• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. METODOLOGI UMUM

4.5. Hasil dan Pembahasan

4.5.2 Variabilitas Salinitas Permukaan Laut Musiman dan

Gambaran dari karakteristik rata-rata salinitas permukaan laut pada kedalaman 5 meter 10 harian selama Januari 1994 sampai Desember 2010 (17 tahun) di Laut Jawa yang diwakili oleh salinitas permukaan laut di wilayah antara 106o–116o BT dan 3o-8o LS, seperti disajikan pada (Gambar 39). Rata-rata bulanan SSS mulai Januari sampai dengan Desember selama tahun 1994 sampai dengan 2010, seperti diberikan pada (Gambar 40–Gambar 51).

Rata-rata bulanan di perairan Utara Jawa-Madura (Laut Jawa) pada tahun 1994–2010 dengan kisaran antara 32,0 psu – 34,4 psu. Pada umumnya salinitas permukaan laut di Laut Jawa relatif rendah (32,00 psu–33,00 psu) dibandingkan perairan sekitarnya (Laut Flores, Selat Makassar, Selat Karimata, dan Selatan Jawa). Dari wilayah bagian barat ke timur salinitas permukaan laut semakin tinggi, dan di bagian perairan sekitar Pulau Kalimantan Selatan dan Sumatera

Selatan ditemukan salinitas permukaan laut relatif rendah (antara 32,0–32,5 psu), kemungkinan karena pengaruh sungai-sungai di kedua pulau tersebut dan menyebar bersama arus permukaan dari selat-selat sekitar Laut Jawa, seperti Selat Karimata, Selat Makassar dan Selat Sunda.

Pola distribusi salinitas permukaan laut di Laut Jawa sangat dipengaruhi oleh pergerakan angin muson. Selama bulan-bulan muson tenggara, angin yang diikuti oleh arus permukaan laut, datang dari timur dan pada waktu yang sama, massa air oseanik masuk ke Laut Jawa dan mendorong massa air yang bersalinitas rendah di Laut Jawa ke barat. Kejadian sebaliknya terjadi pada bulan-bulan-bulan musim barat (Desember-Januari-Februari).

Berdasarkan pola pergerakan massa air, seperti dijelaskan oleh Wyrtki (1961), massa air pada Laut Jawa kemungkinan terjadi pengaruh dan percampuran dengan massa air dari perairan di wilayah sekitarnya, seperti yang datang dari Samudera Pasifik melalui Laut Cina Selatan, Laut Flores, dan dari perairan massa air dari Selat Makassar, serta kemungkinan dari Samudera Hindia melalui Selat Sunda.

Secara umum berdasarkan rataan bulanan salinitas permukaan laut mulai dari tahun 1994–2010, bahwa di perairan Laut Jawa memperlihatkan adanya variabilitas musiman dengan diindikasikan dua puncak salinitas permukaan laut maksimum dan dua lembah salinitas permukaan laut minimum (Gambar 52). Pada musim peralihan I (Maret-April-Mei) lebih rendah dibandingkan musim barat, musim timur, dan musim peralihan II (September-Oktober-Nopember), dan salinitas permukaan laut rendah terkonsentrasi di bagian timur Laut Jawa, di selatan Selat Makasar.

Pada musim timur (Juni-Juli-Agustus), salinitas permukaan laut tampak lebih tinggi dibagian timur, terutama di sisi dekat Kalimantan cenderung meningkat. Pada Musim Peralihan II (September-Oktober-Nopember), salinitas permukaan laut relatif sama dengan Musim Timur dan terlihat salinitas rendah ditemukan di perairan bagian Barat di sekitar Selat Sunda, dengan salinitas permukaan laut sekitar antara 33,00 psu–34,00 psu. Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan oleh masuknya massa air bersalinitas tinggi dari

Samudera Pasifik ke perairan Indonesia, menyebabkan sebaran salinitas permukaan di perairan Indonesia meningkat dari barat ke timur dan berkisar antara 30,00 psu –35,00 psu. Dalam muson timur masuknya massa air dari yang bersalinitas tinggi dari arah timur dari Selat Makassar dan Laut Flores, mendorong massa air bersalinitas rendah kembali ke barat sampai ke laut Cina Selatan melewati Selat Karimata (Wyrtki, 1961; Nontji, 1987; Gordon, 2005). Menurut, (Atmadipoera dan Nurjaya, 2011) bahwa salinitas permukaan laut perairan Makasar-Arlindo adalah pemasok utama perairan Laut Jawa selama musim timur, bukan dari Laut Flores seperti yang diduga sebelumnya. Komponen arus Makassar-Arlindo yang mengalir ke barat menuju Laut Jawa merupakan respon lokal dari Musim timur (Angin Muson Tenggara) melalui Ekman transport.

Pada musim barat (Desember-Januari-Februari), salinitas permukaan laut terlihat relatif rendah berkisar antara 32,00–33,00 psu, terutama pada wilayah perairan bagian barat Pulau Jawa. Pada musim ini massa air dari Laut Natuna melewati Selat Karimata memasuki Laut Jawa dari arah barat yang dalam perjalanannya banyak mengalami pengenceran dari aliran-aliran sungai di sungai disekitarnya (Sumatera, Kalimantan, dan Jawa). Akibatnya salinitas turun dan mendorong massa air yang bersalinitas tinggi ke timur ke arah laut Flores. Nilai rata-rata tahunan yang terendah di perairan Indonesia sering dijumpai pada perairan Indonesia bagian barat dan semakin ke timur nilai rata-rata tahunannya semakin meningkat. Pada Muson barat massa air dari Laut Natuna memasuki Laut Jawa dari arah barat yang dalam perjalanannya dalam musim hujan tersebut banyak mengalami pengenceran dari aliran-aliran sungai dari Sumatera, Kalimantan, dan Pulau Jawa. Akibatnya salinitas turun dan mendorong massa air yang bersalinitas tinggi ke timur ke arah Laut Flores.

Berdasarkan karakteristik dari salinitas massa air, bahwa sirkulasi massa air di perairan Laut Jawa diklasifikasikan menjadi tiga tipe (Wytrki, 1956). Pertama adalah perairan oseanik dengan massa air salinitas lebih dari 34,00 psu. Terjadi intrusi massa air salinitas relatif tinggi dari arah timur yang sangat jelas terlihat pada waktu angin muson timur (muson tenggara, Juni-Agustus) berhembus. Garis

isohalin (33,50 psu) yang melintang dengan bentuk mengerucut dari arah timur menuju ke barat menunjukkan pergerakan massa air oseanik bersalinitas tinggi dari arah timur ke barat sampai dengan dengan ujung lidah massa air salinitas tinggi mencapai 113o BT. Massa air kedua adalah bersalinitas sekitar 32,00 psu sampai dengan 34,00 psu. Massa air ini berasal dari dari bagian selatan Laut Cina Selatan dan bercampur dengan massa air yang lebih tawar di Laut Jawa. Percampuran massa air sangat jelas terlihat pada waktu angin muson barat laut (Musim Barat, Desember-Februari), pergerakan isohaline 33,80 psu. Massa air ketiga adalah massa air yang relatif tawar dengan salinitas sekitar 32,00 psu, dan jenis massa air lain di Laut Jawa adalah massa air yang berasal dari sungai atau gelontoran dari daratan dengan salinitas kurang dari 30,00 psu.

Gambar 39. Salinitas Permukaan Laut (Kedalaman 5 Meter) di Laut Jawa, Perata-Rataan dari 27 Desember 1993 – 03 Januari 2011 (~18 tahun)

Gambar 40. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Januari 1994– 2010 di Laut Jawa

Gambar 41. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Februari 1994– 2010 di Laut Jawa

Gambar 42. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Maret 1994– 2010 di Laut Jawa

Gambar 43. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan April 1994–2010 di Laut Jawa

Gambar 44. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Mei 1994–2010 di Laut Jawa

Gambar 45. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Juni 1994–2010 di Laut Jawa

Gambar 46. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Juli 1994–2010 di Laut Jawa

Gambar 47. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Agustus 1994– 2010 di Laut Jawa

Gambar 48. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan September 1994–2010 di Laut Jawa

Gambar 49. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Oktober 1994– 2010 di Laut Jawa

Gambar 50. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan November 1994– 2010 di Laut Jawa

Gambar 51. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Desember 1994– 2010 di Laut Jawa

Gambar 52. Puncak Salinitas Permukaan Laut Maksimum dan Salinitas Permukaan Laut Minimum di Laut Jawa

Gambar 52, memperlihatkan bahwa amplitudo (selisih salinitas permukaan laut maksimum dan salinitas permukaan laut minimum) salinitas permukaan yang relatif lebar sekitar 2 psu, yaitu antara 32,50 psu–34,50 psu di perairan bagian timur Laut Jawa, sedangkan di bagian tengah dan barat amplitudonya relatif sempit, yaitu sekitar 1 psu, antara 32,75 psu–33,5 psu. Hal ini diperkirakan bahwa di perairan bagian timur wilayah studi lebih dinamik karena pengaruh yang lebih intensif dari massa air di sekitarnya dibandingkan dengan di wilayah bagian barat dan bagian tengah Laut Jawa. Salinitas maksimum diduga terkait dengan sirkulasi massa air dari Arus Lintas Indonesia di Selat Makassar memasuki Laut Jawa, sedangkan salinitas minumum kemungkinan berhubungan dengan masukan massa air dari Selat Karimata dan sistem sungai-sungai besar (Sungai Musi, Sungai Barito, dan sungai Pulau Jawa).

Pada perairan bagian barat wilayah studi di Laut Jawa (106o BT–108o BT) di sebelah barat Pekalongan, terlihat bahwa di sepanjang tahun (Januari–

Bagian Barat Bagian Tengah

Desember) diisi oleh massa air salinitas rendah kurang dari 33,00 psu. Di perairan di bagian timur dan bagian selatan Laut Jawa, yaitu di utara pulau Bawean dan Kangen, terlihat antara Februari sampai dengan Mei diisi oleh massa air bersalinitas rendah kurang dari 32,50 psu. Massa air relatif rendah diduga berasal dari sisa-sisa massa air dari selatan Kalimantan dan selatan Selat Sunda pada musim barat (Desember-Januari-Februari).

Puncak salinitas minimum (Gambar 52) selama musim barat, kemungkinan terkait dengan terjadinya periode musim hujan, dimana ada presipitasi langsung ke laut dan gelontoran air sungai. Sedangkan puncak salinitas maksimum pada musim timur, kemungkinan terkait dengan tingginya penguapan langsung dari laut dan pengaruh suplai massa air bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik melalui Selat Makassar.

Proses percampuran selama 1 tahun berdasarkan pada pola sebaran salinitas permukaan di Laut Jawa mulai tahun 1994 sampai dengan 2010, tergambar pada Gambar 53. Bulan-bulan Desember sampai dengan Maret pada saat periode angin muson barat, pola garis isohalin menunjukkan bahwa massa air bergerak dari barat ke timur. Selama periode musim ini Laut Jawa didominasi diisi oleh massa dari barat dengan salinitas rata-rata 32,20 psu sampai dengan 32,80 psu. Sebaliknya mulai bulan Juni (musim Timur), garis isohalin (33,00 psu) menunjukkan massa air bergerak dari timur ke barat. Pada periode musim ini massa air Laut Jawa didominasi oleh massa air di atas 33,00 psu. Penetrasi yang paling jauh dari massa air salinitas tinggi (33,40 psu) ini terjadi pada bulan sekitar antara bulan Agustus-September-Oktober, ketika ujung lidah isohaline 33,40 psu mencapai bagian tengah/barat Laut Jawa dan selama periode musim Timur memperlihatkan kisaran nilai salinitas antara 33,40 psu sampai dengan 34,20 psu (Gambar 53).

Pada Gambar 54, memperlihatkan kisaran salinitas maksimum yang relatif lebar (sepanjang Laut Jawa) pada tahun 1994/1995, 1997/1998, dan tahun 2006, diduga terkait dengan fenomena antar tahunan (El Nino). Sedangkan pengaruh fenomena La Nina pada tahun 2010, diperlihatkan dengan jelas oleh kisaran salinitas minimum di sepanjang Laut Jawa.

Gambar 53. Distribusi Time longitude Plot (Bulan-Bujur) Salinitas Permukaan Laut Mulai Januari sampai dengan Desember 1994–2010 di Laut Jawa

Gambar 54. Distribusi Time Longitude Plot (Bulan-Bujur) Salinitas Permukaan di Laut Jawa Mulai Tahun 1994–2010

Gambar 55. Fluktuasi Salinitas Permukaan Laut (A) di Laut Jawa-Madura, Perata-Rataan dari Januari 1994–Desember 2010

Gambar 56. Anomali Salinitas Permukaan Laut di Laut Jawa-Madura, Perata-Rataan dari Januari 1994–Desember 2010

Gambaran tentang periodesasi, durasi, dan intensitas dari fluktuasi salinitas permukaan laut pada kedalaman 5 meter di Laut Jawa pada kurun waktu bulan Januari 1994 sampai dengan Desember 2010, seperti disajikan pada Gambar 55 dan Gambar 56. Pada Gambar 58, memperlihatkan periodesasi fluktuasi salinitas

permukaan di Laut Jawa terjadi pada selang periode tertentu, terutama rentang waktu musiman atau tahunan, dan antar tahunan. Rentang periode musiman (tahunan) pada sekitar 350 hari memiliki spektral yang paling dominan, dengan power spektrum terkuat antara 0,7–1,0. Fluktuasi salinitas yang paling besar tersebut terlihat terjadi pada periode antara tahun 1994/1995, dan 1997/1998 dan pada tahun 2006, seperti telah ditunjukkan juga pada Gambar 54. Spektral yang relatif kuat juga ditunjukkan pada rentang periode Intraseasonal (sekitar 2–6 bulan) dan periode antar tahunan (interannual). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada periode rentang waktu tahun 1994 sampai dengan 2010, fluktuasi salinitas di Laut Jawa yang paling besar terjadi dalam periode musiman atau tahunan dan antar tahunan.

Gambar 57. Power Spektrum Wavelet (A) dan (B) Anomali (Standarzed) dari Masing-masing Sinyal Rentang Periodesasi Selama Tahun 1994-2010 di Laut Jawa

Pada Gambar 57, menunjukkan variasi dari salinitas permukaan laut dengan periode 6 dan 12 bulan adalah representasi dari semiannual (monsoonal) dan

annual variability. Sedangkan periode sekitar 32 bulan (2,5 tahun) adalah representasi dari variabilitas antar tahunan (interannual). Variabilitas tersebut diduga berhubungan dengan angin muson yang berhembus di atas laut Jawa dan perubahan iklim global yaitu interaksi atmosfir dan laut secara nyata yang terjadi di Samudera Pasifik yang dikenal dengan fenomena ENSO.

Gambar 58. Sinyal Variasi Musiman dan Antar Tahunan Salinitas Permukaan Laut Mulai Januari 1994 Sampai dengan Desember 2010 di Laut Jawa

Berdasarkan pada hasil analisis spektral rata-rata salinitas permukaan pada kedalaman 5 meter di Laut Jawa selama tahun 1994-2010 (Gambar 58), terlihat

Sinyal Semi-annual

signal yang signifikan dengan periode musiman atau tahunan dan periode antar tahunan (interannual), yang merupakan representasi dari pengaruh muson (monsoon) dan perubahan iklim global seperti ENSO (El Nino dan La Nina). Pada tahun 1994/1995 dan 1997/1998, terjadi anomali salinitas positif yang relatif tinggi (Gambar 54 dan 58) diduga berhubungan dengan fenomena iklim pada periode musiman atau tahunan antara 300–500 hari dengan intensitas tinggi dan durasi yang lama sekitar 40 bulan (Gambar 57 dan Gambar 58). Kajadian tersebut diduga berhubungan kuat dengan kejadian El Nino kuat pada tahun-tahun tersebut (Gambar 55 dan Gambar 57, Gambar 54). Pada saat El Nino tahun 1997/1998, di wilayah Indonesia, termasuk di Laut Jawa terjadi intensitas penyinaran matahari yang tinggi dan curah hujan yang rendah di atas Laut Jawa (Gambar 55), maupun di atas daratan Pulau Jawa. Akibatnya salinitas permukaan laut di perairan di Laut Jawa pada periode tersebut menjadi meningkat dengan fluktuasi yang tinggi (Gambar 55, Gambar 56, Gambar 60).

Variasi massa air dengan Salinitas maksimum dan Salinitas minimum yang relatif besar, yaitu dengan amplitudo antara -1,5–(1,5) terjadi pada periode antara 1994-1995, dan antara tahun 1997-1998. Sedangkan pada tahunn 1999–2005 variasinya relatif kecil, dan variasi salinitas permukaan laut relatif besar juga terlihat pada periode tahun 2006–2009. Pada periode tahun 2010, terlihat salinitas rendah sepanjang tahun di laut Jawa, hal ini kemungkinan berhubungan dengan fenomena Indian Dipole Mode Negatif (Makarim, 2011) dengan anomali suhu permukaan laut (SSTA) positif dan anomali hujan (precepitasi) yang besar di hampir sepanjang tahun 2010. Fenomena iklim dengan curah hujan intensitas tinggi di hampir sepanjang tahun 2010 tersebut, maka tahun 2010 dikenal sebagai tahun iklim kemarau basah (tanda lingkaran hitam). Akibatnya salinitas permukaan laut di perairan di Laut Jawa pada periode tersebut menjadi relatif sangat rendah (menurun) dengan fluktuasi yang tinggi (lingkaran hitam Gambar 58, Gambar 59).

Berdasarkan analisis spektral wavelet dan indeks ENSO (SOI, Nino 3.4) memperlihatkan bahwa fluktuasi salintas permukaan Laut Jawa pada periode antara tahun 1994 sampai dengan 2010, lebih dipengaruhi oleh iklim musiman

atau tahunan (monsoon) dibandingkan dengan iklim antar tahunan (ENSO) (Gambar 60 dan Gambar 61).

Gambar 59. Fluktuasi Curah Hujan Rata-Rata Tahunan Selama Tahun 1994-2010 di Laut Jawa (108o BT-114o BT ; 5o LS–7o LS)

Gambar 61. Wavelet Nino 3.4 (a) dan Indeks Nino 3.4 pada periode tahun 1994– 2010

Dokumen terkait