• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PANDANGAN INFORMAN TENTANG MAKNA LOMPAT

4.1.8 Wawancara dengan Fanya, Joandi Simanjuntak dan Lahomi Nazara

4.1.8.1 Wawancara dengan Fanya

Fanya (perempuan 22 tahun) merupakan salah satu wisatawan yang berkunjung ke Nias. Ia berasal dari Semarang dan baru pertama kali menginjakkan kakinya di Pulau Nias. Fanya berwisata ke Pulau Nias karena mengikuti ajakan dari orangtuanya yang berkunjung ke Pulau Nias. Berdasarkan penuturannya kepada peneliti, Fanya memilih untuk mau ikut karena ia mengetahui bahwa Pulau Nias mempunyai tempat-tempat wisata yang sangat bagus dan unik untuk dijalani. Salah satunya yakni atraksi hombo batu yang pernah ia dengar dari teman kuliahnya dan media massa sehingga membuat ia sangat tertarik untuk melihat secara langsung atraksi tersebut.

Ketika kesempatan berwisata ke Pulau Nias datang, ia pun tidak menyia-nyiakannya. Fanya berkata,

“...Saya sangat penasaran bagaimana caranya seseorang bisa melompat batu setinggi 2,5 meter tanpa ada bantuan apapun. Itu yang membuat saya sangat tertarik dan ingin melihat langsung atraksi tersebut...”.

Selain hombo batu, hal lain yang berhasil mengunggah daya tarik Fanya, adalah beberapa pantai yang ada di Nias Selatan, seperti pantai sorake dan pantai lagundri. Ia mengatakan bahwa pantai-pantai yang ada di Nias Selatan merupakan surga tersembunyi yang ada di Indonesia yang harus terus dilestarikan dan dijaga, sehingga dapat meningkatkan nilai pariwisata dan daya tarik yang tinggi bagi para wisatawan baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Hal lain yang membuat Fanya sangat apresiasif kepada pelompat yang berhasil melompati hombo batu yakni kemampuan dan keberanian mereka yang

74

mampu melewati batu berukuran tinggi dan lebar. Fanya juga sangat tertarik setelah mengetahui sejarah hombo batu yang mempunyai nilai sejarah dan budaya yang tinggi bagi masyarakat Nias Selatan khususnya di desa Bawomataluo. Bagi Fanya sebagai wisatawan yang berkunjung ke Bawomataluo, makna hombo batu menurutnya adalah suatu ikon kekayaan budaya khususnya bagi Pulau Nias Selatan dan bagi Negara Indonesia pada umumnya dan melambangkan kegagahan dan keberanian masyarakat Desa Bawomataluo.

Selama berada di Desa Bawomataluo, Fanya juga menikmati kemegahan Omo Hada/Rumah adat Nias Selatan dan dengan beberapa hasil kerajinan tangan yang ada disana. Setelah memperhatikan Rumah Adat Nias Selatan, Fanya mengaku sangat kagum dengan arsitek rumah adat tersebut. Ayu menuturkan berdasarkan cerita yang ia ketahui bahwa ketika terjadi gempa berkisar 8,3 Scala Ritcher melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005 lalu, ketika bangunan-bangunan modern ambruk, rata dengan tanah dan membuat ribuan nyawa melayang di Kota Gunungsitoli dan Teluk Dalam, rumah-rumah adat di Nias Selatan justru tetap berdiri kokoh dan tidak ada berita yang melaporkan bahwa ada korban tewas di desa-desa adat Bawomataluo. Uniknya lagi, meskipun awalnya terbuat dari kayu dan beratap rumbia, bagunan-bangunan tersebut tidak terdapat paku atau barang besi untuk menyambung kayu-kayu tersebut antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut membuatnya sangat kagum dan tertarik.

Selama berwisata ke Nias, khusunya Desa Bawomataluo, Fanya merasa nyaman berkunjung ke daerah tersebut dan sangat senang dengan respon masyarakat disana yang begitu ramah menyambut para wisatawan. Serta merasa senang dengan suguhan wisata lainnya, Fanya tidak merasa terbebani dengan

75

biaya retribusi yang dikeluarkan untuk berwisata di desa tersebut. Menurutnya dari beberapa jenis dan tempat wisata di desa tersebut jenis wisata yang paling menarik adalah hombo batu. Kesan yang di dapat Fanya setelah berkunjung ke Desa Bawomataluo yakni, bahwa desa tersebut memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan lagi menjadi tujuan utama untuk dikinjungi bagi para wisatawan, dan tentunya untuk kesejahteraan masyarakat Desa Bawomataluo.

Harapannya kepada pemerintah daerah tau pemerintah pusat agar akses jalan saat berwisata ke Nias Selatan lebih diperhatikan lagi oleh pemerintah, karena menurutnya masih banyak jalan yang berlobang dan tidak mulus. Apa bila hal-hal seperti ini mendapat perhatian lebih dari pemerintah tentunya akan menambah peluang para wisatawan untuk berkunjung dan bahkan, suatu saat akan kembali datang lagi untuk berwisata ke Nias Selatan dan khususnya ke Desa Bawomataluo.

4.1.8.2 Wawancara dengan Joandi Simanjuntak

Joandi (laki-laki, 23 tahun) adalah salah satu dari beberapa wisatawan yang melakukan wisata ke Nias Selatan. Ia baru pertama kali berwisata ke Pulau Nias bersama dengan teman kuliahanya. Ia, yang akrab disapa dengan Andi oleh teman-temannya, memilih berwisata ke Pulau Nias untuk mengisi liburan akhir kuliahnya dari salah satu Universitas Negeri di Palembang. Andi mempunyai sahabat karib yakni putra daerah dari Nias Selatan yang merupakan teman satu universitasnya di palembang, sehingga ketika berkunjung mengelilingi Pulau Nias, Andi tidak merasa kebingungan menuju berbagai tempat wisata di Pulau Nias.

76

Ketika berada di Desa Bawomataluo, Andi mengaku sangat menikmati perjalanan wisata yang dia lakukan. Dimulai pada saat awal dia memasuki desa tersebut yang disambut dengan susunan anak-anak tangga yang disusun banyak dan tinggi. Setelah itu disambut juga dengan tatanan barisan Rumah Adat Nias yang sungguh unik, dan hal yang tidak kalah menarik perhatiannya adalah keramaian karena adanya pertunjukkan hombo batu. Walaupun Andi dan teman-temannya harus membayar biaya kontribusi kepada pelompat hombo batu sebesar delapan puluh ribu rupiah, namun ia tidak merasa terbebani karena itu semua terbayar dengan atraksi yang dia lihat secara langsung ketika seorang pelompat berhasil melewati batu yang cukup tinggi tersebut, yang dilakukan dengan keahlian dan keterampilan yang maksimal.

Menurut Andi, hombo batu tersebut merupakan suatu icon kekayaan budaya yang harus terus dilestarikan dan dijaga, agar nilai-nilai budaya ataupun wisata yang ada di Nias Selatan tidak punah. Hombo batu ini harus terus dilestarikan dan layanannya terus ditingkatkan, sehingga semakin dikenal oleh masyarakat luar. Dia sangat kagum kepada masyarakat Desa Bawomataluo yang mau terus melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya daerahnya. Selain hombo batu yang menarik perhatiannya, bangunan Rumah Adat Nias/Omo Hada yang ada di Desa Bawomataluo berhasil memikat perhatiaannya sebab menurutnya bangunan Rumah Adat tersebut sangat unik. Hal tersebutlah yang membuatnya sangat kagum dan tertarik.

Berbagai macam hasil kerajinan tangan yang dibuat oleh masyarakat Bawomataluo, menurutnya juga sangat bagus dan mereka sangat kreatif bisa menciptakan berbagai kerajinan tangan yang begitu unik dan membuat wisatawan

77

mau untuk bisa membelinya sebagai kenang-kenangan setelah berwisata ke Pulau Nias. Berdasarkan perjalanan wisata yang Andi jalani, dia mengaku merasa nyaman selama melakukan kunjungan. Ia merasa sangat senang akhirnya bisa melihat secara langsung atraksi hombo batu yang ada di Nias Selatan.

Andi mengatakan bahwa dia sudah tidak sabar lagi menunggu berbagai kejutan berikutnya yang akan di suguhkan Pulau Nias kepadanya, karena kunjungan yang ia lakukan ke Desa Bawomataluo hari ini merupakan perjalanan pertama di hari pertamanya setelah sampai di Pulau Nias. Ia sangat menantikan keindahan pantai-pantai yang ada di Pulau Nias yang akan dia kunjungi pada keesokan harinya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, peneliti mengetahui bahwa kesan yang diperoleh Andi ketika berwisata ke Desa Bawomataluo adalah, bahwa desa tersebut memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan lagi bagi kesejahteraan masyarakat Desa Bawomataluo.

4.1.8.3 Wawancara dengan Lahomi Nazara

Lahomi Nazara (laki-laki, 21 tahun) merupakan salah satu wisatawan yang berasal dari Nias Utara tepatnya dari Kecamatan Lahewa, meskipun dia merupakan asli putra daerah Nias tetapi sesuai penuturannya bahwa dia pertama kali berwisata ke desa Bawomataluo. Ketika peneliti menjumpainya di Desa Bawomataluo, saat ini dia sedang bersama kawan-kawan satu gerejanya dari Lahewa yang sedang melakukan kegiatan berwisata. Ketika di jumpai di Desa Bawomataluo, Lahomi mengatakan bahwa kunjungannya ke Desa Bawomataluo merupakan suatu kesempatan yang sangat luar biasa, karena selain bisa melihat melihat pertunjukan hombo batu secara langsung, dia juga bisa menikmati

78

indahnya pantai Lagundri dan Sorake yang sampai saat ini merupakan andalan Nias Selatan ketika wisatawan datang kesana sebagai wahana wisata air.

Ketika peneliti menanyakan tentang sejarah hombo batu dan maknanya bagi masyarakat Pulau Nias secara umum, Lahomi mengatakan bahwa hombo batu merupakan warisan budaya Nias Selatan, dimana maknanya merupakan tolak ukur bagi pemuda masyarakat Nias Selatan telah melewati masa kanak-kanak dan menuju masa dewasa. Lahomi juga mengatakan bahwa di kampungnya, di Lahewa sering membicarakan tentang makna dari hombo batu, di kampungnya makna hombo batu merupakan syarat untuk bisa menikah bagi pemuda yang ada di Nias Selatan, walaupun hal itu tidak berlaku lagi saat ini, karena telah terkikis seiring dengan perubahan zaman saat ini.

Sebagai wisatawan, ketika berkunjung ke Desa Bawomataluo, Lahomi dan beberapa orang rekannya yang lain diharuskan untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar dua orang pelompat hombo batu yang mempertunjukkan secara langsung atraksi yang sangat terkenal di desa tersebut. Sejumlah uang itu menurutnya masih hal yang wajar dan tidak terlalu memberatkan untuknya dan rekan-rekannya, karena pembayaran tidak di hitung per orang melainkan per kelompok, semakin banyak kawan-kawan kita yang ikut menyaksikan atraksi tersebut maka biayanya pun akan semakin sedikit per orangnya, sesuai berapa harga perjanjian awal kita kepada para pelompat tersebut.

Menurutnya desa ini juga penuh dengan kejutan dan pesona yang sangat menarik bagi pengunjungnya, meskipun sama-sama tinggal di Pulau Nias, tetapi sesuai penuturannya kepada peneliti, bahwa perkampungan yang masih tradisional dengan rumah tradisional yang tersusun rapi hanya bisa kita dapatkan di Nias

79

Selatan, tepatnya di Desa Bawomataluo ini. Penampakan perumahan atau perkampungan seperti ini tidak akan kita temukan lagi di bagian Pulau Nias lainnya, termasuk di kampung halamannya sendiri di Kecamatan Lahewa, Kabupaten Nias Utara. Tentang kenyamanan bagi pengunjung menurutnya sudah lumayan baik, meskipun masih ada beberapa hal yang perlu di perbaiki, seperti jalan yang sempit dan berlobang di beberapa bagian jalan menuju Desa Bawomataluo.

Dokumen terkait