• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Hasil

3. Variabilitas Parameter Fisika-Kimia Perairan secara

a. Kecepatan Arus

Kecepatan arus di perairan Teluk Jakarta secara spasial dan temporal selama penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 17. Kecepatan arus tersebut mempunyai nilai yang relatif bervariasi antara setiap stasiun dan waktu

pengamatan, dengan nilai yang berkisar antara 9,50-30,51 cm.detik-1. Kecepatan arus yang diperoleh ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Jalius (2008) di perairan Teluk Jakarta yang mendapatkan kecepatan arus berkisar antara 20-40 cm.det-1.

Kecepatan arus yang diperoleh secara spasial (stasiun) memperlihatkan bahwa stasiun-stasiun yang lebih dekat dari pantai memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan lokasi yang jauh dari pantai. Kecepatan arus rata- rata tertinggi terdapat pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 1.

Gambar 17. Kecepatan arus pada masing-masing stasiun dan waktu pengamatan.

Sementara itu, secara temporal kecepatan arus berbeda antara musim kemarau dan musim hujan, di perairan ini didapatkan bahwa kecepatan arus tertinggi terjadi pada pengamatan bulan Januari 2010 dan terendah pada pengamatan bulan Mei 2010. Perbedaan kecepatan arus di lokasi penelitian lebih banyak dipengaruhi oleh kecepatan angin yang secara periodik mengalami perubahan menurut musim, sesuai dengan pernyataan Nontji (1987) bahwa pada musim barat kecepatan angin sangat kuat.

Kecepatan arus di lokasi penelitian sangat dipengaruhi oleh pasang surut yang terjadi pada perairan tersebut, kecepatan arus lebih besar pada saat pasang

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 K ec epa ta n Arus ( cm .det -1) Stasiun Agustus 2009 September 2009 November 2009 Januari 2010 Maret 2010 Mei 2010

dibandingkan dengan di saat surut. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Nontji (2006) bahwa arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang disebabkan oleh tiupan angin, karena perbedaan densitas air laut, serta dapat pula disebabkan oleh gerakan gelombang panjang termasuk pasang surut. Begitu pula, arus di lokasi penelitian dipengaruhi oleh waktu pengukuran, fakta ini ditemukan di lokasi penelitian bahwa kecepatan arus memiliki nilai yang lebih besar pada siang hari daripada pagi hari.

b. Salinitas, Kekeruhan, dan Kecerahan

Variasi salinitas di perairan Teluk Jakarta selama penelitian tidak terlalu jauh berbeda antara setiap stasiun dan waktu pengamatan. Salinitas yang didapatkan berkisar antara 28,00-33,00 (Gambar 18). Nilai salinitas yang diperoleh tersebut tidak terlalu jauh berbeda dengan penelitian Marasabessy & Edward (2002) di perairan Raha Sulawesi Tenggara yang mendapatkan kisaran salinitas antara 30,8-32,9, serta penelitian Poppo et al. (2009) yang mendapatkan kisaran salinitas antara 29,0-32,0 di perairan pantai kawasan industri perikanan Kabupaten Jembrana Bali.

Secara spasial diperoleh bahwa salinitas tertinggi terdapat pada stasiun 7 dengan rata-rata adalah 31,50 dan terendah pada stasiun 1 dengan nilai rata-rata sebesar 29,13 (Lampiran 2). Rendahnya salinitas yang diperoleh pada stasiun 1 lebih disebabkan oleh posisi stasiun yang lebih dekat dari pantai. Masukan air tawar pada lokasi ini lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lain karena berada di depan muara sungai. Sedangkan stasiun 7 posisinya lebih jauh dari pantai sehingga masukan air tawar juga lebih rendah. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya adalah curah hujan dan aliran sungai. Perairan dengan tingkat curah hujan yang tinggi dan dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang rendah, sedangkan perairan yang memiliki tingkat penguapan yang tinggi dan tidak terpengaruh aliran sungai memiliki salinitas yang tinggi. Pola sirkulasi berperan dalam mensuplai massa air dengan tingkat salinitas yang berbeda dengan massa air dari sumbernya akan mempengaruhi penyebaran salinitas dalam suatu perairan (Tchernia 1980). Lebih lanjut dijelaskan oleh Nontji (1987) bahwa kandungan garam di laut tidak sama di

berbagai tempat, sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola siklus air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai.

Gambar 18. Sebaran salinitas pada masing-masing stasiun dan waktu pengamatan.

Secara temporal, pada lokasi penelitian ditemukan bahwa periode pengamatan bulan Januari 2010 (musim hujan) memiliki nilai salinitas terendah, sementara itu pengamatan bulan November 2009 memperlihatkan nilai tertinggi. Perbedaan nilai salinitas yang didapatkan tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Tchernia 1980 bahwa pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai mempengaruhi sebaran salinitas di pantai. Nilai salinitas yang rendah pada bulan Januari 2010 disebabkan oleh pengaruh curah hujan, pada pengamatan ini curah hujan cukup tinggi. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Laevastu & Hayes (1981) bahwa perubahan salinitas di laut terbuka relatif lebih kecil dibandingkan dengan perubahan salinitas di pantai yang memiliki masukan air tawar dari sungai terutama saat musim hujan.

Berdasarkan hasil analisis varians, didapatkan bahwa distribusi salinitas baik secara spasial maupun temporal sangat berbeda nyata (p < 0,05). Dari uji lanjut Tukey, ditemukan bahwa stasiun 7 memiliki nilai salinitas yang berbeda dengan stasiun 3, 2, dan 1. Stasiun 7 memiliki salinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 3, 2, dan 1. Begitu pula, stasiun 8 berbeda dengan

25.00 26.00 27.00 28.00 29.00 30.00 31.00 32.00 33.00 34.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sa lin it a s Stasiun

Agustus 2009 September 2009 November 2009

stasiun 2 dan 1. Nilai salinitas pada stasiun 8 lebih tinggi dari stasiun 2 dan 1. Selain itu, antara stasiun 9, 5, dan 4 berbeda dengan stasiun 1. Stasiun 1 mempunyai salinitas yang lebih rendah dibandingkan dengan stasiun 9, 5, dan stasiun 4. Sementara itu, antara waktu pengamatan didapatkan bahwa pengamatan November 2009 mempunyai salinitas yang berbeda dengan pengamatan Mei 2010 dan Januari 2010. Pengamatan November 2009 memiliki salinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengamatan Mei dan Januari.

Nilai kekeruhan yang diperoleh selama penelitian mempunyai nilai yang bervariasi antara setiap stasiun dan waktu pengamatan. Nilai yang didapatkan tersebut berkisar antara 1,50-18,50 NTU (Gambar 19). Tinggi rendahnya kekeruhan perairan sangat bergantung pada jumlah padatan tersuspensi. Semakin tinggi konsentrasi padatan tersuspensi, maka kekeruhan juga akan meningkat. Secara spasial didapatkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 dan terendah di stasiun 9. Hal ini berkaitan erat dengan posisi stasiun, stasiun 3 lebih dekat dari pantai, sedangkan stasiun 9 berada pada lokasi yang jauh dari pantai. Kekeruhan air yang tinggi pada stasiun 3 disebabkan oleh lumpur, partikel tanah, serpihan tanaman, dan fitoplankton (Hutagalung et al. 1997).

Gambar 19. Kekeruhan perairan pada masing-masing stasiun dan waktu pengamatan. 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 K ek er uh a n (NT U) Stasiun Agustus 2009 September 2009 November 2009 Januari 2010 Maret 2010 Mei 2010

Pola kekeruhan yang didapatkan cenderung membentuk pola yang hampir sama antara setiap waktu pengamatan, dengan pola bahwa nilai kekeruhan tinggi pada lokasi yang dekat dari pantai dan menurun dengan semakin jauhnya lokasi dari pantai. Walaupun nilai kekeruhan didapatkan berbeda antara setiap stasiun, namun dari hasil analisis varians didapatkan bahwa nilai kekeruhan tidak berbeda nyata (p > 0,05). Hal ini berarti bahwa antara setiap stasiun penelitian memiliki nilai yang sama, meskipun secara deskriptif mempunyai nilai yang berbeda.

Secara temporal ditemukan bahwa nilai kekeruhan lebih tinggi pada musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau, hal ini terkait dengan banyaknya masukan dari daratan yang masuk melalui sungai yang bermuara ke perairan ini. Pada musim hujan masukan dari daratan lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau. Hasil analisis varians didapatkan bahwa nilai kekeruhan berbeda nyata (p < 0,05), dari uji lanjut Tukey ditemukan bahwa pengamatan Januari 2010 berbeda dengan pengamatan Maret 2010 dan Agustus 2009. Nilai kekeruhan pada pengamatan Januari lebih tinggi dibandingkan dengan pengamatan Maret dan Agustus.

Hubungan antara salinitas dan kekeruhan ditelusuri dengan menggunakan uji korelasi Pearson‟s. Berdasarkan uji tersebut, didapatkan bahwa salinitas dan kekeruhan memiliki hubungan yang terbalik dengan tingkat keeratan yang kuat

pada taraf kepercayaan p < 0,05 (Pearson‟s = -0,385) (Lampiran 17).

Nilai kecerahan perairan selama penelitian di Teluk Jakarta memiliki nilai yang bervariasi antara setiap stasiun dan waktu pengamatan. Nilai kecerahan yang diperoleh tersebut mempunyai kisaran antara 1,25-4,50 m (Gambar 20). Secara spasial didapatkan bahwa kecerahan pada stasiun yang berlokasi dekat dengan pantai mempunyai nilai yang lebih rendah bila dibandingkan dengan lokasi-lokasi yang jauh dari pantai. Hal ini disebabkan oleh pengaruh beban masukan dari daratan yang lebih tinggi pada lokasi-lokasi yang lebih dekat dari pantai dibandingkan dengan lokasi yang jauh dari pantai.

Berdasarkan hasil analisis varians, kecerahan perairan berbeda sangat nyata (p<0,05) secara spasial dan berbeda nyata (p < 0,05) secara temporal. Secara spasial, hasil uji lanjut Tukey diperoleh bahwa stasiun 8 berbeda dengan stasiun 6, 2, 3, 4, dan 1, serta stasiun 5, 9, dan 7 berbeda dengan stasiun 1. Sementara itu,

hasil uji lanjut Tukey secara temporal ditemukan bahwa hanya pengamatan September 2009 yang berbeda dengan pengamatan Januari 2010.

Apabila nilai kecerahan selama penelitian dibandingkan antara musim kemarau dan musim hujan, maka didapatkan bahwa pada musim hujan kecerahan memiliki nilai yang lebih rendah daripada musim kemarau. Hal ini terkait dengan penyinaran matahari, pada saat musim hujan intensitas cahaya matahari pada lokasi penelitian relatif lebih rendah dibandingkan dengan musim kemarau sehingga cahaya yang masuk ke kolom perairan juga lebih rendah. Nilai kecerahan yang rendah pada saat itu diakibatkan oleh tingginya masukan dari daratan dan sungai yang banyak mengandung partikel-partikel.

Gambar 20. Kecerahan perairan pada masing-masing stasiun dan waktu pengamatan.

Sebagai apresiasi dari adanya beban masukan dari sungai, dilakukan uji korelasi Pearson‟s antara salinitas, kekeruhan, dan kecerahan. Dari uji tersebut, diperoleh bahwa hubungan antara kecerahan dan salinitas adalah linier dan cukup

kuat pada taraf kepercayaan p < 0,05 (Pearson‟s = 0,306). Hal ini berarti bahwa

apabila kecerahan perairan tinggi maka salinitas juga tinggi, hal ini dimungkinkan karena pada saat cahaya matahari tinggi, akan terjadi proses penguapan air yang dapat meningkatkan nilai salinitas. Sedangkan antara kecerahan dan kekeruhan

memiliki hubungan yang terbalik (Pearson‟s = -0,529). Dengan demikian, dapat

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 K ec er a ha n ( m ) Stasiun

Agustus 2009 September 2009 November 2009

dijelaskan bahwa kekeruhan yang tinggi sebagai akibat dari banyaknya partikel- partikel yang terlarut dalam perairan akan mengakibatkan terhalangnya cahaya matahari masuk ke dalam perairan sehingga kecerahan menjadi rendah.

c. Suhu dan pH

Suhu yang didapatkan selama penelitian baik secara spasial maupun secara temporal memiliki nilai yang berkisar antara 25,00-31,80oC (Gambar 21). Suhu perairan di lokasi penelitian menunjukkan tipikal kondisi umum perairan laut di wilayah tropis (Tchernia 1980) yang umumnya bervariasi antara 25-35oC (Abowei & George 2009). Kisaran suhu yang ditemukan selama penelitian sesuai dengan suhu permukaan di perairan Indonesia yang berkisar antara 28-30oC.

Nilai suhu rata-rata yang didapatkan di lokasi penelitian hampir sama dengan yang ditemukan oleh Safruddin (2007) sebesar 29,71oC meskipun dalam kisaran yang lebih sempit (29-30oC) di perairan Kabupaten Jeneponto, Poppo el al. (2009) yang memperoleh kisaran suhu antara 28,8-30,0oC di perairan Kabupaten Jembrana Bali, penelitian Huboyo & Zaman (2007) pada perairan yang mendapat air limbah dari PLTU-PLTGU Tambak Lorok Semarang (32,53oC), serta penelitian Cordova (2011) di perairan Teluk Jakarta yang mendapatkan suhu permukaan air laut sebesar 28,6oC.

Secara spasial ditemukan bahwa suhu terendah terdapat pada stasiun 1 dan tertinggi diperoleh pada stasiun 9. Pengaruh air sungai yang masuk ke stasiun 1 mengakibatkan rendahnya suhu yang diperoleh pada stasiun ini. Kisaran suhu di lingkungan pantai relatif tinggi jika dibandingkan dengan di oseanik dan dapat mencapai nilai ekstrim (Tchernia 1980). Di samping itu, perbedaan penerimaan radiasi matahari setiap wilayah menyebabkan perbedaan suhu, terkait dengan perbedaan letak geografis (lintang). Selain panas matahari, faktor lain yang mempengaruhi suhu permukaan laut adalah arus permukaan, keadaan awan,

upwelling, divergensi, dan konvergensi terutama sekitar estuaria sepanjang garis pantai. Selain oleh faktor di atas, suhu permukaan laut juga dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti penguapan, kelembaban udara, dan kecepatan angin. Lebih lanjut dijelaskan oleh Azwar (2001) bahwa perbedaan suhu pada suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: (1) variasi jumlah panas yang

diserap, (2) pengaruh konduksi panas, (3) pertukaran tempat masa air secara lateral oleh arus, serta (4) pertukaran air secara vertikal.

Suhu di suatu perairan air berfluktuasi baik harian maupun tahunan, fluktuasi terutama mengikuti pola suhu antara lingkungan sekitarnya. Secara temporal ditemukan bahwa suhu rata-rata tahunan di musim hujan memiliki nilai yang lebih rendah (pengamatan bulan Januari 2010) jika dibandingkan dengan musim kemarau. Hal ini terjadi karena suhu suatu perairan sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya, pada musim hujan cahaya relatif lebih rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nontji (1987) bahwa pada musim barat curah hujan sangat tinggi mengakibatkan suhu sangat minimum. Lebih lanjut dijelaskan oleh Nontji (2006) bahwa pada saat musim pancaroba, angin biasanya lemah dan permukaan laut akan tenang sehingga proses pemanasan di permukaan terjadi sangat kuat. Akibatnya pada musim pancaroba suhu lapisan permukaan mencapai maksimum.

Gambar 21. Sebaran suhu pada masing-masing stasiun dan waktu pengamatan. Pada lokasi penelitian juga ditemukan fakta bahwa variasi suhu sangat kecil baik antara setiap lokasi maupun antara setiap waktu pengamatan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Soegiarto & Birowo (1975) bahwa secara horizontal suhu permukaan laut di perairan Indonesia memiliki variasi tahunan

20.00 22.00 24.00 26.00 28.00 30.00 32.00 34.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Su hu ( oC) Stasiun

Agustus 2009 September 2009 November 2009

yang kecil, namun variasi tersebut masih menunjukkan perubahan musiman, perubahan tersebut dipengaruhi oleh posisi matahari dan pengaruh massa air di daerah lintang tinggi. Disamping itu, pola suhu perairan dapat dipengaruhi oleh faktor antropogen yaitu faktor yang diakibatkan oleh manusia seperti limbah panas yang berasal dari pendingin pabrik, penggundulan DAS yang menyebabkan hilangnya pelindung sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung (Azwar 2001).

Berdasarkan uji anova, distribusi suhu berbeda sangat nyata (p < 0,05) baik secara spasial maupun secara temporal. Dari uji lanjut Tukey secara spasial diperoleh bahwa lokasi-lokasi yang berbeda suhunya adalah stasiun 9, 6, dan 3 yang berbeda dengan stasiun 1. Sementara itu, secara temporal ditemukan bahwa suhu memiliki nilai yang berbeda antara pengamatan musim kemarau dengan pengamatan musim hujan. Berdasarkan uji lanjut Tukey diperoleh bahwa waktu- waktu pengamatan yang memiliki suhu yang berbeda adalah pengamatan September 2009 dengan Mei 2010, Maret 2010, November 2009, dan Januari 2010, pengamatan Agustus 2009 berbeda dengan November 2009 dan Januari 2010, serta pengamatan Mei 2010 dan Maret 2010 berbeda dengan pengamatan Januari 2010.

Secara spasial dan temporal nilai pH yang diperoleh selama penelitian mempunyai kisaran antara 6,58-8,73 (Gambar 22). Kisaran nilai pH yang didapatkan selama penelitian masih berada pada kisaran yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Namun, nilai yang diperoleh tersebut bukan merupakan nilai yang optimal sebagaimana yang dikemukakan oleh Omori & Ikeda (1984) bahwa pH optimum untuk pertumbuhan plankton adalah pada pH 7,0-8,5. Organisme air dapat hidup dalam perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah dengan basa lemah. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu, pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion aluminium yang bersifat toksik. Sedangkan pH yang sangat tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara ammonium dan amonia dalam air akan

terganggu. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amonia yang bersifat sangat toksik bagi organisme

Secara spasial selama penelitian didapatkan nilai pH yang berbeda antara setiap stasiun, dengan pola bahwa stasiun yang lebih dekat ke pantai memiliki nilai pH yang lebih rendah dibandingkan dengan stasiun yang lebih jauh dari pantai. Hal ini disebabkan oleh adanya masukan air tawar dari sungai yang dapat menurunkan pH pada lokasi yang dekat pantai. Sementara itu, secara temporal nilai pH lebih rendah pada musim hujan daripada musim kemarau.

Gambar 22. Sebaran pH pada masing-masing stasiun dan waktu pengamatan. Hasil analisis varians baik secara spasial maupun temporal sangat berbeda nyata (p<0,05). Berdasarkan uji lanjut Tukey didapatkan bahwa nilai pH berbeda hanya pada stasiun 8 dengan stasiun 3. Nilai pH pada stasiun 8 lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 3. Sementara itu, secara temporal ditemukan bahwa nilai pH pada pengamatan Agustus 2009 berbeda dengan pengamatan September 2009, Mei 2010, dan Januari 2010. Pengamatan Agustus memiliki nilai pH yang lebih tinggi dari pengamatan September, Mei, dan Januari. Sementara itu, pengamatan November 2009 berbeda dengan pengamatan September 2009, Mei 2010, dan Januari 2010. Nilai pH pengamatan November lebih tinggi dibandingkan dengan pengamatan September, Mei, dan Januari. Begitu pula,

5.00 5.50 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 8.50 9.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 pH Stasiun

Agustus 2009 September 2009 November 2009

antara pengamatan Maret 2010 berbeda dengan pengamatan Januari 2010. Bulan Maret mempunyai pH yang lebih tinggi dari bulan Januari.