“Studi Perbandingan Terhadap Peran dan Kedudukan Antara DPR dan DPD Dalam Sistem Bikameral di Indonesia”
D
I S U S U N Oleh
Nama : Damira Suwenita Sebayang NIM : 080906035
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS
SUMATERA
UTARA
FAKULTAS
ILMU
SOSIAL
DAN
ILMU
POLITIK
DEPARTEMEN
ILMU
POLITIK
DAMIRA SUWENITA SEBAYANG (080906036)
STUDI PERBANDINGAN TERHADAP PERAN DAN KEDUDUKAN ANTARA DPR DAN
DPD DALAM SISTEM BIKAMERALISME DI INDONESIA
Rincian isi skripsi, 69 halaman, 14 Buku, 6 Artikel (Kisaran buku dari tahun 1977‐
2010)
ABSTRAK
Indonesia sebagai salah satu negara penganut sistem demokrasi memiliki
sistem perwakilan dua kamar yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang memiliki
fungsi sebagai wakil rakyat di pusat dan Dewan Perwakilan Daerah yang memiliki
fungsi sebagai perwakilan daerah di pusat. Adapun kedua kamar ini memiliki
fungsi sebagai perwakilan namun pada implementasinya walaupun kedua kamar
ini sama‐sama dipilih langsung secara langsung namun memiliki peran dan
kedudukan yang berbeda.
Maka dalam penelitian ini, penulis berusaha memaparkan bagaimana
kedudukan kedua kamar ini didalam sistem bikameralisme di Indonesia.
Kesimpulan dari penelitian ini juga akan membahas peran dan fungsi dari
legislatif Indonesia, kemudian untuk memaparkan apakah kedudukan dari kedua
kamar tersebut berimbang melalui metode wawancara terhadap narasumber
terkait, yaitu anggota dan lembaga perwakilan yang bersangkutan (DPR dan DPD)
serta wawancara ahli tata negara.
UNIVERSITY
OF
NORTH
SUMATRA
FACULTY
OF
SOCIAL
AND
POLITICAL
SCIENCE
DEPARTMENT
OF
POLITICAL
SCIENCE
DAMIRA SUWENITA SEBAYANG (080906035)
Study Comparison of Role and Position Between House of Representatives and House of Lords in Bicameralism System in Indonesia.
Content : 69 pages, 14 books, 6 articles ( published from 1977 – 2010)
ABSTRACT
Indonesia as one of democracy country has applied the bicameralism
system unto its government which is first chamber called House of
Representatives and second chamber called House of Lords. Each of chamber
have their own role , function and position in order their representatives. Both
chamber has been elected directly of constituent however these two chambers
position is not balance.
This research studied about the role and position between House of
Representatives and House of Lords. The conclusion of this research will discuss
whether the bicameralism systen in Indonesia effective or not by interview
methods and with one of House of Representatives member and one of House of
Lord member.
Keyword : Bicameralism, House of Representatives, House of Lord
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan kasih‐Nya, skripsi berjudul ‘Studi Perbandingan Terhadap Peran dan Kedudukan Antara DPR dan DPD Dalam Sistem Bikameral di Indonesia’ dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat menempuh ujian akhir Strata‐ 1, jurusan Ilmu Politik Fakultas Sumatera Utara, Universitas Sumater Utara Medan
Ucapan terimakasih juga tidak lupa penulis hanturkan kepada :
1. Terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) USU
2. Terimakasih kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP USU
3. Terimakasih kepada Ibu Dra. Evi Novida Ginting, M.Sp selaku dosen pembimbing saya yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan selama penulis menyelesaikan penelitian skripsi ini
4. Terimakasih kepada Bapak Warjio, MA, Ph.D yang juga telah banyak memberi masukan, kritik dan nasihat membangun dalam penulisan skripsi ini
5. Terimakasih kepada kedua orangtua saya yang tidak henti menyemangati dan mendoakan saya selama pengerjaan penelitian skripsi. Kepercayaan besar dan dukungan yang tidak pernah putus dari orangtua saya akan saya ingat sebagai pedoman selama saya hidup. Kepada lelaki yang paling spesial dalam hidup saya, Darma Sebayang, orangtua yang sangat sportif dan liberal yang mengajarkan saya arti tentang sebuah kepercayaan. Ayah, I LOVE YOU VERY MUCH THOUGH I RARELY SAY IT TO YOU. Kepada seorang malaikat tanpa sayap yang diberikan Tuhan Yesus kedalam hidup saya, Irama Sembiring. Semua airmata dan doa tidak akan menjadi sia‐sia. You’re the strongest person ever exist for having a tough a girl like me
7. Kepada seluruh keluarga Ilmu Politik FISIP USU dari stambuk 2001‐2014, yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terimakasih untuk semua bantuan, ilmu, dan pertemanan yang telah kita bentuk. Terspesial untuk Kepompong dan A2GTD.
8. Untuk sebuah klub bola yang telah saya cintai dari tahun 2000, Chelsea FC. Terimakasih untuk semua tahun‐tahun yang begitu indah terutama tahun 2012 dimana saya turut menjadi saksi sejarah pertama kali diraihnya Liga Champiom 9. Untuk sahabat saya dari SMA, Sartika Desky, Laila Apriyani Harahap, Nandara
Apriyanti Elna, dan Meta Permata Sari, terimakasih untuk sebuah persahabatan 10 tahun yang tidak pernah munafik. I love you so much.
10. Dan untuk sahabata‐sahabat saya lainnya, Genk Ingin Dinikahi, Jibo, Amel, Ipan, Febby, Yessi, Wirda, Ratih, Ais, Balqis yang tidak bs saya sebutkan satu persatu. Terimakasih untuk semua suka dan duka yang telah kita alami.
11. Untuk semua yang pernah datang dan yang akan datang, saya mengucapkan terimakasih.
Penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak, diamna skripsi ini masih kurang dan jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat bagipara pembaca walaupun terdapat banyak kekurangan dalam penulisan.
Akhir kata, penulis mengucapkan kembali banyak terimakasih bagi semua pihak yang telah memberi bimbingan, masukan, bantuan dan dukungan selama proses pengerjaan sehingga skripsi ini dapa diselesaikan.
Medan, 10 Maret 2015
Damira Suwenita Sebayang
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……… 1
1.2 Perumusan Masalah……… 6
1.3 Pembatasan Masalah……….. 6
1.4 Tujuan Penelitian……… 7
1.5 Manfaat Penelitian………... 7
1.6 Kerangka Teori………. 7
1.6.1 Sistem Perwakilan……… 7
1.6.2 Terwakil……… 10
1.6.3 Wakil……… 11
1.6.4 Jenis Perwakilan Politik……… 17
1.6.5 Sistem Bikameral……….. 18
1.6.6 Teori Perbandingan Sistem Politik……… 21
1.7 Metode Penelitian………... 23
1.7.1 Jenis Penelitian……….. 24
1.7.2 Objek Penelitian………. 24
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data……….24
1.7.4 Teknik Analisa Data……… 25
1.8 Sistematika Penulisan……… 25
BAB 2 SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM PERWAKILAN DI INDONESIA..27
2.1 Lembaga Perwakilan Indonesia Pada Era Pra Kemerdekan………… 27
2.2 Lembaga Perwakilan Indonesia Pasca Kmerdekaan……… 29
2.2.4. Sejarah Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah………. 45
BAB 3 ANALISA DATA
3.1 Hasil Penelitian………. 50
3.1.1 Hasil dan Pembahasan Wwancara Terhadap Parlingdungan Purba, SH., M.M (Anggota DPD Periode DPD 2009‐2014)……… 50
3.1.2 Hasil dan Pembahasan Wwancara Terhadap Drs. Ramadhan Pohan, MIS (Anggota DPR RI 2009‐2014)……… 58
3.1.3 Hasil dan Pembahasan Wwancara Terhadap Eri Mulya, SH., Seorang Ahli Tata Negara Fakultas Hukum USU……… 63
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan……… 66 4.2 Saran……….. 69
BAB 1
UNIVERSITAS
SUMATERA
UTARA
FAKULTAS
ILMU
SOSIAL
DAN
ILMU
POLITIK
DEPARTEMEN
ILMU
POLITIK
DAMIRA SUWENITA SEBAYANG (080906036)
STUDI PERBANDINGAN TERHADAP PERAN DAN KEDUDUKAN ANTARA DPR DAN
DPD DALAM SISTEM BIKAMERALISME DI INDONESIA
Rincian isi skripsi, 69 halaman, 14 Buku, 6 Artikel (Kisaran buku dari tahun 1977‐
2010)
ABSTRAK
Indonesia sebagai salah satu negara penganut sistem demokrasi memiliki
sistem perwakilan dua kamar yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang memiliki
fungsi sebagai wakil rakyat di pusat dan Dewan Perwakilan Daerah yang memiliki
fungsi sebagai perwakilan daerah di pusat. Adapun kedua kamar ini memiliki
fungsi sebagai perwakilan namun pada implementasinya walaupun kedua kamar
ini sama‐sama dipilih langsung secara langsung namun memiliki peran dan
kedudukan yang berbeda.
Maka dalam penelitian ini, penulis berusaha memaparkan bagaimana
kedudukan kedua kamar ini didalam sistem bikameralisme di Indonesia.
Kesimpulan dari penelitian ini juga akan membahas peran dan fungsi dari
legislatif Indonesia, kemudian untuk memaparkan apakah kedudukan dari kedua
kamar tersebut berimbang melalui metode wawancara terhadap narasumber
terkait, yaitu anggota dan lembaga perwakilan yang bersangkutan (DPR dan DPD)
serta wawancara ahli tata negara.
UNIVERSITY
OF
NORTH
SUMATRA
FACULTY
OF
SOCIAL
AND
POLITICAL
SCIENCE
DEPARTMENT
OF
POLITICAL
SCIENCE
DAMIRA SUWENITA SEBAYANG (080906035)
Study Comparison of Role and Position Between House of Representatives and House of Lords in Bicameralism System in Indonesia.
Content : 69 pages, 14 books, 6 articles ( published from 1977 – 2010)
ABSTRACT
Indonesia as one of democracy country has applied the bicameralism
system unto its government which is first chamber called House of
Representatives and second chamber called House of Lords. Each of chamber
have their own role , function and position in order their representatives. Both
chamber has been elected directly of constituent however these two chambers
position is not balance.
This research studied about the role and position between House of
Representatives and House of Lords. The conclusion of this research will discuss
whether the bicameralism systen in Indonesia effective or not by interview
methods and with one of House of Representatives member and one of House of
Lord member.
Keyword : Bicameralism, House of Representatives, House of Lord
2.2.4. Sejarah Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah………. 45
BAB 3 ANALISA DATA
3.1 Hasil Penelitian………. 50
3.1.1 Hasil dan Pembahasan Wwancara Terhadap Parlingdungan Purba, SH., M.M (Anggota DPD Periode DPD 2009‐2014)……… 50
3.1.2 Hasil dan Pembahasan Wwancara Terhadap Drs. Ramadhan Pohan, MIS (Anggota DPR RI 2009‐2014)……… 58
3.1.3 Hasil dan Pembahasan Wwancara Terhadap Eri Mulya, SH., Seorang Ahli Tata Negara Fakultas Hukum USU……… 63
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan……… 66 4.2 Saran……….. 69
BAB 1
1.1. Latar Belakang
Menelusuri salah satu alasan dibalik lahirnya sistem demokrasi dapat dilihat melalui teori kontrak sosial yang ditulis oleh Jean-Jacques Rousseau dalam salah satu karya tulisnya yang berjudul “Du Contract Social Ou Principes Du Droit
Politique” dimana didalam karyanya tersebut Rousseau mencoba menggambarkan
posisi masyarakat alamiah atau masyarakat alam yang masih menjalani hidup tidak secara teratur, tidak ada kepemimpinan diantara mereka, sehingga mereka sulit untuk membuat suatu keputasan. Kondisi primitif tersebut menurut Rousseau tidak dapat bertahan lama, dan ras manusia akan punah kecuali mengubah sikap keberadaannya.1 Karena tak seorang pun memiliki kewenangan alami atas sesamanya, dan kekuatan tidak menciptakan hak, maka Rousseau menawarkan suatu kontrak dimana setiap individu memberikan sebagian dari haknya kepada sekelompok orang yang dipercaya untuk mengatur kehidupan mereka. Teori ini disebut dengan teori kontrak sosial.
Kenyataan pelaksanaan demokrasi dapat diklasifikasi berdasarkan pelaksanaan pemerintahan demokrasi berdasarkan cara yang digunakan, pada umumnya dibagi dua, yaitu:2
a. Demokrasi langsung (direete democratic) yaitu apabila semua rakyat berkumpul bersama-sama untuk membuat undang-undang. Sistem ini masih dilaksanakan di Swiss dengan sistem referendum
b. Demokrasi perwakilan (representative demoeratie) yaitu apabila rakyat yang telah dewasa memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam dewan
1
Jean-Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial, (Jakarta : Forum Jakarta – Paris, 2010), hal 67.
2
perwakilan rakyat baik pusat maupun di daerah yang akan melaksanakan mekanisme pemerintahan
Demokrasi langsung menurut Franz Magnis Suseno, bukan hanya tidak dapat direalisasikan, melainkan juga secara etis tidak perlu. Yang harus dituntut adalah bahwa pemerintahan negara tetap berada dibawah kontrol efektif warga negara. Rakyat membuat undang-undang melalui para wakil yang mereka pilih. Dalam demokrasi pewakilan memang ada unsur elitarisme. Kontrol warga negara dilakukan melalui dua cara, yaitu secara langsung melalui pemilihan umum dan secara tidak langsung melalui keterbukaan pemerintah. Dalam demokrasi perwakilan, fungsi pemerintah dialihkan dari warga negara kepada organ-organ khusus. Hak menentukan nasib sendiri dalam demokrasi dibatasi pada prosedur untuk membentuk dan memilih organ ini.
Salah satu cara untuk menjaga agar kekuasaan yang telah diberikan rakyat tidak disalahgunakan adalah dengan melakukan pemisahan kekuasaan. Gagasan pemisahan kekuasaan telah muncul dalam karya Aristoteles dalam buku
"Politics".3 Kekuasaan suatu negara dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ; pertama,
kekuasaan mengadakan peraturan-peraturan dalam garis besar, yang membuat prinsip-prinsip yang harus diataati oleh warga negara yang disebut kekuasaan legislatif. Kedua, kekuasaan untuk melaksanakan prinsip-prinsip itu yang disebut kekuasaan eksekutif. Ketiga, adalah kekuasaan yang menyatakan apakah anggota masyarakat bertingkah laku sesuai dengan peraturan legislatif dan apakah eksekutif juga melaksanakan peraturan legislatif, tidak menyimpang dari prinsip-prinsip yang ada didalamnya. Kekuasaan ini disebut dengan kekuasaan yudikatif.
3
Salah satu kekuasaan organ negara adalah kekuasaan membentuk undang-undang atau kekuasaan legislatif. Istilah legislatif berasal dari "legislate" yaitu membuat undang-undang. Namun, perkembangan negara modern menunjukkan bahwa membuat undang-undang hanyalah salah satu tugas dari lembaga perwakilan rakyat. Parlemen dalam sistem demokrasi modern merupakan wakil rakyat yang pada umumnya, bertugas membuat undang-undang dan mengawasi jalannya pemerintahan. Sistem perwakilan rakyat negara-negara di dunia ada yang memiliki satu badan/kamar (unicameral) dan ada yang memiliki dua badan/kamar
(bicameral). Sistem perwakilan unikameralisme dan bikameralisme sering
dikaitkan dengan bentuk negara federal dan negara monarki. Namun, pada perkembangannya sistem satu ataupun dua kamar tidak terkait dengan landasan bernegara tertentu, dan juga tidak terkait dengan bentuk negara, bentuk pemerintahan, atau sistem pemerintahan tertentu.
Sistem parlemen unikameral dalam tipe satu kamar ini, tidak dikenal adanya dua badan yang terpisah seperti adanya DPR dan Senat, ataupun Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Negara-negara yang berukuran kecil dengan masyarakatnya yang homogen lebih menyukai model satu kamar dibanding dua kamar, seperti masalah keseimbangan kekuatan politik sangat kecil kesulitan untuk memecahkannya dibanding negara besar. Di negara-negara kesatuan sosialis, sistem bikameral dipandang membawa komplikasi-komplikasi, penundaan-penundaan dan biaya-biaya dengan sedikit kompensasi yang menguntungkan. Sedangkan sistem parlemen bikameral adalah sistem parlemen yang terdiri dari dua kamar/badan. Kamar pertama (First Chamber) biasa disebut Majelis Rendah
sedangkan kamar kedua atau (Second Chamber) disebut Majelis Tinggi (High
Majesty), atau DPD atau House of Lords. Majelis Rendah pada umumnya
mewakili kepentingan partai yang skalanya nasional, sedangkan Majelis Tinggi pada umumnya adalah lembaga yang mewakili kepentingan kewilayahan atau kelompok-kelompok fungsional.
Indonesia sebagai suatu negara dengan sistem demokrasi perwakilan sebelum era reformasi memiliki sistem perwakilan yang bernama DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang merupakan wadah wakil-wakil partai politik (parpol) hasil pemilu. Akan tetapi, tidak semua orang masuk ke dalam parpol sehingga DPR tidak mewakili "seluruh" rakyat Maka diadakanlah badan yang lebih besar yaitu MPR, yang terdiri dari anggota DPR ditambah dengan wakil rakyat non-parpol, yaitu para utusan daerah dan golongan. Namun, setelah bergulirnya reformasi, dilakukan perubahan amandemen UUD 1945 pada tahun 1999, dimana terdapat perubahan ketatanegaraan yaitu perubahan struktur MPR menjadi bikameral dengan adanya dua kamar, yaitu DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah).4 Sesuai dengan Pasal 2 atay (1) UUD 1945 sebagaimana diubah dalam Perubahan Keempat, anggota DPD bersama-sama dengan anggota DPR adalah anggota MPR. DPD diatur dalam UUD 1945 pasal 22C dan pasal 22D. Anggota DPD dipilih dari setiap propinsi dengan jumlah yang sama melalui pemilihan umum. Jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga anggota DPR. DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun yang susunan dan kedudukannya diatur dalam undang-undang. Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan undang-undang.
4
Usulan pembentukan DPD tidak terlepas dari hilangnya wakil-wakil rakyat dari kalangan non partai politik pasca bergulirnya era reformasi. Hal ini menyebabkan lembaga perwakilan hanya di isi oleh wakil-wakil rakyat yang berasal dari parpol saja. Dengan demikian lembaga perwakilan akan menjadi sarat akan kepentingan partai politik. Sehingga dengan demikian diperlukan lembaga perwakilan yang independen yang terlepas dari kepentingan partai politik. Alasan lain dibentuknya DPD adalah karena sulimya untuk mengangkat permaslahan yang ada di daerah ke tingkat nasional, sehingga problem daerah seakan kurang mendapat perhatian yang serius. Oleh sebab itu diperlukan suatu badan perwakilan yang dapat melihat seeara jeli permaslaahan di setiap daerah untuk dijadikan sebagai sebuah agenda nasional.
terhadap peran dan kedudukan antara DPR dan DPD dalam system bicameral di Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah
Setelah masa reformasi, terdapat sebuah perkembangan didalam sistem lembaga perwakilan di Indonesia, dimana lembaga tersebut dibagi menjadi dua kamar yaitu DPR dan DPD yang keduanya memiliki susunan dan kedudukan serta hak dan wewenangnya. Untuk melihat apakah kedua lembaga ini memiliki fungsi yang seimbang (check and balance), sehingga untuk melihat perbedaan tersebut dibutuhkan analisa dalam setiap hak dan wewenang yang dimiliki oleh kedua tembaga perwakilan tersebut sehingga dapat dilihat apakah peran dan kedudukan kedua lembaga perwakilan tersebut seimbang satu sama lainnya. Hal ini bertujuan untuk melihat kategori bikameralisme apa yang terdapat dalam sistem perwakilan di Indonesia. Berdasarkan hal diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana perbandingan terhadap peran dan kedudukan antara DPR dan DPD dalam sistem bikameralisme di Indonesia.
1.3. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini menjadi lebih terfokus dan menghasilkan uraian yang sistematis, maka diperlukan batasan-batasan masalah sehingga dapat diidentifikasikan hal apa saja yang menjadi masalah penelitian. Adapun yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Penelitian ini terfokus pada mengkaji tentang peran dan kedudukan lembaga DPR dan DPD sejak tahun 2004-2009.
Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dan kedudukan lembaga perwakilan DPR dan DPD di Indonesia.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis penelitian ini merapakan kajian ilmu politik yang diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran konsep-konsep dalam ilmu politik, terutama menyangkut konsep sistem perwakilan bikameralisme di Indonesia.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Prespektif/Paradigma Kajian
Paradigma adalah pedoman yang menjadi dasar bagi para saintis dan peneliti di dalam mencari fakta–fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya (Arifin, 2012:146)
Perseptif atau paradigma yang peneliti gunakan adalah kualitatif salah satu jenis penelitian yang proses penelitiannya menghasilkan data deskriptif dari sesuatu yang diteliti. Kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan metode observasi, wawancara, analisis isi, dan metode pengumpulan data lainnya untuk menyajikan respon–respon dan prilaku subjek (Setyosari, 2012:40)
2.2. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan acuan atau landasan berfikir peneliti dengan basis pada bahan pustaka yang berkaitan dengan penelitian yang akan dijalankan (Prajarto, 2010:49). Dengan adanya kajian teori, maka peneliti akan mempunyai landasan untuk menentukan tujuan dan arah penelitian. Untuk mempermudah penelitian ini, maka diperlukan landasan teori mengenai pengertian dan pemahaman dari sistem perwakilan dan ulasan tentang teori perbandingan ilmu politik. Adapun teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah :
2.2.1. Sistem Perwakilan
kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuat dengan yang diwakili. Namun, pengertian yang sangat umum ini menurut Pitkin jika diuji dengan kenyataan akan menghadapai sejumlah besar pertanyaan. Misalnya, kedua kelompok terdiri dari individu atau keduanya adalah kelompok. Tapi mungkin pula hubungan itu berlangsung diantara individu dengan kelompok. Bidang kehidupan yang mewadahi hubungan perwakilan itu pun dapat pula menjadi pertanyaan. Masalah seperti pola reaksi, tanggung jawab dan sebagainya.
Untuk melandasi pembahasan semua pengertiannya tentang perwakilan politik, Pitkin merumuskan dua asumsi.5 Pertama, perwakilan politik pada dasarnya sudah mempunyai pengertian yang dimanfaatkan secara berbeda dan semua makna tersebut diuji dan dikembangkan dalam konteks yang beragam. Misalnya, perwakilan diartikan sebagai proses hubungan manusia dimana seseorang tidak hadir secara fisik tapi tanggap melakukan sesuatu karena pekerjaannya aktif dikerjakan oleh orang lain yang mewakilinya. Asumsi Pitkin yang kedua adalah tentang keanekaragaman pengertian perwakilan politik. Banyaknya pengertian konsep mengenai perwakilan politik membuat Pitkin membahas tidak kurang dari 7 pokok pengertian konsep tersebut. Akhimya Pitkin berusaha merumuskan definisi dimana Pitkin tidak lagi melihat proses hubungan antara wakil dan yang diwakili seeara umum, melainkan mengemukakannya secara terperinci. Untuk itu perwakilan politik dimaksudkannya sebagai suatu proses mewakili dimana wakil bertindak dalam rangka bereaksi kepada kepentingan terwakil. Walau wakil bertindak secara bebas tapi harus bijaksana
5
dan penuh pertimbangan serta tidak sekedar melayani. Wakil bertindak sedemikian rupa sehingga diantara dia dengan terwakil tidak terjadi konflik dan jika terjadi penjelasan harus mampu meredakannya.
Ada dua teori klasik tentang hakikat hubungan wakil dengan yang diwakili yang terkenal yaitu:6 teori mandat dan teori kebebasan. Dalam teori mandat, wakil dilihat sebagai penerima mandat untuk mewujudkan kekuasaan terwakil dalam proses kehidupan politik. Oleh karena itu, wakil harus memiliki pandangan dan sikap yang sejalan dengan mandat dalam melaksanakan tugasnya. Dalam teori kebebasan, wakil dianggap perlu merumuskan sikap dan pandangannya tentang masalah yang dihadapi tanpa terikat secara kental terhadap yang terwakil, karena yang terwakil telah memberi kepercayaan kepada wakil. Karena itu pertimbangan wakil secara pribadi yang dapat mempengaruhi keseluruhan aspek terwakili akan sangat mempengaruhi. Karena diakuinya kebebasan wakil dalam melaksanakan tugasnya, maka wakil seperti itu disebut pula sebagai wakil yang bertipe wali dan sebaliknya wakil yang didasarkan kepada teori mandat disebut wakil dengan tipe utusan.
Perwujudan bentuk-bentuk kehidupan demokratis yang terluas lingkupannya adalah negara demokrasi. Dari sekian banyaknya unsur ataupun aspek kehidupan negara demokrasi, ada dua aspek yang disinggung disini karena berkenaan dengan keperluan pembahasan perwakilan politik. Kedua aspek tersebut adalah Demokrasi Perwakilan dan Pemerintahan Perwakilan. Karena kekuasaan adalah alat utama dalam interaksi politik dimana dan kapanpun proses itu berlangsung, maka konsepsi demokrasi menunjukkan bahwa sumber
6
kekuasaan berada pada rakyar dan sebab itu rumusan kekuasaan berada di tangan rakyat.
Sadar akan ketidakmungkinan untuk memperoleh manfaat yang memadai dari pola distribusi tersebut, maka kehidupan negara dilihat sebagai memerlukan suatu tahapan pemusatan kekuasaan. Untuk mengatasi kontradiksi kedua pemikiran diatas, orang sampai pada pemikiran tentang penyerahan kekuasan secara sukarela yang dikenal dengan Teori Kontrak Sosial untuk menggambarkan proses pencapaian kesepakatan masyarakat guna menjamin keberadaan dan kemampuan negara mencapai tujuan bersama. Kelompok yang mendapat kepercayaan sebagai penguasa itu diberikan kewenangan mengatur kehidupan bersama sehingga terbentuk pemerintah. Oleh karena pada prinsipnya pengaturan kehidupan itu menjadi tanggung jawab setiap orang, maka melalui kepercayaan penyerahan kekuasaan kepada pihak yang dipercaya untuk mengatur tugas yang diembankan kepadanya, demikian tersusunlah pemerintahan perwakilan dalam artian bahwa pemerintah mewakili warga negara memanfaatkan kekuasaan yang dipunyainya untuk menyelenggarakan kehidupan bersama.
2.2.2. Terwakil
dengan menggunakan metode pemusatan perwakilan.7Ada tiga kemungkinan yang dapat dimanfaatkan wakil untuk memusatkan perhatian kepada terwakil.
Pertama, fokus wakil terhadap kelompok, yang pada dasarnya pilihan yang tersedia untuk menangani masyarakat yang bersifat plural. Masyarakat yang terkelompok berdasarkan ras, suku, bahasa, agama ataupun mata pencaharian. Wakil tinggal memilih salah satu dari kelompok tersebut sebagai patokan pengambilan keputusan. Artinya, wakil dapat mendengar aspirasi ataupun opini warga negara yang diwakilinya melalui orang yang dipilihnya dalam kelompok tersebut. Kedua, fokus perwakilan kepada partai yang tentulah dipilih oleh wakil untuk memudahkan pengorganisasian tugasnya. Sebab melalui fokus ini, wakil dapat sekaligus berbuat untuk dua pihak, yaitu partai sebagai organisasi yang mendukungnya menjadi wakil rakyat dan masyarakat yang bersimpati mendukung wakil dari partai tersebut. Ketiga, fokus terhadap wilayah yang amat rapat hubungannya dengan gambaran hubungan antara wakil dan terwakil. Dalam hal ini wakil melihat unit terwakil berdasarkan wilayah sehingga perhatiannya dapat diberikan kepada negara, propinsi, kabupaten dan seterusnya.
2.2.3. Wakil
Adapun pendekatan yang dimanfaatkan wakil untuk mengemban tugas yang dibebankan terwakil, setiap wakil hendaklah memenuhi kualifikasi tertentu yang akan menjamin terjalannya fungsi perwakilan. Selain itu, untuk mendapatkan statusnya, calon wakil tentu harus melewati sejumlah prosedur untuk menjamin keabsahannya sebagai wakil. Setiap wakil tentulah dituntut mempunyai kemampuan atau keahlian yang diharapkan dapat melayani tugas perwakilan.
7
Pada dasarnya, penerimaan atau pengakuan yang otomatis terhadap wakil berkembang di masyarakat yang menumbuhkan kepemimpinan tradisional ataupun kharismatis. Pemimpin yang muncul melalui warisan kekuasaan yang diakui karena kharisma kepemimpinannya dapat mengakui pengakuan dari masyarakat. Disamping prosedur yang seperti itu, terutama di masa modern seperti ini, biasanya wakil ditunjuk oleh pihak yang diwakili. Dalam hal ini, yang terwakili memilihnya diantara orang-orang yang dianggap mempunyai potensi untuk menjadi wakilnya, meskipun terkadang pemilihan tersebut dapat menjadi formalitas semata.
Karena wakil dalam kehidupan politik akan bertindak ataupun menyatakan pendapat untuk pihak lain yang berkaitan dengan kekuasaan politik (tepatnya hubungan dengan masalah pemerintahan dan kenegaraan) maka penguasaan dibidang politik tentu menjadi syarat pelengkap wakil yang akan dipilih. Dengan sendirinya, prosedur yang ditempuh oleh orang yang hendak berperan selaku wakil politik adalah tata cara politik. Dengan sistem bikameral yang diterapkan di Indonesia, maka terdapat dua kamar sebagai lembaga perwakilan rakyat yaitu DPR dan DPD. Kedua lembaga perwakilan ini mempunyai kedudukan dan wewenang yang diatur dalam undang-udang (UU No.27 tahun 2009 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD).
A. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
merupakan lembaga perwaikilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. DPR mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Legislasi
Fungsi legislasi adalah fungsi pembentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
2. Anggaran
Fungsi Anggaran adalah fungsi menyusun dan menetapan anggaran pendapatan dan belanja negara bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
3. Pengawasan
Fungsi pengawasan adalah fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, undang-undang, dan peraturan pelaksanaanya.
Sementara itu tugas dan wewenang DPR diatur dalam Pasal 71 UU No.27 Tahun 2009 yang berisi :
1. Membentuk undang-undang dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
2. Membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
3. Menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakan dalam pembahasan
5. Menetapkan APBN bersama presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
6. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang APBN serta kebijakan pemerintah
7. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan DPD terhadap undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, sumber daya alam, serta pelaksanaan APBN
8. Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
9. Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK
10. Memberikan persetujuan kepada presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial
11. Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung
12. Memberikan pertimbangan kepada presiden untuk mengangkat duta, mrmthna penempatan duta besar negara lain dan memberikan pertimbangan dalam amnesti dan abolisi
13. Memberikan persetujuan kepada presiden menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas kepada masyarakat
15. Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan oleh undang-undang
DPR mempunyai hak sebagai berikut: 1. Interpelasi
Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara
2. Angket
Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat
3. Menyatakan pendapat
Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai situasi internasional disertai dengan rekomendasi penyelesaian sebagai tindak lanjut hak interpelasi atau dugaan atas adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden atau wakil presiden berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, ataupun tindak pidana lainnya.
B. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
otonomi daerah, hubungan kekuasaan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi. DPD boleh untuk membahas tentang rancangan undang-undang serta memberi pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah. DPD dapat melakukan pengawasan atau pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, sumber daya alam dan sumber ekonomi.
Kemudian kedudukan dan wewenang dari DPD dimuat dalam UU No.27 Tahun 2009 Pasal 221, yang mana DPD mempunyai fungsi untuk a) mengajukan usul, ikut membahas dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tersebut, b) pengawasan atas pelaksanaan legislasi tertentu. Tugas dan wewenang DPD kemudian diatur lebih rinci sebagai berikut :
1. DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungann pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi serta perimbangan antara pusat dan daerah.
2. DPD mengusulkan rancangan undang-undang sebagaimana disebutkan pada ayat satu (1) kepada DPR dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai dengan tata tertib DPR.
DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang, pertimbangan seperti yang ditulis pada ayat satu (1) dalam bentuk tertulis sebelum memasuki tahapan pembahasan dengan pemerintah. DPD juga dapat memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pertimbangan diberikan dalam bentuk tertulis sebelum pemilihan anggota BPK. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, hubungan pusat dan daerah dan sumber daya alam maupun ekonomi.
Adapun pengawasan yang dimaksud adalah merupakan pengawasan terhadapa pelaksanaan undang-undang dengan ketentuan sebagai berikut:
1. DPD menerima dan membahas hasil-hasil pemeriksaan keuangan dnegara yang dilakukan oleh BPK sebagai lahan untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu
2. DPD dapat meminta secara tertulis kepada pemerintah tentang pelaksanaan undang-undang tertentu
3. DPD menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang tertentu
4. DPD mengadakan kunjungan kerja ke daerah untuk melakukan monitoring/pemantauan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.
2.2.4. Jenis Perwakilan Politik
merupakan badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan negara dalam hal menentukan kebijakan umum yang mengikat seluruh rakyat. Lembaga perwakilan atau lembaga legislatif ini disebut dengan parlemen. Satu dari banyaknya pertanyaan kontroversial mengenai sistem parlemen adalah berapa banyaknya kamar yang seharusnya ada dalam parlemen.8 Dalam praktiknya, pilihannya cukup sederhana, yaitu sistem satu kamar atau yang disebut dengan unikameral atau sistem dua kamar yang disebut bikameral. Sistem Unikameral adalah sistem parlemen atau perwakilan yang terdiri dari satu kamar, tidak dikenal adanya dua badan yang terpisah seperti DPR dan Senat, ataupun Majelis Rendah dan Majelis Tinggi. Selama berabad-abad, kedua tipe struktur pengorganisasian sperti inilah yang dikembangkan dimana-mana. Oleh karena iru, dalam berbagai bentuk literatur, baik hukum tata negara maupun literatur ihnu politik, kedua sistem inilah yang dikenal.
2.2.5. Sistem Bikameral
Sistem parlemen bikameral adalah sistem parlemen yang terdiri dari dua kamar atau badan. Kamar pertama (First Chamber) biasa disebut dengan Majelis Rendah (Lower House) atau DPR atau House of Commons atau House of Representatives. Sedangkan kamar kedua (Second Chamber) biasa disebut dengan majelis tinggi (Upper House) atau DPD atau Senat atau House of Lords. Ada beberapa alasan mengapa suatu konstitusi negara memilih sistem bikameral. Pertama adalah alasan untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan dan keseimbangan (check and balance), kedua adalah untuk membentuk perwakilan yang dapat menampung apsirasi rakyat yang tidak cukup bila hanya ditampung
8
oleh kamar pertama. Majelis Rendah pada umumnya mewakili kepentingan partai dengan skala nasional, sedangkan Majelis Tinggi pada umumnya adalah lembaga yang mewakili kepentingan wilayahnya.
Roger D. Cangleton menyatakan bahwa sistem bikameral mempengaruhi berfungsinya kebijakan demokratis.9 Secara teoritis sistem parlemen bikameral dapat menghindari masalah konflik mayoritas dan membentuk kebijakan dengan dukungan super-mayoritas mewakili kelompok dari dua kamar yang berbeda. Cara kerja lembaga legislatif jelas berkaitan dengan hubungan antara legislatif dan eksekutif. Sebagian besar sistem presidensiil menggunakan sistem bikameral. Status dari Majelis Tinggi diatas sampai taraf tertentu bergantung pada caranya dipilih.10 Bila Majelis Tinggi dipilih oleh pemilih tentu anggota-anggotanya akan mendapat legitimasi yang lebih besar sehingga antara kedua kamar akan memiliki tingkat kekuasaan yang samayang disebut dengan symmetrical. Majelis Tinggi yang tidak dipilih secara langsung hanya mengandalkan legitimasi sebatas dari jalur perwakilan yang menentukan keanggotaan mereka, sehingga kekuasaan cenderung menjadi tidak seimbang atau disebut dengan assymmetrical.
Berdasarkan klasifikasi tersebut, Andrew S. Ellis membedakan sistem bikameralisme kedalam dua kategori yaitu strong bicameralism dan weak
bicameralism.11 Andrew menggolongkannya dalam sistem "kuat" dimana
pembuatan undang-undang biasanya dimulai dari majelis manapun dan harus dipertimbangkan oleh kedua mejelis dalam forum yang sama sebelum disahkan. Dalam sistem "lunak" majelis yang satu memiliki status yang lebih tinggi dari yang lain. Misalnya, Majelis Tinggi mungkin dapat menolak atau
9 Muchammad All Safa'at, op. Cit., hlm. 30 10
Pamudji., MPA. Perbandingan Pemerintahan, (Bina Aksara, 1985) hal 8
11
mengesampingkan RUU yang diajukan oleh Majelis Rendah. Hal ini menyaratkan tingkat dukungan yang lebih tinggi seperti mayoritas absolute dari anggota-anggotanya. Majelis Rendah juga bisa dilarang atau dibatasi ketat dalam menolak dan melakukan amandemen RUU. Bikameralisme yang diterapkan di Indonesia adalah sebuah weak bicameralism yang dapat kita lihat melalui susunan dan kedudukan serta hak dan wewenang yang diatur dalam UU No.27 Tahun 2009. Dalam fungsinya sebagai lembaga perwakilan DPR mempunyai hak untuk membahas rancangan undang-undang bersama dengan Presiden untuk mendapat suatu keputusan bersama yang kemudian diformulasikan dalam bentuk undang-undang. Sementara itu, DPD hanya mempunyai hak mengusulkan dimana usulan tersebut akan dibahas oleh DPR dan Presiden. Dalam hal ini dapat kita lihat adanya ketimpangan wewenang diantara kedua lembaga perwakilan, dimana DPR di satu sisi mempunyai hak untuk membahas dan membentuk undang-undang bersama Presiden, sedangkan disisi lain DPD tidak mempunyai hak tersebut melainkan hanya sebatas untuk mengajukan rancangan undang-undang. Oleh sebab itu, bikameralisme di Indonesia dikategorikan sebagai bikameralisme yang lemah dikarenakan terdapat hak dan wewenang diantara kedua kamar yang sifatnya sebagai lembaga perwakilan.
2.2.6. Teori Perbandingan Sistem Politik
satu sama lain dan dapat menciptkan sistem-sistem yang berbeda, seperti sistem ekonomi, sistem sosial maupun sistem politik. Tipologi awal sistem politik yang diungkapkan oleh Gabriel Almond tidak hanya sekedar konsep menyeluruh mencakup semua tindakan berpola yang relevan dalam pengambilan keputusan politik, sistem juga mencakup totalitas, interaksi-interaksi yang terjadi didalam suatu unit, stabilitas didalam interaksi-interaksi tersebut yang digambarkan sebagai kestimbangan yang berubah.
Almond secara esensial mengungkapkan bahwa sistem politik memiliki ciri-ciri universal. Ciri-ciri-ciri tersebut dapat dikonseptualisasikan kedalan satu pendekatan studi perbandingan politik.12 Ada empat ciri yang menonjol, yaitu (1) Semua sistem politik memiliki struktur politik, (2) fungsi-fungsi yang sama muncul dalam seluruh sistem politik (3) Seluruh struktur politik adalah multi-fungsional (4) seluruh sistem poliyik bercampur dengan pengertian budaya. Ciri-ciri tersebut memberikan basis bagi studi komparatif negara maju dan terbelakang. Almond sebagian dipengaruhi oleh input, output dan umpan balik kerangka kerja analisa sistem politik David Easton yang ia rasakan menggerakkannya kearah "teori fungsional sistemik". Meski demikian, kerangka kerja mi bersifat terbatas. Ahnond kemudian menyusun garis besar kategori-kategori fungsionalnya sendiri dan memisahkannya berdasarkan input dan output. Fungsi-fungsi input yaitu sosialisasi dan perekrutan politik, artikulasi kepentingan, penggabungan kepentingan dan komunikasi politik, sedangkan fungsi output yaitu sebagai pembuat aturan, penerapan aturan dan penilaian peraturan.
12
Output juga merupakan fungsi-fungsi pemerintah dan berkaitan derngan tiga bentuk pemisahan kekuasaan secara terpisah. Dengan demikian, pembuatan pengaturan disebut legislasi, penerapan aturan disebut eksekutif, dan penilaian aturan disebut yudikatif.13 Almond berpendapat bahwa input atau fungsi-fungsi pemerintah sangat krusial dalam mencirikan sistem-sistem politik suatu wilayah. Fungsi-fungsi ini mencerminkan unsur-unsur didalam sistem, siapa yang mengenali masalah-masalah, mengidentifikasi, mempertimbangkan, yang memecahkan isu-isu dan yang memberikan solusi. Bagi Ahnond, sosialisasi politik itu penting karena akan mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat didalam kegiatan politik. Sosialisasi dapat dilakukan dikeluarga, lingkungan kerja, sekolah, dan lain-lain. Sosialisasi politk tentunya akan melibatkan banyak kelompok dan etnis. Artikulasi kepentingan adalah ekspresi kepentingan-kepentingan politik dan eksperesi kepentingan-kepentingan serta permintaan terhadap tindakan. Penggabungan kepentingan adalah koalisi kepentingan dan permintaan tersebut diartikulasikan oleh partai-partai politik, kelompok-kelompok kepentingan dan berbagai etnis lainnya. Komunikasi poltiik melayani seluruh fungsi-fungsi politik.
Almond memandang budaya politik sebagai dualistik bukannya monistik. Dengan demikian, sistem politik dapat dicirikan sebagai modern dan pra modern, maju dan terbelakang. Sistem-sistem yang kurang berkembang dicirikan oleh gaya-gaya "tradisional" yaitu ketersebaran, partikularisme, penganggapan dan efektivitas. Sedangkan sistem yang lebih berkembang dicirikan oleh kespesifikan, universalisme, pencapaian dan netralitas. Skema Almond kemudia disempumakan dan dipertajam lagi didalam sebuah buku (Almond dan Powell). Penyempurnaan
13
pendekatan fiingsionahiya pada perbandingan politik menghasilkan enam jenis klarifikasi, termasuk tiga fungsi pemerintah yang asli maupun outputnya tentang artikulasi kepentingan, komunikasi politik dan sebagainya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Berdasarkan penelitian maka metode penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif. Penelitian pada akhirnya bermaksud menggambarkan sesuatu yang lebih mendetail mengenai suatu perbandingan sistem perwakilan. Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai pengertian, perkembangan dan teori yang berhubungan dengan perbandingan sistem perwakilan yang diteliti. Untuk memperkuat hasil penelitian ini, maka diperlukan metode wawancara terhadap narasumber terkait, yaitu anggota dan lembaga perwakilan yang bersangkutan (DPR dan DPD).
3.2. Objek Penelitian
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Data atau informasi yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber pada buku-buku ataupun jurnal-jurnal dan website yang terkait dengan penelitian ini. Dalam artian literatur ataupun informasi yang mempunyai keterpautan dengan kedudukan dan peran DPR dan DPD dalam sistem bikameral di Indonesia.
3.4. Teknik Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan sistem kualitatif ditambah wawancara dengan narasumber kunci untuk mendukung proses penelitian. Dalam konteks ini komparasi perwakilan politik berusaha dihubungkan dengan fungsi-fungsi dari perwakilan politik yang dianut oleh suatu negara. Perbandingan ini dilakukan dengan terlebih dahulu memahami konsep dari sistem perwakilan dan kemudian dihubungkan dengan pendekatan perilaku diantara kedua lembaga perwakilan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1. Lembaga Perwakilan Indonesia pada Masa Pra Kemerdekaan
Lahirnya sistem perwakilan di Indonesia sehingga berkembang menjadi sistem bikameralisme atau dua kamar tidak semerta-merta timbul begitu saja melainkan melalui suato proses dan melalui perabahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi politik yang ada. Sejarah perkembangan sistem perwakilan di Indonesia dimulai semenjak masa penjajahan Belanda dalam masa prakemerdekaan Indonesia yang pada saat itu dikenal dengan nama Voiksraad. Volksraad lahir untuk menampung dampak gerakan nasional yang pada saat itu sedang berkembang di Indonesia, pada tahun 1916 melalui Undang-Undang yang disahkan pada 16 Desember 1916 (Staatsblad 1916 Nomor 4)14. Volksraad dibentuk dengan Dekrit Ratu 30 Maret 1917 dan mulai berlaku sejak 1 Agustus 1917. Volksraad diresmikan oleh Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum dan Menteri Urusan Koloni Belanda, Thomas Bastiaan Pleyte pada 18 Mei 1918. Bentuk perwakilan Volksraad didahului dengan pembentukan berbagai "Dewan Kabupaten" dan "Haminate Kota" dimana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih "wali pemilih". Kemudian "wali pemilih" inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Sebagian anggota lain Dewan Kabupaten diangkat oleh gubernur atas usul bupati. Lalu Dewan Kabupaten boleh memilih
14
sebagain Dewan Propinsi dan sebagain lainnya akan dipilih oleh gubernur atau jendral. Dewan Propinsi sendiri biasanya didominasi dari bangsa Belanda.
Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, Volksraad lebih mengutamakan memberi nasihat kepada gubernur jenderal daripada menyuarakan kehendak masyarakat. Setahap demi setahap, sesuai dengan perkembangan politik di Indonesia (kebangkitan organisasi dan partai politik), Volksraad mengalami sedikit perbaikan, baik dalam penambahan jumlah mauptm dalam komposisi keanggotaannya.Keberadaan Volksraad pun mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Generasi pertama ini hanya terdiri 15 orang merapakan pribumi. Hal ini diperparah dengan sebagian besar pribumi yang ada di volksraad
adalah orang-orang konservatif (pegawai pemerintah), sementara jumlah pribumi lokal yang bersikap radikal hanya sedikit, itupun setelah ditunjuk oleh sang Gubernur Jenderal.
melalui satu badan pemilihan bulat, dipecah menjadi tiga badan pemilihan menurut golongan penduduk (Golongan Eropa, Bumiputera, Timur Asing) yang haras dipilih, serta diadakan sistem pembagian dalam 12 daerah pemilihan bagi pemilihan anggota warga negara Indonesia asli. Tetapi yang mempunyai hak pilih tetap anggota Dewan Kabupaten dan Dewan Daerah.
Walaupun keberadaan Volksraad sebagai wakil rakyat belum melakukan tugasnya sebagai wakil rakyat yang menyuarakan aspirasi rakyat, namun keberadaan Volksraad telah memberi pengalaman putera-puteri Indonesia untuk menjadi bibit demokrasi yang setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 menjadi bekal pertama dalam menyelenggarakan badan legislatif mendampingi eksekutif dan yudikatif.
4.1.2.Lembaga Perwakilan Indonesia Pasca Kemerdekaan
1. Masa Orde Lama
Untuk mengatasi kekosongan dari kelembagaan tersebut, dibentuklah Pasal IV Aturan Peralihan. 15Menurut Pasal tersebut dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP) yang menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DP A. Perkembangan mengenai KNIP dan dua minggu kemudian. BP-KNIP mengusulkan agar menteri-menteri bertanggung jawab kepada KNIP dalam kedudukannya sebagai lembaga perwakilan rakyat. Peraturan Tata tertib juga mengatur bagaimana anggota badan pekerja mempergunakan haknya:
1. Hak mengajukan usul
Sekurang-kurangnya tiga orang anggota dapat meminta keputusan Badan Pekerja tentang suatu hal, baik yang bersangkutan dengan acara rapat maupun tidak. Usul yang bersangkutan disertai penjelasan, dan dibicarakan dalam rapat pleno berikutnya
2. Hak Interpelasi
Interpelasi untuk meminta keterangan dari pemerintah tentang suatu masalah dapat diajukan oleh tiga orang anggota Badan Pekerja. Jika interpelasi dilakukan atas nama Badan Pekerja, pertanyaan yang diajukan anggota tersebut dirundingkan terlebih dahulum kemudian ketua seksi yang bersangkutan mengajukanya dalam rapat dnegan pemerintah. Setelah pemerintah memberikan keterangan, dilanjutkan dengan tanya jawab. Setelah itu, Badan Pekerja mengadakan rapat untuk merundingkan tindakan apakah yang perlu diambil lebih lanjut.
3. Hak Pengusutan
15
Atas usul tiga anggota, Badan Pekerja dapat mengadakan pengusutan. Untuk keperluan itu, kementrian atau jawatan yang bersangkutan diberi tahu tentang peraturan angket dan anggota-anggota yang ditunjuk untuk mengadakan angket membawa surat resmi dari ketua Badan Pekerja. Laporan anggota dirundingkan dalam rapat tertutup Badan Pekerja dan kesimpulan perundingan dijadikan bahan bagi suatu usul inisiatif RUU atau inisiatif lainnya.
4. Hak Pertanyaan
Tiap-tiap anggota dapat mengajukan pertanyaan tertulis kepada pemerintah dengan perantara ketua. Pertanyaan anggota dan jawaban pemerintah dibacakan dalam rapat Badan Pekerja. Rapat ini terbuka secara umum.
negara yang memperhatikan urusan kementrian perfahanan, negara dan pemuda, 6. Seksi Kemasyarakatan memperhatikan urusan pengajaran pendidikan, kesehatan dan agama.
Pada 27 Desember 1948, terjadi perubahan bentuk negara kesatuan Republik Indonesia menjadi federal pada akhir tahun 1949 merupakan kompromi sementara dari hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Sebagai konsekuensinya, Indonesia menerima pernbahan dari negara kesatuan menjadi negara Republik Indonesia Serikat yang memiliki banyak kesamaan seperti Amerika Serikat dalam bentuk pemerintahannya. Menurut Konstitusi RIS badan legislatif dibagi menjadi dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.16 Menurut Konstitusi RIS, jumlah anggota DPR terdiri dari 146 orang yang mewakili daerah/negara yang mewakili seluruh bagian dari Indonesia. Penunjukan anggota DPR dilakukan oleh daerah/negara bagian. Pimpinan DPR dipilih oleh anggota DPR dan disahkan oleh presiden. Selama ketua belum disahkan, rapat-rapat dipimpin oleh anggota yang tertua umurnya. Setelah melalui pemilihan, terpilihlah Mr.Sartono sebagai ketua dengan perolehan 51 suara, Wakil Ketua I Mr. A.M. Tambunan dan Wakil Ketua II Arudji Kartawinata.17
Sementara Senat yang terpilih adalah berjumlah 32 orang, yaitu masing-masing 2 anggota dari tiap daerah/negara bagian. Ketua Senat RIS diangkat oleh Presiden melalui usulan yang diajukan oleh anggota senat. Secara keseluruhan, cara kerja Senat RIS diatur dalam Tata Tertib Senat RIS. Dalam banyak hal, banyak ketentuan tertulis dalam Konstitusi RIS mengenai hak dan kewajiban Senat, namun hal itu belum dijalankan dengan sempuma. Hal ini karena Senat
16
Max Boboy, S.H. DPR RI : Dalam Perpektif Sejarah dan Tatanegaral (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994) hal 34
17
merupakan "badan baru" dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi di Indonesia.
Pada 15 Agustus 1950, DPR, Senat dan pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) menyetujui Rancangan UUDS Negara Kesatuan RI (Undang-Undang No.7/1850, Lembaran Negara No. 56/1950) yang memuruskan bahwa : 1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi, 2. Pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia yang meliputi daerah Indonesia dengan Undang-Undang Dasar Sementara yang mulai berlaku pada 17 Agustus 1950. Maka semenjak dari itu, RIS secara resmi dibuabarkan dan digantikan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berarti dimulai dengan berlakunya UUDS. Berdasarkan UUDS, Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) yang baru ini dibentuk untuk mewakili rakyat Indonesia dan terdiri dari dimana anggotanya dipilih berdasarkan perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk warga negara Indonesia mempunyai seorang wakil (menurut Pasal 56, UUDS).
DPRS yang baru dibentuk dibentuk mengangkat sumpah menurut Pasal 63 UUDS, dihadapan Presiden Soekamo tanggal 16 Agustus 1950. Pelantikan DPRS menyusul pada sore hari tanggal 16 Agustus 1950 oleh Ir. Soekarno.18 Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari Dewan Perwakilan RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dan 13 anggota dari Dewan Pertimbangan Agung Rl -Yogya. Anggota pengganti diangkat oleh presiden berdasarkan usul DPR atas anjuran partai atau fraksi anggota yang harus diganti. Apabila anggota
18
tang harus diganti tidak masuk suatu partai atau fraksi, maka Presiden mengangkat pengganti anggota atas saran Dewan Menteri.
Kedudukan, tugas dan wewenang DPRS diatur dalam Undang-Undang Sementara (UUDS). Dalam pasal 89 dan 90 UUDS disebutkan bahwa : (1) Usul Pemenntah tentang Undang-Undang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan amanat Presiden (2) Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan usul undang-undang kepada pemenntah. Walau dalam Pasal 90 UUDS DPR mempunyai hak inisiatif, pada umumnya Rancangan Undang-Undang (RUU) dibuat oleh Pemerintah dan disampaikan kepada DPR. Dalam pasal 113 sampai 116 UUDS ditetapkan bahwa DPR mempunyai hak menetapkan Anggaran Negara. Ditetapkan bahwa semua anggaran pengeluaran negara Republik Indonesia ditetapkan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR. Usul undang-undang untuk menetapkan anggaran umum itu dimajukan oleh pemerintah ke DPR sebelum masa yang berkenaan dengan anggaran itu. Masa itu tidak boleh lebih dari dua tahun. Pengeluaran dan pemasukan negara dipertanggungjawabkan kepada DPR yang kemudian disahkan oleh Dewan Pengawasan Keuangan, menurut aturan-aturan yang diberikan UUDS Pasal 116. Kemudian didalam Pasal 83 ayat (2) UUDS juga disebutkan bahwa para menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya ataupun untuk bagiannya sendiri. Ketentuan ini berarti bahwa DPR berhak dan berkewajiban untuk mengawasi segala kebijakan ataupun kegiatan pemerintah.
a. Hak Amandemen, seperti yang dirumuskan pada Pasal 91 UUDS, "Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengadakan perabahan-perubahan usul undang-undang yang dimajukan pemerintah kepadanya"
b. Hak Interpelasi dan Hak Bertanya, dirumuskan dalam Pasal 69 UUDS, (1) Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi dan hak bertanya, (2) Menteri-menteri memberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, baik dengan lisan maupun dengan tertulis, segala penerangan menurut ayat yang lalu dan yang pemberiannya dianggap tidak berlawanan dengan kepentingan umum Republik Indonesia
c. Hak Angket, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 70 UUDS, Dewan Perwakilan Rakyat berhak mempunyai hak menyelidiki menurut aturan-aturan yang ditetapkan oleh Undang-Undang
d. Hak Kekebala, seperti yang tercantum pada Pasal 71 UUDS, "Ketua dan anggota DPR begitu pula menteri-menteri tidak dapat dituntut dimuka pengadilan karena yang dikatakannya dalam rapat atau yang dikemukakannya dalam surat kepada majelis kecuali jika mereka mengumumkan apa yang dikatakan atau yang dikemukakan dalam rapat tertutup dengan syarat supaya dirahasiakan"
e. Forum Privelegiatum, seperti yang tercantum dalam Pasal 71 UUDS, "Ketua, wakil ketua dan anggota DPR akan diadili di tingkat pertama dan tertinggi Mahkamah Agung, bahkan bila sekalipun mereka sudah berhenti, bila terbukti melakukan suatu kejahatan
dengan akar demokrasi yang terdapat dalam masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, pada tahun 1955 pertama kalinya diadakan pemilihan umurn (pemilu) untuk memilih anggota DPR yang berdasarkan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum pada tanggal 29 September 1955. Anggota DPR yang dipilih berjumlah 272 orang. Secara keseluruhan, tugas dan wewenang DPR hasil Pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS. Hal ini terbukti dengan masih berlakunya UUDS sebagai pijakan dalam tata tertib DPR hasil Pemilu.19 Namun, pada 5 Juli 1959 setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden, tugas dan wewenang DPR hasil Pemilu 1955 mengalami perubahan. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada UUD 1946, ternyata posisi DPR lebih kuat daripada pemerintah terutama dalam penentuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan hal ini kurang disenangi oleh Presiden. Presiden mengecam bahwa DPR kurang dapat bekerjasama dengan pemerintah. Melalui Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960, tanggal 5 Maret 1960, Presiden menghentikan kinerja DPR dengan "Penghentian pelaksanaan tugas dan pekerjaan anggota-anggota DPR sekarang"
Dengan berakhirnya masa tugas DPR hasil Pemilu 1955, dalam waktu yang bersamaan Presiden membentuk suatu bentuk DPR yang baru, yang disebut dengan DPR Gotong Royong. Pada tanggal 24 Juni 1960, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No.4/1960 yang mengatur susuna Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Adapun susunan DPR-GR tidak lagi berdasarkan partai politik ataupun organisasi seperti DPR sebelumnya, tetapi diatur sedemikian rupa untuk menjamin adanya kerja sama dan gotong royong antara pemerintah dan DPR-GR. Keanggotaan DPR-GR hanya diberikan kepada
19
golongan politik, golongan karya dan seorang wakil dari Irian Barat. Demikian pula ketua dan wakil ketua DPR-GR diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. DPR-GR juga dirancang untuk turut membangun USDEK (Undang-Undang Dasar, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) seperti yang dinyatakan Presiden dalam pelantikan DPR-GR :
"DPR-GR mempunyai tugas satu, merabantu Pemeriatah, artinya pula membantu kepada segenap rakyat Indonesia untuk merealisasikan USDEK. Untuk merealisasikan Sosialisme Indonesia, sebab untuk itulah rakyat berjuang".20
Keanggotaan DPR-GR semua diangkat oleh Presiden sesuai dengan keputusan presides No. 156 tahun 1960. Namun, pada 12 Mi 1960, Presiden menulis surat kepada DPR No.2292/HK/60, berisi permintaan agar dilakukan penyederhanaan golongan-golongan yang ada didalam anggota DPR-GR. Hal ini diminta karena sering timbulnya kekacauan dan kurang beriungsinya DPR diakibatkan karena banyaknya jumlah partai politik dan golongan dalam DPR sehingga sering terjadi pergesekan dan sulit mendapatkan harmonisasi. Golongan-golongan yang semula ada 23 Golongan-golongan, disederhanakan menjadi 5 Golongan-golongan yaitu Golongan Nasionalis yang terdiri dari PNI, Partindo, dan Partai Murba, Golongan Islam terdiri dari NU, PSII dan Perti, Golongan Kristen-Katolik, Golongan Komunis dan Golongan Karya.
Pembentukan DPR-GR dan penentuan tugas dan haknya sebenarnya agak menyimpang dari ketentuan UUD 1945.21 Hal ini terbukti dari susunan DPR-GR yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dalam peraturan Presiden No.
20
A.M Fatwa. Potret Konstitusi Pasca Amandemen 1945 (Jakarta : PT. Gramedia, 2002) hai 88-89
21
32/1964, dipertegas bahwa DPR-GR adalah sebagai pembantu Presiden. Adapun salah satu kewajiban Ketua dan Wakil Ketua DPR-GR adalah memberikan laporan kepada Presiden pada waktu-waktu tertentu. Hak dan kewajiban DPR-GR tidak disusun didalam Tata Tertib seperti DPRS atau DPR hasil Pemilu 1955 sebelumnya, melainkan lebih disesuaikan kepada ide MANIPOL. Namun terdapat sebuah badan baru dalam praktek DPR-GR yaitu adanya menteri penghubung antara Presiden dan DPR-GR. Pada 30 September 1965 merupakan masa berakhirnya eksistensi PKI di Indonesia. Adanya kemelut politik yang disinyalir pengkhianatan dari PKI membuat PKI dan ormas-ormas atau simpatisannya dikeluarkan dari keanggotaan DPR-GR. Pecahnya G.30.S diikuti dengan kekalutan politik di Indonesia diikuti dengan kekalutan politik di Indonesia. Kepemimpinan Soekamo mendapat kecaman terutama dari generasi muda dan TNI Angkatan Darat. Dalam suasana ini, DPR-GR berusaha mereorganisasi keanggotaan dan cara kerjanya, Namun, ketegangan politik semakin berkembang hingga akhirnya keluar "Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekamo kepada Letjend. Soeharto tentang peralihan kekuasaan. Sehingga berakhirlah masa-masa DPR-GR orde lama dan berganti ke DPR-GR orde baru.
Tugas dan wewenang DPR-GR diatur dan ditetapkan dalam Peraturan Tata Tertib GR yang disempurnakan oleh DPR sendiri melalui keputusan DPR-GR No.10/DPR-DPR-GR/III67-68 yang berisi:
a. DPR-GR bersama dengan Pemerintah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
c. Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan Pemerintah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Disamping ketentuan yang terdapat dalam Tata Tertib DPR-GR, pelaksanaan fungsi dan hak DPR juga mencakup hak kekebalan, hak forum privilegiatum, dan diberikan fasilitas tertentu seperti penggunaan kereta api, kapal laut dan kapal terbang atas biaya negara.
4.1.3.Lembaga Perwakilan Indonesia Era Orde Baru (1966-1997)
Sejak 1966 sampai 1997 Indonesia tekah melakukan lima kali pemilu. Lewat lima pemilu, secara perlahan DPR telah mengisi pesan yang terdapat pada pembukaan UUD 1945. Dan satu hal yang nyata adalah RI dapat menyelenggarakan Pemilu seeara teratur dan selangkah demi selangkah belajar mulai dari penyelenggaraan pemiiu, pengisian tugas di DPR ditengah pembangunan segala bidang.
Sesuai dengan UU No. 15/1969, maka pada 3 Mei 1971 di Indonesia dilakukan pemilihan wakil-wakil rakyat untuk tingkat DPR dan MPR. Keanggotaan DPR 1971 adalah 460 orang.22 360 orang hasil pemilihan umum dengan komposisi setelah ada dua ftisi partai-partai 1974 : Golkar 236 orang, PPP 94 orang, PDI 30 orang dan 75 orang dari hasil pengangkatan dari Golongan Karya ABRI dan 25 dari Golongan Karya Non-ABRI. Sesuai dengan Tata Tertib DPR-RI dirumuskan bahwa DPR adalah Lembaga Negara yang bertanggung jawab dan berwenang untuk menjalankan tugas utamanya, yaitu:
a. Bersama-sama dengan Pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya
22
b. Bersama-sama dengan Pemerintah membentuk Undang-Undang sesuai dengan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya
c. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBN dan kebijaksanaan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945 dan penjelasannya
Periode kepemimpinan DPR tahiui 1971-1977 pun berakhir, dan pada 2 Mei 1977 diselenggarakanlah Pemilu sesuai perubahan UU Pemiiu No. 15/1969 menjadi UU No.4/1975 serta pelaksanaan Ketentuan dari Ketetapan MPR No.VIII/MPR/1973 tentang Pemiiu. Jumlah anggota DPR 1977 yang terpilih berjumlah 360 anggota dengan komposisi : Golkar 232 orang, PPP 90 orang, PDI 29 orang. Anggota DPR yang diangkat berjumlah 100 orang yaitu 75 orang Golongan Karya ABRI dan 25 orang Golongan Karya Non-ABRI. Susunan kepemimpinan DPR 1977-1982 : H. Adam Malik sebagai Ketua, Mashuri S.H sebagai Wakil Ketua, Kartdjo sebagai Wakil Ketua II, Moh. Isnaeni sebagai Wakil Ketua III, K.H, Masykur sebagai Wakil Ketua IV.
Tugas dan wewenang DPR periode 1971-1977 dituangkan lebih terperinci dalam Peraturan Tata Tertib DPR-RI sebagai berikut: 23
a. Bersama-sama dengan Presiden membentuk Undang-Undang b. Bersama-sama dengan Presiden menetapkan APBN
c. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang, pelaksanaan APBN dan pengelolaan Keuangan Negara serta Kebijaksanaan Pemerintah sesuai dengan UUD 1945ketetapanMPR
23
d. Membahas untuk meratifikasi dan/atau memberikan persetujuan atas pernyataan perang, pembuatan perdamaian serta perjanjian lainnya yang dilakukan Presiden
e. Membahas hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang diberitahukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
f. Melaksanakan hal-hal yang ditugaskan ketetapan MPR kepada DPR
Untuk kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, DPR dapat mengadakan konsultasi dan koordinasi dengan Lentbaga Tinggi Negara lainnya. Disamping itu, DPR juga diberikan hak seperti hak meminta keterangan (interpelasi), hak angket, hak amandemen, dan hak mengajukan Rancangan Undang-Undang.
Masa kepemimpinan DPR dilanjutkan oleh DPR Periode 1982-1987 melalui hasil Pemilu 4 Mei 1982 berlandaskan UU No.4/1975 yang diubah menjadi UU No.2/1980 A3\dari Timor Timur paling banyak dipilih 4 orang dan dipilih oleh anggota DPR golongan Karya Non-ABRI. Jumlah anggota DPR periode 1982-1987 berjumlah 460 orang; 360 orang dipilih dengan Golongan Karya sebanyak 246 orang, PDI sebanyak 24 anggota dan PPP sebanyak PPP, 100 orang lagi diangkat yang berasal dari Golongan Karya ABRI 75 Orang, 25 orang dari Golongan Karya Non-ABRI dan 4 orang dari Pemilu Timor Timur. Hak dan wewenang angota DPR periode 1982-1987 masih sama seperti DPR sebelumnya dan tidak ada perubahan apapun.
sejumlah 40 orang karena bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia sesuai dengan keputusan MPR 1983. Demikian pula 100 anggota DPR yang diangkat terdiri dari hanya Golongan Karya ABRI. Pada Pemilu 1992 yang dilaksanakan pada 9 Juni 1992, sekaligus merupakan pemilu legislatif kelima dalam masa rezim orde baru. Cara pembagian kursi DPR pada periode ini masih tetap sama, hanya saja pada saat itu perolehan suara Golkar mengalami penurunan, hal tersebut dapat dilihat dimana perolehan suara Golkar menurun hingga haras kehilangan 17 kursi daripada tahun sebelumnya. Setelah lebih dari 30 tahun Republik Indonesia dipimpin oleh Soeharto dalam masa orde baru, akhirnya rezim kekuasaan Soeharto pun jatuh karena ketidakstabilan politik yang terjadi dan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Terjadi demonstrasi besar-besaran untuk menjatuhkan rezim Soeharto, terutama pada kalangan mahasiswa. Soeharto juga mengalami pengkhianatan dikubu pemerintahan, hingga akhirnya pada Mei 1998 Soeharto pun jatuh dari kursi kekuasaannya dan berakhir pula rezim orde baru dan lahirlah sebuah era baru yang disebut dengan “Era Reformasi”
4.1.4.Lembaga Perwakilan Indonesia di Era Reformasi (1998-saat ini)
lebih dari tiga dasawarsa. Sehingga dengan demikian masyarakat menuntut untuk dilakukannya pemilihan ulang yang slfatnya jujur dan adil yang bertujuan untuk memilih anggota Parlemen (DPR) yang sesuai dengan pilihan masyarakat.
Pada tahun 1999, tepatnya pada tanggal 7 Juni diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota Parlemen ditingkat pusat dan daerah. Pemilu ini tercatat sebagai Pemilu pertama sejak era reformasi digulirkan. Reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 juga menyinggahi tubuh Parlemen/DPR.24 Sejak digulirkannya era Reformasi, maka yang menjadi peserta Pemilu Legislatif tidak lagi terdiri hanya tiga partai politik saja seperti apa yang berlangsung selama pemerintahan Orde Baru (Orba) berkuasa. Reformasi memberikan jalan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk berserikat dan politik sehingga terbentuklah partai-partai poltiik baru. Tercatat pada saat dilangsungkannya Pemilu 1999 ada 48 partai politik yang menjadi peserta pada pemilu tersebut.
Selain perubahan pada jumlah partai politik dalam hal memperebutkan kursi di parlemen, perubahan dalam-tubuh parlemen juga terjadi pada komposisi parlemen itu sendiri. Parlemen pada era reformasi tidak mayoritas oleh kelompok-kelompok yang selama ini menjadi pendukung setia kekuasaan pemerintah (seperti TNI/POLRI, Pegawai Negeri, dll) seperti apa yang selama ini terjadi pada orde baru. Hal ini tentu saja telah membuat parlemen mayoritas diisi oleh orang-orang yang mewakili partai politik yang berarti merupakan pilihan rakyat secara langsung. Perubahan ini bermaksud supaya semua anggota parlemen merupakan orang yang benar-benar dipilih langsung oleh rakyat, tanpa adanya orang-orang yang dipilih oleh pemegang kekuasaan tertentu. Dengan demikian, partai
24
politik menjadi satu-satunya lembaga yang dapat mengirimkan wakilnya untuk duduk di kursi parlemen.
Parlemen di era reformasi menjalankan fungsi yang lebih dinamis jika dibandingkan pada orde baru. Parlemen pada era orde baru bersifat statis dan cenderung menjadi lembaga yang meligitimasi dari kekuasaan yang dikendalikan oleh Soeharto. Hal ini disebabkan karena pada masa orde baru dapat dikatakan hampir tidak ada fiingsi pengawasan yang dilakaukan parlemen terhadap badan eksekutif. Ini disebabkan karena komposisi parlemen pada saat itu mayoritas diisi oleh orang-orang yang mengabdi pada kekuasaan yang dimiliki oleh Soeharto. Parlemen pada awal era reformasi (pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid/Gusdur) justru lebih bersifat aktif. Parlemen pada saat itu bahkan berni melakukan sidang istimewa sebagai bentuk balasan atas kebijakan presiden yang mengeluarkan dekrit.
