• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci : Pengedaran, Farmasi, Kosmetik Ilegal, Perlindungan Konsumen, Kepastian Hukum, BPOM RI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata Kunci : Pengedaran, Farmasi, Kosmetik Ilegal, Perlindungan Konsumen, Kepastian Hukum, BPOM RI"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

v

Martapura No. 361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp.). Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. 1x + 86 halaman + 45 lampiran.

Kepastian Hukum, BPOM RI

Pembimbing Skripsi : Mustolih Sidradj, S.H.I, M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1962 sampai Tahun 2018

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan bentuk pelanggaran yang dilakukan terdakwa dalam perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan mengetahui tindakan BPOM dalam putusan 361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp mengenai kesesuaian berlaku dalam peraturan perundang-undangan. Permasalahan yang melatar belakangi studi ini ialah karena adanya tindakan pelaku usaha yang menjual farmasi berupa kosmetik yang tidak layak edar hingga hampir 2 (dua) tahun. Namun dalam pertimbangannya, Majelis Hakim tidak sependapat dengan tindakan yang dilakukan oleh BPOM dalam praktiknya yang dirasa tidak sesuai dengan tupoksi sebagaimana mestinya, sehingga Hakim menganggap bahwa hal tersebut merugikan terdakwa.

Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan penelitian normatif-empiris. Penelitian yang dilakukan selain menggunakan pendekatan secara law in books yang mana mengacu kepada buku-buku, jurnal-jurnal hukum, norma-norma hukum yang terdapat dalam

peraturan perundang- undangan dan putusan-putusan pengadilan (library

research). Peneliti juga melakukan pendekatan penelitian secara empiris yang

mana penelitian dilakukan secara langsung kelapangan (field research) dengan cara wawancara ke Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, apabila dilihat dari perspektif UUPK, terdakwa melanggar Pasal 4, 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tindakan BPOM terhadap terdakwa dalam putusan Pengadilan Negeri Martapura No.361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp adalah sesuai dengan tupoksi yang termaktub dalam Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM RI. Terdakwa diputus oleh Majelis Hakim sesuai dengan unsur-unsur dakwaan yang dituntut oleh Penuntut Umum, meskipun terdapat perbedaan persepsi oleh Majelis Hakim mengenai tindakan yang telah diambil oleh petugas BPOM Banjar terhadap terdakwa terkait kewenangan yang dimiliki oleh BPOM, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan.

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Waasyukurillah, segala puji dan syukur peneliti panjatkan

kehadirat Allah SWT, yang senantiasa telah memberikan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya kepada kita semua. Peneliti menghaturkan shalawat serta salam yang senantiasa kita curahkan kepada Baginda Rasul Nabi besar kita Muhammad SAW, kepada segenap keluarga, sahabat serta umatnya sepanjang zaman, yang Insya Allah kita ada di dalamnya, aamiin Yaa Rabbal’alamin..

Dengan rahmat dan hidayah peneliti panjatkan ke Hadirat Allah SWT, atas segala karunia sehingga dengan limpahan dan kasih sayang-Nya, peneliti mampu menyelesaikan penelitian skripsi ini yang berjudul “Pengedaran Farmasi Ilegal Golongan Kosmetika Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen (Studi Putusan Pengadilan Negeri Martapura No. 361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp.)”.

Merupakan sebuah proses perjalanan yang panjang dan tidak mudah bagi peneliti untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini, begitu banyak hambatan, tekanan jiwa dan raga serta rintangan yang telah dilalui oleh peneliti, hingga pada akhirnya atas doa, kesungguhan, kerja keras serta Ridho Allah SWT, peneliti telah sampai pada titik akhir proses penyelesaian skripsi ini.

Tidak lupa peneliti ucapkan terimakasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung proses penyusunan skripsi ini, terima kasih atas segala arahan dan bimbingannya, kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang turut berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini.

3. Terkhusus, Mustolih Sidradj, S.H.I., M.H. Dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta kesabaran dan

(7)

vii

Universitas Indonesia yang telah membantu menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti, guna mengadakan studi kepustakaan dalam penyelesaian skripsi.

5. Tiodor Sirait, S.H., M.H. Kepala Subbagian Advokasi Hukum BPOM RI, yang telah bersedia menjadi narasumber untuk diwawancarai oleh peneliti sehingga dapat memberikan informasi yang berguna untuk peneletian skripsi. 6. Kedua orangtuaku yang tercinta, bapak alm. H. Imam Mulyono dan mama Hj.

Ika Suparmi. Terimakasih sebesar-besarnya atas kesabaran dan keikhlasan merawat serta mendidik peneliti dari lahir hingga saat ini tanpa lelah, yang telah memberikan dukungan moral dan materil serta doa yang tiada henti menyertai perjalanan hidup peneliti. Semoga peneliti bisa membalas jasa dan membahagiakan satu-satunya orangtua yang masih dimiliki oleh peneliti, yaitu mama. Semoga pula peneliti dapat membalas kerja keras alm. ayahanda peneliti disemasa hidupnya yang telah berjuang demi terjaminnya hidup serta pendidikan anaknya agar sukses dikemudian hari, aamiin Ya rabbal alamiin. 7. Kakakku tercinta Irmawati Mulyono, S.H. dan Irfan Pratama, S.E., juga kedua

keponakanku tersayang Mochammad Airlangga Pratama dan Tanaya Ayra Pratama. Terimakasih telah memberikan dukungan dan semangat kepada peneliti.

8. Aditiya Bestari, terimakasih untuk selalu ada dalam hidup peneliti dalam suka maupun duka, yang setia mendengarkan keluh kesah, juga menemani, membantu, memotivasi dan menyemangati peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan sangat ikhlas dan sabar. Semoga perjuangan kita menempuh pendidikan hingga sarjana tidak sia-sia, sukses di fase selanjutnya, dilancarkan dan dimudahkan segala urusan untuk kita, aamiin

(8)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Sistematika Penelitian ... 11

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KEPASTIAN HUKUM .. 13

A. Kerangka Konseptual ... 13

1. Perlindungan Konsumen ... 13

2. Sediaan Farmasi ... 14

3. Pelaku Usaha ... 15

B. Kerangka Teoritis ... 16

1. Teori Perlindungan Hukum ... 16

2. Teori Kepastian Hukum ... 19

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 21

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI KOSMETIKA, PROFIL BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN & KASUS POSISI DALAM PUTUSAN ... 23

A. Kosmetika. ... 23

1. Faktor Penyebab Terjadinya Peredaran Kosmetika Ilegal ... 23

2. Efek Samping Kosmetik Ilegal ... 26

B. Profil BPOM ... 29

(9)

ix

C. Kasus Posisi ... 23

BAB IV PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MARTAPURA PERKARA NO. 361/PID.SUS/2017/PN.MTP DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KONSUMEN & KEPASTIAN HUKUM BPOM DI BIDANG PENGAWASAN ... 42

A. Tindakan Terdakwa Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen ... 42

B. Wewenang BPOM Dalam Upaya Menangani Peredaran Kosmetik Ilegal ... 54

C. Dasar Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Martapura ... 61 BAB V PENUTUP ... 70 A. Kesimpulan ... 70 B. Rekomendasi ... 71 DAFTAR PUSTAKA ... 73 LAMPIRAN

(10)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kecantikan merupakan sesuatu yang penting, utama dan melekat bagi kaum wanita. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cantik merupakan kata sifat yang berarti elok, molek, indah, dan mengacu pada bentuk fisik seperti tubuh ataupun wajah seseorang. Seiring dengan berkembangnya zaman serta gaya hidup manusia yang semakin modern, kebutuhan yang harus dipenuhi dirasa tidak cukup apabila hanya sebatas kebutuhan pokok saja, melainkan kebutuhan tersebut mampu menjadi sebagai penunjang kehidupan sosial seseorang dalam masyarakat, yang mana ialah kebutuhan akan penampilan yang menarik.

Banyak cara yang dapat ditempuh untuk memperbaiki penampilan agar terlihat lebih menarik, salah satunya yang dapat dijumpai dikehidupan sehari-hari yaitu penggunaan tata rias wajah atau dikenal dengan istilah kosmetik. Kosmetik menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 1176/MenKes/Per/VIII/2010 tentang Notifikasi

Kosmetika, kosmetika ialah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.

Tidak heran apabila kebanyakan wanita banyak yang rela menghabiskan tabungannya untuk pergi ke salon, klinik-klinik kecantikan maupun membeli kosmetik untuk merias wajah agar terlihat cantik. Tuntutan untuk tampil fresh dan terlihat menarik bahkan dengan tanpa

makeup sekalipun, sangat diidam-idamkan bagi setiap kaum wanita.

Namun kebanyakan wanita sebagai konsumen biasanya cenderung kurang peduli dan tidak meneliti dengan baik terhadap suatu produk, khususnya kosmetik yang akan dikenakan ke kulitnya sebelum ia membeli. Produk

(11)

kosmetik yang diedarkan dengan harga murah serta hasil yang cepat terlihat, masih menjadi sebuah pencapaian yang dianggap “keren” bagi kebanyakan wanita yang kurang sadar dengan kualitas si kosmetik murah tersebut. Yang mana kebanyakan kosmetik-kosmetik murah tersebut merupakan kosmetik yang tergolong tidak jelas standar mutu dan keamanannya. Hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor mengapa masih banyak kosmetik-kosmetik tidak layak, beredar di pasaran.

Sebenarnya di Indonesia sudah ada pihak yang berwenang dalam mengatur dan mengatasi hal tersebut, yakni dengan dibentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai lembaga pemerintah nonkementrian, yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan. Memiliki tujuan guna meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap obat dan makanan sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM. Yang mana obat dan makanan tersebut terdiri atas obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.

Namun kosmetik yang beredar di pasaran dengan berbagai jenis dan merek, semakin marak terjadi pada era perdagangan bebas saat ini. Menurut C.S.T Kansil dan Christine, perdagangan/perniagaan pada umumnya ialah, pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu di tempat lain atau pada waktu yang

berikut dengan maksud memperoleh keuntungan.1 Keinginan seorang

wanita untuk selalu tampil cantik banyak dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan izin edar untuk selanjutnya diedarkan kepada masyarakat selaku konsumen.

Seperti salah satu contoh kasus dalam putusan Pengadilan Negeri Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Dalam perkara nomor

1C.S.T Kansil dan Christine, Pokok Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia,

(12)

3

361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp didapati bahwa pelaku usaha dalam

menjalankan usaha nya di bidang kosmetika selama 2 (dua) tahun, terdapat indikasi bahwa tidak bertanggung jawab dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan izin edar, yang memanfaatkan keinginan wanita untuk tampil cantik. Petugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Banjarmasin melakukan razia dengan menarik/menyita kosmetik tanpa izin edar (ilegal) sebanyak 227 (dua ratus dua puluh tujuh) macam dengan dibantu oleh anggota PPNS Kalimatan Selatan. Penarikan/penyitaan kosmetik tersebut bermula dari adanya aduan masyarakat yang melaporkan toko milik pelaku usaha, bahwasannya pelaku usaha telah menjual macam-macam kosmetik yang tidak layar edar, ke seksi pemeriksaan BBPOM Banjarmasin.

Dalam tuntutannya oleh Jaksa Penuntut Umum, pelaku usaha dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, sebagai berikut:

1. Dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi berupa kosmetik yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) sebagaimana diatur dan diancam pidana pada Pasal 197 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut sesuai dalam dakwaan.

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dipotong tahanan sementara dengan perintah tetap ditahan dan denda sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) apabila pidana denda tidak dibayar oleh terdakwa maka dijatuhi pidana (subsidair) selama 3 (tiga) Bulan kurungan.

Namun dalam pertimbangannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Martapura tidak sependapat dengan tindakan yang telah dilakukan oleh BPOM Banjarmasin terhadap terdakwa. Karena menurut Majelis Hakim, dalam struktur BBPOM Banjarmasin terdapat seksi pemeriksaan yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan dan pembinaan tiap satu/dua kali dalam setahun, untuk memeriksa apakah ada peredaran kosmetik yang tidak memiliki izin edar dalam pasaran atau tidak. Apabila ditemukan,

(13)

maka menurut Majelis Hakim tindakan yang dilakukan adalah bersifat persuasif artinya diberikan pembinaan terlebih dahulu kepada para penjual/pelaku usaha dengan cara melakukan pemusnahan barang bukti di tempat ditemukannya barang, dan membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya, namun apabila pembinaan telah dilakukan dan praktek penjualan terhadap kosmetika yang tidak memiliki izin edar tersebut tetap berjalan maka tindakan kedua barulah ditempuh melalui jalur hukum.

Dalam kasus ini, petugas BBPOM tidak pernah melakukan operasi intensif untuk memeriksa dan membina pelaku usaha nakal yang berada di Jalan Niaga, akibat kurangnya pemeriksaan dan tidak adanya pembinaan, terdakwa Nasrullah Bin Syaifullah selaku pelaku usaha selama 2 (dua) tahun lamanya, melangsungkan usaha ilegalnya tersebut. Oleh karena petugas BBPOM langsung menempuh perkara ke jalur hukum, menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Martapura, petugas BBPOM Banjarmasin tidak melaksanakan tupoksi sebagaimana mestinya, yakni tidak melakukan tindakan persuasif seperti pemeriksaan dan pembinaan terlebih dahulu terhadap pelaku usaha. Atas dasar tersebut Majelis Hakim memiliki perbedaan persepsi mengenai tindakan yang telah diambil oleh BBPOM Banjarmasin terhadap terdakwa, terkait kewenangan yang dimiliki oleh BPOM.

Beranjak dari kasus tersebut seorang pakar hukum Ahmadi Miru menegaskan bahwa, dalam memenuhi kebutuhan pasar yang menjadi ladang bisnis bagi pelaku usaha, kegiatan seperti ini seringkali dijadikan lahan bisnis bagi pelaku usaha yang mempunyai iktikad buruk akibat posisi konsumen yang lemah karena tidak adanya perlindungan yang

seimbang untuk melindungi hak-hak dari konsumen.2 Yang mana hingga

saat ini perlindungan terhadap konsumen semakin terasa sangat penting mengingat semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang

2 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h.1

(14)

5

merupakan laju penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Atas dasar tersebut dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut akhirnya baik langsung/tidak langsung, maka konsumenlah yang

pada umumnya akan merasakan dampaknya.3

Berdasarkan uraian di atas, ada yang menarik pada kasus tersebut terkait itikad baik pelaku usaha dalam memenuhi hak-hak konsumen menurut Hukum Perlindungan Konsumen dan kepastian hukum terkait kewenangan BPOM dalam upaya menangani peredaran kosmetik ilegal menurut Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian hukum dalam bentuk skripsi dengan judul “Pengedaran Farmasi Ilegal

Golongan Kosmetika Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen (Studi Putusan Pengadilan Negeri Martapura No. 361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp)”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah disampaikan diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penelitian diantaranya:

a. Pelaku usaha/terdakwa memperjualbelikan dan/atau

memperdagangkan produk-produk kosmetik dengan maksud memperoleh keuntungan.

b. Pelaku usaha/terdakwa tidak memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa

serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan

pemeliharaan.

(15)

c. Produk yang dijual oleh pelaku usaha/terdakwa tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. Pelaku usaha/terdakwa memperdagangkan farmasi tanpa

memberikan informasi secara lengkap dan benar.

e. Tindakan BPOM terhadap terdakwa tidak sesuai dengan persepsi Majelis Hakim.

f. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan POM, memiliki kepastian hukum perihal kewenangan/tupoksi BPOM yang berbeda.

g. Putusan Pengadilan Negeri Martapura Nomor

361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp dengan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan POM memiliki tahun yang sama, namun Peraturan Presiden tentang BPOM lebih dahulu terbit dari putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Martapura.

2. Pembatasan Masalah

Untuk lebih memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian ini, maka diperlukan adanya pembatasan masalah agar dalam praktek penelitian dan penyusunan secara ilmiah tidak terlalu luas dan dapat dipahami dengan mudah. Menurut seorang pakar hukum yakni Ahmadi Miru dan Sutarman Yado, UUPK memiliki pembahasan yang tidak bisa dilepaskan dengan bidang hukum privat (hukum perdata/hukum ekonomi), maupun bidang hukum publik (hukum pidana&hukum administrasi negara). Oleh karena itu, penelitian ini dibatasi hanya dengan membahas, mengkaji dan menganalisa putusan Pengadilan Negeri Martapura perkara no. 361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp ke dalam perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mendasari dan memiliki keterkaitan dengan putusan pengadilan tersebut.

(16)

7

3. Perumusan Masalah

Dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, merupakan salah satu sarana agar dunia perdagangan termasuk kosmetik dapat diisi oleh tenaga profesional yang senantiasa bertanggung jawab akan produknya. Dengan begitu, perlindungan kesehatan masyarakat akan lebih terjamin. Atas dasar tersebut peneliti mempertegas permasalahan penelitian dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana tindakan terdakwa sebagai pelaku usaha dalam perspektif Hukum Perlindungan Konsumen?

b. Apakah tindakan BPOM terhadap terdakwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?

c. Bagaimana pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Martapura dalam putusan nomor 361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp terhadap tindakan terdakwa sebagai pelaku usaha?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok pada penelitian di atas, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bentuk pelanggaran yang dilakukan terdakwa sebagai pelaku usaha dalam perspektif UUPK.

b. Untuk mengetahui kepastian hukum terhadap tindakan BPOM dalam putusan mengenai kesesuaian berlaku atau kewenangannya dalam peraturan perundang-undangan dan BPOM RI.

c. Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Martapura dalam putusan perkara nomor

361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp. 2. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan yang tercantum dalam penelitian, maka manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:

(17)

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu sebagai pengetahuan bagi perkembangan ilmu hukum dalam bidang Hukum Bisnis khususnya pada Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Pidana Ekonomi dalam mempelajari hak-hak konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha atas diedarkannya kosmetik tidak layak edar dan memiliki ketentuan pidana didalamnya.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi peneliti lain sebagai sarana pelatihan, peningkatan wawasan, bahan referensi bagi kepentingan akademis dan sebagai tambahan bahan kepustakaan.

D. Metode Penelitian

Peter Mahmud Marzuki berpendapat, penelitian hukum adalah proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai

dengan karakter preskriptif ilmu hukum.8 Dalam penulisan skripsi ini

dibutuhkan data yang akurat, yang berasal dari studi dokumentasi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada dalam skripsi ini. Oleh karena itu metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian normatif-empiris. Penelitian normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder

belaka.4 Dikatakan normatif karena masalah yang akan diteliti

berhubungan dengan law in books yang mana ialah mengacu kepada buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, norma-norma hukum yang

4 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

(18)

9

terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan. Penelitian empiris adalah penelitian yang dilakukan secara langsung berdasarkan kenyataan dan fakta-fakta di lapangan. Penelitian tersebut dilakukan secara langsung dengan cara wawancara ke Kepala Subbagian Advokasi Hukum BPOM RI.

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti memiliki pendekatan perundang-undangan (statutory approach) dan pendekatan kasus (case approach). Yang mana pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah undang-undang dan regulasi

yang berhubungan dengan isu hukum yang akan diteliti.5 Pendekatan

undang-undang dalam penelitian adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang yang berkaitan dengan putusan pengadilan. Sedangkan pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah terhadap kasus yang berhubungan dengan isu hukum dan putusan pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap yang akan diteliti.

3. Sumber Data dan Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, yang artinya ialah mempunyai otoritas. Yang mana bahan-bahan hukum primer tersebut terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan.6 Bahan hukum primer yang peneliti gunakan

dalam karya tulis ini adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan.

b. Bahan Hukum Sekunder

5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, Cet.III, 2007), h. 93 6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ... h. 141

(19)

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan dapat pula dikatakan sebagai bahan hukum yang memiliki semua publikasi tentang hukum, yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi seperti buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam sebuah penelitian ini diantaranya adalah berupa skripsi, jurnal, karya ilmiah, buku, media cetak dan media elektronik. c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan non hukum, yaitu berupa literatur yang berasal dari non hukum yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian berupa Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI), kamus hukum dan internet.7

4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan (library research), yang mana sumber pustaka didalamnya berupa bahan-bahan hukum maupun non hukum yang berkaitan dengan topik penelitian yakni putusan pengadilan. Putusan pengadilan yang digunakan dalam memenuhi pengumpulan data penelitian dalam skripsi ini adalah putusan Pengadilan Negeri Martapura perkara nomor 361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp.

Selain studi kepustakaan, pengumpulan penelitian juga dilakukan dengan studi lapangan (field research) yang mana penelitian dilakukan secara langsung ke lapangan dengan cara wawancara ke Keta Subbagian Advokasi Hukum Badan POM RI.

5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data merupakan sebuah proses yang berlanjut dari proses pengolahan data, tentu hal ini bertujuan untuk memudahkan atau menyederhanakan sebuah data sehingga mudah

(20)

11

untuk dipahami.8 Pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini

bersifat deskripitif, yang bertujuan untuk memperoleh data seutuhnya sehingga menjadi data yang merupakan rinci dari suatu fenomena yang diteliti oleh peneliti, sedangkan analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Yakni analisis kualitatif merupakan analisis yang tidak menggunakan variabel perhitungan yang meliputi angka-angka, melainkan analisis dilakukan dengan cara membaca dan memahami fenomena atau gejala sosial yang bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang fenomena tersebut, untuk selanjutnya dihasilkan sebuah teori agar bermanfaat untuk pembahasan penelitian.

6. Metode Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam skripsi ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang ada dalam buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

E. Sistematika Penelitian

Untuk menuangkan hasil penelitian kedalam bentuk penulisan yang benar, sistematis dan teratur, maka skripsi ini dirancang dengan sistematikan penulisan yang terdiri dari lima bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini menjelaskan Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KEPASTIAN

HUKUM

Dalam bab ini menjelaskan mengenai kerangka konseptual yang mengacu pada kajian kepustakaan yang relevan

8 Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 59

(21)

dengan permasalahan penelitian yang berkaitan dengan konsumen dan pelaku usaha yang di dalamnya terdapat beberapa sub bab mengenai penjelasan lebih lanjut.

Terdapat pula kerangka teoritis mengenai teori

perlindungan hukum dan teori kepastian hukum. Serta tinjauan (review) kajian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian.

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI KOSMETIKA,

PROFIL BADAN PENGAWAS OBAT DAN

MAKANAN & KASUS POSISI DALAM PUTUSAN

Dalam bab ini merupakan tinjauan umum yang akan memaparkan pemahaman mengenai kosmetika, profil BPOM dan posisi/kronologi kasus.

BAB IV PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MARTAPURA

NOMOR 361/PID.SUS/2017/PN.MTP DALAM

PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KONSUMEN &

KEPASTIAN HUKUM BPOM DI BIDANG

PENGAWASAN

Dalam bab ini merupakan inti dari penulisan skripsi, yang mana peneliti akan memaparkan hasil penelitian mengenai tindakan terdakwa sebagai pelaku usaha dalam perspektif hukum perlindungan konsumen, dan tindakan BPOM dalam putusan mengenai kesesuaian berlaku atau kewenangannya dalam peraturan perundang-undangan dan menurut perspektif BPOM RI, serta dasar pertimbangan Majelis Hakim PN Martapura dengan perkara nomor 361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab terkahir yang di dalamnya berisi kesimpulan dan rekomendasi peneliti yang merupakan jawaban dari penelitian.

(22)

13

BAB II

PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KEPASTIAN HUKUM A. Kerangka Konseptual

1. Hukum Perlindungan Konsumen

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Melalui UUPK, Pemerintah Indonesia mengatur hak-hak konsumen yang harus dilindungi. Yang mana UUPK hadir bukan bermaksud untuk anti terhadap produsen, namun sebaliknya yakni UUPK merupakan bentuk apresiasi terhadap

hak-hak konsumen secara universal.1

Menurut Az. Nasution, hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi

kepentingan konsumen,2 sedangkan menurut Yayasan Lembaga

Konsumen Indonesia (YLKI), hukum perlindungan konsumen didefinisikan sebagai keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan serta penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan

bermasyarkat.3

Keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan konsumen adalah menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup. Segala upaya yang dimaksudkan dalam perlindungan konsumen tersebut tidak saja terhadap tindakan yang bersifat preventif, akan tetapi juga tindakan yang bersifat represif dalam semua bidang

1 Yusuf Sofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2002), h. 12 2

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 11

3 Intan Nur Rahmawati dan Rukiyah Lubis, Win-Win Solution Sengketa Konsumen, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2014), h. 28

(23)

perlindungan yang diberikan kepada konsumen. Atas hal tersebut

pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan:4

a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses informasi, serta menjamin kepastian hukum;

b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan

kepentingan seluruh pelaku usaha;

c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;

d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan menyesatkan;

e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.

Maka dapat disimpulkan bahwasannya hukum perlindungan konsumen ialah keseluruhan peraturan perundang-undangan, baik undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya serta putusan-putusan hakim yang substansinya mengatur mengenai

kepentingan konsumen.5

2. Sediaan Farmasi

Dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sediaan farmasi adalah adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai salah satu upaya dalam pembangunan kesehatan dilakukan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak tepat

4 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen,(Bandung: Mandar Maju, 2000), h. 7

5 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung

(24)

15

serta yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.

Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan untuk melindungi masyarakat dari informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak obyektif, tidak lengkap serta menyesatkan. Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan dapat berbentuk gambar, warna, tulisan atau kombinasi antara atau ketiganya atau bentuk lainnya yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya. Badan usaha yang mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan harus mencantumkan penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Keterangan yang meliputi penandaan dan informasi sekurang-kurangnya berisi sebagai berikut:

a. Nama produk dan/atau merek dagang;

b. Nama badan usaha yang memproduksi atau memasukkan sediaan farmasi dan alat kesehatan ke dalam wilayah Indonesia;

c. Komponen pokok sediaan farmasi dan alat kesehatan; d. Tata cara penggunaan;

e. Tanda peringatan atau efek samping;

f. Batas waktu kadaluwarsa untuk sediaan farmasi tertentu.

3. Pelaku Usaha

Dalam Pasal 1 angka 3 UUPK, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia

baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. UUPK menjelaskan bahwa yang termasuk ke dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. UUPK memberikan pengertian terhadap

(25)

pelaku usaha yang begitu gamblang dan luas, yakni hal tersebut bertujuan untuk memudahkan konsumen dalam menuntut kerugian, konsumen yang merasa haknya dirugikan karena akibat dari mengkonsumsi suatu produk, dapat dengan mudah mencari pihak mana yang harus dituntut.

B. Kerangka Teoritis

1. Teori Perlindungan Hukum

Hidup bermasyarakat merupakan modus bertahan hidup (survival) bagi makhluk manusia, artinya hanya dengan hidup bermasyarakatlah manusia dapat melangsungkan hidupnya. Hal ini berarti manusia tidak

mungkin hidup secara atomistis dan soliter.6 Yang mana tidak dapat

disangkal bahwasannya secara kodrati manusia memang makhluk bermasyarakat. Kemampuan manusia untuk berbicara telah menjadi alat perekat bagi kehidupan bermasyarakat. Dengan kemampuan berbicara bisa membangun komunikasi antar sesama manusia dalam lingkungannya. Melalui komunikasi semacam ini, manusia dapat mengekspresikan perasaannya kepada sesamanya dan dapat pula

mempererat pola hidup bersama.7

Dalam sebuah kehidupan, masyarakat memiliki pranata8 guna

memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam

bermasyarakat yang berbentuk norma. Yakni norma merupakan pranata yang berkaitan dengan hubungan antara individu dalam hidup bermasyarakat. Norma berisi perintah dan larangan, yang mana

6 Atomistis adalah berkaitan dengan analisis sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya sehingga melupakan bahwa bagian-bagian itu ada hubungannya. Sedangkan, soliter adalah secara menyendiri atau sepasang-sepasang, tidak secara kelompok (tentang pola hidup organisme di alam). https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/atomistis dan https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/soliter

(diakses pada tanggal 25 Mei 2019, pada pukul 15.20 WIB.)

7 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group Divisi

Kencana, 2008), h. 41- 42 8

Pranata adalah sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi seperti adat istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai

kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pranata

(26)

17

perintah dan larangan masih bersifat luas itu perlu dituangkan ke dalam aturan-aturan hukum yang bersifat konkret. Aturan-aturan tersebut membatasi individu dalam berperilaku dan tingkah pekerti dalam hidup bermasyarakat, maka aturan-aturan itulah yang sering disebut dengan hukum.

Tentunya hukum memiliki tujuan yang mengarah kepada sesuatu yang hendak dicapai. Yakni, hukum harus dapat menciptakan situasi kedamaian sejahtera, yang dapat melindungi kepentingan manusia baik secara materiel maupun imateriel dari perbuatan-perbuatan oleh seseorang yang merugikan. Apabila hukum tidak menjadi penengah antara kepentingan materiel dan imateriel manusia secara individual dan berbagai kelompok, maka akan saling bertentangan dan mengarah kepada konflik yang terus menerus terjadi. Roscoe Pound,

membedakan beberapa kepentingan yang diantaranya adalah:9

a. Kepentingan pribadi

Berupa keinginan seseorang mengenai hal-hal yang bersifat pribadi, misalnya adalah perkawinan.

b. Kepentingan publik

Bersangkut paut dengan kehidupan kenegaraan, misalnya hak pilih dalam pemilihan umum.

c. Kepentingan sosial

Menyangkut kehidupan sosial, misalnya pemeliharaan moral. Untuk itulah hukum harus berfungsi dalam mencapai sebuah tujuan yang damai sejahtera, yang mana untuk menciptakan keadaan damai

sejahtera tersebut, hukum mempertimbangkan

kepentingan-kepentingan secara cermat dan menciptakan keseimbangan di antara kepentingan tersebut. Tujuan untuk mencapai damai sejahtera dapat terwujud apabila hukum sebanyak mungkin memberikan pengaturan

9

Edgar Bodenheimer, Jurisprudence. The Philosophy and Method of the Law, (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1962), h. 111. Dalam buku Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group Divisi Kencana, 2008), h. 129-130

(27)

yang adil, yaitu suatu pengaturan yang di dalamnya terdapat kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh perlindungan hukum secara seimbang, sehingga pada setiap orang akan memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya.

Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman, yang dapat diwujudkan dalam bentuk seperti melalui restitusi, kompensasi,

pelayanan medis, dan bantuan hukum.10 Merupakan suatu kenyataan

bahwa dalam hidup bermasyarakat diperlukan aturan-aturan yang bersifat umum. Apapun setiap kepentingan tersebut yang ada dalam masyarakat dipertimbangkan untuk dituangkan di dalam aturan yang bersifat umum agar kepentingan-kepentingan tersebut dilindungi dan bersifat demokratis dalam kehidupan berbangsa. Kepentingan-kepentingan tersebut dituangkan ke dalam aturan hukum tertulis berupa undang-undang maupun tidak tertulis. Yang mana aturan-aturan tersebut menjadi pedoman bagi setiap tingkah laku individu dalam hidup bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun hubungan dengan masyarakat.

Perlindungan hukum terdapat 2 (dua) macam, yakni perlindungan hukum bersifat preventif dan perlindungan hukum bersifat represif. Yakni yang dimaksud dengan perlindungan hukum bersifat preventif adalah, merupakan suatu upaya perlindungan untuk masyarakat dan/atau warga negara yang diberikan oleh pemerintah dalam upaya membentuk pencegahan sebelum terjadinya sebuah pelanggaran. Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan hukum bersifat represif adalah, merupakan perlindungan hukum yang diberikan ketika sebuah pelanggaran maupun sengketa tersebut telah terjadi dan/atau

dijalani.11

10

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1984), h. 133

11 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta:

(28)

19

Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah sifat dan tujuan hukum dalam upaya melindungi kepentingan seseorang, yang

harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum.12 Perlindungan

hukum bertujuan untuk melindungi subjek hukum melalui aturan perundangan yang berlaku dan dalam pelaksanaan peraturan tersebut dipaksakan dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum memiliki 2 (dua) konsep yakni, perlindungan hukum adalah perlindungan mengenai harkat & martabat serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan/sebagai kumpulan peraturan yang dapat melindungi sutau hal dari hal yang lain.

2. Teori Kepastian Hukum

Aturan hukum baik berupa undang-undang maupun hukum tidak tertulis, berisi aturan-aturan yang bersifat umum yang menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam hidup bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan tersebut menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani/melakukan tindakan terhadap individu. Dengan demikian atas keberadaan dari aturan serta pelaksanaan dari aturan tersebut menimbulkan adanya sebuah

kepastian hukum.13

Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum telah dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh hak-haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Hukum berutugas untuk menciptakan kepastian hukum, karena bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tetulis. Hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan makna

12 Satjipto Raharjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1983), h. 121

(29)

karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua

orang.14

Sudikno Mertokusumo mengemukakan, tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapai ketertiban di dalam masyarakat, diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar-perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara

kepastian hukum.15

Menurut Peter Mahmud Marzuki, dalam buku yang berjudul pengantar ilmu hukum memaparkan bahwa kepastian hukum

mengandung dua pengertian, yakni:16

a. Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan;

b. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu

individu dapat mengetahui apa saja yang boleh

dibebankan/dilakukan oleh negara terhadap individu.

Dengan ini dapat disimpulkan bahwasannya kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal dalam Undang-Undang saja, melainkan juga adanya konsistensi (ketetapan dan kemantapan) dalam putusan Majelis Hakim antara putusan Majelis Hakim yang satu dan putusan Majelis Hakim lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.

14

Tata Wijayanta, Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Kaitannya

dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.14 No.2 (Mei 2014),

h. 219-220 15

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) Edisi ke-3, (Yogyakarta: Liberty, 1991), h. 71

(30)

21

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Untuk menjaga keaslian judul yang diajukan oleh penulis, perlu diadakan penelitian berupa kajian terdahulu sebagai dasar perbandingan diantaranya:

1. Terdapat perbandingan mengenai persamaan dan perbedaan terhadap penelitian, yakni peneliti Iqlimatul Annisa dan Inayatul Mukaromah sama-sama membahas mengenai kosmetik ilegal yang dikaji lebih lanjut dalam perspektif UUPK, namun yang menjadi pembeda adalah terdapat pada analisis. Yakni peneliti Iqlimatul Annisa menganalisis mengenai syarat&ketentuan produk kosmetik bisa beredar di Indonesia sesuai dengan UUPK, dan penanganan apa yang akan didapat oleh konsumen jika merasa dirugikan. Sedangkan Inayatul Mukaromah memiliki fokus pada studi putusan Pengadilan Negeri Martapura perkara nomor 361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp yang kemudian menganalisis putusan tersebut mengenai dasar pertimbangan Majelis Hakim, pelanggaran yang dilakukan terdakwa dalam perspektif hukum perlindungan konsumen dan kepastian hukum terhadap tindakan BPOM dalam perkara mengenai kewenangannya dalam upaya menangani peredaran kosmetik ilegal menurut BPOM RI dan

peraturan perundang-undangan.17

2. Terdapat perbandingan mengenai persamaan dan perbedaan terhadap penelitian, yakni peneliti Cahaya Setia dan Inayatul Mukaromah sama-sama membahas mengenai kosmetik berbahaya yang dikaji ke dalam hukum perlindungan konsumen, namun yang menjadi pembeda adalah terdapat pada analisis. Yakni peneliti Cahaya Setia menganalisis mengenai peredaran kosmetik bahan berbahaya yaitu Dherma Estetika Indonesia, di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sedangkan peneliti Inayatul Mukaromah tidak melakukan studi kosmetik Dherma Estetika

17

Skripsi ditulis oleh Iqlimatul Annisa, Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap

Peredaran Produk Kosmetik Ilegal yang Mengandung Zat Aditif (Tinjauan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

(31)

Indonesia yang mengandung bahan berbahaya di Kabupaten Banyumas. Akan tetapi peneliti Inayatul Mukaromah memiliki fokus

studi pada putusan PN Martapura perkara nomor

361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp.18

3. Buku ini memaparkan seputar hukum perlindungan konsumen, yang di dalamnya memiliki isi mengenai latar belakang, pengertian, peraturan perundang-undangan, aspek hukum, prinsip-prinsip tanggung jawab hukum, peran lembaga/instansi, pengaturan klausula baku dan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen. Sebagian dari isi buku tersebut tentunya digunakan sebagai bahan sekunder/landasan dalam penelitian skripsi, yang diteliti oleh peneliti. Namun sebagai perbandingan sekaligus pembeda dalam skripsi ini, peneliti Inayatul Mukaromah lebih memfokuskan pada studi putusan PN Martapura

dalam perkara nomor 361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp.19

4. Persamaan jurnal ini dengan skripsi Inayatul Mukaromah adalah, sama-sama membahas mengenai kosmetik berbahaya (ilegal dan/atau tidak memiliki izin edar), namun terdapat perbedaan, yakni peneliti Rizky Adi menganalisis pengawasan apa saja yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Malang, dan mengetahui hambatan dan upaya Dinas Kesehatan Kota Malang untuk meminimalisir peredaran kosmetik berbahaya teregister BPOM di Kota Malang, sedangkan peneliti Inayatul Mukaromah tidak mengkaji mengenai pengawasan di kota Malang, melainkan hanya memiliki fokus pada studi putusan PN

Martapura dalam perkara nomor 361/Pid.Sus/2017/PN.Mtp.20

18 Skripsi ditulis oleh Cahaya Setia Nuarida Triana, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen

Terhadap Peredaran Kosmetik Yang Mengandung Bahan Berbahaya Di Kabupaten Banyumas,

Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, 2015.

19 Buku karya Aulia Muthiah, Hukum Perlindungan Konsumen Dimensi Hukum Positif dan

Ekonomi Syariah, 2018.

20

Jurnal ditulis oleh Rizky Adi Yuristyarini, Pengawasan Terhadap Peredaran Kosmetik

Berbahaya Teregister BPOM Yang Dilakukan Oleh Dinas Kesehatan Kota Malang Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1175/MENKES/PER/VIII/2010 (Studi di Dinas Kesehatan Kota Malang), Jurnal Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, 2015.

(32)

23

BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI KOSMETIKA, PROFIL BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN & KASUS POSISI

DALAM PUTUSAN A. Kosmetika

Kosmetika berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti berhias. Ilmu yang mempelajari kosmetika disebut kosmetologi, yakni ilmu yang berhubungan dengan pembuatan, penyimpanan, aplikasi penggunaan, efek dan efek samping kosmetika. Menurut Sjarif M. Wasitaadmadja, bahan yang dipakai dalam usaha untuk mempercantik diri ini, dahulu diramu dari bahan-bahan alami yang terdapat di sekitarnya. Sekarang kosmetika dibuat manusia tidak hanya dari bahan alami namun juga bahan buatan untuk

maksud meningkatkan kecantikan.1

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1176/MenKes/Per/VIII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika, kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk

membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan/atau

memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.

1. Faktor Penyebab Terjadinya Peredaran Kosmetika Ilegal

Semakin meningkatnya kebutuhan seseorang untuk tampil cantik, semakin meningkat pula kosmetika yang diproduksi dengan berbagai macam produk serta semakin meluas peredarannya. Hal tersebut tidak menutupi kemungkinan bahwa akan ada banyak para pelaku usaha nakal yang mencari keuntungan dengan berbagai jalan pintas yang dilaluinya. Tentu hal seperti ini bisa terjadi dikarenakan banyak faktor yang menjadi penyebab beredarnya produk-produk kosmetika yang ilegal, faktor-faktor tersebut diantaranya:

(33)

a. Masyarakat selaku konsumen masih awam terhadap legalitas sebuah produk kosmetik;

Kurangnya pengetahuan masyarakat selaku konsumen terhadap legalitas sebuah produk merupakan salah satu faktor yang dapat menjadi faktor utama, mengapa masih banyak kosmetik-kosmetik yang tidak memiliki izin edar (ilegal) dapat beredar luas. Biasanya sebagian dari konsumen yang masih awam, mudah sekali tergiur untuk membeli dan memakai kosmetik tidak memiliki izin edar karena dari segi harga yang relatif lebih murah serta segi hasil yang cenderung lebih cepat atau instan. Hal tersebut telah digemari bagi kebanyakan wanita yang tidak sadar dan/atau kurang peduli akan dampak yang menghampirinya di kemudian hari maupun di masa yang akan datang.

b. Kurangnya kejujuran, kesadaran dan kepatuhan pelaku usaha kosmetik terhadap hukum;

Kejujuran, kesadaran dan kepatuhan hukum oleh pelaku usaha merupakan wujud dari sebuah perlindungan yang dapat diberikan kepada konsumen dalam menjalankan usaha. Yang mana kejujuran tersendiri merupakan tonggak dalam kehidupan yang beradab, yang mana dengan kejujuran seseorang akan bertindak sesuai dengan kenyataan yang menandakan bahwasannya seseorang tersebut telah beperilaku adil dan benar.

c. Kurangnya sosialisasi mengenai produk kosmetik ilegal sehingga produksi dan peredaran produk kosmetik ilegal sulit dihentikan; UUPK menyebutkan, bahwasannya pemerintah memiliki tanggung jawab atas pembinaan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen yang dapat menjamin diperolehnya hak-hak para konsumen dan pelaku usaha, serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pada dasarnya, pembuat dan pelaksana politik dalam hukum perlindungan konsumen adalah pemerintah itu tersendiri, jadi sudah semestinya yang menjadi

(34)

25

tanggung jawab dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen tersebut adalah pemerintah. Akan tetapi bukan berarti masyarakat tidak dapat ikut andil dan tidak terlibat dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, masyarakat juga memiliki peran. Jadi dapat disimpulkan bahwasannya UUPK dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

d. Kurang optimalnya pengawasan petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan di lapangan.

Pada Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, dalam melaksanakan tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) mengenai pengawasan Obat dan Makanan, BPOM mempunyai kewenangan yang diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan persyaratan keamanan, khasiat/ manfaat dan mutu, serta pengujian obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. Melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

c. Pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Bagir Manan, keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan tergantung pada sebuah penerapan dari seseorang dan penegakan atas peraturan sebuah hukum itu tersendiri. yakni apabila penegakan hukum tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan peraturan yang telah dimuat dan termaktub dalam sebuah Undang-Undang, maka peraturan perundang-undangan

(35)

yang seperti apapun dan bagaimanapun sempurnanya, dirasa telah tidak/kurang dalam memberikan arti sesungguhnya dan/atau sesuai dengan tujuannya. Yang mana penegakan hukum merupakan

dinamisator dari peraturan perundang-undangan tersebut.2

2. Efek Samping Kosmetik Ilegal

Kosmetik ilegal adalah kosmetik yang tidak terdaftar di BPOM perihal perizinan mengenai kelayakan sebuah produk untuk selanjutnya dapat diedarkan. Legalitas sebuah produk kosmetika itu penting, karena legalnya sebuah kosmetik tidak hanya meliputi perizinan saja, akan tetapi bahan-bahan yang dipakai telah teruji klinis bebas dari bahan-bahan kimia yang berbahaya oleh BPOM. Apabila kita mengenakan produk kosmetika yang tidak memiliki izin edar/tidak layak edar, berarti kita tidak mengetahui bahan-bahan apa saja yang telah tercampur pada kosmetik tersebut. Yang mana biasanya campuran bahan yang ada dalam sebuah produk kosmetik ilegal tersebut, telah terindikasi mengandung bahan-bahan kimia berbahaya yang mengakibatkan kerusakan pada kulit.

Terjadinya kontak antara kosmetik dengan kulit, terdapat kemungkinan campuran bahan-bahan dari kosmetik diserap oleh kulit dan masuk ke bagian yang lebih dalam dari tubuh. Biasanya jumlah bahan kosmetik yang terserap oleh kulit tergantung pada beberapa faktor, yakni keadaan kulit pemakai, keadaan kosmetik yang dipakai dan kondisi kulit pemakai. Kosmetik ilegal berbahan bahaya, memiliki akibat negatif yang merugikan berupa efek samping dari pemakaian.

Yang mana beberapa dampak negatif tersebut diantaranya:3

a. Efek Samping Pada Kulit

1) Dermatitis, yakni kontak alergik/iritan akibat kontak kulit dengan bahan kosmetika yang bersifat alergi/iritasi. Contoh:

2

Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, (disampaikan untuk kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran kota Bandung, pada tanggal 18 Agustus 1997), h. 8

(36)

27

PPDA (paraphenyl diamine) pada cat rambut, natrium

laurilsulfat atau heksaklorofen pada sabun, serta hidrokuinon

pada pemutih kulit.

2) Akne kosmetika, yakni akibat kontak kulit dengan bahan kosmetika yang bersifat aknegenik, secara klinis tampak seperti komedo tertutup/ jerawat (papula) di daerah wajah. Contoh:

lanolin pada bedak padat/masker penipis (peeling mask), petrolatum pada minyak rambut/maskara, asam oleat pada

pelembut janggut (beard softener), alkohol laurat pada pelembab.

3) Fotosensitivitas, yakni akibat adanya zat yang bersifat fototosik atau fotoalergik dalam kosmetika. Contoh: PPDA dalam pewarna rambut, klor merkaptodikarboksimid dalam sampo anti ketombe, PABA (para amino benzoic acid), beta-karoten,

sinamat/sinoksat pada tabir surya, minyak bergamot, cedar, sitrun, lavender, lime/sandalwood pada parfum, ter batu bara

(coal tar), biru metilen eosin, merah netral, fluoresein, akrifin pada zat warna (dyes).

4) Pigmented cosmetic dermatitis, yakni kelainan seperti

melanosis riehl yang terasa gatal, timbul akibat pewarna jenis

ter batu bara terutama brilliant lake red dan turunan

fenilazonaftol.

5) Bentuk reaksi kulit lain dapat terjadi meskipun sangat jarang atau bahkan baru diperkirakan akan terjadi. Contoh: purpura akibat PPDA atau isopropil PPDA, dermatitis folikular akibat unsur nikel & kobalt, PPDA granuloma akibat garam

zirkonium dalam deodoran, merkuri dalam pemutih dan metal

dalam tato.

b. Efek Samping Pada Rambut dan Kuku

Efek samping kosmetika pada rambut dan kuku yakni diantaranya adalah berupa kerontokan rambut, kerusakan

(37)

rambut&kuku, dan perubahan warna rambut/kuku. Pemakaian kosmetika rambut/kuku dapat memberikan reaksi pada kulit sekitarnya atau kulit yang letaknya jauh, misalnya leher, perut, paha/kaki. Zat dalam kosmetika rambut/kuku yang sering menimbulkan efek samping diantaranya: formaldehid pada cat kuku, natrium/kalium hidroksida pada pelepas kutikula kuku (cuticle remover) dan tioglikolat pada kosmetika pengeriting rambut (permanent wave).

c. Efek Samping Pada Mata

Kosmetika mata (eye liner, mascara, eye shadow dan sebagainya) atau kosmetika lain yang pemakaiannya dekat dengan mata, misalnya kosmetika rambut maupun wajah, dapat menimbulkan efek samping pada mata berupa:

1) Rasa tersengat (stinging) dan rasa terbakar (burning) akibat iritasi oleh zat yang masuk ke mata, misalnya spiritus mineral,

isoprafin, alkohol, propilen glikol dan sabun.

2) Konjungtivitis alergik dengan atau tanpa dermatitis akibat masuknya partikel mascara, eye shadow, atau eye liner kedalam mata.

3) Infeksi mata ringan sampai berat akibat pemakaian kosmetika yang tercemar kuman pseudomonas aeruginosa.

d. Kelainan Pada Saluran Napas

Keluhan pada saluran napas dapat terjadi pada pemakaian kosmetika terutama dalam bentuk aerosol (hair spray atau

deodorant spray) yang digunakan dalam ruangan dengan ventilasi

yang buruk.

e. Efek Toksik Jangka Panjang

Walaupun sukar untuk dinilai, penggunaan kosmetika ada kemungkinan menimbulkan efek jangka panjang pada berbagai organ tubuh, misalnya darah, hati, ginjal, limpa, paru-paru, embrio (teratogen), alat endoktrin dan kelenjar limfe (getah bening).

(38)

29

Kelainan ini dapat terjadi akibat efek kumulatif pemakaian kosmetika yang umumnya dipakai dalam jangka waktu lama (puluhan tahun) dan daerah pemakaian yang luas.

B. Profil BPOM4

Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat dan signifikan pada industri farmasi, obat asli Indonesia, makanan, kosmetika dan alat kesehatan. Dengan menggunakan teknologi modern, industri-industri tersebut kini mampu memproduksi dalam skala yang sangat besar mencakup berbagai produk dengan "range" yang sangat luas. Dengan dukungan kemajuan teknologi transportasi dan entry barrier yang makin tipis dalam perdagangan internasional, maka produk-produk tersebut dalam waktu yang amat singkat dapat menyebar ke berbagai negara dengan jaringan distribusi yang sangat luas dan mampu menjangkau seluruh strata masyarakat.

Konsumsi masyarakat terhadap produk-produk termaksud cenderung terus meningkat, seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat termasuk pola konsumsinya. Sementara itu pengetahuan masyarakat masih belum memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk secara tepat, benar dan aman. Di lain pihak iklan dan promosi secara gencar mendorong konsumen untuk mengkonsumsi secara berlebihan dan seringkali tidak rasional. Perubahan teknologi produksi, sistem perdagangan internasional dan gaya hidup konsumen tersebut pada realitasnya meningkatkan resiko dengan implikasi yang luas pada kesehatan dan keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub standar, rusak atau terkontaminasi oleh bahan berbahaya maka risiko yang terjadi akan berskala besar dan luas serta berlangsung secara amat cepat.

Untuk itu Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk termaksud untuk melindungi

4https://www.pom.go.id/new/view/direct/background (diakses pada tanggal 12 Juni 2019, pada pukul 20.38 WIB.)

(39)

keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk itu telah dibentuk BPOM yang memiliki jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum dan memiliki kredibilitas profesional yang tinggi.

1. Visi dan Misi5

Visi merupakan sebuah rangkaian yang berisikan kalimat yang dapat menyatakan cita-cita atau impian sebuah organisasi atau perusahaan yang ingin dicapai di masa yang akan mendatang dan/atau masa depan. Atau dapat dikatakan bahwa visi merupakan pernyataan

want to be dari organisasi atau perusahaan. Visi juga merupakan hal

yang sangat krusial bagi perusahaan untuk menjamin kelestarian dan

kesuksesan jangka panjang,6 sedangkan misi merupakan sebuah

rangkaian kalimat yang dapat menyatakan sebuah tujuan atau alasan eksistensi (keberadaan) sebuah organisasi yang memuat apa-apa saja yang telah disediakan oleh perusahaan tersebut kepada masyarakat,

baik berupa produk ataupun jasa.7

Visi:

Obat dan makanan aman meningkatkan kesehatan masyarakat dan daya saing bangsa.

Misi:

a. Meningkatkan sistem pengawasan obat dan makanan berbasis risiko untuk melindungi masyarakat.

b. Mendorong kapasitas dan komitmen pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan obat dan makanan serta memperkuat kemitraan dengan pemangku kepentingan.

c. Meningkatkan kapasitas kelembagaan BPOM.

5 https://www.pom.go.id/new/ (diakses pada tanggal 12 Juni 2019, pada pukul 20.45 WIB.)

6

Dermawan Wibisono, Manajemen Kinerja, Konsep, Desain, dan Teknik Meningkatkan

Daya Saing Perusahaan, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 43

(40)

31

2. Struktur Organisasi8

Struktur organisasi BPOM terdiri dari:

a. Kepala Badan POM b. Inspektorat Utama c. Sekretaris Utama

d. Deputi I Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekusor dan Zat Aditiktif

e. Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik

f. Deputi III Bidang Pengawasan Pangan Olahan g. Deputi IV Bidang Penindakan

Pusat BPOM:

1) Pusat Data dan Informasi Obat dan Makanan

2) Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengawasan Obat dan Makanan

3) Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional 4) Pusat Riset dan Kajian Obat dan Makanan

3. Tugas9

a. Tugas sebuah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan yakni diantaranya sebagai berikut:

(1) BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas

pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Obat dan Makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat

8 https://www.pom.go.id/new/view/direct/structure diakses pada tanggal 12 Juni 2019, pada pukul 21.05 WIB.)

9 https://www.pom.go.id/new/view/direct/job (diakses pada tanggal 12 Juni 2019, pada pukul 20.48 WIB.)

(41)

adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.

b. Tugas Balai Besar / Balai POM (Unit Pelaksana Teknis), dalam Pasal 3 Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah, melaksanakan kebijakan teknis operasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Fungsi10

a. Fungsi BPOM, dalam Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan:

(1) Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM menyelenggarakan fungsi:

a. penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan;

b. pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan;

c. penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar;

d. pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan

Pengawasan Selama Beredar;

e. koordinasi pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan dengan instansi pemerintah pusat dan daerah;

f. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan Obat dan Makanan;

g. pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan Obat dan Makanan;

10 https://www.pom.go.id/new/view/direct/function (diakses pada tanggal 12 Juni 2019, pada pukul 20.50 WIB.)

(42)

33

h. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BPOM;

i. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab BPOM;

j. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPOM; dan

k. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BPOM.

(2) Pengawasan sebelum beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengawasan Obat dan Makanan sebelum beredar sebagai tindakan pencegahan untuk menjamin Obat dan Makanan yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan. (3) Pengawasan selama beredar sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) adalah pengawasan Obat dan Makanan selama beredar untuk memastikan Obat dan Makanan yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/ manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan serta tindakan penegakan hukum. b. Fungsi Balai Besar/Balai POM (Unit Pelaksana Teknis), dalam

Pasal 4 Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan yakni diantaranya sebagai berikut:

a. Penyusunan rencana dan program di bidang pengawasan Obat dan Makanan;

b. Pelaksanaan pemeriksaan sarana/fasilitas produksi Obat dan Makanan;

c. Pelaksanaan pemeriksaan sarana/fasilitas distribusi Obat dan Makanan dan/atau sarana/fasilitas pelayanan kefarmasian;

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian dan definisi tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa administrasi adalah seluruh kegiatan yang dilakukan melalui kerjasama dalam suatu organisasi

Discretionary Fund atau Private Fund selanjutnya akan disebut DF/PF, Lihat Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No: 58/Pdt.G/2010/PN.Ska.. 41 kepada para penggugat adalah benar

Kesimpulan dari karya ilmiah ini adalah konsumen mendapatkan perlindungan hukum dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 19 dan pelaku

5 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. 7 Priaji, Sekar Ayu Amiluhur. Perlindungan Hukum terhadap Peredaran Kosmetik yang Merugikan Konsumen, 2018.. 5

Pengaturan hukum tentang peredaran kosmetik yang tidak mencantumkan label bahasa Indonesia pada produk sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan

[r]

Tindakan yang dapat dilakukan bilamana terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian kredit pada lembaga pembiayaan tersebut adalah dengan melakukan eksekusi

Sementara tujuan khusus peneltan untuk menganalsa mplementas perlndungan hukum terhadap konsumen yang menderta kerugan akbat kosmetk mpor yang tdak terdaftar