• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku 5 Tahun DNPI Perubahan Iklim dan Ta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Buku 5 Tahun DNPI Perubahan Iklim dan Ta"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

PERUBAHAN IKLIM

DAN

TANTANGAN PERADABAN

BANGSA

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM (DNPI)

(5)

PERUBAHAN IKLIM DAN TANTANGAN PERADABAN BANGSA

LIMA TAHUN DNPI 2008 – 2013

© 2013 hak cipta pada Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) ISBN : 978-602-98983-5-4

Diterbitkan sebagai publikasi perubahan iklim bagi masyarakat luas dalam rangka peringatan lima tahun DNPI

Cetakan pertama : Juli 2013

TIM PENYUSUN

PENGARAH : Rachmat Witoelar, Agus Purnomo

PENYELIA : Amanda Katili Niode, Murni Titi Resdiana, Agus Tagor KOORDINATOR PENERBITAN : Agus Soetomo, Mariza Hamid

PERANGKUM : Fachruddin M. Mangunjaya

SEKRETARIS REDAKSI : Frans Toruan, Jannata Giwangkara

EDITOR : Yani Saloh

KOORDINATOR FOTO : M. Ridwan Soleh DESAIN DAN TATA LETAK : Adeca Studio, Gita Fara

KONTRIBUTOR NASKAH(berdasarkan abjad): Agus Supangat ● Amanda Katili Niode ● Ari Muhammad ● Dicky Edwin Hindarto ● Doddy S. Sukadri ● Farhan Helmy ● Muhammad Farid ● Murni Titi Resdiana ● Moekti H. Soejachmoen ● Nur R. Fajar ● Suzanty Sitorus ● Widiatmini Sih Winanti ● Yani Saloh

NARASUMBER : Balthasar Kambuaya (Kementerian Lingkungan Hidup), Satya Widya Yudha (DPR), Rachmat Witoelar (DNPI), Agus Purnomo (DNPI), Endah Murniningtyas (Bappenas), Yetti Rusli (Kementerian Kehutanan), Eddy Pratomo (Kementerian Luar Negeri), Abetnego Tarigan (Walhi), Jatna Supriatna (UI), Komaruddin Hidayat (Budayawan), Ismid Hadad (Yayasan Kehati), Aristides Katoppo (Pers).

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM (DNPI)

Gedung Kementerian BUMN Lantai 18

Jl. Medan Merdeka Selatan No. 13 Jakarta 10110

Telepon : +(6221) 3511400 Faximili : +(6221) 3511403 e-mail : info@dnpi.co.id http : www.dnpi.go.id

kontak : Divisi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi

(6)

PENGANTAR TIM PENYUSUN

RASA BAHAGIA DAN HARU menyertai puji syukur atas karunia Illahi, yang telah memungkinkan kami

menerbitkan buku ini.

Bagi kami di DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) buku ini mempunyai arti penting karena mengabadikan sejarah dan kiprah DNPI sejak dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lima tahun yang lalu, 4 Juli 2008. Namun, bukan makna seremonial yang kami tuju. Bukan pula binar-binar kebanggaan yang ingin kami tampilkan meskipun DNPI adalah satu-satunya lembaga yang fokus pada soal-soal yang berhubungan dengan perubahan iklim, dalam skala domestik nasional maupun global internasional. Justru sebaliknya, kami berharap mampu memberikan sumbangsih berupa informasi, wacana, maupun inspirasi untuk meningkatkan kepedulian kita semua terhadap sebab-sebab dan dampak perubahan iklim. Buku ini memang dipersembahkan kepada masyarakat luas, apa pun latar belakangnya.

Secara spesifik kami memaparkan perjalanan lima tahun DNPI (2008 – 2013). Kiprah DNPI sejak masa-masa awal yang menyangkut perencanaan, kajian, implementasi, aksi-aksi serta evaluasi, disajikan dengan bahasa yang diharapkan komunikatif dengan pembaca. Fungsi koordinator dan peran DNPI di bidang negosiasi, yang sering dinilai oleh beberapa kalangan masyarakat sebagai prestasi luar biasa, pun ditampilkan secara seimbang.

Riset sederhana dilakukan untuk penyusunan buku, akan tetapi sesungguhnya materi utama yang digunakan adalah karya/tulisan/pemikiran tim di DNPI baik di sekretariat, divisi maupun pokja (kelompok kerja). Serangkaian wawancara dengan tokoh-tokoh yang kompeten pun diadakan untuk melengkapi buku ini, agar dapat menangkap pandangan-pandangan kritis dan pemikiran yang bervariasi. Wawancara-wawancara itu pun merupakan upaya mendapatkan masukan yang membangun untuk memperbaiki diri di kemudian hari. Kepada kontributor dan narasumber kami mengucapkan terima kasih. Dedikasi dan pengalaman yang mereka sampaikan sangat memperkaya buku. Selain itu, bantuan dan dukungan berbagai pihak mengalir, memungkinkan pengerjaan buku ini semakin lancar. Pada mereka, yang namanya tidak kami sebutkan satu persatu karena keterbatasan ruang, terima kasih tulus kami sampaikan.

Meskipun sudah direncanakan sebaik mungkin, buku ini masih jauh dari sempurna. Kritik membangun dengan senang hati akan kami terima dan dimanfaatkan.

Selanjutnya, kami berharap masyarakat semakin mengenal dan mencintai DNPI, serta mendapatkan informasi yang mempunyai nilai tambah mengenai perubahan iklim. Sebagaimana dimahfumi, dampak perubahan iklim yang merugikan bumi dan manusia adalah nyata dan aktual; imbasnya pun multidimensi di segala sektor kehidupan. Mengabaikan perubahan iklim sama artinya mengkhianati tugas mulia manusia sebagai khalifah Tuhan untuk memelihara kehidupan. Buku ini ingin menguatkan kesadaran itu.

Jakarta, 4 Juli 2013

(7)
(8)

DAFTAR ISI

JUDUL

i

TIM PENYUSUN ii

PENGANTAR TIM PENYUSUN iii

DAFTAR ISI v

KUTIPAN AMANAT PRESIDEN RI SUSILO BAMBANG YUDHOYONO MENGENAI PERUBAHAN IKLIM vii

PENGANTAR KETUA HARIAN DNPI RACHMAT WITOELAR ix

PROLOG: PERUBAHAN IKLIM DAN PEWARISAN LINGKUNGAN YANG BERKELANJUTAN xi

BAB I. COP-13 BALI: TONGGAK SEJARAH DNPI

1

1. Bermula dari KTT Bumi 4

● Perjalanan Panjang Menyelamatkan Bumi 6

2. Dari Bali untuk Bumi 8

● Bali Action Plan 13

3. Di Balik Gagasan Pendirian DNPI 14

● Tujuh Belas Kementerian dan Satu Lembaga Memperkuat DNPI 17 ● Pengembangan Kebijakan dan Kelembagaan Perubahan Iklim 18

BAB II. TENTANG PERUBAHAN IKLIM

19

1. Musim yang Semakin Tidak Menentu 22

● Melaut pun Surut 25

2. Manusia dan Gas-Gas Rumah Kaca 26

● Dari mana Gas Rumah Kaca Berasal 28

3. Benarkah ada Perubahan Iklim? 34

● Petani Bingung Musim 38

● Perubahan Iklim adalah Akibat Ulah Manusia 39

4. Perubahan Iklim di Laut Nusantara 40

BAB III. KIPRAH LIMA TAHUN DNPI (2008 – 2013)

43

1. MARI BERADAPTASI 46

● Kegiatan Adaptasi 48

2. BERFOKUS PADA MITIGASI 50

● Kurva Biaya Pengurangan Emisi 53

● Dimensi Mitigasi Perubahan Iklim 54

● Aksi Mitigasi dalam Bingkai NAMAs 57

3. MENGGALANG DUKUNGAN DENGAN PENYADARAN DAN PENDIDIKAN 58

● Tanggapan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 62

● Kegiatan Penyadaran dan Pendidikan 64

4. KEHUTANAN DAN ALIH GUNA LAHAN LULUCF DARI BALI HINGGA DOHA 66

● LULUCF di Indonesia 68

5. ALIH TEKONOLOGI MENANGGULANGI TANTANGAN PERUBAHAN IKLIM 70

● Kegiatan Utama Alih Teknologi 74

(9)

DAFTAR ISI

6. PENDANAAN UNTUK MITIGASI DAN ADAPTASI 76

● Dari Mekanisme hingga Perundingan Internasional 78

7. DNPI DAN PERDAGANGAN KARBON 84

● Apa yang Dimaksud dengan Perdagangan Karbon? 88

● Prospek dan Tantangan Pasar karbon dalam Protokol Kyoto Jilid II 88

8. PERUNDINGAN PERUBAHAN IKLIM 90

● Bagaimana DNPI Mempersiapkan Perundingan Internasional? 94

● UKK-PPI dan KaHar DNPI 96

9. KOORDINASI PENINGKATAN KAPASITAS 98

● Pekerjaan Rumah Peningkatan Kapasitas 100

BAB IV.

TANTANGAN DAN HARAPAN

101

● Menoreh Sejarah Diplomasi Global perubahan Iklim 104

● Fungsi Koordinasi dan Sinergi 106

● Komunikator dan Campaigner Perubahan Iklim 108

● DNPI Di Mata Mitra Asing 108

● Koordinator Negosiasi Internasional 110

● Peran Unik DNPI 112

Indonesia Climate Change Center 114

● Kerjasama DNPI-JICA 115

● Kerja Sama DNPI – UNITAR 116

● Penguatan Koordinasi dan Internal 116

● Anggaran Diperbesar 116

● Penguatan Dasar Hukum 118

BAB V.

EPILOG

119

DAFTAR SINGKATAN 125

DAFTAR PUSTAKA 128

PUBLIKASI DNPI 2009-2012 130

(10)

vii “Kerusakan yang terjadi di dunia ini berawal dari hati dan pikiran kita, hati dan pikiran umat

manusia, the hearts and minds of the people. Kalau hati dan pikiran kita bersih, ingin menyelamatkan bumi, tidak merusak hutan, hemat dalam penggunaan bahan bakar yang

mendatangkan emisi gas rumah kaca, pandai mengelola sampah yang juga menimbulkan dampak pada lingkungan yang tidak baik dan sejumlah pikiran-pikiran yang jernih, yang bersih, insya Allah, kerusakan tidak akan terjadi.”

(11)
(12)

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM (DNPI) didirikan secara resmi berdasarkan Peraturan Presiden No. 46/2008 pada awal Juli 2008. Keberadaan DNPI adalah tepat waktu dalam menjawab tantangan yang semakin kompleks dalam mengendalikan dan mengatasi perubahan iklim. Semakin luas dan kompleksnya permasalahan perubahan iklim menuntut adanya koordinasi dan sinergi yang semakin kuat di tingkat nasional sehingga tidak terjadi diskoneksi antara proses internasional dan implementasi di tingkat nasional.

Penyebarluasan informasi dan peningkatan kesadaran masyarakat serta para pihak lain menjadi salah satu perhatian DNPI dalam kesehariannya. Hal ini terlihat dengan berbagai kegiatan termasuk pameran serta seminar dan materi komunikasi lain termasuk film pendek mengenai perubahan iklim. Interaksi dengan berbagai institusi pendidikan juga menjadi kekuatan yang tidak dapat dipungkiri.

Salah satu tugas utama DNPI adalah mendukung dan memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan internasional. Hal ini telah diwujudkan dalam bentuk koordinasi dan penyiapan posisi Indonesia serta Delegasi RI dalam perundingan internasional terkait. Peran ini telah berjalan dengan baik dan mendapatkan dukungan serta peran aktif dari Kementerian dan Lembaga anggota DNPI maupun lembaga dan organisasi lain termasuk LSM, sektor swasta dan perguruan tinggi. Sejak DNPI beroperasi pada tahun 2008, Indonesia semakin aktif berperan di arena perundingan internasional dan turut pula membentuk berbagai keputusan yang dihasilkan. Hal ini menjadi kekuatan Indonesia yang tidak henti berkiprah sejak menjadi Tuan Rumah dan Presiden COP-13/CMP-3 di Bali pada akhir 2007.

Oleh karena itu, sudah selayaknya DNPI terus melakukan perannya guna menjawab tantangan yang semakin besar dan berat, baik di tingkat internasional dalam hal perundingan maupun di tingkat nasional dan lokal dalam hal implementasi aksi nyata. Keberadaan DNPI dalam lima tahun ini merupakan bukti nyata pentingnya keberadaan satu lembaga yang terfokus pada pengendalian perubahan iklim serta berperan dalam koordinasi dan harmonisasi berbagai kepentingan dalam negeri dengan proses yang terjadi di tingkat internasional.

Mengacu pada perkembangan yang terjadi di dunia internasional, telah semakin banyak negara yang membentuk kementerian, badan maupun otoritas yang secara khusus menangani perubahan iklim dan berada langsung di bawah Kepala Pemerintah bersangkutan. Hal ini dipandang penting mengingat semakin luasnya cakupan perubahan iklim dilihat dari sisi penyebab maupun permasalahan dan ancaman yang ditimbulkannya. Keberadaan legislasi nasional mengenai pengendalian perubahan iklim juga semakin menjadi kebutuhan guna memastikan keberlanjutan upaya di dalam negeri yang juga akan berpengaruh terhadap keberlanjutan upaya global. Pada akhirnya, DNPI akan terus diperlukan dalam kancah negosiasi iklim yang semakin kompleks di masa yang akan datang.

Jakarta, 4 Juli 2013

PENGANTAR

RACHMAT WITOELAR

KETUA HARIAN DNPI

(13)
(14)

PROLOG

PERUBAHAN IKLIM

DAN PEWARISAN LINGKUNGAN YANG BERKELANJUTAN

SEBAGAI BAGIAN GLOBAL COMMUNITY, Indonesia ingin secara bersama-sama dengan bangsa lain menyelamatkan planet tercinta ini, demi anak-cucu dan generasi mendatang. Oleh sebab itulah, Indonesia menetapkan target pengurangan emisi CO2 sebanyak 26% pada tahun 2020. Target ini merupakan upaya dan bentuk tanggungjawab dalam berkontribusi untuk perbaikan, juga keselamatan planet bumi, satu-satunya tempat kita tinggal.

Tanggungjawab dan komitmen tentang pewarisan lingkungan yang lebih baik ini ditegaskan atas niat baik dan kesadaran yang serius. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan dengan Masyarakat Indonesia di Berlin sesudah menghadiri Conference of Parties (COP) 15 di Copenhagen, tahun 2009, mengatakan, “Kalau global warming terus terjadi dan kenaikan suhu lebih dari 2°C, maka bisa dibayangkan permukaan air laut bisa naik lebih dari 1½ meter setelah tahun 2050. Anak-cucu kita tidak bisa dijamin keselamatan masa depannya, berapa ribu pulau harus tenggelam dan lenyap dari peta Indonesia.”

Atas kesadaran yang tinggi tentang tanggung jawab masa depan bangsa, maka Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 4 Juli 2008 memutuskan untuk mendirikan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), yang kemudian diketuai sendiri oleh Presiden. Keputusan ini menunjukkan sebuah political will

yang kuat dari Pemerintah untuk menunjukkan keberpihakan kepada kemaslahatan global; kepada seluruh umat manusia, bukan hanya kepentingan nasional. Prinsip ini tentunya dibekali visi yang jauh ke depan, sebab masalah perubahan iklim adalah tantangan jangka panjang. Tantangan ini memerlukan keahlian disertai kesabaran, terlebih ketika berhadapan dengan argumen berbagai bangsa di forum-forum negosiasi international.

Seperti kita sadari, bahwa akar persoalan perubahan iklim sesungguhnya ada pada manusia. “Perubahan iklim adalah problem yang dibuat oleh manusia, anthropogenic. Maka, manusia pulalah yang seharusnya bertanggung jawab untuk menanggulanginya,” demikian kata Rachmat Witoelar, Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dalam berbagai kesempatan. Ia memang selalu mengingatkan pentingnya upaya penanggulangan perubahan iklim sebagai tanggung-jawab bersama umat manusia atas alam kehidupan ini.

Sebab itulah, Balthasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup, berpendapat bahwa, keberhasilan membawa isu perubahan iklim sebagai arus utama sudah tentu menjadi keharusan, karena perubahan iklim sudah menjadi masalah umat semua bangsa di dunia. Balthasar Kambuaya menilai sangat penting peran DNPI dalam negosiasi internasional perubahan iklim yang bergulir dengan cepat.

Dengan kata lain, DNPI menjadi penting dan strategis dalam upaya pengarusutamaan (mainstreaming) isu perubahan iklim di Indonesia. “Jika dibandingkan sebelum tahun 2007, perubahan iklim kini menjadi istilah yang sering sekali disebut dan orang jadi akrab dengan kata tersebut. Orang bahkan akrab sekali dengan kata-kata ‘kita harus menurunkan emisi’,” tutur Agus Purnomo, Kepala Sekretariat DNPI. Menurutnya, keberhasilan mengubah paradigma dan pemahaman tentang perubahan iklim memang sudah terjadi.

(15)

Pewarisan masa depan lingkungan yang lebih baik sesungguhnya bukan hanya merupakan tanggung jawab sosial, melainkan juga tuntutan agama. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, menjelaskan pentingnya menjaga keharmonisan iklim dan eksistensi manusia. Alam ini, ujarnya, disebut kosmos. Lawannya chaos. “Alam itu kosmos, artinya indah dan teratur. Kalau toh menjadi chaos, menurut ajaran agama, itu adalah karena kesalahan manusia.” Manusia harus menjaga harmoni dengan alam agar kehidupan tertata dengan baik. Berbagai peristiwa kerusakan alam yang terjadi, menurut Komaruddin Hidayat, merupakan indikasi kita tidak bisa mensyukuri dan mencintai apa yang kita peroleh dari alam. Hutan contohnya, yang kita wariskan pada anak cucu adalah kerusakan yang menumpuk. Artinya, kita tidak berpikir panjang. Di mana tanggung jawab kita? Itulah sebabnya ia mengajak kita untuk future oriented, bervisi ke depan. Visioner, demi anak cucu. Anak cucu siapa? “Anak cucu bangsa!” tegasnya.

Anggota Komisi VII DPR-RI, Satya Widya Yudha, menilai positif komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim, namun komitmen ini harus didukung oleh kebijakan anggaran yang terwujud dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran tidak cukup hanya dilihat di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) saja, melainkan harus tampak pada seluruh unsur-unsur yang mempunyai kebijakan lingkungan. Anggaran di KLH dan DNPI saat ini, kata Satya Widya Yudha, “Sangat kecil. Sehingga niatan Pemerintah untuk memajukan Indonesia untuk aplikasi green economy misalnya, masih jauh.” Keberpihakan anggaran yang konkret akan mampu mewujudkan kebijakan-kebijakan perubahan iklim, misalnya, upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. “Isu perubahan iklim memang enak didengar dan diperbincangkan, tetapi begitu sampai masalah anggaran, sulit direalisasikan,” sindir Satya. Bila semua sektor kementerian atau lembaga merasa memiliki dan ikut peduli dengan tantangan perubahan iklim, maka tandasnya, check point-nya berada pada Presiden sebagai Ketua DNPI. Presiden tinggal memeriksa berapa anggaran yang sudah dikeluarkan oleh kementerian-kementerian itu untuk implementasi program-program perubahan iklim.

Peran DNPI sebagai koordinator seperti itu juga disoroti oleh Ketua Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia, Jatna Supriatna. Ia melihat keberhasilan DNPI sebagai lembaga koordinator dapat diukur pada keberhasilan pengarusutamaan isu perubahan iklim pada kementerian dan lembaga-lembaga pemerintah. Masalahnya, kata Jatna Supriatna, “Kata-kata koordinasi itu susah diukur. Keberhasilannya ada di mana? Keberhasilannya ada di kementerian atau lembaga yang dikoordinir oleh DNPI. Kalau kementeriannya berhasil, berarti koordinasinya berhasil, artinya fungsi dan peran DNPI sebagai koordinator juga berhasil.”

Oleh karena itu, Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), sependapat dengan adanya upaya Indonesia – sebagai negara yang berperan penting dalam kancah negosiasi internasional perubahan iklim – agar memiliki Undang-undang (UU) tentang Perubahan iklim. UU perubahan iklim menjadi satu langkah maju karena ada proses politik di dalamnya (eksekutif dan legislatif). Tidak seperti sekarang, semua masih setengah kamar (eksekutif), artinya ganti presiden, ganti menteri, maka tinggal menunggu digantinya kebijakan setengah kamar itu.” Kerisauannya beralasan, agar ada ada kepastian visi, misi, strategi anggaran, dan keberlanjutan eksistensi institusi terutama untuk menjawab tantangan perubahan iklim ini.

Buku ini mengisahkan ulang dinamika Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang telah mengemban amanah dan berkiprah selama lima tahun sejak didirikan tahun 2008 hingga tahun 2013 ini. Dalam pertumbuhan manusia, usia lima tahun sering dipandang sebagai “usia emas”, masa permulaan pertumbuhan yang penting. Walaupun masih tergolong “balita” (bawah usia lima tahun), namun ternyata DNPI sudah harus pandai berbagi dan berani mengambil tempat yang “pas” di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan dinamika bangsa di tengah arus globalisasi. Buku ini secara sadar ingin menguatkan pendapat, bahwa tantangan perubahan iklim merupakan tantangan kita kini, dan tanggung jawab untuk kehidupan masa depan yang lebih baik. Bagaimanapun, pewarisan iklim dan lingkungan yang baik, merupakan prasayarat bagi kemakmuran dan pendukung cita-cita dan peradaban kita sebagai bangsa.

(16)

1

DNPI 5 TAHUN I

BAB I

COP 13 BALI

(17)

Konferensi Tingkat Tinggi Bumi

(earth summit) di Rio Brazil

1992 diikuti oleh 103 kepala

negara. Seluruh pemimpin dunia

sepakat bahwa perubahan iklim

memerlukan penanggulangan

mendesak

(18)
(19)

DUA PULUH TAHUN yang lalu, kesadaran kolektif pemimpin dunia tentang terjadinya krisis lingkungan dan perubahan iklim, telah membawa semua pemimpin bangsa bahu-membahu membicarakan planet bumi.

Pertemuan tersebut dikenal dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi atau “Earth Summit”, membahas Lingkungan dan Pembangunan atau United Nations Conference on Environment Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil, Juni 1992.

Pertemuan yang dihadiri 103 kepala negara/ pemerintahan tersebut menghasilkan dokumen tidak mengikat (legally non–binding), seperti Deklarasi Rio tentang pembangunan yang mencakup 27 prinsip, termasuk prinsip-prinsip kehutanan, dan Agenda 21 mengenai pembangunan berkelanjutan manakala dunia menghadapi abad ke-21. Selain

Indonesia meratifikasi Perjanjian UNFCCC pada tanggal 23

Agustus 1994 dan sebagai negara anggota PBB, Indonesia

berperan aktif dalam upaya perbaikan lingkungan global yang

juga berkaitan dengan tantangan lingkungan yang tengah

terjadi di dalam negeri.

BERMULA

DARI KTT BUMI

itu — yang sangat penting — pertemuan di Rio juga mengumumkan kesepakatan tiga dokumen hukum mengikat (legally binding), yaitu:

● Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity /CBD)

● Konvensi PBB untuk Memerangi Penggurunan United Nations Convention on Combating Desertification/UNCCD), dan

● Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change), yang lebih dikenal dengan UNFCCC.

Di antara tiga konvensi tersebut, UNFCCC menjadi konvensi yang paling sering mengadakan pertemuan disebabkan perannya yang sangat penting dan mendesak. Tujuan konvensi yang sangat krusial, yakni menstabilkan iklim planet bumi, bukanlah merupakan target yang mudah, melainkan sangat kompleks dan sulit, sehingga dialog dan kesepakatan harus intensif untuk dibahas. Pertemuan perwakilan negara-negara penanda-tangan konvensi yang disebut “Parties”, dilakukan setiap tahun. Hingga sekarang, Conference of Parties (COP) telah mencapai fase ke-18, yaitu COP-18 yang diadakan di Doha, Qatar, tahun 2102. Tahun ini, 2013, pertemuan COP ke-19, akan diadakan di Warsawa, Polandia (Lihat Perjalanan Panjang Menyelamatkan Bumi).

Keprihatinan dunia: mencairnya es di kutub utara.

Sumb

er :

D

ok

umen

(20)

5

DNPI 5 TAHUN I Indonesia meratifikasi Perjanjian UNFCCC pada

tanggal 23 Agustus 1994 dan sebagai negara anggota PBB, Indonesia berperan aktif dalam upaya perbaikan lingkungan global yang juga berkaitan dengan tantangan lingkungan yang tengah terjadi di dalam negeri.

Sejak UNFCCC memulai persidangan dalam COP 1, di Berlin, Indonesia telah terlibat aktif dalam persidangan negosiasi iklim. Kegiatan-kegiatan tersebut pada awalnya dikoordinasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Melihat tantangan perubahan iklim yang kompleks, maka pemerintah Indonesia manganggap bahwa perubahan iklim bukan hanya tantangan lingkungan semata, melainkan tantangan untuk pembangunan Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia selain terlibat dalam berbagai kegiatan upaya penanggulangan lingkungan di dalam negeri, juga pro-aktif dalam kepeloporan mencari solusi mengatasi perubahan iklim global.

Puncak keterlibatan Indonesia sangat nyata dalam COP 13/CMP 3 di Bali, Desember 2007. Indonesia bukan hanya menjadi tuan rumah, tetapi mampu menempatkan diri sebagai pimpinan agar para peserta COP 13 mampu mengatasi deadlock dan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bertaraf internasional. Hasil

pertemuan Bali menjadi landasan penting bagi perundingan-perundingan iklim berikutnya, antara lain COP14/CMP4 di Poznan, Polandia, pada tahun 2008 dan perundingan di Copenhagen, Denmark, pada tahun 2009 (COP15 /CMP5).

Conference of the Parties (COP) ke-13 itu juga berfungsi sebagai Meeting of the Parties (CMP) ke-3, yang membahas implementasi Protokol Kyoto. Namun, hasil terpenting adalah dokumen yang dinamakan Bali Road Map dan Bali Action Plan. Bali Road Map merupakan dokumen yang menjembatani proses-proses dan jalur-jalur perundingan untuk mencapai mufakat-mufakat internasional lebih lanjut. Bali Road Map juga dimaksudkan sebagai kesepakatan perjanjian internasional pasca 2012, di mana pada saat itu periode pertama Protokol Kyoto berakhir. Adapun Bali Action Plan merangkum kesepakatan Para Pihak mengenai substansi dan arah masa depan perundingan perubahan iklim yang telah diputuskan dalam COP-13 di Bali itu. Tidak kurang 15 dokumen tertuang dalam The Bali Action Plan, namun secara garis besar dapat dikelompokkan atas empat bagian besar, yaitu: adaptasi; mitigasi; teknologi (untuk adaptasi dan mitigasi); serta pendanaan untuk adaptasi dan mitigasi.

Tatapan penuh kepercayaan. Suasana COP13 Bali. Dari kiri ke kanan: Sekjen PBB Ban Ki-Moon, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden COP13, Rachmat Witoelar.

(21)

PERJALANAN PANJANG

MENYELAMATKAN BUMI

2005

COP-11, diadakan di Montreal, Canada. Protocol Kyoto mempunyai kekuatan hukum 16 Februari 2005, pertama kali Meeting of Parties to the Kyoto Protocol (COP/CMP-1).

2009

COP-15/ CMP-5. Copenhagen Accord.

2011

COP-17/ CMP-9 Durban menghasilkan Durban Platform.

2006

COP-12/ CMP-2 Nairobi Adopsi rencana aksi 5 tahun untuk mendukung adaptasi perubahan iklim di negara berkembang, serta bersepakat untuk modalitas dan prosedur pendanaan adaptasi.

2010

COP-16/ CMP-8, Cancun menghasilkan Cancun Agreement.

2003

COP-9 di Milan, Italia. Para pihak menyetujui tentang peran dan prosedur untuk CDM.

2002

COP-8 diadakan di New Delhi, India menghasilkan Deklarasi New Delhi.

2004

COP-10 dilaksanakan di Buenos Aires, Argentina, Para pihak bersepakat untuk menyelesaikan COP-9.

2012

COP-18/ CMP-8 Doha. Menghasilkan

Doha Gateway, Komitmen Periode II Kyoto Protocol.

1979

Konferensi Iklim Pertama di Dunia. Pemerintah diminta untuk mengawasi perubahan iklim yang berpotensi mengganggu kesejahteraan manusia.

1988

WMO dan UNEP mendirikan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change).

1987

Brundtland Commission Report.

2008

COP-14/ CMP-4 Poznan. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dibentuk.

2007

(22)

7

DNPI 5 TAHUN I

1990

Hasil kajian pertama laporan IPCC dipublikasikan.

1995

Konferensi Para Pihak yang Pertama (COP-1) di Berlin, mengadopsi Mandat Berlin. Putaran negosiasi baru yang mendorong adanya sebuah protokol dan instrumen legal lainnya.

1989

Resolusi Majelis Umum PBB mengumumkan untuk KTT yang membahas tentang pembangunan dan lingkungan.

1991

Perwakilan dari 160 negara dan bangsa bernegosiasi tentang isu-isu kunci: berkomitmen untuk target emisi. Akan memberikan bantuan teknologi tranfer dan pendanaan pada negara berkembang.

1994

UNFCCC berkekuatan hukum pada 21 Maret 1994, pada tahun 2013 penanda tangan UNFCCC menjadi 195 negara anggota.

1995

IPCC menyetujui Laporan Kajian Kedua. Mengemukakan tentang pentingnya kebijakan dan aksi yang kuat.

1996

COP-2 di Jenewa mengeluarkan Deklarasi Para Menteri, yang menganjurkan suatu langkah untuk melakukan negosiasi. Langkah mengikat secara hukum untuk menurunkan emisi, akan dibahas pada COP berikutnya.

1998

COP-4 pertemuan di Buenos Aires mengadopsi Buenos Aires Plan of Action yang dirancang untuk program mengoperasikan secara detail Protokol Kyoto.

1997

COP-3 di Kyoto mengadopsi Kyoto Protocol sebagai sebuah protokol untuk UNFCCC.

1999

COP-5 di Bonn menargetkan pencapaian terukur sesuai mandat COP-6 agar Kyoto Protocol berkekuatan hukum (entry into force).

1992

UNFCCC dibuka untuk ditanda tangani pada KTT Bumi (Rio Earth Summit)

2000

COP-6 di Den Haag gagal bersepakat mengambil keputusan di bawah Rencana Aksi Buenos Aires (Buenos Aires Plan of Action).

2001

COP-6 part II (atau COP-6b) di Bonn. Para pihak mengadosi perintah Bonn (Plann Agreements), mendaftarkan konsensus politik atau isu-isu kunci di bawah Buenos Aires Plan of Action. Para pihak juga menyelesaikan sejumlah keputusan yang detail namun masih menyisakan beberapa sisa kesepakatan.

2001

(23)

PERHELATAN AKBAR tentang iklim yang dihadiri dan disaksikan oleh 15 ribu peserta dari 190 negara itu, membawa makna mendalam atas prestasi kepedulian Indonesia pada perubahan iklim. Persidangan berakhir dengan diketuk palu dan diluncurkannya ‘Bali Roadmap’ atau Peta jalan Bali dan Bali Action Plan, yang terkenal itu.

Rachmat Witoelar selaku Presiden COP 13/ CMP 3, menyampaikan pidato penutup, “We have a Roadmap! I am delighted to say that we have finally

Tepuk tangan membahana di ruang sidang COP 13/CMP-3,

di Hotel Westin Bali. Wajah-wajah ceria dan penuh kepuasan

tergambar pada para delegasi yang berunding secara maraton

selama hampir dua minggu, karena alot dan rumitnya

perundingan tersebut.

DARI BALI

UNTUK BUMI

achieved the breakthrough the world has been waiting for: the Bali Roadmap!” katanya mengawali pidato penutupan. Rachmat kemudian mengucapkan terima kasih atas keberhasilan sidang perundingan. Ia juga menyampaikan penghargaan atas upaya keras para delegasi, terutama Delegasi Republik Indonesia (DELRI), para pihak yang intensif terlibat terutama Menteri Luar Negeri Indonesia Dr. Nur Hassan Wirayuda, juga perhatian khusus dari Sekjen PBB Ban Ki Moon, dan tentu saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memberikan perhatian penuh selama persidangan, dari awal sampai akhir.

Tentu saja, di pihak penyelenggara — tuan rumah Indonesia — wajah-wajah lelah tergambar sangat jelas. Begitu pula gambaran keletihan tampak pada anggota DELRI. Kerut di dahi bertambah terlipat. Letih dan agak pucat karena kurang tidur, sudah pasti. Namun, perjalanan penyelenggaraan Bali COP 13/CMP 3, membawa kepuasan dan kenangan tersendiri.

Usai sidang yang gegap gempita itu, Rachmat Witoelar dan Agus Purnomo, segera naik ke lantai lima Hotel Westin, Bali, melapor kepada Presiden. Laporan disampaikan dengan penuh kegembiraan dan diterima

Plenary Hall UNFCCC COP 13 Bali. Foto: Dokumentas DNPI

(24)

9

DNPI 5 TAHUN I

oleh Presiden dengan baik. Presiden pun memberi sejumlah petunjuk arahan. Menutup pembicaraan, Presiden SBY menyampaikan kata-kata penting yang akan menjadi embrio berdirinya DNPI, “Saya akan bentuk suatu komisi atau dewan tentang perubahan iklim untuk mengawal hasil–hasil konferensi ini.”

Dari sanalah DNPI kemudian dibentuk, tepatnya 4 Juli 2008. Tak bisa dipungkiri keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendirikan dan memimpin DNPI menunjukkan perhatian beliau yang begitu besar dan serius dalam upaya penanggulangan perubahan iklim.

Untuk menyelenggarakan roda organisasi, DNPI dijalankan oleh seorang Ketua Harian, yaitu Rachmat Witoelar yang waktu itu juga menjabat sebagai Menteri

Lingkungan Hidup. Suatu kekhasan tersendiri bagi DNPI, dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 46/2008 tentang pembentukan DNPI, nama Rachmat Witoelar disebutkan sebagai Ketua Harian. Uniknya lagi, dalam DNPI, Menteri Lingkungan Hidup duduk sebagai anggota, bersama dengan menteri-menteri anggota yang lainnya.

Keunikan ini mungkin dapat juga disetarakan dengan portofolio negara lain yang memberikan perhatian dan porsi besar dengan membentuk kelembagaan tentang iklim. Australia, misalnya, mengangkat menteri khusus untuk perubahan iklim, selain menteri lingkungan. Demikian pula Denmark, menteri lingkungannya diberi jabatan baru sebagai menteri perubahan iklim dan energi.

(25)

Terkait kiprah utamanya, sesuai dengan mandat Peraturan Presiden No. 46/2008, tugas umum DNPI adalah:

a. Merumuskan kebijakan nasional, strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim; b. Mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan

tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan;

c. Merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon;

d. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan tentang pengendalian perubahan iklim;

e. Memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara-negara maju untuk lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim.

Dengan wewenang itulah, DNPI memainkan peran penting selama lima tahun dari sejak berdirinya 2008 hingga 2013. Niat Presiden SBY untuk tetap mengawal hasil-hasil negosiasi sejak dari COP 13 Bali tahun 2007, mendorong Indonesia, melalui DNPI, selalu terlibat aktif dalam upaya menanggulangi tantangan perubahan iklim. Lambat laun keberadaan DNPI sangat dirasakan sebab peran dan keberhasilannya dalam menjembatani, mengkoordinasikan dan membantu kapasitas perubahan iklim di berbagai sektor, serta perannya sebagai koordinator nasional dalam menghadapi perundingan internasional perubahan iklim, kian meningkat.

Tercatat pula dalam prakteknya, DNPI berperan antara lain menjadi national focal point UNFCCC Gembira bercampur lega, COP 13 Bali berlangsung sukses: Rachmat Witoelar disalami oleh Emil Salim

Foto: Dokumentasi DNPI

Keramahan dan kehangatan khas Indonesia: Presiden Yudhoyono menuangkan air minum untuk Sekjen PBB Ban Ki-Moon dalam sidang COP 13 Bali. Foto: Dokumentasi DNPI untuk perubahan iklim sejak tahun 2008, karena isu perubahan iklim merupakan tantangan multisektoral yang dapat melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, misalnya Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Luar Negeri dan kementerian serta lembaga terkait lain. Oleh karenanya, peran DNPI dalam koordinasi dan menjembatani isu perubahan iklim, adalah sangat penting dilakukan. Selain itu, dalam pasar karbon, DNPI bertindak sebagai administratur yang bertugas mendukung, memfasilitasi dan mengatur berbagai inisiatif, termasuk ketika pasar karbon diprediksi sangat lesu pada periode Kyoto Protocol Kedua. Disebabkan

pasar melemah, maka DNPI dapat melakukan insiatif problem solving, misalnya menerobos kerja sama bilateral (Lihat Prospek Pasar Karbon dalam Protokol Kyoto Jilid II).

Perhatian Presiden SBY

(26)

11

DNPI 5 TAHUN I Rachmat Witoelar, bahkan sempat ditunjuk sebagai

President Governing Council United Nations Environment Programme (UNEP) yang berbasis di Nairobi. Posisi ini pernah dijabat oleh Prof. Emil Salim, salah seorang mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, yang juga pernah menjadi President Governing Council (GC) - UNEP di samping menjadi anggota World Comission on Environment (1985-1987). Terpilihnya Indonesia sebagai Presiden GC-UNEP memberikan beberapa keuntungan, antara lain kemudahan Indonesia mendapatkan berbagai dukungan internasional berupa pendanaan, pengembangan sumber daya manusia, maupun teknologi pelestarian lingkungan hidup, serta terbukanya sejumlah kerja sama dan koordinasi yang sangat dibutuhkan sejalan dengan berlaku efektifnya Protokol Kyoto.

Dari tigabelas hari persidangan, Presiden berada di Bali selama

sepuluh hari. Beliau memindahkan kantor

ke Bali dan hampir seluruh menteri kabinet memberikan

dukungan, turut berada di Pulau Dewata tersebut

“Saya akan bentuk suatu komisi atau dewan tentang perubahan iklim untuk mengawal hasil–hasil konferensi ini.” Foto: Dokumentasi DNPI

Indonesia dipastikan

mempunyai kesempatan

untuk menjadi negara pelopor

yang pada gilirannya dapat

mengangkat nama baik dan

harkat bangsa

.

Menonjolnya kepemimpinan Indonesia di bidang lingkungan tersebut, menyebabkan negara ini kemudian diminta untuk menjadi tuan rumah COP-13, Bali. Peristiwa penting konferensi iklim yang dihadiri oleh lebih dari 15.000 peserta dan peninjau dari berbagai negara tersebut, telah membawa Indonesia pada kancah perundingan iklim secara intensif.

Bagi Indonesia, pertimbangan untuk menjadi tuan rumah pun tidak mudah. Keberhasilan penye-lenggaraan konferensi Iklim ini akan membawa nama baik Indonesia jika berhasil, tetapi sebaliknya apabila gagal. Tak urung pertimbangan untuk mengemban posisi tuan rumah pun melibatkan proses di dalam negeri yang cukup panjang.

(27)

kesempatan untuk menjadi negara pelopor yang pada gilirannya dapat mengangkat nama baik dan harkat bangsa. Kedua, karena diadakan di Bali, diharapkan akan membantu peningkatan promosi dan citra wisata di Pulau Dewata tersebut, terutama karena Bali pada saat itu baru kena imbas Bom Bali.

Kehadiran KTT Iklim COP 13, menjadikan Bali sebagai headline yang disiarkan CNN setiap jam untuk meliput perjalanan sidang. “Jadi UNFCCC COP-13 juga menjadi obat bagi industri pariwisata Indonesia,” tutur Agus Purnomo. Demikian pentingnya acara ini, Presiden SBY berkenan mengikuti perkembangan persidangan dari dekat, sehingga Presiden berkantor di Bali. Dari

tigabelas hari persidangan, Presiden berada di Bali selama sepuluh hari. Beliau memindahkan kantor ke Bali dan hampir seluruh menteri kabinet memberikan dukungan, turut berada di Pulau Dewata tersebut.

Persidangan COP 13, menghasilkan beberapa kesepakatan penting antara lain yang disebut dengan Bali Action Plan. Kesepakatan Bali ini sangat penting

sehingga proses negosiasi tentang perubahan iklim berikutnya selalu merujuk pada butir-butir Bali Action Plan tersebut. Melihat hal ini, Presiden SBY

mempertimbangkan tentang peran penting Indonesia dalam kepeloporan untuk penanggulangan tantangan iklim.

Di sela-sela kesibukan COP 13 Bali, Presiden SBY dan Ibu Ani menyempatkan menerima rombongan Bicycle for Earth Goes to Bali. Mereka bersepeda selama 21 hari (11 November – 27 Desember 2007) menempuh 1.447 km dari Jakarta ke Bali, dalam rangka sosialisasi COP 13 ke tengah-tengah masyarakat. Foto: Dokumentasi DNPI

Presiden Yudhoyono mempertimbangkan tentang peran

penting Indonesia dalam kepeloporan untuk penanggulangan

(28)

13

DNPI 5 TAHUN I

B

ali Action Plan merupakan tonggak sejarah penting proses negosiasi dalam upaya penanggulangan perubahan iklim. Hasil yang dibahas dalam negosiasi tersebut mencakup beberapa tema, yaitu:

A. VISI BERSAMA UNTUK AKSI TINDAK LANJUT DALAM KERJA SAMA JANGKA PANJANG

Rencana ini antara lain mengetengahkan visi bersama untuk tujuan jangka panjang global dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca guna mencapai tujuan utama konvensi. Adapun tujuan ini harus mempertimbangkan dan memperhitungkan prinsip tanggung jawab bersama dan kewajiban yang berbeda (common but differentiated responsibilities), serta kemampuan negara masing-masing.

B. EMPAT ‘BUILDING BLOCK’ PENTING DALAM BALI ACTION PLAN

Bali Action Plan menancapkan tonggak penting yang dikenal sebagai ‘building block’, yaitu: adaptasi, mitigasi, transfer teknologi dan pendanaan, termasuk juga shared vision (visi bersama) dalam upaya menurunkan emisi global.

Adaptasi:

Melibatkan kerja sama internasional dalam menguji dan mendukung aneka tindakan adaptasi, mengingat kebutuhan yang mendesak dari negara berkembang terutama sekali untuk negara-negara

miskin atau Least Developed Countries (LDCs), dan negara kepulauan kecil atau Small Island Developing States (SIDS), serta negara-negara negara Afrika.

Mitigasi:

Para pihak telah menyepakati untuk mempertimbangkan elemen-elemen berikut:

● komitmen aksi mitigasi yang memadai atau tindakan aksi, termasuk penghitungan batasan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) dan usaha yang bertujuan untuk menurunkan emisi yang harus dilakukan oleh seluruh negara maju; dan

● aksi-aksi mitigasi oleh negara negara berkembang yang tergabung sebagai Para Pihak yang didukung dan dimungkinkan oleh teknologi, sumber pendanaan dan pembangunan kapasitas.

Transfer Teknologi:

Mekanisme yang efektif alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang, serta upaya meningkatkan sumber daya yang mampu mengurangi hambatan ketersediaan pendanaan untuk mendorong agar negara-negara berkembang dapat mengakses teknologi ramah lingkungan dengan harga terjangkau.

Pendanaan:

Bantuan pendanaan sangat diperlukan dalam upaya mengurangi gas rumah kaca dan membantu negara berkembang untuk beradaptasi menghindari dampak perubahan iklim.

(29)

PERTIMBANGAN YANG STRATEGIS inilah yang kemudian mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membuat lembaga khusus yang menangani perubahan iklim. Belum hilang rasa lelah, setelah berhasil menyelenggarakan COP 13, Presiden, sebagaimana dituturkan oleh Agus Purnomo,

Melihat keberhasilan COP 13, dan kepemimpinan Indonesia

yang menemukan momentum positif dalam negosiasi perubahan

iklim, maka muncul pertanyaan, “Mungkinkah Indonesia di

tingkat Internasional dapat memimpin isu climate change ini?”

memberikan arahan, “Bikin lembaga perubahan iklim dan akan dipimpin sendiri oleh Presiden.” Lembaga itu tentu unik, pertama karena “mengurusi iklim”, dan kedua akan dipimpin langsung oleh Presiden. Dibuatlah proses pembahasan untuk merealisasikannya.

Serangkaian proses administrasi dan yuridis pun dipersiapkan. Kontak antara tokoh-tokoh COP 13, tokoh KLH, dan Sekretariat Negara berlangsung intensif. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan turut ambil bagian mencoret dan mengoreksi sendiri rancangan perpres (Peraturan Presiden) untuk diperbaiki, disempurnakan dan akhirnya Presiden pun tanda tangan.

Hasilnya adalah sebuah Peraturan Presiden (Perpres) No. 46/2008, tentang Pendirian DNPI. Dewan

PENDIRIAN

DNPI

DI BALIK GAGASAN

(30)

15

DNPI 5 TAHUN I Presiden Yudhoyono mempimpin rapat DNPI di istana, 30 September 2011 Foto: Dokumentasi DNPI

ini Ketuanya adalah Presiden Republik Indonesia dengan dua Wakil Ketua, yakni Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Di samping itu, keanggotaan DNPI juga diperkuat oleh 17 Menteri terkait dan satu kepala Badan yang duduk sebagai anggota.

Jika ditilik dari alasan strategis, setidaknya ada alasan kuat mengapa Presiden melihat DNPI penting untuk didirikan. Pertama, Presiden melihat berdirinya DNPI merupakan satu dari sedikit kemungkinan Indonesia bisa mengambil peran di dunia Internasional. Dan langkah ini tepat, disebabkan track record

Indonesia dalam kepeloporan kepemimpinan peru bahan iklim tingkat dunia, termasuk dalam penanganan REDD dan isu iklim yang lainnya, tak diragu kan lagi. Kepercayaan itu terus berlanjut. Terbukti, tahun 2013 ini Presiden SBY kembali dipercaya menjadi ketua bersama panel tingkat tinggi PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs). Ketua Bersama adalah sebuah panel kolektif, dalam hal ini Presiden SBY berada di jajaran penting dalam forum MDGs bersama dengan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf dan Perdana Menteri Inggris David Cameron.

Dewan ini Ketuanya adalah Presiden Republik Indonesia dengan

Dua Wakil Ketua, yakni Menteri Koordinator

Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) dan Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian.

Di samping itu, keanggotaan DNPI juga diperkuat oleh

17 Menteri terkait dan satu kepala Badan yang duduk

(31)

Dapat disimpulkan, gagasan Presiden SBY bahwa Indonesia harus memimpin dalam perubahan iklim itu merupakan keputusan strategis yang tepat, jikapun tidak bisa dikatakan genius, yang membawa bangsa Indonesia berperan besar dan penting dalam kancah kepemimpinan perubahan iklim di tingkat internasional.

Selain itu, alasan kedua, sejak tahun 2008,

DNPI pula yang menjadi katalisator antarsektor yang melibatkan sektor dari kementerian lain dalam

upaya-upaya negosiasi perubahan iklim. Jadi, pendirian DNPI merupakan gambaran serius niat pemerintah dalam upaya menanggulangi perubahan iklim, baik dalam skala nasional maupun global. Karena kompleksitas masalah dan tantangan iklim melibatkan berbagai sektor yang berbeda, maka diperlukan sebuah tim yang kuat dalam upaya melaksanakan tugasnya menjadi penanggungjawab sekaligus koordinator penanggulangan perubahan iklim secara nasional.

Track record Indonesia dalam kepelopran kepemimpinan perubahan iklim tingkat dunia, tak diragukan lagi: Presiden Yudhoyono dalam COP 15 Copenhagen tahun 2009. Foto: Dokumentasi DNPI

[image:31.524.25.502.306.655.2]
(32)

17

DNPI 5 TAHUN I

K

ompleksitas dan tantangan perubahan iklim, menjadikan DNPI sebuah lembaga yang mempunyai mandat koordinasi lintas sektoral. Dalam Perpres nomor 46 tahun 2008 diatur mengenai Struktur DNPI, diketuai oleh Presiden RI dengan Wakil Ketua 1 Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Wakil Ketua 2 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Adapun anggota-anggota DNPI, Menteri dari 17 Kementerian dan satu Kepala BMKG, sebagai berikut: :

1. Menteri Sekretaris Negara 2. Menteri Sekretaris Kabinet 3. Menteri Negara Lingkungan Hidup 4. Menteri Keuangan

5. Menteri Dalam Negeri 6. Menteri Luar Negeri

7. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 8. Menteri Kehutanan

9. Menteri Pertanian 10. Menteri Perindustrian 11. Menteri Pekerjaan Umum

12. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS 13. Menteri Kelautan dan Perikanan

14. Menteri Perdagangan

15. Menteri Negara Riset dan Teknologi 16. Menteri Perhubungan

17. Menteri Kesehatan

18. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)

Dalam melaksanakan tugasnya DNPI dipimpin oleh Ketua Harian merangkap anggota, Rachmat Witoelar. Perpres 46 tahun 2008 mengatur adanya enam Kelompok Kerja (Pokja) dan Sekretariat, yaitu sebagai berikut:

1. Kelompok Kerja Adaptasi 2. Kelompok Kerja Mitigasi 3. Kelompok Kerja Alih Teknologi 4. Kelompok Kerja Pendanaan 5. Kelompok Kerja Post Kyoto 2012

6. Kelompok Kerja Kehutanan dan Alih Guna Lahan.

Sekretariat DNPI dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat. Untuk mendukung tugas pokok DNPI, maka Sekretariat DNPI didukung oleh beberapa Divisi sebagai berikut:

1. Divisi Administrasi Umum

2. Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon 3. Divisi Komunikasi, Informasi, Edukasi 4. Divisi Pengembangan Kapasitas dan Riset 5. Divisi Monitoring dan Evaluasi

DNPI dalam melaksanakan kegiatannya mendapatkan dukungan pendanaan negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Dalam administrasi anggaran, DNPI merupakan salah satu Satuan Kerja (Satker) di dalam KLH.

TUJUH BELAS KEMENTERIAN

(33)

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN

DAN KELEMBAGAN PERUBAHAN IKLIM

1994

Undang-undang No. 6/1994, Ratifikasi Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC)

1999

Komunikasi Nasional Pertama (National Communication) yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup

1997

Revisi Undang-undang 23/1997 menjadi Undang-undang 32/2009 yang memasukkan isu perubahan iklim dalam pengelolaan lingkungan

2004

Undang-undang no. 17/2004, ratifikasi Kyoto Protocol

2010

Pengiriman Komunikasi Nasional ke Dua, oleh KLH.

2005

Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 206/2005, tentang Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (PNPB)

2011

Dikeluarkan Perpres No. 61 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK (RAN - GRK).

2007

Penerbitan Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim (RAN – PI), oleh KLH

2009

Masuk dalam Rencana Program Jangka Menengah 2009-2014 (RPJM 2009-2014), Bappenas.

2011

Dikeluarkan Perpres No. 71 Tentang Penyelenggaraan GRK Inventarisasi Nasional.

2010

Keputusan Presiden tentang Satgas Persiapan Pembentukan kelembagaanREDD+

2008

(34)

19

DNPI 5 TAHUN I

BAB II

tentang

(35)
(36)

21

DNPI 5 TAHUN I

Tiada badai,

tiada topan kau temui...

Ikan dan udang

menghampiri dirimu...

Koes Plus, 1973

“Bila ingin mengenang bagaimana bumi yang

stabil, barangkali masa yang paling ideal kondisi

bumi adalah seperti digambarkan oleh Koes Plus

(37)

KALAU DITANYAKAN kepada orang tua dahulu, mereka akan bernostalgia dan bertutur, jika anda ke Bogor atau Bandung di tahun 1970an niscaya harus menggunakan baju tebal atau sweater, dari pagi hingga menjelang tengah hari. Sebab udara sangat sejuk, apalagi kawasan sekitar Puncak, menuju Bandung, di kiri-kanan, hutannya masih lebat.

“Bogor sudah jarang hujan dan udaranya pun seringkali panas

terik. Walau di malam hari angin berhembus sedikit sejuk,

tetapi tidak seperti dahulu. Bogor tidak sejuk lagi.”

MUSIM YANG SEMAKIN

TAK MENENTU

Hujan turun di Bogor hampir setiap hari, karena itu Bogor disebut kota hujan. Pemerintah Kolonial Belanda, berhasil mengoleksi tanaman-tanaman beriklim tropis dari berbagai hutan Sumatera dan Kalimantan, dan menanamnya di Kebun Raya Bogor, karena curah hujan yang tetap tinggi. Bogor kala itu, sejuk dan nyaman dengan ketinggian 200 sampai 330 meter di atas permukaan laut. Temperatur udara Bogor, berkisar paling rendah 20ºC, sedangkan rata-ratanya

adalah 26ºC, kelembaban mencapai 70%, curah hujan

tiap tahun cukup tinggi. Namun sekarang, Bogor tidak sejuk seperti dulu lagi. “Bogor sudah jarang hujan dan udaranya panas terik. Di malam hari angin berhembus sedikit sejuk, tetapi tidak seperti dahulu. Kota Bogor tidak sejuk lagi,” tulis Parlin Nainggolan, seorang warga Ibukota yang menulis tentang kondisi lingkungan Bogor saat ini di sebuah media online.

Rekahan tanah sawah yang retak

Fot

o:

D

ok

umen

(38)
(39)

Itulah kondisi lokal yang sekarang kita rasakan. Pola hujan di sebagian wilayah Indonesia sudah mengalami perubahan. Di beberapa wilayah, awal musim hujan ada yang mundur dan ada pula yang maju. Tercatat bahwa curah hujan di bagian selatan ekuator — Jawa dan kawasan Indonesia Bagian Timur — cenderung meningkat, sementara curah hujan musim kemarau cenderung menurun. Selain itu, kemarau di wilayah ini cenderung lebih lama. Fenomena lingkungan seperti ini memberikan petunjuk bahwa perubahan iklim nyata adanya. Namun, manusia ada yang sadar dan banyak yang tidak mengetahuinya, karena perubahan iklim berjalan sangat lamban, sedikit demi sedikit dan bersifat global.

Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca dalam jangka yang sangat panjang, antara 50 sampai 100 tahun, dan mencakup kawasan yang luas. Pergeseran cuaca yang berkaitan erat dengan fenomena iklim ini telah disadari sejak lama oleh para ilmuwan. Demikian pula kerap terjadi perubahan iklim yang sontak dan radikal yang dapat mengganggu kehidupan, misalnya cuaca ekstrem, hujan badai dan angin puting beliung, termasuk juga El Nino dan La Nina.

Daniel Murdiyarso, penelitisenior pada Center for International Forestry Research (CIFOR) dan Guru Besar Ilmu Atmosfer, Institut Pertanian Bogor (IPB) menuliskan, “Karena iklim juga menjadi suatu ciri fisik suatu kawasan, maka jika terjadi perubahan, dampaknya terhadap komponen-komponen biotik (hidup) dan abiotik (tak hidup) akan sangat luas. Boleh jadi, perubahan itu bersifat permanen karena hilangnya komponen penting dalam kawasan, misalnya hutan sebagai ekosistem atau spesies yang ada di dalam ekosistem hutan tersebut.” Oleh karena itu, dampak perubahan iklim dianggap sangat fatal dan mengerikan, karena manusia tidak bisa mengembalikan (irreversible), apabila iklim berubah. Para ahli kemudian melihat gejala perubahan iklim secara lebih serius dan mengadakan pertemuan

dalam konferensi iklim pertama pada tahun 1979, di Jenewa, Swiss. Pertemuan ilmiah tersebut pada akhirnya membicarakan tantangan global kondisi iklim dan kemudian menghasilkan deklarasi yang meminta pemerintah di seluruh dunia untuk mengantisipasi perubahan iklim.

Sejak saat itu isu-isu tentang perubahan iklim global terus didengungkan, utamanya oleh tiga lembaga internasional terkemuka, yaitu: Badan Meteorologi Dunia atau the World Meteorological Organization

(WMO), Badan PBB yang menangani program lingkungan atau the United Nations Environment Programme (UNEP) dan Dewan Internasional Perhimpunan Ilmiah atau the International Council of Scientific Unions (ICSU). Di bawah badan-badan itu, konferensi perubahan iklim mendapat perhatian dan melibatkan pemerintahan di seluruh dunia.

Salah satu momentum penting adalah pada tahun 1988, ketika The Toronto Conference on the Changing Atmosphere yang mengundang perdebatan masyarakat global lebih dari 340 peserta konferensi yang berasal dari 46 negara, bersepakat membuat sebuah kerangka konvensi dunia untuk melindungi atmosfer.

Dua tahun kemudian, pada tahun 1990, WMO bersama-sama dengan UNEP menerbitkan laporan tentang kenaikan temperatur dunia sejak seratus tahun sebelumnya, yaitu setelah terjadinya revolusi industri pada abad 18. Laporan tersebut kemudian diadopsi oleh panel ahli perubahan iklim antarpemerintah (Inter-governmental Panel on Climate Change, IPCC) melalui laporan pertamanya, the First Assessement Report (FAR). Dokumen inilah yang pada akhirnya mendasari terbentuknya sebuah konvensi internasional yang disebut dengan United Nations Framework Convention on Climate Change yang biasa disingkat UNFCCC pada tahun 1992.

Dampak perubahan iklim dianggap sangat fatal dan

mengerikan, karena manusia tidak bisa mengembalikan

(40)

25

DNPI 5 TAHUN I Penduduk pesisir dan nelayan terdampak langsung perubahan iklim. Beberapa wujud,

di antaranya pasang tinggi, abrasi kian cepat,

musim tak terprediksi, serta panen ikan merosot

.

Nelayan Krui, Lampung Barat, punya kisah. Nelayan generasi sekarang tak bisa menebak musim. Dulu nenek moyang mereka paham betul isyarat langit, posisi bintang. Hanya dengan membaca posisi bintang selatan

(berbentuk ikan pari), mereka mengetahui awal musim barat dan timur.

Data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) tahun 2008 menunjukkan,

hari melaut nelayan rata-rata hanya 180 hari atau 6 bulan.

Akibatnya, keluarga nelayan pun kian terjerat utang

.

Kisah nelayan di atas sejalan dengan analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

”Kondisi berubah di laut empat tahun terakhir dan itu merata,”

kata Edvin Aldrian, Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG.

(Sumber: KOMPAS, Kamis 3 Desember 2009)

Apakah perubahan iklim itu nyata?

Simak kata para nelayan ini:

(41)

MANUSIA &

PLANET BUMI yang kini dihuni oleh tujuh miliar

manusia ini, merupakan satu-satunya planet yang sangat ideal untuk kehidupan. Suhu rata-rata global bumi adalah 150C. Kondisi ini terjadi karena bumi

dilapisi oleh atmosfer yang ideal. Atmosfer yang letaknya di tepi permukaan bumi adalah ibarat selimut. Lapisan yang berada di kulit terluar bumi ini berasal dari gas yang sering disebut ‘gas-gas rumah kaca’ (GRK) dalam konsentrasi yang memadai. Gas rumah kaca yang tetap memelihara kehidupan tersebut merupakan ‘selimut’ yang selalu menghangatkan.

Pemanasan global terjadi akibat gas-gas

Efek rumah kaca terjadi ketika energi dari sinar matahari tiba

di permukaan Bumi, dan menghangatkan bumi. Ketika itu,

permukaan Bumi akan menyerap panas, namun sebagian

panas memantulkan kembali sisanya

MANUSIA & GAS-GAS

RUMAH KACA

rumah kaca (GRK) semakin hari semakin menumpuk dan mempertebal selimut bumi tersebut. Kenaikan konsentrasi gas-gas rumah kaca akan membuat selimut bumi bertambah tebal, dan panas yang seharusnya keluar dari atmosfer sebagian lebih banyak terperangkap dan kembali ke bumi. Ibarat berada di rumah kaca, bumi akan mengalami kenaikan suhu akibat banyaknya panas — yang berasal dari sinar matahari — terperangkap oleh selimut atmosfer yang semakin tebal oleh penumpukan gas-gas rumah kaca.

Lebih jelasnya, efek rumah kaca terjadi ketika energi dari sinar matahari tiba di permukaan Bumi, dan menghangatkan bumi. Ketika itu, permukaan Bumi akan menyerap panas, namun sebagian panas memantulkan kembali sisanya.Tidak semua panas menghilang, karena sebagian tetap terperangkap di atmosfer bumi. Banyak nya panas yang terperangkap ini adalah akibat menumpuknya jumlah gas gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida dan metana yang menjadi “selimut” sehingga sukar ditembus. Kondisi inilah yang mengakibatkan permukaan bumi semakin panas. Analoginya adalah seperti kita tidur dengan selimut tanpa pendingin udara. Semakin tebal selimutnya, maka akan semakin panas suhu udara yang kita rasakan.

Sumb

er

: D

ok

umen

(42)

27

DNPI 5 TAHUN I

Peternakan adalah salah satu

penyumbang terbesar emisi gas

rumah kaca

(43)

PENAMBANGAN BATU BARA

PEMBANGKIT LISTRIK BAHAN BAKAR FOSIL/ BATUBARA

PROSES INDUSTRI

(44)

29

DNPI 5 TAHUN I

LAPISAN ES MENCAIR

PEMBAKARAN LADANG

KEBAKARAN HUTAN

PEMBUANGAN SAMPAH TRANSPORTASI DARAT

TRANSPORTASI UDARA

PEMUPUKAN

PRODUKSI MINYAK

dari mana gas rumah kaca

berasal?

(45)

Enam jenis Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat menimbulkan pemanasan global dan dibicarakan di UNFCCC adalah: karbon dioksida (CO2), metan (CH4),

nitrat oksida (N2O), dan gas-gas yang mengandung fluor, seperti hydrofluorocarbon (HFCs), perfluorocarbon (PFCs), dan sulphur hexafluorida (SF6). Dari keenam gas-gas rumah kaca tersebut, karbon dioksida mengambil porsi terbesar, yaitu sekitar 75%. Oleh karena itulah maka jumlah GRK selalu disetarakan dengan kandungan CO2 yang ada di atmosfer.

Ke-enam jenis gas rumah kaca tersebut mempunyai daya potensi penyebab pemanasan global (global warming potential-GWP) yang berbeda-beda. Karbon dioksida, walaupun jumlahnya paling

Ini juga berarti bahwa mengurangi emisi gas metana sebanyak 1 ton setara dengan mengurangi emisi karbondioksida sebanyak 21 ton.

Singkatnya, dalam bahasa sederhana, sesungguhnya pemanasan global terjadi akibat proses penebalan atmosfer di permukaan bumi dikarenakan konsentrasi gas-gas rumah kaca yang terus bertambah akibat ulah manusia dan menjadi polusi yang terus membumbung ke udara. Sayangnya, kegiatan manusia yang dianggap menjadi biang keladi pemanasan global tersebut merupakan penunjang vital di zaman modern ini, misalnya pembangkit energi listrik, industri, pertanian, pemanfaatan hutan, dan transportasi.

Karbon dioksida merupakan polutan utama yang

kita harus menjaga konsentrasi karbon dioksida pada

konsentrasi tidak melebihi 450 bagian persejuta volume CO

2

(ppm), supaya tidak menimbulkan dampak negatif

perubahan iklim

banyak, ternyata adalah gas rumah kaca (GRK) dengan daya potensi penyebab pemanasan global terendah dibandingkan dengan lima jenis GRK lainnya. Jika membandingkan karbondioksida GWP = 1, maka metana mempunyai GWP sebesar 21. Berarti 1 ton metana mempunyai potensi penyebab pemanasan global 21 kali lebih kuat daripada 1 ton karbondioksida.

paling umum masuk ke atmosfer akibat pembakaran batu bara (atau pembangkit energi yang berasal dari bahan fosil lain) untuk pembangkit listrik. Selama ini, Indonesia sangat bergantung pada bahan bakar minyak dan gas (BBM), yaitu energi yang juga berasal dari bahan fosil.

Dalam upaya mencegah terjadinya perubahan iklim yang berkelanjutan, para ilmuwan terkemuka mengatakan, bahwa kita harus menjaga konsentrasi karbon dioksida pada konsentrasi tidak melebihi 450 bagian persejuta volume CO2 (ppm), supaya tidak menimbulkan dampak negatif perubahan iklim.

Dalam skenarionya para ahli menjelaskan bahwa bila konsentrasi CO2 yang ada di atmosfer melebihi

450 ppm, maka akan terjadi kenaikan suhu udara lebih dari dua derajat celcius, yaitu ambang batas kenaikan temperatur di atmosfer yang memungkinkan makhluk hidup di bumi masih dapat bertahan hidup dengan baik dan aman. Kenaikan di atas angka tersebut dianggap akan menimbulkan bencana kehidupan di muka bumi. Masalahnya adalah, kenaikan konsentrasi GRK

Jenis-jenis gas rumah kaca dan GWP

(Global Warming Potential).

Dalam 100 Tahun

Jenis Karbondioksida (CO2) Metana (CH4) Nitroksida (N2O) Perfluorokarbon (PFCs) Hydrofluorokarbon (HFCs) Sulfur heksafluorida (SF6)

Potensi Pemanasan Global (GWP)

1 21 310 6500 – 9200 140 – 11.700

(46)

31

DNPI 5 TAHUN I

ini bagaikan deret ukur sejak seratus tahun terakhir, mengkhawatirkan bagi kehidupan.

Masa depan semua makhluk di bumi akan sangat suram apabila tidak ada tindakan berarti dalam upaya menahan-atau biasa diistilahkan dengan mitigasi-laju emisi GRK yang terus meningkat. Laporan Bank Dunia (2012), memberikan gambaran, bahwa jika kita (warga bumi) tetap tidak melakukan tindakan apa-apa atau Business As Usual (BAU) maka akan terjadi peningkatan

suhu hingga 4°C, dan hal ini akan mengakibatkan dampak yang mengerikan: kota-kota pesisir terancam banjir, produksi pangan terancam turun yang tentu saja akan meningkatkan kasus malnutrisi disebabkan banyak kawasan kering yang akan semakin kering, dan kawasan basah menjadi lebih basah. Selain itu dampak buruk lain dapat terjadi dengan banyaknya kawasan yang akan mengalami ge lombang panas, terutama di daerah tropis: banyak kawasan akan

mengalami kelangkaan air, siklon tropis akan semakin sering dan keanekaragaman hayati, termasuk ekosistem terumbu karang yang menjadi tempat tinggal ikan, pun terancam punah. Hal ini tentunya akan berpengaruh besar pada perekonomian negara termasuk Indonesia. (Lihat: Dampak Perubahan Iklim di laut Nusantara)

Hasil pengamatan atas konsentrasi GRK yang dimonitor di Gunung Mauna Loa di Hawaii pada bulan Mei 2013 lalu telah mencapai 400 ppm. Konsentrasi ini meroket melampaui hampir tujuh ppm, dari 393,14 ppm pada bulan Januari satu tahun sebelumnya, dan lima ppm dari angka 395,55 pada Januari 2013 (Gambar 2). Maka upaya berbagai negara sekarang adalah bagaimana mencegah emisi yang terus berlanjut dan upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan emisi gas rumah kaca yang lainnya. Oleh karena itulah maka kesepakatan UNFCCC sangat penting untuk terus dijalankan.

para ahli menjelaskan bahwa bila konsentrasi CO

2

yang

[image:46.524.104.404.439.637.2]

ada di atmosfer melebihi 450 ppm, maka akan terjadi kenaikan

suhu udara lebih dari dua derajat celcius

Gambar 2: Grafik Konsentrasi CO2 di Mauna Loa Observatory, Hawaii Mei 2013. Konsentrasi GRK mencapai 400 ppm

TAHUN

PPM

Juni 2013

Sumb

er

: maunaloa.c

(47)

Perkembangan Laporan Ilmiah

Penjelasan tentang terjadinya fenomena perubahan iklim dibuktikan secara ilmiah. Saat ini, telah tergabung sekitar 2.500 orang pakar dan peneliti di seluruh dunia yang bekerjasama bahu membahu dalam Inter-govermental Panel on Climate Change (IPCC) yang terlibat meneliti tentang perubahan iklim. IPCC adalah badan ilmiah yang tugas utamanya melakukan kajian hasil-hasil riset tentang informasi teknologi, sosial dan ekonomi yang terkait dengan perubahan iklim di seluruh dunia.

Pada dasarnya IPCC tidak memonitor data atau parameter perubahan iklim. IPCC juga tidak mengeluarkan rekomendasi aksi untuk menghadapi perubahan iklim, akan tetapi IPCC melakukan analisa, kajian dan membeberkan fakta-fakta tentang sebab akibat yang akan terjadi terkait dengan perubahan iklim. Para ilmuwan IPCC melaporkan hasil analisanya kepada para anggotanya, yang saat ini berjumlah lebih dari 190 negara. Laporan IPCC disampaikan secara berkala setiap lima sampai tujuh tahun sekali. Namun di antara jangka waktu tersebut, atas permintaan UNFCCC, IPCC juga mengeluarkan beberapa laporan khusus yang disebut Special Report, misalnya Special Report on LULUCF, Technical Paper, dll. Laporan terakhir IPCC, Assessment Report 4 (AR4) diterbitkan dalam tahun 2007, dan saat ini masih menunggu AR5 yang rencananya akan dikeluarkan pada tahun 2014. Peran IPCC sangat krusial dan kredibel, oleh karena itu lembaga tersebut menjadi tulang punggung basis ilmiah yang kemudian digunakan sebagai pijakan untuk berbagai kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di seluruh dunia.

Menurunkan yang Terlanjur

Naik

Sumber emisi gas gas rumah kaca (GRK) sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan manusia di atas permukaan bumi, yang berasal dari sektor

industri, energi, transportasi, pertanian, kehutanan, pertambangan, dan yang lainnya. Emisi ini disebut dengan anthropogenic emission. Ketergantungan manusia pada sektor energi, seperti listrik, industri dan kendaraan bermotor berbahan dasar fosil, mengakibatkan sekitar 80% sumber emisi dunia berasal dari bahan bakar fosil (fossil fuels burning). Sedangkan sisanya sebesar lebih kurang 20%, dikarenakan oleh kegiatan alih guna lahan dan degradasi di kehutanan. Dari 20% ini, kegiatan pembukaan lahan dan hutan sebagian besar terjadi di kawasan hutan hujan tropis yang merupakan 75% bagian aktivitas di wilayah ini. Oleh karena Indonesia merupakan negara yang memiliki luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia, maka perhatian dunia juga banyak tertuju kepada Indonesia.

Pemanasan global terjadi, dan cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Inilah yang kemudian mendorong para pihak di United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) secara rutin melakukan rangkaian perundingan perubahan iklim. Tujuan UNFCCC tertuang dalam Pasal 2 konvensi perubahan iklim tersebut, yaitu:

“Tujuan akhir dari konvensi ini dan instrumen legal yang diadopsi oleh Para Pihak adalah dalam upaya mencapai, sesuatu yang relevan dengan tujuan konvensi yaitu, menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer pada tingkat yang dapat mencegah bahaya akibat ulah manusia (antropogenik) terhadap sistem iklim. Tingkat konsentrasi GRK tersebut, harus dicapai dalam jangka waktu yang efisien yang memungkinkan ekosistem dapat beradaptasi secara alami terhadap perubahan iklim, memastikan bahwa produksi pangan tidak terancam dan memungkinkan pembangunan ekonomi dapat berjalan secara berkelanjutan.”

Berdasarkan pada konvensi tersebut, maka tujuan konvensi adalah menstabilkan emisi GRK di atmosfer. Dengan kata lain, pada hakekatnya semua negara Pihak yang meratifikasi konvensi dan tergabung dalam UNFCCC berusaha untuk mencari solusi terhadap tiga

(48)

33

DNPI 5 TAHUN I hal: Pertama, mencari cara bagaimana mengurangi emisi

global secara ambisius dan signifikan dari berbagai kegiatan manusia (ambisius target of anthropogenic emission reduction by sources) agar konsentrasi GRK setara CO2 yang ada di atmosfer tidak melebihi 450 ppm. Kedua, mengupayakan peningkatan kapasitas serapan karbon dari atmosfer (increasing capacity of carbon removal by sinks) yang dapat dilakukan dengan intervensi teknologi,

(49)

PERUBAHAN IKLIM yang terjadi di Indonesia pada umumnya diindikasikan dengan adanya perubahan terhadap temperatur harian rata-rata, pola curah hujan, tinggi muka laut, dan variabilitas iklim, misalnya El Nino dan La Nina. Perubahan ini memberikan dampak yang serius terhadap berbagai sektor di Indonesia, termasuk sektor kesehatan, pertanian, perekonomian, dan lain-lain. Beberapa kajian yang dilakukan oleh berbagai institusi baik dari dalam maupun luar negeri menunjukkan bahwa iklim di

Dunia pertanian mengalami gangguan langsung akibat

perubahan musim yang tidak menentu

BENARKAH ADA

PERUBAHAN IKLIM?

Indonesia telah mengalami perubahan sejak tahun 1960, meskipun analisis ilmiah maupun data-datanya masih terbatas.

Kajian DNPI

DNPI telah melakukan kajian di Provinsi Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Gorontalo dan Kepulauan Riau dan menemukan adanya peningkatan suhu, curah hujan dan Tinggi Muka Air Laut (TMAL). Berdasarkan catatan DNPI, di Sumatera Utara dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan suhu sebesar 0,3oC di sebagian wilayah Sumatera Utara. Adapun laju peningkatan curah hujan secara umum berkisar antara 0,02 mm hingga 0,4 mm pertahun, dengan laju tertinggi terjadi di b

Gambar

gambaran serius
Gambar 2:  Grafk Konsentrasi CO2 di Mauna Loa Observatory, Hawaii Mei 2013. Konsentrasi GRK mencapai 400 ppm
Gambar Profil emisi GRK Indonesia sampai 2020
Gambaran deforestasi hutan di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian didapatkan 6 tema terkait konsep diri yaitu (1) kehidupan yang dijalani pengguna NAPZA, (2) perubahan setelah menggunakan NAPZA, (3) respon

Begitu juga hasil dari penelitian yang dilakukan Ramdhani (2017) menyatakan bahwa kinerja karyawan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas

Based on the description, the researcher conducted the present research purposing to describe and compare the abilities of eighth grade junior high school students in

Makna harimau yang ada dalam Novel Lelaki Harimau mempunyai makna yang jauh dari acuannya, sebab makna harimau dalam teks sastra terkadang mengandung makna yang

Secara parsial efektivitas administrasi perpajakan dan kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh positif terhadap penerimaan Persamaan Penelitian ini dengan penelitian yang

[r]

Berdasar Ayat diatas, maka dapat disimpulkan angin memiliki energi yang dapat menggerakkan kapal. Energi pada angin tersebut dikonversikan menjadi

Metode pengumpulan data tracer study dilakukan dengan menggunakan kuesioner/angket yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung (melalui telepon,