• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.5 Wilayah Pesisir

Definisi wilayah pesisir menurut Dahuri et al. (1996) adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua. Menurut Soegiarto (1976) dalam Dahuri et al. (1996) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir wilayah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang

terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Definisi tersebut memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam. Lawrence (1998) dalam Ardarini (2002) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai wilayah peralihan antara darat dan laut yang mencakup perairan pantai, daerah pasang surut, dan tanah daratan yang luas dimana habitat dan jenis binatangnya beradaptasi secara khusus terhadap keadaan lingkungan yang unik.

Dahuri et al. (1996) menjelaskan bahwa dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem, dimana ekosistem tersebut dapat bersifat alami maupun buatan (man-made). Ekosistem alami diantaranya adalah terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Ekosistem buatan berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri, dan kawasan pemukiman. Dahuri et al. (1996) juga menjelaskan bahwa pada dasarnya wilayah pesisir secara keseluruhan memiliki berbagai fungsi dan manfaat bagi manusia diantaranya adalah penyedia sumberdaya alam hayati, penyedia sumberdaya alam non hayati, penyedia energi, sarana transportasi, rekreasi dan pariwisata, pengatur iklim dan lingkungan hidup, penampung limbah, sumber plasma nutfah, pemukiman, kawasan industri serta pertahanan dan keamanan. Satria (2009) menjelaskan bahwa laut merupakan salah satu kekayaan alam yang layak untuk dikembangkan sebagai salah satu objek wisata bahari, dimana wisata ini dapat diwujudkan dalam berbagai aktivitas seperti perikanan rekreasi, penyelaman, atraksi paus dan lumba-lumba, penginapan dan melihat keindahan terumbu karang. Meskipun wisata bahari potensial dikembangkan namun terdapat beberapa masalah dan tantangan. Hal tersebut seperti masalah konflik dengan nelayan karena umumnya wisata bahari berkembang di wilayah konservasi. Nelayan menganggap berkembangnya wisata bahari makin menutup akses nelayan dalam penangkapan ikan. Umumnya wisata bahari juga memiliki daya serap yang relatif rendah terhadap tenaga kerja lokal, karena usaha tersebut membutuhkan tenaga kerja berpendidikan menengah ke atas sehingga akses nelayan untuk menjadi bagian dari wisata bahari relatif kecil. Usaha wisata bahari

juga masih banyak diusahakan oleh orang-orang asing yang umumnya sulit memahami dan bertoleransi dengan masyarakat lokal.

2.1.6Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir (Satria, 2004 dalam Satria, 2009). Masyarakat pesisir tidak saja nelayan tetapi juga terdapat pembudidaya ikan, pengolah ikan, pedagang ikan dan lainnya. Dahuri et al. (1996) menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir antara lain adalah terbatasnya sarana pelayanan dasar, kondisi lingkungan yang kurang terpelihara sehingga kurang memenuhi persyaratan kesehatan, air bersih dan sanitasi yang jauh dari mencukupi, keadaan perumahan yang umumnya jauh dari layak huni, keterampilan penduduk yang umumnya terbatas pada masalah penangkapan ikan sehingga kurang mendukung diversifikasi kegiatan, pendapatan penduduk rendah, pendidikan dan pengetahuan masyarakat yang umunya rendah, dan umumnya masih tradisional terbatas pada satu produk saja (ikan).

Dahuri et al. (1996) menjelaskan karakteristik masyarakat pesisir secara ekonomi memiliki mata pencaharian tradisional yang kegiatan utamanya di dominasi oleh usaha perikanan dengan tingkat pendapatan yang masih rendah sehingga berada pada garis kemiskinan. Kondisi sosial dicirikan dengan tingkat pendidikan yang masih rendah dengan ketergantungan hidup dari sumber-sumber perikanan di laut sehingga kurang mendukung diversifikasi usaha. Penyediaan sarana pelayanan dasar seperti jalan, air bersih, sanitasi dan persampahan terbatas dan tidak mencukupi sehingga lingkungan pemukiman masyarakat pesisir jauh dari layak huni (kumuh).

Satria (2002) menjelaskan karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris seiring dengan perbedaan karakteristik sumberdaya yang dihadapi. Masyarakat agraris menghadapi sumberdaya yang terkontrol berupa pengelolaan lahan untuk produksi suatu komunitas dengan output yang relatif dapat diprediksi. Sebaliknya nelayan menghadapi sumberdaya yang

bersifat open access dimana nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil yang maksimal. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakteristik yang keras, tegas dan terbuka. Dalam penelitian Sulaksmi (2007) menunjukkan bahwa peran masyarakat pesisir dalam pariwisata umumnya adalah menyediakan penyewaan penginapan, penyewaan perahu dan alat menyelam, menjual souvenir, menjual makanan, membuka rumah makan dan menjadi pemandu wisata.

2.1.7 Stratifikasi Sosial

Soekanto (1990) menjelaskan bahwa stratifikasi sosial merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal. Menurut Sunarto (1993) stratifikasi sosial merupakan pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya. Ukuran yang biasa digunakan untuk menggolongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan menurut Soekanto (1990) adalah :

1. Ukuran kekayaan, dimana lapisan teratas biasanya yang memiliki kekayaan yang paling banyak. Kekayaan disini bisa berbentuk rumah, kendaraan dan pakaian.

2. Ukuran kekuasaan, lapisan teratas adalah yang paling memiliki kekuasaan atau wewenang terbesar.

3. Ukuran kehormatan, dimana orang-orang yang paling dihormati dan disegani berada di lapisan teratas.

4. Ukuran ilmu pengetahuan, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Kadang - kadang berakibat negatif karena yang dihargai adalah gelarnya bukan ilmu yang dimilikinya.

Sistem pelapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu, meskipun adapula yang sengaja disusun untuk mengejar tujuan bersama. Hal-hal yang biasa menjadi alasan terbentuknya lapisan masyarakat menurut Soekanto (1990) adalah kepandaian, tingkat umur, sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat dan harta dalam batas- batas tertentu.

2.1.8 Konversi Lahan

Konversi lahan merupakan suatu proses perubahan penggunaan lahan oleh manusia dari penggunaan tertentu menjadi penggunaan lain yang dapat bersifat sementara dan permanen (Maftuchah, 2005 dalam Lestari, 2011). Ruswandi (2005) dalam Lestari (2011) juga menjelaskan bahwa konversi lahan adalah berubahnya satu penggunaan lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi lahan, banyak terkait dengan kebijakan tataguna tanah. Kegiatan konversi lahan memiliki beragam pola tertentu tergantung pada kebutuhan dari usaha konversi lahan itu sendiri.

Pola konversi lahan bila ditinjau berdasarkan aspek pelaku konversi menurut Soemaryanto, et al. (2001) dalam Lestari (2011) dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya, motif tindakan ada tiga, yaitu: (a) untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, (b) dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, dan (c) kombinasi dari (a) dan (b) seperti misalnya untuk membangun rumah tinggal yang sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola konversi seperti ini terjadi di sembarang tempat, kecil-kecil dan tersebar. Dampak konversi terhadap eksistensi lahan sekitarnya baru significant untuk jangka waktu lama.

2. Alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan. Pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non sawah atau kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini terjadi dalam hamparan yang lebih luas, terkonsentrasi dan umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak konversi terhadap eksistensi lahan sekitarnya berlangsung cepat dan nyata.

2.2 Kerangka Pemikiran

Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang dewasa ini sedang digalakkan oleh pemerintah dan mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan di Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar dengan garis pantai sepanjang 95.181 kilometer, Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang dapat memberikan peluang terhadap penciptaan bentuk pemanfaatan

kawasan pesisir seperti budidaya perikanan, kawasan konservasi, pemukiman dan pariwisata. Salah satu kawasan pesisir yang mempunyai potensi sumberdaya dan dapat mendukung kegiatan pariwisata adalah Pulau Pramuka yang berada di bagian tengah gugusan Kepulauan Seribu. Pulau Pramuka selama ini telah menjadi lokasi tujuan wisata favorit selain Pulau Untung Jawa, Pulau Tidung, Pulau Puteri dan Pulau Bidadari. Kondisi pulau dan laut yang masih terjaga serta pemandangan laut yang indah merupakan pesona tersendiri bagi wisatawan. Hal ini juga didukung oleh fasilitas di pulau ini yang tergolong lebih lengkap dibandingkan pulau lain yang berada di gugusan Kepulauan Seribu, seperti tersedianya sekolah dari tingkat SD hingga SMA, rumah sakit, pusat pelestarian penyu sisik, penginapan dan sebagainya. Hal tersebut menjadi faktor penarik tersendiri bagi para wisatawan yang berkunjung.

Hadirnya kegiatan pariwisata akan menyebabkan adanya permintaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh wisatawan seperti : penginapan, rumah makan, transportasi, perdagangan, dan jasa. Kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan peluang usaha atau kerja terutama bagi masyarakat di kawasan objek wisata. Bentuk peluang usaha dan kerja dapat dibedakan berdasarkan sifatnya (formal dan informal), berdasarkan jenis kegiatan (penginapan, rumah makan, transportasi, perdagangan, jasa) serta berdasarkan pola kegiatan (kegiatan yang dilakukan setiap hari atau kegiatan yang hanya dilakukan di akhir pekan, liburan atau musim kunjungan wisatawan). Dalam menggunakan peluang usaha dan kerja tersebut, masyarakat yang bekerja atau berusaha diduga memiliki karakteristik individu seperti asal penduduk, tingkat pendidikan, jenis kelamin, umur, dan status perkawinan. Pemanfaatan peluang usaha dan kerja juga dapat mempengaruhi pendapatan masyarakat yang memanfaatkan peluang tersebut yang dapat dilihat dari rata-rata pendapatan usaha atau kerja. Selain itu, adanya peluang usaha dan kerja dapat memunculkan suatu keterkaitan antara sektor pertanian dan luar pertanian yang dilihat dari supply atau penyediaan bahan baku produksi (bahan pangan) dan pola penggunaan hasil (surplus atau keuntungan) usaha atau kerja.

Pemanfaatan peluang usaha dan kerja seringkali terkait dengan ketersediaan lokasi yang dapat mempertemukan kebutuhan wisatawan

(konsumen) dengan pengusaha (produsen), bahkan tidak jarang beberapa lokasi yang dianggap strategis telah menjadi incaran para investor dari luar pulau. Adanya pemanfaatan peluang usaha dan kerja dapat berpengaruh terhadap alih sumberdaya dari milik penduduk lokal menjadi milik pendatang atau investor asing. Peralihan sumberdaya ini dapat dilihat dari sejauhmana terjadi alih kepemilikan atau pembelian sumberdaya (lahan) dari masyarakat lokal ke pendatang dan kebijakan pemerintah mengenai sumberdaya (lahan) di tempat pariwisata. Bagan kerangka pemikiran ditunjukkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Kondisi dan Potensi Pulau Pramuka

Kegiatan Pariwisata

Karakteristik Pemanfaat Peluang Usaha dan Kerja

1. Asal Penduduk 2. Tingkat Pendidikan 3. Jenis kelamin 4. Umur 5. Status Perkawinan Bentuk Pemanfaatan Peluang Usaha dan

Kerja

1. Sifat Kegiatan 2. Jenis Kegiatan 3. Pola Kegiatan

Keterkaitan Antar Sektor Supply bahan baku produksi

(pangan)

 Penggunaan hasil usaha atau kerja Tingkat Pendapatan Usaha atau Kerja Alih Sumberdaya  Pembelian sumberdaya

(lahan) oleh pendatang  Kebijakan pemerintah

2.3Hipotesis Pengarah

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka disusun hipotesis pengarah sebagai berikut :

1. Adanya kegiatan pariwisata akan mendorong masyarakat untuk memanfaatkan peluang usaha dan kerja yang ada seperti dalam usaha penginapan, rumah makan, perdagangan, transportasi dan jasa dimana pemanfaat peluang usaha dan kerja tersebut memiliki karakteristik tertentu berdasarkan asal penduduk, tingkat pendidikan, jenis kelamin, umur dan status perkawinan.

2. Adanya kegiatan pariwisata mengakibatkan munculnya peluang usaha dan kerja dimana bentuk pemanfaatan peluang usaha dan kerja di pariwisata akan dapat menyebabkan peluang pendapatan usaha atau kerja yang berbeda pada setiap pelaku usaha atau kerja tersebut.

3. Adanya kegiatan pariwisata mengakibatkan munculnya peluang usaha dan kerja dimana bentuk pemanfaatan peluang tersebut dapat menyebabkan peningkatan permintaan terhadap hasil-hasil pertanian seperti perikanan baik dari sektor penginapan, rumah makan, transportasi, perdagangan maupun jasa. Adanya kegiatan pariwisata mengakibatkan munculnya peluang usaha dan kerja dimana bentuk pemanfaatan peluang tersebut dapat menyebabkan hasil usaha atau kerja berupa keuntungan usaha atau kerja, dimana keuntungan tersebut dapat digunakan untuk membiayai investasi di bidang pariwisata maupun di bidang lainnya.

4. Adanya kegiatan pariwisata mengakibatkan munculnya peluang usaha dan kerja dimana bentuk pemanfaatan peluang tersebut memerlukan tempat atau lokasi yang dapat mempertemukan kebutuhan wisatawan dengan pengusaha. Lokasi yang dianggap strategis memungkinkan adanya intervensi dari pihak luar yang bermodal kuat (pendatang) untuk membeli lahan tersebut sehingga dapat terjadi alih sumberdaya (lahan) dari masyarakat lokal ke masyarakat pendatang (investor luar). Adanya alih sumberdaya (lahan) tidak terlepas dari kebijakan yang mengatur hal tersebut, dimana kebijakan tersebut bisa saja mendukung atau membatasi laju konversi (pengalihan) lahan.

2.4Definisi Operasional

1. Bentuk pemanfaatan peluang usaha dan kerja dapat dilihat berdasarkan sifat kegiatan, jenis kegiatan dan pola kegiatan.

a. Sifat kegiatan dibedakan dalam :

1) Formal : Kegiatan mempunyai izin usaha resmi dari pemerintah, pengelolaan secara professional, dan menggunakan tenaga kerja upahan.

2) Informal : Kegiatan mudah untuk dimasuki, pengelolaan usaha secara sederhana, dan tidak memiliki izin resmi dari pemerintah. b. Jenis kegiatan dibedakan ke dalam :

1) Usaha penginapan atau homestay.

2) Usaha rumah makan (termasuk di dalamnya restoran, rumah makan dan warung nasi).

3) Transportasi (termasuk di dalamnya ojek antar pulau, ojek Muara Angke, penyewaan kapal trip, mancing, snorkeling atau diving). 4) Usaha perdagangan (termasuk di dalamnya toko cinderamata,

pedagang asongan, pedagang makanan dan minuman).

5) Jasa (termasuk di dalamnya biro perjalanan, catering, rental

snorkeling, rental sepeda, jasa kuli angkut, dan jasa pemandu wisata).

c. Pola kegiatan dibedakan ke dalam : 1) Kegiatan yang dilakukan setiap hari.

2) Kegiatan yang dilakukan hanya pada akhir pekan atau liburan atau musim kunjungan wisata.

2. Karakteristik pemanfaat peluang usaha dan kerja merupakan ciri-ciri yang melekat pada individu pemanfaat peluang usaha dan kerja yang meliputi asal penduduk, tingkat pendidikan, jenis kelamin, umur dan status perkawinan.

a. Asal penduduk merupakan asal usul responden yang menggunakan peluang usaha dan kerja yang muncul akibat adanya kegiatan pariwisata. Asal penduduk dibedakan berdasarkan :

1) Penduduk asli : responden sejak lahir sampai besar telah menetap di Pulau Pramuka.

2) Penduduk pendatang : responden berasal dari luar Pulau Pramuka. b. Tingkat pendidikan merupakan tingkat pendidikan tertinggi yang

pernah diikuti oleh responden. Tingkat pendidikan dibedakan berdasarkan kategori :

1) Tinggi (tamat SMA, tamat Akademi atau Universitas) 2) Sedang (tamat SD, tamat SMP )

3) Rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD)

c. Jenis kelamin merupakan sifat fisik responden sebagaimana yang tercatat dalam kartu identitas yang dimiliki responden dan dinyatakan dalam dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan.

d. Umur merupakan usia responden yang dihitung dari tanggal lahir sampai saat penelitian dilakukan dan dinyatakan dalam tahun.

e. Status perkawinan merupakan status perkawinan responden sebagaimana yang tercatat dalam kartu identitas yang dimiliki responden dan dinyatakan dalam tiga jenis yaitu belum kawin, kawin, janda atau duda.

3. Tingkat Pendapatan Usaha atau Kerja adalah tingkat pendapatan total yang diperoleh responden selama sebulan dari usaha atau kerja yang dilakukan. Tingkat pendapatan usaha atau kerja dikategorikan ke dalam :

1) Tinggi (x > nilai minimum + 2 IK)

2) Sedang (nilai minimum + IK < x ≤ nilai minimum + 2 IK) 3) Rendah (nilai minimum ≤ x ≤ nilai minimum + IK)

IK merupakan interval kelas yang dicari menggunakan rumus statistik :

� � � � � = � �� � � �ℎ − � ��� �� � � �

4. Keterkaitan antar sektor merupakan sejauhmana terjalin keterkaitan antara sektor pertanian dengan luar pertanian akibat pemanfaatan peluang usaha dan kerja. Keterkaitan antar sektor dilihat dari supply bahan baku produksi (pangan) yang bisa saja berasal dari dalam Pulau Pramuka, sekitar Pulau

Pramuka (di kawasan Kepulauan Seribu) atau dari luar kawasan Kepulauan Seribu. Keterkaitan antar sektor juga dilihat dari pola penggunaan hasil (keuntungan) usaha.

5. Alih sumberdaya merupakan peralihan sumber daya (lahan) yang terjadi akibat adanya pemanfaatan peluang usaha dan kerja di pariwisata. Alih sumberdaya dilihat dari sejauhmana terjadi pembelian lahan (termasuk sewa dan bagi hasil) dari penduduk lokal ke pendatang dan ada tidaknya kebijakan pemerintah yang mendukung atau menghambat peralihan sumberdaya (lahan).

Dokumen terkait