• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural (Studi pada Siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural (Studi pada Siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN SIKAP SISWA TERHADAP

PEMBELAJARAN BERMUATAN MULTIKULTURAL

(STUDI PADA SISWA SMA YAYASAN PERGURUAN

SULTAN ISKANDAR MUDA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

SUSY CHRISTINA BANCIN

091301086

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

SKRIPSI

GAMBARAN SIKAP SISWA TERHADAP PEMBELAJARAN BERMUATAN MULTIKULTURAL (STUDI PADA SISWA SMA YAYASAN PERGURUAN SULTAN ISKANDAR MUDA MEDAN)

Dipersiapkan dan disusun oleh :

SUSY CHRISTINA BANCIN 091301086

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 7Mei 2014

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, Psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Filia Dina Anggaraeni, S.Sos., M.Pd. Penguji I/

NIP. 196910142000042001 Pembimbing_______________

2. Sri Supriyantini, M.Si, Psikolog Penguji II ______________ NIP. 196204092000122001

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

“Gambaran Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural

(Studi Pada Siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)”

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelarkesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utarasesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, April 2014

(4)

ABSTRAK

Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang berupaya mengembangkan potensi peserta didik dengan prinsip kesetaraan dalam keberagaman. Pendidikan ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai multikultural sejak dini kepada peserta didik, sehingga diharapkan dapat menjadi manusia Indonesia yang demokratis dan menghargai keberagaman. Hal ini patut menjadi perhatian mengingat Indonesia adalah negara yang sangat multikultur. Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan adalah sebuah yayasan yang telah menerapkan pendidikan multikultural ini selama lebih dari 25 tahun. Perlu diketahui bagaimana sikap siswa sebagai peserta didik terhadap pembelajaran bermuatan multikultural yang diterapkan di YPSIM.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural di SMA YPSIM. Sikap mencakup pemikiran, perasaan, dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek sikap (Azwar, 2010). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 100 orang, berdasarkan teknik pengambilan sampel proportional

stratified random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum

siswa SMA YPSIM memiliki sikap positif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural, yakni sebanyak 85%. Sementara 15% siswa memiliki sikap netral dan tidak ada siswa yang bersikap negatif.

(5)

ABSTRACT

Multicultural education is an education that is used to improve student’s potential with an equivalence principle in diversity. This education is intended to engraft multicultural values at the very early step on students, to be democrative and appreciative to diversity. It needs a special concern since Indonesia is a multicultural country. Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan is one of institution which has applied this education for more than 25 years. The students attitude to multicultural education in YPSIM is necessary to be studied.

This study is intended to describe the students attitude toward multicultural education in YPSIM high school. The attitude refers to cognitive, affective, and conative aspects toward the object of attitude. Descriptive quantitative approach is used in this study. The number of samples in this study is 100 students, based on proportional stratified random samplingtechnique. The result of this study shows that generally, YPSIM high school students have positive attitude toward multicultural education or 85 by percentage. While, 15 % of students have neutral attitude and no one in negative attitude.

(6)

KATA PENGANTAR

Pujian dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, atas segala berkat dan kekuatan yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul "Gambaran Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural (Studi pada Siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)". Adapun skripsi ini salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pertama sekali penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orangtua penulis, yaitu U. Bancin dan R.Gultom yang telah melahirkan dan membesarkan penulis, memberikan cinta dan kasih sayang yang tak ternilai harganya. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi yang telah memberikan dukungan yang terbaik untuk kesuksesan seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Filia Dina Anggaraeni, S.Sos., M.Pd., selaku dosen pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberi masukan yang berharga kepada penulis selama pengerjaan skripsi ini.

(7)

4. Kepada seluruh dosen di Fakultas Psikologi, yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang berharga kepada kami.

5. Kepada seluruh pegawai di Fakultas Psikologi, yang telah memberikan pekerjaan yang terbaik guna mendukung kesuksesan setiap mahasiswa. 6. Kepada Pak Edy Jitro Sihombing M.Pd., yang telah memberikan izin

pengambilan data sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. 7. Seluruh teman – teman, kakak dan abang di Fakultas Psikologi USU Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kata baik, sehingga segala kritik dan saran sangat diharapkan untuk membantu penulis menjadi lebih baik lagi. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.

Medan, 28 April 2014

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoritis ... 12

2. Manfaat Praktis ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II LANDASAN TEORI ... 15

A. Sikap ... 15

1. Defenisi Sikap ... 15

2. Komponen Sikap ... 16

3. Faktor Yang Mempengaruhi Sikap ... 17

B. Pendidikan Multikultural ... 19

1. Defenisi Pendidikan Multikultural ... 19

2. Sejarah Pendidikan Multikultural ... 21

3. Pembelajaran Bermuatan Multikultural ... 22

(9)

(Studi Pada Siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar

Muda Kota Medan) ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

A. Identifikasi Variabel ... 36

B. Defenisi Operasional... …..36

C. Populasi, Sampel Dan Metode Pengambilan Sampel ... 37

1. Populasi dan Sampel... 37

2. Metode Pengambilan Sampel ... 38

3. Jumlah Sampel Yang Digunakan ... 39

D. Alat Ukur Yang Digunakan ... 39

1. Skala Psikologi ... 40

2. Validitas Alat Ukur ... 42

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 42

E. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 43

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 45

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 45

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 46

3. Tahap Pengolahan Data Penelitian ... 46

G. Metode Analisis Data ... 47

BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Analisis Data ... 48

1. Gambaran Subjek Penelitian ... 48

(10)

B. Pembahasan ... 65

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

A. KESIMPULAN ... 69

B. SARAN ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Sikap sebelum Try Out ... 41

Tabel 2. Blue Print SkalaSikapSetelah Try Out ... 43

Tabel 3. Blue Print Skala Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural ... 44

Tabel 4. Persentase subjek berdasarkan jenis kelamin... 48

Tabel 5. Persentase subjek berdasarkan usia... 49

Tabel 6. Persentase subjek berdasarkan tingkatan kelas ... 49

Tabel 7. Persentase subjek berdasarkan jenis kelamin... 50

Tabel 8. Persentase subjek berdasarkan jenis kelamin... 50

Tabel 9. Pengkategorisasian Sikap Siswa terhadap Pembelajaran bermuatan Multikultural ... 51

Tabel 10. Hasil Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test ... 51

Tabel 11. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural ... 52

Tabel 12. Kriteria Kategorisasi Skor Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural ... 53

Tabel 13. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Komponen aktifitas produktifitas Bersama ... 54

(12)

bahasa ... 56

Tabel 16. Kriteria Kategorisasi Skor Komponen Perkembangan bahasa ... 56

Tabel 17. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Komponen Kontekstualisasi ... 57

Tabel 18. Kriteria Kategorisasi Skor Komponen Kontekstualisasi ... 58

Tabel 19. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Komponen percakapan instruksional ... 59

Tabel 20. Kriteria Kategorisasi Skor Komponen percakapan instruksional ... 59

Tabel 21. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Komponen Aktifitas Menantang ... 60

Tabel 22. Kriteria Kategorisasi Skor Komponen aktifitas menantang ... 61

Tabel 23. Kesimpulan Sikap Siswa terhadap standar Pembelajaran BermuatanMultikultural ... 62

Tabel 24. Gambaran Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural ditinjau dari Jenis Kelamin ... 63

Tabel 25. Gambaran Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural ditinjau dari Suku Bangsa ... 63

(13)

ABSTRAK

Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang berupaya mengembangkan potensi peserta didik dengan prinsip kesetaraan dalam keberagaman. Pendidikan ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai multikultural sejak dini kepada peserta didik, sehingga diharapkan dapat menjadi manusia Indonesia yang demokratis dan menghargai keberagaman. Hal ini patut menjadi perhatian mengingat Indonesia adalah negara yang sangat multikultur. Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan adalah sebuah yayasan yang telah menerapkan pendidikan multikultural ini selama lebih dari 25 tahun. Perlu diketahui bagaimana sikap siswa sebagai peserta didik terhadap pembelajaran bermuatan multikultural yang diterapkan di YPSIM.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural di SMA YPSIM. Sikap mencakup pemikiran, perasaan, dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek sikap (Azwar, 2010). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 100 orang, berdasarkan teknik pengambilan sampel proportional

stratified random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum

siswa SMA YPSIM memiliki sikap positif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural, yakni sebanyak 85%. Sementara 15% siswa memiliki sikap netral dan tidak ada siswa yang bersikap negatif.

(14)

ABSTRACT

Multicultural education is an education that is used to improve student’s potential with an equivalence principle in diversity. This education is intended to engraft multicultural values at the very early step on students, to be democrative and appreciative to diversity. It needs a special concern since Indonesia is a multicultural country. Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan is one of institution which has applied this education for more than 25 years. The students attitude to multicultural education in YPSIM is necessary to be studied.

This study is intended to describe the students attitude toward multicultural education in YPSIM high school. The attitude refers to cognitive, affective, and conative aspects toward the object of attitude. Descriptive quantitative approach is used in this study. The number of samples in this study is 100 students, based on proportional stratified random samplingtechnique. The result of this study shows that generally, YPSIM high school students have positive attitude toward multicultural education or 85 by percentage. While, 15 % of students have neutral attitude and no one in negative attitude.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada dasarnya, pendidikan adalah suatu upaya sadar dan terencana yang dilakukan untuk mengubah perilaku individu, agar dapat mencapai potensi terbaik dari dalam diri individu tersebut. Pendidikan sangat menentukan kualitas sumber daya manusia dalam suatu negara, serta turut menentukan kualitas pembangunan bangsa. Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ditegaskan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Kemdikbud, 2003).

(16)

konflik-konflik sosial yang terjadi disebabkan oleh kurangnya kemauan untuk menerima dan menghargai perbedaan ataupun ide orang lain. Kurangnya pemahaman tentang multikultur adalah salah satu penyebab dari beragam konfik di negeri ini (Gumono,2011;Muslimin, 2012).

Betapa banyak contoh-contoh yang terjadi di negara Indonesia, konflik yang menelan ratusan bahkan ribuan korban jiwa, dikarenakan adanya prasangka ataupun stereotip terhadap budaya lain (Gumono, 2011 ). Dimulai dari G30S/PKI, kekerasan terhadap etnis China di Jakarta tahun 1998, perang suku Dayak dan Madura tahun 2000, konflik di Papua, dan banyak lagi. Ditambah lagi dengan semakin maraknya pelajar yang melakukan tawuran. Hal ini mengindikasikan rendahnya rasa toleransi antara orang yang satu terhadap orang lain. Antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Nilai-nilai dan karakter bangsa seperti gotong royong, kerjasama, kekeluargaan, toleransi terasa semakin pudar. Apalagi saat ini, pengaruh globalisasi yang menawarkan budaya individualisme semakin menggerogoti nilai-nilai bangsa ini (Mania, 2010).

(17)

memupuk kembali nilai-nilai multikultural tersebut, yakni melalui pendidikan multikultural (Suparlan, 2002; Tan, 2006).

Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang berupaya mengembangkan potensi anak didik dengan prinsip kesetaraan. Artinya, pendidikan multikultural memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu dari berbagai latar belakang yang berbeda untuk mengecap bangku pendidikan. Pendidikan multikultural berupaya menekankan kesetaraan dalam keberagaman bagi setiap peserta didik sehingga diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai multikultural semenjak dini (Banks, dalam Amirin, 2012). Pendidikan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran siswa dengan berperilaku humanis, demokratis, dan pluralis, disamping memperhatikan aspek akademis siswa (YPSIM, 2012).

(18)

multikultural ini adalah sebuah on going process, artinya akan terus berkelanjutan hingga akhirnya tujuan dari pendidikan ini dapat terwujud (Wasitohadi, 2012).

Salah satu lembaga pendidikan di Indonesia yang telah menerapkan konsep pendidikan multikultural adalah Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda, yang terletak di Jl. Sunggal Medan. Yayasan yang telah berusia 25 tahun ini adalah Yayasan pendidikan yang didirikan oleh Sofyan Tan, dengan tujuan membangun putra/putri Indonesia yang cerdas, berakhlak mulia, dan menghargai kemajemukan. Semenjak berdiri pada tahun 1987, sekolah ini memiliki visi untuk mengatasi dua permasalahan sosial negeri ini, yakni kemiskinan dan diskriminasi. Kemiskinan yang menyebabkan warga miskin tidak mampu mengecap pendidikan, dan berbagai konflik yang disebabkan oleh perilaku diskriminasi dan prasangka. Sofyan Tan, selaku pendiri yayasan ini, meyakini bahwa kedua hal tersebut dapat dihilangkan lewat pendidikan. Sehingga diupayakanlah sekolah yang berkualitas bagi setiap orang, dan menerapkan pembelajaran yang menghargai kemajemukan (YPSIM, 2012).

(19)

pendopo dari lima agama besar di Indonesia untuk membiasakan anak didik melihat, menerima, dan menghargai perbedaan di sekitar mereka (Tempo, 2012).

Selain itu, para guru juga berupaya membangun kemampuan kerjasama dan kemampuan memecahkan masalah para siswa dengan membuat pembagian kelompok berdasarkan suku atau agama yang berbeda. Demikian pula dengan pembagian teman sebangku, diupayakan agar berbeda budaya. Dalam hal sosial ekonomi, sekolah ini juga berusaha menerima setiap siswa yang berasal dari sosial ekonomi tinggi maupun rendah. Bagi mereka yang kurang mampu, disediakan beasiswa dan juga orangtua asuh yang akan meringankan biaya pendidikan siswa tersebut (YPSIM, 2012).

Selama hampir 25 tahun, YPSIM telah mengimplementasikan dan mengintegrasikan pendidikan multikultural ke dalam setiap aspek pembelajaran maupun kebijakan sekolah, serta dalam perangkat pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Silabus untuk diterapkan dalam pembelajaran di kelas oleh semua tenaga pendidik di YPSIM. RPP dan Silabus yang dikembangkan sebagian mengadopsi pendidikan multikultural dan pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional, dan pihak sekolah mengembangkannya dengan menetapkan sejumlah nilai, deskripsi, serta indikator multikultural yang diterapkan di YPSIM (YPSIM, 2012).

(20)

sosial, tanggungjawab, kesetaraan gender, dan pluralisme. Nilai religius berkaitan dengan toleransi terhadap agama lain dan menjalankan ajaran agama masing-masing. Nilai jujur artinya menjadi seseorang yang dapat dipercaya. Nilai toleransi yang dimaksud adalah menghargai perbedaan yang ada dalam segala aspek. Nilai disiplin berkaitan dengan perilaku tertib dan patuh terhadap peraturan. Nilai kerja keras mencakup upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu. Nilai kreatif dan mandiri berkaitan dengan inovasi dan tidak bergantung pada orang lain. Nilai demokratis berkaitan dengan persamaan hak dan kewajiban tanpa membeda-bedakan. Nilai rasa ingin tahu berkaitan dengan keinginan untuk tahu lebih dalam tentang sesuatu.

(21)

Nilai dan indikator inilah yang menjadi acuan bagi setiap guru dalam merancang RPP dan Silabus dalam pembelajarannya. Guru dituntut untuk menerapkan pembelajaran bermuatan multikultural ini, tidak hanya pada pelajaran humaniora seperti IPS, tetapi juga pada pelajaran eksakta seperti IPA. Untuk bisa mengintegrasikan ke dalam pembelajaran, guru perlu melakukan analisis terhadap karakteristik mata pelajarannya, dan juga melihat kondisi yang ada di YPSIM (YPSIM, 2012).

The Center for Research on Education, Diversity, and Excellence

(CREDE) pada University of California, Berkeley, telah mengidentifikasi lima

standar penting untuk meningkatkan pembelajaran untuk siswa multikultur yakni: aktifitas produktifitas bersama, perkembangan bahasa, kontekstualisasi, percakapan instruksional, dan aktifitas menantang. Dalam aktifitas produktifitas bersama, guru dan siswa menghasilkan kerjasama yang memudahkan pembelajaran, khususnya ketika guru dan siswa berasal dari kelompok budaya berbeda. Dalam perkembangan bahasa, guru menolong siswa untuk menghubungkan bahasa ibu dengan pelajaran yang diajarkan melalui kegiatan berbicara, menulis, membaca, dan mendengar yang menolong siswa mengembangkan kemampuan literasi.

(22)

antara guru dan siswa dengan suatu tujuan akademis yang jelas untuk mengeksplorasi topik dan konsep tertentu dibanding hanya sekadar ceramah di depan siswa. Ke 18 nilai-nilai multikultural yang diterapkan di YPSIM telah tercakup secara implisit di dalam ke 5 standar tersebut.

YPSIM terdiri dari jenjang TK, SD, SMA, dan SMK. Hal ini menunjukkan bahwa yayasan ini berupaya untuk menanamkan nilai-nilai multikultural sejak dini kepada siswa. Di dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada siswa SMA yayasan SIM. Siswa SMA pada umumnya berusia 15-18 tahun. Masa SMA sebagai masa remaja merupakan masa yang rawan bagi individu. Studi menunjukkan bahwa siswa SMA sangat rentan menjadi pelaku bullying maupun tawuran. Kasus bullying yakni group bullying, dimana sekolompok siswa mem-bully siswa lain pada umumnya dilakukan oleh siswa SMA (Djati, 2008). Demikian pula dengan perilaku tawuran di kota-kota besar yang telah marak terjadi sejak awal tahun 70an umumnya dilakukan oleh siswa SMA. Pada umumnya perilaku tawuran sudah merupakan tradisi dari sekolah-sekolah yang melakukannya.

(23)

lunturnya nilai-nilai multikultural seperti nilai toleransi di dalam diri generasi muda Indonesia.

Dari beberapa siswa SMA yang diwawancarai peneliti, diungkapkan bahwa secara umum mereka merasa nyaman bersekolah di SMA YPSIM ini dan mendukung pembelajaran bermuatan multikultural yang diterapkan oleh sekolah. Salah satu diantaranya disebabkan oleh banyaknya jumlah kegiatan ekstrakurikuler yang dapat dipilih oleh setiap siswa dengan bebas seperti yang diungkapkan salah satu siswa di bawah ini,

“Kami senang kak sekolah di sini, ekskulnya banyak, gurunya enak ngajarnya, teman juga banyak di sini. ”

(komunikasi personal, 9 Desember 2013) Beberapa siswa yang diwawancarai peneliti mengungkapkan bahwa pada awalnya mereka belum mengetahui mengenai pembelajaran bermuatan multikultural yang diterapkan di YPSIM, namun seiring mereka menjalani pendidikan di sana, mereka merasakan manfaat pendidikan multikultural tersebut. Keragaman yang ada di sekolah ini dipandang sebagai suatu hal yang positif. Bahkan, dengan adanya pembelajaran berbasis multikultural yang diterapkan di sekolah mereka, salah satu siswa menyebutkan bahwa hal tersebut dapat menjadi modal yang baik bagi mereka untuk dapat beradaptasi dengan baik di dalam kemajemukan masyarakat Indonesia.

“Iyalah kak, disini kami diajari untuk saling menghargai perbedaan yang ada. Karena udah diajari dari sekarang, nantinya kami udah bisa beradaptasi sama perbedaan yang ada. Jadi modal buat kami untuk bergaul di masyarakat. ”

(24)

Beberapa siswa yang lain merasakan kurangnya kebersamaan diantara sesama siswa di sekolah mereka, kurang merasakan adanya manfaat dari pembelajaran yang diterapkan sekolah, sehingga cenderung tidak mendukung pembelajaran bermuatan multikultural seperti yang diungkapkan oleh Y dan H dalam wawancara di bawah ini,

"Yah, kalo kami kak masih kurang berbaur kalo yang di kelas saya. Masih banyaklah yang bertemannya, masih sesama suku atau sesama agama kak. Jadi sama teman yang lain cuma sekedar say hallo aja."

(komunikasi personal, 27 November 2014) "Kami emang diajarin kak saling menghargai diantara kami, tapi kalo yang namanya berantem kak, masih ada aja kak, terutama yang cowok-cowok ini. Biasanya ya karena hal-hal sepele aja sih. Namanya remaja kak, masih labil, hahhaa"

(25)

Sikap adalah bentuk evaluasi dan kecenderungan untuk bereaksi secara positif atau negatif yang relatif permanen terhadap objek sikap. Sikap terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen kognitif (cognitive), afektif

(affective), dan konatif (conative) (Azwar, 2013). Komponen kognitif terdiri dari

pemikiran seseorang tentang sebuah objek tertentu. Komponen kogtitif juga meliputi fakta, pengetahuan dan kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap apa yang benar dan apa yang berlaku pada objek sikap.

Komponen afektif terdiri dari emosi dan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap suatu stimulus, khususnya evaluasi positif dan negatif. Komponen afektif meliputi masalah sosial subjektif yang dirasakan oleh seseorang kepada suatu objek sikap. Komponen konatif atau perilaku merupakan tendensi atau kecenderungan untuk melakukan tindakan tertentu yang berhubungan dengan objek sikap. Komponen ini menunjukkan bagaimana kecenderungan seseorang untuk berperilaku terhadap sebuah objek sikap yang dihadapinya.

(26)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti ingin mengetahui hal yang dirumuskan dalam pertanyaan : Bagaimana gambaran sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sikap siswa SMA terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

E. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Memberikan tambahan literatur mengenai Psikologi Pendidikan, khususnya konsep pendidikan multikultural di Indonesia

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi kepada masyarakat dan akademisi mengenai konsep pendidikan multikultural dan dapat menjadi salah satu referensi untuk menerapkan pendidikan multikultural di sekolah.

(27)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah yang akan diteliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis dan sistematika penulisan yang akan digunakan dalam penelitian ini.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini akan menguraikan kepustakaan yang menjadi landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Dalam penelitian ini teori yang akan digunakan adalah teori sikap. Bab III : Metode Penelitian

Bab ini berisikan uraian mengenai metode penelitian yang akan digunakan oleh peneliti, yaitu identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, instrument yang akan digunakan, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.

Bab IV: Analisa Data dan Pembahasan

(28)

Bab V: Kesimpulan dan Saran

(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SIKAP

1. Definisi Sikap

Sikap atau attitude dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin yaitu

aptus. Kata ini memiliki arti fit atau siap untuk beraksi. Jika mengacu pada

definisi ini, maka sikap merupakan sesuatu yang langsung dapat diobservasi. Namun saat ini, para ahli melihat sikap sebagai sebuah konstruk yang mengawali perilaku dan sebagai panduan individu dalam membuat pilihan dan keputusan untuk melakukan tindakan (Hogg & Vaughan, 2002).

Baron & Byrne mendefenisikan sikap sebagai bentuk evaluasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap berbagai aspek yang ada di dunia sosial dan bagaimana evaluasi tersebut dapat memunculkan rasa suka atau tidak suka seseorang terhadap sebuah isu, ide, seseorang, kelompok sosial dan objek yang dievaluasi (Baron & Byrne, 2004).

(30)

berperilaku terhadap suatu objek. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah bentuk evaluasi dan kecenderungan untuk bereaksi secara positif atau negatif yang relatif permanen dan merupakan hasil interaksi dari komponen kognitif, afektif dan konatif.

2. Komponen Sikap

Menurut skema triadik, sikap terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen kognitif (cognitive), afektif (affective), dan konatif

(conative) (Azwar, 2013).

a. Komponen Kognitif

Komponen kognitif terdiri dari pemikiran seseorang tentang sebuah objek tertentu. Komponen kogtitif juga meliputi fakta, pengetahuan dan kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap apa yang benar dan apa yang berlaku pada objek sikap. Ketika kepercayaan ini telah terbentuk, maka kepercayaan ini akan menjadi dasar pengetahuan yang diyakini oleh seseorang tentang apa yang dapat diharapkan dari sebuah objek tertentu. Kepercayaan inilah yang menyederhanakan dan mengatur apa yang kita lihat dan temui dalam hidup kita.

b. Komponen Afektif

(31)

pribadi yang dimiliki oleh seseorang itu terkadang jauh berbeda jika dihubungkan dengan sikap. Secara umum, reaksi emosional yang merupakan komponen afektif banyak dipengaruhi oleh sebuah kepercayaan mengenai sesuatu yang benar dan berlaku terhadap objek yang dimaksud.

c. Komponen Konatif atau Perilaku

Komponen konatif atau perilaku merupakan tendensi atau kecenderungan untuk melakukan tindakan tertentu yang berhubungan dengan objek sikap. Komponen ini menunjukkan bagaimana kecenderungan seseorang untuk berperilaku terhadap sebuah objek sikap yang dihadapinya. Kecenderungan seseorang untuk berperilaku terhadap objek sikap cenderung konsisten dan juga sesuai dengan kepercayaan dan perasaan yang akan membentuk sikap individu. Oleh karenanya, sangat masuk akal apabila kita mengharapkan bahwa sikap seseorang akan dicerminkan atau dimunculkannya dalam bentuk tendensi perilaku terhadap objek sikap tersebut.

3. Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Azwar (2013) menyimpulkan bahwa ada enam hal yang dapat mempengaruhi sikap seseorang, yaitu:

a. Pengalaman pribadi

(32)

sikap tersebut. Agar pengalaman dapat dijadikan dasar dalam pembantukan sikap, pengalaman tersebut harus sangat kuat dan meninggalkan kesan yang cukup kuat.

Sikap lebih mudah terbentuk jika pengalaman pribadi yang terjadi ikut melibatkan faktor emosional dari individu itu sendiri. Namun, pembentukan sikap dari pengalaman pribadi ini tidaklah sederhana, dimana satu pengalaman tunggal belum tentu dijadikan dasar dalam pembentukan sikap. Namun beberapa pengalaman yang dialami oleh individu yang bersifat relevan dan bisa saja terjadi di masa lalu yang mungkin dapat membentuk sikap.

b. Pengaruh orang yang dianggap penting

Sikap juga dapat dipengaruhi oleh significant others, yaitu orang-orang yang dianggap penting dan memiliki arti khusus pada seorang individu. Secara umum, individu akan lebih cenderung untuk memilih sikap yang sesuai atau searah dengan significant others yang dianggapnya penting. Hal ini dapat dikarenakan adanya motivasi untuk berafiliasi dengan orang tersebut ataupun dilakukan dikarenakan individu tersebut berusaha menghindari konflik yang mungkin terjadi antara dia dan orang yang dianggapnya penting.

c. Pengaruh kebudayaan

Disadari ataupun tidak, sikap seorang individu dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan kebudayaan di tempat ia tinggal. Kebudayaan menanamkan bagaimana arah sikap seorang individu terhadap barbagai macam masalah.

d. Media massa

(33)

utamanya, media masa juga membawa pesan yang bersifat sugesti yang mungkin mengarahkan opini seseorang.

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan dan lembaga agama merupakan pendidikan dasar yang meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Konsep moral dan ajaran agama sangat berperan penting dalam membentuk kepercayaan yang dirasakan oleh individu tersebut. Hal ini juga dapat membentuk dan menentukan arah sikap pada seorang individu terhadap objek sikap.

f. Pengaruh faktor emosional

Sikap tidak hanya ditentukan oleh faktor lingkungan saja, namun sikap dapat juga dipengaruhi oleh faktor emosional dari diri individu itu sendiri. Terkadang sikap didasari oleh emosi yang dimiliki oleh individu itu sendiri. Dimana emosi itu dapat juga membentuk arah sikap pada seseorang.

B. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

1.Defenisi Pendidikan Multikultural

(34)

Sedangkan menurut Gollnick & Chinn (2013), pendidikan multikultural merupakan suatu konsep yang mengakui pentingya perbedaan di dalam kehidupan peserta didik serta mendorong kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan. Disadari bahwa, budaya dari setiap individu mempengaruhi keseluruhan hidup individu tersebut. Budaya mendefenisikan siapa manusia. Budaya mempengaruhi bagaimana individu makan, berpakaian, berbicara, berpikir, dan lain sebagainya. Di dalam konteks pendidikan, siswa berasal dari budaya yang berbeda-beda. Tidak semua siswa dapat diajari dengan cara yang sama. Guru perlu menyadari bahwa budaya dari setiap siswa akan mempengaruhi bagaimana mereka belajar, dan setiap siswa memiliki perbedaan kebutuhan, kemampuan dan pengalaman.

Gollnick & Chinn (2013) menyatakan beberapa dasar-dasar dari pendidikan multikultural ini adalah:

a. mengakui bahwa setiap budaya memiliki kekuatan dan nilai

b. sekolah haruslah menjadi model dari ekspresi hak-hak manusia serta dalam menghargai perbedaan antar budaya dan kelompok.

c. kesetaraan dan keadilan menjadi yang terpenting di dalam kurikulum d. sikap dan nilai yang diperlukan dalam berpartisipasi di masyarakat harus

dipromosikan di sekolah.

e. guru adalah kunci untuk pembelajaran siswa (pengetahuan, watak, skill) untuk menjadi masyarakat produktif.

(35)

2. Sejarah Pendidikan Multikultural

Gollnick & Chinn (2013), di dalam bukunya yang berjudul Multicultural

Education in a Pluralistic Society memaparkan sejarah dari pendidikan

multikultural. Pada awalnya, pendidikan multikultural bertujuan untuk menghargai para imigran yang ada di Eropa dan Amerika, dengan tujuan kesatuan nasional dan sebagai kontrol sosial. Pada tahun 60an, anak-anak dari keluarga miskin dan berkulit gelap kerap dicela dan tidak mendapatkan hak untuk memperoleh pendidikan. Hal ini akhirnya melahirkan Head Start, yaitu program pendidikan bagi mereka yang dianggap sebagai culturally deficit atau tidak memiliki budaya. Namun pada tahun 70an, mulailah mereka dianggap sebagai

culturally different atau memiliki budaya yang berbeda dari budaya dominan.

Mulai diajarkan, agar kaum mayoritas dapat bergabung dengan kaum minoritas. Namun, saat itu, kaum disable masih tetap dibedakan.

(36)

3. Pembelajaran Bermuatan Multikultural

Gollnick & Chinn (2013) menyatakan bahwa, di dalam pendidikan multikultural, guru harus memperhatikan bahwa setiap siswa belajar dengan memperhatikan perbedaan yang ada pada siswa. Guru harus mengenali beberapa siswa yang tidak mau belajar, menarik diri, dan menerapkan berbagai strategi yang tepat bagi setiap siswa. Guru harus mencoba berbagai cara untuk menolong siswa untuk belajar dan menghargai pembelajaran.

The Center for Research on Education, Diversity, and Excellence

(CREDE) pada University of California, Berkeley, telah mengidentifikasi lima

standar penting untuk meningkatkan pembelajaran untuk siswa multikultur : a. Aktifitas Produktifitas Bersama (Joint Productivity Activity)

Guru dan siswa menghasilkan kerjasama yang memudahkan pembelajaran, khususnya ketika guru dan siswa berasal dari kelompok budaya berbeda. Untuk tujuan ini, guru dan siswa harus bekerjasama untuk sebuah proyek. Dalam sebuah proyek, guru membagi siswa ke dalam kelompok berdasarkan kriteria yang berbeda, seperti minat, ragam budaya, ragam kemampuan. Guru mengawasi dan mendorong interaksi diantara siswa serta dengan dirinya, selama bekerjasama untuk memecahkan masalah atau sebuah proyek.

b. Perkembangan Bahasa (Language Development)

(37)

menghargai bahasa ibu dan dialek semua siswa dan mendorong mereka untuk tetap menggunakan bahasa ibu mereka dalam proses pembelajaran. Guru menolong siswa untuk menghubungkan bahasa ibu dengan pelajaran yang diajarkan melalui kegiatan berbicara, menulis, membaca, dan mendengar yang menolong siswa mengembangkan kemampuan literasi.

c. Kontekstualisasi (Contextualisation)

Dalam hal ini, guru menghubungkan pengajaran dan kurikulum dengan kehidupan siswa, sehingga setiap pengajaran itu memberikan makna bagi siswa. Guru perlu menghubungkan informasi yang baru dengan pengalaman siswa, bukan dengan pengalaman guru. Dengan terlibat dalam komunitas sekolah dan dengan orangtua siswa, guru dapat mengembangkan dasar pengetahuan mereka mengenai budaya dan pengalaman siswa mereka, yang mungkin sangat berbeda dari guru.

d. Percakapan Instruksional (Instructional Conversation)

(38)

e. Aktifitas Menantang (Challenging Activities)

Mengajarkan pemikiran kompleks menantang siswa untuk mengembangkan kompleksitas kognitif. Beberapa guru mungkin tidak memberikan kesempatan yang sama bagi siswa-siswa yang memiliki status sosial ekonomi rendah, disabilitas, karena anggapan mereka mungkin sudah memiliki berbagai tantangan di dalam pengalaman hidup mereka atau dianggap tidak dapat menghadapi tantangan yang sama dengan teman mereka yang lain. Seringkali, siswa-siswa tersebut justru diberikan tugas-tugas yang berulang, latihan yang tidak menarik dan membosankan. Guru harus memberikan standar yang menantang semua siswa, yang memicu siswa untuk semakin memahami suatu topik pembelajaran.

Kunci untuk menolong siswa belajar adalah dengan menghubungkan kurikulum dengan budaya dan pengalaman nyata siswa. Siswa harus dapat melihat diri mereka sendiri dalam kurikulum yang diajarkan untuk memberikan makna dari setiap hal yang diajarkan dalam kehidupan mereka. Sebaliknya, mungkin saja mereka bisa menolak pembelajaran yang ditawarkan karena dipandang sebagai budaya dominan yang kurang sesuai dengan budaya mereka. Peneliti di CREDE telah menggunakan dan menguji standar ini di berbagai sekolah dengan berbagai populasi.

C. YAYASAN PERGURUAN SULTAN ISKANDAR MUDA

(39)

Sofyan Tan. Sejak awal didirikan, Yayasan ini sudah memiliki visi untuk mengatasi dua permasalahan besar yang ada di Indonesia yakni kemiskinan, dan diskriminasi yang merugikan masyarakat marjinal di Indonesia. Sofyan Tan percaya bahwa kondisi tersebut dapat diatasi lewat pendidikan. Kemiskinan yang dikarenakan oleh kebodohan dapat berkurang jika generasi muda mendapatkan akses pendidikan pendidikan yang murah dan berkualitas. Inilah yang menjadi kerinduan sang pendiri, agar generasi muda Indonesia dapat bersekolah dengan mutu dan fasilitas yang baik tanpa membeda-bedakan (YPSIM, 2012).

Yayasan ini didirikan dengan prinsip memberikan kesempatan kepada semua anak bangsa, tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, gender dan tingkat sosial dan ekonomi untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Pendidikan berkualitas yang ditawarkan adalah pendidikan yang mengedepankan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tetap memprioritaskan pembelajaran budi pekerti dan pembentukan karakter anak yang berpedoman pada nilai-nilai saling menghargai, saling menghormati dan gotong royong di dalam bingkai keberagaman (YPSIM, 2012).

(40)

komunikasi, Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda juga menyediakan berbagai fasilitas olahraga, seni, radio dan juga simpul siswa. Selain itu, di lingkungan sekolah juga berdiri pendopo sebagai tempat diskusi dan pertemuan yang terbuka, juga mesjid, vihara dan gereja sebagai tempat ibadah dari para anak didik, guru, staf dan orang tua murid (YPSIM, 2012).

Untuk siswa yang kurang mampu secara ekonomi, yayasan ini mengadakan program anak asuh silang dengan sistem silang dan berantai, yaitu program yang bertujuan untuk memberikan beasiswa bagi anak yang kurang mampu, serta bertujuan untuk meminimalisir prasangka terhadap kelompok etnis atau agama tertentu dengan memasangkan anak dan orangtua asuh yang berbeda etnis maupun agama. Misalnya, anak beretnis Jawa mendapatkan orangtua asuh beretnis Batak, dan sebagainya. Sedangkan bagi mereka yang tidak lulus anak asuh, YPSIM memberikan alternatif pengurangan uang sekolah yang tercipta dengan adanya inisiatif subsidi silang yang dilakukan. Hal ini menunjukkan inisiatif YPSIM untuk turut melibatkan pihak orangtua dan masyarakat luas untuk turut serta menyukseskan pendidikan multikultural di Indonesia (YPSIM, 2012).

(41)

pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas. Sebagai contoh, dalam pelajaran IPA SD, ketika mempelajari bahwa pohon menghasilkan oksigen, guru menambahkan ilustrasi, bahwa mungkin saja pohon tersebut terdapat di rumah keluarga orang Batak, namun oksigen tersebut tetap dapat dirasakan oleh tetangga mereka yang adalah orang Jawa. Dalam hal ini guru mengajarkan arti berbagi tanpa membeda-bedakan. Ini adalah contoh kecil yang dapat diterapkan oleh guru di YPSIM dalam mengajarkan siswa untuk menjadi pribadi yang menghargai keberagaman (YPSIM, 2012).

YPSIM telah merancang pedoman pembelajaran yang disusun berdasarkan sejumlah nilai, deskripsi, maupun indikator yang menjadi acuan kompetensi yang harus dicapai siswa dalam pembelajaran multikultural. Nilai-nilai tersebut yang akhirnya dipakai untuk kemudian merancang Rencana Kegiatan Harian (bagi tingkat TK), serta Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (bagi tingkat SD, SMP, SMA/SMK). Dengan adanya RKH, RPP, dan Silabus inilah guru dapat mengintegrasikan nilai dan indikator multikultural ke dalam setiap pembelajaran di kelas.

(42)

D. SIKAP SISWA TERHADAP PEMBELAJARAN BERMUATAN

MULTIKULTURAL (STUDI PADA SISWA SMA YAYASAN

PERGURUAN SULTAN ISKANDAR MUDA KOTA MEDAN)

Sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural, khususnya bagi siswa SMA di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda merupakan bentuk evaluasi siswa SMA terhadap pembelajaran bermuatan multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda yang didasarkan pada persepsi, perasaan dan kecenderungan untuk berperilaku. Dalam hal ini, pembelajaran bermuatan multikultural adalah pembelajaran yang diterapkan pada SMA YPSIM, yang memuat nilai-nilai atau indikator multikultural pada yayasan tersebut. Adapun nilai dan indikator yang dipakai dalam pembelajaran multikultural di YPSIM adalah sebagai berikut: : nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, nasionalisme, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggungjawab, kesetaraan gender, dan pluralisme.

(43)

Nilai disiplin mencakup perilaku tertib dan patuh pada berbagai peraturan dan yang berlaku di sekolah dan di luar sekolah. Nilai kerja keras mencakup upaya siswa yang sungguh-sungguh dalaam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas. Nilai kreatif dan mandiri mencakup berpikir dan melakukan sesuatu dengan menggunakan cara yang baru dan inovatif serta tidak mudah bergantung pada orang lain dalam pelaksanaan suatu tugas. Nilai demokratis ditunjukkan oleh cara berpikir, bersikap dan bertindak yang memberikan kesempatan yang sama bagi dirinya dan orang lain dalam berekspresi, memberikan pendapat, menjalankan hak dan kewajiban tanpa membeda-bedakan.

(44)

berupaya mencegah kerusakan alam dan upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

Nilai peduli sosial dan kesejahteraan ditunjukkan oleh kerelaan memberi bantuan pada setiap orang yang membutuhkan. Nilai tanggungjawab ditunjukkan dari sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajiban yang harus dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, negara, dan Tuhan. Nilai kesetaraan gender mencakup sikap dan perilaku yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban dalam lingkungan keluarga, sekolah dam masyarakat. Nilai pluralisme ditunjukkan oleh sikap dan perilaku yang mampu mengakui, memahami, dan menghargai berbagai perbedaan yang meliputi perbedaan suku, ras, agama, gender, status sosial, status ekonomi, kondisi fisik, kemampuan akademis, bahasa.

Nilai-nilai tersebut secara implisit telah tercakup dalam ke 5 standar penting untuk meningkatkan pembelajaran untuk siswa multikultur yang telah diidentifikasi oleh The Center for Research on Education, Diversity, and

Excellence (CREDE) pada University of California, Berkeley, yakni: aktifitas

(45)

Dalam kontekstualisasi guru menghubungkan pengajaran dan kurikulum dengan kehidupan siswa, sehingga setiap pengajaran itu memberikan makna bagi siswa. Dalam aktifitas menantang, guru harus memberikan standar yang menantang semua siswa, yang memicu siswa untuk semakin memahami suatu topik pembelajaran. Dalam percakapan instruksional, guru menggunakan dialog antara guru dan siswa dengan suatu tujuan akademis yang jelas untuk mengeksplorasi topik dan konsep tertentu dibanding hanya sekadar ceramah di depan siswa.

Azwar (2013) menyatakan bahwa seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap suatu objek ketika kepercayaan, perasaan dan prilaku mereka menunjukkan bahwa mereka memihak atau favorability terhadap objek, sebaliknya seseorang mempunyai sikap negatif terhadap objek ketika kepercayaan, perasaan dan perilaku mereka menunjukkan mereka tidak berpihak atau unfavorability terhadap objek. Ada tiga komponen yang terkait dengan sikap, yaitu komponen kognitif, afektif, dan psikomotorik. Komponen kognitif merupakan bagian sikap siswa SMA yang muncul berdasarkan kognisi dan persepsi atau kepercayaan mereka terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

Secara umum, komponen kognitif menjawab pertanyaan mengenai apa yang diyakini dan dipikirkan siswa SMA YPSIM terhadap pembelajaran bermuatan multikultural, yang di dalam hal ini diukur dengan 5 standar pembelajaran muktikultural yang telah diidentifikasi oleh The Center for Research

(46)

Berkeley, yakni: aktifitas produktifitas bersama, perkembangan bahasa, kontekstualisasi, percakapan instruksional, dan aktifitas menantang.

Dalam aktifitas produktif bersama, salah satu contoh aspek kognitif dari standar ini adalah murid setuju bahwa guru selalu menolong siswa ketika menghadapi tugas yang rumit. Dalam perkembangan bahasa, salah satu contoh aspek kognitif dari standar ini adalah murid yakin bahwa guru dan teman-teman tidak akan mengejek dialeknya ketika berbicara. Dalam kontekstualisasi, salah satu contoh aspek kognitif dari standar ini adalah murid setuju bahwa guru sering mengaitkan topik pembelajaran dengan pengalaman nyata murid. Dalam percakapan instruksional, salah satu contoh aspek kognitif adalah guru meminta murid untuk aktif berbicara menyampaikan pendapat. Contoh aspek kognitif dari aktifitas menantang yaitu guru tugas tambahan yang lebih rumit agar merangsang kreatifitas murid.

Komponen afektif merupakan bagian dari sikap siswa SMA YPSIM yang muncul berdasarkan apa yang mereka rasakan terhadap pembelajaran bermuatan multikultural di sekolah. Secara umum komponen ini menimbulkan evaluasi emosional seseorang terhadap objek sikapnya, yakni ke 5 standar pembelajaran muktikultural yang telah diidentifikasi oleh The Center for Research

on Education, Diversity, and Excellence (CREDE) pada University of California,

Berkeley, yakni: aktifitas produktifitas bersama, perkembangan bahasa,

(47)

Contoh aspek afektif dari standar perkembangan bahasa adalah murid merasa senang karena guru dan teman-teman menghargai bahasa ibunya. Contoh aspek afektif dari standar kontekstualisasi adalah murid merasa tertarik belajar suatu topik ketika guru mengaitkan topik tersebut dengan pengalaman mereka sehari-hari. Contoh aspek afektif dari standar percakapan instruksional adalah murid suka ketika guru meminta mereka menceritakan pengalaman terkait topik tertentu. Contoh aspek afektif dari standar aktifitas menantang misalnya, murid merasa tertarik untuk menyelesaikan tugas tambahan yang diberikan guru.

Komponen konatif atau perilaku merupakan kecenderungan berperilaku sebagai reaksi terhadap objek sikap. Komponen ini menjawab pertanyaan bagaimana siswa SMA YPSIM bertindak dan berperilaku terhadap pembelajaran bermuatan multikultural yang diterapkan di sekolah mereka, yang diukur dengan menggunakan 5 standar pembelajaran muktikultural yang telah diidentifikasi oleh

The Center for Research on Education, Diversity, and Excellence (CREDE) pada

University of California, Berkeley, yakni: aktifitas produktifitas bersama,

(48)

percakapan instruksional adalah murid tidak sungkan untuk menyampaikan pendapat di dalam kelas. Contoh aspek konatif dari aktifitas menantang adalah murid akan mengerjakan tugas tambahan dengan sebaik-baiknya.

Sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural tentu beragam, yaitu sikap positif, sikap negatif, dan sikap netral. Sikap positif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural dapat terbentuk, mungkin disebabkan oleh faktor keluarga, misalnya karena orangtua terbiasa menanamkan pentingnya toleransi terhadap orang lain sejak dini. Ketika orang tua atau orang-orang terdekat memiliki sikap yang positif maka orang tersebut juga memiliki kecenderungan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Sikap positif dapat juga disebabkan karena faktor guru-guru di sekolah yang berhasil menanamkan konteks multikultural ini dengan cara yang menyenangkan dan tidak memaksa. Dapat disimpulkan bahwa sikap positif yang diperlihatkan akan menggambarkan kesesuaian persepsi, perasaan dan perilaku terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

(49)
(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif, dengan metode deskriptif. Menurut Azwar (2010), penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi dan mengenai bidang tertentu. Data yang dikumpulkan semata-mata deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi. Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan bagaimana sikap siswa SMA Yayasan Sultan Iskandar Muda terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL

Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sikap terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

B. DEFINISI OPERASIONAL

(51)

bahasa, kontekstualisasi, percakapan instruksional, dan aktifitas menantang. Ke 5 standar tersebut telah memuat 18 nilai yang dipakai oleh YPSIM dalam menerapkan pembelajaran bermuatan multikultural. Sikap siswa yang diukur didasarkan pada 3 komponen sikap yaitu :

a. Komponen kognitif yaitu persepsi mereka terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

b. Komponen afektif berkaitan dengan apa yang dirasakan terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

c. Komponen konatif menunjukkan kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

Skor tinggi yang diperoleh oleh individu pada skala sikap menunjukkan subjek memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural. Sedangkan skor rendah menunjukkan subjek memiliki sikap negatif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

C. POPULASI, SAMPEL DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL

1. Populasi dan Sampel

(52)

populasi. Maka dari itu, yang perlu diperhatikan adalah sampel yang diambil dalam penelitian harus mencerminkan populasinya, sehingga sampel dapat digeneralisasikan terhadap populasinya.

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA Yayasan Sultan Iskandar Muda. Jumlah populasi yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak ±582 orang. Dikarenakan keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti melakukan penelitian pada sebagian dari populasi yang disebut sampel.

2. Metode Pengambilan Sampel

Menurut Purwanto (2007), sebelum pengumpulan data dilakukan maka harus ditentukan apakah data dikumpulkan dari populasi secara keseluruhan atau hanya dari sebagian sampelnya. Apabila data dikumpulkan dari sampel, maka perlu dilakukan penarikan sampel. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik random sampling (pengambilan sampel secara acak). Teknik

random sampling dilakukan dengan jalan memberi kemungkinan yang sama bagi

individu yang menjadi anggota sampel penelitian.

Teknik random sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah

proportional stratified random sampling (teknik sampling acak berstrata

(53)

setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Adapun karakteristik populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah terdaftar sebagai siswa SMA YPSIM.

3. Jumlah Sampel yang Digunakan

Tidak ada batasan mengenai jumlah sampel yang harus digunakan dalam sebuah penelitian. Azwar (2009) menyatakan secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel lebih dari 60 orang sudah cukup banyak. Sudjana (1992) mengemukakan enam alasan melakukan sampling adalah karena pertimbangan ukuran populasi, faktor biaya, faktor waktu, percobaan yang sifatnya merusak/mengganggu, faktor kecermatan penelitian, faktor ekonomis. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka jumlah sampel yang akan digunakan adalah sebanyak 100 siswa SMA YPSIM.

D. ALAT UKUR YANG DIGUNAKAN

(54)

1. Skala Psikologi

Skala psikologi adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan konstruk konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2009).

Metode skala psikologi memiliki beberapa karakteristik yaitu:

a. Stimulasinya tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkapkan indikator perilaku dari atribut yang hendak diukur.

b. Skala psikologi selalu berisi banyak aitem dan kesimpulan akhir didapat apabila semua aitem telah direspon.

(55)

Pengambilan data dalam uji coba penelitian yang dilakukan menggunakan skala sikap dengan blue print sebagai berikut:

Tabel 1. Blue Print Skala Sikap sebelum Try Out

N

(56)

2. Validitas Alat Ukur

Azwar (2009) mendefinisikan validitas alat ukur adalah sejauhmana suatu alat tes mampu mengukur atribut yang seharusnya diukur. Dalam penelitian ini, uji validitas yang digunakan adalah uji validitas berdasarkan validitas isi (content

validity). Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian

terhadap isi tes dengan analisis rasional atau melalui pendapat profesional

(profesional judgement) dalam proses telaah pernyataan. Pendapat profesional

diperoleh dengan cara berkonsultasi dengan dosen pembimbing.

3. Reliabilitas Alat Ukur

Menurut Azwar (2009), reliabilitas tes adalah proporsi variabilitas skor tes yang disebabkan oleh perbedaan yang sebenarnya diantara individu, sedangkan ketidakreliabelan adalah proporsi variabilitas skor tes yang disebabkan oleh error dalam pengukuran. Reliabilitas tes mangacu pada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran.

Uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode konsistensi internal. Konsistensi internal merupakan metode penyajian tunggal yang menguji konsistensi antar aitem dalam suatu tes. Prosedur pengujian yang digunakan adalah koefisien reliabilitas alpha (koefisien alpha cronbach). Data untuk menghitung koefisien reliabilitas alpha diperoleh melalui penyajian suatu bentuk skala yang dikenakan hanya sekali saja pada kelompok responden (

single-trial administration). Reliabilitas dinyatakan dengan koefisien reliabilitas yang

(57)

koefisien yang semakin mendekati angka 0 berarti memiliki reliabilitas yang rendah (Azwar, 2009).

Kriteria pemilihan aitem dilakukan berdasarkan korelasi aitem total dengan batasan rix ≥ 0,30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30, daya pembedanya dianggap memuaskan. Teknik koefisien alpha untuk menguji reliabilitas alat ukur dihitung dengan bantuan program SPSS versi 17.

E. HASIL UJI COBA ALAT UKUR

Tujuan dilakukannya uji coba alat ukur adalah untuk mengetahui sejauh mana alat ukur dapat mengungkap dengan tepat apa yang ingin diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan atau ketelitian pengukuran atau dengan kata lain dapat menunjukkan keadaan sebenarnya (Azwar, 2009). Uji coba dilakukan pada 105 siswa SMA YPSIM Medan. Terdapat 54 aitem dalam skala sikap. Kriteria pemilihan aitem dilakukan berdasarkan korelasi aitem total dengan batasan rix ≥ 0,30. Namun peneliti menurunkan koefisien korelasi menjadi ≥ 0,25 karena banyaknya aitem yang gugur. Hasil try out menunjukkan bahwa ada 33 aitem yang memuaskan dengan koefisien korelasi antara 0,254 – 0,590 dan realibilitas skala 0,872. Blue Print aitem yang lulus uji coba tertera dalam tabel berikut ini:

Tabel 2. Blue Print Skala Sikap setelah Try Out

(58)

2 Perkembangan

Berdasarkan pertimbangan dari peneliti, maka diputuskan untuk tidak menggunakan seluruh aitem yang diterima dan menetapkan untuk menggunakan 27 aitem dalam skala penelitian. Adapun alasannya adalah karena ke 27 aitem tersebut telah mewakili ke 5 standar pembelajaran tersebut. Kemudian peneliti memilih aitem-aitem yang daya bedanya paling tinggi untuk dapat digunakan dalam pengambilan data yang sebenarnya. Selanjutnya peneliti melakukan penomoran aitem yang baru untuk skala penelitian yang sebenarnya seperti yang tertera dalam tabel berikut ini:

Tabel 3. Blue Print Skala Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural Yang Dipakai oleh Peneliti

No Komponen Objek Sikap

Komponen Sikap

Aitem Jumlah Total

(59)

Bahasa Afektif 25 1

F. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN

Prosedur pelaksanaan dalam penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengolahan data.

1. Tahap persiapan penelitian

Tahap persiapan ini terdiri dari: a. Meminta izin melakukan penelitian

Sebelum penelitian dilakukan, peneliti terlebih dahulu meminta izin kepada pihak SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda untuk melakukan penelitian dan pengambilan data di sekolah tersebut.

b. Pembuatan alat ukur

(60)

Pada tahap ini, peneliti membuat skala sikap berisi 54 aitem dan melakukan validitas isi dengan menggunakan profesional judgement.

c. Uji coba alat ukur

Setelah alat ukur disusun, maka tahap selanjutnya adalah melakukan uji coba alat ukur. Peneliti melakukan uji coba penelitian pada tanggal 3 Maret 2014 kepada 105 siswa SMA YPSIM Medan. Setelah melakukan uji coba maka peneliti melakukan uji reliabilitasnya dengan menggunakan alpha cronbach. Lalu peneliti melakukan revisi alat ukur dengan mengambil aitem yang lulus uji untuk dijadikan skala sikap. Skala yang telah direvisi inilah digunakan untuk mengambil data dalam penelitian.

2. Tahap pelaksanaan penelitian

Setelah alat ukur direvisi, maka penelitian dilaksanakan pada subjek yang memenuhi kriteria dalam penelitian. Penelitian ini dilakukan di YPSIM dengan melibatkan siswa SMA YPSIM pada tanggal 17 Maret 2014. Pengambilan data dilakukan dengan menyebar skala sikap. Peneliti meminta kesediaan subjek untuk mengisi skala, kemudian peneliti memberikan instruksi dan memberikan penjelasan mengenai cara pengisian skala.

3. Tahap pengolahan data penelitian

(61)

G. METODE ANALISIS DATA

Data yang diperoleh melalui skala sikap dianalisis dengan metode statistik. Azwar (2010) menyatakan bahwa penelitian deskriptif menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh. Data yang diolah adalah skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Azwar (2010) menyatakan bahwa uraian kesimpulan dalam penelitian deskriptif didasari oleh angka yang diolah secara tidak terlalu mendalam. Data yang diperoleh akan diolah dengan analisis statistik dengan menggunakan program

SPSS version 17 for Windows.

Sebelum dilakukan analisis data terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian yaitu uji normalitas. Uji normalitas dimaksudkan untuk menguji apakah data yang dianalisis sudah terdistribusi sesuai dengan prinsip-prinsip distribusi normal agar dapat digeneralisasikan terhadap populasi. Uji normalitas pada penelitian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa data yang berupa skor – skor yang diperoleh dari hasil penelitian tersebar sesuai dengan kaidah normal. Pada penelitian ini uji normalitas dilakukan dengan teknik One-Sample

Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan program komputer IBM SPSS Statistics 17. Data

(62)

B

AB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menguraikan gambaran umum subjek penelitian, hasil yang berkaitan dengan analisis data serta pembahasan dari hasil yang diperoleh.

A. Analisis Data

1. Gambaran Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 100 siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan. Dari 100 siswa yang menjadi sampel penelitian diperoleh gambaran subjek berdasarkan usia, jenis kelamin, kelas, suku, dan agama yang dianut.

b. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Pengelompokan subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin sebagaimana disajikan dalam tabel 4 menunjukkan bahwa siswa laki-laki di dalam penelitian ini berjumlah 34 orang (34%), dan siswa perempuan berjumlah 66 orang (64%).

Tabel 4. Persentase Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

b. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Usia

Pengelompokan subjek penelitian berdasarkan usia sebagaimana disajikan dalam tabel 5 menunjukkan bahwa siswa yang berusia 14 tahun sebanyak 2 orang (2%). Siswa berusia 15 tahun sebanyak 25 orang (25%). Siswa berusia 16 tahun

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Perempuan 66 66

Laki-laki 34 34

(63)

ada sebanyak 30 orang (30%). Siswa berusia 17 tahun sebanyak 33 orang (33%). Siswa berusia 18 tahun ada 10 orang (10%).

Tabel 5. Persentase Subjek Berdasarkan Usia

Usia Frekuensi Persentase (%)

14 2 2

15 25 25 16 30 30 17 33 33 18 10 10

Total 100 100

c. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Tingkatan Kelas

Pengelompokan subjek penelitian berdasarkan tingkatan kelas sebagaimana disajikan dalam tabel 6 menunjukkan bahwa siswa kelas X dan kelas XII memiliki jumlah yang sama yakni sebanyak 35 orang (35%). Sedangkan siswa kelas XI berjumlah 30 orang (30%).

Tabel 6. Persentase Subjek Berdasarkan Tingkatan Kelas

Kelas Frekuensi Persentase (%)

X 35 35 XI 30 30

XII 35 35

Total 100 100

d. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Agama yang Dianut

(64)

Tabel 7. Persentase Subjek Berdasarkan Agama yang Dianut

Agama Frekuensi Persentase (%)

Islam 56 56

Kristen 30 30

Buddha 11 11

Katolik 3 3

Total 100 100

e. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Suku

Pengelompokan subjek penelitian berdasarkan suku sebagaimana disajikan dalam tabel 8 menunjukkan bahwa suku yang terbanyak dari subjek penelitian adalah suku Batak, yakni sebanyak 36 orang (36 %), diikuti oleh suku Jawa sebanyak 20 orang (20%), lalu suku Tionghoa sebanyak 18 orang (18%), dan sisanya adalah suku lain-lain sebanyak 26 orang (26%). Suku lainnya mencakup suku Aceh (7 orang), suku Melayu (7 orang), suku India (1 orang), suku Padang (3 orang), suku Nias (4 orang), suku Makassar (2 orang), suku Ambon (1 orang), dan suku Alas (1 orang).

Tabel 8. Persentase Subjek Berdasarkan Suku

Suku Frekuensi Persentase (%)

Batak 36 36

Jawa 20 20

Tionghoa 18 18

Lainnya* 26 26

Total 100 100

2. Hasil Penelitian

(65)

multikultural dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan model distribusi normal, yaitu sikap positif, netral, dan negatif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural. Rumusan yang digunakan tertera pada tabel 6.

Tabel 9. Pengkategorisasian Sikap Siswa terhadap Pembelajaran bermuatan Multikultural

Sebelum melakukan kategorisasi berdasarkan model distribusi normal, asumsi bahwa skor subjek pada kelompoknya merupakan estimasi terhadap skor subjek dalam populasi dan bahwa skor subjek dalam populasinya terdistribusi secara normal harus terpenuhi. Untuk itu, dilakukan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dengan taraf kepercayaan (α) 0,05. Apabila nilai signifikansi > α maka data penelitian telah terdistribusi normal sedangkan jika nilai signifikansi < α maka data penelitian tidak terdistribusi normal. Hasil uji normalitas dalam penelitian ini tertera pada tabel 10 berikut:

(66)

Berdasarkan tabel 10, diperoleh nilai z sebesar 1,070 dan nilai signifikansi (p) sebesar 0,202. Oleh karena nilai p > 0,05, dengan demikian data penelitian terdistribusi normal sehingga dapat digunakan kategorisasi berdasar model distribusi normal.

a. Gambaran Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural

Jumlah aitem yang digunakan untuk mengungkap sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikulturalsebanyak 27 aitem. Hasil perhitungan mean empirik (rata-rata skor yang sesuai dengan keadaan subjek penelitian) dan mean hipotetik (rata-rata skor yang sesuai dengan keadaan populasi) disajikan pada tabel 11 berikut :

Tabel 11. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural

Variabel Empirik Hipotetik

Sikap

Min Max Mean St.Dev Min Max Mean St.Dev 67 102 89,31 7,12896 27 108 67,5 13,5

Dari tabel 11 diperoleh bahwa mean empirik sebesar 89,31 dengan standar deviasi (estimasi besarnya satuan penyimpangan yang digunakan untuk membuat kategori normatif skor subjek) empirik sebesar 7,128. Sedangkan mean hipotetik sebesar 67,5 dengan standar deviasi hipotetik sebesar 13,5. Hasil perhitungan skor

mean empirik dan skor mean hipotetik menunjukkan bahwa mean empirik lebih

(67)

yaitu sebesar 89,31 menggambarkan bahwa subjek termasuk ke dalam kelompok yang memiliki sikap positif. Pengelompokan ini didasarkan pada pengkategorisasian subjek berdasarkan kategorisasi hipotetik skor sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural sebagaimana tertera pada tabel 12.

Tabel 12. Kriteria Kategorisasi Skor Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural

Variabel Kriteria Kategorisasi

N(Jumlah) Persentase Kategori

Sikap siswa

Adapun jumlah individu yang termasuk ke dalam masing-masing kategori sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural berdasarkan kriteria kategorisasi pada tabel 12 dapat dilihat bahwa subjek penelitian yang termasuk ke dalam kategori sikap positif sebanyak 85 orang (85 %), subjek yang termasuk ke dalam kategori netral sebanyak 15 orang (15 %), dan tidak ada subjek yang berada pada kategori negatif. Secara umum subjek penelitian memiliki sikap positif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural. Artinya, subjek memiliki kepercayaan, perasaan, dan kecenderungan berperilaku yang positif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

(68)

(1) Gambaran Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan

Multikultural Berdasarkan Komponen Aktifitas Produktifitas Bersama

Komponen aktifitas produktifitas bersama dalam skala sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural terdiri dari 6 aitem dengan rentang nilai 1-4. Perhitungan penyajian hasil perhitungan mean empirik dan

mean hipotetik berdasarkan komponen aktifitas produkstifitas bersama pada

penelitian ini tertera pada tabel 13.

Tabel 13. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Komponen aktifitas produktifitas bersama

Komponen Empirik Hipotetik

Aktifitas Produktifitas Bersama

Min Max Mean St.Dev Min Max Mean St.Dev

16 24 21.15 1.987 6 24 15 3

Dari tabel 13 diperoleh bahwa mean empirik sebesar 21,15 dengan standar deviasi empirik sebesar 1,987. Sedangkan mean hipotetik sebesar 15 dengan standar deviasi hipotetik sebesar 3. Hasil perhitungan skor mean empirik dan skor

mean hipotetik menunjukkan bahwa mean empirik lebih besar daripada mean

(69)

Tabel 14. Kriteria Kategorisasi Skor Komponen aktifitas produktifitas bersama

Komponen Kriteria Kategorisasi

N(Jumlah) Persentase Kategori

Aktifitas Produktifitas Bersama

X≥18 90 90% Positif

12 ≤ X< 18 10 10% Netral

X<12 0 0% Negative

Adapun jumlah individu yang termasuk ke dalam masing-masing kategori sikap siswa terhadap komponen Aktifitas produktifitas bersama berdasarkan kriteria kategorisasi pada tabel 14 dapat dilihat bahwa subjek penelitian yang termasuk ke dalam kategori sikap positif sebanyak 90 orang (90 %), subjek yang termasuk ke dalam kategori sikap netral sebanyak 10 orang (10 %), dan tidak ada subjek yang berada pada kategori sikap negatif. Secara umum subjek penelitian memiliki sikap positif terhadap komponen aktifitas produktifitas bersama. Artinya, subjek memiliki pemikiran, perasaan, dan kecenderungan berperilaku yang positif terhadap komponen aktifitas produktifitas bersama.

(2) Gambaran Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan

Multikultural Berdasarkan Komponen Perkembangan Bahasa

Gambar

Tabel 1. Blue Print Skala Sikap sebelum Try Out
Tabel 2. Blue Print Skala Sikap setelah Try Out
Tabel 3. Blue Print Skala Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural Yang Dipakai oleh Peneliti
Tabel 4. Persentase Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Terima kasih yang tidak akan pernah habis kepada kedua Orang Tua saya, yaitu papa Suharsoyo dan mama Vina Tanjung yang selalu menjaga, mendampingi, berbagi

Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan bagaimana pelaksanaan pendidikan multikultural pada sekolah pembauran Sultan Iskandar Muda Medan kemudian mengungkapkan

AR yang pada dasarnya sudah memiliki pemahaman multicultural jadi merasa tidak asing untuk berada di sekolah tersebut.Program anak asuh berantai dan bersifat silang ini menurut

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran student engagement pada siswa/i SMA Sultan Iskandar Muda Medan.. Dalam penelitian ini

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran student engagement pada siswa/i SMA Sultan Iskandar Muda Medan.. Dalam penelitian ini

yang berbasis multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan. Penulis sebelumnya sudah membuat janji dengan informan yang

Foto 7 : Gedung Sekolah dan Aktivitas siswa SMA sedang olah raga futsal tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Universitas

Terima kasih yang tidak akan pernah habis kepada kedua Orang Tua saya, yaitu papa Suharsoyo dan mama Vina Tanjung yang selalu menjaga, mendampingi, berbagi