• Tidak ada hasil yang ditemukan

Warisan Budaya Politik Komunikasi dan Ta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Warisan Budaya Politik Komunikasi dan Ta"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

Diterbitkan Oleh: Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Komunikasi

Komunikasi

Jurnal

Massa

Massa

(2)

Hak cipta dilindungi Undang-undang.

Dilarang memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi dalam pelbagai bentuk medium baik cetakan, elektronik, maupun mekanik.

ISSN: 1411-268

Diterbitkan Oleh:

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Surakarta

(3)

Dewan Redaksi

Pemimpin Redaksi

Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, PhD.

Redaktur Pelaksana

Tanti Hermawati, S.Sos., M.Si Dra. Sofi ah, M.Si

Sri Herwindya Baskara Wijaya, S.Sos, M.Si Eka Nada Shofa Alkhajar, S.Sos., M.Si

Redaktur Ahli

Prof. Drs. Pawito, PhD. Drs. Mursito BM, SU Dr. Sri Hastjarjo

Mitra Bestari

Prof. Sasa Djuarsa Senjaya, PhD.

(Universitas Indonesia)

Prof. Dr. Dedi Mulyana

(Univeritas Padjadjaran Bandung)

Prof. Pamela Nilam, PhD.

(University of Newcastle, Australia)

Alamat Redaksi:

Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36-A, Kenthingan, Jebres Surakarta, 57126

Tlp./Fax: (0271) 632478 E-mail: r_windya@yahoo.com

Pemasar/sirkulasi

Budi Aryanto, Tlp. (0271) 632478

Jurnal Komunikasi Massa terbit dua kali dalam setahun, diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta sebagai media wacana intelektualitas bagi pengembangan Ilmu Komunikasi. Dewan Redaksi mengundang para pelajar, peneliti, dan praktisi bidang

komunikasi dan media massa untuk mengirimkan tulisan, baik berupa artikel ilmiah, maupun hasil penelitian. Syarat penulisan artikel tercantum di halaman sampul belakang. Dewan Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit naskah tanpa mengurangi esensi isi.

Daftar Isi

Manajemen Program Penyiaran Berbasis Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3/SPS)

Andrik Purwasito ...1

Konstruksi Media Republika Online

Terhadap Peristiwa Pengungsi Rohingya di Myanmar ...

Aryanto Budhy Sulihyantoro, dkk ...19

Perempuan di Portal Berita Online:

Representasi Perempuan dalam Website www.solopos.com

Monika Sri Yuliarti ...33

Citra Kepemimpinan Jawa dalam Film

Jokowi ...

Erwin Kartinawati ...41

Framing Komunikator di Media Komunitas

Online (Framing Kicauan Jack Soetopo vs Hazmi Srondol tentang Pilpres 2014 di Blog Kompasiana)

Mahfud Anshori ...51

Biologi Komunikasi: Kajian tentang Efek Media Massa Berdasarkan Perspektif Fisiologis

Dewanto Putra Fajar ...65

Disaster Journalism di Indonesia dalam Kritik ...

Sri Herwindya Baskara Wijaya ...77

Online Citizen Journalism: Pengantar Sejarah, Konsep dan Etika ...

Nuryanto ...85

Warisan Budaya Politik, Komunikasi dan Tantangan Demokrasi

Leni Winarni ...93

Komunikasi Peradaban: Paradigma Islam dalam Peradaban Manusia ...

(4)
(5)

Manajemen Program Penyiaran Berbasis Pedoman

Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3/SPS)

Andrik Purwasito

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

This paper will discuss how television works optimally, based on obedient and subject to the law number 32/2002, about Broadcasting . Television broadcasting should be organized based on a code of conduct broadcasting and broadcast standards (P3/SPS). Broadcasters comply with the rules due to the fact that broadcasters use public domain named frequency. The use of frequency has logical consequence, that every broadcaster shall encourage the strengthening of the national economy, social integration, and the regional autonomy policy. Compliance with regulations broadcasters also encourage the creation of a national information structure: fair, equitable, and balanced in order to achieve social justice for all of Indonesian people.

Various matters relating to the content of the broadcast program, the Indonesian Broadcasting Commission (KPI) is obliged to oversee quality television, education and ensure political stability, and encourage economic activity more progressive. With special characteristics possessed by the broadcast media, that television has in deployment speed , real time and on the spot, cheap and easily accessible by the public. This position makes television has a strategic role and chosen by the public to obtain informations.

This paper is directed: fi rst, keeping the content of television has a positive effect, second, provide accurate information and third, guarantee the right to know, as mandated by the United Nations Charter. Effect of fi nancing, market, political power, and the government, strongly infl uence the content of television broadcasts. Dependence of television to the media fi nancing, infl uence the content of media.

The result is, media content dependent market and television broadcast more left idealism. Many television workers concentrate to make a profi t and fulfi ll market taste. While public demand for television broadcasting publish quality content accordance to the direction and purpose, mandated by law. How television should work, this paper discusses comprehensively.

Keywords: broadcasting , television programs , guarantees , protection of the public , law enforcement

Vol. 7 No. 1, Januari 2014: 1-18

Pendahuluan

Selama ini televisi sering tidak dapat memuaskan banyak orang. Di Amerika Serikat, televisi sering disebut sebagai

(6)

pernah melarang keluarganya menonton televisi yang ia pimpin. Kecenderungan ketidakpuasan masyarakat terhadap tayangan televisi muncul dimana-mana, baik dimeja seminar, pernyataan anggota DPR, Ibu-ibu PKK, orang tua, keluhan yang sama dapat juga kita lihat dalam bentuk

Surat Pembaca di Surat kabar nasional

dan lokal maupun melalui email di Web-site KPI.1 Mereka mengadukan keluhan dan keberatannya melalui email, surat, pesan singkat (SMS) ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyatakan kritik dan keberatan terhadap tayangan televisi.

Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia no. 32 tahun 20022 tentang penyiaran merupakan revolusi regulasi utuk mengatur dan mengendalikan penyiaran nasional. Semangat kebatinan undang-undang tersebut adalah terlembaganya demokratisasi penyiaran yang bertumpu pada tiga hal, yaitu desentralisasi penyiaran (divesity of ownership), diversity of content, dan lokalisme.

Misi perubahan yang terjadi adalah dalam rangkat meningkatkan kualitas dan peran penyiaran nasional dalam membangun kebangsaan Indonesia yang bertanggung jawab. Seiring dengan me ningkatkan peluang sekaligus ter-hadap perkembangan era globalisasi dan digitalisasi teknologi. Undang-undang penyiaran yang baru tersebut diharapkan lebih fl eksibel, up to date dan

sesuai dengan tantangan dan peluang setiap perkembangan dan perubahan zaman. Selain itu, dengan hadirnya otonomi daerah, Negara perlu menyusun pengaturan penyiaran yang menampung

1 Alamat web-site Komisi Penyiaran Indonesia, Jakarta (2015), www.kpi.go.id

2 Revolusi penyiaran adalah revisi undang-undang penyiaran yang sebelumnya sudah ada yaitu undang-undang nomor 24 tahun 1997 tentang Penyiaran.

kemajemukan dan keberagaman melalui sistem penyiaran nasional yang berkeadilan. Muatan isi siaran dan pengelolaan lembaga penyiaran inilah yang saya sebut sebagai tata kelola atau manajemen penyiaran.

P3/SPS adalah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran disusun oleh KPI berdasarkan amanah undang-undang 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Pertimbangan disusunnya peraturan tersebut adalah diktum dalam undang-undang penyiaran yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia harus melindungi hak warga negaranya untuk mendapatkan informasi yang tepat, akurat, dan bertanggungjawab serta hiburan yang sehat.

Kenyataan obyektif menunjukkan bahwa kehadiran stasiun-stasiun televisi dan radio baru tumbuh berkembang seperti jamur di musim hujan. Semakin hari tingkat persaingan semakin tinggi dan perolehan profit justru makin

menurun. Dalam tingkat persaingan antar media televisi, program siaran akhirnya menjadi tolok ukur keberhasilan meraih keuntungan.3 Dengan persaingan antar lembaga penyiaran diprediksi berpotensi memunculkan kreasi dan inovasi program,4 yang kurang dibarengi oleh kebutuhan publik, pertimbangan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut dan diyakini oleh masyarakat.

Sistem kejar tayang yang ketat, terkadang melupakan asas rmanfaat dan misi media penyiaran untuk memperkokoh integrasi nasional, terbinanya watak dan

3 Leo Bogart, (2004), “Refl ections on Content

Quality in Newspapers,” Newspaper Research Journal, Volume 25, no. 1, (2004), p. 40.

(7)

jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, me-majukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera. Dalam situasi dan kondisi seperti itulah, KPI membuat basis pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3/SPS), sebagaimana termaktub dalam undang-undang penyiaran 2002.

Tujuan dan Manfaat

Tulisan ini bertujuan untuk menegas-kan kembali tentang pentingnya manajemen penyiaran nasional, sebagai-mana diatur dalam undang-undang penyiaran nasional yang mengamanatkan kepada insan penyiaran agar penyiaran mendorong penguatan integrasi dan kebijakan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia membutuhkan regulasi baru, agar daerah ikut serta dalam menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kedua, tulisan ini juga membahas tentang isi program penyiaran merupakan representasi atas pelaksanaan manajemen penyiaran, dengan tujuan agar media penyiaran sebagai media komunikasi massa sadar akan peran pentingnya dalam meningkatkan kehidupan sosial-budaya, menjamin kestabilan politik, dan mendorong kegiatan ekonomi lebih progresif. Dengan karakteristik khusus yang dimiliki oleh media penyiaran seperti sifat penyebarannya yang cepat, on time on the spot, murah dan mudah diakses oleh masyarakat, membuat media penyiaran menjadi pilihan utama masyarakat.

Dengan tulisan ini, lembaga penyiaran akan menguatkan program penyiaran yang visioner yang dijalankan dengan

sebaik-baiknya sehingga memberi effek positif bagi masyarakat. Masyarakat yang dibuat kebingungan oleh situasi sosial, politik dan ekonomi, menjadi jelas karena lembaga penyiaran memberikan informasi yang akurat dan sulutif. Paper ini juga mengingatkan kepada setiap insan penyiaran bahwa misi penyiaran adalah mengurangi ketidakpastian sehingga masyarakat mendapatkan jaminan hak tahu (right to know)5 sebagaimana di-amanat kan oleh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Problematik

Paper ini berangkat dari asumsi bahwa keberagaman isi siaran, khususnya televisi, baik segi konten hiburan, pendidikan, ekonomi dan kebudayaan, justru akan membangun penyiaran nasional yang lebih tertata dan berdampak positif bagi pembangunan bangsa. Televisi berbasis komersial, yaitu televisi swasta yang harus menjaga keberlangsungan siaran-siarannya dengan perolehan profi t

yang memadai, mengharuskan berjuang memperoleh keuntungan di atas rata-rata.

Televisi berlangganan pembiayaanya juga sangat bergantung dari para pelanggannya kurang lebih sama sebagai televisi komersial. Hanya televisi publik yang tidak bergantung kepada pembiayaan komersial tetapi bergantung pada dana pemerintah. Sedangkan televisi komunitas pembiayaan operasionalnya tergantung dari sumbangan komunitasnya.

Dari sinilah pengaruh pembiayaan, pasar, kekuatan politik, pemerintah sangat mempengaruhi isi siaran televisi. Ketergantungan televisi terhadap pembiayaan komersial menyebabkan perjuangan insan televisi mendapatkan

(8)

profi t adalah tujuan yang tidak dapat

dianggap remeh. Pada televisi komersial dan berbayar, bisnis merupakan bagian penting dalam setiap langkah operasionalnya. Dihadapannya, publik menuntut isi tayangan tetap tetap berkualitas sesuai dengan arah dan tujuan sebagaimana diamanatkan dalam UU Penyiaran No. 22/2002.

Pada tataran kompetisi antar media. tingkat persaingan antar lembaga penyiaran juga semakin ketat. Pembagian kue iklan semakin bertambahnya stasiun televisi semakin banyak pembaginya, sehingga terjadinya penurunan penghasilan bersih. Di sama depan kompetisi dan persaingan televisi akan berpotensi memunculkan berbagai terobosan kreatif pada program isi siaran, yang terkadang memenuhi kebutuhan pasar, bisa berakibat tayangan televisi kurang sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut dan diyakini oleh masyarakat, sehingga menimbulkan protes dan keberatan-keberatan. Adanya kompetisi dan persaingan, dibarengi oleh tuntutan pembiayaan sering berdampak pada kualitas isi siaran. Akibatnya sering terjadi kesenjangan yang lebar antara harapan publik dan realitas tayangan. Di sinilah pengelola televisi dituntut untuk menyeimbangkan antara bisnis, pasar, kekuasaan dan idealisme publik.

Peristiwa Pemilu 2014, kita semua menjadi saksi bahwa isi tayangan televisi juga semakin rentan terhadap pasar politik. Dua lembaga penyiaran, TV One dan Metro TV seakan akan telah mengabdikan sebagian dirinya sebagai pendukung kekuatan-kekuatan politik. Perkembangan terakhir, kita melihat keduanya telah menjadi ikon dua kekuatan besar dalam poros politik nasional. TV One cenderung mendukung KMP (Koalisi Merah Putih)

dan Metro TV cenderung mendukung

Koalisi Indonesia Hebat yang sedang berkuasa.

Perubahan drastis yang terjadi pada dua televisi tersebut, selain banyak orang yang kecewa, juga telah membuat banyak orang bertanya-bertanya, “bagaimana jadinya media massa berafi liasi pada

kekuatan-kekuatan politik pada hal publik banyak berharap televisi yang bersifat netral?. Bukankan televisi sebagai media massa harus bersifat impartial (tidak memihak)?6

Pertanyaan besar dari masyarakat itulah yang melahirkan paper ini. Yaitu, menjawab atas pertanyaan apakah mugkin independensi media massa masih bisa dipertahankan di bumi Indonesia ini, lalu bagaimana caranya? Jawabnya bisa, yakni melalui manajemen program berbasis P3 dan SPS. Apa manajemen program berbasis P3 dan SPS, silakan anda baca ulasan berikut ini.

1. Amanah Undang-Undang

a. Manajemen Program melalui Pedoman Perilaku

Problematik sebagai diuraikan di atas pada akhirnya adalah adanya kegalauan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap isi siaran televisi, baik isi siaran menyangkut aspek impartialitas maupun aspek rasionalitas. Antisipasi terhadap ketidakpuasan masyarakat tersebut telah diatasi dengan lahirnya Komisi Penyiaran Indonesia (selanjutnya disingkat KPI) di akhir tahun 2003. Dalam undang-undang tersebut KPI mendapatkan amanah untuk “mengatur hal-hal mengenai penyiaran.” Pada kenyataannya, yang dimaksud “hal-hal mengenai penyiaran” bukan berarti otoritas KPI mengatur seluruh hal dalam penyiaran. Interpretasi

(9)

terhadap kalinat tersebut telah menyulut konfl ik berkepanjangan antara KPI dan

Pemerintah. Akhirnya, KPI mengalami kekalahan dalam sidang Mahkamah Konstitusi, yang mana KPI terkebiri otoritasnya, terutama dalam banyak hal KPI tidak lagi bekerja sama dengan pemerintah. Amar putusan MK, lebih banyak menggiring KPI untuk fokus dalam pengaturan dan pengawasan isi siaran, pembinaan SDM, manajemen, dan membangun sistem penyiaran nasional yang berkeadilan.

Sedangkan untuk “hal-hal lain menyangkut penyiaran,” misalnya seperti migrasi dari analog ke digital, hak pemberi atas ijin lembaga penyiaran, pengawasan dan sertifi kasi teknologi dan

teknis penyiaran, pengaturan frequensi dan kanal, ditangani dan diatur oleh institusi pemerintah yang lain, seperti Kominfo. Dengan segala keputusan MK, KPI sebagai independence regulatory body

tetap memikul tanggung jawab yang besar untuk mengatur dan mengawasi lembaga penyiaran. Bagaimanapun juga pengaturan dan pengawasan isi siaran merupakan tugas dan wewenang yang sangat strategis, terutama untuk melindungi masyarakat dari isi siaran yang menyesatkan.

KPI sebagai regulator memainkan peranan yang sangat besar dalam membuat aturan program isi siaran sekaligus mengawasi dan mengendalikan isi tayangan. Dengan kata lain, KPI harus menjamin masyarakat mendapat hak tahu dari hadirnya televisi, selanjutnya KPI juga harus menjaga agar isi tayangan televisi dapat memberikan informasi yang akurat, memberi hiburan yang sehat, mendorong lembaga penyiaran agar melakukan fungsi ekonomi secara optimal, menjalankan fungsi kebudayaan yang berbasis nilai dan norma serta mendorong lembaga

penyiaran agar selalu kritis dalam menjalankan fungsi kontrol sosial.

Kewajiban agar lembaga penyiarah sehat, maka KPI membuat aturan hukum, bernama Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (selanjutnya disingkat SPS).7 P3

adalah panduan lembaga penyiaran untuk menjalankan arah, tujuan, fungsi penyiaran dan produksi penyiaran. P3 berisi batasan-batasan perilaku yang wajib dijalankan dan menjauhi tindakan yang dilarang oleh undang-undang, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama proses pembuatan program siaran. Sedangkan untuk SPS berisi tentang panduan dalam membuat program siaran televisi, yang terbagi atas 3 bagian: 1. Program faktual, 2. Program non-faktual dan ketiga Program dari Luar Negeri.

Dari sini sesungguhnya kontrol atas program isi siaran dapat ditelusuri. Dari program faktual kita akan melihat program siaran yang memuat fakta non-fi ksi, yang

telah diatur melalui kaidah dan prinsip jurnalistik. Prinsip jurnalistik yang harus

cover both-side, seimbang, akurat, obyektif, menjadi panduan utama, terutama apabila materi yang disiarkan berkaitan dengan kebijakan publik. Program faktual yang dimaksud adalah 1). Program berita, 2).

features, 3). dokumentasi, 4). program

realita (reality show), 4). konsultasi on-air,

5). diskusi, talkshow, 6). jajak pendapat, 7). pidato, ceramah, editorial, 8). kuis, 9). perlombaan, pertandingan olahraga, dan program-program sejenis lainnya yang bersifat nyata, terjadi tanpa rekayasa.

Sedangkan yang dimaksud dengan program non-faktual adalah program

(10)

siaran yang berisi ekspresi, pengalaman situasi dan/atau kondisi individual dan/ atau kelompok yang bersifat rekayasa atau imajinatif dan bersifat menghibur, seperti 1). drama yang dikemas dalam bentuk sinetron atau fi lm, 2). program musik,

3). seni, dan/ atau program-program sejenis lainnya yang bersifat rekayasa dan bertujuan menghibur. Ketiga program asing adalah program utuh yang diimpor dari luar negeri.

Pedoman perilaku penyiaran disusun untuk pedoman insan penyiaran dalam memproduksi suatu program siaran. Dengan pedoman itu, setiap isi siaran harus berbasis pada nilai-nilai budaya dan agama, norma-norma yang berlaku dan diterima dalam masyarakat yang multikultur termasuk dalam lingkungan yang khusus seperti kode etik dan standar profesi. Dengan P3, insan penyiaran menyusun isi program siaran harus juga selaras dengan kaidah norma dan nilai perilaku yang dianut oleh masyarakat serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Televisi selalu diasumsikan mempunyai kemampuan untuk mengubah perilaku masyarakat.8

Pembuatan program siaran berbasis P3 dan SPS berarti setiap insan penyiaran wajib memperhatikan isi siarannya agar selalu mengedepankan rasa hormat terhadap nilai-nilai agama, kesopanan dan kesusilaan, perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan; pelarangan dan pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme. Dalam hal penggolongan program, insan penyiaran harus menginformasikan bahwa isi siaran tersebut ditujukan untuk khalayak usia tertentu; memberi rasa hormat terhadap hak-hak pribadi. Selain itu, penyiaran program

8 Limburg, Val E, (2004), Electronic Media Ethics, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal.1-2

dalam bahasa asing harus memperoleh perhatian yang khusus terutama pada isi informasinya.

Setiap insan penyiaran juga tetap menjaga kenetralan program berita; siaran langsung; dan siaran iklan. Dengan kata lain, kaidah dasar di masyarakat, seperti nilai dan norma agama, kode etik, standar profesi tetap menjadi basis pembuatan program siaran.

b. Manajemen Program berbasis NKRI

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyusunan P3 diarahkan agar lembaga penyiaran taat dan patuh hukum terhadap segenap peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia; menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia; penyiaran menjunjung tinggi norma dan nilai agama dan budaya bangsa yang multikultural; menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia; menjunjung tinggi prinsip jurnalistik; melindungi kehidupan anak-anak, remaja, dan kaum perempuan; melindungi kaum marginal; melindungi publik dari pembodohan dan kejahatan; dan menumbuhkan demokratisasi.

Pedoman Perilaku Penyiaran disusun sebagai pengawasan terhadap media content juga diarahkan untuk menghormati multikulturalisme.9

Hal ini tercantum dalam pasal 6 yang menyebutkan tentang penghormatan terhadap suku, agama, ras dan antar golongan. Semangat ini secara operasional berarti adanya kewajiban dari lembaga penyiaran untuk menyajikan program siaran yang menghormati perbedaan suku, agama, ras dan antar-golongan. Sebaliknya, tidak dibenarkan sama sekali lembaga penyiaran menyajikan program dan isi siaran yang

(11)

merendahkan, mempertentangkan, dan/ atau melecehkan perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan.

Manajemen multikultur sangat relevan untuk membuat program siaran berbasis masyarakat Indonesia yang heterogen. Artinya, setiap lembaga penyiaran wajib untuk menghormati norma dan nilai budaya, seperti norma kesopanan dan kesusilaan. Manajemen in diarahkan agar setiap lembaga penyiaran, baik televisi dan radio agar berhati-hati dalam menyiarkan materi yang berbasis budaya. Dalam pasal 7 dari P3 disebutkan bahwa “lembaga penyiaran harus senantiasa berhati-hati agar isi siaran yang dipancarkannya tidak merugikan dan menimbulkan efek negatif terhadap keberagaman khalayak baik dalam Agama, suku, budaya, usia, dan latar belakang ekonomi.” Dengan demikian, lembaga penyiaran berfungsi menjaga dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

2. Manajemen Program Siaran berbasis Standar Program Siaran

Manajemen program siaran berbasis P3 dan SPS diarahkan untuk menghormati asas manfaat, asas adil dan merata, asas kepastian hukum, asas keamanan, asas keberagaman, asas kemitraan, etika, asas kemandirian, dan asas kebebasan dan tanggungjawab. Untuk mengimplementasikan manajemen program siaran KPI mewajibkan kepada setiap lembaga penyiaran agar dalam proses pengolahan, pembuatan, pembelian, penayangan, dan pendanaan program siaran, baik stakeholders asing maupun lokal harus berbasis P3/PS tersebut.

Dalam hal ini, insan penyiaran melakukan sensor sendiri (sebagian dilakukan oleh Lembaga Sensor Film), atas materi siaran non berita seperti sinetron,

program komedia, program musik, klip video, program features/dokumenter, baik asing maupun lokal, langsung dan bukan siaran langsung. Dengan kata lain, seluruh jenis program siaran, baik faktual maupun non-faktual, program yang diproduksi sendiri maupun yang dibeli dari pihak lain dan/atau asing, program yang dihasilkan dari suatu kerjasama produksi maupun yang disponsori oleh pihak lain dan/atau asing sepenuhnya adalah tanggung jawab lembaga penyiaran.

Untuk mencapai kualitas program siaran yang lurus, manajemen program siaran berbasar SPS (standar program siaran) di bahas berikut ini :

1). Manajemen Berbasis Penggolongan Siaran

Manajemen program siaran berbasis P3/SPS pada dasarnya adalah program siaran yang mendasarkan pada aturan yang dibuat oleh KPI. Oleh karena publik sangat heterogen, maka dalam program tayang siaran harus membedakan usia khalayak, program siaran berbasis usia. Artinya bahwa setiap stasiun televisi wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan informasi klasifi kasi program di setiap

isi siaran berdasarkan usia khalayak. Tata klasifi kasi tersebut ditujukan untuk

memberi kemudahan kepada khalayak sekaligus bahan pertimbangan atau peringatan agar khalayak tidak salah memilih program acara. Isi siaran yang berklasifikasi Anak dan/atau Remaja,

lembaga penyiaran dihimbau agar memberi peringatan dan himbauan tambahan berupa tanda bimbingan orangtua (BO) agar selama anak dan remaja sedang menonton televisi ada yang memberi bimbingan.

Ada 4 penggolongan isi siaran ber-dasarkan usia khalayak yaitu:

a) Klasifi kasi A: Tayangan untuk Anak,

(12)

b) Klasifi kasi R: Tayangan untuk Remaja,

yakni khalayak berusia 12-18 tahun; c) Klasifi kasi D: Tayangan untuk Dewasa;

dan

d) Klasifi kasi SU: Tayangan untuk Semua

Umur.

Pengaturan ini sangat mendasar untuk melakukan manajemen komunikasi program siaran. Perhatian dan perlindungan insan penyiaran terhadap kehidupan anak Anak dan/atau Remaja, setiap program siaran wajib memberi peringatan dan himbauan tambahan kepada publik. Setiap materi program isi siaran harus diklasifi kasi

berdasarkan materinya, apakah siaran untuk Anak dan/atau Remaja yang bebas, atau program tersebut perlu mendapatkan arahan dan bimbingan orangtua, dengan cara kode huruf BO (Bimbingan Orangtua), ditambahkan berdampingan dengan kode huruf A untuk program siaran klasifi kasi

Anak atau klasifi kasi R untuk. Kode huruf

BO tidak berdiri sendiri sebagai sebuah klasifikasi penggolongan program isi

siaran, namun harus bersama-sama dengan klasifi kasi A dan R.

Untuk membimbing anak agar tidak terjerumus dalam tindakan negatif, yang mampu mengganggu komunikasi antar-budaya kelak, maka SPS secara lebih detail memberikan tekanan pada aturan dan sistem kelola program anak ini. Hal itu ditujukan agar sejak dini lembaga penyiaran wajib memberikan sajian siaran dengan Klasifi kasi ‘A’ yang secara khusus dibuat

dan ditujukan untuk anak harus berisikan isi, materi, gaya penceritaan, tampilan yang sesuai dengan dan tidak merugikan perkembangan dan kesehatan fi sik dan

psikis anak. Misalnya, program siaran tidak dibenarkan menonjolkan kekerasan (baik perilaku verbal maupun non-verbal) serta menyajikan adegan kekerasan yang mudah ditiru anak-anak serta dilarang menyajikan

adegan yang memperlihatkan perilaku atau situasi membahayakan yang mudah atau mungkin ditiru anak-anak.

SPS juga memberi standar siaran bagi anak dan remaja, agar tumbuh berkembang selaras dengan norma dan nilai budaya. Standar program siaran berbasis SPS juga mematok larangan bagi siaran yang mengandung muatan yang dapat mendorong anak belajar tentang perilaku yang tidak pantas, seperti: berpacaran saat anak-anak, kurang ajar pada orangtua atau guru, memaki orang lain dengan kata-kata kasar. Selain itu, pemuatan secara berlebihan yang mampu mendorong anak percaya pada kekuatan paranormal, klenik, praktek spiritual magis, mistik, atau kontak dengan roh; serta program yang mengandung adegan yang menakutkan dan mengerikan juga tidak dibenarkan. Oleh sebab itu, SPS mewajibkan setiap program siaran untuk Anak harus mengandung nilai-nilai pendidikan, budi pekerti, hiburan, apresiasi estetik dan penumbuhan rasa ingin tahu mengenai lingkungan sekitar. Namun, apabila dalam program tersebut mengandung gambaran tentang nilai-nilai dan perilaku anti-sosial (seperti tamak, licik, berbohong), program tersebut harus juga menggambarkan sanksi atau akibat nyang jelas dari perilaku tersebut, termasuk program siaran yang memuat materi yang mungkin dapat mengganggu perkembangan jiwa anak, seperti perceraian, perselingkuhan, bunuh diri, penggunaan obat bius; serta tidak menyajikan gaya hidup konsumtif dan hedonistik.

Untuk Klasifi kasi ‘R’ atau remaja,

kurang lebih sama dengan klasifi kasi A,

(13)

menyangkut perkembangan dan kesehatan fi sik dan psikis remaja. Dalam

hal ini, program siaran yang melakukan pembahasan atau penggambaran adegan yang terkait dengan seksualitas serta pergaulan antar pria-wanita harus disajikan dalam proporsi yang wajar dalam konteks pendidikan kesehatan reproduksi yang sehat bagi remaja. Maksudnya, bahwa siaran tersebut dapat ditayangkan selama tidak mengandung muatan yang dapat mendorong remaja belajar berperilaku yang tidak pantas, seperti: menganut seks bebas, kurang ajar pada orangtua atau guru, memaki orang lain dengan kata-kata kasar, dan menjadi anti-sosial.

Lembaga penyiaran dihimbau agar mengedepankan unsur siaran yang mengandung nilai-nilai pendidikan, budi pekerti, hiburan, apresiasi estetik dan penumbuhan rasa ingin tahu mengenai lingkungan sekitar dan mampu menyediakan referensi pergaulan remaja yang positif serta dapat memotivasi remaja untuk lebih mengembangkan potensi diri, dijauhkan dari prinsip atau hidup mewah dengan gaya hidup konsumtif dan hedonistik.

Untuk program siaran dengan klasifikasi ‘D’ atau dewasa, materinya

disesuikan dengan kepantasan seusia dewasa, tetapi dilarang membahas secara mendalam persoalanpersoalan keluarga yang dianggap sebagai masalah dewasa, seperti: intrik dalam keluarga, perselingkuhan, perceraian, mengandung muatan kekerasan eksplisit, namun tetap tidak boleh mengandung muatan sadistis dan di luar perikemanusiaan, serta mendorong atau menggelorakan kekerasan;

Siaran yang mengandung materi mengerikan dan menakutkan sepanjang tetap bertujuan menghibur dapat dibenarkan. Dalam masalah pembicaraan seks diperbolehkan selama disajikan

secara proporsional dengan mengikuti ketentuan jam siar yaitu pukul 22.00–03.00 sesuai dengan waktu stasiun penyiaran yang menayangkan.

2). Manajemen Berbasis Muatan Kekerasan Manajemen program siaran yang memuat kekerasan mendapat perlakukan khusus. SPS menegaskan bahwa televisi dilarang menayangkan adegan kekerasan yang dalam penyajiannya memunculkan efek suara berupa hujatan, kemarahan yang berlebihan, pertengkaran dengan suara seolah orang membanting atau memukul sesuatu, dan/atau visualisasi gambar yang nyata-nyata menampilkan tindakan kekerasan seperti pemukulan, pengrusakan secara eksplisit dan vulgar. Sudah barang tentu adegan kekerasan yang menimbulkan efef negatif yang mendominasi isi tayangan sejak awal sampai akhir. Artinya adegan yang ditampilkan secara vulgar, dan terus menerus sepanjang acara, seperti adegan tembak-menembak, perkelahian dengan menggunakan senjata tajam, darah berceceran dimana mana, korban dalam kondisi mengenaskan, penganiayaan, pemukulan, baik untuk tujuan hiburan mau pun kepentingan pemberitaan (informasi).

SPS memuat pedoman umum yang pada dasarnya melarang kekerasan atau adegan yang mengandung tindakan di luar batas perikemanusiaan atau sadistis. Baik terdapat pada program drama, sinetron,

lm, olahraga, maupun program siaran

untuk promo program, lagu atau video klip, program anak. Defi nisi kekerasan

dalam SPS adalah program isi siaran yang dikatagorikan memuat adegan sadistik yakni program yang dipersepsikan sebagai mengagung-agungkan kekerasan atau menjustifi kasi kekerasan sebagai hal

(14)

3). Manajemen Program Siaran Berbasis Keagamaan, Suku, Ras dan Golongan

Untuk membuat program siaran berbasis SPS setiap insan penyiaran wajib menghormati keberagaman suku, agama, ras dan golongan. Sebagaimana pasal 7 (SPS 2007) berbunyi, “lembaga penyiaran dilarang keras menyajikan isi siaran yang merendahkan suku, agama, ras dan antargolongan.” Dalam hal ini, SPS memberikan kebebasan dan keleluasaan terhadap semua agama untuk tampil pada program acara agama, non-agama, dan drama/fi ksi, tetapi dengan syarat tertentu

sebagaimana diatur dalam pedoman perilaku penyiaran, seperti larangan untuk menyiarkan program yang mengandung serangan, penghinaan atau pelecehan terhadap pandangan dan keyakinan keagamaan tertentu.

Manajemen program siaran berbasis SPS dibuat untuk menghindari konfl ik

horisontal dan kesalahpahaman antar umat agama. Dalam hal ini, publik dilindungi secara hukum dan diharapkan lembaga penyiaran menebarkan siaran yang saling menghormati dan saling berempati terhadap segala hal, termasuk menghargai etika hubungan antar umat agama. Insan penyiaran diperbolehkan mengangkat perbedaan pandangan/paham beragama selama disajikan secara seimbang, baik narasumber, waktu dan durasinya.

Hal-hal yang menjadi larangan keras, apabila program siaran bermuatan penyebaran ajaran dari suatu sekte, kelompok atau praktek agama tertentu yang dinyatakan secara resmi oleh pihak berwenang sebagai kelompok yang terlarang. Termasuk di dalamnya siaran yang bermuatan perbandingan antar agama. Artinya hal-hal keagamaan dan kepercayaan yang kontroversial dan sensitiv tidak diperkenankan diangkat dalam lembaga penyiaran. Misalnya, siaran

dan pengakuan, testemoni orang yang berpindah agama yang ditayangkan secara rinci dan berlebihan, utamanya siaran tentang sebab musabab alasan pindah agama.

Manajemen program siaran menyangkut masalah rasial, golongan dan etnik, terutama dalam “Pelecehan terhadap kelompok masyarakat tertentu, yang sering diperlakukan negatif.” Golongan masyarakat tertentu seperti: pekerja rumah tangga, hansip, dan Satpam, waria, banci, laki-laki yang keperempuanan, perempuan yang kelaki-lakian, kelompok lanjut usia dan janda/duda; bentuk fi sik

di luar normal, seperti: gemuk, cebol, bergigi tonggos, bermata juling, cacat

sik, seperti: tuna netra, tuna rungu, tuna

wicara; keterbelakangan mental, seperti: embisil, idiot, serta. kelompok pengidap penyakit tertentu, seperti penderita HIV/ AIDS, kusta, epilepsi, dan sebagainya.

Sensitivitas masyarakat terhadap pelecehan ras, etnik dan golongan menjadi perhatian yang khusus dalam P3/SPS. Larangan menyiarkan program siaran yang mengandung muatan negatif, seperti memperkokoh stereotip negatif mengenai kelompok-kelompok, tertentu sebagai bahan olok-olok, dagelan atau tertawaan, termasuk sebutan-sebutan yang sifatnya merendahkan atau berkonotasi negatif terhadap kelompok-kelompok tersebut di atas.

3. Manajemen Program Siaran Berbasis Ruang Privasi.

Media penyiaran sangat kuat menyulut konflik tetapi sebaliknya

ia juga sangat kuat menjadi peredam konfl ik. Konik yang dilatarbelakangi

(15)

keluarga,” yang muncul pada program siaran infotainment, oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pembukaan aib dalam keluarga di acara infotainment, seperti perceraian dan percekcokan dalam rumah tangga, diharamkan. Artinya program siaran wajib menghormati hak privasi, sebagai hak atas kehidupan pribadi dan ruang pribadi dari subyek dan obyek berita.

Tatakelola tersebut di atas ditujukan untuk menghindari efek negatif pem-beritaan, karena sangat mudah ditiru (imitasi perilaku menyimpang dalam keluarga), yang dikhawatirkan dapat menjalar pada khalayak yang lebih besar. Oleh sebab itulah SPS menegaskan agar insan penyiaran berhati-hati menayangkan masalah keluarga yang sensitif ke ruang publik. Masalah pribadi adalah domain privat yang perlu dihormati dan tidak sepantasnya lembaga penyiaran sebagai media pendidikan justru mengobarkan semangat negativeness, seperti konfl ik antar

anggota keluarga, perselingkuhan, dan perceraian. Efek yang dapat ditimbulkan dari tayangan konfl ik keluarga adalah:

mampu merusak reputasi obyek yang diberitakan, memperburuk keadaan, atau memperuncing masalah dan konfl ik yang

ada, membuka aib secara terbuka, perilaku seks menyimpang, bahan tertawaan oleh host atau masyarakat, memberi kesimpulan yang tidak proporsional, menggiring publik seperti yang dikehendaki oleh pembawa acara atau narator. Prinsipnya semua program pemberitaan “haruslah berdasarkan fakta dan data.”

Acara infotainment yang menonjolkan gosip memang bukan semata-mata untuk kepentingan informasi, tetapi lebih pada sensasi, imajinasi dan obsesia. Dalam hal ini nilai berita dan unsur jurnalistik lainnya dalam infotainment, mungkin juga kurang melihat aspek cover both side,

keberimbangan, akurasi, check recheck, karena disusun tidak untuk menjelaskan fakta dan data yang akurat. Persoalan wilayah privat termasuk rekaman tersembunyi. SPS membolehkan rekaman sembumyi selama rekaman tersembunyi tersebut dilakukan apabila memiliki nilai kepentingan publik yang tinggi, dan kepentingannya jelas yakni tidak untuk merugikan pihak tertentu;. perekaman di ruang publik dilakukan untuk kepentingan publik. Rekaman dilakukan untuk suatu niat dan/atau upaya untuk tidak melakukan pelanggaran, rekaman untuk pembuktian informasi, menerima hak tolak dari orang yang direkam, atau dilarang disiarkan secara langsung.

Manajemen privasi lain yang menjadi perhatian dalam SPS adalah soal doorstoping atau pencegatan. Dalam Apa yang dimaksud pencegatan adalah tindakan menghadang narasumber tanpa perjanjian untuk diwawancarai dan atau diambil gambarnya. Dalam hal ini, lembaga penyiaran dapat melakukan pencegatan di ruang publik maupun ruang privat (rumah, atau kantor), hanya apabila telah mendapatkan persetujuan dari narasumber dan atau keluarga.

Dalam hal ini, narasumber punyak hak tolak, dan mengatakan tidak bersedia untuk diwawancarai oleh wartawan saat pencegatan. Dengan penolakan nara sumber, lembaga penyiaran tidak boleh menggunakan penolakan tersebut sebagai alat untuk menjatuhkan narasumber atau obyek dari suatu program siaran. Tindakan pencegatan oleh wartawan dengan tujuan menambahkan efek dramatis pada program faktual juga tidak dibenarkan.

(16)

menimbulkan efek negatif terhadap norma kesopanan dan kesusilaan yang dianut oleh keberagaman khalayak tersebut.” Jadi, kata berhati-hati merupakan permakluman dan tidak mungkin mendapatkan sanksi apabila melanggarnya, pada hal perbuatan tersebut menyangkut persoalan yang sensitiv. Hal-hal yang bersifat sensitif diantaranya adalah penggunaan bahasa atau kata-kata makian,10 yang cenderung menghina/merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/ vulgar serta menghina agama dan Tuhan.

4. Manajemen Program Siaran Berbasis Supranatural

Manajemen program siaran berbasis supranatural yang biasanya disiarkan dalam program faktual, dunia gaib, paranormal, klenik, praktek spiritual magis, mistik, kontak dengan roh pada dasarnya tidak ada larangan berarti. Meskipun siaran ini mendapatkan tanggapan negatif dan kritis dari masyarakat, tetapi SPS membolehkan untuk menyiarkan acara supranatural dengan pembatasan jam siarnya yaitu antara pukul 22.00 – 03.00 pagi. Termasuk di dalamnya program dan promo program faktual supranatural. Pembatasan terhadap program ini terdapat pada manipulasi dan penggunaan efek gambar ataupun suara yang bertujuan mencapai efek horor dan mendramatisasi peristiwa supranatural. Misalnya, manipulasi audio visual tambahan yang seolah-olah kehadiran makhluk halus yang tertangkap kamera.

Sekarang banyak dihadirkan program faktual “dunia lain.” yang menggunakan narasumber supranatural. Untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan agama,

10 Kata-kata kasar dan makian yang dilarang disiarkan mencakup kata-kata dalam bahasa indonesia, bahasa asing, dan bahasa daerah, baik diungkapkan secara verbal maupun nonverbal.

SPS memberikan rambu-rambu sebagai berikut:

a. bila tidak ada ada landasan fakta dan bukti empirik, lembaga penyiaran menjelaskan hal tersebut kepada khalayak.

b. lembaga penyiaran harus menjelaskan kepada khalayak bahwa mengenai kekuatan/kemampuan tersebut se-benar nya ada perbedaan pandangan di tengah masyarakat.

Hal-hal yang diperbolehkan adalah program fi ksi (seperti drama, lm, sinetron,

komedi, dan kartun) yang menyajikan kekuatan atau makhluk supranatural dalam bentuk fantasi.

5. Manajemen Program Siaran Berbasis Perlindungan Anak dan Remaja

Program siaran televisi juga wajib melindungi anak-anak, remaja dan perempuan, agar publik jangan salah menerima informasi dari televisi. Hal ini sangat jelas ditulis dalam pasal 8 P3 (2007) bahwa “Lembaga penyiaran dalam memproduksi dan menyiarkan berbagai program dan isi siaran wajib mem-perhatikan dan melindungi kepentingan anak-anak, remaja dan perempuan.” Dalam melindungi anak-anak, remaja dan perempuan tersebut, sangat tegas dikemukakan dalam undang-undang 32, bahwa acara yang bermuatan seks dilarang keras. Misalnya, siaran yang menghadirkan baik secara visual maupun suaran adegan yang berhasrat seksual, termasuk larangan adegan ciuman di televisi antara dua orang lawan jenis bukan muhrimnya. Hanya ciuman dalam dalam konteks kasih sayang dalam keluarga dan persahabatan, termasuk di dalamnya: mencium rambut, mencium pipi, mencium kening/dahi, mencium tangan, dan sungkem dapat dibenarkan.

(17)

tidak terjadi efek negatif dan kesenjangan antara realitas norma dan nilai yang dianut di masyarakat dengan apa yang ditawarkan dan disajikan oleh televisi. Citra sekolah, misalnya harus tetap diwujudkan di televisi sesuai dengan kenyataan sebenarnya dan tidak dibesar-besarkan, seperti dalam hal cara berpakaian dan perilaku guru dan murid. Penggambaran yang keliru terhadap sekolah, yang diangkat dalam sinetron, fi lm, dengan

dominasi menonjolkan unsur sensualitas dapat mempengaruhi anak-anak yang tengah berkembang secara intelektual. SPS menyatakan bahwa “lembaga penyiaran dalam memproduksi dan menyiarkan berbagai program dan isi siaran wajib memperhatikan, memberdayakan dan melindungi kepentingan anak-anak, remaja dan perempuan.”

Melindungi anak-anak melalui SPS secara jelas KPI memberikan perhatian khusus terhadap sekolah. Terutama aturan yang menggambarkan tentang lokasi dan suasana kegiatan sekolah, harus dibuat sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat; tidak mengandung muatan yang melecehkan sekolah sebagai lembaga pendidikan; tidak menjatuhkan citra guru sebagai pendidik dengan penggambaran yang buruk, tidak menampilkan cara berpakaian siswa dan guru yang menonjolkan sensualitas.

Demikian pula perlindungan kepada anak dan remajayang menjadi narasumber untuk suatu bencana atau konfl ik

keluarga, lembaga penyiaran dilarang mewawancarai anak dan remaja berusia di bawah umur 18 tahun. Mengenai hal-hal di luar kapasitas mereka untuk menjawabnya, misalnya tentang kematian, perceraian, perselingkuhan orangtua dan keluarga; serta kekerasan yang menimbulkan dampak traumatik harus mempertimbangkan keamanan dan masa

depan anak dan remaja yang menjadi narasumber.

Apabila ternyata menjadi narasumber maka lembaga penyiaran harus me-nyamarkan identitas anak dan remaja yang terkait permasalahan dengan polisi atau proses peradilan, terlibat kejahatan seksual atau korban kejahatan seksual terkait.

6. Manajemen Program Siaran Berbasis Seks dan Pornografi

Seks dan pornografi menjadi konsern

dan perhatian masyarakat yang tinggi. Perhatian tersebut tidak terlepas dari pengaruh tayangan yang berefek negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat. Untuk menghindari program siaran dan tayangan berbau seks, KPI mengatur secara serius. Media penyiaran diharapkan ikut serta dalam menjaga moralitas masyarakat agar tidak terjerumus dalam kobaran nafsu seks dan syahwat yang menyesatkan. Insan penyiaran juga harus jeli agar tidak mewawancarai korban kejahatan seksual, khususnya mengenai proses tindak asusila yang dilakukan tersangka secara terperinci.

(18)

7. Manajemen Program Siaran Berbasis Jurnalistik

Program siaran berbasis jurnalistik sangat jelas diberikan kebebasan dan keleluasaan oleh oleh undang-undang. Jurnalisme sebagai ruang publik untuk saling interaksi dan berbagi pengalaman,11 telah diatur secara komprehensif di dalam P3/SPS. Artinya, P3/SPS juga tetap merujuk pada aturan jurnalistik universal seperti etika jurnalistik, undang-undang pers, dan seluruh undang-undang yang berkaitan dengan siaran dan pemberitaan. SPS mengisyaratkan, sebagaimana diatur oleh UU No. 32 bahwa Pimpinan Redaksi di televisi bertanggung jawab terhadap penayangan dan penyiaran atas seluruh program siaran. Hal ini termuat dalam pasal 43 (SPS 2007) berbunhyi, “Pimpinan redaksi harus memiliki independensi untuk menyajikan berita dengan obyektif, tanpa memperoleh tekanan dari pihak pimpinan, pemodal, atau pemilik lembaga penyiaran.”

Semangat impartialitas media penyiaran digarisbawahi bersama dengan prinsip fi re wall. Tembok api untuk pemilihan narasumber dari berbagai kalangan dan latar belakang budaya yang berbeda tidak dapat dicampuri oleh pemilik media. Oleh sebab itu, jika narasumber diundang dalam sebuah program faktual, wawancara di studio, wawancara melalui telepon, terlibat dalam program diskusi (talkshow), lembaga penyiaran mempunyai kewajiban untuk :

a. memberitahukan tujuan program, topik, dan para pihak yang terlibat dalam acara tersebut serta peran dan kontribusi narasumber;

b. menjelaskan kepada narasumber apakah program akan disiarkan

11 Tony Harcup, (2007), The Ethical Journalist , SAGE Publications, London, England, p. 193

secara langsung (live) atau rekaman (recorded). Jika merupakan program rekaman harus menjelaskan apakah hasil rekaman akan diedit, serta kepastian dan jadwal penayangan program agar kehadiran narasumber benar-benar menunjukkan manfaat. c. Lembaga penyiaran wajib menghormati

setiap narasumber, termasuk hak untuk tidak menjawab pertanyaan;

d. Lembaga penyiaran dilarang meng-intimidasi, menyudutkan dan me-maksa kan kehendak kepada narasumber demi mendapatkan jawaban tertentu.

Untuk acara talk show, lembaga penyiaran wajib melindungi narasumber tersebut secara rinci termasuk di dalamnya adalah meminta persetujuan narasumber terhadap pemberitaan atau materi siaran, baik langsung maupun rekaman. Dengan demikian pengaturan ini juga melindungi hak narasumber termasuk wartawan, karena lembaga penyiaran diwajibkan me-nyamar kan identitas narasumber apabila informasi yang disampaikan mempunyai pengaruh kuat untuk memancing opini publik.

Untuk melindungi golongan masya-rakat yang tertimpa musibah, SPS ini secara khusus mengatur tentang peliputan tragedi bencana yang disajikan dalam bentuk program faktual. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 54 bahwa dalam meliput dan atau menyiarkan program yang melibatkan pihak-pihak yang terkena tragedi musibah atau bencana, lembaga penyiaran harus mempertimbangkan dampak peliputan bagi proses pemulihan korban dan keluarganya.

(19)

musibah, bencana alam, kecelakaan, kejahatan terorisme, dan atau orang yang sedang berduka, dengan cara memaksa, menekan, mengintimidasi korban dan/ atau keluarganya untuk di wawancarai dan/atau diambil gambarnya.” Lembaga penyiaran dilarang menayangkan dan menyiarkan gambar korban dan/atau orang yang sedang dalam kondisi men-derita secara sembarangan. Dalam hal ini, lembaga penyiaran dituntut untuk memperhatikan asas kepatutan dan kelayakan tayang. Bentuk-bentuk parodi bencana alam dan kesengsaraan orang sangat tidak dibenarkan.

Program dan tayangan program asing dan berbahasa asing dibolehkan dengan ketentuan tidak melebihi 30% dari seluruh jam siaran. Sedangkan menyangkut program siaran bahasa asing, SPS mengatur secara lebih rinci, terutama untuk melindungi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. Pengaturan bahasa asing dapat dilihat dalam pasal 58 (SPS 2007) sebagai :

a. lembaga penyiaran televisi (baik televisi swasta mau pun televisi berbayar) harus me nyertakan teks dalam bahasa Indonesia, dengan pengecualian program khusus;

b. berita berbahasa asing, program pelajaran bahasa asing, pembacaan kitab suci, atau lagu-lagu kebangsaan dan rohani; c. lembaga penyiaran radio harus

menyertakan terjemahan dalam bahasa Indonesia, dengan pengecualian program khusus berita berbahasa asing, program pelajaran bahasa asing, atau pembacaan kitab suci;

d. program dalam bahasa asing dapat disulihsuarakan dalam jumlah maksimal 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah mata acara berbahasa asing yang disiarkan lembaga lembaga bersangkutan;

e. Dalam kaitan dengan huruf b, program yang disajikan dengan teknologi bilingual tidak dihitung sebagai program yang disulihsuarakan.

Prinsip impartialitas penyiaran ter-cermin dalam program siaran pemilihan umum dan program siaran pemilihan kepala daerah. Tujuan diatur keduanya: Pemilu dan Pemilukada, antara lain agar selalu tercipta situasi yang kondusif di dalam masyarakat dan menghindari konfl ik horisontal yang dapat merugikan

kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, lembaga penyiaran dapat menyiarkan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah meliputi siaran berita, sosialisasi pemilihan, dan siaran kampanye tentang Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Pusat dan Daerah, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan Kepala Daerah. Ketentuan SPS menyebutkan bahwa lembaga penyiaran “wajib menyediakan waktu yang cukup bagi peliputan pemilu dan pemilihan Kepada Daerah, bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta pemilu dan pemilihan Kepala Daerah.

Kesimpulan

(20)

maka dapat dipastikan siaran televisi akan semakin mendidik masyarakat dan menjadi acuan dalam informasi, pendidikan, hiburan dan ekonomi. Sementara itu, isi siaran televisi juga bergantung dari

public concern dan public interest, sehingga masyarakat ikut menentukan isi tayangan televisi kita.12

Dalam menjaga manajemen siaran berbasis P3/SPS berhasil, maka KPI dan KPID seluruh Indonesia bersatu padu untuk melakukan pengawasan terhadap implementasi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Dalam banyak hal keterlibatan masyarakat, terutama menyangkut masalah pengaduan, baik yang tergabung dalam media watch atau bersifat individual, manajemen pengaduan P3/ SPS tersebut bersifat terbuka dan interaktif, sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang penyiaran no. 32 tahun 2003. Dalam mengawasi isi siaran, KPI meminta kepada seluruh masyarakat untuk melaporkan pelanggaran P3/SPS kepada KPI. Dari aduan ini, KPI akan menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran. Selanjutnya, KPI memutuskan untuk mempertimbangkan keluhan dan atau pengaduan, dengan cara mengundang lembaga penyiaran dan juga pengadu untuk didengar keterangannya guna mendapatkan klarifi kasi dan penjelasan

lebih lanjut tentang materi program yang diadukan tersebut.

Bagi lembaga penyiaran sendiri, dapat menuntut keadilan kepada KPI dengan menjalankan fungsi “hak jawab” yakni untuk melakukan klarifi kasi, baik

dalam bentuk tertulis maupun dalam

12 Stephen W Littlejohn, (1999). Theory of Human Communication, Wadsword Publising, Belmont, United State of America.

bentuk didengar langsung keterangannya sebelum keputusan ditetapkan. Bagaimana agar pengaduan efektif, KPI meminta, setiap lembaga penyiaran harus menunjuk seorang ‘penangan pengaduan’ yang akan menangani setiap laporan dan pengaduan tentang kemungkinan pelanggaran. Selain itu, KPI memiliki wewenang untuk meminta kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan, untuk memperlihatkan rekaman bahan siaran yang diadukan, lengkap dengan penjelasan-penjelasan tertulis dari penanggung jawab program lembaga penyiaran tersebut. Dengan demikian, lembaga penyiaran wajib menyimpan materi rekaman siaran selama minimal satu tahun.

Daftar Pustaka

Black, Jay & Whitney, Frederick C. (1988).

Introduction to Mass Communication. Dubuque: C. Brown Publisher.

Harcup, Tony. (2007). The Ethical Journalist. London: SAGE Publications.

Kovach, Bill & Rosenstiel, Tom. (2003).

Sembilan Elemen Jurnalisme. Versi

Indonesia. Jakarta: Yayasan Pantau dan Kedutaan Besar AS.

Limburg, Val E, (2004). Electronic Media Ethics. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Littlejohn, Stephen W. (1999). Theory of

Human Communication. Belmont,

USA: Wadsword Publising.

Purwasito, Andrik. (2015). Komunikasi

Multikultural. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

The International’s Journal. Research Journal of Social Science and Managemen,

Tulisan Agya Ram Pandey, (2012), “ Effect of TRP over Television News”,

t, Volume 1 no. 9 tahun 2012.

Newspaper Research Journal, Tulisan Bogart, Leo (2004), dalam “Refl ections on

(21)

Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, ditetapkan di Jakarta, tanggal 18 September 2007.

Peraturan KPI No.01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Peraturan KPI No.02/P/ KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran.

Undang-undang nomor 24 tahun 1997 tentang Penyiaran.

(22)
(23)

Konstruksi Media Republika Online Terhadap Peristiwa

Pengungsi Rohingya di Myanmar

Aryanto Budhy Sulihyantoro

Subagyo

Lilis Maryati

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

In early June 2012 ethnic riots in the state of Rakhine ( formerly Arakan ) Myanmar . Clashes between ethnic Muslim minority by the majority Buddhist triggered by the issue of rape and murder of a woman Rahkine by three Rohingya Muslims . Rakhine Budhist 300 people reportedly killed 10 Rohingya . The riots resulted in dozens of people were killed , most of them are ethnic Rohingya Muslim minority that Myanmar government declared a state of emergency in the state . A series of repressive measures the government immediately applied to ethnic Rohingya . The mass media were competing to bring the reality of what happened in Myamar in accordance with their respective perspectives , including daily Republika . This article describes how the reality of events presented by the media Republika Rohingya online through preaching to readers from 10 June until August 10, 2012 .

Key words: Media construction, Rohingya, Republika Online

Pendahuluan

Pada awal bulan Juni 2012 terjadi kerusuhan etnik di negara bagian Rakhine (dahulu Arakan) Myanmar. Bentrok antara etnik minoritas Muslim dengan mayoritas Budhis dipicu adanya isu perkosaan dan pembunuhan seorang perempuan Rahkine oleh 3 orang Muslim Rohingya. Dikabarkan 300 orang Budhist Rakhine membunuh 10 orang Muslim Rohingya (Kate dan Freedman, 14 Juni 2012; Sulihyantoro, 2013). Kerusuhan ini mengakibatkan puluhan orang terbunuh, sebagian besar

diantaranya adalah etnik minoritas Muslim Rohingya sehingga pemerintah Myanmar menyatakan keadaan darurat di negara bagian ini. Serangkaian tindakan represif pemerintah segera diberlakukan kepada etnik Rohingya (Satyawan, Agustus 2012;

Ibid.).

Tindakan represif ini bukanlah pertama kali di tujukan kepada etnik Rohingya. Sejak Myanmar berdiri, pemerintah telah menerapkan kebijakan yang diskriminatif. Presiden Myanmar Thein Sein pernah menyatakan akan mengusir kaum Rohingya jika ada negara

(24)

ketiga yang mau menampung mereka (Alam, t.t.). Kebijakan pembersihan etnik di Myanmar menuai kecaman dunia internasional. Uniknya Aung San Suu Kyi, ikon demokrasi Myanmar yang baru saja dibebaskan dari tahanan rumah dan berhasil memenangkan kursi di parlemen, ketika ditanya mengenai persoalan Rohinggya sewaktu berkunjung ke Eropa, tidak memberi jawaban tegas. Bahkan ia tidak tahu jika Rohingya adalah minoritas di Myanmar dan akan mempelajari secara seksama undang-undang yang berkaitan dengan etnik di Myanmar (Detikislam. com 15 Juli 2012; Ibid.). Jawaban yang mengambang ini mengecewakan bagi kelompok-kelompok pro demokrasi internasional.

Pemberitaan yang berkaitan dengan konfl ik etnik di Myanmar dan penderitaan

pengungsi Rohingya sangat massif di media massa. Media massa berlomba-lomba meng hadirkan realitas yang terjadi di Myamar sesuai dengan perspektif mereka masing-masing, termasuk Harian Republika. Artikel ini menguraikan bagaimana realitas atas peristiwa Rohingya dihadirkan oleh media Republika online

melalui pemberitaannya kepada para pembaca mulai tanggal 10 Juni sampai dengan 10 Agustus 2012.

Perumusan Masalah

Perumusan Masalah dalam riset ini adalah: “Bagaimana framing berita di situs Republika online (republika.co.id) mengenai peristiwa pengungsi Rohingya periode 10 Juni – 10 Agustus 2012 ?”

Tinjauan Pustaka

Pada intinya, analisis bingkai (media) adalah varian akhir dari pendekatan analisa wacana, khususnya untuk menganalisa teks. Bingkai pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual

yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan ataupun suatu wacana yang dibarengi penyediaan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Dalam ilmu komunikasi, konsep bingkai digunakan untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media (Sobur, 2004).

Secara lebih khusus, analisa bingkai dipergunakan untuk membedah cara-cara atau ideology media saat mengkonstruksi fakta dengan menggunakan berbagai srategi seleksi, penonjolan, pertautan fakta kedalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, sehingga lebih mudah diingat dalam upaya menggiring intepretasi khalayak sesuai dengan perspektifnya (Sobur, 2004). Analisa bingkai merupakan salah satu pendekatan untuk memahami bagaimana cara pandang media (wartawan) ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang ini pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan atau dihilangkan serta hendak diarahkan kemana berita tersebut ditulis (Eriyanto, 2011).

Robert Entman mengembangkan model analisa dengan menggunakan empat cara yaitu pertama, mengidentifi kasi

masalah yaitu peristiwa dilihat sebagai apa dengan nilai positif atau negative seperti apa. Kedua, identifi kasi penyebab

(25)

Tabel 1: Model Analisa Bingkai Robert Entman

Defi ne Problems

(pendefi nisian masalah)

Bagaimana suatu peristiwa / isu dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa?

Diagnose causes

(memperkirakan masalah atau sumber masalah)

Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab masalah?

Make moral judgement

(membuat keputusan moral)

Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan msalah? nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendegitimasi suatu tindakan?

Treatment Recommendation

(menekankan penyelesaian)

Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah / isu? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah?

Sumber: Eriyanto, 2011: 223

hak asasi manusia ini, keputusan Suu Kyi yang memilih melakukan perjalanan ke Eropa dinilai oleh berbagai pihak sebagai tindakan menghindar dalam menengahi konfl ik yang terjadi pada kelompok etnis

minoritas Muslim Rohingya dengan Budha Rakhine.

Hal ini tentunya mengecewakan berbagai pihak, sebagaimana Muslim Rohingya yang sangat membutuhkan perhatian dari Suu Kyi. Kekecewaan tersebut dalam informasi yang disuguhkan oleh pewarta berita Republika.co.id dikuatkan dengan tanggapan dari Anna Roberts selaku Direktur Eksekutif Kampanye Burma di Inggris, Brad Adams selaku Direktur Human Rights Watch Asia sesuai dengan konten berita yang berjudul “Analis: Suu Kyi Takut Muslim Rohingya Bahayakan Karir Politiknya” serta kekecewaan yang mendalam dari kelompok Muslim Rohingya diutarakan dalam berita yang berjudul “Muslim Rohingya: Suu Kyi Masih Diam.”

Konfl ik etnis yang telah mencederai

nilai-nilai kemanusiaan yang terjadi di Myanmar mendatangkan berbagai kecaman dari berbagai pihak terhadap otoritas pemerintah Myanmar. Kecaman-kecaman tersebut disampaikan agar Pemerintah Myanmar bertindak tegas dalam menyelesaikan konfl ik

Pembahasan a. Defi ne Problems

Dalam pemberitaan mengenai seputar permasalahan Rohingya di Myanmar pada kurun waktu 10 Juni – 10 Agustus 2012 yang diusung oleh media Republika. co.id menyajikan berbagai angle (sudut pandang) berita dalam menyoroti suatu tema.Terdapat sebuah kecenderungan bahasan yang menjadi fokus utama dalam menyajikan berbagai informasi penting kepada khalayak.

Pemimpin tokoh oposisi Myanmar, Aung San Suu Kyi yang juga peraih nobel perdamaian memperoleh banyak kecaman dari berbagai pihak atas aksi diamnya menyikapi konflik yang menyebabkan

(26)

kemanusiaan yang terjadi di negaranya. Berita dari Republika.co.id yang berjudul “Mesir Kutuk Kekerasan Terhadap Muslim Rohingya” mengungkapkan kepedulian dari Negara Mesir yang pada berita tersebut dipaparkan pendapat dari Kementrian Luar Negeri Mesir yang mengutuk serangan terhadap Muslim di Myanmar, hal tersebut diungkapkan Kemenlu Mesir bertepatan sehari setelah demonstran di Khairo membakar bendera Myanmar. Berikut sama halnya kecaman datang dari Indonesia yang disajikan dalam frame berita “Zalim ke Rohingya, ASEAN Diminta Keluarkan Myanmar” yang mengulas upaya kelompok aliansi dari berbagai lembaga kemanusiaan melakukan aksi protes dan mengecam pemerintah Myanmar dengan melakukan demonstrasi di Gedung Sekretariat ASEAN.

Begitu juga keprihatinan disampaikan oleh kelompok Muslim Amerika Serikat terhadap nasib penindasan yang dialami oleh kelompok etnis Muslim Rohingya di Myanmar yang diulas dalam berita yang berjudul “Prihatin Rohingya, Muslim AS Surati Presiden Myanmar”. Lebih lanjut dalam berita “Surin: ASEAN Tak Bisa Diam Atas Masalah Rohingya” kecaman-kecaman yang mendesak pemerintah Myanmar untuk segera bertindak menyelesaikan konfl ik horizontal yang

terjadi di Negara tersebut juga disampaikan oleh Negara-negara ASEAN melalui Seketaris Jendralnya Surin Pitsuwan yang mana ASEAN siap mempertimbangkan bantuan bagi suku kecil Rohingya.

Dalam kategori “Dampak Konfl ik”

yang terjadi akibat perselisihan berkepanjangan antara kelompok etnis Muslim Rohingya kontra Budha Rakhine tentunya telah menyebabkan krisis nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini media Republika.co.id cenderung menyoroti

permasalahan-permasalahan antara lain:

Stateless, korban Jiwa, kelaparan dan

gangguan kesehatan sebagai dampak konflik akibat perseteruan antar dua

kelompok Muslim Rohingya dengan Budhe Rakhine tersebut.

Frame Republika.co.id yang

meng-utarakan nasib Muslim Rohingya akibat permasalahan yang terjadi di Myanmar adalah harus menanggung status sebagai kelompok yang tidak berkewarganegaraan (stateless). Hal ini disebabkan oleh Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 yang menetapkan bahwa etnik Rohingya bukanlah etnik asli Myanmar dan dianggap sebagai imigran illegal dari Bangladesh dan keturunannya. Status stateless yang dialami oleh kelompok minoritas ini, mengharuskan mereka mengungsi ke negara-negara tetangga terutama menuju Bangladesh dalam menjauhi daerah konfl ik.

Serupa pada konten informasi dari berita Republika.co.id yang berjudul “Beginilah Nasib Pedih Muslim Rohingya” yang memaparkan informasi bahwa solusi yang ditawarkan oleh pemerintah Myanmar melalui pernyataan Presiden Thein Sein bahwa Muslim Rohingya tinggal di kamp pengungsian atau dideportasi dari Myanmar. Dalam dua pilihan yang ditawarkan oleh Presiden Myanmar tersebut, tidak ada pilihan yang menguntungkan kelompok Muslim Rohingya karena apabila tinggal di kamp pengungsian, ruang gerak Muslim Rohingya kian terbatas. Berikut apabila dideportasi kelompok Muslim Rohingya pun kesulitan mencari tempat pengungsian Negara tetangga yang mau menampung mereka.

Begitu juga pada frame berita “Muslim Rohingya Dituduh Penyebab Konflik Myanmar” dan “Muslim

(27)

Asing” permasalahan yang disorot adalah mengenai ketidakjelasan status kewarganegaraan dari etnis Rohingya, sehingga kelompok minoritas tersebut dianggap telah menyebabkan permasalahan yang menyangkut kedaulatan Myanmar. Menyandang status

stateless membuat Muslim Rohingya

mendapatkan perlakuan deskriminasi dari pemerintah Myanmar dan mayoritas dari warga Myanmar sendiri.

Berikutnya dalam frame berita yang berjudul “Mengungsi ke Bangladesh, Perahu Muslim Rohingya Ditembaki” dan “Muslim Rohingya di Myanmar Kian Terancam” menyebutkan bahwa nasib keberadaan mereka akibat hiruk pikuk kerusuhan melawan Budha Rakhine menyebabkan kelompok Muslim Rohingya harus mengungsi ke negara-negara tetangga.

Kerusuhan etnis antara Muslim Rohingya dengan Budha Rakhine telah menyebabkan korban jiwa maupun luka-luka makin bertambah. Hal ini sesuai dengan judul artikel Republika. co.id “Kerusuhan Etnis, 16 Muslim Rohingya Dibunuh” dan berita “Lagi, Kekerasan Menimpa Muslim Rohingya” menyebutkan jumlah korban yang tewas akibat kerusuhan yang meletus di wilayah Rakhine yakni terdapat 29 orang diketahui 16 diantaranya adalah kelompok Muslim Rohingya dan 38 orang lainnya luka-luka.

Dampak lain yang terjadi akibat perseteruan antar etnis ini adalah malnutrisi dan gangguan kesehatan bagi kelompok Muslim Rohingya yang berada pada kamp-kamp pengungsian. Hal ini diulas oleh Republika.co.id pada artikel berita yang berjudul “Terancam Kelaparan Muslim Rohingya Rentan Gangguan Kesehatan.”

Dalam hal kategori “Sikap Pemerintah Myanmar”, peneliti kembali meng-klasifi kasikan pada sub kategori sikap

yakni sikap terhadap Muslim Rohingya dan sikap terhadap Pihak Eksternal dalam menyikapi konfl ik tersebut.

Berdasarkan analisa korpus Republika.co.id yang membingkai per-masalah an mengenai Sikap Pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya terangkum pada artikel yang berjudul “Pemerintah Myanmar Ingin Usir Muslim Rohingya” dan “Rohingya, Potret Buram Muslim Myanmar”.

Dari kedua judul tersebut dapat ditarik benang merah bahwasanya sikap-sikap deskriminatif serta pembatasan ruang gerak yang ditujukan kepada Muslim Rohingya oleh otoritas Pemerintah Myanmar mengindikasikan adanya kebencian seiring diperlakukannya warga Muslim Myanmar dengan tidak manusiawi menjadikan sebuah tanda bahwa Myanmar tidak menginginkan keberadaan kaum Muslim untuk bermukim di Negara yang mayoritas penduduknya adalah menganut kepercayaan Budha.

Pada pemberitaan yang berjudul “Myanmar: Soal Muslim Rohingya Bukan Masalah Agama” mengindikasikan sikap Pemerintah Myanmar yang cenderung keberatan menganggap konfl ik etnis yang

(28)

dapat diketahui secara jelas bahwa konfl ik

yang terjadi adalah akibat disharmonisasi atau benturan paham ideologi, etnis maupun agama yang terjadi di Myanmar.

Selanjutnya, pada pemberitaan yang berjudul “MER-C Sayangkan Larangan Masuk Relawan di Myanmar” dan “Muslim Rohingya Kelaparan” dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap pemerintah Myanmar terhadap pihak-pihak eksternal yang ingin menyalurkan bantuan kemanusiaan ke daerah konfl ik cukup

sulit untuk menembus birokrasi maupun akses yang menjadi otoritas Pemerintah Myanmar, hal ini menyebabkan kelompok-kelompok tertentu seperti relawan sangat menyayangkan sikap Pemerintah Myanmar yang tidak mempermudah ruang masuknya bantuan untuk Muslim Rohingya yang tengah dalam kondisi malnutrisi maupun gangguan kesehatan.

Pada kategori ini, perihal sikap pemerintah Indonesia yang proaktif dalam hal menghimbau masyarakat Internasional untuk memperhatikan nasib Muslim Rohingya berikut juga tindakan beberapa pihak yang mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengusahakan upaya penyelesaian konflik di Myanmar.

Hal itu dilakukan dengan membahas permasalahan tersebut ke dalam forum ASEAN tersaji dalam konten informasi pada artikel berita yang berjudul “F-PKS Dorong Pemerintah Peduli Muslim Rohingya” dan “Menlu: Masyarakat Internasional Harus Naungi Rohingya”.

Begitu juga dengan sikap Indonesia yang mendesak pemerintah Myanmar untuk mengakui status kewarganegaraan dari kelompok Muslim Rohingya dapat dianalisis dalam produk berita Republika. co.id yang berjudul “Tampung Muslim Rohingya, Sama Saja Setujui Tindakan Myanmar” dengan mengulas pendapat narasumber Guru Besar UIN Syarif

Hidayatullah, Azyumardi Azra yang menilai bahwa apabila Indonesia bersikap tangan terbuka dalam menampung Muslim Rohingya, maka secara tidak langsung hal tersebut menjadi sebuah dukungan bagi pemerintah Myanmar untuk mengusir Muslim Rohingya dan tidak mengakui etnis minoritas tersebut sebagai warga Negara Myanmar terkait status pengungsi kepada kelompok yang mendapatkan perlakukan deskriminatif tersebut.

b. Diagnose Causes

Dalam framing pemberitaan Republika. co.id terdapat permasalahan-permasalahan yang telah dikategorikan dalam sub tema tertentu. Dalam tahapan ini akan dilakukan analisa mengenai latar belakang penyebab permasalahan atau siapa aktor yang menyebabkan suatu permasalahan.

Pada kategori pemberitaan yang mengulasi sikap Suu Kyi dapat ditarik benang merah mengenai penyebab mengapa Suu Kyi selaku tokoh pejuang HAM di Myanmar bertindak diam terhadap pelanggaran kemanusiaan yang dihadapi oleh etnis Muslim Rohingya, terlebih posisi Suu Kyi yang kini telah masuk dalam parlemen Myanmar akan lebih memudahkan dalam mengakomodir penanganan konflik etnis ini dengan

harapan Suu Kyi mampu membangun dialog dengan umat Budha Rakhine terkait penyelesaian masalah dengan Muslim Rohingya.

(29)

kampanye partai politiknya tersebut. Sebagaimana termaktub dalam konten berita artikel yang berjudul “Analis: Suu Kyi Takut Muslim Rohingya Bahayakan Karir Politiknya”, dan “Muslim Rohigya. Tantangan Terbesar Aung San Suu Kyi”.

Sedangkan pada berita “Muslim Rohingya: Suu Kyi Masih Diam” dan “Muslim Rohingya Minta Perhatian Suu Kyi” mengungkapkan permintaan Muslim Rohingya untuk perhatian Suu Kyi yang sekiranya lebih efektif dalam tindakan penyelesaian konfl ik kepada

PBB, Pemerintah Myanmar dan Negara-negara asing lainnya. Pun diulas mengenai sebab kerusuhan yang terjadi di Rakhine telah menyebabkan puluhan orang tewas dan luka-luka dalam kerusuhan lima hari dengan umat Budha Rakhine, kondisi ini menyebabkan Muslim Rohingya terdesak meminta perlindungan dari Suu Kyi.

Berbagai kecaman datang mendesak Pemerintah Myanmar untuk sesegera mungkin menyelesaikan konfl ik etnis

antar Muslim Rohingya dengan Budha Rakhine. Paparan konten informasi yang menyangkut sebab aksi kecaman ini terjadi dikarenakan kerusuhan etnis yang telah mencederai nilai-nilai humanisme. Kerusuhan antar dua kelompok etnis di Myanmar tersebut mencuat dengan adanya bentrokan aliran, aksi kekerasan, maupun serangan terhadap warga Muslim Rohingya sehingga kelompok etnis minoritas di Myanmar tersebut mengalami penderitaaan yang memilukan terkait penindasan yang mereka alami. Hal tersebut melatar belakangi permasalahan yang tersaji dalam berita yang berjudul “Mesir Kutuk Kekerasan Terhadap Muslim Rohingya”, “Prihatin Rohingya, Muslim AS Surati Presiden Myanmar”, “Surin: ASEAN Tak Bisa Diam Atas Masalah Rohingya” dan “Zalim ke Rohingya, ASEAN Diminta Keluarkan Myanmar.”

Perihal dampak konfl ik yang

terjadi akibat kerusuhan etnis Muslim Rohingya kontra Budha Rakhine secara garis besar hal ini disebabkan oleh status kewarganegaraan pada Muslim Rohingya. Kelompok minoritas yang telah bertahun-tahun tinggal di Myanmar tersebut tidak diakui sebagai etnik murni Myanmar dan dianggap sebagai imigran illegal. Hal ini pun dikuatkan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 yang menyebutkan bahwa Muslim Rohingya bukanlah etnis asli Myanmar.

Artikel berita dari Republika. co.id yang berjudul “Beginilah Nasib Pedih Muslim Rohingya” dan “Muslim Rohingya Dituduh Penyebab Konfl ik

Myanmar” merupakan produk berita yang mengungkapkan diagnose cause mengenai status kewarganegaraan ini. Selanjutnya nasib Muslim Rohingya yang harus melakukan pelarian menjauhi daerah konflik dan mengalami

keterombang-ambingan tempat bermukim dituangkan dalam berita “Mengungsi ke Bangladesh, Perahu Musli

Gambar

Tabel 1: Model Analisa Bingkai Robert Entman
Gambar 1 . Diagram Welford
Gambar 2 . Anatomi Otak Manusia.
Gambar 3. Hypothalamus pada Otak Manusia
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini akan dilaksanakan di SMPN 2 Wungu. Adapun waktu penelitian ini mulai dari penyusunan proposal hingga pembuatan laporan penelitian dimulai dari Maret

Akhlak ialah ilmu yang mengajarkan tentang prilaku manusia tentang baik buruknya yang mencegah berbagai macam perbuatan jelek dalam pergaulan baik dengan tuhan,

Sementara pada Model 3 (US) tampak bahwa variabel LO dan AKK sama-sama memiliki pengaruh yang signifikan dalam memprediksi AK masa depan pada level 1%. Secara keseluruhan

Karyawan dengan kecerdasan emosi yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang lebih baik yang dapat dilihat dari bagaimana kualitas dan kuantitas yang diberikan

Hal ini dikarenakan oleh banyaknya anggota kelompok dukungan ter- sebut, dukungan emosi yang diberikan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan baik dari segi waktu

kitab suci, adalah Nabi Idris, Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Saleh, Nabi Ibrahim, Nabi Luth, Nabi Ismail, Nabi Ishak, Nabi Yakub, Nabi Yusuf, Nabi Syuaib, Nabi Ayub, Nabi Dzulkifli,

Gunungapi Gamalama adalah salah satu gunungapi yang menyimpan potensi sumber daya alam dan memiliki tanah yang subur, tetapi di lain sisi gunungapi Gamalama

Pengelolaan obat yang meliputi perencanaan, permintaan dan pendistribusian sudah memenuhi standar pengelolaan obat di Puskesmas kecuali penyimpanan obat masih belum