• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vol 7 No 1, Januari 2014: 93-

Dalam dokumen Warisan Budaya Politik Komunikasi dan Ta (Halaman 97-105)

Pembahasan

a. Dari Feodalistik, Diktator ke Demo- krasi

Sebenarnya ide demokrasi bukanlah hal baru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, melainkan telah mengawali kemerdekaan bangsa ini. Sejak merdeka di bulan Agustus 1945, Indonesia mengadopsi paham demokrasi dengan meletakkan kekuasan tertinggi kepada rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyaratan rakyat (MPR). Kemudian dalam perjalanan waktu, demokrasi itu beradaptasi menyesuaikan kondisi dan situasi di setiap jaman,dari demokrasi liberal, demokrasi terpimpin hingga demokrasi pancasila. Jika kita menilik hal tersebut, maka mengapa saat ini Indonesia masih sibuk menggaungkan demokrasi? Sibuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia adalah salah satu negara penganut paham demokrasi terbaik di dunia? Tidakkah bangsa ini sudah akrab dengan kata demokrasi? Mengapa setelah reformasi demokrasi seakan-akan menjadi jualan paling laku para elit politik? Jika demokrasi merupakan pilihan terbaik, mengapa budaya konfl ik menjadi bagian

dari demokrasi di Indonesia. Demokrasi adalah label sedangkan demokrasi yang sesungguhnya terletak pada implementasi di lapangan.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, banyak negara yang baru merdeka

berbondong-bondong mengklaim menganut sistem demokrasi, bahkan di era

1970-an dan 1980-an, gelombang demokrasi semakin meningkat di negara dunia ketiga. Mereka menganut demokrasi dengan banyak ragam, demokrasi presidensial, demokrasi parlementer, ataupun campuran diantaranya dengan satu-dua partai atau multipartai, yang relatif stabil secara sistem tapi tidak dalam proses demokrasi itu sendiri (Huttington, 1993). Selebihnya

Huttington dalam bukunya “The Third Wave, Democratization in the Late Twentieth

Century” membagi rejim demokrasi

menjadi tiga bentuk, pertama, secara

general merupakan negara absolut monarki, aristokrasi feodal dan negara penerus atau pewaris continental empires. Kedua, negara fasis, bekas koloni, personal otoriter militeristik, dan sebelumya mereka sudah memiliki pengalaman demokrasi. Ketiga, negara yang menganut sistem satu partai, rejim militer dan dipimpin oleh seorang diktator. Meskipun ketiganya mengusung demokrasi, namun demokrasi itu sangatlah ditentukan oleh pola dan historis yang telah tercipta di suatu negara. Mencermati kasus Indonesia, saya mengkategorikan demokrasi Indonesia semasa era Soekarno dan Soeharto adalah perpaduan antara ketiganya, dan era reformasi sebagai warisan dari budaya yang sudah terpola sebelumnya.

Historis Indonesia sebelum bersatu adalah negara-negara terpisah yang terdiri dari banyak kerajaan dan tentunya masing- masing kerajaan tersebut mempunyai sistem pemerintahan dan tradisi yang berbeda pula. Meskipun pada akhirnya kerajaan- kerajaan di Indonesia telah dibubarkan pada gerakan pembaruan antifeodalisme pada tahun 1950-an dan 1960-an namun tradisi feodal masih terasa dan perlu digarisbawahi bahwa meleburnya negara- negara kerajaan tersebut ke dalam Indonesia dikarenakan persamaan perasaan terjajah. Sehingga tidak mengherankan apabila ada upaya untuk membangkitkan kembali keraton-keraton yang ada di nusantara di era reformasi (Klinken, 2010, bab 7). Mari kita tinggalkan era feodalistik dan melihat bagaimana budaya itu terwariskan kuat dalam masyarakat Indonesia di era Soekarno dan Soeharto.

Apa yang seringkali diperbincangkan mengenai label diktator yang diberikan

pada Soekarno dan Soeharto tentunya masih belum seekstrim jika dibandingkan dengan diktator macam Idi Amin dari Uganda yang membuat repot dunia internasional, Hitler yang memicu Perang Dunia II atau Stalin yang merupakan simbol kekejaman Uni Soviet. Diktator di Indonesia lebih erat kaitannya dengan lamanya masa kepemimpinan dan penggunaan kekuasaan militer, mesin partai, dan ideologi yang menjadi dogma. Dengan kata lain budaya feodal sangat kental. Pelanggengan kekuasaan adalah simbol dari kediktatoran itu sendiri, sebab dalam budaya keraton, seorang raja tidak akan turun tahta sebelum ia wafat atau menyerahkan kekuasaan pada pewaris tahta yang ia tunjuk. Kesamaan antara kedua pemimpin besar Indonesia itu adalah, mereka sama-sama telah diturunkan dari kekuasaan oleh rakyat.

Hal yang sama tentu juga terjadi di negara-negara belahan bumi lainnya, seperti Irak, Libya, Mesir, dan belakangan Suriah. Namun hal yang menarik sesudahnya, ternyata ketika diktator sudah tak berkuasa, rakyat di negara- negara tersebut terpecah-belah dalam faksi-faksi, berganti-ganti kepemimpinan dengan cepat, dan meningkatnya ketidakstabilan keamanan. Ketidakpuasan terhadap pemimpin menjadikan proses demokrasi tidak berjalan maksimal tapi justru melahirkan demokrasi yang bersifat instan. Padahal demokrasi yang berjalan di Amerika Serikat bisa menjadi stabil setelah berproses ratusan tahun. Negara-negara Eropa mapan itupun juga berproses selama ratusan tahun sebab mereka juga memiliki sejarah feodalistik. Indonesia sendiri meskipun sekali lagi saya katakan sangat akrab dengan demokrasi, namun proses demokrasi sesungguhnya baru benar-benar berjalan setelah era reformasi. Sama seperti halnya seperti negara dalam kategori baru belajar demokrasi, Indonesia sepertinya belum siap dengan pergantian pemimpin

atau dengan cepat mengganti pemimpin bila tidak bekerja ekspres.

b. Budaya Feodalistik dan Kultus Figur

Budaya feodalistik yang terwariskan pada era Soekarno dan Soeharto sangat berpengaruh terhadap budaya pengkultusan di Indonesia. Hingga saat ini kultus individu sangat berpengaruh dalam setiap pemilihan pemimpin rakyat dari tingkat daerah sampai tingkat nasional. Kultus individu adalah harga mati tanpa melihat bagaimana visi dan misi yang dibawa sang calon pemimpin untuk kebaikan Indonesia ke depan. Di negara-negara lain yang masuk dalam kategori baru belajar demokrasi juga mengalami hal yang tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Misalnya saja bagaimana Vladimir Putin seakan menjadi yang tak tergantikan dalam pilihan rakyat Rusia. Masing-masing negara yang lahir dari budaya feodal yang kuat dan mengalami rejim diktator memiliki tingkat kesulitan yang sama dalam menentukan fi gur pemimpin dan

belum siap dengan kepemimpinan yang berganti-ganti dan sebaliknya kekuasaan melahirkan keinginan akan kekuasaan yang lain bagi penguasa. Kultus individu adalah budaya politik yang terpola dan semestinya budaya ini sedikit demi sedikit dapat bergeser. Sebab kultus individu mendeskripsikan seorang pemimpin tanpa cela padahal seorang pemimpin juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Demokrasi yang berjalan di Indonesia pun tidak lepas dari pengkultusan individu dan terpatri pada fi gur dan fanatisme hingga

melahirkan budaya politik negatif, saling menjatuhkan lawan politik dengan isu-isu sara.

Budaya feodalistik yang ikut diwariskan berkaitan dengan pemahaman birokrasi di masa keraton atau kesultanan bahwa birokrasi adalah abdi raja bukan abdi rakyat (Dwiyanto, 2002). Dalam penelitiannya

pula, Agus Dwiyanto dan kawan-kawan, menyimpulkan beberapa hal terkait isu birokrasi di masa reformasi. Pertama, adanya warisan historis, karena birokrasi di masa itu dibentuk untuk melayani dan tunduk atas perintah raja dan keluarganya. Budaya ini terpelihara hingga masa era kolonialisme dan masih berpengaruh dalam kinerja birokrasi di Indonesia. Kedua, budaya paternalisme yang sangat kuat melahirkan justifi kasi nilai-nilai dan

simbol akan persepsi di sebagai penguasa. Pada akhirnya para birokrat melihat para pengguna jasa birokrat adalah bukan orang yang mereka layani melainkan orang yang membutuhkan pertolongan mereka. Sehingga memungkinkan hal ini menjadi celah-celah transaksional bagi tumbuh suburnya kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sehingga pemakluman akan warisan historis Indonesia mengkonstruksikan pola budaya politik yang tercipta di era reformasi.

Proses transformasi demokrasi yang berjalan pasca militeristik juga melahirkan budaya euforia. Sebab demokrasi seringkali diartikan sebagai kebebasan dalam berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk kehidupan berpolitik. Dengan berkurangnya pengaruh militer dalam pemerintahan, era baru kekuasaan dimulai. Namun pola budaya represif secara tidak langsung berpengaruh terhadap demokrasi. Ketakutan akan bangkitnya militer dan kekuasaan kepala negara yang terlampau luas menyebabkan diamandemennya UUD 1945. Namun budaya akan kekuasaan lahir dengan wujud yang berbeda, yaitu terlampau berkuasanya parlemen. Kemudian publik bertanya-tanya siapa saja yang telah duduk di parlemen? Indonesia meskipun tecatat sebagai lima besar negara demokrasi di dunia, tetapi secara budaya politik masih jauh dari harapan meskipun secara struktur politik, Indonesia telah mencapai perubahan yang sedikit lebih baik dibandingkan Orde Baru.

Komunikasi dan Demokrasi di Indonesia

Proses demokratisasi di negeri ini sejak reformasi bergulir merupakan indikasi terjadinya dinamika sejarah baru yang cukup menggembirakan dalam proses kebangsaan dan kenegaraan. Ditandai dengan keberhasilan melaksanakan pemilu legislatif, pemilihan presiden langsung dan selanjutnya pemilihan kepala daerah secara langsung hampir tanpa konfl ik

mengkhawatirkan. Indikator keberhasilan secara kuantitatif bisa diketahui dari jumlah partisipasi pemilih, parpol, jumlah calon kepala daerah sampai tingkat keamanan serta konsolidasi di dalamnya, sudah waktunya kita refl eksikan dengan tingkat signi kansi

perubahan dan perbaikan kondisi masyarakat. Keberhasilan proses (transisi) demokrasi saat ini telah menjadikan dunia internasional menempatkan Indonesia sebagai new state of democracy di Asia yang sebelumnya di kenal sebagai lahan subur diktator dan otoritarianisme. Demokrasi sebagai universal value tentu tidak menjadi hak kepemilikan individu maupun klaim kelompok di tengah masyarakat, tetapi merupakan “entitas” yang memiliki nilai lintas sektoral serta diperjuangkan demi kepentingan bersama. Apalagi kehidupan masyarakat kita yang amat plural dan sarat dengan keragaman sosial budaya, maka tidak ada lem perekat yang lebih cocok kecuali demokrasi. Termasuk di dalamnya sistem politik dan tatanan kenegaraan sebagai representasi kehendak publik yang demikian pluralistik (Yulianto, dalam http://www.suaramerdeka.com/ harian/0601/05/opi3.htm)

Budaya politik di Indonesia mungkin saat ini mungkin tidak jauh berbeda dengan masa Orde Baru atau jika dapat dikatakan tidak lebih baik dari periode sebelumnya. Meskipun masyarakat transisi dari rejim otoriter ke era keterbukaan politik telah menunjukkan partisipasi politik yang lebih

mandiri serta tingkat pemahaman politik yang lebih baik. Namun, disatu sisi tampak terlihat lebih brutal dan anarki serta kurang mengindahkan batas-batas kesopanan. Misalnya saja yang paling aktual adalah bagaimana komunikasi politik yang sangat terbuka mendominasi Pemilu Presiden Indonesia pada tahun 2014 lalu, tidak hanya ditingkat elit saja, tetapi juga pada level grassroot.

Persoalannya bukan saja pada dua tokoh kandidat presiden yang sama-sama memiliki tingkat kepopuleran yang tinggi ataupun background mereka yang luar biasa dikomersilkan oleh partai pengusung, tetapi pada kenyataannya memang telah terjadinya pergeseran nilai-nilai para partisipan politik dalam mengungkapkan pilihan mereka. Komunikasi politik pada saat itu berjalan sangat lugas dan tanpa beban memojokkan pihak-pihak yang dianggap lawan, saling menjatuhkan, bahkan saling menghujat diantara kedua pendukung apapun latar belakang mereka. Hal ini terutama terkait dengan penggunaan media massa, baik media televisi maupun internet melalui sosial media. Komunikasi politik saat itu mengalami kebuntuan dan diwarnai dengan aksi-aksi yang mengarah pada komunikasi politik yang tidak sehat. Meskipun sifatnya temporer, tetapi apa yang terjadi pada pemilu presiden 2014 antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto telah mengubah cara masyarakat dalam mengemukakan pendapat politik mereka. Komunikasi tidak lagi bersifat searah, tetapi mereka dengan bebas mengkritisi para kandidat presiden. Walaupun konfl ik yang

terjadi pada dua kubu yang berseberangan tersebut pada akhirnya berujung pada terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia periode 2014-2019 dan perbedaan kedua kubu tersebut pun turut usai.

Melalui perkembangan media dan jaringan komunikasi yang pesat,

menyebabkan masyarakat terutama di kota- kota besar di negara berkembang, termasuk Indonesia dapat mengekspressikan persepsi politik mereka dengan lebih terbuka melalui media sosial. Masyarakat pada kelompok ini umumnya mereka yang memiliki latar belakang sosial, ekonomi, atau pendidikan yang baik. Mereka masuk pada kelompok masyarakat dari menengah ke atas dan meskipun jumlah mereka tidak signifi kan dalam pemilu presiden 2014

tetapi para partisipan yang bergerak di media sosial ternyata mampu memberikan pengaruh terhadap para pemilih lainnya.

Komunikasi politik yang antara para pemimpin dengan masyarakat pada umumnya pun mulai mengalami perubahan. Sifatnya tidak lagi searah, yaitu masyarakat menerima saja pendapat para pemimpin mereka,namun dewasa ini masyarakat juga mampu mengemukakan pendapat mereka. Setidaknya komunikasi politik di Indonesia telah menunjukkan perubahan yang signifi kan di era demokrasi.

Tetapi di sisi lain hal ini juga dapat memicu permasalahan, sebab ketika pemimpin tidak dapat menghasilkan apa yang telah dijanjikannya dan tidak sesuai dengan nilai- nilai yang dianut oleh masyarakat, bisa saja masyarakat akan tetap menuntut solusi terhadap pemerintahan pemimpin tersebut (Arat, 2003). Namun demikian meskipun komunikasi politik telah berjalan dengan baik di era demokrasi tetapi pengkultusan individu agaknya masih sangat kental di Indonesia.

Kesimpulan

Demokrasi meskipun bentuk pemerintah ideal menurut Plato, tapi ia juga merupakan bentuk pemerintahan terburuk. Bahkan Plato mengatakan bahwa demokrasi bisa saja menjurus ke tirani. Jika demikian, mengapa demokrasi menjadi pilihan paling sempurna dari suatu

pemerintahan? Sudah menjadi rahasia umum, bahwa demokrasi yang mendunia saat ini adalah upaya penyebaran paham demokrasi yang diagungkan oleh Amerika Serikat. Dalam sebuah paper discussion karya Sean M. Lynn-Jones yang berjudul “Why the United State Should Spread Democracy?” Ia mengatakan bahwa sejumlah kebijakan AS mengenai penyebaran demokrasi bukanlah ide yang buruk sebab melalui paham liberal-intervensionalis-nya AS berusaha menyebarkan kebaikan demo- krasi ke negara lain. Dan ia juga me nepis berkembangnya argumen bahwa per- damaian demokratis hanyalah mitos, demokrasi hanya meningkatkan konfl ik,

dan demokrasi dapat mencederai ke- hidupan bernegara di negara yang belum sepenuhnya liberal.

Dunia memang telah mengakui bagaimana proses demokrasi AS berjalan dengan baik sebab secara historis AS adalah negara yang didirikan di negeri yang baru tanpa pernah ada pihak berkuasa yang mendiami wilayah tersebut. Mungkin hal ini berbeda dengan kondisi Indonesia, misalnya saja di tanah jawa, kerajaan- kerajaan besar telah ada silih berganti dan mereka membentuk pola tradisi yang ada hingga saat ini. Lalu bagaimana mengukur demokrasi itu sendiri? Apakah sudah dapat dikatakan demokrasi apabila suatu negara sudah dapat melaksanakan pemilu damai? Terlalu prematur jika melalui pemilu suatu negara sudah dapat dikatakan demokrasi dalam artian yang luas, sebab pemilu hanyalah salah satu indikator awal dari sekian banyak indikator yang dapat melabelkan sebuah negara sebagai negara demokrasi. Demokrasi kenyataannya tidak dapat disamaratakan di setiap negara, mereka memiliki ukuran dan pemahaman demokrasi yang unik yang berbeda-beda.

Meskipun demokrasi adalah sebuah kebaikan namun ketika suatu negara hendak

menuju demokrasi, mereka melalui proses tahapan konfl ik, dari kon ik elit politik

hingga konflik sara, terutama dinegara-

negara multietnis. Pola-pola ini dapat dilihat di negara pecahan Uni Soviet, Yugoslavia, dan Indonesia. Belum lama dalam ingatan, Indonesia dikejutkan dengan berbagai konfl ik bernuansa sara di Maluku, Sampit,

Sambas, Poso, Situbondo, dan banyak lagi. Tragedi ini seakan mengesahkan bahwa untuk menjadi negara demokrasi sebuah negara akan melalui tahapan konfl ik.

Dalam pemahaman kontruktivisme bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini adalah by design, kepentingan adalah sesuatu yang dikonstruksikan oleh sistem struktur (Wendt, 1992). Kepentingan yang terafiliasi dengan budaya politik

tersebut menciptakan ide demokrasi ala Indonesia. Politik sendiri dalam perspektif konfl ik diartikan sebagai kon ik, sebab di

dalamnya terdapat perbedaan pendapat, persaingan, pertentangan dan perebutan guna mendapatkan atau mempertahankan suatu nilai-nilai (Surbakti, 2007). Pada akhirnya demokrasi ala Indonesia tercipta sebagai akibat budaya-budaya feodalistik dan ketakutan akan militeristik, suatu sisi gelap yang menjadi bagian dari demokrasi itu sendiri.

Daftar Pustaka

Arat, Zehra. (2003). Democracy and Human Rights In Developing Countries. iUniverse.

Crouch, Harold. (2010). Political Reform in Indonesia After Soeharto. Singapore: ISEAS publishing.

Dwiyanto, Agus (eds). (2006). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Gadjah Mada University Press.

Huntington, Samuel. (1993). The Third

Wave: Democratization in the Late

Twentieth Century. University of

Klinken, Gerry Van. (2007). Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian

dalam Politik Lokal, in: Jamie S.

Davidson, David Henley, and Sandra Moniaga (eds.), “Adat dalam politik Indonesia”, pp165-186. Jakarta: Obor/ KITLV, 2010. Translation of “Return of the Sultans”, 2007.

Lynn-Jones, Sean M. (1998). Why the United States Should Spread Democracy.

Discussion Paper 98-07, Center for Science and International Affairs, Harvard University. Retrieved June 6, 2014, from http://belfercenter. ksg.harvard.edu/publication/2830/ why_the_united_states_ should_ spread_democracy.html

Surbakti, Ramlan. (2007). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.

Wendt, Alexander. (1999). Social Theory of International Politics. Cambridge University Press.

Yulianto, M, Demokrasi dalam Komunikasi

Politik, diakses melawat situs

http://www.suaramerdeka.com/ harian/0601/05/opi3.htm.

Komunikasi Peradaban: Paradigma Islam

Dalam dokumen Warisan Budaya Politik Komunikasi dan Ta (Halaman 97-105)