PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN ATAS PENEMUAN HARTA KARUN DI WILAYAH
PERAIRAN INTERNASIONAL
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh: ELISA APRILIA
NIM: 110200194
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN ATAS PENEMUAN HARTA KARUN DI WILAYAH
PERAIRAN INTERNASIONAL
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh: ELISA APRILIA
NIM: 110200194
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Disetujui Oleh:
NIP. 195612101986012001 Dr. Chairul Bariah, SH, MHum
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H Arif, S.H., M.Hum NIP: 196207131988031003 NIP: 196403301993031002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul “PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI
STATUS KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG DITEMUKAN DI WILAYAH PERAIRAN INTERNASIONAL” ini sesuai dengan harapan.
Latar belakang penulisan skripsi ini tidak semata – mata untuk kelulusan
kegiatan akademik belaka, tetapi penulis juga ingin mengkaji dan menelaah isu
penting yang kian mendapat perhatian masyarakat internasional berkaitan dengan
penemuan harta karun di perairan internasional. Penemuan harta karun dalam
beberapa tahun terakhir oleh perusahaan – perusahaan pencari harta karun telah
memicu timbulnya ketidakpastian peraturan internasional terhadap kepemilikan
kapal – kapal karam yang ditemukan di perairan internasional. Karena seperti
yang diketahui bahwa perairan internasional merupakan wilayah perairaan yang
berada di luar yurisdiksi negara manapun dan merupakan warisan bersama umat
manusia.
Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak
ketidaksempurnaan dan kekurangan, baik yang disebabkan oleh keterbatasan
kemampuan penulis maupun panasnya kontroversi pembahasan hukum
internasional mengenai isu status hukum dan perlindungan yang selayaknya
diberikan kepada orang – orang yang dipaksa meninggalkan negaranya
dikarenakan lingkungan dan bencana alam. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan skripsi
Dengan penuh rasa hormat, penulis juga berterima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bentuan dan dukungan selama proses penulisan
skripsi dan dalam pemebelajaran penulis yakni:
1. Prof. Dr. dr Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;
2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
USU, beserta seluruh jajaran pimpinan Fakultas Hukum USU;
3. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum
Internasional Fakultas Hukum USU dan selaku Pensehat Akademik
penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum USU;
4. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I penulis yang
telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan
bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan
skripsi ini;
5. Arif, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan,
pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan skripsi ini;
6. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI., selaku Pembina Tim USU
dalam Phillip C. Jessup International Moot Court Competition;
7. Dosen – dosen Fakultas Hukum USU yang telah menyumbangkan ilmu
yang tidak ternilai bagi penulis;
8. Seluruh civitas Fakultas Hukum USU: jajaran staf administrasi dan
9. Orang tua penulis, Benno P. Sidabutar dan Rospita Panjaitan, terima kasih
atas cinta dan kasih sayang yang telah diberikan;
10. Saudara – saudara penulis, Togi Basthian, Roland, David, dan Wira untuk
dukungan dan semangat yang diberikan selama ini;
11. Teman – teman penulis, Astriani Situngkir, Vivi Marbun, Nova Dina Tari,
Riscia Gusti Bella, Christine Natalia, Eva Maria, beserta teman – teman
Grup D dan ILSA;
12. Senior – senior dan teman – teman di Phillip C Jessup International Law
Moot Court Club (ILMCC), Heriyanto, Kak Paulina, Kak Yuthi, Kak
Jennifer, Bang Michael, Bang Herbert, Bang Henjoko, Yohana Rosendra,
Assyfa Humairah, Frans Yoshua, Noviliana, Steven Martin;
13. Seluruh civitas GMKI Komisariat Fakultas Hukum USU;
14. Teman – teman Stambuk 2011 Fakultas Hukum USU, serta pihak – pihak
lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Terima kasih.
Medan, April 2014
Hormat Penulis,
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Daftar Isi ... iv
Abstraksi ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penulisan ... 6
D. Keaslian Penulisan ... 7
E. Tinjauan Kepustakaan ... 8
F. Metode Penelitian ... 9
1. Jenis Pendekatan ... 9
2. Data Penelitian ... 10
3. Teknik Pengumpulan Data ... 11
4. Analisis Data ... 12
G. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II EKSISTENSI HARTA KARUN DALAM HUKUM INTERNASIONAL ... 15
A. Ruang Lingkup Harta Karun ... 15
B. Sejarah Penemuan Harta Karun di Dunia ... 18
1. Konvensi PPB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention
on the Law of the Sea 1982/UNCLOS) ... 23
2. Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah
Air 2001 (UNESCO Convention on the Protection of Underwater
Cultural Heritage 2001) ... 25
3. International Convention on Salvage 1989 ... 29
BAB III KONSEP KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG DITEMUKAN
DI PERAIRAN INTERNASIONAL ... 31
A. Pengertian Perairan Internasional ... 31
B. Kepemilikan Berdasarkan Hukum Bangsa – Bangsa (Law of Nations) .. 33
1. Hukum Penyelamatan (Law of Salvage) ... 35
2. Hukum Penemuan (Law of Finds) ... 41
C. Kepemilikan Menurut Konvensi – Konvensi Internasional ... 45
1. Warisan Bersama Umat Manusia (Principle of Common Heritage of
Mankind) ... 46
2. Hak – Hak Istimewa Negara Asal (Preferential Rights of State of
Origin) ... 49
3. Kekebalan Berdaulat (Sovereign Immunity) ... 52
BAB IV PENYELESAIAN ISU KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG
DITEMUKAN DI PERAIRAN INTERNASIONAL ... 56
A. Latar Belakang Munculnya Isu Kepemilikan Terhadap Harta Karun yang
B. Berbagai Kepentingan (Competing Interest) Dalam Isu Kepemilikan Harta
Karun ... 58
1. Kepentingan Arkeologi (Archeological Interest) ... 59
2. Kepentingan Komersil (Commercial Interest) ... 61
3. Kepentingan Umum (Public Interest) ... 63
C. Bentuk Penyelesaian Isu Kepemilikan Atas Penemuan Harta Karun di Perairan Internasional ... 64
1. Melalui Pengadilan/Litigasi ... 65
2. Berdasarkan Perjanjian Kerjasama ... 79
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 87
A. KESIMPULAN ... 87
B. SARAN ... 88
PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG DITEMUKAN DI WILAYAH
PERAIRAN INTERNASIONAL
*) Prof. Dr Suhaidi, S.H., M.H **) Arif, S.H., M.Hum
***) Elisa Aprilia
ABSTRAKSI
Perkembangan teknologi khususnya di bidang eksplorasi laut dalam telah memicu timbulnya upaya manusia untuk mencari dan menyelamatkan kapal – kapal yang sudah karam serta muatannya dari dasar laut internasional. Hal ini dikarenakan penemuan tersebut mengandung nilai historis, arkeologis, sekaligus nilai komersil. Seiring dengan perkembangan ini, nilai komersil dari penemuan itu lebih banyak memberi insentif bagi penyelamat harta karun, khususnya perusahaan eksplorasi komersil, untuk lebih berusaha melakukan upaya pencarian dan penyelamatan harta karun. Kehadiran insentif inilah yang pada akhirnya menimbulkan kompetisi diantara berbagai pihak untuk dapat mengajukan klaim kepemilikan atas bangkai kapal maupun muatan yang ditemukannya. Karena peningkatan jumlah penemuan bangkai kapal di perairan internasional, maka hal ini mulai menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai status kepemilikan atas penemuan tersebut karena banyaknya kepentingan dari berbagai pihak didalamnya, keberagaman instrumen hukum internasional, serta wilayah penemuan yang berada diluar yurisdiksi negara.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana tinjauan umum harta karun, alasan penyelamatan dan kepentingan yang ada dalam harta karun berdasarkan hukum internasional, serta bagaimana status kepemilikan harta karun yang ditemukan di wilayah perairan internasional.
Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan – bahan dari buku, jurnal, internet, instrumen hukum internasional dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilimiah ini.
Hukum internasional memang tidak secara rinci mengatur dalam berbagai konvensi internasional mengenai kepemilikan harta karun yang ditemukan di wilayah perairan internasional. Konvensi internasional seperti UNCLOS dan Konvensi UNESCO tahun 2001 tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air lebih mengedepankan isu perlindungan harta karun, tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai isu kepemilikan. Namun dalam perkembangannya, dengan adanya bentuk/model perjanjian kerjasama di bidang penyelamatan harta karun, seperti Sussex Agreement tahun 2002, seluruh kekurangan dari kerangka hukum yang berlaku saat ini dapat terselesaikan, dapat menampung seluruh kepentingan pihak – pihak terkait dengan cara yang lebih praktis, serta dapat menghindari proses litigasi yang rumit dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.
Kata kunci: Harta Karun, Perairan Internasional, Kepemilikan *) Dosen Pembimbing I
**) Dosen Pembimbing II
PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG DITEMUKAN DI WILAYAH
PERAIRAN INTERNASIONAL
*) Prof. Dr Suhaidi, S.H., M.H **) Arif, S.H., M.Hum
***) Elisa Aprilia
ABSTRAKSI
Perkembangan teknologi khususnya di bidang eksplorasi laut dalam telah memicu timbulnya upaya manusia untuk mencari dan menyelamatkan kapal – kapal yang sudah karam serta muatannya dari dasar laut internasional. Hal ini dikarenakan penemuan tersebut mengandung nilai historis, arkeologis, sekaligus nilai komersil. Seiring dengan perkembangan ini, nilai komersil dari penemuan itu lebih banyak memberi insentif bagi penyelamat harta karun, khususnya perusahaan eksplorasi komersil, untuk lebih berusaha melakukan upaya pencarian dan penyelamatan harta karun. Kehadiran insentif inilah yang pada akhirnya menimbulkan kompetisi diantara berbagai pihak untuk dapat mengajukan klaim kepemilikan atas bangkai kapal maupun muatan yang ditemukannya. Karena peningkatan jumlah penemuan bangkai kapal di perairan internasional, maka hal ini mulai menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai status kepemilikan atas penemuan tersebut karena banyaknya kepentingan dari berbagai pihak didalamnya, keberagaman instrumen hukum internasional, serta wilayah penemuan yang berada diluar yurisdiksi negara.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana tinjauan umum harta karun, alasan penyelamatan dan kepentingan yang ada dalam harta karun berdasarkan hukum internasional, serta bagaimana status kepemilikan harta karun yang ditemukan di wilayah perairan internasional.
Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan – bahan dari buku, jurnal, internet, instrumen hukum internasional dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilimiah ini.
Hukum internasional memang tidak secara rinci mengatur dalam berbagai konvensi internasional mengenai kepemilikan harta karun yang ditemukan di wilayah perairan internasional. Konvensi internasional seperti UNCLOS dan Konvensi UNESCO tahun 2001 tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air lebih mengedepankan isu perlindungan harta karun, tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai isu kepemilikan. Namun dalam perkembangannya, dengan adanya bentuk/model perjanjian kerjasama di bidang penyelamatan harta karun, seperti Sussex Agreement tahun 2002, seluruh kekurangan dari kerangka hukum yang berlaku saat ini dapat terselesaikan, dapat menampung seluruh kepentingan pihak – pihak terkait dengan cara yang lebih praktis, serta dapat menghindari proses litigasi yang rumit dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.
Kata kunci: Harta Karun, Perairan Internasional, Kepemilikan *) Dosen Pembimbing I
**) Dosen Pembimbing II
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum internasional mengatur bahwa yurisdiksi atau kedaulatan suatu
negara hanya berlaku sampai kepada batas – batas teritorial negaranya sehingga
tidak dapat mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayah kedaulatannya.1
Perkembanagan teknologi di bidang eksplorasi di dasar laut menyebabkan
timbulnya usaha dari berbagai pihak untuk mencari dan menemukan bangkai –
bangkai kapal yang telah karam di dasar laut selama beberapa waktu.
Namun,
perkembangan teknologi, khususnya di bidang eksplorasi laut dalam, tidak dapat
membendung peningkatan aktivitas di luar wilayah teritotial negara. Aktivitas
inilah yang kemudian menimbulkan isu ketidakpastian penerapan pengaturan
mengenai kepemilikan atas penemuan bangkai kapal di perairan internasional.
2
Kapal – kapal yang telah karam di dasar laut ini merupakan situs penemuan
yang sangat berharga pada saat ini,3 karena itu tidak bisa dibandingkan dengan
situs – situs penemuan lainnya. Selain itu kapal - kapal tersebut memiliki berbagai
macam muatan yang bernilai budaya, historis, serta arkeologis.4
Bangkai - bangkai kapal yang ada di dasar laut bukannya tidak mengalami
berbagai macam bahaya, baik yang sedang terjadi ataupun yang akan terjadi.
5
1
United Nations Convention on the Law of the Sea (1982), 1833 U.N.T.S. 3 [UNCLOS], pasal 86
2
Amber Crossman Cheng,
3
David J. Bederman, Historic Salvage and the Law of the Sea, 30 U. Miami Inter-Am. L.
Rev. 99 (1998), hal. 102
4
David Gibbins and Jonathan Adams, Shipwrecks and Maritime Archaeology, (United
Kingdom: Taylor & Francis, Ltd., 2001), hal. 280
5
Bahaya yang mengancam keberadaan bangkai – bangkai kapal ini merupakan hal
sangat serius dan merupakan kewajiban seluruh masyarakat internasional untuk
mencegah terjadinya kerusakan maupun kehancuran dari bangkai – bangkai kapal
tersebut.
Bahaya yang terjadi di laut bisa terjadi karena peristiwa alam dan akibat
perbuatan manusia. Gunung berapi dan gempa bumi bawah laut merupakan
peristiwa alam yang berpotensi menimbulkan bahaya bagi bangkai – bangkai yang
ada di dasar laut. Sementara perbuatan manusia yang berpotensi mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran bangkai – bangkai kapal tersebut misalnya
pembuangan limbah serta aktivitas pencarian ikan yang menggunakan bahan –
bahan peledak.6
Akibat kerentanan bangkai – bangkai kapal ini akan bahaya yang terjadi di
laut, maka muncullah usaha dari berbagai pihak untuk menyelamatkan bangkai
kapal beserta muatannya dari dasar laut. Upaya penyelamatan ini selain
membutuhkan teknologi yang sangat canggih juga membutuhkan modal yang
sangat besar pula. Keadaan ini memicu para penyelamat (salvors) untuk kemudian
memperjualbelikan hasil penemuannya dengan maksud untuk membayar semua
usaha yang telah mereka lakukan.7
Kebanyakan salvors berasal dari perusahaan – perusahaan komersil yang
bergerak khusus dibidang eksplorasi laut dalam maupun kapal karam. Karena
salvors merupakan perusahaan, tentunya mereka harus memperoleh keuntungan
6
Sean A. Kingsley, Deep-Sea Fishing Impacts on the Shipwrecks of the English Channel &
Western Approaches, Odyssey Marine Exploration (2009), dapat diakses pada
http://shipwreck.net/pdf/OmePapers4Final_000. pdf [diakses tanggal 31 Februari 2015]
7
Jean F Rydstrom, Annotation, Nature and Extent of Peril Necessary to Support Claim for
atas usaha yang telah mereka jalankan tanpa memperhatikan nilai dan standar
arkeologis dari penemuan tersebut.8
Di industri dengan modal besar seperti ini lazimnya investasi didasarkan
pada pengembalian modal. Dalam pasar ekonomi klasik, jika modal berinvestasi
di suatu perusahaan tidak menghasilkan lebih banyak uang daripada sektor lain
maka tidak ada insentif untuk berinvestasi di sektor tersebut.
9
Meskipun begitu, ada juga perusahaan yang berdalih bahwa mereka
merupakan perusahaan arkeologi – komersil, misalnya Odyssey Marine
Exploration Inc., dimana perusahaan semacam ini selain memandang penemuan
mereka sebagai barang – barang yang memiliki nilai komersil mereka juga
memperhatikan aspek arkeologi serta historisnya dengan cara
mendokumentasikan serta menyebarluaskannya kepada masyarakat melalui
akademik dan media lainnya untuk dipelajari lebih lanjut.
Karena adanya insentif keuntungan yang akan diperoleh dalam upaya
penyelamatan bangkai kapal beserta muatannya telah menyebabkan ledakan
teknologi dalam industri penyelamatan harta karun serta tanggung jawab untuk
mencari bangkai kapal lebih banyak dari sebelumnya.
10
Kebutuhan akan dana yang besar dan waktu yang sangat lama dalam
menemukan serta memulihkan bangkai kapal serta muatannya, membuat negara
serta para arkeolog tidak dapat memainkan peran signifikan dalam upaya
8
Jeremy Neil,
Sch. L. Rev. 895 (2010), hal. 904
9 Andreas Tsavliris, President of International Salvage Union Paper for International Tug
Salvage and OSV Convention, The Challenges Facing The Salvage Industry (2012), dapat diakses
pada
28 Februari 2015]
10
penyelamatan seperti yang dilakukan oleh salvors dari perusahaan komersil.11
Selama ini, pengaturan mengenai klaim kepemilikan bangkai kapal serta
muatannya menggunakan yurisdiksi dari pengadilan domestik pihak yang
menyelamatkan serta yang memulihkan penemuan tersebut.
Hal
ini dikarenakan negara tidak dapat berfokus pada satu bidang saja dalam waktu
yang cukup lama ditambah lagi dengan keharusan akan modal yang sangat besar,
apalagi usaha tersebut dilakukan di perairan internasional. Begitu juga dengan
arkeolog yang memiliki masalah dalam hal dukungan keuangan.
Selain itu isu mengenai kepemilikan atas penemuan bangkai kapal serta
muatannya di perairan internasional merupakan hal yang krusial dalam hukum
internasional. Beberapa konvensi internasional memang mengatur masalah
perlindungan terhadap bangkai kapal serta muatannya yang berada di perairan
internasional, diantaranya Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United
Nations Convention on the Law of the Sea)/UNCLOS, dan Konvensi UNESCO
tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air 2001 (UNESCO Convention on
the Protection of Underwater Cultural Heritage)/UCH Convention. Namun
konvensi – konvensi ini tidak menyatakan secara rinci dan jelas mengenai status
hak kepemilikan atas penemuan tersebut.
12
11
Elizabeth S. Greene, et al., Mare Nostrum? Ethics and Archaeology in Mediterranean
Water, 115 Am. J. Of Archaelogy 311 (2011), hal. 314
12
Brooke Wright. Keepers, Weepers, or No Finders at All: The Effect of International
Trends on the Exercise of U.S. Jurisdiction and Substantive Law in the Salvage ofHistoric Wrecks, 33 Tul. Mar. L.J. 285 (2008), hal. 302
Namun, seperti
yang diketahui bahwa yurisdiksi nasional suatu negara tidak termasuk ke dalam
wilayah perairan internasional. Sementara penemuan bangkai kapal sendiri terjadi
Bangkai kapal memiliki informasi sejarah yang sangat penting yang
merupakan suatu bukti adanya perdagangan dan pertukaran budaya. Sehingga
banyak negara maupun masyarakatnya menganggap bahwa banyak kapal – kapal
yang karam tersebut beserta muatannya merupakan bagian dari warisan budaya
mereka. Karena memiliki nilai, ketika kapal karam ditemukan, banyak
kepentingan yang timbul diantara pihak – pihak yang mengklaim kepemilikan
dengan berbagai alasan.13
Status kepemilikan dalam hal penemuan bangkai kapal serta muatannya di
perairan internasional memang merupakan hal penting sekaligus hal yang
mendesak dalam hukum internasional, mengingat perkembangan teknologi yang
secara signifikan telah menimbulkan peningkatan upaya penyelamatan harta karun
di khususnya di perairan internasional. Isu mengenai penemuan bangkai kapal ini
telah banyak menimbulkan klaim kepentingan antara salvors, pemilik asli (state of
orgin), pihak asuransi (insurers), negara, serta para arkeolog.
Kasus yang menggambarkan kompleksnya
permasalahan mengenai klaim kepemilikan atas penemuan kapal karam dan
muatannya adalah The Titanic dan The Black Swan. Kasus-kasus ini juga
menyoroti inkonsistensi, ketidakjelasan dari peraturan yang tidak memadai ketika
berhadapan dengan penemuan kapal yang karam perairan internasional.
14
Namun justru pengaturan internasional saat ini masih kabur dan belum
secara penuh menyelesaikan klaim yang muncul akibat ketidakjelasan hukum
internasional dalam mengatur kepemilikan atas penemuan bangkai kapal beserta
muatannya tersebut.
13
Elizabeth Varmer, RMS Titanic: underwater cultural heritage's sacrifice, Journal of
Business Law 271 (2012), hal. 276
14
Craig Forrest,
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas serta sesuai dengan judul skripsi ini,
penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas di dalam
penelitian ini, antara lain:
1. Bagaimana eksistensi harta karun dalam hukum internasional?
2. Bagaimana konsep kepemilikan terhadap harta karun yang ditemukan di
wilayah perairan internasional?
3. Bagaimana bentuk penyelesaian isu kepemilikan harta karun yang
ditemukan di perairan internasional?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penelitian serta penulisan skripsi ini antara lain:
1. Untuk mengetahui eksistensi harta karun dalam hukum internasional.
2. Untuk mengetahui konsep kepemilikan harta karun yang ditemukan di
perairan internasional.
3. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian isu kepemilikan harta karun yang
ditemukan di perairan internasional.
Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama
bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan secara umum dan ilmu hukum secara khusus. Selain itu, penelitian
hukum internasional maupun perangkat hukum nasional dalam kaitan dengan
status kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional.
2. Secara praktis
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman
yang lebih mendalam bagi pemegang otoritas di dunia serta aparat – aparat hukum
yang terkait di tiap-tiap negara mengenai isu status kepemilikan harta karun yang
ditemukan di perairan internasional.
D. Keaslian Penulisan
Karya tulis ini merupakan karya tulis asli, sebagai refleksi dan pemahaman
dari apa yang telah penulis pelajari selama mengikuti kompetisi The Philip C.
Jessup International Law Moot Court Competition 2013. Penulis berupaya untuk
menuangkan seluruh gagasan dengan sudut pandang yang netral dengan menguji
isu status kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional ini
dengan instrumen hukum internasional yang mengaturnya, khususnya pro kontra
yang ditinjau dari Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 dan Konvensi
UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air 2001.
Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Pengaturan Hukum
Internasional Mengenai Status Kepemilikan Atas Penemuan Harta Karun di
Wilayah Perairan Internasional” belum pernah ditulis sebelumnya.
Khusus untuk yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
administrasi bagian kemahasiswaan dan perpusatakaan Fakulatas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
E. Tinjauan Kepustakaan
Dalam pembahasan isu hukum internasional tidak terlepas dari sumber –
sumber hukum internasional yang termaktub dalam pasal 38 ayat (1) Statuta
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yaitu:15
15
Statute of the International Court of Justice (1945), pasal 38 ayat (1)
a. international conventions, whether general or particular, establishing rules
expressly recognized by the contesting states (Perjanjian – perjanjian
internasional);
b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law
(Hukum kebiasaan internasional);
c. the general principles of law recognized by civilized nations (Prinsip – prinsip
umum hukum internasional);
d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of
the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for
the determination of rules of law. (Putusan – putusan pengadilan internasional dan
ajaran-ajaran para sarjana terkemuka).
Pasal 149 Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982, menyatakan:
“Seluruh objek yang bersifat arkeologis dan historis yang ditemukan di Kawasan
Sejalan dengan konvensi sebelumnya, pasal 2 ayat (3) Konvensi UNESCO
tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air tahun 2001, juga mendukung
pernyataan bahwa:
“Negara – negara harus harus melestarikan warisan budaya bawah air bagi
kepentingan umat manusia sesuai dengan ketentuan konvensi ini.”16
Disamping pengaturan hukum berdasarkan konvensi internasional, terdapat
juga pengaturan dalam bentuk hukum bangsa – bangsa (law of nations) dalam
penentuan status kepemilikan harta karun, yaitu law of finds dan law of salvage.
Kedua peraturan ini termasuk dalam jus gentium yang termasuk sebagai hukum
kebiasaan internasional (international customary law) yang banyak digunakan
oleh pengadilan nasional dalam penentuan status kepemilikan penemuan harta
karun.
17
F. Metode Penelitian
Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang digunakan
sebagai berikut:
1. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis pendekatan dalam penelitian,
yaitu pendekatan yuridis sosiologis dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan
yuridis sosiologis merupakan pendekatan dengan mengambil data primer atau
16
UNESCO Convention on the Protection of Underwater Cultural Heritage 2001 [UCH Convention], pasal 2(3)
17
Paul V. Niemeyer, Applying Jus Gentium to the Salvage of the R.M.S. Titanic in
data yang diambil langsung dari lapangan, sedangkan pendekatan yuridis normatif
merupakan pendekatan dengan data sekunder atau data yang berasal dari
kepustakaan (dokumen). Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
karena yang hendak diteliti dan dianalisa melalui penelitian ini adalah status
kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional.
2. Data Penelitian
Sumber data dari penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library
research). Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap berbagai macam sumber
bahan hukum yang dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu:18
a. Bahan hukum primer (primary resource atau authoritative records), yaitu:
Berbagai dokumen peraturan internasional yang tertulis, sifatnya mengikat
dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain adalah
berbagai konvensi dan perjanjian internasional seperti UNCLOS, UCH
Convention, dan International Convention on Salvage serta berbagai putusan
internasional maupun nasional dan resolusi lainnya.
b. Bahan Hukum Sekunder (secondary resource atau not authoritative
records) yaitu:
Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan
hukum primer. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian
tentang isu perdebatan status hukum kepemilikan dan perlindungan terhadap
bangkai – bangkai kapal yang berada di dasar laut internasional yang ditinjau dari
sudut pandang hukum internasional seperti literatur, hasil-hasil penelitian,
makalah-makalah dalam seminar, dan lain-lain.
18
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet.Kedua, (Jakarta:
c. Bahan Hukum Tersier (tertiary resource), yaitu:
Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup kamus
bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia serta untuk menerjemahkan beberapa
literatur asing.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengna cara penelitian kepustakaan
(library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik
koleksi pribadi maupun dari perpustakaan serta jurnal-jurnal hukum.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai
berikut:
a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya
yang relevan dengan objek penelitian.
b. Melakukan penulusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak
maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan
perundang-undangan.
c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengaan permasalahan.
d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah
4. Analisis Data
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan
tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya, akan dianalisis dengan
menggunakan metode-metode sebagai berikut:19
a. Metode induktif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus
(sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan
(pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun
data-data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan dan diteliti
sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam satu kesimpulan akhir.
b. Metode deduktif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang
kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal
yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu
diragukan lagi dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang
bersifat lebih khusus.
c. Metode komparatif, yaitu dengan melakukan perbandingan (komparasi)
antara satu sumber bahan hukum dengan bahan hukum lainnya.
G. Sistematika Pembahasan
Dalam melakukan pembahasan skripsi ini, penulis membagi dalam 5 (lima)
bab yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Adapun sistematika penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
19
Bab I Bab I adalah Bab Pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang
pemilihan judul, dimana penulis melihat adanya ketidakjelasan
pengaturan hukum internasional dalam menentukan status
kepemilikan atas klaim yang diajukan terhadap bangkai kapal
beserta muatannya yang ditemukan di perairan internasional.
Selanjutnya, bab ini diikuti dengan perumusan masalah, tujuan
penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian dan yang terakhir yaitu sistematika pembahasan.
Bab II Di dalam bab ini, pengaturan harta karun berdasarkan hukum
internasional dibahas secara komprehensif dan mendalam. Bab ini
memaparkan tentang ruang lingkup, sejarah, serta konvensi yang
mengatur tentang harta karun untuk memberi gambaran umum
tentang eksistensi harta karun dalam hukum internasional
Bab III Bab III membahas konsep kepemilikan harta karun yang ditemukan
di perairan internasional. Pertama – tama, bab ini menjelaskan apa
yang dimaksud dengan perairan internasional. Kemudian bab ini
membahas mengenai konsep kepemilikan harta karun yang
berdasarkan jus gentium/law of nations dan dalam sub bab terakhir
membahas mengenai konsep kepemilikan berdasarkan konvensi –
konvensi internasional.
Bab IV Bab ini membahas penyelesaian isu kepemilikan harta karun yang
ditemukan di perairan internasional. Bab ini membahas tentang
latar belakang timbulnya isu kepemilikan. Kemudian
bersaing dalam hal kepemilikan harta karun. Kemudian pada sub
bab terakhir membahas bentuk/cara yang mungkin ditempuh para
pihak yang terkait untuk menyelesaikan klaim kepemilikan diantara
berbagai pihak.
Bab V Bab ini adalah bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan
saran-saran. Kesimpulan akan mencakup isi dari semua
pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Sedangkan saran
mencakup gagasan dan usulan dari penulis terhadap permasalahan
yang dibahas pada skripsi ini berdasarkan fakta-fakta yang telah
BAB II
EKSISTENSI HARTA KARUN DALAM HUKUM INTERNASIONAL
D. Ruang Lingkup Harta Karun
Definisi harta karun dalam hukum internasional saat ini telah dikodifikasi ke
dalam sebuah perjanjian internasional yaitu Konvensi UNESCO tentang
Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air tahun 2001. Konvensi ini
mendefinisikannya sebagai berikut:
Underwater cultural heritage means all traces of human existence having a cultural, historical or archaeological character which have been partially or totally under water, periodically or continuously, for at least 100 years such as: (i) sites, structures, buildings, artefacts and human remains, together with their archaeological and natural context; (ii) vessels, aircraft, other vehicles or any part thereof, their cargo or other contents, together with their archaeological and
natural context; and (iii) objects of prehistoric character.20
Rancangan pertama konvensi ini pada awalnya mendefinisikan warisan
budaya bawah air sebagai seluruh jejak keberadaan manusia di bawah air. (Warisan Budaya Bawah Air merupakan seluruh jejak eksistensi manusia yang memiliki karakter budaya, historis, atau arkeologis yang sebagian atau seluruhnya berada di dalam air, secara berkala, terus – menerus, setidaknya selama seratus tahun, seperti: (i) situs, struktur, bangunan, artefak – artefak dan sisa – sisa manusia yang bersifat arkeologis dan alamiah; (ii) kapal, pesawat terbang, transportasi lain atau bagian daripadanya, muatannya atau isi lainnya yang bersifat arkeologis dan alamiah; (iii) barang – barang yang bersifat prasejarah.)
Ruang lingkup harta karun dalam karya tulis ini sendiri membahas secara
spesifik warisan budaya bawah air yaitu mencakup kapal beserta muatannya yang
memiliki karakter budaya, historis, atau arkeologis yang karam di dasar laut
perairan internasional.
Cultural Heritage Law Comm., International Law Association, Buenos Aires Draft
Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage (1994), hal. 432, 434
hukum dari Emory University, yang mempertanyakan, apakah ini berarti bahwa
potongan papan seluncur ataupun kaleng minuman soda yang dilemparkan ke laut
akan diperhitungkan dalam rancangan UNESCO ini.22
Tidak dapat dihindari bahwa bangkai kapal memiliki peranan penting yang
menjadi materi pembelajaran atas sisa – sisa aktivitas manusia di wilayah
perairan.
Hal ini menunjukkan adanya dilema dalam perancangan konvensi itu
sendiri, sehingga para perancang diharuskan untuk mengatasi pendefinisian
warisan budaya bawah air, termasuk hal-hal yang belum diantisipasi sebelumnya.
Para perancang konvensi akhirnya mempersempit definisi warisan budaya bawah
air, namun penyempitan definisi tersebut masih terlalu luas. Saat ini konvensi
menentukan warisan budaya bawah air sebagai semua jejak eksistensi manusia
yang memiliki karakter budaya, historis atau arkeologis yang sebagian atau
seluruhnya berada di bawah air, secara berkala atau terus-menerus, setidaknya
selama 100 tahun.
Definisi ini telah dipersempit dari rancangan konvensi sebelumnya dengan
menambahkan persyaratan bahwa warisan budaya bawah air harus memiliki
karakter budaya, historis, atau arkeologis. Namun, dalam upaya untuk
memperbaiki definisi sebelumnya, perancang memasukkan beberapa frasa baru
yang pada akhirnya tidak terdefinisi dan terlalu luas. Misalnya, apa yang memiliki
karakter budaya, historis, atau arkeologis?
23
22
David J. Bederman, op. cit., hal. 332
23
David Gibbins and Jonathan Adams, op. cit., hal. 279
monumen sejarah dan budaya lainnya, bangkai kapal memiliki potensi dalam
menawarkan kilas balik masa lalu yang tidak ada bandingannya.24
Kapal – kapal karam memiliki banyak karakteristik yang memiliki nilai
tambah. Pertama, artefak yang ditemukan di lingkungan berair secara umum
memiliki signifikansi lebih terpelihara dibanding artefak lainnya yang ditemukan
di lingkungan kering.
Menurut sejarah, wilayah perairan berperan sebagai sarana untuk
menghubungkan kelompok masyarakat. Penggunaan laut sebagai jalur
transportasi meningkatkan jumlah kapal yang hilang di laut. Para arkeolog
menyatakan bahwa lebih banyak kapal – kapal karam sebagai lokasi arkeologi
yang belum ditemukan daripada lokasi arkeologi lainnya yang memiliki arti yang
sebanding. Lagipula, kapal – kapal karam secara konsisten menyimpan berbagai
artefak yang lengkap yang memiliki kualitas yang tiada taranya, sehingga
membuatnya menjadi lokasi arkeologi yang paling kompleks yang pernah
diselidiki.
25
Kedua, kapal biasanya hilang akibat kecelakaan sehingga
dianggap sebagai time-capsule atau closedfind, yaitu dimana keadaan pada saat itu
seperti diawetkan dalam suatu tempat.26
Pada intinya, kapal – kapal karam bersejarah merupakan kilas balik masa
lalu yang tidak dapat dinilai, yang memberikan kekayaan pengetahuan sejarah Ketiga, barang – barang yang ditemukan
di dalam kapal merupakan barang keperluan sehari – hari yang memiliki
fungsinya masing – masing. Hal ini memberikan banyak keuntungan
dibandingkan dengan situs arkeologi lainnya.
24
Jonathan Adams, Ships and Boats as Archaeological Source Material, 32 World
begitu juga dengan kekayaan yang sebenarnya yaitu emas, perak dan komoditi
berharga lainnya.
E. Sejarah Penemuan Harta Karun di Dunia
Banyak orang yang mengidentikkan harta karun dengan sosok sekumpulan
bajak laut yang tengah mengarungi lautan dengan menggengam botol minuman,
burung beo di pundak, serta sebuah peta letak harta karun yang lambangkan
dengan simbol “X” sebagai tempat terkuburnya harta karun tersebut.27 Meskipun karakter tersebut merupakan fiktif belaka, namun keberadaan harta karun tersebut
masih tetap ada sampai saat ini dalam sekitar tiga juta kapal karam yang berada
didasar laut dan masih belum ditemukan. 28
Pada tahun 1488 penjelajah dari Portugis, Bartolomeus Dias, mengitari
Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika, membuat kemungkinan penjelajahan Perkembangan di bidang teknologi, eksplorasi laut dalam, dan teknik
penyelamatan yang mengarah kepada peningkatan pencarian dan penyelamatan
yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap kapal – kapal karam bersejarah
yang sebelumnya tidak pernah dapat diakses dan dianggap hilang selamanya di
laut.
Lautan memisahkan sekaligus menghubungkan peradaban selama ribuan
tahun dan telah menjadi media penjelajahan manusia. Sebagaimana peradaban
manusia berkembang semakin maju, manusia mulai mengeksplor lautan luas.
27
Cathryn Henn, The Trouble With Treasure Historic Shipwrecks Discovered In
International Waters, 19 U. Miami Int'l & Comp. L. Rev. 141 (2012), hal. 142
28
Ulrike Guérin & Katrin Köller, Of Shipwrecks, Lost Worlds and Grave Robbers, A
melalui jalur laut ke wilayah Timur Jauh.29
Dalam kegiatan ekspedisi, selama berabad – abad, ditambah dengan adanya
ledakan penduduk dan penggunaan laut sebagai jalur transportasi baik untuk
barang maupun orang, belum lagi adanya perang dan pertempuran di laut, banyak
kapal yang tenggelam di seluruh dunia. PBB memperkirakan bahwa ada lebih dari
tiga juta kapal karam di area dasar laut.
Kemudian pada tahun 1492,
perjalanan Colombus ke “dunia baru” dianggap sebagai momen munculnya
penjelajahan ke wilayah Barat. Kemudian pedagang dari Bristol, wilayah barat
daya Inggris, pertama kali menjelajahi Atlantik pada tahun 1480 dalam upaya
menemukan pulau yang disebut Brazil dan mereka terus-menerus mengirimkan
dua atau tiga kapal ke arah barat setiap tahunnya.
30
Dokos merupakan bangkai kapal tertua yang pernah ditemukan oleh para
arkeolog. Bangkai kapal tersebut merupakan kapal pada masa Proto Helladic
yaitu pada tahun 2700-2200 sebelum masehi.
Dengan perkembangan teknologi setiap
tahunnya para peneliti semakin mampu untuk memeriksa ke wilayah yang lebih
dalam dari wilayah dasar laut sehingga lebih banyak menemukan kapal – kapal
karam.
31
29
Professor Callum Roberts, The Unnatural History of the Sea 2nd ed.,(Washington D.C:
Island Press 2009), hal. 33
Sisa bangkai kapal tersebut berada
pada sekitar 15 – 30 meter dibawah laut dari lepas pantai selatan Yunani dekat
pulau Dokos. Pulau Dokos terletak di sekitar 60 mil bagian timur Sparta,
Peloponnese.
30
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, The Protection of the
Underwater Cultural Heritage, Wrecks dapat diakses pada http://www.unesco.org /new/en/culture /themes/underwater-cultural-heritage/the-underwater heritage/wrecks/, [diakses tanggal 03 Maret 2014]
31
Kapal tersebut sudah lama hilang, begitu juga dengan seluruh catatannya.
Sisa – sisa muatan kapal ini berupa ratusan vas tanah liat dan barang – barang
keramik lainnya yang merupakan bukti dari keberadaan kapal. Bangkai kapal
berumur 4000 tahun tersebut ditemuan oleh Peter Throckmorton pada tanggal 23
Agustus 1975.32 Situs bangkai kapal Dokos secara ekstensif digali pada tahun
1989 – 1992 oleh Hellenic Institute of Marine Archaeology/HIMA.33
Berdasarkan informasi dari HIMA, tembikar Cycladic merupakan mutan
kapal tersebut merupakan bukti yang berasal dari tahun 2200 sebelum masehi.
Barang – barang seperti vas yang terbuat dari tembikar merupakan barang
dagangan dari fasilitas manufaktur kuno Argolida. Muatan kapal tersebut
diketahui terdiri dari salah satu koleksi terbesar pada zamannya.
Kemudian
arkeolog, Dr. George Papathanasopoulos, Presiden HIMA, melaksanakan
penggalian pertama dalam skala besar di lokasi bangkai kapal.
Selama penggalian dari tahun 1989 sampai 1992, HIMA telah berhasil
memulihkan lebih dari 15.000 pecahan tembikar dan artefak. Mereka juga
menemukan banyak batu pada situs yang diperkirakan digunakan sebagai bagian
dari muatan kapal atau sebagai pemberat. Artefak – artefak ini kemudian diangkat
dari dasar laut dan dibawa ke Museum Spetses. Disana, mereka akan dipelajari
dan dimasukkan ke dalam konservasi.34
32
The Early Helladic Shipwreck, dapat diakses pada http://www.mhargolid.nl /data/webb1992.pdf
33
profit, didirikan tahun 1973, yang bertujuan untuk mempromosikan penelitian arkeologi maritim di wilayah Yunani dan membantu Menteri Kebudayaan Yunani dalam hal melestarikan, mempelajari dan memperkenalkan warisan maritim Yunani) [diakses tanggal 29 Februari 2015]
34
Pada periode awal zaman modern, upaya penyelamatan sendiri dilakukan
dengan melakukan penyelaman menggunakan diving bells.35 Pada 1658, Albrecht
von Treileben dikontrak oleh Raja Gustavus Adolphus dari Swedia untuk
menyelamatkan kapal perang Vasa, yang tenggelam di pelabuhan Stockholm pada
pelayaran perdananya pada tahun 1628. Antara tahun 1663-1665 penyelam dari
Von Treileben berhasil menyelamatkan sebagian besar meriam menggunakan
diving bells.36
Pada zaman modern, upaya penyelamatan adalah menggunakan diving
helmets yang ditemukan oleh Charles Deane, John Deane dan Augustus Siebe, di
tahun 1830-an. Diving helmets sendiri merupakan alat yang dipakai oleh
penyelam profesional dengan menggunakan peralatan/helm yang diisi dengan
udara untuk bernapas yang disediakan dari pusat penyelam dari permukaan,
pinggir pantai atau kapal pendukung penyelam, kadang menggunakan diving bell
secara tidak langsung.
Pada tahun 1687, Sir William Phipps menggunakan wadah terbalik
untuk memulihkan £ 200.000 nilai harta dari kapal Spanyol yang tenggelam di
lepas pantai San Domingo.
37
Royal George, kapal angkatan laut kerajaan Inggris memiliki 100 buah
senjata, tenggelam saat menjalani tugas rutinnya tahun 1782, dan Deane
bersaudara ditugaskan untuk melakukan penyelamatan atas bangkai kapal
tersebut. Menggunakan diving helmets barunya, mereka berhasil memulihkan
sekitar dua lusin meriam.
35
Diving bell merupakan ruang yang kaku digunakan untuk mengangkut penyelam untuk kedalaman di laut, dapat diakses pad Maret 2015]
36
Vasa Museet, dapat diakses pad
37
Gernhardt, ML
dalamLang, MA and Smith, NE (eds). Proceedings of Advanced
Karena kesuksesan ini, Kolonel dari teknisi kerajaan, Charles Pasley,
memulai operasi penyelamatan pertamanya pada tahun 1839. Rencananya adalah
untuk menghancurkan bangkai Royal George dengan bubuk mesiu dan kemudian
memulihkan properti dalam kapal sebanyak mungkin meggunakan penyelam.
Pasley kemudian memulihkan 12 senjata lagi pada tahun 1839, 11 senjata pada
tahun 1840 dan 6 sennjata pada tahun 1841. Pada tahun 1843 situs tersebut
dinyatakan bersih.38
Beberapa operasi penyelamatan penting dalam sejarah diantaranya39
1. Operasi penyelamatan kapal karam terbesar dalam catatan sejarah adalah
pengangkatan kapal armada Jerman yang tenggelam di Scapa Flow,
Scotlandia pada tahun 1919.
:
2. Kapal perang Swedia abad 17, Vasa, dipulihkan pada bulan April 1961 di
wilayah pelabuhan Stockholm yang tenggelam pada pelayaran pertamanya
tahun 1628.
3. Pemulihan dan konservasi lebih lanjut dari Mary Rose, kapal angkatan laut
Raja Henry VII yang tenggelam pada tahun 1545 di Solent, bagian utara
Isle of Wight. Penyelamatan Mary Rose pada tahun 1982 merupakan
operasi penyelamtan yang kompleks dan merupakan pencapaian utama di
bidang arkeologi laut.
4. Pada tahun 1968 Shipwrecks Inc., yang dikepalai by
berhak atas penyelamatan berlisensi dari South Caroline terhadap bangkai
kapal Perang Saudara, SS. Georgiana yang ditemukan pada tahun 1965,
38
Iron: An Illustrated Weekly Journal for Iron and Steel Manufacturers
(1843)
39
berdasarkan peraturan baru tentang barang – barang yang merupakan
warisan budaya bawah air. Usaha ini merupakan penyelamatan arkeologi
pertama yang terjadi di Amerika Serikat.40
5. Penemuan kapal
Spence beserta anak buahnya
berhasil memulihkan sekitar 1.000.000 artefak, yang nilainya berkisar
US$12.000.000. Artefak – artefak tersebut terbagi dalam tiga jenis, yaitu:
obat – obatan, senjata, dan barang dagangan.
diklaim sebagai penemuan harta karun terbesar karena kapal tersebut
membawa muatan yang diperkirakan bernilai
million). Kemudian penemuan ini menimbulkan klaim dari berbagai pihak,
mulai dari negara sampai kepada peruasahaan eksplorasi.
F. Pengaturan Harta Karun Dalam Hukum Internasional
1. Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS)
Salah satu sumber hukum internasional yang mengatur tentang kapal karam
beserta muatannya adalah UNCLOS. Konvensi ini sendiri tidak menyebutkan
kapal karam beserta muatannya secara langsung melainkan memasukkan sebagai
objek – objek yang memiliki historis dan arkeologis.
Pembentukan UNCLOS sendiri merupakan suatu peristiwa sejarah, dimana
konvensi ini merupakan perjanjian pertama dari jenisnya.41
40
E. Lee Spence, Underwater Archeology in South Carolina, The Conference on Historic
Site Archeology Papers 1970, (1971), Volume 5, Part 1
41
Louis B. Sohn & John E. Noyes, Cases and Materials on The Law of the Sea 2nd ed.,
(Leiden, Netherlands: Traansnational Publishers Inc., 2004), hal. 13
UNCLOS sudah diterima secara luas dalam hukum kebiasaan dan dirujuk sebagai
konstitusi laut yang komprehensif.42
“All objects of an archaeological and historical nature found in the Area shall be
preserved or disposed of for the benefit of mankind as a whole, particular regard
being paid to the preferential rights of the State or country of origin, or the State
of cultural origin, or the State of historical and archaeological origin” yang
artinya “seluruh objek yang bersifat arkeologis dan historis yang ditemukan di
Kawasan harus dilestarikan ataupun dilepaskan untuk kepentingan seluruh umat
manusia, khususnya terhadap hak – hak istimewa negara atau negara asal (country
of origin), atau negara asal budaya, atau negara asal historis dan arkeologis.”
Meskipun UNCLOS mengatur seluruh aspek hukum laut, namun pengaturan
tentang kapal karam dalam dua pasal ini sedikit kabur yakni pasal 149 dan 303.
Ketentuan dari kedua pasal tersebut memiliki makna ambigu, yang tidak
memberikan panduan umum yang jelas.
Pada dasarnya UNCLOS tidak mengatur dengan jelas terkait dengan
penemuan harta karun di wilayah perairan internasional. Pasal 149 menyatakan:
43
42 Ibid 43
UNCLOS, op. cit., pasal 149
Hal ini menimbulkan persoalan terhadap apa yang merupakan kepentingan
umat manusia dan apa yang dimaksud dengan objek yang memiliki nilai
arkeologis dan nilai historis tersebut. Namun kedua hal itu tidak diatur dalam
konvensi. Sehingga pengaturannya tergantung kepada interpretasi masing –
masing negara, dimana interpretasi tersebut tentu saja diwarnai dengan latar
Ketidakjelasan dari pasal 149 juga bersumber dari hak istimewa atas objek –
objek historis dan arkeologis yang diberikan kepada negara tertentu. Batasan hak
istimewa tersebut tidak diuraikan dengan jelas dan tidak ada aturan ketika lebih
dari satu negara yang memiliki hak istimewa tersebut.
Sementara pasal 303 UNCLOS lebih mengatur secara umum mengenai
objek – objek arkeologis maupun historis yang ditemukan di laut. Pasal ini
menyatakan “States have the duty to protect objects of an archaeological and
historical nature found at sea and shall cooperate for this purpose”, yang artinya
“negara – negara memiliki kewajiban untuk melindungi objek – objek arkeologis
dan historis yang ditemukan di laut”.44
2. Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air 2001 (UNESCO Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage/UCH Convention)
Pada dasarnya, UNCLOS 1982 ini sendiri mengatur masalah perlindungan
warisan budaya bawah air dalam komunitas internasional secara umum, sehingga
dibutuhkan instrumen hukum internasional yang baru untuk secara khusus
merumuskan perlindungan secara spesifik terhadap bangkai kapal beserta
muatannya.
Tanggal 02 November 2001, ditandai sebagai peristiwa yang sangat penting
bagi seluruh komunitas yang peduli terhadap perlindungan budaya dan arkeologi
bawah air, dimana konferensi umum UNESCO mengesahkan Convention on the
Protection of Underwater Cultural Heritage dengan proses yang sulit dan
kompleks. Negosiasi resmi yang berlangsung dalam UNESCO sendiri yaitu
44
selama 4 tahun akhirnya selesai.
Sebagai badan khusus bagian budaya dalam sistem PBB, UNESCO
merundingkan kerangka khusus tentang dimensi budaya dari warisan budaya
bawah air dalam bentuk yang berbeda dari kerangka umum dalam UNCLOS.
Dalam struktur hukum laut yang sangat luas dan bersesuaian dengan
keseimbangan kepentingan yang terdapat dalam UNCLOS, konvensi ini muncul
sebagai instrumen umum baru, yaitu sebagai lex specialis dari warisan budaya
bawah air dan perlindungannya, dimana UNCLOS sebagai lex generalis dari
seluruh hukum laut.
Tujuan awal UNESCO dalam perlindungan warisan budaya bawah air lebih
bersifat ke substansi dan lebih ekstensif dari hukum internasional sebelumnya.
Peningkatan jumlah kegiatan pengrusakan dan penjarahan warisan budaya bawah
air menyiratkan kelemahan dari UNCLOS sendiri sehingga menimbulkan
ketidakpuasan dan menciptakan suatu rezim hukum baru yaitu UCH
Convention.
Pencapaian terbesar konvensi UNESCO ini adalah bahwa konvensi ini
merupakan instrumen universal pertama dengan standar perlindungan terhadap
warisan budaya bawah air yang ditawarkan kepada komunitas internasional.
Namun, konvensi ini memiliki sejumlah perbedaan dengan doktrin hukum
intenasional lainnya dimana keefektifannya masih dipertanyakan.45
Satu hal yang menarik dari UCH Convention ini adalah larangan eksploitasi
komersial terhadap warisan budaya bawah air. Salah satu tujuan dan prinisp
umum konvensi ini adalah “Underwater cultural heritage shall not be
45
commercially exploited” yang artinya “bahwa warisan budaya bawah air tidak
boleh dieksploitasi secara komersial.”46 Selanjutnya, pada bagian tambahan
konvensi menggambarkan aturan yang harus diikuti, menyatakan bahwa
eksploitasi komersial warisan budaya bawah air untuk diperdagangkan adalah
tidak sesuai dengan perlindungan dan pengelolaan warisan budaya bawah air.
Warisan budaya bawah air seharusnya tidak boleh diperdagangkan, dijual, dibeli
atau ditukar dengan barang-barang komersil.47
Dalam kompromi, konvensi ini memungkinkan penyimpanan warisan
budaya bawah air yang dipulihkan selama proses penelitian.
48
Konvensi ini mengharuskan negara pihak bekerja sama dalam perlindungan
warisan budaya bawah air,
Namun,
penyimpanan ini tidak mencakup penjualan setiap barang yang termasuk warisan
budaya bawah air. Oleh sebab itu, akibat larangan eksploitasi komersial ini
merupakan upaya untuk menghilangkan motif komersil pada perusahaan -
perusahaan komersil dalam upaya penyelamatan bangkai kapal. Sehingga, jika
konvensi ini menjadi hukum kebiasaan internasional, konsekuensi dari larangan
eksploitasi komersial akan menjadi upaya pemusnahan industri penyelamatan
bangkai kapal.
melestarikan warisan budaya bawah air untuk
kepentingan kemanusiaan, dan mengambil langkah yang diperlukan untuk
melindungi warisan budaya bawah air berdasarkan konvensi dan hukum
Namun, tanpa industri penyelamatan yang kompetitif, lebih sedikit dana
yang akan diberikan ke dalam penelitian dan pengembangan teknologi baru
sehingga membutuhkan jumlah waktu yang lama untuk menemukan bangkai
kapal, jika mereka ingin menemukannya. Selain itu, dengan menghilangkan
insentif keuntungan bagi perusahaan eksplorasi kapal karam komersil maka akan
membatasi jumlah bangkai kapal yang dapat ditemukan, banyak bangkai kapal
dalam bahaya kerusakan dan kehancuran yang tidak akan menerima perlindungan
sama sekali.
Para perancang konvensi tampaknya berasumsi bahwa karena tidak semua
bangkai kapal dianggap berada dalam bahaya laut (marine peril), semua bangkai
kapal benar-benar aman dalam kondisi mereka saat ini. Nyatanya, prinsip ini tidak
dapat didukung. Gangguan manusia dalam bentuk pembuangan limbah dan
kegiatan mencari ikan di lokasi yang memiliki lalu lintas tinggi seperti Selat
Inggris menempatkan bangkai kapal dalam bahaya serius.50
Para pendukung konvensi kemungkinan akan menunjukkan bahwa konvensi
ini membuka kemungkinan bagi upaya penyelamatan bangkai kapal jika mereka
benar-benar dalam bahaya. Pasal 12 konvensi ini mengizinkan semua Negara
Pihak untuk melakukan upaya praktis untuk mencegah bahaya terhadap warisan
budaya bawah air, baik yang timbul dari aktivitas manusia maupun penyebab
lainnya.
Sama halnya, dasar
laut merupakan sasaran dari banyak bencana alam yang terjadi , seperti gunung
berapi dan gempa bumi bawah laut.
51
50
Sean A. Kingsley, loc. cit
51
UCH Convention, op. cit., pasal 12(3)
Terdapat dua asumsi terhadap pasal ini. Pertama, kerumitan dalam
negara.52
3. International Convention on Salvage 1989
Tidaklah realistis bagi pemerintah untuk dapat bersama-sama
menyelamatkan kapal terancam rusak atau hancur dengan cepat. Upaya
penyelamatan bangkai kapal merupakan upaya yang memakan banyak waktu dan
birokrasi yang diciptakan dalam konvensi mencegah pihak – pihak untuk
bertindak cepat. Kedua, kenyataan bahwa bangkai kapal yang ditemukan dalam
bahaya semakin menurun karena karena penurunan jumlah industri penyelamatan
komersil.
Sederhananya, dengan lebih sedikit orang yang mencari kapal karam
bersejarah, ada kemungkinan bahwa lebih sedikit bangkai kapal yang akan
ditemukan. Pada akhirnya akan lebih banyak kemungkinan bangkai kapal yang
dalam bahaya akan menjadi rusak atau hancur tanpa sepengetahuan siapa pun,
daripada masyarakat internasional bersama-sama menyelamatkan bagkai kapal
dari kehancuran berdasarkan konvensi ini.
Jawaban dalam masalah perlindungan kapal karam bersejarah adalah tidak
boleh membatasi jumlah entitas dalam mencari bangkai kapal, tetapi untuk
memberikan perlindungan yang lebih memadai sekaligus memaksimalkan
kesempatan akan penemuan bangkai kapal.
Pada tahun 1989, International Maritime Organization, sebuah badan
khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) ditugaskan menciptakan
pengaturan mengenai pengaturan tentang kapal, dan kemudian mereka sampai
kepada kesimpulan, yaitu International Convention on Salvage tahun 1989.53
52
Ibid., pasal 12(4)
53
Nicholas J.J. Gaskell, The International Salvage Convention of 1989, 4 Int'l J. Estuarine
& Coastal L. (1989), hal 268; Brian F. Binney,
Konvensi ini menggantikan Brussels Convention on Salvage tahun 1910,
yang sama sekali tidak mengatur ketentuan mengenai kapal karam bersejarah.
Konvensi ini mempunyai pengaturan yang berbeda terhadap harta karun,
dimana konvensi ini berfokus pada upaya penyelamatan terhadap bangkai kapal
beserta muatannya dalam ruang lingkup yang lebih spesifik dibanding konvensi –
konvensi lain. Jadi konvensi ini berbeda dengan konvensi yang sudah dijelaskan
sebelumnya yang hanya mengatur tentang perlindungan terhadap kapal karam
beserta muatannya bagi kepentingan umat manusia tanpa mengatur secara jelas
tentang upaya penyelamatan. Upaya penyelamatan dimaksudkan sebagai tindakan
atau kegiatan untuk membantu kapal berserta muatannya yang sedang dalam
bahaya.54
Ketentuan dalam konvensi ini mengatur mengenai imbalan bagi salvor yang
berhasil melakukan pemulihan atas bangkai kapal beserta muatannya
55
, kriteria
pemberian imbalan,56 serta pemberian imbalan khusus.57
Konvensi ini juga mengatur mengenai pemberian imbalan khusus, yaitu jika
salvor melakukan upaya untuk mencegah terjadinya polusi di lingkungan laut
namun tidak berhasil melakukan upaya penyelamatan, konvensi ini memberikan
sedikit imbalan bagi salvor tersebut, meskipun hanya memiliki sedikit
keberhasilan pemulihan bangkai kapal beserta muatannya.
Konvensi ini memiliki istilah no cure, no pay, yang berarti salvor hanya
akan diberi penghargaan/imbalan atas jasanya menemukan bangkai kapal, dengan
kata lain jika upaya pemulihan berhasil dilakukan.
54
International Convention on Salvage 1989, 1953 UNTS 193, S. Treaty Doc. No. 102-12, 102d Cong., 1st Sess. (1991), pasal 1(1)
BAB III
KONSEP KEPEMILIKAN HARTA KARUN DI WILAYAH PERAIRAN INTERNASIONAL
D. Pengertian Perairan Internasional
Lokasi dan status dari bangkai kapal adalah hal penting dalam menentukan
siapa yang memiliki hak untuk menemukan kapal. Misalnya, sebuah bangkai
kapal ditemukan di wilayah suatu negara akan tunduk kepada hukum domestik
negara tersebut.58 Beberapa negara seperti Inggris, Australia, Perancis, Italia,
Spanyol, Belanda, Denmark, dan Norwegia telah mengeluarkan peraturan yang
mengatur tentang kapal karam bersejarah yang diabaikan atau arkeologi berharga
yang ditemukan di dalam yurisdiksi mereka.59 Amerika Serikat sendiri
mengaturnya melalui Abandoned Shipwreck Act tahun 1987 (ASA). ASA
mengatur kapal karam yang diabaikan dalam konteks yang lebih luas dari
program pelestarian sejarah nasional Amerika Serikat.60 Namun bagian dari
peraturan tersebut mencerminkan kekhawatiran domestik dalam menjaga kapal
karam, kapal karam yang ditemukan di perairan internasional menjadi tidak
terlindungi.61
Namun isu mengenai bangkai kapal yang ditemukan di perairan
internasional tidaklah jelas pengaturannya, terkadang ada berbagai klaim
58
Louis B. Sohn & John E. Noyes, op. cit., hal. 645
59
Alexander Korthals Altes, Submarine Antiquities: A Legal Labyrinth, 4 Syracuse J. Intl’l.
& Com. 77 (1976), hal. 84-93
60
61
See Bernard H. Oxman,
kepentingan antara salvors, pemilik asli, pihak asuransi, negara, dan pemerintah
negara.62
Perairan internasional merupakan perairan yang berada di luar yurisdiksi
nasional suatu negara.63 Dalam hukum internasional, perairan yang berada diluar
yurisdiksi negara disebut dengan laut lepas. Laut lepas sendiri merupakan wilayah
yang terbuka bagi seluruh negara64, sehingga tidak ada satu negarapun yang dapat
mengklaim wilayah laut lepas sebagai wilayah kedaulatannya.65
Bangkai kapal beserta muatannya sendiri tidak mengambang di atas laut,
khususnya di laut lepas, namun berada didasar laut atau disebut dengan kawasan
(area). Kawasan sendiri merupakan dasar laut atau samudera dan lapisan tanah
dibawahnya yang berada diluar batas yurisdiksi nasional suatu negara,
Berkaitan dengan
kegiatan/operasi pencarian harta karun di wilayah laut lepas, maka upaya tersebut
dapat dikatakan sah – sah saja dalam hukum internasional.
66
yaitu di
luar batas – batas zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang berada di
bawah yurisdiksi negara pantai. Sama seperti laut lepas, negara juga tidak dapat
mengklaim kedaulatan di wilayah kawasan ini.67
Kawasan dasar laut sendiri merupakan wilayah yang sumber – sumber
kekayaan alamnya diperuntukkan bagi kepentingan umat manusia dan tidak ada
satu negara pun yang dapat melakukan klaim atau melaksanakan kedaulatannya
atas bagian, wilayah, dan sumber – sumber alamnya, karena semua sumber daya
wilayah ini merupakan warisan bersama umat manusia (common heritage of
62
Craig Forrest, loc. cit
63
Ibid., pasal 89; Malcolm N. Shaw, International Law, 6th ed., (United Kingdom:
Cambridge University Press, 2008), hal. 492
66
UNCLOS, op. cit., pasal 1 (1); UCH Convention, op. cit., pasal 1 (5)
67
mankind).68 Di wilayah ini sendiri terdapat suatu badan administratif yang
bertugas mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan di wilayah kawasan, disebut
Otoritas Dasar Laut Internasional (The International Seabed Authority).69
E. Kepemilikan Berdasarkan Hukum Bangsa – Bangsa (Law of Nations)/Jus Gentium
Karena tidak satupun negara yang dapat mengklaim bahwa wilayah
kawasan merupakan wilayah kedaulatannya, maka negara juga tidak dapat
melaksanakan yurisdiksinya atas wilayah tersebut. Untuk itu pada bagian
selanjutnya dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana hukum internasional
yang ada saat ini dalam mengatur isu jika individu, perusahaan, atau
badan/organisasi menemukan benda/objek di wilayah kawasan dan hendak
mengklaim kepemilikan atas objek tersebut, dalam hal ini bangkai kapal berserta
muatannya.
Kepemilikan merupakan suatu kepentingan yang diakui oleh sistem hukum
dewasa ini,70
Menurut tradisi, negara – negara dengan sistem hukum common law
cenderung lebih memperhatikan hak – hak privat pemilik dan kurang
memperhatikan upaya perlindungan atas penemuan harta karun. Memang, sistem
hukum civil law sering memberikan kekayaan yang merupakan bagian dari suatu dan suatu kepemilikan adalah sah, dalam pengertian dapat
ditegakkan berdasarkan hukum.
68
Ibid., pasal 137 (2)
69 Ibid 70
A.M. Honoré, Ownership, dalam Anthony Gordon Guest, Oxford Essays in