• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

C. Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda

Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda didirikan pada tanggal 25 Agustus 1987 di daerah Sunggal Medan oleh seorang pemuda Tionghoa bernama

Sofyan Tan. Sejak awal didirikan, Yayasan ini sudah memiliki visi untuk mengatasi dua permasalahan besar yang ada di Indonesia yakni kemiskinan, dan diskriminasi yang merugikan masyarakat marjinal di Indonesia. Sofyan Tan percaya bahwa kondisi tersebut dapat diatasi lewat pendidikan. Kemiskinan yang dikarenakan oleh kebodohan dapat berkurang jika generasi muda mendapatkan akses pendidikan pendidikan yang murah dan berkualitas. Inilah yang menjadi kerinduan sang pendiri, agar generasi muda Indonesia dapat bersekolah dengan mutu dan fasilitas yang baik tanpa membeda-bedakan (YPSIM, 2012).

Yayasan ini didirikan dengan prinsip memberikan kesempatan kepada semua anak bangsa, tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, gender dan tingkat sosial dan ekonomi untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Pendidikan berkualitas yang ditawarkan adalah pendidikan yang mengedepankan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tetap memprioritaskan pembelajaran budi pekerti dan pembentukan karakter anak yang berpedoman pada nilai-nilai saling menghargai, saling menghormati dan gotong royong di dalam bingkai keberagaman (YPSIM, 2012).

Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas tersebut, selain pembangunan ruang kelas yang nyaman, di kawasan sekolah juga dibangun serangkaian fasilitas untuk memenuhi kebutuhan akademis dan non-akademis dari anak-anak. Fasilitas-fasilitas untuk mendukung pembelajaran siswa diantaranya perpustakaan modern, laboratorium sains (fisika, kimia dan biologi), laboratorium komputer, dan laboratorium bahasa (Inggris dan Jepang). Untuk menunjang pengembangan bakat dan minat dari siswa di bidang olahraga, seni dan

komunikasi, Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda juga menyediakan berbagai fasilitas olahraga, seni, radio dan juga simpul siswa. Selain itu, di lingkungan sekolah juga berdiri pendopo sebagai tempat diskusi dan pertemuan yang terbuka, juga mesjid, vihara dan gereja sebagai tempat ibadah dari para anak didik, guru, staf dan orang tua murid (YPSIM, 2012).

Untuk siswa yang kurang mampu secara ekonomi, yayasan ini mengadakan program anak asuh silang dengan sistem silang dan berantai, yaitu program yang bertujuan untuk memberikan beasiswa bagi anak yang kurang mampu, serta bertujuan untuk meminimalisir prasangka terhadap kelompok etnis atau agama tertentu dengan memasangkan anak dan orangtua asuh yang berbeda etnis maupun agama. Misalnya, anak beretnis Jawa mendapatkan orangtua asuh beretnis Batak, dan sebagainya. Sedangkan bagi mereka yang tidak lulus anak asuh, YPSIM memberikan alternatif pengurangan uang sekolah yang tercipta dengan adanya inisiatif subsidi silang yang dilakukan. Hal ini menunjukkan inisiatif YPSIM untuk turut melibatkan pihak orangtua dan masyarakat luas untuk turut serta menyukseskan pendidikan multikultural di Indonesia (YPSIM, 2012).

Proses pembelajaran yang diterapkan di kelas adalah pembelajaran bermuatan multikutural. Artinya, mata pelajaran yang diterapkan sama dengan mata pelajaran di sekolah umum, namun yang membedakan adalah muatan topik- topik multikultural yang diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran. Sehingga, nuansa multikultural di YPSIM tidak hanya dirasakan dalam kultur sekolah dan kultur kelas seperti adanya rumah ibadah dari tiap agama besar di Indonesia, pembagian tempat duduk yang lintas budaya, tetapi juga terdapat dalam setiap

pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas. Sebagai contoh, dalam pelajaran IPA SD, ketika mempelajari bahwa pohon menghasilkan oksigen, guru menambahkan ilustrasi, bahwa mungkin saja pohon tersebut terdapat di rumah keluarga orang Batak, namun oksigen tersebut tetap dapat dirasakan oleh tetangga mereka yang adalah orang Jawa. Dalam hal ini guru mengajarkan arti berbagi tanpa membeda-bedakan. Ini adalah contoh kecil yang dapat diterapkan oleh guru di YPSIM dalam mengajarkan siswa untuk menjadi pribadi yang menghargai keberagaman (YPSIM, 2012).

YPSIM telah merancang pedoman pembelajaran yang disusun berdasarkan sejumlah nilai, deskripsi, maupun indikator yang menjadi acuan kompetensi yang harus dicapai siswa dalam pembelajaran multikultural. Nilai-nilai tersebut yang akhirnya dipakai untuk kemudian merancang Rencana Kegiatan Harian (bagi tingkat TK), serta Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (bagi tingkat SD, SMP, SMA/SMK). Dengan adanya RKH, RPP, dan Silabus inilah guru dapat mengintegrasikan nilai dan indikator multikultural ke dalam setiap pembelajaran di kelas.

Adapun nilai dan indikator yang dipakai dalam pembelajaran multikultural di YPSIM adalah sebagai berikut: : nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, nasionalisme, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggungjawab, kesetaraan gender, dan pluralisme.

D. SIKAP SISWA TERHADAP PEMBELAJARAN BERMUATAN MULTIKULTURAL (STUDI PADA SISWA SMA YAYASAN PERGURUAN SULTAN ISKANDAR MUDA KOTA MEDAN)

Sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural, khususnya bagi siswa SMA di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda merupakan bentuk evaluasi siswa SMA terhadap pembelajaran bermuatan multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda yang didasarkan pada persepsi, perasaan dan kecenderungan untuk berperilaku. Dalam hal ini, pembelajaran bermuatan multikultural adalah pembelajaran yang diterapkan pada SMA YPSIM, yang memuat nilai-nilai atau indikator multikultural pada yayasan tersebut. Adapun nilai dan indikator yang dipakai dalam pembelajaran multikultural di YPSIM adalah sebagai berikut: : nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, nasionalisme, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggungjawab, kesetaraan gender, dan pluralisme.

Nilai religius yang hendak dicapai dalam hal ini adalah bagaimana sikap dan perilaku siswa dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Nilai jujur yang dimaksud adalah upaya menjadikan siswa sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Nilai toleransi adalah sikap dan tindakan siswa yang mampu menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

Nilai disiplin mencakup perilaku tertib dan patuh pada berbagai peraturan dan yang berlaku di sekolah dan di luar sekolah. Nilai kerja keras mencakup upaya siswa yang sungguh-sungguh dalaam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas. Nilai kreatif dan mandiri mencakup berpikir dan melakukan sesuatu dengan menggunakan cara yang baru dan inovatif serta tidak mudah bergantung pada orang lain dalam pelaksanaan suatu tugas. Nilai demokratis ditunjukkan oleh cara berpikir, bersikap dan bertindak yang memberikan kesempatan yang sama bagi dirinya dan orang lain dalam berekspresi, memberikan pendapat, menjalankan hak dan kewajiban tanpa membeda-bedakan.

Nilai rasa ingin tahu ditunjukkan oleh sikap dan tindakan yang selalu berusaha mengetahui lebih mendalam dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, didengar. Nilai nasionalisme dilihat dari cara berpikir, sikap dan perbuatan yang menunjukkan kepedulian dan penghargaan tinggi terhadap bahasa, lingkungan, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa. Nilai menghargai prestasi ditunjukkan oleh sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi orang lain, serta mampu mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain. Nilai bersahabat/komunikatif ditunjukkan oleh rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain. Nilai cinta damai dilihat dari sikap dan perbuatan siswa yang mampu menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Nilai gemar membaca ditunjukkan oleh kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang bermanfaat. Nilai peduli lingkungan ditunjukkan oleh perilaku yang

berupaya mencegah kerusakan alam dan upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

Nilai peduli sosial dan kesejahteraan ditunjukkan oleh kerelaan memberi bantuan pada setiap orang yang membutuhkan. Nilai tanggungjawab ditunjukkan dari sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajiban yang harus dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, negara, dan Tuhan. Nilai kesetaraan gender mencakup sikap dan perilaku yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban dalam lingkungan keluarga, sekolah dam masyarakat. Nilai pluralisme ditunjukkan oleh sikap dan perilaku yang mampu mengakui, memahami, dan menghargai berbagai perbedaan yang meliputi perbedaan suku, ras, agama, gender, status sosial, status ekonomi, kondisi fisik, kemampuan akademis, bahasa.

Nilai-nilai tersebut secara implisit telah tercakup dalam ke 5 standar penting untuk meningkatkan pembelajaran untuk siswa multikultur yang telah diidentifikasi oleh The Center for Research on Education, Diversity, and

Excellence (CREDE) pada University of California, Berkeley, yakni: aktifitas

produktifitas bersama, perkembangan bahasa, kontekstualisasi, percakapan instruksional, dan aktifitas menantang. Dalam aktifitas produktifitas bersama, guru dan siswa menghasilkan kerjasama yang memudahkan pembelajaran, khususnya ketika guru dan siswa berasal dari kelompok budaya berbeda. Dalam perkembangan bahasa, guru menolong siswa untuk menghubungkan bahasa ibu dengan pelajaran yang diajarkan melalui kegiatan berbicara, menulis, membaca, dan mendengar yang menolong siswa mengembangkan kemampuan literasi.

Dalam kontekstualisasi guru menghubungkan pengajaran dan kurikulum dengan kehidupan siswa, sehingga setiap pengajaran itu memberikan makna bagi siswa. Dalam aktifitas menantang, guru harus memberikan standar yang menantang semua siswa, yang memicu siswa untuk semakin memahami suatu topik pembelajaran. Dalam percakapan instruksional, guru menggunakan dialog antara guru dan siswa dengan suatu tujuan akademis yang jelas untuk mengeksplorasi topik dan konsep tertentu dibanding hanya sekadar ceramah di depan siswa.

Azwar (2013) menyatakan bahwa seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap suatu objek ketika kepercayaan, perasaan dan prilaku mereka menunjukkan bahwa mereka memihak atau favorability terhadap objek, sebaliknya seseorang mempunyai sikap negatif terhadap objek ketika kepercayaan, perasaan dan perilaku mereka menunjukkan mereka tidak berpihak atau unfavorability terhadap objek. Ada tiga komponen yang terkait dengan sikap, yaitu komponen kognitif, afektif, dan psikomotorik. Komponen kognitif merupakan bagian sikap siswa SMA yang muncul berdasarkan kognisi dan persepsi atau kepercayaan mereka terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

Secara umum, komponen kognitif menjawab pertanyaan mengenai apa yang diyakini dan dipikirkan siswa SMA YPSIM terhadap pembelajaran bermuatan multikultural, yang di dalam hal ini diukur dengan 5 standar pembelajaran muktikultural yang telah diidentifikasi oleh The Center for Research

Berkeley, yakni: aktifitas produktifitas bersama, perkembangan bahasa, kontekstualisasi, percakapan instruksional, dan aktifitas menantang.

Dalam aktifitas produktif bersama, salah satu contoh aspek kognitif dari standar ini adalah murid setuju bahwa guru selalu menolong siswa ketika menghadapi tugas yang rumit. Dalam perkembangan bahasa, salah satu contoh aspek kognitif dari standar ini adalah murid yakin bahwa guru dan teman-teman tidak akan mengejek dialeknya ketika berbicara. Dalam kontekstualisasi, salah satu contoh aspek kognitif dari standar ini adalah murid setuju bahwa guru sering mengaitkan topik pembelajaran dengan pengalaman nyata murid. Dalam percakapan instruksional, salah satu contoh aspek kognitif adalah guru meminta murid untuk aktif berbicara menyampaikan pendapat. Contoh aspek kognitif dari aktifitas menantang yaitu guru tugas tambahan yang lebih rumit agar merangsang kreatifitas murid.

Komponen afektif merupakan bagian dari sikap siswa SMA YPSIM yang muncul berdasarkan apa yang mereka rasakan terhadap pembelajaran bermuatan multikultural di sekolah. Secara umum komponen ini menimbulkan evaluasi emosional seseorang terhadap objek sikapnya, yakni ke 5 standar pembelajaran muktikultural yang telah diidentifikasi oleh The Center for Research

on Education, Diversity, and Excellence (CREDE) pada University of California,

Berkeley, yakni: aktifitas produktifitas bersama, perkembangan bahasa,

kontekstualisasi, percakapan instruksional, dan aktifitas menantang. Salah satu contoh aspek afektif dari aktifitas produktifitas bersama adalah murid merasa senang karena guru selalu menolong siswa ketika menghadapi tugas yang rumit.

Contoh aspek afektif dari standar perkembangan bahasa adalah murid merasa senang karena guru dan teman-teman menghargai bahasa ibunya. Contoh aspek afektif dari standar kontekstualisasi adalah murid merasa tertarik belajar suatu topik ketika guru mengaitkan topik tersebut dengan pengalaman mereka sehari-hari. Contoh aspek afektif dari standar percakapan instruksional adalah murid suka ketika guru meminta mereka menceritakan pengalaman terkait topik tertentu. Contoh aspek afektif dari standar aktifitas menantang misalnya, murid merasa tertarik untuk menyelesaikan tugas tambahan yang diberikan guru.

Komponen konatif atau perilaku merupakan kecenderungan berperilaku sebagai reaksi terhadap objek sikap. Komponen ini menjawab pertanyaan bagaimana siswa SMA YPSIM bertindak dan berperilaku terhadap pembelajaran bermuatan multikultural yang diterapkan di sekolah mereka, yang diukur dengan menggunakan 5 standar pembelajaran muktikultural yang telah diidentifikasi oleh

The Center for Research on Education, Diversity, and Excellence (CREDE) pada

University of California, Berkeley, yakni: aktifitas produktifitas bersama,

perkembangan bahasa, kontekstualisasi, percakapan instruksional, aktifitas menantang. Salah satu contoh aspek konatif dari aktifitas produktifitas bersama adalah murid akan senantiasa meminta bantuan guru ketika menghadapi tugas yang rumit. Salah satu contoh aspek konatif dari perkembangan bahasa adalah murid akan berbicara dengan leluasa di kelas tanpa takut diejek karena pengaruh dialek/bahasa ibunya. Salah satu contoh aspek konatif dari kontekstualisasi adalah murid antusias mengikuti pelajaran karena guru selalu mengaitkan pembelajaran dengan pengalaman hidup murid sehari-hari. Contoh aspek konatif dari

percakapan instruksional adalah murid tidak sungkan untuk menyampaikan pendapat di dalam kelas. Contoh aspek konatif dari aktifitas menantang adalah murid akan mengerjakan tugas tambahan dengan sebaik-baiknya.

Sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural tentu beragam, yaitu sikap positif, sikap negatif, dan sikap netral. Sikap positif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural dapat terbentuk, mungkin disebabkan oleh faktor keluarga, misalnya karena orangtua terbiasa menanamkan pentingnya toleransi terhadap orang lain sejak dini. Ketika orang tua atau orang-orang terdekat memiliki sikap yang positif maka orang tersebut juga memiliki kecenderungan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Sikap positif dapat juga disebabkan karena faktor guru-guru di sekolah yang berhasil menanamkan konteks multikultural ini dengan cara yang menyenangkan dan tidak memaksa. Dapat disimpulkan bahwa sikap positif yang diperlihatkan akan menggambarkan kesesuaian persepsi, perasaan dan perilaku terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

Sikap negatif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural menggambarkan ketidaksesuaian antara persepsi, perasaan dan perilaku siswa SMA terhadap pembelajaran bermuatan multikultural. Siswa SMA YPSIM mungkin menilai pembelajaran bermuatan multikultural secara negatif sehingga berdampak pada kecenderungan mereka berperilaku. Siswa SMA YPSIM yang bersikap netral menunjukkan ketidakkonsistenan dalam bersikap terhadap pembelajaran bermuatan multikultural. Mereka cenderung menilai pembelajaran bermuatan multikultural secara positif dan negatif berdasarkan kelebihan dan

kekurangannya. Sikap netral dapat berubah menjadi sikap yang positif maupun negatif tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi sikap tersebut.

Dokumen terkait