• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUTIARA HIKMAH IBNU ATHAILLAH SEBUAH PENGANTAR WISATA HATI DALAM MEMAHAMI RAHASIA KETUHAANAN DAN KEHAMBAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MUTIARA HIKMAH IBNU ATHAILLAH SEBUAH PENGANTAR WISATA HATI DALAM MEMAHAMI RAHASIA KETUHAANAN DAN KEHAMBAAN"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KITAB AL-HIKAM

MUTIARA HIKMAH IBNU ATHAILLAH

SEBUAH PENGANTAR WISATA HATI DALAM MEMAHAMI RAHASIA KETUHAANAN DAN KEHAMBAAN

MEMET KURNIA, S.Ag S.Pdi

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

Segala puji adalah milik Allah seru sekalian alam yang telah banyak memberikan nikmat kepada makhluk-Nya, Dia tidak pernah merasa rugi dimana diantara makhluk-Nya banyak yang tidak berterimakasih atas apa yang diberikan-Nya, Dia tidak pernah berkurang sedikit pun Kemaha Agungan-Nya dimana banyak makhluk-Nya yang tidak menyembah-Nya dan begitu pula tidak bertambah Kemaha Agungan-Nya dimana banyak diantara makhluk-Nya yang bersujud dan berbakti kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga selamanya terlimpah curahkan kepada penghulu para Nabi, penegak kalimah thayyibah dari masyriq sampai maghrib Nabi Muhammad saw dan semoga rahmat dan salam terlimpahkan pula kepada keluarganya, para sahabatnya dan pengikut-pengikutnya sampai akhir dunia, amin.

Al-Hikam adalah merupakan karya besar seorang sufi tawadu‟ bernama Imam Tajuddin Abu Fadli Ahmad bin Abdul Karim bin Athaillah As-Sakandari, kitab ini mengandung petuah-petuah kehidupan sebagai bekal setiap muslim dalam membantu menemukan kebenaran yang hakiki, namun dalam perkembangan peradaban dan pemahaman akal yang terus melaju meningkat dalam pengkwalitasannya, banyak kaum muslimin yang memandang kitab ini controversi dengan ajaran Islam dan tidak sedikit diantara mereka yang menyatakan bahwa kitab Al-Hikam adalah merupakan kitab yang sesat dan menyesatkan, dan sebagian muslimin yang lainnya menyatakan bahwa al-hikam merupakan sebuah kitab tuntunan untuk membantu menjawab permasalahan yang dihadapinya dalam pendekatan diri kepada Allah swt, sebenarnya terjadi perbedaan pendapat dalam memandang Al-hikam ini wajar terjadi dan tidak perlu untuk dibesar-besarkan. Sementara dalam pandangan penyusun bahwa penilaian terhadap Al-hikam bisa melahirkan beberapa penilaian, tergantung orang tersebut memandang dari sisi mana dan literatur apa yang digunankan sebagai landasan dalam memandang Al-hikam.

Penyusun sendiri memandang Al-hikam ini adalah merupakan sebuah karya yang langka dan sangat luas khasanah ketauhidan yang terkandung di dalamnya, Al-hikam tidak dapat dipandang hanya dengan satu landasan literatur dan rangkaian petuahnya antara yang satu dengan yang lainnya sangat erat kaitannya sehingga dalam memahaminya tidak bisa terpisah dan dipisahkan antara petuah satu dengan yang lainnya, apabila dipisah-pisahkan atau diambil hanya sebagian-sebagian akan melahirkan makna yang jauh dari maksud dan tujuan Ibnu Atha sebenarnya dan terlihat seolah petuah tersebut dapat menyesatkan dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Sebenarnya penyusun mengenal Al-hikam dan rangkain petuahnya baru sekarang-sekarang ini, sementara saat mengangsu ilmu di beberapa pesantren hanya mendengar namanya saja dan kesan-kesan yang terekam dalam fikiran tentang Al-hikam dan ajarannya merupakan monster yang menakutkan untuk digeluti, sehingga tidak menerik perhatian untuk dipelajari.

(3)

Kajian Al-hikam ini sangat jauh dari nilai sempurna karena penyusun menyadari keterbatasan ilmu dan pengalaman yang dimiliki, Al-hikam dalam pengungkapannya penuh dengan bahasa bersayap,

maka untuk memahaminya tidak cukup dengan ilmu hasil dari penela‟ahan dan kajian, namun

sangat diperlukankan pula pengalaman hati yang sering disebut dengan rihlatulqulub yaitu berwisatanya hati dalam menelusuri pemahaman dan kefahaman.

Penyusun kajian Al-hikam ini bukanlah seorang alim yang tawadu‟ dalam tashauf dan thariqah apalagi dalam ilmu syariat, dan bukan seorang asyiq yang sudah mahir berselancar dilautan keindahan Tuhan, apalagi seorang muwahhid yang telah fana dalam Dzat, tapi hanyalah sosok manusia yang hanya memiliki keinginan hari esok lebih baik dari hari ini, namun kenyataan selamanya terdampar dalam belenggu kebingungan dan ketololan diri disahara yang amat luas dan tak pernah tampak dimana ujungnya.

Terakhir penyusun berharap kajian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya penghuni

rumah nestapa “rihlah al-qulub al-ghafilin”. Dan harapan lainnya dari saudara-saudaraku sudi kiranya untuk memberikan kritik dan saran untuk tulisan ini, apabila isi kajian ini ada yang bertentangan dengan pemahaman kesepakatan para penghulu tashauf dan thariqah, maka yang salah adalah tulisan ini.

Semoga Allah melimpahkan Taufiq dan Hidayah-Nya kepada seluruh kaum muslimin. Amin

Wassalam

(4)

1. AMAL DHAHIR DAN KETERGANTUNGAN HATI

“Sebagian dari ciri seseorang yang bersandar pada ikhtiyarnya sendiri (amal dhahir) yakni kurangnya pengharapan dirinya terhadap kurnia Allah saat terjadinya kesalahan dan alfa”.

Beramal / ikhtiar diwajibkan secara syari‟at namun hakikat dari syari‟at melarang bahwa manusia bersandar penuh terhadap amal / ikhtiyarnya. Setiap manusia dalam melakukan amal (perbuatan) sudah barang tentu berjalan dua kiprah amal yaitu amal dhahir dan amal bathin. Dalam petuah Ibnu Atha di atas mengajak untuk merenungi hakikat amal.

Dalam kehidupan banyak orang melakukan amal yang sama namun sudah barang tentu suasana hati mereka pasti berbeda satu sama lainnya, andai amal dhahir tersebut mempengaruhi suasana hati, maka hati tersebut termasuk terpengaruh dengan amalan dhahir, andai hati terpengaruh dengan amal hati yang terpengaruh dengan amal dhahir maka hati itu pun ter masuk dalam hati yang bersandar pada amal dhahir, maka orang yang seperti itu termasuk pada orang yang bersandar pada amal dhahir.

Hati yang telah lepas dari barsandar pada amal dhahir atau bathin adalah hati yang telah sepenuhnya menghadapkan dirinya kepada Allah swt, tanpa membawa permintaan dan tuntutan serta menyerahkan segala urusannya kepada Allah tanpa setitik pun membawa beban dan harapan selain-Nya. Hati yang sudah sampai pada tahapan ini adalah hati yang tidak menjadikan amalnya sebagai alat perniagaan dengan Allah demi mendapatkan sesuatu yang sesuai keinginannya, dan tidak menjadikan amal sebagai perantara antara dia dengan Allah swt, tidak mengukur Kasih Sayang Allah dengan terpenuhinya keinginan duniawinya seolah membatasi kekuasaan Allah sesuai keinginannya. Allah Maha Kuasa tidak akan tunduk dengan tuntutan sang makhluk, segala sesuatu dalam kehidupan berjalan sesuai dengan taqdir-Nya. Para „arifin menyerahkan segala urusannya kepada Allah swt.

Allah berfirman dalam surat Al-Mu‟min ayat 44

“Kelak kamu akan ingat kepada apa yang kukatakan kepada kamu. dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya".

(5)

kepada Allah dan meskipun ada rasa bergantung kepada Allah itu pun bercampur dengan sejuta keraguan.

Petuah Ibnu Atha di atas mengajak manusia untuk melihat jauh ke dalam diri agar memeriksa kondisi hati sejauh mana dan seberat apa ketergantungan hati pada Allah, bagaimana suasana hati seandainya terperosok dalam sebuah alfa dan dosa, jika perbuatan tersebut melahirkan putus asa akan rahmat Allah itu menandakan bahwa ketergantungan hati kepada Allah sangat lemah.

“Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".(Q.S. Yusuf : 87)

Ayat tersebut mengajarkan bahwa orang yang beriman dan berkeyakinan harus tetap bergantung kepada Allah dalam situasi apa pun dan kondisi bagaimana pun, bersandar dan bergantung hanya kepada Allah menjauhkan hati dari rasa putus asa, apabila kehidupan tidak senada dengan keiginan dan harapan atau yang diusahakan seluruhnya di kembalikan pada ketentuan dan taqdir Allah semata, andai hati manusia sudah sampai pada tahapan ini hidup akan terasa indah dan selamanya hari-hari dunia laksana malam pengantin. Terpenuhi atau tidaknya harapan dan keinginan adalah sebatas warna kehidupan semata, susah dan senang hanyalah rona perjalanan anak manusia, berlimpah atau kurangnya harta hanyalah penggenap indahnya lukisan alam , tinggi dan rendahnya jabatan tak jauh hanya pelengkap dan penyempurna pesona. Mereka menganggap taqdir dan ketentuan Allah seluruhnya adalah baik bagi makhluknya dan selamanya

berdo‟a sebagaiman al-qur‟an mengajarkanya peliharalah Kami dari siksa neraka. (Q.S Ali Imran : 191)

Termasuk orang tidak beriman kepada Allah mereka yang menggantungkan segalanya kepada amal perbuatannya baik dalam bentuk usaha dan do‟a, itu semua dilakukannya hanya untuk dirinya sendiri bukan karena Allah, mereka bermaksud dengan amalnya ingin meraih kemakmuran di dunia, perbuatan ibadahnya selalu dikaitkan agar bertambahnya kekayaan dan dihindarkankan dari mara bahaya dan kemelaratan sehingga lahirlah aurad- aurad untuk kemakmuran dan talak bala. Mereka menganggap bahwa taqdir Allah berupa kemiskinan, penyakit dan ajal adalah merupakan musibah yang harus dihindari dan dijauhi sebab akan melahirkan kesengsaraan hidup. Dan sebagian orang mempunyai anggapan bahwa amal kebaikan yang dilakukan akan melahirkan kemuliaan diakhirat dan sebagai surat sakti atau lisensi masuk surga dan di jauhkan dari siksa neraka.

(6)

kemuliaan dan kejayaan mereka merasa bahwa yang di dapatnya adalah karena dirinya sendiri, kuncup kemudian merekah maka hati sudah mulai meramping, dia memandang amal sudah tidak lagi sebagai penentu alur kehidupan atau memandang faidah-faidah untuk dunia maupun akhirat, tetapi sudah dijadikannya sebagai jalan pendekatan diri dengan Allah swt, babak baru sudah dimulai dia hanya berharap kurnia Allah dengan dihantarkan amalnya dan tirai-tirai yang melilit halus dihatinya perlahan-lahan terurai. Orang di tahapan ini baru meniti bahwa amal bisa mengantar pada Allah, maka mereka selalu meningkatkan amalnya seperti dzikir, bangun malam, puasa dll, karena beranggapan bahwa pencapaian ruhani dapat di raih dengan amal ibadah yang tanpa lelah, sehingga apabila mereka terlewat satu amal saja yang biasa dilakukannya atau terperosok dalam jurang dosa dan kemaksiatan maka mereka merasa bahwa Allah jauh darinya. Hal ini merupakan tahap awal dalam meniti tangga menuju Allah.

Bersandar pada amal ini termasuk pula bersandar pada pengetahuan dan kekuatan bacaan-bacaan tertentu seperti halnya amalan, baik dari mistik islami berupa ayat Al-qur‟an dan doa-doa maupun dalam bentuk mantra (jangjawokan –sunda), Mayoritas orang selalu berkeyakinan bahwa atsar (refleksi) yang meluluskan permohonan bersandar pada ayat-ayat atau jampi-jampi sehingga mereka melupakan Allah yang telah menciptakan atsar tersebut.

Bagi mubtadi penempuh jalan Ilahi di atas (yang menyandarkan diri kepada Allah dengan amalnya) mereka terus berusaha meningkatkan amalnya melalui bangun malam, lapar, diam dll, seandainya Allah menghendaki untuk meningkatkan kerohaniannya maka maqam yang ditempuh selanjutnya adalah penerapan makna awal dari

للهاب لاا توق لاو لوح لا

Tiada daya untuk menghindar dari bahaya kesalahan dan tidak ada kekuatan untuk melakukan kebaikan kecuali dengan pertolongan Allah swt

Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali) (Q.S Ar-Rum : 40)

(7)

kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan)

dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya dan Maha Mulia (Q.S An-Naml : 40).

Kondisi hati penempuh jalan Ilahi dalam tahap ini, bahwa semua yang terjadi adalah anugerah Allah dan milik-Nya, sehingga tidak ada celah sedikit pun bagi mereka untuk bersandar dan

berbangga hati dengan amalnya, maqam ini sering disebut dengan maqam „Arifin, mereka

menekankan pada ritual ibadah dengan disiplin yang tinggi tapi tidak berharap dan berkeyakinan bahwa itu amalnya melainkan taufiq dan hidayah Allah swt.

Mereka yang masuk dan berbaur dengan lentur dalam samudera taqdir, menerima segala ketentuan baginya, tidak terlihat bermuram durja saat kenyataan berbenturan dengan harapannya, tidak berduka cita andai ditinggalkan atau kehilangan sesuatu yang berarti bagi manusia, mereka tidak memandang makhluk sebagai musabibul-asbab.

(8)

2. AHLI ASBAB DAN AHLI TAJRID

Keinginanmu untuk tajrid (hanya ibadah tanpa bergantung kasab duniawi) padahal Allah masih meletakkanmu pada barisan orang-orang yang mesti berusaha kasab untuk memenuhi kebutuhanmu sehari-hari maka keinginanmu itu merupakan syahwat (nafsu) yang samar, dan

sebaliknya keinginanmu untuk berusaha kasab, sementara Allah telah menempatkanmu pada barisan orang yang selalu beribadah tanpa kasab, maka keinginanmu itu adalah menurun dari

semangat dan tingkat yang lebih tinggi

Kehidupan dunia menjalani ketentuan yang diatur oleh Allah swt sering disebut “sunatullah”. Hukum yang berlaku untuk dunia adalah hukum kausalitas (sebab akibat). Dalam petuah Ibnu Atha yang pertama tentang ketergantungan manusia pada amal, bersandarnya manusia terhadap amal

adalah sifat dasar (thabi‟i) manusia sendiri, apabila kehidupan dunia ini dilihat dan direnungi

dengan akal serta perangkatnya yakni pengetahuan, kehidupan dunia terlihat begitu tertata dan teratur dari system ke system yang lain termasuk dengan sub-sub sistemnya, maka dengan inilah dunia disebut pula alam asbab, asbab ini terkait erat dengan musabbab dan sudah barang tentu sangat erat kaitannya dengan Sang Musabbibul asbab (Al-Khalik)

Dengan adanya ketentuan keterkaitan antara asbab dan musabbab (sebab akibat) maka manusia dengan akalnya memandang dengan jelas adanya atsar (bekas pekerjaan) dari asabab (sebab) terhadap musabbab (akibat). Dengan kerapihan system asbab dan musabbab membolehkan manusia mengambil manfaat dari anasir dan kejadian alam,

manusia boleh mencari dan menentukan anasir yang menyebabkan penyakit dan mencarikan anasir yang mengandung obat dan menyatakannya sebagai obatnya, manusia

boleh meramalkan cuaca, pasang surut air laut, adanya gelombang dan badai, gempa, gunung meletus dsb, karena system yang mengawali perjalanan anasir alam bersifat sangat rapi dan sempurna membentuk hubungan mata rantai yang padu antara sebab dan akibat.

Allah menciptakan hukum asbab musabbab ini berlaku untuk dunia adalah untuk memudahkan manusia dalam mengatur dan menata kehidupannya di dunia ini. Kekuatan akal dan pancaindera mampu menguak kehidupan antara asbab dan musabbab, sayangnya manusia banyak terbius dengan rapinya system sebab akibat, mengakibatkan manusia bergantung kepada amal (asbab) dalam mendapatkan akibat (musabbab).

(9)

” Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa

. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. . Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,

. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."(Q.S Al-Ikhlas)

Allah sangat benci makhluk-Nya yang mempersekutukan kekuasaan-Nya dengan sesuatu yang lain dari makhluk-Nya berupa anasir alam dan hukum asbab musabbab yang diciptakan dan diatur-Nya. Dia yang telah menata dan merapikan hukum asbab musabbab dan hanya Dia yang mampu merombaknya, perombakan ini sering disebut dengan khawariq al-„adah (diluar kebiasaan).

Untuk mengembalikan pandangan manusia yang salah terhadap hukum asbab musabbab Allah menurunkan 104 kitab disertai dengan mu‟jizat-mu‟jizat bagi para utusan-Nya, tidak adanya kekuatan api untuk membakar saat Nabi Ibrahim as di dalamnya, terbelahnya air laut tatkala terkena pukulan tongkat Nabi Musa, yang sudah mati dapat dihidupkan kembali oleh Nabi Isa, ini memberi pelajaran bagi manusia bahwa tak ada kekuatan bagi selain Allah yang mampu berbuat. Ternyata tidak ada atsar (bekas dari pekerjaan) dari asbab kecuali dalam kendali dan ketentuan Allah swt, semestinya hukum asbab musabbab (sebab akibat) ini dan terjadinya contoh-contoh khawariq

al-„adah dapat mengantar manusia untuk mengenal Tuhanannya termasuk mengenal dirinya sendiri,

bukan sebaliknya justru mempertebal hijab dan menyatakan sesuatu terjadi dikarenakan semata hal yang melatar belakanginya.

Dengan qudrat dan iradah Allah ada sebagian orang yang diselamatkan dari waham asbab musabbab (sebab akibat), mereka menjalani kehidupan masih terlingkupi kehidupan sebab akibat tetapi mereka tidak memandang atsar (bekas perbuatan) musabbab pada rakaian asbab, andai sesuatu asbab mampu mengeluarkan musabbab mereka meyakini bahwa Allah swt yang menyimpan kekuatan pada asbab tersebut dan Allah swt juga mengeluarkan musabbabnya.

kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti (Q.S AlBaqarah : 73)

(10)

Dalam mengikuti alur kehidupannya semua manusia sama, baik ahli tajrid maupun ahli asbab, ahli tajrid menjalani kehidupannya tidak mengekslusifkan diri, mereka makan dan minum, berusaha mencari nafkah, memiliki kekayaan dll sebagimana ahli asbab pun seperti itu, sementara perbedaan diantara mereka adalah terletak pada hati memandang asbab musabbab, hati ahli asbab meyakini kepada kekuatan hukum alam, ahli tajrid melihat kekuasaan Allah dibalik hukum alam, meski ahli asbab meyakini pula kekuasaan Allah tetapi tidak sedalam dan sekuat ahli tajrid.

Dalam melakukan amal antara ahli asbab dan ahli tajrid berbeda dalam motivasi dan niat dalam hati, ahli asbab dalam melakukannya memerlukan pemaksaan diri dan mejaga amal mereka dari sesuatu yang dapat merusak amalnya, mereka berusaha dalam amalnya agar tidak ria, sombong,

merasa diri lebih baik dari orang lain, merasa lebih pintar, lebih kuat, sam‟ah (mencari perhatian

orang lain agar dia disebut orang baik). Ahli asbab selalu menjaga kebaikan amalnya sebelum dan sesudah melakukannya. Berbeda dengan ahli tajrid, suasana hati mereka tidak memandang ikhlas atau tidaknya sebuah amal karena mereka tidak bersandar pada amal, apabila memandang amal ikhlas berarti memandang diri sendiri sudah ikhlas. Jika seseorang telah merasa bahwa dirinya telah ikhlas dalam amal, pada dirinya masih tersimpan keegoan yang besar yang bisa melahirkan

riya, sombong dan sam‟ah.

Ada pepatah menyebutkan

Janganlah engkau bangga andai telah terasa ikhlas mendasari ibadahmu. Usah hatimu berbunga kalau merasa ikhlas telah menjadi bingkai ubudiahmu. Ketahuilah, 'abudah mustahil dapat diraih dengan sesuatu yang masih terasa dan merasa. Bila kedua rasa itu masih bercokol dalam kalbumu berarti engkau belum memahami makna ikhlas sesungguhnya.

Orang ikhlas dalam amalnya selalu melupakan amalnya, ikhlas sama halnya dengan harta dalam perumpamaan seorang miskin diberi harta oleh seorang hartawan, orang miskin itu pasti malu dan tak berani berunjuk gigi dan menepuk dada serta mengatakan bahwa saya sudah kaya dihadapan sang hartawan yang memberinya harta tersebut. Ahli tajrid dianugrahi ikhlas oleh Allah dalam amalnya mereka mengembalikan semuanya kepada Allah swt, andai harta si miskin adalah hak sang hartawan begitu pula ikhlasnya ahli tajrid adalah milik Allah swt, dengan demikian ahli asbab bergembira dalam ikhlasnya, ahli tajrid memandang Allah yang telah mengatur semua urusannya, ahli asbab diarahkan Allah pada syukur ahli tajrid dibimbing Allah dalam kepasrahan dan penyerahan.

Semestinya ahli asbab menyadari bahwa kebaikan yang dilakukannya adalah berupa teguran agar mereka ingat akan Allah selaku Musabbibul Asbab yang telah mengatur dengan sempurna antara asbab dan musabbab (sebab akibat). Kebaikan yang dilakukan ahli tajrid adalah karunia Allah, mereka tidak memandang dirinya dan kepentingannya sedikit pun. Diantara para ahli tajrid ada yang dipilih oleh Allah, mereka selain tidak memandang atsar (bekas pekerjaan) dari hukum asbab musabbab mereka pula diberi kekuatan mampu menguasai hukum sebab akibat itu, mereka

adalah para nabi dianugerahi ma‟jizat dan para wali dengan karomahnya. Adanya mu‟jizat dan

karomah ini bertujuan untuk merombak pandangan ahli asbab terhadap hukum asbab musabbab.

(11)

keluarganya dan masyarakatnya. Bahkan harta yang dimilikinya pun disedekahkan seluruhnya karena mereka meniru contoh seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Ibrahim Adham yang telah meninggalkan semuanya termasuk singgasananya, rakytat dan negerinya.

Perilaku mereka yang seperti ini tidak akan bertahan lama, sampai titik klimak kejenuhannya mereka akan meninggalkan kumpulan thariqahnya dan kembali pada kehidupan sebelumnya atau bahkan mereka berperilaku lebih buruk sebelum barthariqah, inilah potret kehidupan seorang sufi tak kesampaian karena salah melangkah dalam perjalanannya, mestinya mereka menyadari bahwa mereka adalah pemula dalam dunia latihan kerohanian sudah mau berbuat seperti para wali yang telah berpuluh tahun terbiasa dalam penempaan diri. Bertajrid dengan tergesa-gesa akan melahirkan prasangka dan dugaan yang dapat meluluh lantakkan imannya dan menghantar pada lembah putus asa.

Semestinya bagi para pemula penempuh jalan Ilahi hendaklah bercermin diri dan mengenali diri sendiri, daya dan kemampuan serta kedudukan, seandainya masih dalam golongan ahli asbab maka seseorang harus bertindak sesuai hukum asbab musabbab, dia harus berusaha untuk mendapatkan rezekinya dan harus pula menghindar dari bahaya dan kecelakaan, karena perlu diketahui ahli tajrid pun masih mengikuti hukum alam.

Ahli asbab masih terikat dengan kemanusiaan maka dengan itu wajar masih beranggapan bahwa tindakan makhluk akan memberi kesan pada dirinya maupun orang lain. Allah swt menetapkan seseorang sebagai ahli asbab yang kemudian bisa meraih ahli tajrid yaitu dimana segala permasalahan dan tindakannya menurut kesesuaian dengan hukum asbab musabbab tidak membuat mereka mengabaikan tuntutan agama, ringan dalam beribadah, tidak terlalu terbius dengan moleknya duniawi, tidak iri melihat orang lain. Seandainya ahli asbab seperti ini jiwanya akan terus berkembang dengan baik tidak akan menghadapi guncangan yang mengakibatkan putus asa akan rahmat Allah swt. Kerohaniannya akan bertamabah kuat sedikit demi sedikit dan menghindari tajrid secara dini, akhirnya ia bisa bertajrid dengan sepenuhnya.

Pribahasa mengatakan „1001 jalan menuju roma‟ begitu pula scenario Allah dalam mengantarkan manusia yang berada dalam wilayah asbab menuju arena tajrid, ada sebagian orang yang dihantarkan Allah menuju tajrid melalui pemaksaan taqdir kepadanya, seperti seseorang yang sebenarnya dia adalah ahli asbab yang menjalani kehidupannya sebagaimana kebanyakan orang yakni masih terkungkung dengan pola hidup asbab musabbab, Allah menghendaki orang tersebut supaya meningkat kerohaniannya maka takdir memaksanya untuk terjun di pangkuan tajrid.

Apabila seorang hamba benar-benar bertajrid maka Allah sendiri yang mengatur urusan kehidupannya, Allah menerangkan jaminan untuk orang bertajrid dalam firman Allah



Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui. ( Q.S Al-Ankabut :60 )

Khalil Ghibran mengatakan : Burung memiliki kehormatan yang tidak dimiliki manusia, burung hidup dengan ketentuan hukum Tuhan sementara manusia hidup dengan hukum buatannya sendiri

(12)

kepada manusia. Ciri Allah telah menyimpan seseorang sampai pada maqam tajrid adalah ia sudah tidak disusahkan dengan kehidupan apapun posisi dan statusnya, langkah yang dijalaninya hanyalah sebatas menuruti keharusan (perintah) untuk berusaha, tentram sekalipun dalam kekurangan dan keterjepitan kehidupan.

Apabila ahli tajrid memindahkan dirinya menuju maqam asbab, berarti dia melepaskan jaminan Allah dan beralih bersandar kepada makhluk, menunjukkan kebodohannya tentang kurnia Allah swt. Seharusnya sang hamba harus bisa menerima dengan apa yang ditentukan Allah baginya, Allah Yang Maha Tahu akan segala sesuatu tentang yang pantas bagi hambanya. Keinginan untuk menurunkan maqam merupakan tipu muslahat dan jerat yang sangat halus, di dalamnya terkandung nafsu yang sulit disadari, karena napsu ini sangat samar meliputi keinginan, asa dan harapan.

Orang yang baru pertama merasakan keterbukaan hati setelah sekian lama tenggelam dalam samudera kelalaian akan terus melaju dengan mudahnya menuju maqam tajrid meninggalkan maqam asbab, bagi mereka yang telah lama merasakan indahnya surga tajrid apabila lalai dimana kesadaran kemanusiaannya menyergap hatinya kembali, nafsu mencoba bangkit kembali.

Ahli asbab sesegera mungkin ingin memasuki maqam ahli tajrid secara halus digerakkan oleh egonya sendiri yang tersipan dalam lubuk hati yang dalam, begitu pula ahli tajrid seharusnya selalu mengingat bahwa dorongan untuk kembali ke maqam asbab dipengaruhi oleh nafsunya yang belum terpisahkan dari hatinya secara paripurna.

(13)

3. KEKUATAN TIRAI TAQDIR

Kekuatan semangat (harapan, cita-cita, ikhtiyar) tak berdaya menembus tirai taqdir

Kedua petuah di atas telah memberi kefahaman dan pembelajaran pada hati seseorang, sehingga mampu memahami bahwa bersandar pada amal bukanlah jalan yang harus terus ditempuh, hal tersebut mengantarkan manusia pada tahap kecenderungan dalam penyerahan diri sepenuhnya terhadap taqdir Allah swt, sikap menyerahkan diri tanpa penempaan hati dan kurang persiapan kerohanian akan menggoyangkan iman, terlebih dalam kondisi semangat beribadah sedang mengalami titik klimaks, agar tidak salah memilih jalan. Pengetahuan tentang maqam asbab dan tajrid diharapkan dapat mendidik seseorang agar menyerahkan diri kepada Allah dengan cara yang sesuai dengan aturan Allah sendiri (perlu melalui proses yang benar) bukan meyerah dan pasrah dengan cara instant.

Ibnu Athaillah dengan petuah ketiganya ini mengajak untuk merenung betapa tebal dan kuatnya tirai taqdir yang mengelilingi segala sesuatu. Dalam pandangan ahli tajrid bahwa kekuasaan Allah yang meletakkan kesan pada suatu asbab dan menetapkan sesuatu terjadi dalam akibatnya, semua ini memiliki makna bahwa segala sesuatu berada dalam pengurusan dan pengaturan Allah swt, tak ada yang lepas satu hal pun meski hanya sehelai daun yang jatuh. Oleh karena itu tidak ada yang terlepas dari taqdir Allah.

Kelalaian manusia dalam memahami taqdir karena dihijabi dengan ketidak mengertian akan hubungan yang hahiqiqi antara asbab dan musabbab. Egois dalam diri seseorang menjadi kendaraan asbab musabbab yang paling berbekas menghijab pandangan hati dari pada memandang taqdir. Apabila disimpulkan bahwa hijab keegoisan ini mencakup nafsu dan akal, nafsu melahirkan keinginan, harapan, cita-cita sementara akal sering dijadikan nafsu sebagai bala tentaranya. Dalam menjalani proses penyerahan diri secara total kepada Allah swt, maka yang harus dilakukan oleh seseorang adalah harus mampu menundukkan nafsu dan akal tunduk dibawah kekuatan taqdir, nafsu dan akal harus mengakui kelemahannya dan tak berdaya disaat berhadapan dengan tirai taqdir, seandainya kedua potensi manusia ini telah mampu tunduk pada taqdir barulah seseorang tersebut masuk dalam jajaran yang iman terhadap taqdir.

Keimanan seseorang terhadap taqdir semestinya dapat melahirkan penyerahan yang berlandas ilmu bukan penyerahan yang lahir dari kebodohan, seseorang yang bodoh tidak akan berserah diri kepada Allah swt dengan sesungguhnya karena dibalik kebodohannya, nafsu akan memanfaatkan akal untuk menimbulkan keraguan dalam hatinya. Hati orang bodoh masih terbelenggu kuat dengan rasa kemanusiaan, mereka masih mengedepankan rasa ingin senang dan tidak mau susah, mereka masih terpengaruh dengan tidakan orang lain sehingga mengacaukan jiwanya, kondisi seperti itu menimbulkan mereka tidak mampu bertahan lama dalam berserah diri, sementara dalam sebuah hadits disebutkan :

“Sesungguhnya seorang bertanya kepada Rasulullah : Ya Rasulullah saw, apa iman itu ? jwab

(14)

Mayoritas manusia sering keliru dalam memandang dan memahami taqdir, mereka memandang taqdir bahwa Allah hanya menentukan hal-hal dasar dan menentukan hasilnya nanti setelah Allah melihat, menimbang kemudian baru memutuskan, sebagai contoh, seseorang awalnya ditetapkan miskin tetapi kemudian dia berusaha dengan gigih melalui usaha lahir dan berdoa, karena kegigihannya Allah menjadi simpati kemudian dirubahnya takdir miskin menjadi kaya dengan pertimbangan sesuai dengan perjuangannya. Pandangan dan anggapan seperti itu adalah keliru dan akan mengantarkan dalam kesesatan, karena meletakkan diri setara dengan Allah bahkan memandang Allah dalam posisi lebih rendah sehingga menurut sesuai keinginan manusia.

Agar manusia lepas dari kesesatan di atas mereka harus memahami dengan sebenarnya tentang taqdir, segala yang terjadi tidak lepas dari ketentuan dan pengaturan Allah swt tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Al-qur‟an menjelaskan dengan jelas dan tegas.

“.Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri

melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya .

Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.(Q.S Al-Hadid : 22)

“ Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q.S Al-Mulku : 1)

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah,

Tuhan semesta alam. (Q.S At-Takwir : 29)

” Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk”(Q.S Al-Ala :3)

(15)

kuat, tak ada satu ikhtiyar melainkan ikhtiar tersebut berada dalam lingkup taqdir, tak ada satu rangkaian doa melaikan berada dalam pagar taqdir.

Segala sesuatu awalnya dari Allah dan sudah barang tentu kembali juga kepada-Nya, seluruhnya berada dalam taqdir-Nya dan dalam menentukan atau mengurus dan mengaturnya, Allah tidak membutuhkan yang lain. Dia yang memastikan sesuatu dan tak ada yang mampu menghadang ketentuan-Nya.

Apabila seseorang telah mampu memahami taqdir dengan sesungguhnya maka orang tersebut sudah tidak dibingungkan dengan kehidupan baik dalam ikhtiyar maupun dalam berserah diri. Dalam menjalankannya tergantung masing-masing maqam, bagi mereka yang masih dalam maqam asbab berusaha dengan gigih dan penuh semangat adapun mengenai hasilnya apapun diterima dengan lapang dada dan senang karena itu adalah taqdir yang diberikan Allah, setiap yang Allah berikan adalah hal yang terbaik bagi manusia. Maka ahli asbab dituntut dalam menerima taqdir Allah apabila taqdir tersebut sesuai dengan harapannya maka semestinya dapat mengantarkannya pada rasa syukur, apabila sebaliknya taqdir yang diterimanya tidak sesuai dengan harapannya semestinya mereka bersabar dan berbaik sangka kepada Allah. Bagi mereka para penghunui maqam tajrid hendaknya ketentuan yang diberikan Allah diterima dengan penuh bahagia tidak perlu kecut hati andai kekurangan rizqi atau kesuasahan merapat dalam kehidupannya, apapun rona kehidupan yang mewarnai adalah dalam garis taqdir Allah, begitu pula andai Allah memberi kelebihan dalam bentuk karomah kepada dirinya semestinya dipandang sebagai anugerah Allah swt.

Masalah taqdir sangat erat kaitannya dengan hakikat yang dibawanya dan hakikat tersebut dapat menarik perhatian yang banyak tertuju pada yang satu, sebagai contoh satu buah buncis, buncis yang sekarang beredar di dunia, betapa banyak entah sampai berapa juta atau mungkin di atas milyar jumlahnya. Kalau direnungkan ternyata berasal dari satu buncis saja, setelah ditanam maka buncis yang satu itu tumbuh menjadi baik dan tentunya dapat menghasilkan buah buncis yang sama dengan dirinya, buncis yang satu milyar tidak ada bedanya dengan buncis yang pertama, benih buncis yang pertama bukan hanya dapat menjadi sebatang pohon tetapi mampu melahirkan generasi buncis selanjutnya, tapi ia hanya bisa melahirkan generasi buncis tidak bisa melahirkan yang lainnya.

Perkembangan dari satu buncis ke sekian banyak buncis tak lepas dari hakikat buncis pertama masuk dalam buncis-buncis kemudian, bukan arti bahwa buncis pertama mendiami pada buncis kemudian tetapi buncis yang kemudian tek lepas dari buncis yang pertama, tanpanya tak akan ada buncis-buncis tersebut. Itulah yang disebut dengan hakikat buncis, inilah warna ketuhanan yang mengurus dan mengawali pertumbuhan buncis dari awal sampai akhir tutup dunia, Allah awt telah menentukan kejadian buncis, sementara hakikat buncis tidak punya pilihan lain kecuali melahirkan buncis.

(16)

“ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S An-Nisa : 1)

Dalam kejadian Adam Allah menyimpan kemampuan untuk melahirkan manusia karena sebagaimana buncis tadi Adam pun memiliki hakikat, karena hakikat manusia maka akan melahirkan manusia

Pada hakikat manusia terdapat pula yang menguasai hakikat masing-masing perseorangan yang kaitannya dengan alam yang lain, yang menunjukkan kedudukannya sebagai contoh, seseorang berhakikat Nabi maka dia akan menjadi nabi, hakikat wali ia kan menjadi wali, begitu pula dengan hakikat kafir ia akan menjadi kafir. Warna ketentuan Allah menguasai hakikat roh yang berkaitan dengannya. Roh bekerja menunjukan segala maklumat dan dokterin pada hakikat yang menguasainya. Kerja roh hanya melaksanakan urusan Allah yaitu menyatakan apa yang telah digariskan dalam taqdir-Nya. dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S Al-Isra : 85)

Taqdir Allah menguasai roh dan mengatur roh untuk menunjukkan ketentuan-Nya sejak zaman azali, dan Allah menentukan segala sesuatu sejak zamam azali pula , tak ada perubahan dalan ketentuan-Nya. Segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi berserta yang ada diantara keduanya dikawal oleh hakikat yang berada dalam taqdir-Nya. Buncis tidak bisa meminta menjadi nangka, kera tak bisa berharap melahirkan manusia, manusia tak dapat meminta menjadi gajah.

(17)

4. SEGALA SESUATU DALAM PENGATURAN ALLAH

“Istirahatkanlah hatimu dari kerisauan mengatur kebutuhanmu, karena segala yang telah dijamin penyelasaiannya oleh selain dirimu, tak perlu engkau campur tangan mengurusnya”

Manusia memiliki dua potensi dalam menghadapi setiap sesuatu, akal dan hati adalah potensi yang tidak dimiliki makhluk lain. Akal membidangi banyak ilmu yang tidak terbatas jumlahnya, mulai dari berupa cabang-cabang sampai terbagi-bagi menjadi sekian banyak ranting-ranting ilmu. Kajian akal sifatnya relatif karena sering terjadi perbedaan hasil telaah akal dan kebenaran akal bisa berubah setelah muncul pendapat dan penemuan baru, yang dianggap benar pada awalnya kemudian dipersalahkan diakhirnya.

Fenomena tersebut menjadikan orang awam merasa kebingungan dalam mencerna setiap permasalahan dan selalu mengganggu dan mengacaukan fikirannya, di antara permasalahan yang sering menjadikan kebingungan adalah masalah taqdir / qadla dan qadar. Andai permasalahan qadla dan qadar dibahas sampai pada tingkat yang paling halus maka ilmu dan akal akan menemukan kebuntuan dalam menjawabnya, ilmu hanya untuk membuktikan apa yang diimani tetapi kalau seandainya ilmu justru menggoyangkan keimanan maka segera ilmu itu perlu disingkirkan. Segera hati dibawa untuk tunduk pada iman.

Beriman terhadap taqdir mustahil bisa diraih seandainya seseorang belum mampu menundukkan akal dan nafsunya, karena untuk menyingkap dan menguak taqdir yang sifatnya ghaib diperlukan ketundukan keduanya dibawah iman. Mata hati akan tajam dan diberi cahaya dalam memandang hal ghaib, cahaya bersumber dari Allah dan tak akan ada cahaya kalau seandainya tidak ada kaitannya dengan Allah swt.

(18)

yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.

. (yaitu) jalan Allah yang Kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.(Q.S Asy-Syura : 52-53)

Sebuah hikayat menceritakan tentang kegalauan Imam Syafi‟I saat beliau belajar dan menemukan sebuah kendala, dimana mendapatkan kesusahan dalam menghafal dan mencerna ilmu, beliau mendatangi Imam waqi, dan imam waqi memberikan petunjuk dengan mengatakan : sesungguhnya ilmu adalah cahaya Allah dan cahaya Allah tidak akan pernah diberikan kepada orang pelaku maksiat.

Andai cahaya roh al-qur‟an selamanya menyinari hati akan mampu menyingkirkan hijab nafsu dan akal, sudah dipastikan akam mampu menyingkap rahasia keghaiban, penyaksian mata hati ini akan melahirkan keimanan yang kuat terhadap hal yang ghaib, tetapi perlu diketahui bahwa penyaksian mata hati tidak semua benar, karena iblis dan syetan beserta balatentaranya siap mengelabui dan membelokkan manusia ke jurang keraguan. Namun seseorang yang berusaha melaju mencari kebenaran tidak harus berkecil hati dan merasa takut salah mengambil jalan saat penyingkapan tabir, karena Allah telah memberi fasilitas yang sempurna yaitu diinul islam.

Pada hari ini telah Ku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku cukupkan nikmatKu kepadamu dan Aku radha islam menjadi agamamu (Q.S Al-Maidah : 3)

Islam adalah sebuah agama yang sangat lengkap mencakup segala urusan baik dhahir maupun bathin, sehingga penganutnya tidak perlu ragu dalam melangkah untuk meraih ridha Allah swt,

dengan Allah berfirman “Aku ridha islam menjadi agamamu” sebuah jaminan barang siapa meniti jalan ini maka jaminan adalah keridhaan Allah.

(19)

membuat peraturan baru, justru nafsu itu yang harus dipaksa mengikuti aturan Allah. Sebagai sebuah batasan dalam mengukur pendapat akal dipandang layak oleh islam, maka pendapat akal itu harus sesuai dengan aturan Allah dan jika bertentangan maka pastilah akal tersebut sudah dipengaruhi nafsu, maka anggaplah pendapat tersebut sebuah kebathilan. Abu Umar Az-Zujaji mengatakan :

Keadaan manusia pada zaman jahiliyah mereka mengikuti apa yang dipandang baik oleh akal

mereka dan mereka mengikutinya, kemudian datang Nabi saw maka mereka menolak syari‟at dan

begitu pula mengikutinya, adapun akal yang baik adalah yang memandang baik terhadap sesuatu yang dipandang baik oleh syara dan begitu pula memandang buruk terhadap sesuatu yang dipandang buruk oleh syara.

Seseorang yang telah mampu menjalani keislamannya serta telah beriman pada qadha dan qadar, maka apapun yang terjadi hatinya akan senantiasa tenang dan damai, kehidupan berputar dimana pun mereka ditempatkan di atas atau di bawah sama saja bagi mereka, kaya atau miskin, bertahta atau pun tidak, masyhur atau pun tidak, bagi mereka itu hanya aturan Allah. Hatinya tunduk dalam ketentuan dan pengurusan Allah, sementara sebagai makhluk ia hanya berkewajiban taat terhadap-Nya dan tidak memasuki dan campur tangan dalam pengurusan dan ketentuan Allah.

“ Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (Q.S Thaha : 132)

Merenungi penjelasan di atas seolah-olah manusia tidak ada kesempatan sedikit pun untuk menggunakan akalnya, dan mungkin bisa timbul pemikiran dan pertanyaan bagaimanakah menggunakan akal dan apakah manusia tidak diberi kebebasan untuk mengurus dan mencapai harapan dalam meningkatkan taraf kehidupannya ?

Al-Qur‟an menjawab dengan lugas

(20)

undang-undang Raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha mengetahui.” (Q.S Yusuf : 76)

Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. (Q.S Ibrahim : 32)

Kisah nabi Yusuf di atas yang bermaksud menahan adiknya Bunjamin dia harus melakukan scenario, secara lahiriah nabi Yusuf yang mengaturnya tetapi dengan jelas Allah menyatakan bahwa Dia yang telah mengatur scenario tersebut. Begitu pula dengan kapal-kapal bisa mengarungi samudera dan sungai-sunganyebui, secara lahiriah manusia yang membuat kapal dan mengemudikannya, dibalik semua itu Allah dengan tegas menyebutkanbahwa kekuasaan-Nya yang telah mengendalikan semuanya termasuk dalam pembuatan kapal, mengemudikannya termasuk menundukkan laut dan sungai. Kedua ayat di atas mengajarkan kepada manusia bahwa seluaruh kehidupan dalam penagturan dan pengurusan Allah swt.

(21)

5. BUTANYA MATA HATI

Kesungguhanmu untuk mencapai sesuatu yang telah dijamin pasti sampai kepadamu disamping kelalaianmu terhadap kewajiban-kewajiban yang telah diamanatkan kepadamu menunjukkan

butanya mata hatimu

Petuah Ibnu Atha di atas tidak bisa dipisahkan dengan petuah-petuah sebelumnya, di sini beliau menyinggung masalah mata hati, sudah tentu untuk menyingkap tabir rahasianya membutuhkan keterbukaan mata hati. Sebelumnya manusia harus memahami terlebih dulu pengertian yang sesugguhnya tentang mata hati. Mata hati sering disebut pula sebagai mata dalam, pengertian ini bertujuan untuk memudahkan dalam membedakan dengan mata lahir. Sebagaimana telah diketahui bahwa manusia terdiri dari dua unsur yaitu fisik dan non fisik, fisik yang terdiri dari daging, darah, tulang, kulit dll, diri fisik ini diberi potensi melihat, mendengar, mencium, menyentuh dan merasa, fisik dapat bergerak karena mendapat kehidupan dari peredaran darah keseluruh tubuhnya dan mendapat suplay udara yang keluar masuk melalui hidung dan mulut.

Diri non fisik juga mempunyai susunan seperti diri fisik, namun tentunya dalam bentuk ghaibah, non fisik memiliki hati namun bukan seonggok daging yang berada dalam tubuh fisik. Hati dalam diri non fisik termasuk dalam istilah latifah Rabbani (rahasia ketuhanan) hati ini pun memiliki nyawa yang disebut dengan roh dan roh juga masuk dalam jajaran latifah Rabbani (rahasia Ketuhanan) dimana manusia hanya dianugerahi pengetahuan terbatas dalam masalah roh.

Sementara bagaimana kaitannya dengan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Abdillah An-Nu‟man :

Ketahuilah bahwa dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, apabila baik daging tersebut maka baik pula seluruh jasadnya dan apabila buruk daging tersebut maka buruk pula seluruh jasadnya, ketahuilah bahwa daging tersebut adalah hati (H.R Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits di atas seolah-olah bahwa hati berada dalam segumpal daging yang sering pula disebut hati (liver), mungkin maksud Rasulullah dengan perkataan dalam hadits di atas adalah untuk memudahkan pemahaman umat Islam di waktu itu.

(22)

panasnya, mata dhahir melihat bongkahan es maka mata hati memahami dinginnya. Mata hati yang hanya mampu mengungkap sebatas asinnya pada garam, dinginnya es atau pedas pada cabe atau hal-hal ghaib sebatas permainan jin atau kemampun yang sifatnya supranatural maka masih dikatagorikan mata hati yang buta, sementara mata hati yang sudah dipandang terbuka adalah yang mampu menguak perkara-perkara ketuhanan dibalik sesuatu yang nyata maupun yang sifatnya ghaibah.

Kemampuan mata hati dalam mengungkap sesuatu atau menerima cahaya Ilahi bersandar pada kesucian hati itu sendiri, seandainya seseorang menginginkan rumahnya lebih terang maka ia semestinya rajin memberihkan genting kaca yang menyebabkan cahaya matahari masuk ke dalam rumah

Apabila hati dapat mengantarkan cahaya Ilahi begitu banyak maka orang tersebut akan mampu memahami sesuatu yang di dunia maupun diluar dunia, langit yang melingkupi dunia adalah langit syahadah dan diluar langit shahadah adalah sesuatu yang sifatnya ghaib, bagi mereka yang benar-benar telah terbuka mata hatinya maka akan dihantarkanya untuk memahami segala sesuatu dibalik langit syahadah tersebut, di dalam Al-qur‟an banyak ayat yang menyatakan dengan istilah langit ada tujuh, banyak umat Islam menyebut bahwa langit benar-benar ada tujuh sehingga sering ditemukan bahasa di lingkungan umat Islam dengan istilah lapis yang di kaitkan dengan langit, sementara timbul pertanyaan benarkah langit itu ada tujuh ? Dalam pemahaman kebahasaan apapun bahasanya sering ditemukan dalam menujuk jumlah yang banyak maka ada istilah-istilah tertentu, seperti halnya dalam bahasa Indonesia istilah 101 atau 1001 adalah ungkapan kata yang menunjukkan pada jumlah yang banyak tidak sebatas pada jumlah yang disebutkan, dalam bahasa sunda ada istilah sawidak adalah kata sebutan lain dari angka 61, sementara sering di gunakan tidak sebatas pada angka tersebut tetapi sering digunakan untuk menunjukkan jumlah yang banyak seperti hanya 101 dan 1001, begitu pula dalam bahasa Arab angka 7 bukan hanya menunjukkan pada jumlah yang tujuh tetapi sering digunakan untuk menunjukkan pada jumlah yang banyak terkadang lebih banyak dari jumlah angka tersebut. Berkenaan dengan bahasa tujuh langit sebenarnya langit tidak hanya terbatas dengan angka yang disebutnya, bagi para penempuh jalan Ilahi yang telah terbuka mata hatinya dengan anugerah Allah Swt akan memahami dibalik angka 7 yang berkenaan dengan langit tersebut.

Senada dengan pemahaman terhadap jumlah langit di atas, mata hati yang sudah mampu memandang dunia secara keseluruhan sebagai sesuatu maujud akan mengenal pula tentang sesuatu yang ada di balik hal maujud tersebut (hakiki). Karena ketebatasan bahasa maka dalam memahami hal yang hakiki sering diungkapkan dengan pengibaratan karena sulit untuk mencari padanan kata dalam bahasa verbal, seperti dalam peristiwa Isra yang di alami Rasulullah saw mengibaratkan dunia dengan sosok wanita renta yang dimakan usia, tubuhnya penuh dengan corob dan borok bernanah sebagian tubuhnya hilang digerogoti ulat. Begitu pula penglihatan seseorang yang telah terbuka mata hatinya, bagaimana rupa dan hakikat dari pemahaman dan penglihatan yang menyebabkan lahirnya pengibaratan tidak dapat diurangkan dengan kata-kata.

Selanjutnya mata hati yang terus melaju dalam perbaikan akan terus meningkat dalam penyingkapan tabir, mereka akan dibukakan pengenalannya dengan makna-makna alam yang akan di laluinya nanti. Mata hati akan mengantarkannya pada kemakrifatan atau pengenalan pada perkara keabadian sehingga berdampak pada dirinya untuk meningkatkan taraf ibadahnya kepada Allah, mereka menganggap ini semua adalah amanat Allah swt. Amanat ini dari Allah akan terus mereka bawa dan dikembalikan lagi kepada Allah.

(23)

Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali

Pengenalan (makrifat) mata hati tersebut di atas akan mewariskan nilai-nilai taqwa dalam diri seseorang dan akan diberikan jaminan kepadanya sebagaimana Al-qur‟an menjelaskan dalam surat Al-Mu‟min ayat 13

Dia-lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untukmu rezki dari langit. dan Tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah).

Ayat diatas mengajarkan agar manusia meningkatkan keyakinan bahwa segala sesuatu telah diatur Allah swt termasuk masalah rizqi, manusia hanya diperintahkan untuk beribadah, mengenai fasilitas telah disediakan-Nya. Allah tidak akan lalai dalam memberi rizqi dan menjaminnya, sementara manusia dalam mendapatkan rizqinya tiggal berkiprah sesuai dengan maqamnya, apabila ahli asbab carilah rizqi dan jangan iri hati terhadap orang lain, bagi ahli tajrid maka tinggal bertawakkal dan jangan gundah hati apabila kekurangan dan kelebihan harta. Mereka yang telah terbuka mata hatinya akan percaya dengan penuh keyakinan akan jaminan Allah tersebut. Dalam menguatkan keyakinan bagi hambanya Allah berfirman dalam hadits Qudsi

كحلصي امب ينملعت لا و كترمأ اميف ينعطا ىدبع

Hamba-Ku taatilah semua perintah-Ku dan jangan engkau memberitahu-Ku tentang keperluan-keperluanmu (yang baik untukmu).

Manusia yang buta mata hatinya mereka akan bersungguh-sungguh dalam mencari rizqi yang telah dijamin oleh Allah tetapi mereka mengabaikan perintah-perintah-Nya. Terkadang dalam mencari rizqi mereka menempuh jalan menghalalkan segala cara, mereka tidak mneghiraukan waktu sehingga hari-hari dipenuhi dengan berusaha dan mencari harta begitu pula dalam mencapai keinginannya tanpa rasa toleransi kepada orang lain.

(24)

6. MAKNA DOA

Janganlah keterlambatan masa pemberian Tuhan kepadamu, sementara engkau bersungguh-sungguh dalam berdoa menyebabkan putus harapan, sebab Allah telah menjamin menerima seluruh doa sesuai dengan yang Ia kehendaki untukmu bukan menurut kehendakmu dan pada

masa yang ditentukan-Nya bukan menurut waktu yang kamu tentukan

Jika anak manusia berkeinginan akan sesuatu sudah dapat dipastikan mereka akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk mandapatkannya, tidak mampu sendiri maka meminta orang lain untuk membantunya agar keinginan tersebut dapat tercapai, apabila setelah berbagai usaha dilakukan namun tetap belum meraih keinginan tersebut maka mereka lari kepada Allah dengan penuh harap, mereka bersujud, menengadahkan kedua tangannya dengan air mata bercucuran, untaian kata indah disusunnya dengan suara yang disengaja disedih-sedihkan agar Allah memenuhi dan mengabulkan keinginannya, selama keinginan belum dapat diraihnya maka mereka tenggelam dalam doa, sebenarnya tidak sulit bagi Allah swt untuk meluluskan keinginannya dan tidak akan berkurang kekayaan-Nya seandainya seluruh kekayaan dunia dibarikan kepadanya, begitu pula seandainya Allah tidak memberikan apa yang diminta oleh anak manusia tersebut, tidak sedikitpun akan menambah kekayaan dan keagungan-Nya. Keagungan Allah mutlak tidak terpengaruh sedikit pun dengan ibadah, harapan dan doa makhluk-Nya.

kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (Q.S Ibrahim : 27)

Mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.

(Q.S Al-Baqarah : 116)

(25)

berbudi, mestinya manusia menyadari siapa Tuhan siapa hamba, kalau manusia sebagai hamba maka harus puas dengan semua pemberian-Nya.

Doa adalah kepasrahan dan ketundukkan kepada Allah dan merupakan sebuah penunjukan diri butuh akan Allah, doa bukan merupakan tuntutan yang harus dipenuhi dan doa bukan berharap dan meratap bahkan air mata tumpah karena ingin dipenuhinya hajat.

Ada sebuah cerita dua santri yang mondok di sebuah pesantren, mereka jauh dari orang tuanya, yang satu bernama Ahmad dan kedua Zaid. Singkat cerita kedua santri ini mempunyai kekasih, kedua gadis itu tinggal di dekat pondok yang ditempati mereka berdua. Kedua gadis ini memiliki kebiasan sama apabila wakuncar tiba mereka suka menyediakan makan untuk kekasihnya. Malam minggu yang ditungu pun tiba Ahmad dan Zaid setelah selesai mengaji mereka bersiap-siap mengunjungi kekasihnya masing-masing. Hanya saja persiapan mereka ada yang berbeda, Ahmad sudah siap dengan kemeja an tak ketinggalan peci dikepalanya namun kondisi perutnya kosong, dia sengaja mengosongkan perutnya karena dia yakin nanti kekasihnya pun menyediakan makan untuknya apalagi lauk pauknya lengkap, sementara Zaid setelah bersiap dia lari ke dapur untuk memenuhi perutnya sampai kenyang karena dia malu setiap mengunjungi kekasihnya suka disiapkan makan. Keduanya tiba dan bertemu kekasihnya masing-masing, Ahmad saat dipersilahkan makan dia langsung makan dengan lahapnya, sementara Zaid saat kekasihnya menawarkan untuk makan Zaid sedikit menolak karena perutnya sudah penuh, tetapi saat

kekasihnya meminta dengan perkataan “ tolong abang makanlah, kalau abang sudah kenyang, makan sedikit pun tak apa, tolonglah makanlah demi aku demi cinta abang kepadaku, Zaid meski dengan perut yang penuh memaksakan makan.

Dari cerita dua santri di atas Ahmad datang kepada kekasihnya tidak murni karena cintanya bahkan yang terbesar menguasai hatinya adalah untuk memenuhi hajat keinginannya yaitu makan dengan makanan lengkap yang jarang ditemui dipesantren, sementara Zaid datang kepada kekasihnya benar-benar karena cintanya, meski biasa disiapkan makan pun oleh kekasihnya dia selelu memenuhi perutnya, sehingga kalau sampai Zaid makan pun dia bukan karena lapar tapi karena kekasihnya dan cintanya.

Cerita diatas merupakan gambaran manusia dalam berdoa, banyak manusia berdoa dan bersimpuh bermunajat kepada Allah bukan karena Allah tapi demi keinginan yang memenuhi hatinya, ia rela bangun malam dan berlama-lama bedzikir bukan karena memuji Ilahi tetapi untuk kepentingan dirinya sendiri, mereka butuh akan Allah hanya sebatas untuk memenuhi keinginannya, tetapi sedikit diantara manusia yang berdoa tanpa ada tuntutan dan keinginan dirinya tetapi mereka datang hanya karena Allah swt, mereka sudah tidak memikirkan keinginan hati dan rayuan nafsu.

(26)

Sebuah untaian doa yang sangat indah namum hanya segelintir orang yang mengerti yang sanggup memanjatkannya karena bertentangan dengan keinginan dan harapan manusia, namun seandainya seseorang memanjatkan doa tersebut dan tidak ada ketakutan kalau doanya dikabul Allah maka orang tersebut sudah dapat melepaskan diri dari keterkungkungan kemanusiaan dan sebagai gerbang menuju arti doa yang sesungguhnya yaitu penyerahan diri sepenuhnya akan taqdir Allah swt.











Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Bila Allah telah menentukan sesuatu, Maka manusia tidak dapat memilih yang lain lagi dan harus menaati dan menerima apa yang telah ditetapkan Allah. (Q.S Al-Qashash : 68)

(27)

7. PEMAHAMAN TENTANG JANJI ALLAH

Jangan sampai meragukan kamu akan janji Allah seandainya tidak terlaksananya apa yang telah dijanjikan itu, meskipun telah tiba masanya, supaya tidak menyalahi pandangan mata

hatimu atau memadamkan cahaya hatimu

Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil haram, insya Allah dalam Keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat (Q.S Al-Fath : 27)

Manusia tidak mengetahui kapan dan bagaimana Allah akan menurunkan kurnia dan anugerah, kadang manusia menyangka dengan ciri dan tanda, mereka mengira mungkin waktunya telah tiba padahal Allah belum menghendakinya, maka seandainya tidak terjadi apa yang telah dikira-kirakan hendaknya manusia menyadarinya dan tidak meragukan janji-janji Allah, sebagimana yang telah dibebebrkan dalam ayat Al-qur‟an, yang menjelaskan selang beberapa lama sebelum terjadi perdamaian Hudaibiyah Nabi Muhammad s.a.w. bermimpi bahwa beliau bersama Para sahabatnya memasuki kota Mekah dan Masjidil Haram dalam Keadaan sebahagian mereka bercukur rambut dan sebahagian lagi bergunting. Nabi mengatakan bahwa mimpi beliau itu akan terjadi nanti. kemudian berita ini tersiar di kalangan kaum muslim, orang-orang munafik, orang-orang Yahudi dan Nasrani. setelah terjadi perdamaian Hudaibiyah dan kaum muslimin waktu itu tidak sampai memasuki Mekah Maka orang-orang munafik memperolok-olokkan Nabi dan menyatakan bahwa mimpi Nabi yang dikatakan beliau pasti akan terjadi itu adalah bohong belaka. Melihat kenyataan tersebut membuat kecewa dikalangan sahabat, maka ketika Umar mengajukan beberapa pertanyaan kepada Rasulullah dan dijawab oleh beliau : Aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya Allah tidak akan meninggalkan aku. Maka turunlah ayat ini yang menyatakan bahwa mimpi Nabi itu pasti akan menjadi kenyataan di tahun yang akan datang. dan sebelum itu dalam waktu yang dekat Nabi akan menaklukkan kota Khaibar. andaikata pada tahun terjadinya perdamaian Hudaibiyah itu kaum Muslim memasuki kota Mekah, Maka dikhawatirkan keselamatan orang-orang yang Menyembunyikan imannya yang berada dalam kota Mekah waktu itu.

(28)

sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat. (Q.S Al-Baqarah : 214)

Dalam doa dan janji Allah mengabulkan setiap doa dalam Al-Qur‟an dan hadits Rasul seolah laksana dua sisi mata uang, kedua nya selalu beriringan, tapi dalm kenyataan yang dialami manusia masih banyak orang yang berdoa untuk dihindarkan dari musibah tapi tetap musibah tersebut seolah lengket dalam kehidupannya sementra pertolongan Allah terasa lama untuk tiba mengatasi masalah tersebut, sering peristiwa itu melanda kehidupan setiap insan dan tek pelak menimbulkan keraguan dihati mereka akan janji-janji Allah swt.

Dan masih banyak janji-janji Allah dalam Al-qur‟an seperti halnya dalam beberapa surat di bawah ini

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

(Q.S Al-Baqarah : 186)

(29)

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (Q.S An_Nur : 55)

Di samping ayat-ayat di atas masih banyak janji-janji Allah dijelaskan dalm Al-qur‟an sesuai dengan berlakunya hukum kausalitas, sementara Allah memasang janji tersebut untuk mendorong semangat manusia dalam berdoa padahal apa yang akan Allah berikan melebihi dari janji-janji-Nya. Selain ada manusia yang meyakini benar akan janji-janji Allah dan menjalankan doanya sesuai dengan tujuan Allah adapula orang yang dalam berdoanya memikul sejuta keinginan yang harus dipenuhi, karena mereka beralasan dengan ayat-ayat yang berkaitan janji Allah dengan amal.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam petuah Ibnu Atha yang ke enam menjelaskan seputar doa, maka dalam petuah ketujuh ini Ibnu Atha menjelaskan keterkaitan mata hati dengan cahaya hati. Seperti yang dijelaskan terdahulu bahwa mata hati yang telah terbuka akan mampu menyingkap keindahan keghaiban yang berkaitan dengan rahasia langit syahadah dan alam -alam dibalinya. Mata hati yang telah disinari cahaya hati akan terus mengungkap dan menyentuh ketuhanan selanjutnya, disini mata hati mampu menyentuh kulit alam yang disebut dengan Arasy, dimana tidak ada satu makhluk Allah swt yang hidup diluar kulit atau kerangka alam yang disebut arasy ini, meski diluar kulit alam ini tidak ada satu pun wujud makhluk mata hati mampu terus menyeruak keluar kulit alam dan mampu menyingkap ketuahan, dari sini mulai manusia tidak mampu menguraikan apa yang ada dan terjadi diluar kulit alam ini, seluruh peristiwa dan makhluk yang diciptakan berada didalam kulit alam yaitu Arasy, Arasy merupakan kerangka terakhir yan g diciptakan Allah, diluar kulit alam ini sudah tidak bisa disebut lagi dengan istilah alam karena disini sudah merupakan arena ketuahan, tetapi bukan berarti kewujudan Tuhan merupakan jenis alam lain karena Allah berdiri sendiri dan tidak menempati ruang atau waktu. Mungkin sebagian penempuh jalan Ilahi akan bertanya, setelah pengelanaan di alam maya hampir semua tempat disinggahi namun tetap Allah tidak dapat ditemui?

Disini perlu diketahui dan difahami dengan sebenarnya tapi bukan untuk semua manusia melainkan bagi mereka yang sudah mampu menguak nilai-nilai ketuhan dibalik seluruh ciptaan-Nya, yang belum mengalami ketebukaan mata hati yang telah disinari dengan cahaya hati jangan sekali-kali bertanya dan mempertanyakannya karena masih jauh dari jangkauan. Catatan ini hanya bagi mereka yang dirundum bingung dan bimbang setelah menyambangi kulit alam dan bahkan sampai melintasinya dan bertanya dimana Allah ?

(30)

sifat las dengan kedua besi tersebut berbeda. Atau contoh lain seperti laut dan sungai yang disebut baezakhnya adalah muara, sementara rasa air laut adalah asin dan rasa air sungai tawar, adapun rasa air muara campuran dari kedua rasa tersebut yaitu hambar, rasa hambar bukan termasuk asin dan tidak pula termasyk tawar. Kalau saja antar makhluk ada barzakh begitu pula antara makhluk dan Khalik terdapat barzakh sebagai penghubung diantara keduanya, tanpa barzakh tak akan ada hubungan antara makhluk dan Tuhannya, adapun barzakh yang menjadi antara antara makhluk dan Tuhannya ini disebut dengan cahaya rahasia. Cahaya rahasia ini memancar menembus hati yang berdampak baik untuk mata hati dalam mengungkap Ketuhanan dan cahaya rahasia ini hanya Allah yang mengetahui hakikatnya. Maka hati yang telah tersinari dengan cahaya rahasia ini akan mengantarkan pada makrifat kepada Allah dengan sesungguhnya dan mencapai tingkat tauhid yang paling tinggi, realisasinya dapat mencerna dengan hakiki maksud ayat

Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (Q.S Qaaf : 16)

Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (Q.S At-Takwir : 29)

Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S Al-Insan : 30)

Jadi segala sesuatu yang berkaitan dengan kehendak manusia dalam melakukan amal apa pun tak lepas semuanya dari takdir dan iradah Allah, tanpa Iradah Allah mustahil manusia dapat melakukannya, begitu pula setiap kekuatan dan daya manusia dalam melakukan kebaikan tak lepas dari daya dan kekuatan yang Allah kehendaki, mampunya manusia berdoa dan beramal adalah semata kurnia Allah swt. Apalagi kalau melihat saat manusia dilahirkan

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (Q.S An-Nahl : 78)

(31)

berikan pada manusia, dari mulai kedip mata dan tarikan nafas serta masih sangat banyak bahkan tak pernah terhitung nikmat yang diberikan Allah.



kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (Q.S Ibrahim : 34)

Oleh karena itu manusia mesti menyadari, memahami dan menerima segala ketentuan Allah tak perlu merajuk dan menuntut janji Allah apalagi menuding Allah tidak memenuhi janji-Nya, berlindunglah dbawah naungan Rahmat dan Kasih Sayang-Nya.

Bercerminlah pada Rasulullah sebagaimana yang tertulis dalam surat Al-Fath ayat 27, Dalam mimpinya Rasulullah telah dijanjikan bahwa umat muslim waktu itu akan dapat melakukan umrah, tetapi kenyataannya berkata lain, rombongan kaum muslimin dihadangnya oleh kaum kafir dan munafik, sehingga Rasul dengan dukungan Abu Bakar menyetujuai perjanjian Hadaibiyah, sementara janji Allah melalui mimpi Rasulullah tersebut bukan tahun itu melainkan tahun mendatangnya.

Rasulullah tidak menuntut kepada Allah akan janji lewat mimpinya melainkan Rasulullah mengembalikannya kepada Allah penuh tawakkal.

Berkaitan dengan dukungan Abu Bakar Kepada Rasulullah bukan semata karena hormatnya beliau kepada Rasulullah tepi didukung pula dengan penyinaran cahaya rahasia hati Abu Bakar yang telah mencapai kesempurnaan.

Bukti dari pancaran cahaya rahasia hati Abu Bakar menyetujui adanya perjanjian Hudaibiyah ternyata perjanjian tersebut banyak menguntungkan kaum muslimin, mereka dapat melakukan umrah tahun berikutnya dengan aman dan tanpa ada gangguan dari kaum kafir dan kaum munafik.

(32)

8. JALAN MENUJU KEMAKRIFATAN

Apabila Tuhan membukakan bagimu jalan menuju makrifat (Mengenal Allah), maka jangan engkau hiraukan amalmu yang masih sedikit, sebab Tuhan tidak membukakan bagimu melainkan Dia akan memperkenalkan diri-Nya kepadamu. Tidakkah engkau ketahui bahwa

makrifat itu semata-mata pemberian Allah kepadamu sedangkan amal adalah hidayah daripadamu, maka dimanakah letak perbandingannya antara hidayahmu dengan pemberian

kurnia Allah kepadamu.

Petuah Ibnu Atha dari mulai pont 1 sampai 7 mengajak manusia untuk merenung dan memahami bahwasannya betapa kecil apa yang diperbuat manusia dan betapa besar yang telah dianugerahkan Allah swt. Hati yang telah mencapai tahapan ini senantiasa beramal jauh dari tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi oleh Allah dan memandang amal sebagai anugerah Allah yang semestinya disyukuri setiap manusia. Keterbukaan hati ini mengantarkannya pada hati yang telah siap menerima hidayah dari Alllah swt.

Cahaya rahasia akan terpancar bagi mereka yang telah suci hatinya, sebagimana telah dijelaskan di atas bahwa ini merupakan potensi untuk mengenal dan menyentuh nilai-nilai Ketuhanan, dan perlu difahami Tuhan tidak akan dapat diraih dengan amal dan ilmu kecuali Allah sendiri berkenan untuk diketahui dan dikenali, ilmu dan amal yang didalamnya akal hanya dapat mengantarkan pada gerbang kemakrifatan sebagaimana Rumi berpendapat, “ Bahwa akal dan indera (ilmu) hanya dapat mengantarkan sampai gerbang istana, adapun diterima atau tidaknya oleh Sang

Raja itu tergantung kehendak dan kemurahan Sang Raja sendiri”.

Bagi manusia yang telah sampai pada pengetahuan bahwa tidak ada jalan dan mi‟raj melalui amal dan ilmu untuk menuju Haribaan Tuhan, maka mereka tidak akan bersandar lagi pada amal dan ilmu apalagi terhadap amal dan ilmu diluar dirinya, kecuali segalanya hanya menyandarkan kepada Allah semata.

Referensi

Dokumen terkait

Standar dan sasaran kebijakan, yang dimaksud dalam penelitian ini adalah yang berhak menerima kartu BPJS Subsidi tersebut sesuai dengan ukuran atau kriteria yang

Uji potensi sebagai tabir surya dari fraksi etil asetat kulit batang tanaman bangkal dilakukan secara in vitro dengan menentukan nilai SPF (Sun Protection Factor)

4.2.1 Mengenal pasti fungsi alat dan fitur asas yang digunakan dalam perisian rakaman dan suntingan audio. 4.2.2 Membuat rakaman audio

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis pengaruh karakteristik masyarakat terhadap kesiapsiagaan pada daerah bahaya banjir di Kecamatan

Kesimpulan dalam penelitian yang dilakukan oleh Lulu Azzahra ini dapat disimpulkan bahwa Secara parsial penerapan e-SPT berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan

Pasal 66 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menentukan bahwa, Pejabat Polisi Negara RI yang diberi tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan

Preheating ini dilakukan selama 180 jam pada sagger 1-5 dan ini dilakukan hingga suhu mencapai 800 o C imana akan terjadi pencairan pitch, penguapan pitch hal ini bertujuan

Dengan terbuktinya pengaruh yang sangat kecil dan tidak signifikan antara persepsi siswa terhadap penyelesaian masalah akademis di SMA Perguruan Buddhi maka diharapkan guru