• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wewenang BPOM Dalam Upaya Menangani Peredaran Kosmetik

BAB IV PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MARTAPURA PERKARA

B. Wewenang BPOM Dalam Upaya Menangani Peredaran Kosmetik

Terkait apa yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti akan mengulas kembali bahwasannya, dalam perkara nomor 361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp didapati bahwa pelaku usaha dalam menjalankan usaha nya di bidang kosmetika selama 2 (dua) tahun, terdapat indikasi bahwa tidak bertanggung jawab dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan izin edar, yang memanfaatkan keinginan wanita untuk tampil cantik. Petugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Banjarmasin melakukan razia dengan menarik/menyita kosmetik tanpa izin edar (ilegal) sebanyak 227 (dua ratus dua puluh tujuh) macam dengan dibantu oleh anggota PPNS Kalimatan Selatan. Penarikan/penyitaan kosmetik tersebut bermula dari adanya aduan masyarakat yang melaporkan toko milik pelaku usaha, bahwasannya pelaku usaha telah menjual macam-macam kosmetik yang tidak layar edar, ke seksi pemeriksaan BBPOM Banjarmasin.

Dalam tuntutannya oleh Jaksa Penuntut Umum, pelaku usaha dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, sebagai berikut:

1. Dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi berupa kosmetik yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) sebagaimana diatur dan diancam pidana pada Pasal 197 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut sesuai dalam dakwaan.

6 Dewa Gede Ari Yudha Brahmanta & Anak Agung Sri Utari, Hubungan Hukum Antara

Pelaku Usaha Dengan Konsumen, (Bali: Karya Ilmiah, Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum

55

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dipotong tahanan sementara dengan perintah tetap ditahan dan denda sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) apabila pidana denda tidak dibayar oleh terdakwa maka dijatuhi pidana (subsidair) selama 3 (tiga) Bulan kurungan.

Namun dalam pertimbangannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Martapura tidak sependapat dengan tindakan yang telah dilakukan oleh BPOM Banjarmasin terhadap terdakwa. Karena menurut Majelis Hakim, dalam struktur BBPOM Banjarmasin terdapat seksi pemeriksaan yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan dan pembinaan tiap satu/dua kali dalam setahun, untuk memeriksa apakah ada peredaran kosmetik yang tidak memiliki izin edar dalam pasaran atau tidak. Apabila ditemukan, maka menurut Majelis Hakim tindakan yang dilakukan adalah bersifat persuasif artinya diberikan pembinaan terlebih dahulu kepada para penjual/pelaku usaha dengan cara melakukan pemusnahan barang bukti di tempat ditemukannya barang, dan membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya, namun apabila pembinaan telah dilakukan dan praktek penjualan terhadap kosmetika yang tidak memiliki izin edar tersebut tetap berjalan maka tindakan kedua barulah ditempuh melalui jalur hukum.

Dalam kasus ini, petugas BBPOM tidak pernah melakukan operasi intensif untuk memeriksa dan membina pelaku usaha nakal yang berada di Jalan Niaga, akibat kurangnya pemeriksaan dan tidak adanya pembinaan, terdakwa Nasrullah Bin Syaifullah selaku pelaku usaha selama 2 (dua) tahun lamanya, lancar jaya melangsungkan usaha ilegalnya tersebut. Oleh karena petugas BBPOM langsung menempuh perkara ke jalur hukum, menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Martapura, petugas BBPOM Banjarmasin tidak melaksanakan tupoksi sebagaimana mestinya, yakni tidak melakukan tindakan persuasif seperti pemeriksaan dan pembinaan terlebih dahulu terhadap pelaku usaha. Atas dasar tersebut Majelis Hakim memiliki perbedaan persepsi mengenai tindakan yang telah diambil oleh BBPOM Banjarmasin terhadap terdakwa, terkait kewenangan yang dimiliki oleh BPOM.

Antara pemeriksaan dan pembinaan, hendaknya terdapat sebuah pengawasan yang mana menurut Sujamto, pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan apakah telah sesuai dengan

semestinya atau tidak.7 Pengawasan merupakan proses pengamatan dari

pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah

ditentukan sebelumnya.8 Pengawasan di dalamnya terdapat aktivitas

pemeriksaan apakah semua berjalan sesuai rencana yang dibuat, instruksi yang dikeluarkan dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Selain itu, pengawasan juga dimaksudkan untuk menunjukkan kelemahan yang ada dalam pelaksanaan serta melakukan upaya perbaikan serta pencegahan agar

kelemahan atau kesalahan tersebut tidak terulang kembali.9

Situmorang dan Juhir menyatakan bahwa pengawasan dilakukan untuk

tujuan sebagai berikut:10

a. Untuk mengetahui jalannya pekerjaan, apakah berjalan dengan lancar/tidak;

b. Untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh pegawai dan melakukan

tindakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan

tersebut/mencegah timbulnya kesalahan yang baru;

c. Untuk mengetahui apakah penggunaan anggaran yang telah ditetapkan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan;

d. Untuk mengetahui pelaksanaan kerja sesuai dengan program yang direncanakan;

7 Jum Anggraini, Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 201

8

Makmur, Efektifitas Kebijakan Kelembagaan Pengawasan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 176

9 Nur Aedi, Pengawasan Pendidikan Tinjauan Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), h. 2

10 Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat: Dalam

57

e. Untuk mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan rencana/standar yang telah ditetapkan.

Menurut Sujamto, pengawasan terdiri dari beberapa jenis, yaitu:11

1) Pengawasan preventif, pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum pelaksanaan, yakni pengawasan yang dilakukan terhadap sesuatu yang bersifat rencana.

2) Pengawasan represif, adalah pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan atau kegiatan dilaksanakan. Dapat pula dikatakan bahwa pengawasan represif sebagai salah satu bentuk pengawasan atas jalannya pemerintahan.

Berdasarkan pendapat-pendapat mengenai tujuan dan jenis-jenis pengawasan yang telah diuraikan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwasannya orientasi utama dari pengawasan adalah untuk memastikan pelaksanaan kegiatan dan hasil yang dicapai adalah sesuai dengan rencana. Yakni untuk memastikan kegiatan terlaksana maka pengawasan dilakukan merujuk pada prosedur, standar, peraturan, rencana dan tugas masing-masing personel dan kriteria untuk kerja. Berikut merupakan wewenang BPOM dalam upaya menangani peredaran kosmetik ilegal menurut peraturan perundang-undangan, diantaranya yakni:

Menurut Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM mempunyai kewenangan:

a. Menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan persyaratan keamanan, khasiat/ manfaat dan mutu, serta pengujian obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan Obat dan

Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. Pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

11 Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, (Solo: TB Rahma, 1986), h.

Sedangkan apabila kita merujuk pada Pasal 178, 179, 182 dan 188 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terkait dengan pembinaan dan pengawasan yakni:

Pasal 178

Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap masyarakat dan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan. Pasal 179

(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 diarahkan untuk: a. Memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh akses atas

sumber daya di bidang kesehatan;

b. Menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan upaya kesehatan; c. Memfasilitasi dan menyelenggarakan fasilitas kesehatan dan fasilitas

pelayanan kesehatan;

d. Memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan perbekalan kesehatan, termasuk sediaan farmasi dan alat kesehatan serta makanan dan minuman;

e. Memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan standar dan

persyaratan;

f. Melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.

Pasal 182

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.

(2) Menteri dalam melakukan pengawasan dapat memberikan izin terhadap setiap penyelenggaraan upaya kesehatan.

(3) Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat mendelegasikan kepada lembaga pemerintah

non kementerian, kepala dinas di provinsi, dan kabupaten/kota yang

59

(4) Menteri dalam melaksanakan pengawasan mengikutsertakan masyarakat. Pasal 188

(1) Menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada lembaga pemerintah nonkementerian, kepala dinas provinsi, atau kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.

(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

berupa:

a. peringatan secara tertulis;

b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pasal ini diatur oleh Menteri.

Dari apa yang telah dipaparkan diatas perihal peraturan perundang-undangan mengenai wewenang BPOM dalam upaya menangani peredaran kosmetik ilegal, belum ada frasa yang menunjukkan adanya kepastian hukum apakah BPOM sebagai lembaga pemerintah non kementrian, boleh melakukan intelijen dan melangsungkan penyidikan terhadap pelaku usaha yang didapati menjual kosmetika ilegal sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, ataukah BPOM harus melakukan pemeriksaan dan pembinaan yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian sanksi administratif terlebih dahulu berupa peringatan secara tertulis dan pencabutan izin sementara atau izin tetap terhadap pelaku usaha yang didapati menjual kosmetika ilegal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

BPOM merupakan lembaga pemerintah nonkementrian yang

menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan yang bertujuan untuk meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap obat dan makanan, menurut Tiodor Sirait selaku Kepala Subbagian

Advokasi Hukum BPOM RI, meskipun kedudukan Undang-Undang lebih tinggi dibanding Peraturan Presiden, akan tetapi Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM merupakan pedoman yang harus diutamakan dalam persidangan oleh seluruh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri seluruh Indonesia. Karena keseluruhan tupoksi maupun wewenang BPOM sudah

diperbarui dan tertuang ke dalam Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017.12

Terkait kasus dalam putusan Pengadilan Negeri Martapura, memang Majelis Hakim dirasa telah memiliki pandangan, anggapan dan/atau persepsi yang berbeda. Pasalnya patokan hukum Majelis Hakim ternyata hanya berpacu kepada Undang Kesehatan, yang mana antara Undang-Undang Kesehatan dengan Peraturan Presiden BPOM pun sudah memiliki tahun terbit yang jauh berbeda. Badan POM RI telah melakukan sebuah pembaruan dengan membentuk susunan direktorat baru yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM, untuk dilakukan intelijen dan penyidikan terhadap sarana dan prasarana yang terindikasi telah mengedarkan produk-produk yang tidak memenuhi standar mutu dan tidak memiliki izin edar.

Tiodor Sirait juga mengatakan, bahwasannya seorang pelaku usaha yang mengedarkan kosmetik tanpa izin edar tidak dapat lagi dilakukan pembinaan, karena perbuatan tersebut tidak memenuhi standar mutu kosmetika dan sudah termasuk kedalam ranah pidana, yang mana apabila pengedaran tersebut terus menerus terjadi akan mengakibatkan kerugian bagi konsumen dalam jangka panjang seperti alergi, indikasi kanker pada kulit, dsb. Pembinaan terhadap pelaku usaha hanya dapat dilakukan terhadap pelaku usaha yang sudah memiliki izin edar dari BPOM, namun dalam praktikknya ternyata ditemukan sebuah produk yang menyalahi aturan atau belum sesuai dengan aturan, seperti penandaan produk yang kurang memenuhi persyaratan, label sebuah produk tidak betul, dll. Maka dari itu pelaku usaha wajib memenuhi panggilan untuk selanjutnya dilakukan pembinaan.

12 Wawancara pribadi dengan Ibu Tiodor Sirait, Ketua Subbagian Advokasi Hukum BPOM RI, pada tanggal 04 Oktober 2019, pukul 16.00

61

Menurut hemat peneliti, maka dapat disimpulkan bahwasannya meskipun Undang-Undang memiliki derajat hukum yang lebih tinggi dibanding Peraturan Presiden, namun seharusnya Majelis Hakim di seluruh Indonesia dapat mengedepankan asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis yang mana asas tersebut merupakan salah satu asas hukum, yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP yakni “jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”

Dokumen terkait