• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III BOHONG : PENGERTIAN DAN WACANA

A. Aplikasi Teori Semantik Toshihiko Izutsu Pada Term Ifk

3. Weltanschauung Term Ifk dan Buhtân

Weltanschauung merupakan sebuah kajian tentang sifat dan stuktur pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode sejarah saat itu, dengan menggunakan alat analisis metodologis terhadap konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri dan telah mengkristal menjadi kata-kata kunci bahasa itu.53 Kesimpulannya bahwa weltanschauung adalah tujuan akhir dari analisis semantik.

51 Amina Wadud, Qur’an menurut Perempuan, Penerjemah Abdullah Ali (Jakarta:

Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 31.

52 Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, h. 12.

53 Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, h. 3.

Semantik berperan sebagai metodologis, sementara al-Qur’an sebagai sisi materialnya yang menyediakan berbagai macam kosa kata sekaligus konsep-konsep religius yang harus dikaji dengan pendekatan semantik.54 Term-term yang terdapat dalam al-Qur’an telah dikenal baik oleh masyarakat, namun dalam konotasi yang sesuai dengan pandangan umum masyarakat Arab. Al-Qur’an sama sekali baru dalam hal ini dalam sistem berbalik arah dari muatan sebelumnya. Pergeseran makna inilah yang dikaji oleh Izutsu dengan semantiknya dengan tujuan untuk menggali pengertian tentang prinsip-prinsip fundamental yang mendasari sikap moral pra-Islam dengan wahyu melalui interpretasi kontekstual untuk memperoleh makna semantik al-Qur’an.55

E. Urgensi Analisis Semantik

Menurut teori Ferdinand de Saussure (Prancis, 1875-1913 M), makna adalah konsep pengertian yang terdapat pada tanda linguistik, dalam praktek bahasa, jika tanda linguistik itu berwujud kata, maka makna merupakan konsep yang dimiliki oleh setiap kata tersebut.56 Seseorang bisa berbicara panjang lebar dengan kata-kata dan dia sendiri yang memberikan makna kepada kata-kata itu.

Menurut Jalaluddin Rakhmat, sekiranya ada orang yang menyampaikan tentang buku yang bermakna objektif maka orang tersebut akan merujuk kepada kamus, padahal kamus tersebut juga dihimpun dari makna percakapan maupun tulisan yang digunakan oleh manusia sehari-hari. Jadi, kata tidak memiliki makna

54 Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, h. 2.

55 Mustafa Umar, “Kufur dalam al-Qur’an: Semantik Toshihiko Izutsu,” al-Risalah, vol.

12 no. 1 (Mei 2012): h. 42.

56 Verhar, Pengantar Linguistik 1, h. 1.

dengan sendirinya tetapi manusialah yang memberikan makna pada kata itu.57 Dengan kata lain, manusialah yang memiliki makna; bukan kata maupun kamus.

Analasis semantik diharapkan dapat menerangkan hubungan kalimat yang meragukan. Analisis semantik juga dapat menentukan hubungan paraphrase antar kalimat. Misalnya ada dua kalimat yang berbeda tetapi maknanya sama. Seperti pada kalimat pertama, “Budi kemarin pergi ke Surabaya”. Kalimat kedua,

“kemarin, Budi pergi ke Surabaya”. Jika ada dua struktur mempunyai penyajian makna yang sama maka kedua kalimat tersebut mengacu pada hubungan paraphrase.58 Semantik juga diharapkan dapat menerangkan hubungan paraphrase.

Analisis semantik harus dapat menemukan dan menerangkan urutan-urutan yang tidak sempurna.59

Persoalannya sekarang adalah urgensi semantik jika berhadapan dengan teks bahasa agama, khususnya al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kumpulan teks-teks yang berdiri secara otonom, menampilkan dirinya melalui sistem tanda sehingga memungkinkan pembaca berdialog dengannya. Al-Qur’an merupakan dokumen pasif, yang selalu menunggu kehadiran pembaca untuk merespon dan menafsirkannya.60 Pada tahap ini keberadaan ilmu semantik menjadi krusial dalam mendekati dan menggali teks kitab suci.

Para penafsir mencoba membayangkan apa yang dikehendaki oleh teks pada masa lalu jika digubah pada masa kini. Memahami teks dalam konteks masa lalu

57 Jalaluddin Rakhmat, Basyar, Insan dan Al-Nas: Konsep-Konsep Antropologis dalam Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1987), h. 10.

58 Parare, Teori Semantik, h. 50.

59 Misalnya, “saat kunjungan ke Bandung, pemain PERSIB berjumlah 20 buah”. Kalimat tersebut menunjukkan ketidak serasian antara pemain yang bersifat insani dengan kata buah yang tidak insani. Kalimat yang benar adalah “saat kunjungan ke Bandung, pemain PERSIB berjumlah 20 orang”. Parera, Teori Semantik, h. 50.

60 Ahmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama (Malang:

UIN-Malang Press, 2007), h. 116.

bukan berarti memahami makna sebenarnya dari teks itu sendiri, tetapi untuk memahami dinamika antara teks dan penerima awal. Jika Tuhan benar-benar berbicara untuk semua masa dan generasi, maka tentunya teks-teks al-Qur’an tidak dapat dipahami sebatas konteks historisnya saja. Kita mengetahui, bahwa teks-teks al-Qur’an merupakan hasil proses dialektis dan jawaban Muhammad atas konteks Arab saat itu. Sehingga al-Qur’an itu didesain, dikonstruk dan diinterpretasi sesuai dengan konteksnya. Pemahaman baru terhadap al-Qur’an bukan berarti mereduksi, tetapi membuktikan sejauh mana al-Qur’an mampu berdialog dengan realitas.61

Bedasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan urgensi semantik adalah untuk mengetahui dan memahami makna kata; Menerangkan hubungan paraphrase antara kalimat, baik yang meragukan atau tidak; Menerangkan urutan-urutan yang tidak sempurna; dan menjelaskan dan membedakan ujaran gramatikal yang bermakna dan yang anomaly. Urgensi terpenting dalam semantik al-Qur’an adalah semantik dapat digunakan sebagai alat menafsirkan al-Qur’an yang shâlih li kulli zamân wa makân. Pada akhirnya tidak menutup kemungkinan adanya urgensi lain dalam kajian semantik ini.

61 Muzakki, Kontribusi Semiotika. h. 117.

32 A. Pengertian Bohong

1. Etimologi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bohong adalah tidak sesuai dengan bukti kebenaran, tidak sesuai dengan kenyataan, dusta, palsu, dan bukan asli.1 Selain itu bohong menurut Encylopedia of Positive Psychology, bohong berarti mengatakan sesuatu yang tidak ada dasarnya.

Bohong dalam bahasa Arab adalah kadzib (tidak benar, bohong)2, ifk (kebohongan, kedustaan)3 dan buhtân (kedustaan, kebohongan)4.

2. Terminologi

Menurut Poedjawijatna bohong adalah mengatakan (dengan cara bagaimanapun) sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinannya.5 Berbohong biasanya dilakukan dalam bentuk memutar balikkan kebenaran. Secara umum diyakini bahwa bohong artinya mengatakan sesuatu yang tidak ada dasar realitasnya. Misalnya mengatakan ada badai di laut padahal tidak. Berbohong juga berarti menceritakan hal yang tidak benar secara sadar, dan pemberitaan yang mengandung unsur bohong disebut dengan fitnah. Fitnah adalah pembicaraan yang bersifat

1Tim Penyususn Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), h. 212.

2 Atâbik ‘Alî Ahmad Zuhdî Muhdar, Kamus Kontemporer Arab Indonesia (Yogyakarta:

Multi Karya Grafika, 1999), h. 1498.

3 Atâbik ‘Alî Ahmad Zuhdî Muhdar, Kamus Kontemporer, h. 176.

4 Atâbik ‘Alî Ahmad Zuhdî Muhdar, Kamus Kontemporer, h. 360.

5 Bohong merupakan pemerkosaan terhadap hak manusia karena setiap ucapan yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya disebut juga dusta. Poedjawijatna, Etika: Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1982), h. 78.

menjatuhkan atau menjelek-jelekan pribadi orang tanpa adanya bukti, atau tuduhan buruk yang dikarang-karang atas seseorang.6

B. Ayat-Ayat Al-Qur’an tentang Bohong

Terdapat beberapa term yang digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan makna bohong dalam beberapa ayat, yaitu dengan menggunakan term kadzib, ifk, dan buhtân.

1. Segi Lafadz

Al-Qur’an menyebutkan kata kadzib dengan segala derivasinya sebanyak 277 kali tersebar dalam 68 surat dalam al-Qur’an7, sedangkan kata kadzib dalam bentuk masdarnya saja ditemukan sebanyak 33 kali, tersebar dalam 31 ayat dalam 19 suratal-Qur’an.8 Kata ifk sebanyak 29 kali,9 dan kata buhtân disebutkan sebanyak 7 kali,10 daftar kata tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 3.1 Term Kadzib di dalam al-Qur’an

No Kosa Kata Bentuk Kata Jml Surat Arti Kata

6 Tim Penyususn Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 476.

7 Muhammad Fu’âd ‘Abdul Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Dâr al- Hadîts, 1364 H), h. 508-602.

8 Muhammad Fu’âd ‘Abdul Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras, h. 601.

9 Muhammad Fu’âd ‘Abdul Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras h. 34.

10 Muhammad Fu’âd ‘Abdul Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras h. 139.

13 Yûnus (10): 17 Kebohongan

Tabel 3.2 Term Ifk di dalam al-Qur’an

No Kosa Kata Bentuk Kata Jml Surat Arti Kata

1 Al-Ahqâf (46):22 Memalingkan

6 Ya’fikûna Fi‘il mudâri‘

7 Ufika Fi‘il mâdi

2 Ghâfir (40):63 Dipalingkan

Al-Dzâriyât

1 Al-Najm (53):53 Meruntuhkan

12

Tabel 3.3 Term Buhtân di dalam al-Qur’an

No Kosa Kata Bentuk Kata Jml Surat Arti Kata dengan demikian banyaknya bentuk kata yang dipakai dalam al-Qur’an

dimaksudkan untuk menunjukkan tekanan-tekanan dan penegasan tertentu. Bentuk Fi‘il,11misalnya Fi‘il mâdi atau mudâri’, mengandung waktu tertentu seperti waktu lampau, kini dan akan datang.

Fi‘il mâdi dari satu segi mengandung makna bahwa objek yang dituju telah melakukan kedustaan, baik umat terdahulu, sebelum umat Muhammad maupun setelah umat Muhammad,12 di samping itu Fi‘il mâdi juga mengandung informasi pendustaan yang diungkapkan dalam bentuk ini sangat beragam, mulai dari perbuatan syirik sampai pada pelanggaran terhadap larangan Allah.

Fi‘il mudâri’ mengandung perbuatan yang dilakukan akan terjadi, umumnya bentuk ini berkaitan dengan pembalasan Tuhan yang dilakukan tidak secara zalim sedikitpun,13 tetapi tidaklah selalu demikian.

Penggunaan Fi‘il mudâri’ dalam menunjukkan peristiwa yang terjadi di masa lampau adalah untuk menggambarkan salah satu dari dua hal yaitu keindahan atau kejelekan peristiwa itu. Sementara bentuk masdar dan isim fâ‘il tidak mengikat peristiwa dengan waktu tertentu, bentuk isim masdar hanya menunjukkan peristiwa tanpa ada keterkaitan dengan waktu.

Sighat mubâlaghah menunjukkan makna banyak.14 Bentuk isim fâ‘ilsedikit lebih lengkap dibandingkan bentuk yang lain, karena menunjukkan tiga hal sekaligus yaitu adanya peristiwa, terjadinya

11Muhammad Ridha, “Al-Kadzib dalam Perspektif Al-Qur’an,”(Tesis Program Pascasarjana, Konsentrasi Tafsir-Hadis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 31-33.

12Ridha, “Al-Kadzib,” h. 31.

13Ridha, “Al-Kadzib,” h. 32.

14Ridha, “Al-Kadzib,” h. 34.

peristiwa dan pelaku peristiwa itu sendiri.15 Mengenai isim fâ‘il ini ada satu kaedah yang menyatakan bahwa ia menunjuk kepada sesuatu yang tetap dan permanen, artinya bahwa perbuatan itu telah menjadi sifatnya dan menyatu dalam dirinya.16 Kaedah ini secara umum dapat diterima, merujuk kepada orang-orang kafir dengan kekafirannya.

2. Periodesasi Turunnya

Pengklasifikasian kata ifk dan buhtân tidak hanya ditinjau dari asal kata atau lafadznya saja, dalam pembahasan ini akan ditinjau pengklasifikasian ayat-ayat ifk dan buhtân dalam al-Qur’an dari segi turun ayat berupa makkiyah dan madaniyah.17 Pengklasifikasian dari segi ini juga dapat membantu dalam mengungkapkan makna dari sebuah ayat atau kata.

15 ‘Abdullah al-Azharî, Syarh al-Tasrîh ‘ala al-Taudîh ‘ala Alfiah ibn Mâlik (kairo: t.pn., t.t.), Juz II, h. 62.

16Al-Zarkasî, al-Burhân, h. 66.

17Seacara umum, para pakar ilmu berbeda pendapat dalam memberikan pengertian mengenai makkiyah dan madaniyyah, dari beberapa baberapa perbedaan, maka dapat disimpulkan menjadi tiga pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ‘ulûm al-Qur’ân, tiga pengertian itu adalah:

1. Makkiyah adalah ayat yang diturunkan di Makkah atau disekitar kota Makkah, seperti Mina, Padang Arafah dan Hudaibiyyah. Sedangkan madaniyyah adalah ayat yang diturunkan di Madinah atau disekitarnya seperti turun di Badar, Uhud, dan lain-lain.

2. Makkiyah adalah ayat yang ditujukan untuk para penduduk Makkah, sedangkan madaniyyah adalah ayat yang ditunjukan untuk para penduduk Madinah.

3. Makkiyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum hijrah sekalipun diturunkannya di Madinah, sedangkan ayat-ayat madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah hijrah sekalipun ayat itu di turunkannya di Kota Makkah.

Pendapat yang paling masyhur adalah pendapat yang mengatakan bahwa makkiyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum hijrah, baik diturunkannya di Kota Makkah atau di Kota Madinah, sedangkan madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah hijrah, baik itu diturunkan di Makkah atau Madinah. Melihat beberapa pendapat diatas, penulis cenderung kepada pendapat yang paling masyhur, sekaligus akan menjadi landasan bagi penelitian kali ini. untuk mengetahui pendapat yang lebih lengkap dapat dilihat pada, Badr al-Dîn Al-Zarkasî, al-Burhân fî

‘Ulûm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Fikr, 1975), Juz 1, h. 189. Juga Al-Zarqânî, Manâhilu al-‘Irfân fî

‘Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Ahyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), Juz I, h. 186. Lihat juga dalam Jalâluddîn al-Suyûtî, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Maktabah al-Asriyyah, 1988), Juz I, h.

23.

Berikut akan dikemukakan ayat-ayat ifk dan buhtân, sebanyak 36 kali yang tersebar dalam 24 surat di dalam al-Qur’an, berikut ini fokus pemuatan dari ayat-ayat ifk dan buhtân dalam al-Qur’an sebagai berikut:

ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata ifk yaitu Q.s. Al-Nûr (24): 11-12, Q.s. Shaffât (37): 86 &151, Q.s. Syu’arâ (26): 45, 222, Q.s. Al-Furqân (25): 04, Q.s. Saba’ (34): 43, Q.s. Al-Ahqâf (46): 11,22,28, Q.s.

Al-Ankabût (29):17,61, Q.s. Al-Jâstiyah (45): 07, Q.s. Al-A’râf (07):117, Q.s. Al-Dzâriyât (51):09, Q.s. Al-An’âm (6): 95, Q.s. Yûnus (10): 34, Q.s.

Fâtir (35):03, Q.s. Ghâfir (40):62,63, Q.s. Mâidah (5):75, Q.s. Al-Taubah (09):30,70, Q.s. Al-Rûm (30):55, Q.s. Al-Zukhruf (34):87, Q.s.

Al-Munâfiqûn (63):04, Q.s. Al-Najm (53):53 dan ayat-ayat yang didalamnya terdapat kata buhtân18 yaitu Q.s. Baqarah (2):258, Q.s. Al-Nûr (24): 16, Q.s. al-Mumtahanah (60): 12, Q.s. al-Nisâ (04): 20,112,156, Q.s. Al-Ahzâb (33): 58.

Berlandaskan kepada pengelompokan dan urutan surat di atas, maka dapat dimuat ayat-ayat yang didalamnya terdapat kata ifk dan buhtân tersebut yang meliputi masa dan urutan turunnya19 adalah sebagai berikut:

1. Ayat-ayat ifk kategori makkiyah sebagai berikut: Q.s. Al-Najm (53):53, Q.s. Al-A’râf (07):117, Q.s. Al-Furqân (25): 04, Q.s. Fâtir (35):03, Q.s. Al-Syu’arâ (26): 45, 222, Q.s. Yûnus (10):34, Q.s. Saba’

(34): 43, Q.s. Al-An’âm (6):95, Q.s. Al-Saffât (37): 86 & 151, Q.s.

Ghâfir (40):62,63, Q.s. Al-Zukhruf (34):87, Q.s. Al-Rûm (30):55, Q.s.

18Muhammad Fu’âd ‘Abdul Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras, h. 34 &139.

19Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an II (Jakarta: Gema Insani Press, 2005) h. 354-355.

Al-Ankabūt (29):17,61. dan ayat-ayat buhtân tidak ada yang termasuk ke dalam kategori makkiyah.

2. Ayat-ayat ifk kategori madaniyah sebagai berikut: Q.s. Al-Jâstiyah (45): 07, Q.s. Al-Ahqâf (46): 11,22,28, Q.s. Al-Dzâriyât (51):09, Q.s.

Al-Nûr (24): 11-12, Q.s. Al-Munâfiqûn (63):04, Q.s. Al-Mâidah (5):75, Q.s. al-Taubah (09):30,70, dan ayat-ayat buhtân sebagai berikut: Q.s. Baqarah (2):258, Q.s. Ahzâb (33): 58, Q.s. Al-Mumtahanah (60): 12, Q.s. Al-Nisâ (04): 20,112,156, dan Q.s. Al-Nûr (24): 16.

C. Tafsir Ayat

Makna relasional kata ifk dan buhtân bisa diketahui dari berbagai penafsiran. Kedua kata tersebut menjadi bahan dalam penelitian ini dan akan dibedakan tafsiran atas keduanya sesuai dengan periode penafsir yang berusaha menafsirkannya, yaitu tafsir periode klasik20 dan kontemporer21, dengan melihat dari sisi perbedaan waktu kemungkinan terjadi perbedaan dan perubahan dalam penafsiran kedua kata tersebut sesuai dengan kondisi yang terjadi pada masa kata tersebut ditafsirkan.

Tafsir periode klasik merujuk pada kitab tafsir al-Kasysyâf ‘an Haqâiqi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wil, karya al-Qâsim Jâr Allâh

20Klasik adalah tradisional, mempunyai nilai mutu yang diakui dan menjadi tolak ukur tertinggi. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 445. Klasik atau disebut juga zaman mutaqaddimîn ialah zaman para penulis tafsir al-Qur’an gelombang pertama. Periode ini mulai dari akhir zaman tabi’în sampai akhir pemerintahan Dinasti Abbasiyyah, misalnya; Tafsir al-Kasysyâf karya imam Al-Zamakhsyarî.Imam Muchlas, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Malang:

UMM Press, 2003), h. 5. Nasruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, (Solo:

Tiga Serangkai, 2003), h. 15.

21Kontemporer adalah pada masa kini. Tim Penyususn Kamus, KBBI, h. 458.Menurut Ahmad Syirbasyi yang dimaksud dengan periode kontemporer adalah yaitu sejak abad ke-13 hijriah atau akhir abad ke-19 masehi sampai sekarang ini. Lihat Ahmad Syirbasi, Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’anul Karim, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 242.

Mahmûd bin ‘Umar bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Umar Khawarizmî al-Zamakhsyarî.22 Sebagai seorang yang ahli dalam gramatika arab dan ahli balâghah maka tafsirnya lebih berorientasi kepada pengungkapan balâghah atau dalam segi keindahan bahasa al-Qur’an.23 Maka tafsir tersebut menjadi salah satu rujukan dalam penelitian ini.

Tafsir periode kontemporer merujuk pada kitab Tafsir Sya’rawî, karya Muhammad Mutawallî Sya’rawî, karena dalam menafsirkan ayat dalam al-Qur’an, al-Sya’rawî menganalisisnya dengan bahasa yang tajam dan lafal yang dianggap penting dengan berpedoman pada kaidah-kaidah bahasa dari aspek nahwu, balâghah dan lain sebagainya.24 Menurut ‘Umar Hasyim, metodologi al-Sya’rawî dalam tafsirnya bertumpu kepada pembedaan kata dengan mengembalikan asal kata tersebut, dan mengembangkannya ke dalam bentuk lain, kemudian mencari korelasi makna antara asal kata dengan kata jadinya.25 Tafsir Sya’rawî26 tidak terbatas pada pengungkapan makna satu ayat, baik makna umum maupun makna rinci. Lebih dari itu, al-Sya’rawî berusaha mensosialisasikan teks al-Qur’an terhadap seluruh aspek

22 Abi Qâsim Jâr Allâh Mahmud bin ‘Umar Al-Zamakhsyarî Khawarizmî, al-Kasysyâf ‘an Haqâiqi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl (Libanon: Dâr al-Ma’rifah, 2009). h. 23.

23 Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras. 2004), h. 54-56.

24 Muhammad Mutawallî Sya’rawî, Tafsir Sya’rawî, Penerjemah Tim Safir al-Azhar (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2006), Jilid 1, h. ix-x.

25 Ahmad ‘Umar Hasyim, Al-Imâm al-Sya’rawî Mufassiran wa Dâ’iyah (Kairo:

Maktabah al-Turas al-Islami, t.t), h. 51.

26 Menurut Ali Hasan al-‘Arîd, pengkajian model tafsir ini mencakup segala aspek yang ditafsirkan, maka mufassir akan selalu menjelaskan kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki dan sasaran yang dituju.Badruzzaman M. Yunus, “Tafsir Al-Sya’râwî; Tinjauan Terhadap Sumber, Metode dan Ittijâh,” (Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h.122.

kehidupan.27 Penjelasan di atas menjadi alasan mengapa Tafsir Sya’rawî juga dijadikan salah satu rujukan dalam penelitian ini.

1. Tafsir Kata Ifk

Kemudian Musa menjatuhkan tongkatnya maka tiba-tiba ia menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu.

Menurut Al-Zamakhsyarî, ayat di atas bercerita tentang kisah Nabi Musa yang ditantang oleh para penyihir, untuk membuktikkan bahwa Nabi Musa adalah benar seorang nabi, mereka memperlihatkan sihir kepada Nabi Musa terlebih dahulu dengan cara melemparkan tali-temali dan tongkat-tongkat mereka yang kemudian berubah menjadi ular, dan kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi Musa untuk melemparkan tongkatnya dan seketika itu tongkat Nabi Musa berubah menjadi ular yang lebih besar yang melahap habis semua hasil sihiran para penyihir.28

Menurut Al-Zamakhsyarî lafadz ya’fikûna sama artinya dengan yaqlibûna (memutarbaikkan).29 Sya’rawî menambahkan, kata ya’fikûn berasal dari kata ifkun artinya adalah membalikkan sesuatu dihadapanya, diartikan juga dengan maha dusta. Ketika seorang berdusta sebenarnya dia telah membalikkan masalah dari hakikatnya. Dusta tersebut disebut

27 Adnan Amiruddin, “Konsep Ar-Rizq dalam Tafsir Al-Sya’rawî (Kajian atas al-Qur’an Surat Hūd (11):6, al-Mâidah (5):114, al-Maidâh (5):88, al-Baqarah (2):254, dan al-Anfâl (8):3),”

(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006), h. 21.

28Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Penerjemah Faturrahman, dkk.

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), Jilid 7,h. 626-627.

29Al-Zamakhsyarî , al-Kasysyâf, h. 760

dengan ifkuni.30 Jadi dusta adalah tidak terdapatnya kesesuaian antara ungkapan dan realita, walaupun hal itu tanpa disadari.

Q.s. Al-Nûr (24): 11-12

11. Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.

12. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata."

Surat al-Nûr ayat 11 dan 12 bercerita tentang kisah Aisyah yang dituduh berzina,31 dan yang paling getol menyebarkan berita bohong

30Muhammad Mutawallî Sya’rawî, Tafsir Sya’rawî, Penerjemah Tim Safir al-Azhar (Medan: Penerbit Duta Azhar, 2006), Jilid 5, h. 45.

31Berita bohong ini mengenai istri Rasulullah s.a.w. ‘Aisyah r.a. Ummul Mu'minîn, sehabis perang dengan Bani Mustaliq bulan Sya’ban 5 H. Perperangan ini diikuti oleh kaum munafik, dan turut pula ‘Aisyah dengan Nabi berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau. dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat.

‘Aisyah keluar dari sekedupnya (Pelana atau tempat duduk dari kayu yang dipasang dipunggung unta) untuk suatu keperluan, kemudian kembali. tiba-tiba Dia merasa kalungnya hilang, lalu Dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa ‘Aisyah masih ada dalam sekedup. setelah ‘Aisyah mengetahui, sekedupnya sudah berangkat Dia duduk di tempatnya dan mengaharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat ditempat itu seorang sahabat Nabi, Safwan Ibnu Mu'attal, diketemukannya seseorang sedang tidur sendirian dan dia terkejut seraya mengucapkan: "Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn, isteri Rasul!"

‘Aisyah terbangun. lalu dia dipersilahkan oleh Safwan mengendarai untanya. Safwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut Pendapat masing-masing. mulailah timbul desas-desus. kemudian

tersebut adalah: Hasan bin Tsabit, Mistah bin Utsatsah dan Hamnah binti Jahsî.32 Berita bohong dalam ayat ini disebut dengan ifk.33 Kebohongan bisa disengaja dan juga tidak disengaja. Sedangkan ifk di sini termasuk ke dalam bohong yang disengaja, karena si penyebar berita bohong telah memutar balikkan fakta yang ada sehingga bertentangan dengan kenyataan.34 Kelompok ifk dalam kisah ini merupakan suatu kelompok yang memiliki suatu tujuan untuk merancukan dan mengaburkan sesuatu.

Pimpinannya adalah Abdullah Ubay bin Salul, kepala kaum munafiq.35 Kata ifk dalam kitab al-Kasysyâf bermakna lebih ablagh (sangat) sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan.

kaum munafik membesar- besarkannya, Maka fitnah atas ‘Aisyah r.a. itupun bertambah luas,

kaum munafik membesar- besarkannya, Maka fitnah atas ‘Aisyah r.a. itupun bertambah luas,

Dokumen terkait