• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tidak ada sesuatu yang sangat berguna untuk hati sebagaimana uzlah (menyendiri) untuk masuk ke pangkuan (medan) tafakkur

Dalam membentuk pribadi muslim yang paripurna dan sampai mampu menyandang predikat insan kamil atau insan rabbani, setiap muslim harus berusaha dengan sungguh-sungguh melalui pendalaman keagamaan atau melaksanakan ibadah dengan kapasitas maksimal dan berusaha menjauhi segala dosa dan maksiat singkat kata mereka berusaha hidup berlandaskan tatanan syariat islam. Mereka berusaha mendekatkan diri kepada Allah swt melalui pelaksanaan bangun malam shalat dan berdzikir. Hasil dari kesungguhannya melahirkan pribadi muslim yang baik, meskipun demikian mereka masih belum mencapai kepuasan dan kedamaian. Mereka masih dibingungkan dengan permasalahan tentang Allah dan permasalahan yang lainnya yang belum teruraikan dengan sepenuhnya. Mereka bertanya dan mengikuti pengajian-pengajian namun mereka belum kunjung mendapat jawaban yang memuaskan hatinya, andai ada jawaban yang benar mereka belum mampu memahami dan menghayati dengan hatinya, mereka baru mengerti secara akal, sementara kemengertian akal akan sebuah ilmu tidak mampu mengantarkannya pada pemahaman hati yang terdalam. Mereka mengkaji kitab-kitab tashauf mereka hanya mengerti verbalnya karena dunia

tashauf bukanlah ilmu yang mampu diungkap dengan deskripsi ilmiah, Rumi berpendapat, “Bisakah

kita memahami MAWAR dari mawar ?”. Mereka telah membaca ratusan jilid kitab tashauf,

sementara akalnya memahaminya namun mereka masih merasakan kekosongan diujung hatinya yang dalam.

Petuah ke 12 ini memberi bimbingan dan petunjuk kepada mereka yang gagal mencari jawaban dengan power akal. Solusi yang ditawarkan petuah ini adalah uzlah yaitu menyendiri atau mengasingkan diri dari keramaian, akal dalam suasana ramai susah untuk berfikir dan mengungkap kebuntuan akal, dalam suasana uzlah hati bisa membantu akal untuk mengarahkannya ke dalam tafakur, uzlah yang disarankan oleh Ibnu Atha bukan merupakan cara hidup yang dilakukan secara berkelanjutan tetapi uzlah adalah salah satu sarana latihan spiritual untuk meneguhkan rohani supaya akal bisa termonitor dengan hati dan mendapatkan cahaya hati, karena akal yang kosong dari cahaya hati tidak mampu mengurai nilai-nilai ketuhanan yang hakiki.

Hati adalah sesuatu yang masuk dalam jajaran rohani, hati yag telah bersih akan mampu memancarkan cahaya pada otak sebagai rumah akal. Akal yang diterangi cahaya hati mampu mengimani perkara ghaib yang sebenarnya tidak dapat diterima secara logis, beriman terhadap perkara ghaib merupakana syarat utama untuk mencapai tauhid yang sebenarnya.

Metode uzlah pernah dilakukan Nabi saw saat beliau berusia 36 tahun, pada masa itu banyak diperbincangkan masalah-masalah ketuhanan terutama oleh para pendeta yahudi dan nasrani, sementara beliau saat menemukan kebuntuan akalnya menempuh jalan uzlah di gua hira, Beliau tinggal selalma beberapa hari bahkan samapi berpuluh-puluh hari meninggalkan kehidupan dan keluarganya. Uzlah dilakukan Nabi berulang-ulang sampai pada akhirnya beliau mendapatkan wahyu pertamanya. Uzlah mendidik Nabi dapat mensucikan hati dan meneguhkannya sehingga hatinya dapat menyinari akal untuk mampu mengurai wahyu yang halus yang dibacakan oleh jibril.

Begitu besar manfaat yang lahir dari uzlah sebagai penempaan spiritual, tanpa latihan yang maksimal sesorang tidak akan mampu masuk ke medan tafakur tentang ketuhanan. Bagi mereka yang memasuki arena ini tanpa penempaan, persiapan dan power maka akan menemukan kebuntuan dan putus asa, apabila memaksakan untuk menembus tembok kebuntuan maka jangan bertanya kepada anai-anai yang berterbangan andai gila melekat dalam dirinya.

Dalam pembelajaran thariqah yang ideal uzlah dilakukan secara sistematik dan priodik, para salik (pelaku thariqah) banyak menghabiskan waktunya di bilik khalwat, uzlah merupakan medan latihan bagi para salik dalam memisahkannya dengan keramaian dan bujuk rayu dunia, karena bagi para pemula masih mudah menerima rangsangan dari luar yang akan membuatnya tergelincir dalam jurang kemaksiatan dan lalai dalam ingat akan Allah swt. Para salik dalam bilik khalwat atau uzlah mereka memperbanyak ibadah dan perenungan serta berusaha bermujahadah serta melawan jala- jala duniawi yang selalu mengikat hatinya. Rutinitas peribadahan dan pelepasan dari dekapan nafsu dapat menjernihkan dinding cermin hati, hati yang bersih akan mampu berkelana di alam malakut atau menerima isyarat-isyarat ghaib, Isyarat yang diterimanya terkadang berupa lintasan tapi cukup untuk menarik minatnya sebagai bahan kajiannya, maka terjadilah diskusi antara fikiran dan dirinya sendiri, pada waktu bersamaan dia sebgai penanya dan penjawab, murid dan mursyid, proses ini disebut dengan tafakur.

Akal timbul pertanyaan sementera akal tidak mampu memberi jawaban maka hati yang telah bersih mampu menyuplay cahaya pada akal sehingga jalan fikiran menjadi terang dan mampu mengurai pertanyaan tadi dengan tegas dan tuntas. Dengan uzlah persoalan pada mulanya sangat sulit untuk diurai namun setelah ada penyinaran dari hati ke akal maka persoalan itu menjadi mudah untuk diurai, hal ini jadi pemicu dan pemacu bagi para salik untuk merenung bertafakur, mereka bersemangat untuk mendiskusikan segala perkara dengan dirinya sendiri dan menghubungkannya dengan Sang Pencipta. Semakin sering mereka bertafakur semakin banyak permasalah yang sulit bisa dimengerti dan semakin terbuka kegelapan yang melingkupi akalnya, mereka mulai memahami tentang hakikat, hubungan antara makhluk dan Khaliknya dan rahasia power Ilahi yang memperjalankan alam semesta.

Rahasia-rahasia pengesaan Tuhan yang diterima hatinya menambah terang hati dan akalnya sehingga menghasilkan natijah (buah fikiran) yang menunjang dalam ketauhidan kepada Allah swt, mereka dapat melihat atsar-atsar Kuasa Allah dalam setiap makhluk, sehingga meyakini bahwa semuanya adalah ciptaan Allah, shibghah-Nya, lukisan-Nya























Shibghah Allah. dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan hanya kepada- Nya-lah Kami menyembah. (Q.S Al-Baqarah : 138)

Tafakur tentang Tuhan akan dapat menghantarkan sang hamba pada nilai-nilai kemakrifatan melalui akal, sementara ketauhidan yang lahir dari akal bisa jadi pengantar untuk mendapatkan makrifat secara ahwal atau dzauk.

Akal dalam mengkaji tentang ketuhanan hendaknya harus mengakui kelemahannya, bahwa tidak mampu menguak keghaiban, maka akal butuh kepada hati untuk membantunya dan hati yang bersih dan mengkilap yang akan mampu membantu akal, semestinya hati harus dibersihkan agar samapai sebening kaca supaya tidak ada hambatan menerima cahaya Ilahi dan memantulkannya kepada akal,

dalam proses pembersihan dan mengkilapkan hati seyogyanya akal tidak perlu banyak mencari hujah, karena akan menghambat pada proses tersebut.

Ibnu Atha menganjurkan uzlah bertujuan untuk pembersihan hati, karena di arena uzlah nafsu akan melemah dan akal akan mundur setapak demi setapak untuk tidak menerima perintah nafsu, apabila sudah mampu menundukan nafsu dan akal maka hati baru menyerap cahaya Ilahi dan mulai mengkilap. Cahaya hati akan menghantarkannya kea lam ghaib dan seandainya alam ghaib sudah terlihat terang, maka akal akan mampu memahami tentang ketuhanan yang tidak dapat dimengerti sebelumnya.

Dokumen terkait