik media cetak maupun media elektronik seperti radio, televisi dan internet. Tetapi, tugas dan fungsi pers yang bertanggungjawab tidaklah hanya sekadar itu, melainkan lebih dalam lagi yaitu mengamankan hak-hak warganegara dalam kehidupan bernegaranya.

Oleh karena itulah fungsi pertama pers yang bertanggung jawab adalah fungsi informatif, yaitu memberikan informasi, atau berita, kepada khalayak ramai dengan cara yang teratur. Pers enghimpun berita yang dianggap berguna dan penting bagi rang banyak dan kemudian menuliskannya dalam kata-kata. Pers mungkin akan memberitakan kejadian-kejadian pada hari itu, memberitakan pertemuan-pertemuan yang diadakan atau emberitakan pengangkatan-pengangkatan pejabat di kantor Pemerintahan. Pers juga mungkin memperingatkan orang banyak tentang peristiwa-peristiwa yang diduga akan terjadi, seperti perubahan cuaca atau bencana alam. Atau perspun mungkin memberitakan hal-hal yang langsung berguna, misalnya bagaimana menghitung pajak pribadi berdasarkan tarif pajak baru.

Fungsi kedua atau fungsi kontrol pers yang bertanggung jawab adalah masuk ke balik panggung kejadian untuk menyelidiki pekerjaan pemerintah atau perusahaan. Pers harus memberitakan apa yang berjalan baik dan tidak berjalan baik. Fungsi "watchdog" atau fungsi kontrol ini harus dilakukan dengan lebih aktif oleh pers daripada oleh kelompok masyarakat lainnya.

Fungsi ketiga pers yang bertanggungjawab adalah fungsi interpretatif dan direktif, yaitu memberikan interpretasi dan bimbingan. Pers harus

(15)

menceritakan kepada masyarakat tentang arti suatu kejadian. Ini biasanya dilakukan pers melalui tajuk rencana atau tulisan-tulisan latar belakang. Kadang-kadang pers juga menganjurkan tindakan yang seharusnya diambil oleh masyarakat -misalnya menulis surat protes kepada DPR atau memberikan sumbangan bagi korban bencana alam- dan memberikan alasan mengapa harus bertindak.

Fungsi keempat pers adalah fungsi menghibur. Para wartawan menuturkan kisah-kisah dunia dengan hidup dan menarik. Mereka menyajikan humor dan drama serta musik. Mereka menceritakan kisah yang lucu untuk diketahui meskipun kisah itu tidak terlalu penting.

Fungsi kelima adalah fungsi regeneratif. yaitu menceriterakan bagaimana sesuatu itu dilakukan di masa lampau, bagaimana dunia ini dijalankan sekarang, bagaimana sesuatu itu diselesaikan, dan apa yang dianggap oleh dunia itu benar atau salah. Jadi, pers membantu menyampaikan warisan sosial kepada generasi baru agar terjadi proses regenerasi dari angkatan yang sudah tua kepada angkatan yang lebih muda.

Fungsi keenam adalah fungsi pengawalan hak-hak warga negara, yaitu mengawal dan mengamankan hak-hak pribadi. Demikian pula halnya, bila ada massa rakyat berdemonstrasi, pers harus menjaga baik-baik jangan sampai timbul tirani golongan mayoritas di mana golongan mayoritas itu menguasai dan menekan golongan minoritas. Pers yang bekerja berdasarkan teori tanggung jawab harus dapat menjamin hak setiap pribadi untuk didengar dan diberi penerangan yang dibutuhkannya. Dalam beberapa hal rakyat hendaknya diberi kesempatan untuk menulis dalam media untuk melancarkan kritik-kritiknya terhadap segala sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat, bahkan juga kadang-kadang mengkritik medianya sendiri.

(16)

melalui iklan. Tanpa radio, televisi, majalah dan surat kabar, maka beratlah untuk dapat mengembangkan perekonomian sepesat seperti sekarang. Dengan menggunakan iklan, penawaran akan berjalan dari tangan ke tangan dan barang produksi pun dapat dijual.

Fungsi kedelapan adalah fungsi swadaya, yaitu bahwa pers mempunyai kewajiban untuk memupuk kemampuannya sendiri agar ia dapat membebaskan dirinya dari pengaruh-pengaruh serta tekanan-tekanan dalam bidang keuangan. Bila media seperti radio, televisi, dan surat kabar berada dibawah tekanan soal keuangan, maka sama halnya dengan menempatkan diri berada di bawah kehendak siapa saja yang mampu membayarnya sebagai balas jasa. Karena itulah, untuk memelihara kebebasannya yang murni, pers pun berkewajiban untuk memupuk kekuatan permodalannya sendiri.

(17)

BAB 3

SEPUTAR BERITA

Apa yang Disebut Berita? Definisi Berita

Berita lebih mudah diketahui daripada didefinisikan. Tanyakanlah kepada seorang wartawan senior apa berita itu, maka ia akan menemukan kesulitan untuk menjelaskannya. Tetapi mintalah ia merisalahkan berita-berita peristiwa terpenting yang terjadi dalam sehari kemarin, maka ia tanpa ragu-ragu akan membuka halaman depan surat kabar hari ini dan menunjuk judul headline-nya. kemudian menunjuk judul-judul berita lainnya dalam urutan mulai dari yang kurang penting dibandingkan dengan berita headline sampai ke berita-berita yang lebih kurang penting lagi.

Sang wartawan senior mungkin akan memilih berita-berita lain untuk suatu surat kabar, dan menekankan berita-berita yang sama-sekali berbeda untuk surat kabar lainnya. Ia mungkin saja mengalami kesulitan dalam mendefinisikan apa yang disebut berita itu, tetapi ia akan tabu ketika ia melihatnya. Seorang jurnalis, apakah ia koresponden, reporter atau redaktur, telah terlatih dalam "mencium" berita melalui indera keenamnya atau intuisi mereka.

Meskipun demikian, definisi tentang berita perlu diberikan di sini. Definisi ini diperlukan untuk mengetahui secara jelas apa yang disebut berita bagi keperluan pekerjaan mencari, menghimpun dan membuat berita. Namun lebih dulu harus diketahui bahwa arti sebuah berita tidak sama bagi negara-negara yang menganut sistem pers bebas/liberal dan bagi negara-negara-negara-negara yang menganut sistem pers penguasa atau sistem pers yang bertanggung jawab.

Sebelum bubarnya negara Uni Republik Sosialis Soviet, kita dengan mudah membedakan sistem pers dalam dua kelompok besar: Pers Barat yang menganut teori pers bebas/liberal dan Pers Timur yang menganut teori pers

(18)

komunis. Pers Barat diwakili oleh Amerika dan negara-negara sekutunya di Eropa Barat. Sedangkan Pers Timur diwakili oleh Uni Soviet dan negara-negara satelitnya di Eropa Timur.

Tetapi, sejak bubarnya negara Uni Soviet, dan sistem politik negara-negara Eropa Timur yang menganut paham komunis itu pun ikut berubah, maka dikotomi antara Pers Barat dan Pers Timur itu kiranya sudah tidak relevan lagi. Namun demikian, demi untuk mengenali apa perbedaan antara kedua sistem pers tersebut, kiranya perlu di sini agak sedikit kita simak mengenai hal itu.

Berita Menurut Pers Timur dan Pers Barat

Pers Timur berbeda sekali sistemnya, bahkan bertentangan dengan Pers Barat. Dalam Pers Timur, berita tidak dipandang sebagai "komoditi": berita bukan "barang dagangan". Berita adalah suatu "proses", proses yang ditentukan arahnya. Berita tidak didasarkan pada maksud untuk memuaskan nafsu "ingin tahu" segala sesuatu yang "luar biasa" dan "menakjubkan," melainkan pada keharusan ikut berusaha "mengorganisasikan pembangunan dan pemeliharaan negara sosialis."

Mengenai berita ini, direktur kantor berita Uni Soviet, TASS, N.G. Palgunov. pada tahun 1956 menyatakan: " News should not be merely concerned with reporting such and such a fact or event, it must pursue a efinite purpose …. It should not simply report all facts and just any events .... News must be didactic and instructive."1 Bahkan Lenin lebih keras lagi bahwa

pers di negeri sosialis adalah "a collective organizer", "a collective agitator", "a collective propagandist."

Berbeda dengan Pers Timur, Pers Barat memandang berita itu sebagai "komoditi", sebagai "barang dagangan" yang dapat diperjualbelikan. Oleh karena itu, sebagai barang dagangan ia harus "menarik." Tidak heran kalau 1 . Berita harus tidak boleh hanya memperhatian pelaporan fakta atau peristiwa ini dan itu saja,

ia harus mengejar suatu tujuan yang pasti ….. Ia tidak boleh hanya melaporkan semua fakta dan peristiwa saja … Berita harus bersifat didaktik dan mendidik.”

(19)

pers Barat mendefinisikan berita seperti yang diberikan oleh "raja pers" dari Inggris, Lord Northcliffe, yang mengatakan bahwa "News is anything out of ordinary,"2 dan seorang wartawan bernama Walkley menambahkan

"combined with the element of surprise."3

Dengan demikian, menurut Northcliffe, "If a dog bites a man, that's not news; if a man bites a dog, that's news." (Kalau anjing menggigit orang, itu bukan berita; kalau orang menggigit anjing, itu baru berita.) 4

Sehubungan dengan definisi tersebut, seorang wartawan Amerika, George C. Bastian, bahkan telah membuat definisi yang menarik yang disebutnya sebagai "News Arithmatic," sebagai berikut:

1 ordinary man + 1 ordinary life = 0 (artinya bukan berita) 1 ordinary man + 1 extra-ordinary adventure = NEWS 1 ordinary husband + 1 ordinary wife = 0

1 husband + 3 wife = NEWS (di mana poligami dilarang) 1 bank cashier + 1 wife + 1 children = 0

1 bank cashier - $10.000 = NEWS

1 chorus girl + 1 bank president - $10.000 = NEWS 1 man + 1 auto + 1 gun + 1 quart = NEWS

1 man + 1 achievement = NEWS

1 ordinary man + 1 ordinary life of 79 years = 0 1 ordinary man + 1 ordinary life of100 years = NEWS

Sistem Pers Kita Sekarang

Pertanyaan kita sekarang adalah, definisi mana yang akan kita pakai tentang berita sebagai pegangan? Definisi menurut Pers Barat atau menurut Pers Timur?

2. Berita adalah segala sesuatu yang tidak biasa. 3. Digabungkan dengan unsur kejutan.

4 . Sudah tentu, definisi “if a dog bites a man, it’s not news” tidak berlaku jika yang digigit itu

orang besar atau orang terkenal (prominent person) seperti presiden, menteri atau orang besar lainnya.

(20)

Sejak 17 Agustus 1945, yakni sejak proklamasi kemerdekaan, sampai 5 Juli 1959, yakni ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk "Kembali ke UUD-45"5, pers kita selama itu pada dasarnya

diselenggarakan dengan sistem yang mirip-mirip sistem Barat. Sekalipun pada awalnya sebagai ''pers perjuangan" mendapat banyak bantuan dari pihak pemerintah.

Sejak 5 Juli 1959, selama 6 tahun sampai Oktober 1965, Indonesia yang masih berada dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno kemudian dijalankan berdasarkan gagasan Demokrasi Terpimpin. Sejak itu struktur politik dan kemasyarakatan Indonesia pun berubah secara mendasar. Dan, struktur politik yang baru ini membawa pula perubahan yang sama mendasarnya dalam sistem pers kita. Surat izin Tjetak (SIT) yang pada masa SOB (Staat van Oorlog en Beleg = Keadaan Bahaya dan Darurat Perang) pada tahun-tahun sebelumnya (1957-1958) diberlakukan, pada masa setelah kembali ke UUD 1945 tetap berlanjut.6

Pada saat itu lembaga SIT merupakan yang pertama kalinya dipakai di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan, dalam buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, yang diedit oleh Abdurrachman Surjomihardjo dari LIPI tetapi karena sesuatu hal buku ini tidak jadi diedarkah untuk umum, dituturkan bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda saja yang pada tahun 1920 meminta nasihat kepada Dewan Hindia (Raad van Indie) untuk memberlakukan sistem lisensi (izin terbit) bagi pers Hindia Belanda ditolak.7

Dewan pada prinsipnya menolak karena, "Kebebasan pers adalah sebagai akibat kebebasan hati nurani yang tak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat yang ada, sehingga tak dapat dihalangi. Yang baik 5 . Sejak 17 Agustus 1945 s/d 1949 di Negara kita berlaku UUD ’45; pada tahun 1950-1951 ketika

negara kita berbentuk negara serikat bernama Republik Indonesia Serikat (RIS) berlaku UUD RIS; dan sejak tahun 1951 s/d 5 Juli 1959 konstitusi yang berlaku adalah UUD Sementara RI yang sangat liberal.

6 . S. Tasrif, “Idealisme Seorang Wartawan”, daam Visi Wartawan ’45, Penerbit Yayasan Media

Sejahtera, 1992.

7 . Uraian S. Trasif, “Idealisme Seorang Wartawan”, dalam Visi Wartawan ’45, Penerbit Yayasan

(21)

menderita oleh yang jahat. Dewan lebih memilih tindakan penangguhan (pembreidelan) penerbitan (Saran Dewan Hindia tanggal 19 Maret 1920 No. XXXVII).8

Selama rezim Soekarno itu pers Indonesia berpretensi seakan-akan Indonesia menganut sistem pers bertanggungjawab sosial, namun pada kenyataannya yang dijalankan adalah sistem pers otoriter terselubung. Berita tidak lagi semata-mata harus menarik tetapi harus memiliki tujuan yang sejalan dengan cita-cita bangsa untuk menyelesaikan revolusi nasional. Di samping diberlakukannya lembaga SIT (Surat Izin Tjetak), pembredelan dan pemberangusan terus berjalan terhadap penerbitan-penerbitan pers yang tidak sejalan dengan politik pemerintah.

Selama pemerintahan Orde Lama di bawah demokrasi terpimpinnya Soekarno itu, kebebasan pers benar-benar dipasung. Kebebasan pers hanya merupakan angan-angan, surat kabar setiap harinya hanya memuat pidato-pidato para pejabat. Politik seakan-akan wilayah yang hanya boleh dijamah dengan kepala tertunduk. Jika suatu berita politik dianggap tidak menguntungkan pemerintah bisa saja berita tersebut dikategorikan sebagai anti revolusi, mengancam keselamatan negara, atau subversif. Simaklah apa yang dikemukakan Maladi pada tanggal 17 Agustus 1959 yang enak didengar telinga tetapi sebenarnya merupakan peringatan terselubung dari pemerintah kepada insan pers. yang tidak patuh pada cita-cita revolusi nasional. Waktu itu Maladi menjabat sebagai Menteri Muda Penerangan RI:9

"Di dalam alam kembali ke UUD-45, Pers mempunyai tanggung jawab yang sama dengan Pemerintah di dalam menghimpun potensi rakyat. Hak kebebasan individu diselaraskan dengan hak kolektif seluruh bangsa di dalam melakukan kedaulatan rakyat. Kebebasan berpikir, menyatakan pendapat dan berusaha yang dijamin oleh UUD'45, harus mengenal batas-batas: keselamatan negara, kepentingan bangsa, ketatasusilaan dan kepribadian Indonesia, serta tanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa."

8. ibid, S. Trasif.

9 . Pidato Menteri Penerangan RI pada Peringatan Proklamasi 17 Agustus 1959, publikasi

(22)

Pada 1 Oktober 1965, sehari setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S) 1965, sistem dan kehidupan politik di Indonesia lagi-lagi mengalami perubahan. Tetapi perubahan politik yang terjadi hanya mengubah sistem pers kita dari sistem pers otoriter yang terselubung ke sistem pers otoriter yang terang-terangan. Jenderal Soeharto yang berhasil mengambil alih kekuasaan atas kendali pemerintahan dan kemudian dikukuhkan menjadi Presiden RI ke-2 pada tahun 1967, mencanangkan untuk melaksanakan UUD'45 secara murni dan konsekuen. Tetapi, pasal 28 konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat itu tetap saja tidak dijalankan secara konsekuen. Pers Indonesia selama 32 tahun (1965-1997) di bawah rezim Orde Baru Soeharto itu tetap terpasung. Bahkan dipasung untuk menjadi "Pak Turut." Rambu-rambu untuk membatasi kebebasan pers seperti SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) untuk penerbitan pers dan sensor terhadap pemberitaan pers masih ditambah dengan praktek instansi militer yang sewaktu-waktu "meminta" ditangguhkannya pemuatan suatu berita hanya melalui telepon. Jika suatu media tidak mematuhi "permintaan" ini, maka pemerintah dapat mencabut SIUPP media bersangkutan. Di bawah rezim Orde Baru, pemerintah Indonesia benar-benar menganut sistem pers otoriter yang keras sekeras pemerintah rezim sebelumnya.

Setelah bangsa Indonesia memasuki era reformasi sejak dilengserkannya Soeharto dari kursi kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998, sistem pers Indonesia pun kembali ke keadaannya ketika kita berada di era 1945-1959. Itu adalah masa yang sedikit banyak merupakan masa kebebasan berpikir tidak dirintangi oleh rambu-rambu sensor, izin-izin, atau larangan-larangan, meskipun pada tahun 1957 mulai muncul lembaga SIT di Jakarta.10

Suasana reformasi sedikit banyak telah mempengaruhi paradigma para petinggi negara kita tentang arti kebebasan mengeluarkan pendapat. B.J. 1 0.Ini disebabkan oleh kebijakan “bunuh didri” Pimpinan PWI Cabang Jakarta waktu itu yang

mengusulkan kepada Pimpinan KMKB-DR (Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya) agar diberlakukan izin terbit bagi penerbitan pers. Pada waktu itu memang PWI merasa “terganggu” dengan bermunculannya secara bebas penerbitan-penerbitan pers yang mencari untung dengan menyiarkan berita-berita dan tulisan-tulisan tentang seks, pembunuhan, gossip, dan sebagainya yang kelewat batas.

(23)

Habibie yang pada 21 Mei 1998 itu menggantikan Soeharto sebagai presiden boleh dikatakan merupakan Presiden RI pertama yang giat membuka kran-kran demokrasi. Pada masa pemerintahannyalah undang-undang yang membatasi kemerdekaan pers dicabut, termasuk pencabutan peraturan tentang SIUPP, sebagai gantinya diberlakukan UU Pers No. 40 Th. 1999 yang menjamin adanya kebebasan pers, bahkan dalam pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan bahwa pers nasional berperan dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (people's right to know) karena hak memperoleh informasi itu, demikian bunyi butir (b) konsiderannya, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki.11

Sejak itu, pers Indonesia kembali ke sistem pers ketika negara kita menganut sistem demokrasi parlementer pada tahun 1950-an, yaitu sistem pers liberal Barat.12 Bahkan sistem pers kita di era reformasi ini sedemikian

bebasnya sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa pers kita sudah tidak lagi terikat oleh etika dan rasa tanggung jawab atas kepentingan masyarakatnya. Padahal, di negara asalnya sendiri, Amerika Serikat, pers liberal sudah ditinggalkan sejak tahun 1956 dan kini negara itu bahkan menganut sistem pers yang bertanggungjawab sosial.

Sampai kapan keadaan bebas tak terbatas ini berlangsung dalam kehidupan pers kita, kita tidak tahu. Akankah kemudian pers kita terjerumus lagi ke.keadaannya seperti ketika rombongan PWI Cabang Jakarta beramai-ramai mendatangi penguasa militer setempat untuk membatasi kebebasannya sendiri dengan mengusulkan diberlakukannya izin terbit? Kita juga tidak tahu. Yang kita tahu adalah bahwa proses sejarah seperti yang terjadi di Barat. mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus kita lalui, tetapi jangan dilalui dengan cara yang tidak demokratis seperti yang dilakukan Pimpinan PWI Cabang Jakarta pada tahun 1957 lalu itu.

11. Undang-Undang RI No. 40/1999 tentang Pers.

12. Demokrasi parlementer didasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

(Periode demokrasi parlementer ini secara formal berlaku dari pertengahan tahun 1950 sampai kita kembali ke UUD 1945 yang diberlakukan dengan Dekrit Presiden

(24)

Berita Menurut Sistem Pers Era Reformasi

Benarkah pers di era reformasi ini tidak mengenal etika dan kurang tanggung jawab sosialnya dalam menggunakan kebebasannya? Dan benarkah sistem pers kita sekarang mengarah ke sistem pers liberal Barat? Tentang sistem pers kita sekarang yang berubah arah ke sistem pers liberal Barat, menang ya. Tetapi, tentang soal pers kita sekarang yang tidak mengenal etika dan kurang tanggungjawab sosialnya dalam menggunakan kebebasannya barangkali bisa diperdebatkan. Masalahnya, integritas pers sekarang memang agak tercemar oleh pemain-pemain baru yang bermunculan tanpa merasa terikat oleh rambu-rambu etika dan tanggungjawab yang sebelumnya ditetapkan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebagai organisasi profesi yang dulu memiliki otoritas terhadap semua wartawan maupun pemilik media massa. Namun, baiklah kita tidak akan memperpanjang pembahasan tentang soal ini, yang penting kita mengetahui bahwa sistem pers kita setelah memasuki era reformasi ini menganut sistem pers liberal Barat sesuai dengan sistem politik dan struktur masyarakatnya yang telah berubah menjadi lebih "demokratis" sejak kekuasaan Soeharto tumbang.

Apalagi, akar-akar sistem pers Barat ini sudah ada di dunia pers kita sejak awal kemerdekaan ketika negara kita berada dalam sistem demokrasi liberal (1945-1959). Dari segi perusahaannya, kita melihat bahwa dalam perkembangannya perusahaan pers kita sejak dulu sudah saling bersaing satu sama lain, kemudian dalam batas-batas tertentu terdapat seleksi berdasarkan persaingan bebas. Persaingan bebas pada batas-batas tertentu ini menyebabkan yang kuat, yang berorganisasi baik, cerdik dan ditopang oleh modal besar akan tumbuh dan menjadi besar. Yang tidak kuat, tidak baik organisasinya dan tidak memiliki dukungan kuat, akan gulung tikar.

Dalam segi jurnalistiknya, terutama dalam hal pemberitaan, sistem pers kita selama ini pun mirip-mirip sistem Barat, misalnya dalam caranya memilih dan menyajikan berita, terutama dengan maksud menarik perhatian pembaca, dengan latar belakang - sampai batas-batas tertentu - berupa pertimbangan-pertimbangan komersial untuk meraup oplah atau tiras yang besar.

(25)

Dalam segi politik, kita melihat pers kita selama ini mirip-mirip pers Barat, atau lebih tegas lagi, mirip sistem pers Belanda dengan organisasi-organisasi politiknya yang banyak itu yang masing-masing memiliki, atau sekurang-kurangnya mempengaruhi, suratkabar.

Oleh karena itu, dalam menggunakan definisi tentang berita pun akan lebih sesuai jika pers kita berpegang pada defmisi berita berdasarkan sistem pers Barat. Definisi adalah batasan-batasan pengertian tentang sesuatu. Dan defmisi tentang berita hendaknya disesuaikan dengan sistem pers dalam masyarakat bersangkutan

Dengan dasar tersebut, maka beralasanlah sekarang bagi kita untuk menyajikan definisi berita versi Barat menurut The New Grolier Webster International Dictionary yang menyebutkan bahwa berita adalah (1) Current information about something that has taken place, or about something not known before', (2) News is information as presented by a news media such as papers, radio, or television; (3) News is anything or anyone regarded by a news media as a subject worthy of treatment.13

Definisi lainnya adalah seperti yang dikemukakah oleh Edward Jay Friedlander dkk. dalam bukunya Excellence in Reporting: "News is what you should know that you don't know. News is what has happened recently that is important to you in your daily life. News is what fascinates you, what excites you enough to say to a friend, 'Hey, did you hear about ...? News is what local, national, and international shakers and movers are doing to affect your life. News is the unexpected event that, fortunately or unfortunately, did happened."14

1 3.Terjemahannya: (1) Informasi hangat tentang sesuatu yang telah terjadi, atau tentang sesuatu

yang belum diketahui sebelumnya; (2) Berita adalah informasi seperti yang disajikan oleh media semisal suratkabar, radio, atau televise; (3) Berita adalah sesuatu atau seseorang yang dipandang oleh media merupakan subjek yang layak untuk diberitakan.

1 4.Berita adalah apa yang harus anda ketahui yang tidak anda ketahui. Berita adalah apa yang

terjadi belakangan ini yang penting bagi anda dalam kehidupan anda sehari-hari. Berita adalah apa yang menarik bagi anda, apa yang cukup menggairahkan anda untuk mengatakan kepada seorang teman, ‘Hey, apakah kamu sudah mendengar….?’ Berita adalah apa yang dilakukan oleh pengguncang dan penggerak tingkat local, nasional, dan internasional unruk mempengaruhi kehidupan anda. Berita adalah kejadian yang tidak disangka-sangka yang, untungnya atau sayangnya, telah terjadi.

(26)

Mitchell V. Charnley lain lagi dalam mendefmisikan berita. "News," katanya, "is the timely report of facts or opinion that hold interest or importance, or both, for a considerable number of people."15

Bahkan, karena berita ini ada di segala penjuru dunia, Tom Clarke, dulu direktur sebuah institut jurnalistik di London, mengatakan bahwa "menurut cerita", perkataan NEWS itu singkatan dari North, .East, West, dan

South, suatu cerita yang meskipun tidak dapat dibuktikan kebenarannya,

namun menunjukkan maksudnya, yaitu bahwa berita adalah "untuk memuaskan nafsu ingin tahu" pada manusia dengan memberikan kabar-kabar "dari segala penjuru".

Tetapi, dari semua definisi itu, jika kita sederhanakan, maka akan kita peroleh suatu definisi yang mudah dipahami, yaitu bahwa berita adalah informasi aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik perhatian orang.

BERITA DAN MASYARAKATNYA Berita dan Kebebasan Pers

Ketika buku ini ditulis, rakyat Indonesia untuk pertama kalinya melakukan pemilihan presiden dan wakil presiden, secara langsung setelah sebelumnya memilih wakil-wakil mereka di lembaga-lembaga perwakilan. Peristiwa ini berlangsung pada 5 April 2004 yang merupakan Pemilihan Umum yang ke-9 dalam sejarah Republik Indonesia. Berbeda dengan pemilihan presiden dan wakil presiden sebelumnya, yang dilakukan melalui wakil-wakil rakyat di Majelis Permusyawaratan Rakyat, pemilihan kali ini untuk pertama kalinya dilakukan secara langsung oleh rakyat pada 5 Juli 2004. Ada lima calon yang ikut memperebutkan kursi kepresidenan periode 2004-2009, yakni Megawati Soekarnoputri berpasangan dengan Hasyim Muzadi sebagai wakilnya, Amien Rais berpasangan dengan Siswono Yudohusodo sebagai wakilnya, Susilo Bambang Yudhoyono berpasangan dengan Jusuf Kalla sebagai wakilnya, Wiranto berpasangan dengan Solahuddin Wahid, dan Hamzah Haz berpasangan dengan Agum Gumelar. 1 5.“Berita adalah laporan aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik atau penting, atau

(27)

Pemilihan umum (pemilu) 2004 diikuti 24 partai politik, lebih sedikit dari pemilu sebelumnya, tahun 1999, sebanyak 48 partai. Pada pemilihan umum pertama kali tahun 1955, ketika sistem politik Indonesia didasarkan pada UUD Sementara yang bersifat liberal itu, pemilu diikuti 55 partai.16

Sebagai warganegara yang baik, anda tentu ingin memilih secara bijaksana, bukan? Dalam hati anda tentu bertanya-tanya:

Tepatkah saya jika saya memilih partai A? Apakah dengan memilih calon ini atau memilih partai A ekonomi Indonesia akan menjadi lebih baik? Apakah dengan memilih calon ini atau memilih partai B pekerjaan lebih mudah didapat?

Bagaimana anda mendapat informasi yang anda perlukan agar anda dapat mengambil keputusan yang tepat?

Banyak sumber informasi yang bisa anda peroleh. Salah satunya adalah informasi dari mulut ke mulut. Ini bisa anda dapatkan di tempat pekerjaan anda, di terminal-terminal, dalam obrolan santai di warung-warung kopi, dalam obrolan santai dengan teman, dengan tetangga, dan lain-lain.

Tetapi, sebagai warga masyarakat modern, anda tentunya mencari informasi ini pertama-tama dari media massa seperti surat kabar, radio, atau televisi. Dari media massa ini mengalir 1001 macam informasi yang diperlukan warga tentang berbagai masalah, mulai dari masalah politik, ekonomi, keamanan sampai masalah tetek-bengek. Dari surat kabar atau radio anda bisa mengetahui jadwal keberangkatan dan jadwal tiba pesawat terbang maupun kereta api. Inilah yang dicita-citakan pers di seluruh dunia, yakni memberikan informasi selengkap-lengkapnya kepada khalayak ramai, membantu khalayak mendapatkan haknya untuk mendapatkan informasi yang benar dan lengkap atau disebut juga "people's right to know."

Dengan mendapatkan informasi yang benar, khalayak akan mampu mengambil keputusan yang tepat untuk dirinya maupun masyarakatnya dan bangsanya demi kemajuan masyarakat dan bangsa itu sendiri. Dan hal ini tidak akan tercapai jika pers tidak bebas dalam memberitakan apa-apa yang 1 6.Lihat Vincent Wangge, SH, “Direktori Partai Politik Indonesia”, Permata Media Komunika,

(28)

benar atau apa-apa yang dianggap tidak benar yang dijalankan oleh suatu institusi, baik institusi pemerintah maupun swasta.

Itulah sebabnya, di negara-negara demokratis, hak-hak demokrasi rakyat seperti hak kebebasan berfikir, menyatakan pendapat dan berusaha dilindungi oleh undang-undang. Perlindungan terhadap kebebasan pers pun dicantumkan secara tegas dalam konstitusi. Selama hampir setengah abad sejak Dekrit Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD '45 dicanangkan pada 5 Juli 1959, pers Indonesia sudah berjuang keras, meskipun dengan berbagai cobaan yang berat, untuk mendapatkan kebebasannya dengan segala macam manuver politiknya. Tetapi, baru di penghujung abad ke-20 dan di awal abad ke-21 ini pers kita mendapatkan jaminan undang-undang dalam melaksanakan kebebasan persnya dengan disahkannya Undang-Undang No. 40 tahun. 1999 dan diterimanya Amandemen ke-2 UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Seperti dikemukakan Mitchel V. Charnley17 Kebebasan pers itu bukan

berarti, "Government, keep your hands-off!"18 Tetapi artinya, "Keep your

hands off so that the media may help the people to preserve the democratic system.”19 Menurut Charnley, kebebasan pers adalah sarana, bukan tujuan;

pelindungnya adalah publik, bukan penerbit. Publik atau rakyat dalam hal ini diwakili oleh undang-undang dan aparat penegaknya.

Kebebasan Pers Belun Terjamin

Ketika buku ini ditulis, pers Indonesia tengah diramaikan oleh kasus pemimpin redaksi Harian Rakyat Merdeka, Karim Paputungan, yang dijatuhi hukuman lima bulan penjara oleh hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan pada tanggal 9 September 2003. Kasus delik pers20 ini diajukan ke pengadilan

gara-gara pemuatan foto parodi Akbar Tanjung di Harian Rakyat Merdeka 17. Mitchel V. Charnley, Reporting, Holt, Rinehart and Winston, third edition, 1975

18. "Hey Pemerintah, jangan ikut campur!"

19. "Jangan ikut campur sehingga media dapat membantu'rakyat memelihara

(29)

edisi 8 Januari 2002 yang memperlihatkan bagian tubuh bertelanjang dada dan penuh keringat.21 Foto tersebut merupakan ilustrasi dari berita berjudul

"Akbar Sengaja Dihabisi. Golkar Nangis Darah."

Karim oleh Pengadilan dianggap bersalah melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP, yang antara lain berbunyi: dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan.

Selain kasus di atas, pers Indonesia juga meratap ketika hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan dilakukannya sita jamin atas rumah tinggal Gunawan Muhamad, pemimpin umum Majalah Berita Tempo, dan atas kantor Majalah Tempo. Rumah Gunawan disita jamin merespon pengaduan bos Grup Artha Graha, Tomy Winata, sehubungan pernyataan Gunawan yang menyatakan, " ...Jangan sampai Republik ini jatuh ke tangan preman." Pernyataan ini dianggap Tomy sebagai pencemaran nama baiknya.

Sedangkan sita jamin atas kantor Tempo dilakukan untuk menindaklanjuti vonis terhadap Pemimpin Redaksi Tempo, Bambang Harimurti dan dua wartawan Tempo, Ahmad Taufik dan Tengku Iskandar Ali, yang diadukan Tommy atas tuduhan pemuatan berita bohong Majalah Tempo berjudul "Ada Tommy di Tenabang" (3-9 Maret 2003).

Gunawan sama dengan Karim dianggap bersalah telah melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP, yakni dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan. Dan, gugatan perdata Tommy pun kepada Gunawan di pengadilan perdata dikabulkan hakim dengan munculnya perintah sita jamin tersebut.

20. Delik Pers = pelanggaran hukum oleh pers. Lihat lebih lanjut Bab IV tentang

Delik Pers

2 1. Kemerdekaan Pers Indonesia Setengah Hati, oleh Leo Batubara, Ketua

Pelaksana Harian SPS dan Ketua Komisi I Dewan Pers Urusan Pengaduan Masyarakat, dimuat dalam Rakyat Merdeka secara serial dalam edisinya tanggal 18, 19, 20 September 2003.

(30)

Nasib kedua wartawan Tempo tadi lebih mengenaskan lagi, mereka didakwa telah melanggar Pasal XIV ayat (1) dan (2) UU No. 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Pasal 55 ayat (1) ke-1 e KUHP. Ancaman hukuman untuk palanggaran tersebut maksimal 10 tahun. Kedua wartawan itu juga didakwa melanggar Pasal 310 dan 311 KUHP tentang penghinaan.

Selain kedua kasus tersebut, pers Indonesia juga mengalami cobaan dengan diadukannya penanggungjawab Harian Rakyat Merdeka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan tuduhan telah menyerang kehormatan Presiden Megawati. Jaksa penuntut menggunakan Pasal 134 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, subsider melanggar pasal 137 ayat (1) KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Dari ketiga kasus tersebut kita pun mengetahui bahwa meskipun kebebasan pers Indonesia dijamin oleh konstitusi maupun undang-undang, namun pada pelaksanaannya masih saja mengalami hambatan. Hambatan itu tidak lain datang dari produk-produk hukum kolonial yang tercantum dalam pasal-pasal KUHP yang sampai sekarang masih tetap dipertahankan dan dari sikap pemimpin-pemimpin bangsa sendiri yang tidak mau memberikan contoh untuk menciptakan preseden yang baik.22 Demikian pula, sebagian besar para

hakim kita tidak memiliki semangat inovatif yang diperlukan untuk membangun hukum yang lebih maju melalui keputusan-keputusannya.

Kita bisa menyimak misalnya UU Pers No. 40/1999 itu mengamanatkan bahwa (1) pers nasional antara lain mempunyai fungsi kontrol; (2) berperan melakukan pengawasan melalui kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Undang-undang pers itu juga menugaskan Dewan Pers untuk melindungi kemerdekaan pers, dan memberikan pertimbangan serta mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Dengan dikeluarkannya UU Pers No. 40/1999 tersebut, apalagi diperkuat oleh Amandemen ke-2 UUD'45, seharusnya pelanggaran-2 pelanggaran-2.Krisna Harahap, S.H., M.H., Rambu-Rambu di Sekitar Profesi Wartawan, PT Grafiti Budi Utami, 1996.

(31)

pelanggaran yang menyangkut kinerja pers hendaknya tidak lagi dikenakan pasal-pasal KUHP yang berjiwa kolonial itu. Hakim dapat saja memelopori gerakan ke arah itu dengan menjatuhkan sanksi-sanksi yang didasarkan pada UU Pers itu saja. Dan, keputusan hakim semacam ini bisa dijadikan sebagai preseden hukum yang ideal yang mengarah kepada yurisprudensi.23 Kemajuan

hukum semacam inilah sebenarnya yang didambakan oleh bangsa ini, sehingga hukum yang bercita-cita menegakkan keadilan bisa tercapai.

Tetapi, demikianlah, tokoh-tokoh politik kita maupun para hakim kita tampaknya kurang memahami apa artinya memberikan kepeloporan dalam fungsinya masing-masing, yang dapat membawa bangsa ini ke tahap yang lebih maju. Seperti Presiden Megawati dan Ketua DPR Akbar Tanjung, misalnya, seharusnya kedua pemimpin bangsa itu memberikan contoh kepada rakyatnya untuk memberdayakan Dewan Pers dengan mengupayakan penyelesaian kasusnya sesuai dengan amanat UU Pers. Tetapi, Presiden Megawati maupun Akbar Tanjung langsung mengadukannya ke pengadilan dan hakim pengadilan yang tidak mau memahami perkembangan zaman dan mau gampangnya saja langsung menerapkan pasal-pasal KUHP. Padahal, pemerintah kolonial Belanda merancang pasal-pasal KUHP tentang delik pers itu bukan untuk melindungi kemerdekaan pers, melainkan untuk memenjarakan siapa saja yang berani mengritik pemerintah. Sebab itu, masyarakat pers Indonesia mendesak agar UU Pers No.40/1999 dijadikan sebagai lex specialis, sehingga sesuai dengan asas hukum lex specialis derogate lex generalis, maka UU Pers ini dapat menyampingkan undang-undang lainnya sepanjang menyangkut delik pers. Sesungguhnya kalau menyimak kembali kepada putusan kasasi pada 12 April 1993 atas kasus PT Anugerah Langkat Makmur yang memperkarakan Harian Garuda Medan, hakim di Indonesia pernah memberlakukan UU Pokok Pers (UU Pokok Pers tahun 1960) sebagai lex-specialis. Kala itu, majelis hakim kasasi yang diketuai M.Yahya Harahap menolak gugatan pencemaran nama baik PT 2 3. Keputusan hakim yang sudah mendapatkan kekuatan hokum yang tetap yang dapat

dipakai oleh hakim-hakim lain untuk dasar mengambil putusan dalam suatu perkara. Jadi, yurisprudensi tersebut mempunyai kekuatan yang sama dengan sebuah pasal undang-undang.

(32)

Anugerah Langkat Makmur dengan alasan penggugat belum melakukan hak jawab.24

Namun dibalik harapan tersebut, dunia pers Indonesia pada 13 Mei 2004 dikejutkan dengan sebuah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang cukup kontroversial atas vonisnya yang menghukum majalah Trust untuk membayar ganti rugi Rp 1 miliar kepada Direktur PT Petindo Perkasa John Hamenda. Majalah bisnis dan hukum yang menurunkan beritanya yang berjudul "Komplotan Pembobol BNI" dianggap melawan hukum dengan mencemarkan nama baik. Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan hakim ketua Tjitjut Sutiarso, majalah Trust dinilai menyiarkan informasi yang tidak sah dianggap benar. Hal lain, Trust dinilai telah melanggar hak subjektif penggugat karena dalam pemberitaannya tidak menggunakan inisial, melainkan menyebut nama lengkap penggugat.

Reportase investigatif majalah Trust berawal dari fotokopi hasil audit internal Bank BNI yang diperoleh wartawannya, kemudian dilakukan penyelidikan lebih jauh dan hasilnya dimuat pada edisi 52, 1-7 Oktober 2003.

Majalah Trust bertahan untuk tidak membuka sumber yang memberikan fotokopi hasil audit internal, karena sesuai dengan kode etik jurnalistik, wartawan wajib melindungi sumbernya, kecuali demi kepentingan umum, sumber tersebut dapat dibuka. Demi kepentingan umum itupun harus ditetapkan oleh suatu putusan pengadilan.25

Tentang kasus Rakyat Merdeka, seseorang Dewan Anggota Pers Leo Batubara bercerita mengenai kasus serupa di Jerman.26 “…ketika delegasi

Indonesia berdiskusi tentang The Task and Works of the Association of German Journalistists di Bonn tanggal 19 September 2003, salah seorang dari pengurus Persatuan Wartawan Jerman, Michael Klehm, mengemukakan bahwa bila media Jerman memuat foto Perdana Menteri Jerman bersama seluruh anggota kabinetnya dengan caption yang berbunyi The Traitors (Pengkhianat), ini dinilai tidak melanggar kode etik pers. Alasannya, caption 24. Lihat Koran Tempo, “MA Jangan Ragu Keluarkan Perma Lex Specialis”, 7 Mei 2004

25. Lihat Kotan Tempo, “Majalah Trust

(33)

tersebut dianggap sebagai penilaian atas kinerja Pemerintah.

“Sorenya delegasi Indonesia bertemu dengan wakil Dewan Pers Jerman (Deutscher Presserat), Mr. Ella Wassink. Dia menyerahkan kopi foto montase gambar sampul depan Majalah Stern edisi 16 Mei 2002 yang memuat gambar utuh Perdana Menteri Gerhard Schroeder dalam posisi telanjang bulat. Hanya saja bagian alat kelaminnya ditutupi dengan selembar daun. Caption-nya: ‘Kebenaran yang telanjang. Dapatkah Schroeder menang?’

“Bagaimana Schroeder menanggapi gambar ini dan bagaimana peranan dewan pers? Perdana Menteri Schroeder sama sekali tidak mengadukan majalah tersebut ke pengadilan,” tulis Batubara. “Tetapi, sejumlah warga negara mengadukan majalah tersebut ke Dewan Pers Jerman. Dalam sidangnya tertanggal 18 Juni 2002, Dewan Pers memutuskan: ‘Dewan Pers menolak pengaduan itu sebagai tidak berdasar.’ Menurut pendapat Dewan Pers, foto montase tersebut, Schroeder. Juga tidak merendahkan institusi pemerintah federal. Lagipula, Dewan Pers berpendapat pemuatan foto itu sekedar satire yang diperbolehkan dan terkait dengan berita dalam edisi yang sama. Foto itu mengacu kisah dongeng tentang The Emperor New Clothes dan Gerhard Schroeder berperan sebagai ‘penguasa tidak terpuji’ yang berpakaian hanya sehelai daun ara. Dari segi kode etik, pemuatan gambar itu dinilai tidak melanggar kode etik pers Jerman.”

Bandingkan cerita diatas dengan ketiga kasus dakwaan delik pers yang dialami para wartawan Majalah Tempo dan Harian Rakyat Merdeka itu. Bandingkan pula sikap para petinggi kita dengan sikap petinggi di Jerman tersebut. Dari sini saja kita sudah dapat menilai betapa terbelakang kita dalam sikap dan betapa miskin kita dalam idealisme untuk meningkatkan diri menjadi bangsa yang demokratis. Dan, di sinilah peran pers diperlukan untuk menjalankan fungsinya yang mendidik.

Unsur Layak Berita

Referensi

Dokumen terkait

Penyajian berita pada media massa termasuk berita kriminal pembunuhan pada harian Pekanbaru MX harus bertolak dari Kode Etik Jurnalistik (KEJ), sehubungan dengan

Masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana penggunaan bahasa jurnalistik dalam penulisan naskah berita di Radio Tirilolok Swara Verbum FM

berita diatas, dimana tidak terdapat kesalahan dalam penulisan bahasa jurnalistik radio baik pada. kalimat singkat,

Simpulan dari penelitian tentang Analisis Penerapan Kode Etik Jurnalistik dalam Berita Kekerasan Seksual Anak pada Detik.com, Tempo.co, dan Okezone.com bisa dilihat dari

Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan penulis berita atau orang yang bekerja dibidang jurnalistik, yang bertujuan untuk memberikan informasi

Magang Jurnalistik Fotografi Jurnalistik MK KONVERSI Analisis Kesalahan Berbahasa 10 Menyusun proyeksi isu liputan Menemui berbagai informan untuk diwawancarai Mencari berita

Acta Diurna ini merupakan alat propaganda pemerintahan Romawi yang memuat berita-berita mengenai peristiwa- peristiwa yang perlu diketahui rakyat... Tahapan Awal Lahirnya Jurnalistik

Foto Jurnalisti k Foto jurnalistik merupakan sebuah foto yang mengandung berita atau dapat pula dikatakan sebagai berita dalam bentuk foto.. Fotografi jurnalistik biasanya secara