• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 40% KULIT MANGGIS (Garcinia Mangostana L.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR DAN GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague Dawley YANG DIINDUKSI ISONIAZID

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 40% KULIT MANGGIS (Garcinia Mangostana L.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR DAN GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague Dawley YANG DIINDUKSI ISONIAZID"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ABSTRACT

THE EFFECT OF ADMINISTRATING ETHANOL EXTRACT 40% OF MANGOSTEEN PEEL (Garcinia Mangostana L.) TOWARDS A LIVER HISTOPATHOLOGY AND THE MALE STRAIN Sprague Dawley OF THE

KIDNEY OF WHITE RATS (Rattus Norvegicus) THAT ARE INDUCTED BY ISONIAZID

By

FAKHMIYOGI

Isoniazid is one of tuberculosis drugs which inducts kidney and liver malfunction. Mangosteen peel has the pharmacology activities such as anti-inflammatory, antihistamine, the treatment of heart disease, anti bacterial, and anti-fungal. Xanthone compound in mangosteen peel is considered to be able to influence the liver and kidney damage which are impacted by using isoniazid. The objective of this research is to find out the effect of administrating ethanol extract 40% of mangosteen peel (Garcinia mangostana L.) towards a liver histopathology and the male strain Sprague Dawley of the kidney of white rats that are inducted by isoniazid.

In this research, 25 male rats were divided in each five group randomly and they were given treatment for 14 days. K1 was given aquadest, K2 was given isoniazid 30 mg/100gBB), K3 was given mangosteen peel extract 20 mg/100grBB and isoniazid 30 mg/100gBB, K4 was given mangosteen peel extract 40 mg/100gBB and isoniazid 30 mg/100gBB, K5 was given mangosteen peel extract 80 mg/100gBB and isoniazid 30 mg/100gBB.

The result of this research showed that the average of number of the swelling hepatocyte cells in K1: 3±4,472; K2: 96±4,183; K3: 61±4,183; K4: 42±7,582; dan K5: 16±5,477 and the average of number of the renal tubules damage in K1: 2,50±2,50; K2: 92,5±1,76; K3: 66,5±3,79; K4: 39±3,35; dan K5: 8±2,09. The conclusion of this research showed that ethanol extract 40% of mangosteen peel with dose are 20 mg/100gBB, 40 mg/100gBB, and 80 mg/100gBB have the effect towards a liver histopathology and rats kidney that are inducted by isoniazid.

(3)

ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 40% KULIT MANGGIS (Garcinia Mangostana L.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR DAN GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague Dawley YANG

DIINDUKSI ISONIAZID

Oleh

FAKHMIYOGI

Isoniazid merupakan salah satu obat tuberkulosis yang menginduksi kerusakan hepar dan ginjal. Kulit manggis mempunyai aktifitas farmakologi seperti antiinflamasi, antihistamin, pengobatan penyakit jantung, antibakteri, dan antijamur. Senyawa xanton dalam kulit manggis dianggap mampu mempengaruhi kerusakan hepar dan ginjal akibat penggunaan isoniazid. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol 40% kulit manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap gambaran histopatologi hepar dan ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) Jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi isoniazid.

Pada penelitian ini, 25 tikus jantan dibagi dalam 5 kelompok secara acak dan diberi perlakuan selama 14 hari. K1 yang diberi aquadest, K2 yang diberi isoniazid 30mg/100gBB), K3 yang diberi ekstrak kulit manggis 20mg/100grBB dan isoniazid 30mg/100gBB, K4 yang diberi ekstrak kulit manggis 40mg/100gBB dan isoniazid 30mg/100gBB, dan K5 yang diberi ekstrak kulit manggis 80mg/100gBB dan isoniazid 30mg/100gBB.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata jumlah pembengkakan sel hepatosit pada K1: 3±4,472; K2: 96±4,183; K3: 61±4,183; K4: 42±7,582; dan K5: 16±5,477 dan rerata jumlah kerusakan tubulus ginjal pada K1: 2,50±2,50; K2: 92,5±1,76; K3: 66,5±3,79; K4: 39±3,35; dan K5: 8±2,09. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa ekstrak etanol 40% kulit manggis dosis 20 mg/100gBB, 40 mg/100gBB, dan 80 mg/100gBB berpengaruh terhadap gambaran histopatologi hepar dan ginjal tikus yang diinduksi isoniazid.

(4)
(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori ... 8

2. Kerangka konsep ... 9

3. Gambaran makroskopik hati manusia dari anterior ... 13

4. Lobulus hepatik ... 15

5. Gambaran mikroskopik dengan perbesaran 30x hati manusia ... 16

6. Pembengkakan sel disertai vakuolisasi ... 17

7. Anatomi ginjal manusia ... 21

8. Histologi ginjal normal manusia ... 22

9. Penampang histologi normal ginjal ... 24

10.Ginjal manusia ... 26

11.Potongan melintang ginjal tikus yang mengalami kerusakan ... 28

12.Edema glomerulus pada ginjal tikus yang dikelilingi oleh tubulus yang mengalami degenerasi hidropis ... 28

13.Struktur isoniazid ... 31

14.Garcinia mangostana L. ... 36

(6)

viii

16.Histopatologi hepar tikus kelompok kontrol normal ... 60

17.Histopatologi hepar tikus kelompok kontrol positif ... 61

18.Histopatologi hepar tikus kelompok III ... 62

19.Histopatologi hepar tikus kelompok IV ... 63

20.Histopatologi hepar tikus kelompok V ... 64

21.Grafik perbandingan persentasi hepatosit yang mengalami degenerasi bengkak keruh ... 67

22.Histopatologi ginjal tikus kelompok kontrol normal ... 72

23.Histopatologi ginjal tikus kelompok kontrol positif ... 73

24.Histopatologi ginjal tikus kelompok III ... 74

25.Histopatologi ginjal tikus kelompok IV ... 75

26.Histopatologi ginjal tikus kelompok V ... 76

27.Grafik perbandingan persentasi sel nekrosis tubulus ... 80

(7)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1. Foto-foto Gambaran Histopatologi Hepar Tikus

2. Lampiran 2. Foto-foto Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus

3. Lampiran 3. Foto-foto Penelitian

4. Lampiran 4. Hasil Analisis Statistik Histopatologi Hepar Tikus

5. Lampiran 5. Hasil Analisis Statistik Histopatologi Ginjal Tikus

(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tuberkulosis adalah infeksi bakteri melalui udara yang disebabkan oleh

mikroorganisme Mycobacterium tuberculosis yang terutama menyerang paru,

meskipun organ dan jaringan-jaringan lain mungkin dapat terlibat. Sekitar 2,2

miliar orang, atau sepertiga dari populasi dunia, terinfeksi bakteri tuberkulosis

dimana kebanyakan dari penderita adalah tuberkulosis laten, yang berarti dalam

tubuh mereka terdapat kuman tuberkulosis, tetapi sistem kekebalan tubuh mereka

dapat melindungi mereka untuk tidak menjadi sakit. Bagaimanapun, lebih dari

9,2 juta orang mengidap penyakit tuberkulosis aktif (American Lung

Association, 2010).

Prevalensi tuberkulosis di Indonesia sangat tinggi. Dalam Global Tuberculosis

Report WHO 2013, Indonesia menduduki peringkat kesembilan dengan insidensi

185 kasus per 100 ribu penduduk dan peringkat ketiga dalam regional

asia-tenggara dengan angka kasus kejadian mencapai 82.799 kasus baru pada tahun

(9)

Indonesia, meningkat dari sebelumnya yang hanya berjumlah 71.454 kasus

(WHO, 2013).

Regimen pengobatan untuk Tuberkulosis Nasional yang direkomendasikan,

yakni: Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Etambutol (E), pirazinamid (P) dan

Streptomisin (S) (Kishore dkk, 2010). Efek samping yang mungkin timbul adalah

hepatotoksik. Obat anti tuberkulosis yang dapat menyebabkan hepatotoksik salah

satunya adalah isoniazid. Rifampisin sebagai obat utama tuberkulosis

mempunyai efek hepatotoksik yang paling rendah bila dibandingkan dengan

isoniazid (Sherlock & Dooley, 2011). Pengobatan TB membutuhkan waktu

panjang sekitar 6 sampai 8 bulan untuk mencapai penyembuhan dengan

kombinasi beberapa macam obat (Bagiada & Primasari, 2010).

Isoniazid adalah obat yang sangat efektif untuk pengobatan tuberkulosis (TB)

dibandingkan dengan obat antituberkulosis yang lainnya secara eksperimen pada

hewan percobaan. Akan tetapi, efek samping yang ditimbulkan dari obat

Isoniazid cukup banyak seperti neurotoksisitas pusat dan perifer serta

hepatotoksisitas yang ditandai dengan uji fungsi hati yang abnormal, peningkatan

kadar bilirubin dan nekrosis multilobular (Katzung, 2008). Toksisitas ginjal

isoniazid telah dilaporkan secara sporadis dan histologi nefrotoksisitas dari

isoniazid dikaitkan dengan nefritis akut tubulointerstitial (ATIN), tubular

nekrosis, nekrosis papiler, nekrosis kortikal akut, dan penyakit perubahan

(10)

3

WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam

pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit,

terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga

mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat

tradisional (WHO, 2008).

Salah satu manfaat dari kulit buah manggis adalah sebagai antioksidan. Jung et

al. (2006) dalam penelitiannya mengenai senyawa antioksidan kulit manggis

pada tikus yang diinduksi DMBA (7,12-dimethylbenz[α]anthracene) didapatkan

bahwa dari berbagai senyawa xanthone yang terisolasi, mayoritas secara aktif

menginhibisi adalah α-mangostin dan γ-mangostin. Dan dalam Chen et al.

(2008), menunjukkan bahwa senyawa α-mangostin dan γ-mangostin juga

mempuyai potensi sebagai antiinflamasi. Selain xanthone, antosianin pada kulit

manggis juga merupakan senyawa yang potensial memiliki aktivitas antioksidan

(Supiyanti dkk., 2010).

Berdasarkan hal diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh pemberian

ekstrak etanol 40% kulit manggis (Garcinia mangostana L.) yang diindikasi

memiliki efek antioksidan dan antinflamasi terhadap gambaran histopatologis

hepar dan ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley

(11)

1.2Perumusan Masalah

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah penting bagi kesehatan karena merupakan

salah satu penyebab utama kematian. Ada sekitar sepertiga penduduk dunia telah

terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis dan 98% diantaranya mengalami

kematian. Pengobatan untuk mengatasi tuberkulosis dirasa belum memuaskan

karena memiliki efek samping yang tidak baik bagi kesehatan. Oleh karena itu

diperlukan suatu hepatoprotektor dan nefroprotektor yang dapat diberikan

sebagai obat pendamping. Dari uraian singkat tersebut dapat dirumuskan :

1. Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak etanol 40% kulit manggis (Garcinia

mangostana L.) terhadap gambaran histopatologi hepar dan ginjal tikus putih

(Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi isoniazid ?

2. Apakah ada pengaruh pemberian peningkatan dosis ekstrak etanol 40% kulit

manggis (Garcinia mangostana L.) 20 mg, 40 mg, dan 80 mg terhadap

gambaran histopatologi hepar dan ginjal tikus putih (Rattus norvegicus)

jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi isoniazid ?

1.3Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui adanya pengaruh pemberian ekstrak etanol 40% kulit manggis

(Garcinia mangostana L.) terhadap gambaran histopatologi hepar dan ginjal

tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi

(12)

5

2. Tujuan Khusus

Mengetahui adanya pengaruh pemberian peningkatan dosis ekstrak etanol

40% kulit manggis (Garcinia mangostana L) 20 mg, 40 mg, dan 80 mg

terhadap gambaran histopatologi hepar dan ginjal tikus (Rattus norvegicus)

jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi isoniazid.

1.4Manfaat Penelitian

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai

efek ekstrak kulit mangggis terhadap hepar dan ginjal yang diinduksi oleh

Isoniazid.

b. Bagi Peneliti

Penelitian ini sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah dipelajari

sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti.

c. Bagi Pembangunan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan yang akan mendukung

upaya pemeliharaan tanaman buah manggis (Garcinia mangostana L.)

sebagai salah satu tanaman berkhasiat obat. Dengan demikian akan

mendukung upaya pemerintah untuk menyukseskan program tanaman obat

(13)

d. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (FK Unila)

Meningkatkan penelitian dibidang agromedicine sehingga dapat menunjang

pencapaian visi FK Unila sebagai Fakultas Kedokteran Sepuluh Terbaik di

Indonesia pada Tahun 2025 dengan Kekhususan agromedicine.

e. Bagi Peneliti Lain

Dapat dijadikan bahan acuan untuk dilakukannya penelitian yang serupa yang

berkaitan dengan efek kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.)

1.5 Kerangka Penelitian

1.5.1Kerangka Teori

Isoniazid adalah obat yang sangat efektif untuk pengobatan tuberkulosis

(TB) dibandingkan dengan obat antituberkulosis yang lainnya secara

eksperimen pada hewan percobaan. Akan tetapi, efek samping yang

ditimbulkan dari obat Isoniazid cukup banyak seperti neurotoksisitas pusat

dan perifer serta hepatotoksisitas yang ditandai dengan uji fungsi hati yang

abnormal, peningkatan kadar bilirubin dan nekrosis multilobular (Katzung,

2008).

Toksisitas ginjal isoniazid telah dilaporkan secara sporadis dan histologi

nefrotoksisitas dari isoniazid dikaitkan dengan nefritis akut

tubulointerstitial (ATIN), tubular nekrosis, nekrosis papiler, nekrosis

(14)

7

Kandungan kimia kulit buah manggis antara lain derivat xanton yaitu mangostin, gartanin, α-mangostin, γ-mangostin, garsimangoson B, garsinon

D, garsinon E, mangostinon, kudraxanton G, garsimangoson A,

(15)
(16)
(17)

1.6 Hipotesis

1. Ada pengaruh pemberian ekstrak etanol 40% kulit manggis (Garcinia

mangostana L.) terhadap gambaran histopatologi hepar dan ginjal tikus putih

(Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi isoniazid.

2. Ada pengaruh pemberian peningkatan dosis ekstrak etanol 40% kulit manggis

(Garcinia mangostana L.) 20 mg, 40 mg, dan 80 mg terhadap gambaran

histopatologi hepar dan ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Hati

2.1.1Anatomi Hati

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan berat

kurang lebih 1,5 kg (Junqueira dkk., 2007). Hati adalah organ viseral

terbesar dan terletak di bawah kerangka iga (Sloane, 2004).

Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas

abdominalis tepat di bawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di

profunda arcus costalis dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan

hepar dari pleura, pulmo, pericardium, dan cor. Hepar terbentang ke

sebelah kiri untuk mencapai hemidiaphragma sinistra (Snell, 2006).

Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena centralis pada masing-masing

lobulus bermuara ke venae hepaticae. Dalam ruangan antara

lobulus-lobulus terdapat canalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria

(19)

hepatis). Darah arteria dan vena berjalan di antara sel-sel hepar melalui

sinusoid dan dialirkan ke vena centralis (Sloane, 2004).

2.1.2Fisiologi Hati

Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu:

a. Metabolisme karbohidrat

Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen

dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa,

glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari

hasil perantara metabolisme karbohidrat.

b. Metabolisme lemak

Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain:

mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang

lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein,

membentuk lemak dari protein dan karbohidrat.

c. Metabolisme protein

Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,

pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh,

pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan

(20)

13

d. Lain-lain

Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan

vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati

membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah

banyak dan hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon

dan zat lain.

Gambar 3. Gambaran makroskopik hati manusia dari anterior (Putz & Pabst, 2007).

2.1.3Histologi Hati

Sel–sel yang terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel

makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun

lemak). Sel hepatosit berderet secara radier dalam lobulus hati dan

membentuk lapisan sebesar 1-2 sel serupa dengan susunan bata. Lempeng

sel ini mengarah dari tepian lobulus ke pusatnya dan beranastomosis secara

(21)

lempeng-lempeng ini mengandung kapiler yang disebut sinusoid hati

(Junquiera et al., 2007).

Sinusoid hati adalah saluran yang berliku–liku dan melebar, diameternya

tidak teratur, dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak utuh. Sinusoid

dibatasi oleh 3 macam sel, yaitu sel endotel (mayoritas) dengan inti pipih

gelap, sel kupffer yang fagositik dengan inti ovoid, dan sel stelat atau sel

Ito atau liposit hepatik yang berfungsi untuk menyimpan vitamin A dan

memproduksi matriks ekstraseluler serta kolagen. Aliran darah di sinusoid

berasal dari cabang terminal vena portal dan arteri hepatik, membawa

darah kaya nutrisi dari saluran pencernaan dan juga kaya oksigen dari

jantung (Eroschenko, 2010; Junqueira et al., 2007).

Traktus portal terletak di sudut-sudut heksagonal. Pada traktus portal, darah

yang berasal dari vena portal dan arteri hepatik dialirkan ke vena sentralis.

Traktus portal terdiri dari 3 struktur utama yang disebut trias portal.

Struktur yang paling besar adalah venula portal terminal yang dibatasi oleh

sel endotel pipih. Kemudian terdapat arteriola dengan dinding yang tebal

yang merupakan cabang terminal dari arteri hepatik. Dan yang ketiga

adalah duktus biliaris yang mengalirkan empedu. Selain ketiga struktur itu,

(22)

15

Gambar 4. Lobulus hepatik (Gartner, 2003).

Aliran darah di hati dibagi dalam unit struktural yang disebut asinus

hepatik. Asinus hepatik berbentuk seperti buah berry, terletak di traktus

portal. Asinus ini terletak di antara 2 atau lebih venula hepatic terminal,

dimana darah mengalir dari traktus portalis ke sinusoid, lalu ke venula

tersebut. Asinus ini terbagi menjadi 3 zona, dengan zona 1 terletak paling

dekat dengan traktus portal sehingga paling banyak menerima darah kaya

oksigen, sedangkan zona 3 terletak paling jauh dan hanya menerima sedikit

oksigen. Zona 2 atau zona intermediet berada diantara zona 1 dan 3. Zona 3

(23)

Gambar 5. Gambaran mikroskopik dengan perbesaran 30x hati manusia (Eroschenko, 2010).

2.1.4Histopatologi Hati

Jejas sel dalam hati dapat bersifat reversibel atau ireversibel (Chandrasoma

& Taylor, 2005).

1. Jejas reversible

a. Pembengkakan Sel

Pembengkakan merupakan manifestasi pertama yang ada hampir pada

semua bentuk jejas sel, sebagai akibat pergeseran air ekstraseluler ke

dalam sel, akibat gangguan pengaturan ion dan volume karena

(24)

17

Gambar 6. Pembengkakan sel disertai vakuolisasi; Ket.: 1. Sel yang MengalamiVakuolisasi; 2. Inti Sel Menggeser ke Tepi (Robbins dkk., 2007).

Bila air berlanjut tertimbun dalam sel, vakuol-vakuol kecil jernih

tampak dalam sitoplasma yang diduga merupakan retikulum

endoplasma yang melebar dan menonjol keluar atau segmen

pecahannya. Gambaran jejas nonletal ini kadang-kadang disebut

degenerasi hidropik atau degenerasi vakuol. Selanjutnya hepatosit

yang membengkak juga akan tampak edematosa (degenerasi balon)

dengan sitoplasma ireguler bergumpal dan rongga-rongga jernih yang

lebar (Robbins et al., 2007).

b. Perlemakan Hati

Perlemakan hati merupakan akumulasi trigliserida dalam sel-sel

parenkim hati. Akumulasi timbul pada keadaan berikut:

1. Peningkatan mobilisasi lemak jaringan yang menyebabkan

peningkatan jumlah asam lemak yang sampai ke hati;

1

(25)

2. Peningkatan kecepatan konversi dari asam lemak menjadi

trigliserida di dalam hati karena aktivitas enzim yang terlibat

meningkat;

3. Penurunan oksidasi trigliserida menjadi asetil-koA dan penurunan

bahan keton;

4. Penurunan sintesis protein akseptor lipid (Chandrasoma & Taylor,

2005).

2. Jejas Ireversibel

a. Nekrosis

Nekrosis sel dapat terjadi langsung atau dapat mengikuti degenerasi

sel (jejas reversibel). Gambaran mikroskopik dari nekrosis dapat

berupa gambaran piknosis, karioreksis, dan kariolisis. Berdasarkan

lokasinya nekrosis terbagi menjadi tiga yaitu nekrosis fokal,

nekrosis zona, nekrosis submasif. Nekrosis sel hati fokal adalah

nekrosis yang terjadi secara acak pada satu sel atau sekelompok

kecil sel pada seluruh daerah lobulus-lobulus hati. Nekrosis ini

dikenali pada biopsi melalui badan asidofilik (councilman) yang

merupakan sel hati nekrotik dengan inti piknotik atau lisis dan

sitoplasma terkoagulasi berwarna merah muda. Selain itu dapat

dikenali juga pada daerah lisis sel hati yang dikelilingi oleh

kumpulan sel kupffer dan sel radang. Nekrosis zona sel hati adalah

(26)

19

lobulus hati, sedangkan nekrosis submasif merupakan nekrosis sel

hati yang meluas melewati batas lobulus, sering menjembatani

daerah portal dengan vena sentralis (bridging necrosis).

(Chandrasoma & Taylor, 2005).

b. Fibrosis

Fibrosis merupakan akumulasi matriks ekstraseluler yang

merupakan respon dari cedera akut atau kronik pada hati. Pada

tahap awal, fibrosis mungkin terbentuk di dalam atau di sekitar

saluran porta atau vena sentralis atau mungkin mengendap langsung

didalam sinusoid. Hal ini merupakan reaksi penyembuhan terhadap

cedera.Cedera pada hepatosit akan mengakibatkan pelepasan

sitokin dan faktor solubel lainnya oleh sel kupffer serta sel tipe

lainnya pada hati. Faktor-faktor ini akan mengaktivasi sel stelat

yang akan mensintesis sejumlah besar komponen matriks

ekstraseluler (Robbins et al., 2007).

c. Sirosis

Berlanjutnya fibrosis dan cedera parenkim menyebabkan hepar

terbagi-bagi menjadi nodus hepatosit yang mengalami regenerasi

dan dikelilingi oleh jaringan parut. Jaringan parut ini disebut sirosis

(27)

2.2 Ginjal

2.2.1Anatomi Ginjal

Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum,

di depan dua iga terakhir, dan tiga otot besar transversus abdominis,

kuadratus llumborum, dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan dalam posisi

tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kelenjar adrenal terletak diatas

kutub masing-masing ginjal. Ginjal terlindung dengan baik dari trauma

langsung-di sebelah posterior dilindungi oleh kosta dan otot-otot yang

meliputi kosta, sedangkan di anterior dilindungi oleh bantalan usus yang

tebal. sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri karena besarnya lobus

hepatis dekstra (Price & Wilson, 2006).

Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 cm sampai 13 cm (4,7

hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci) dan

beratnya sekitar 150 g. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan

ukuran tubuh. Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal yang

lebih dari 1,5 cm (0,6 inci) atau perubahan bentuk merupakan tanda yang

penting karena sebagian besar manifestasi penyakit ginjal adalah perubahan

struktur (Price &Wilson, 2006).

Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian korteks dan medula ginjal

(Junquiera et al., 2007). Di dalam korteks terdapat berjuta–juta nefron

(28)

21

unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas tubulus kontortus

proksimal, tubulus kontortus distal, dan tubulus koligentes (Purnomo,

2012).

Setiap ginjal memiliki sisi medial cekung, yaitu hilus tempat masuknya

syaraf, masuk dan keluarnya pembuluh darah dan pembuluh limfe, serta

keluarnya ureter dan memiliki permukaan lateral yang cembung (Junquiera

et al., 2007). Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor,

infundibulum, kaliks major, dan pielum/pelvis renalis.

Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang

langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui

vena renalis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri

ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis

dengan cabang–cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan

salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada

(29)

Gambar 7. Anatomi ginjal manusia (Moore & Agur, 2002).

2.2.2 Histologi Ginjal

Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagi nefron. Dalam setiap ginjal

terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan

fungsi yang sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai

jumlah total dari fungsi semua nefron tersebut (Price & Wilson, 2006).

Setiap nefron terdiri atas bagian yang melebaryakni korpuskel renalis,

tubulus kontortus proksimal, segmen tipis, dan tebal ansa henle, tubulus

kontortus distal, dan duktus koligentes (Junquiera et al., 2007).

Gambar 8. Histologi ginjal normal manusia (Slomianka, 2009).

1. Tubulus Kontortus Proksimal

Pada kutub urinarius di korpuskel renalis, epitel gepeng di lapisan

parietal kapsula bowman berhubungan langsung dengan epitel tubulus

kontortus proksimal yang berbentuk kuboid atau silindris rendah. Filtrat

(30)

23

tubulus kontortus proksimal yang merupakan tempat dimulainya proses

absorbsi dan ekskresi. Selain aktivitas tersebut, tubulus kontortus

proksimal mensekresikan kreatinin dan subsatansi asing bagi

organisme, seperti asam para aminohippurat dan penisilin, dari plasma

interstitial ke dalam filtrat (Junquiera et al., 2007).

2. Tubulus Kontortus Distal

Segmen tebal asenden ansa henle menerobos korteks, setelah menempuh

jarak tertentu, segmen ini menjadi berkelak–kelok dan disebut tubulus

kontortus distal. Sel–sel tubulus kontortus distal memiliki banyak

invaginasi membran basal dan mitokondria terkait yang menunujukkan

fungsi transpor ionnya (Junquiera et al., 2007).

3. Tubulus Duktus Kolingentes

Tubulus koligentes yang lebih kecil dilapisi oleh epitel kuboid. Di

sepanjang perjalanannya, tubulus dan duktus koligentes terdiri atas sel–

sel yang tampak pucat dengan pulasan biasa. Epitel duktus koligentes

responsif terhadap vasopressin arginin atau hormon antidiuretik, yang

disekresi hipofisis posterior. Jika masukan air terbatas, hormon

antidiuretik disekresikan dan epitel duktus koligentes mudah dilalui air

(31)

Gambar. 9. Penampang histologi normal ginjal (Eroschenko, 2010).

2.2.3 Fisiologi Ginjal

Menurut Guyton & Hall (2008), ginjal adalah organ utama untuk

membuang produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh.

Produk-produk ini meliputi urea (dari sisa metabolisme asam amino),

kreatin asam urat (dari asam nukleat), produk akhir dari pemecahan

hemoglobin (bilirubin). Ginjal tersusun dari beberapa juta unit fungsional

(nefron) yang akan melakukan ultrafiltrasi terkait dengan ekskresi

(pembentukan urin) dan reabsorpsi. Kerja ginjal dimulai saat dinding

kapiler glomerulus melakukan ultrafiltrasi untuk memisahkan plasma darah

(32)

25

Berikut ini adalah fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang

sebagian besar ditujukkan untuk mempertahankan kestabilan lingkungan

cairan internal:

Fungsi Eksresi:

1. Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mili Osmol

dengan mengubah-ubah ekresi air;

2. Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan

mengubah-ubah ekresi natrium;

3. Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit

individu dalam rentang normal;

4. Mempertahankan derajat keasaman/pH plasma sekitar 7,4 dengan

mengeluarkan kelebihan hidrogen dan membentuk kembali karbonat;

5. Mengeksresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein

(terutama urea, asam urat dan kreatinin);

6. Bekerja sebagai jalur eksretori untuk sebagian besar obat (Guyton &

Hall, 2008).

Fungsi non eksresi :

Menyintesis dan mengaktifkan hormon:

a. Renin: penting dalam pengaturan tekanan darah.

b. Eritropoitin: merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum

(33)

c. 1,25-dihidroksivitamin D3 sebagai hidroksilasi akhir vitamin D3

menjadi bentuk yang paling kuat.

d. Prostaglandin: sebagian besar adalah vasodilator bekerja secara

lokal dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal.

e. Degradasi hormon polipeptida, insulin, glukagon, parathormon,

prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon gastrointestinal

(Guyton & Hall, 2008).

Gambar 10. Ginjal manusia (Slomianka, 2009).

2.2.4 Patologi ginjal

Menurut Junquiera (2007), Pada keadaan normal glomerulus tidak dapat

dilalui oleh protein yang bermolekul besar, tetapi pada keadaan patologis

(34)

27

menambahkan zat-zat kimiawi seperti yodium, amonia dan hippuric acid.

Pada disfungsi glomerulus, bahan-bahan asing tiba di tubulus dalam kadar

yang abnormal melalui ruang Bowman. Hal ini menyebabkan sel epitel

tubulus mengalami degenerasi bahkan kematian jika terlalu banyak

bahan-bahan yang harus diserap kembali.

Tubulus proksimal memiliki fungsi utama yaitu menyerap kembali

natrium, albumin, glukosa dan air, dan juga bermanfaat dalam penggunaan

kembali bikarbonat. Epitelium tubulus proksimalis merupakan bagian yang

paling sering terserang iskemia atau rusak akibat toksin, karena kerusakan

yang terjadi akibat laju metabolisme yang tinggi (Suyanti, 2008).

Nefrosis merupakan istilah morfologik untuk kelainan ginjal degeneratif

terutama yang mengenai tubulus. Kelainan tubulus dapat menyebabkan

albuminuria dan sedimen abnormal di urin. Secara mikroskopis kelainan

dijumpai pada tubulus kontortus proksimal berupa degenerasi hidropis,

(35)

Gambar 11. Potongan melintang ginjal tikus yang mengalami kerusakan (Soeksmanto, 2006).

Gambar 12. Edema glomerulus pada ginjal tikus yang dikelilingi oleh tubulus yang mengalami degenerasi hidropis (Suyanti, 2008).

2.3 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley

Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan pengerat dan sering

digunakan sebagai hewan percobaan atau digunakan untuk penelitian,

(36)

29

sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimianya,

sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah dan ekskresi menyerupai

manusia. Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague Dawley

berjenis kelamin jantan berumur kurang lebih 3 bulan. Tikus Sprague Dawley

dengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang

sangat berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan

akan memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian

(Kesenja, 2005).

2.3.1. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentai

Subordo : Odontoceti

Familia : Muridae

Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus (Narendra, 2007).

2.3.2. Jenis

Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan

(37)

Tikus galur Sprague Dawley memiliki ciri-ciri albino putih, berkepala

kecil dengan ekor yang lebih panjang daripada badannya. Tikus galur

Wistar memiliki ciri-ciri bentuk kepala lebih besar dengan ekor yang lebih

pendek sedangkan galur Long Evans memiliki ciri badan berukuran lebih

kecil dari tikus putih, berwarna hitam pada bagian kepala dan tubuh

bagian depan. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley

merupakan tikus yang paling sering digunakan untuk percobaan. Tikus ini

memiliki temperamen yang tenang sehingga mudah dalam penanganan.

Rata-rata ukuran berat badan tikus Sprague Dawley adalah 10.5 gram. Berat badan dewasa adalah 250−300 gram untuk betina, dan 450−520

gram untuk jantan. Tikus ini jarang hidup lebih dari 3 tahun (Putra, 2009).

2.4 Isoniazid (INH)

Isoniazid termasuk obat lini pertama pengobatan TB. Isoniazid saat ini

direkomendasikan untuk mencegah TB pada kelompok pasien human

immunodeficiency virus (HIV) dan anak-anak yang tinggal bersama penderita TB

paru. Bukti-bukti genetik menunjukkan bahwa mutasi gen-gen katG, inhA, ahpC,

oxyR dan kasA merupakan penyebab kekebalan terhadap isoniazid, dengan

persentase mutasi pada gen katG sebesar 60−70%, dan selebihnya pada gen lain

(Purnami et al., 2009).

(38)

31

Kerja obat ini adalah dengan menghambat enzim esensial yang penting

untuk sintesis asam mikolat dan dinding sel Mycobacterium tuberculosis.

INH dapat menghambat hampir semua basil tuberkel, dan bersifat

bakterisidal terutama untuk basil tuberkel yang tumbuh aktif. Obat ini

kurang efektif untuk infeksi mikobakteri atipikal meskipun M. kansasii

rentan terhadap obat ini. INH dapat bekerja baik intra maupun ekstraseluler

(Katzung, 2008).

Gambar 13. Struktur isoniazid (Katzung, 2008).

2.4.2. Farmakokinetik

Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral.

Kadar puncak dicapai dalam waktu 1−2 jam setelah pemberian oral. Di

hepar isoniazid terutama mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan

metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna

mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa paruhnya. Asetilator

cepat didapatkan pada orang-orang Eskimo dan Jepang, asetilator lambat

(39)

Asetilasi cepat merupakan fenotip yang dominan heterozigot atau

homozigot. Pada pasien yang tergolong asetilator cepat, kadar isoniazid

dalam sirkulasi berkisar antara 30−50% kadar pada pasien dengan

asetilator lambat. Masa paruhnya pada keseluruhan populasi antara 1−4

jam. Masa paruh rata-rata pada asetilator cepat hampir 70 menit, sedangkan nilai 2−5 jam adalah khas untuk asetilator lambat. Masa paruh

obat ini dapat memanjang bila terjadi insufisiensi hepar. Perlu ditekankan

bahwa perbedaan kecepatan asetilasi tidak berpengaruh pada efektivitas

atau toksisitas isoniazid bila obat ini diberikan setiap hari. Bila pasien

tergolong asetilator cepat diberikan isoniazid seminggu sekali maka

penyembuhannya mungkin kurang baik (Setiabudy dkk., 2008).

Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Obat

terdapat dengan kadar yang cukup dalam cairan pleura dan cairan asites.

Kadar dalam cairan serebrospinal pada radang selaput otak kira-kira sama

dengan kadar dalam cairan plasma. Isoniazid mudah mencapai material

kaseosa. Kadar obat ini mulanya lebih tinggi dalam plasma dan otot

daripada dalam jaringan yang terinfeksi, tetapi kemudian obat tertinggal

lama di jaringan yang terinfeksi dalam jumlah yang lebih dari cukup

sebagai bakteriostatik (Setiabudy dkk., 2008).

Antara 75−95% isoniazid diekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam dan

hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit. Ekskresi terutama dalam

(40)

33

isokotinat acid yang merupakan metabolit proses hidrolisis. Sejumlah

kecil diekskresi dalam bentuk isokotinil glisin dan isokotinil hidrazon, dan

dalam jumlah yang kecil sekali N-metil isoniazid (Setiabudy dkk., 2008).

2.4.3. Efek Samping

Insiden dan berat ringannya efek non terapi INH berkaitan dengan dosis

dan lamanya pemberian. Reaksi alergi obat ini dapat berupa demam, kulit

kemerahan, dan hepatitis. Efek toksik ini meliputi neuritis perifer,

insomnia, lesu, kedut otot, retensi urin, dan bahkan konvulsi, serta episode

psikosis. Kebanyakan efek ini dapat diatasi dengan pemberian piridoksin

yang besarnya sesuai dengan jumlah INH yang diberikan (Katzung, 2008).

Efek samping lain yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan isoniazid

adalah ikterus dan kerusakan hepar yang fatal akibat terjadinya nekrosis

multilobular. Penggunaan obat ini pada pasien yang menunjukkan adanya

kelainan fungsi hepar akan menyebabkan bertambah parahnya kerusakan

hepar (Setiabudydkk., 2008).

Mekanisme toksisitas isoniazid pada hepar terutama disebabkan karena

metabolit toksik isoniazid yaitu Mono Asetil Hidrazin (MAH). Eliminasi

isoniazid yang kebanyakan berlangsung di hepar, yaitu dengan asetilasi

oleh N-asetil transferase-2 (NAT-2). Asetilasi dari asetil isoniazid akan

menghasilkan pembentukan dari MAH yang merupakan zat hepatotoksik

(41)

menghasilkan reaktif alkilating agen yang dapat berikatan secara kovalen

dengan makromolekul jaringan dan menyebabkan nekrosis hepar.

Pendapat lain menyebutkan bahwa metabolit reaktif yaitu MAH

kemungkinan menjadi agen toksik pada jaringan melalui produksi radikal

bebas (Saukkonen et al., 2009). Menurut Min (2013) Toksisitas ginjal

isoniazid telah dilaporkan secara sporadis dan histologi nefrotoksisitas

dari rifampisin dikaitkan dengan nefritis akut tubulointerstitial (ATIN),

tubular nekrosis, nekrosis papiler, nekrosis kortikal akut, dan penyakit

perubahan minimal.

2.4.4. Dosis

Dewasa dan anak: 5 mg/kg BB/hari (4−6 mg/kg BB/hari; maksimal 300

mg atau 10 mg/kg BB 3x seminggu atau 15 mg/kg BB 2x seminggu)

(42)

35

2.5 Tanaman Manggis

2.5.1 Taksonomi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L)

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Parietales

Suku : Guttifera

Marga : Garcinia

Jenis : Garcinia mangostana L

Di Indonesia manggis disebut dengan berbagai macam nama lokal, seperti

angoita (Aceh), manggista (Sumatera Utara), manggih (Sumatera Barat),

manggu (Jawa Barat), mangghis (Madura), kirasa (Makassar) dan

mangustang (Halmahera) (Kukuh, 2011).

2.5.2. Ekologi dan penyebaran

Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah yang banyak tumbuh di

daerah iklim tropis. Tanaman manggis ini dapat ditemukan di

negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Filipina, Vietnam dan

termasuk Indonesia, kemudian tanaman ini tersebar ke negara-negara tropis

lainnya termasuk Sri Lanka, India Selatan, Amerika Tengah, Brazil dan

(43)

2.5.3. Morfologi

Gambar 14. Garcinia mangostana L. (Aiello, 2005).

Garcinia Mangostana L. merupakan pohon buah dengan tinggi mencapai

25 meter. Berbatang kayu dengan warna hijau kotor yang bulat tebal dan

tegak dengan diameter batang 45 cm memiliki daun tunggal yang berwarna

hijau dan berbentuk lonjong dengan ujung runcing, pangkal yang tumpul

dan tepi yang rata, pertulangan menyirip, berukuran panjang 20−25 cm dan

lebar 6−9 cm. Berbunga tunggal berwarna kuning, berkelamin dua dan

berada di ketiak daun dengan panjang 1−2 cm. Buah berbentuk bola yang

tertekan, garis tengah 3,5−7 cm, berwarna ungu tua, dinding buah tebal dan

berdaging. Berbiji bulat, berwarna kuning dengan diameter ± 2 cm, dalam

satu buah terdapat 5−7 biji, diselimuti oleh selaput biji yang tebal dan

(44)

37

2.5.4. Kandungan kimia dan manfaat

Kandungan kimia kulit buah manggis antara lain derivat xanton yaitu mangostin, gartanin, α-mangostin, γ-mangostin, garsimangoson B, garsinon

D, garsinon E, mangostinon, kudraxanton G, garsimangoson A,

garsimangoson C (Trifena, 2012).

Pemanfaatan kulit buah manggis sebenarnya sudah dilakukan sejak dahulu.

Berbagai penelitian di luar negeri menjelaskan, kulit buah manggis yang

sudah makan mengandung polihidroxi-xanton yang merupakan deivat

mangostin dan beta mangostin. Xanton mempunyai kemampuan sebagai

antioksidan dan antiinflamasi (Iswari, 2011).

a. Xanton sebagai antioksidan

Dalam proses metabolisme tubuh, terjadi reaksi oksidasi dan reduksi

sehingga terbentuk radikal bebas yang bersifat oksidator dengan

oksigen yang reaktif. Karena kereaktifannya, radikal bebas itu akan

mengoksidasi zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh, sehingga

menyebabkan sejumlah jaringan tubuh rusak (Yatman, 2012).

Oleh karena mudah teroksidasi, radikal bebas, dalam hal ini radikal

peroksil (ROO) akan mengoksidasi xanton dengan cepat, sehingga

radikal peroksil itu akan berubah menjadi R-H. Perubahan itu terjadi

karena molekul oksigen direduksi oleh garsinon B sebagai derivat

xanton. Reaksinya dapat menghambat radikal bebas dari berbagai

(45)

(carbon-centered), R, R2NO (nitrogen-centered), RO, H3COO

(O2-centered), atau ROO, dapat dihilangkan oleh xanton jenis garcinon B

atau parvixanton dalam proses oksidasi, sehingga senyawa bermanfaat

dapat berfungsi (Yatman, 2012).

Dalam reaksi xanton dengan radikal bebas itu, R berubah jadi RH, dan

reaksi akan membuat molekul A menjadi tidak aktif. Demikian juga

RO. Dengan adanya xanton (garcinon B atau parvixanton-1), posisi A

diganti sehingga reaksi berubah menjadi ROH, yang dapat menjaga

zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh menjadi berfungsi dengan baik

untuk menjaga kesehatan. Hal yang sama juga terjadi pada ROO, yang

dalam proses reaksi itu berubah menjadi ROOH (Yatman, 2012).

b. Xanton sebagai anti-inflamasi

Khasiat antiinflamasi kulit manggis ternyata telah dipraktikan sejak

dulu. Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata manggis memang

mengandung zat antiinflamasi pada studi in-vitro. Penelitian lain di

Jepang, menunjukkan bahwa senyawa gamma-mangostin lah yang

mampu mencegah aktifitas COX (Cyclo-oxigenase), enzim yang

bertugas menandai adanya inflamasi dalam tubuh. Untuk alergi,

senyawa xanthon mampu mencegah pelepasan anti-histamin dan

sintesis prostaglandin E2 yang dikeluarkan kerika terjadi alergi.

Prostaglandin itulah penyebab inflamasi menjadi radang. Dalam

(46)

39

menghambat pelepasan reseptor pembuat histamine, sedangkan

gammamangostin dapat menghambat pelespasan reseptor pembuat

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang

menggunakan metode rancangan acak terkontrol dengan pola post test−only

control group design. Sebanyak 25 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan

galur Sprague Dawley berumur 10−16 minggu yang dipilih secara acak dan

dibagi menjadi 5 kelompok, dengan pengulangan sebanyak 5 kali digunakan

sebagai subjek penelitian.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di BPPV (Balai Penyidikan dan Pengujian Veteiner)

sedangkan pembuatan preparat dan pengamatannya dilakukan di Laboratorium

Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek. Penelitian dilaksanakan

(48)

41

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Sprague Dawley berumur 10−16 minggu yang diperoleh dari laboratorium Balai

Penelitian Veteriner (BALITVET) Bogor.

Sampel penelitian sebanyak 25 ekor yang dipilih secara acak yang dibagi dalam

5 kelompok dengan pengulangan sebanyak 5 kali. Untuk penelitian eksperimen

dengan rancangan acak lengkap, acak kelompok atau faktorial, secara sederhana

dapat dirumuskan:

(n−1)−(t−1) ≥ 15

Dimana t merupakan jumlah kelompok percobaan dan n merupakan jumlah

pengulangan atau jumlah sampel tiap kelompok. Penelitian ini menggunakan 5

kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampel menjadi: (n−1)−(5−1) ≥ 15

penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih dari populasi yang ada.

Kriteria inklusi:

1.Sehat (tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, atau botak, dan

(49)

2. Memiliki berat badan 100 gram;

3. Berjenis kelamin jantan;

4. Berusia sekitar ± 10−16 minggu (dewasa).

Kriteria eksklusi:

1.Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi

dilaboratorium;

2. Mati selama masa pemberian perlakuan.

3.4 Bahan dan Alat Penelitian

3.4.1 Bahan Penelitian

Berdasarkan penelitian Ergul (2010) dosis isoniazid yang digunakan 30

mg/100gBB dan Bahan ekstrak digunakan kulit manggis (Garcinia

mangostana L.) yang diekstraksi etanol 40% dengan dosis 20, 40, dan 80

mg.

3.4.2 Bahan Kimia

Bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi dengan

metode paraffin meliputi larutan formalin 10% untuk fiksasi, alkohol

70%, alkohol 96%, alkohol absolut, etanol, xilol, pewarna hematoksilin

(50)

43

3.4.3Perangkat Penelitian

1.Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

 Neraca analitik Metler Toledo dengan tingkat ketelitian 0,01 g,

untuk menimbang berat tikus;

 Spuit oral 1 cc, 3 cc dan 5 cc;

 Minor set, membedah tikus untuk mengidentifikasi hepar;

 Kapas dan alcohol;

 Alat pemeriksaan mikroskopis: Mikroskop, gelas objek cairan

emersi;

 Kamera digital.

2. Alat Pembuat Preparat Histopatologi

Alat pembuat preparat histopatologi yang digunakan adalah object

glass, deck glass, tissue cassette, rotarymicrotome, oven, water

bath, platening table, autochnicom processor, staining jar, staining

(51)

3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1Prosedur Pemberian Ekstrak Kulit Manggis

1. Metode Pembuatan Ekstrak Kulit Manggis

Menurut Nakatani dalam chaverri (2008) Proses pembuatan ekstrak

kulit manggis (Garcinia mangostana L.) dalam penelitian ini

menggunakan etanol sebagai pelarut. Penelitian ini menggunakan

pelarut etanol 40%, dikarenakan memiliki efek yang paling poten.

Menurut Sulistianto (2004), ekstraksi dimulai dari penimbangan buah

manggis (Garcinia mangostana L.). Selanjutnya dikeringkan dalam

almari pengering, dibuat serbuk dengan menggunakan blender atau

mesin penyerbuk. Etanol dengan kadar 40% ditambahkan untuk

melakukan ekstraksi dari serbuk ini selama kurang lebih 2 (dua) jam

kemudian dilanjutkan maserasi selama 24 jam. Setelah masuk ke tahap

filtrasi, akan diperoleh filtrat dan residu. Filtrat yang didapatkan akan

diteruskan ke tahap evaporasi dengan Rotary evaporator pada suhu 40 0

C sehingga akhirnya diperoleh ekstrak kering.

2. Prosedur Pemberian Dosis Kulit Manggis

Dosis kulit manggis pada ekperimen ini adalah 200 mg/kgBB, 400

mg/kgBB, 800 mg/kgBB. yang didapat dari dosis penelitian

(52)

45

Dosis kulit manggis pada ekperimen ini adalah 200 mg/kgBB, 400

mg/kgBB, 800 mg/kgBB. yang didapat dari dosis penelitian

sebelumnya, dimana dosis tersebut mempengaruhi sel yang rusak.

Dosis untuk 100g tikus adalah 20 mg/100gBB. Dalam penelitian ini

kelompok kontrol negatif dan kontrol positif tidak diberikan ekstrak

kulit manggis (Garcinia mangostana L.) (Wijaya dkk., 2011).

1) Dosis untuk tiap tikus kelompok III

2) Dosis untuk tiap tikus kelompok IV

3) Dosis untuk tiap tikus kelompok V

Volume ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) diberikan

secara oral sebanyak 1 ml yang merupakan volume yang boleh

diberikan berdasarkan pada volume normal lambung tikus yaitu 3−5

ml. Jika volume ekstrak melebihi volume lambung, dapat berakibat Dosis tikus (100g) = 200 mg/kgBB /100

= 0,2 mg x 100 = 20 mg/100gBB

Dosis tikus (100g) = 400 mg/kgBB /100

= 0,4 mg x 100 = 40 mg/100gBB

Dosis tikus (100g) = 800 mg/kgBB /100

(53)

dilatasi lambung secara akut yang dapat menyebabkan robeknya

saluran cerna (Ngatidjan, 2006).

3.5.2 Prosedur Pemberian Dosis Isoniazid (INH)

Berdasarkan penelitian Ergul (2010) Dosis INH yang digunakan untuk

menimbulkan efek toksik pada tikus sebesar 50 mg/kgBB per hari. Jika

dilakukan konversi untuk dosis tikus dewasa adalah sebagai berikut:

Berat manusia dewasa umumnya 70 kg jika dosis toksik 50 mg/Kg

BB/hari maka dosis toksik total 3500 mg untuk manusia. Angka konversi

dosis dari manusia 70 kg ke tikus 200 gr adalah 0,018. Sehingga dosis

toksik isoniazid untuk tikus 200 gr adalah 0,018 x 3500 mg = 63 mg.

Rerata berat tikus yang digunakan pada penelitian ini adalah 100 gr. Dosis

toksik untuk tikus dengan berat 100 gr adalah 31,5 mg dibulatkan

menjadi 30 mg.

Dosis isoniazid yang dipilih adalah isoniazid tablet sediaan 300 mg, hal ini

dikarenakan pemberian peroral dimana kadar puncak dicapai dalam waktu

2 jam setelah pemberian oral ( Setiabudy, 2009), Isoniazid tabet digerus

dan dilarutkan dalam 10 ml aquadest. Jadi dalam 1 ml larutan isoniazid

terdapat 30 mg dan diberikan 1 kali sehari kepada tikus kontrol postif

(KII), K III, K IV dan K V.

(54)

47

a. Tikus sebanyak 25 ekor, dikelompokkan dalam 5 kelompok.

Kelompok I sebagai kontrol negatif, hanya yang diberi aquades.

Kelompok II sebagai kontrol positif, diberikan INH dengan dosis

30 mg/kgBB. Kelompok III adalah kelompok perlakuan coba

dengan pemberian dosis kulit manggis dengan dosis 20

mg/100gBB, kelompok IV dengan dosis kulit manggis sebanyak

40 mg/100gBB, dan kelompok V dengan dosis kulit manggis

sebanyak 80 mg/kgBB. Kemudian selang 2 jam, kelompok III, IV

dan V diberikan induksi isoniazid sebesar 30 mg/kgBB.

Masing−masing diberikan secara peroral satu kali sehari selama 14

hari;

b. Setelah 14 hari, perlakuan diberhentikan;

c. Selanjutnya tikus di anesthesia kemudian dilakukan euthanasia;

d. Dilakukan pemeriksaan morfologi hepar dan ginjal secara

mikroskopis:

Organ hepar dan ginjal dibuat preparat histopatologi dengan

pewarnaan Hematoksilin−Eosin. Kemudian preparat histopatologi

dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi untuk dikonsultasikan

dengan ahli patologi anatomi.Pengamatan mikroskopis dilakukan

oleh peneliti sendiri.

Gambaran kerusakan hepatosit tikus dilihat dengan melakukan

(55)

perbesaran 400x pada 5 lapangan pandang dimana setiap lapangan

pandang diamati berupa degenerasi bengkak keruh yang terjadi pada

hepatosit. Skala degenerasi bengkak keruh kemudian dihitung secara

semikuantitatif dalam 5 lapang pandang berbeda. Berikut ini adalah skala

penilaian Kawasaki (2009) dengan modifikasi:

Tabel 1. Skor penilaian derajat degenerasi bengkak keruh.

Tingkat Perubahan Skor

Tidak ada hepatosit yang mengalami degenerasi

bengkak keruh 0

<10% hepatosit yang mengalami degenerasi bengkak

keruh 1

10% – 33% hepatosit yang mengalami degenerasi

bengkak keruh 2

34% – 66% hepatosit yang mengalami degenerasi

bengkak keruh 3

>67% – 100% hepatosit yang mengalami degenerasi

bengkak keruh 4

Gambaran kerusakan tubulus proksimal ginjal mencit dilihat dengan

melakukan pengamatan sediaan histopatologi menggunakan mikroskop

cahaya dengan perbesaran 400x pada 10 lapang pandang, kerusakan

tubulus proksimal ditandai dengan adanya sel yang nekrotik.

Tabel 2. Skor penilaian derajat sel yang mengalami nekrotik.

Tingkat Perubahan Skor

Tidak ada sel yang nekrotik 0

<10% sel yang mengalami nekrotik 1

10% – 33% sel yang mengalami nekrotik 2

(56)

49

>67% – 100% sel yang mengalami nekrotik 4

Metode teknik pembuatan preparat histopatologi menurut bagian PA FK

Unila :

1. Fixation

a. Spesimen berupa potongan organ hepar dan ginjal yang telah

dipotong secara representatif kemudian segera difiksasi dengan

formalin 10% selama 3 jam;

b. Dicuci dengan air mengalir sebanyak 3−5 kali.

2. Trimming

a. Organ dikecilkan hingga ukuran ± 3 mm;

b. Potongan organ hepar dan ginjal tersebut lalu dimasukkan ke

dalam tissue cassette.

3. Dehidrasi

a. Mengeringkan air dengan meletakkan tissue cassette pada kertas

tisu;

b. Berturut−turut organ hepar dan ginjal direndam dalam alkohol

70% selama 0,5 jam, alkohol 96% selama 0,5 jam, alkohol

absolut selama 1 jam, dan alkohol xylol 1:1 selama 0,5 jam.

4. Clearing

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan xylol

(57)

5. Impregnasi

Impregnasi dilakukan dengan menggunakan paraffin selama 1 jam

dalam oven suhu 650 C.

6. Embedding

a. Sisa paraffin yang ada pada pan dibersihkan dengan

memanaskan beberapa saat di atas api dan diusap dengan kapas;

b. Paraffin cair disiapkan dengan memasukkan paraffin ke dalam

cangkir logam dan dimasukkan dalam oven dengan suhu diatas

580C;

c. Paraffin cair dituangkan ke dalam pan;

d. Dipindahkan satu persatu dari tissue cassette ke dasar pan

dengan mengatur jarak yang satu dengan yang lainnya;

e. Pan dimasukkan ke dalam air;

f. Paraffin yang berisi potongan hepardilepaskan dari pan dengan

dimasukkan ke dalam suhu 4−60 C beberapa saat;

g. Paraffin dipotong sesuai dengan letak jaringan yang ada dengan

menggunakan skalpel/pisau hangat;

h. Lalu diletakkan pada balok kayu, diratakan pinggirnya, dan

dibuat ujungnya sedikit meruncing;

i. Memblok paraffin, siap dipotong dengan mikrotom.

7. Cutting

(58)

51

b. Sebelum memotong, blok didinginkan terlebih dahulu di lemari

es;

c. Dilakukan pemotongan kasar, lalu dilanjutkan dengan

pemotongan halus dengan ketebalan 4−5 mikron. Pemotongan

dilakukan menggunakan rotary microtome dengan disposable

knife.

d. Dipilih lembaran potongan yang paling baik, diapungkan pada

air, dan dihilangkan kerutannya dengan cara menekan salah satu

sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yan

lain ditarik menggunakan kuas runcing;

e. Lembaran jaringan dipindahkan ke dalam water bath suhu 600C

selama beberapa detik sampai mengembang sempurna;

f. Dengan gerakan menyendok, lembaran jaringan tersebut diambil

dengan slide bersih dan ditempatkan di tengah atau pada

sepertiga atas atau bawah;

g. Slide yang berisi jaringan ditempatkan pada inkubator (suhu

370C) selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna.

8. Staining (pewarnaan) dengan Harris Hematoksilin−Eosin

Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, dipilih slide yang

terbaik, selanjutnya dilakukan deparafinisasi dalam larutan xylol I

selama 5 menit dan larutan xylol II selama 5 menit. Kemudian,

dihidrasi dalam ethanol absolut selama 1 jam, alkohol 96% selama 2

(59)

dilakukan pulasan inti denganHarris Hematoksilin selama 15 menit,

dibilas dengan air mengalir, lalu diwarnai dengan eosin selama

maksimal 1 menit. Selanjutnya, didehidrasi dengan alkohol 70%

selama 2 menit,alkohol 96% selama 2 menit, dan alkohol absolut

selama 2 menit.Kemudian dilakukan penjernihan dengan xylol I

selama 2 menit dan xylol II selama 2 menit.

9. Mounting dengan entelan dan tutup dengan deck glass

Setelah pewarnaan selesai, slide ditempatkan di atas kertas tisu pada

tempat datar, ditetesi dengan bahan mounting, yaitu entelan, dan

ditutup dengan deck glass, cegah jangan sampai terbentuk

gelembung udara.

10. Slide dibaca dengan mikroskop

Slide diperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran

400x.Preparat histopatologi dikirim ke laboratorium Patologi

Anatomi untuk dikonsultasikan dengan ahli patologi anatomi.

(60)

53

Timbang berat badan tikus

K1 K2 K3 K4 K5

Tikus diadaptasikan selama 7 hari

Tikus diberi perlakuan selama 14 hari

Cekok Cekok Cekok INH 30 mg INH 30 mg INH 30 mg 1 X sehari 1 X sehari 1 X sehari

Cekok I.P I.P. I.P. I.P.

Aquadest INH 30mg Kulit manggis 20 mg Kulit manggis 40 mg Kulit manggis 80 mg 1 x sehari 1x sehari

Tikus di anesthesia kemudian di authanasia

Lakukan laparotomi lalu hepar dan ginjal tikus di ambil

Sampel hepar dan ginjal difiksasi dengan formalin 10%

Sample hepar dan ginjal dikirim ke Laboratorium PA Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek

Pengamatan sediaan histopatologi dengan mikroskop

Interpretasi hasil pengamatan

Gambar 15. Diagram alur penelitian.

(61)

3.5.3 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

1. Identifikasi Variabel

a. Variabel Independen adalah dosis ekstrak etanol 40% kulit

manggis (Garcinia mangostana L.) yang di ekstraksi etanol yang

diberikan kepada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Sprague Dawley.

b. Variabel dependen adalah gambaran histopatologi hepar dan ginjal

(62)

55

2. Definisi Operasional Variabel

Tabel 3. Definisi Operasional Variabel.

Variabel Definisi Skala

Dosis efektif kulit manggis adalah 80 mg/100gBB Kelompok I (kontrol negatif) = pemberian aquadest Kelompok II (kontrol positif) = pemberian INH 30 mg

Kelompok III (perlakuan coba) = pemberian mkulit manggis

Gambaran kerusakan hepatosit tikus dilihat dengan melakukan pengamatan sediaan histopatologi menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400x pada 5 lapangan pandang dimana setiap lapangan pandang diamati berupa degenerasi bengkak keruh yang terjadi pada hepatosit. Skaladegenerasi bengkak keruh kemudian dihitung secara semi kuantitatif dalam 5 lapang pandang berbeda. Skala penilaian Kawasaki (2009).

Gambaran kerusakan tubulus ginjal tikus dilihat dengan melakukan pengamatan sediaan histopatologi menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x pada 10 lapang pandang, kerusakan tubulus ditandai dengan hilangnya inti pada sel tubulus atau disebut sel nekrotik. Persentase sel yang rusak tiap lapangan pandang dijumlahkan dan dirata−ratakan.

Kategorik

Numerik

Numerik

(63)

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan histopatologi di bawah mikroskop

diuji analisis statistik menggunakan software analisis statistik Hasil penelitian

dianalisis apakah memiliki distribusi normal atau tidak secara statistik dengan uji

normalitas Shapiro−Wilk karena jumlah sampel ≤50. Kemudian, dilakukan uji

Levene untuk menyetahui apakah dua atau lebih kelompok data memiliki varians

yang sama atau tidak. Jika varians data berdistribusi normal dan homogen,

dilanjutkan dengan metode uji parametrik one way ANOVA.Bila tidak

memenuhi syarat uji parametrik, digunakan uji nonparametrik

Kruskal−Wallis.Hipotesis dianggap bermakna bila p<0,050. Jika pada uji

ANOVA atau Kruskal−Wallis menghasilkan nilai p<0,050, maka dilanjutkan

dengan melakukan analisis Post−Hoc LSD untuk melihat perbedaan antar

kelompok perlakuan.

3.7 Ethical Clearance

Penelitian ini telah diajukan ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung, dengan menerapkan prinsip 3R dalam

protokol penelitian, yaitu:

1. Replacement, adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah

diperhitungkan secara seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun

literatur untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan

(64)

57

2. Reduction, adalah pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin,

tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Dalam penelitian ini sampel

dihitung berdasarkan rumus Frederer yaitu (n−1) (t−1) ≥ 15, dengan n adalah

jumlah hewan yang diperlukan dan t adalah jumlah kelompok perlakuan.

3. Refinement, adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi,

dengan prinsip dasar membebaskan hewan coba dalam beberapa kondisi.

a. Bebas dari rasa lapar dan haus, pada penelitian ini hewan coba diberikan

pakan standar dan minum secara ad libitum;

b. Bebas dari ketidaknyamanan, pada penelitian hewan coba ditempatkan di

animal house dengan suhu terjaga 20−25°C, kemudian hewan coba

terbagi menjadi 3−4 ekor tiap kandang. Animal house berada jauh dari

gangguan bising dan aktivitas manusia serta kandang dijaga

kebersihannya sehingga, mengurangi stress pada hewan coba;

c. Bebas dari nyeri dan penyakit dengan menjalankan program kesehatan,

pencegahan, dan pemantauan, serta pengobatan terhadap hewan

percobaan jika diperlukan, pada penelitian hewan coba diberikan

perlakuan dengan menggunakan nasogastric tube dilakukan dengan

mengurangi rasa nyeri sesedikit mungkin, dosis perlakuan diberikan

(65)

Prosedur pengambilan sampel pada akhir penelitian telah dijelaskan

dengan mempertimbangkan tindakan manusiawi dan anesthesia serta

euthanasia dengan metode yang manusiawi oleh orang yang terlatih

untuk meminimalisasi atau bahkan meniadakan penderitaan hewan coba

(66)

100

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Pengaruh pemberian ekstrak etanol 40% kulit manggis dapat menurunkan

jumlah pembengkakan sel hepatosit dan kerusakan tubulus ginjal.

2. Pengaruh pemberian ekstrak etanol 40% kulit manggis dosis 20, 40, 80 mg

dapat menurunkan jumlah pembengkakan sel hepatosit sebesar 61%, 42% dan

16% serta menurunkan jumlah kerusakan tubulus ginjal sebesar 66,5%, 39%

dan 8%.

5.2. Saran

1. Peneliti lain disarankan untuk menguji lebih lanjut toksisitas dan efektivitas

pada ekstrak kulit manggis;

2. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut tentang potensi zat-zat

aktif dalam kulit manggis sebagai fitofarmaka;

3. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut terkait dosis teurapeutik

(67)

4. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut dengan jangka waktu lebih

lama terkait pemberian ekstrak kulit manggis terhadap gambaran histopatologi

ginjal yang diinduksi dengan isoniazid;

5. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut efek kulit manggis pada

(68)

DAFTAR PUSTAKA

Aiello A. 2005. Smithsonian tropical research institute: Garcinia mangostana Fruit. http://biogeodb.stri.si.edu/bioinformatics/dfm/metas/view/41486, [ Diakses 3 2010. 101-104 site: www.lung.org/assets/documents/publications/solddc-chapters/tb.pdf - 39k - 2010-03-26 [Diakses 2 September 2013].

Bagiada IM, Primasari NLP. 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketidak patuhan penderita tuberculosis dalam berobat di poliklinik dots RSUP sanglah denpasar. Artikel kesehatan. Denpasar: FKUNUD. hlm.158−59.

Bhara M. 2009. Pengaruh pemberian kopi dosis bertingkat peroral 30 hari terhadap gambaran histopatologi hepar tikus wistar. Laporan akhir karya tulis ilmiah. UNDIP.

Chambers HF. 2011.Antimycobacterial drugs, dalam Katzung, BG (editor), basic and clinical pharmacology, 8th Ed. new york: McGraw-Hill, pp. 796−8.

Chandrasoma P, Taylor CR. 2006. Ringkasan patologi anatomi, Edisi ke−2. Jakarta: EGC. hlm. 230.

Chasani S. 2008. Antibiotik nefrotoksik: penggunaan pada gangguan fungsi ginjal. Artikel kesehatan. Semarang: FK UNDIP. hlm. 2.

Gambar

Gambar 1. Kerangka teori.
Gambaran histopatologi
Gambar 3. Gambaran makroskopik hati manusia dari anterior (Putz & Pabst, 2007).
Gambar 4. Lobulus hepatik (Gartner, 2003).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas kasih dan cinta-Nya sehingga penulisan tugas akhir yang berjudul “ Efek Anti Edema Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana

Tujuan: Menguji kemampuan ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana L.) sebagai pereda rasa nyeri pada mencit dan Mendapatkan konsentrasi ekstrak etanol

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol 96% biji jengkol (Pithecollobium lobatum) terhadap gambaran histopatologi jaringan ginjal,

Apakah terdapat pengaruh peningkatan dosis pada efek protektif thymoquinone terhadap gambaran histopatologi hepar tikus putih ( Rattus norvegicus ) galur Sprague dawley

Manfaat penelitian Uji aktivitas spermisidal dan evaluasi pengaruh ekstrak etanol 70% biji manggis ( Garcinia mangostana L.) terhadap konsentrasi testosteron pada tikus

Hasil uji skrining fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) positif mengandung senyawa golongan flavonoid, saponin,

Pembuatan Ekstrak Ethyl acetat Kulit Manggis (Garcinia mangostana

Pengaruh Pemberian Ekstrak Meniran (Phyllanthus niruri Linn.) Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Yang Diinduksi Obat Anti