• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Status Kepemilikan Atas Penemuan Harta Karun Di Wilayah Perairan Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Status Kepemilikan Atas Penemuan Harta Karun Di Wilayah Perairan Internasional"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum internasional mengatur bahwa yurisdiksi atau kedaulatan suatu negara hanya berlaku sampai kepada batas – batas teritorial negaranya sehingga tidak dapat mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayah kedaulatannya.1

Perkembanagan teknologi di bidang eksplorasi di dasar laut menyebabkan timbulnya usaha dari berbagai pihak untuk mencari dan menemukan bangkai – bangkai kapal yang telah karam di dasar laut selama beberapa waktu.

Namun, perkembangan teknologi, khususnya di bidang eksplorasi laut dalam, tidak dapat membendung peningkatan aktivitas di luar wilayah teritotial negara. Aktivitas inilah yang kemudian menimbulkan isu ketidakpastian penerapan pengaturan mengenai kepemilikan atas penemuan bangkai kapal di perairan internasional.

2

Kapal – kapal yang telah karam di dasar laut ini merupakan situs penemuan yang sangat berharga pada saat ini,3 karena itu tidak bisa dibandingkan dengan situs – situs penemuan lainnya. Selain itu kapal - kapal tersebut memiliki berbagai macam muatan yang bernilai budaya, historis, serta arkeologis.4

Bangkai - bangkai kapal yang ada di dasar laut bukannya tidak mengalami berbagai macam bahaya, baik yang sedang terjadi ataupun yang akan terjadi.

5

1United Nations Convention on the Law of the Sea

(1982), 1833 U.N.T.S. 3 [UNCLOS], pasal 86

2

Amber Crossman Cheng,

3

David J. Bederman, Historic Salvage and the Law of the Sea, 30 U. Miami Inter-Am. L. Rev. 99 (1998), hal. 102

4

David Gibbins and Jonathan Adams, Shipwrecks and Maritime Archaeology, (United Kingdom: Taylor & Francis, Ltd., 2001), hal. 280

5

(2)

Bahaya yang mengancam keberadaan bangkai – bangkai kapal ini merupakan hal sangat serius dan merupakan kewajiban seluruh masyarakat internasional untuk mencegah terjadinya kerusakan maupun kehancuran dari bangkai – bangkai kapal tersebut.

Bahaya yang terjadi di laut bisa terjadi karena peristiwa alam dan akibat perbuatan manusia. Gunung berapi dan gempa bumi bawah laut merupakan peristiwa alam yang berpotensi menimbulkan bahaya bagi bangkai – bangkai yang ada di dasar laut. Sementara perbuatan manusia yang berpotensi mengakibatkan kerusakan atau kehancuran bangkai – bangkai kapal tersebut misalnya pembuangan limbah serta aktivitas pencarian ikan yang menggunakan bahan – bahan peledak.6

Akibat kerentanan bangkai – bangkai kapal ini akan bahaya yang terjadi di laut, maka muncullah usaha dari berbagai pihak untuk menyelamatkan bangkai kapal beserta muatannya dari dasar laut. Upaya penyelamatan ini selain membutuhkan teknologi yang sangat canggih juga membutuhkan modal yang sangat besar pula. Keadaan ini memicu para penyelamat (salvors) untuk kemudian memperjualbelikan hasil penemuannya dengan maksud untuk membayar semua usaha yang telah mereka lakukan.7

Kebanyakan salvors berasal dari perusahaan – perusahaan komersil yang bergerak khusus dibidang eksplorasi laut dalam maupun kapal karam. Karena

salvors merupakan perusahaan, tentunya mereka harus memperoleh keuntungan

6

Sean A. Kingsley, Deep-Sea Fishing Impacts on the Shipwrecks of the English Channel &

Western Approaches, Odyssey Marine Exploration (2009), dapat diakses pada

http://shipwreck.net/pdf/OmePapers4Final_000. pdf [diakses tanggal 31 Februari 2015]

7

(3)

atas usaha yang telah mereka jalankan tanpa memperhatikan nilai dan standar arkeologis dari penemuan tersebut.8

Di industri dengan modal besar seperti ini lazimnya investasi didasarkan pada pengembalian modal. Dalam pasar ekonomi klasik, jika modal berinvestasi di suatu perusahaan tidak menghasilkan lebih banyak uang daripada sektor lain maka tidak ada insentif untuk berinvestasi di sektor tersebut.

9

Meskipun begitu, ada juga perusahaan yang berdalih bahwa mereka merupakan perusahaan arkeologi – komersil, misalnya Odyssey Marine

Exploration Inc., dimana perusahaan semacam ini selain memandang penemuan

mereka sebagai barang – barang yang memiliki nilai komersil mereka juga memperhatikan aspek arkeologi serta historisnya dengan cara mendokumentasikan serta menyebarluaskannya kepada masyarakat melalui akademik dan media lainnya untuk dipelajari lebih lanjut.

Karena adanya insentif keuntungan yang akan diperoleh dalam upaya penyelamatan bangkai kapal beserta muatannya telah menyebabkan ledakan teknologi dalam industri penyelamatan harta karun serta tanggung jawab untuk mencari bangkai kapal lebih banyak dari sebelumnya.

10

Kebutuhan akan dana yang besar dan waktu yang sangat lama dalam menemukan serta memulihkan bangkai kapal serta muatannya, membuat negara serta para arkeolog tidak dapat memainkan peran signifikan dalam upaya

Andreas Tsavliris, President of International Salvage Union Paper for International Tug Salvage and OSV Convention, The Challenges Facing The Salvage Industry (2012), dapat diakses

pada

28 Februari 2015]

10

(4)

penyelamatan seperti yang dilakukan oleh salvors dari perusahaan komersil.11

Selama ini, pengaturan mengenai klaim kepemilikan bangkai kapal serta muatannya menggunakan yurisdiksi dari pengadilan domestik pihak yang menyelamatkan serta yang memulihkan penemuan tersebut.

Hal ini dikarenakan negara tidak dapat berfokus pada satu bidang saja dalam waktu yang cukup lama ditambah lagi dengan keharusan akan modal yang sangat besar, apalagi usaha tersebut dilakukan di perairan internasional. Begitu juga dengan arkeolog yang memiliki masalah dalam hal dukungan keuangan.

Selain itu isu mengenai kepemilikan atas penemuan bangkai kapal serta muatannya di perairan internasional merupakan hal yang krusial dalam hukum internasional. Beberapa konvensi internasional memang mengatur masalah perlindungan terhadap bangkai kapal serta muatannya yang berada di perairan internasional, diantaranya Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United

Nations Convention on the Law of the Sea)/UNCLOS, dan Konvensi UNESCO

tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air 2001 (UNESCO Convention on

the Protection of Underwater Cultural Heritage)/UCH Convention. Namun

konvensi – konvensi ini tidak menyatakan secara rinci dan jelas mengenai status hak kepemilikan atas penemuan tersebut.

12

11

Elizabeth S. Greene, et al., Mare Nostrum? Ethics and Archaeology in Mediterranean Water, 115 Am. J. Of Archaelogy 311 (2011), hal. 314

12

Brooke Wright. Keepers, Weepers, or No Finders at All: The Effect of International Trends on the Exercise of U.S. Jurisdiction and Substantive Law in the Salvage ofHistoric Wrecks, 33 Tul. Mar. L.J. 285 (2008), hal. 302

(5)

Bangkai kapal memiliki informasi sejarah yang sangat penting yang merupakan suatu bukti adanya perdagangan dan pertukaran budaya. Sehingga banyak negara maupun masyarakatnya menganggap bahwa banyak kapal – kapal yang karam tersebut beserta muatannya merupakan bagian dari warisan budaya mereka. Karena memiliki nilai, ketika kapal karam ditemukan, banyak kepentingan yang timbul diantara pihak – pihak yang mengklaim kepemilikan dengan berbagai alasan.13

Status kepemilikan dalam hal penemuan bangkai kapal serta muatannya di perairan internasional memang merupakan hal penting sekaligus hal yang mendesak dalam hukum internasional, mengingat perkembangan teknologi yang secara signifikan telah menimbulkan peningkatan upaya penyelamatan harta karun di khususnya di perairan internasional. Isu mengenai penemuan bangkai kapal ini telah banyak menimbulkan klaim kepentingan antara salvors, pemilik asli (state of

orgin), pihak asuransi (insurers), negara, serta para arkeolog.

Kasus yang menggambarkan kompleksnya permasalahan mengenai klaim kepemilikan atas penemuan kapal karam dan muatannya adalah The Titanic dan The Black Swan. Kasus-kasus ini juga menyoroti inkonsistensi, ketidakjelasan dari peraturan yang tidak memadai ketika berhadapan dengan penemuan kapal yang karam perairan internasional.

14

Namun justru pengaturan internasional saat ini masih kabur dan belum secara penuh menyelesaikan klaim yang muncul akibat ketidakjelasan hukum internasional dalam mengatur kepemilikan atas penemuan bangkai kapal beserta muatannya tersebut.

13

Elizabeth Varmer, RMS Titanic: underwater cultural heritage's sacrifice, Journal of Business Law 271 (2012), hal. 276

14

Craig Forrest,

(6)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas serta sesuai dengan judul skripsi ini, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana eksistensi harta karun dalam hukum internasional?

2. Bagaimana konsep kepemilikan terhadap harta karun yang ditemukan di wilayah perairan internasional?

3. Bagaimana bentuk penyelesaian isu kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penelitian serta penulisan skripsi ini antara lain:

1. Untuk mengetahui eksistensi harta karun dalam hukum internasional. 2. Untuk mengetahui konsep kepemilikan harta karun yang ditemukan di

perairan internasional.

3. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian isu kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional.

Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

(7)

hukum internasional maupun perangkat hukum nasional dalam kaitan dengan status kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional.

2. Secara praktis

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi pemegang otoritas di dunia serta aparat – aparat hukum yang terkait di tiap-tiap negara mengenai isu status kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional.

D. Keaslian Penulisan

Karya tulis ini merupakan karya tulis asli, sebagai refleksi dan pemahaman dari apa yang telah penulis pelajari selama mengikuti kompetisi The Philip C.

Jessup International Law Moot Court Competition 2013. Penulis berupaya untuk

menuangkan seluruh gagasan dengan sudut pandang yang netral dengan menguji isu status kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional ini dengan instrumen hukum internasional yang mengaturnya, khususnya pro kontra yang ditinjau dari Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 dan Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air 2001.

Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Status Kepemilikan Atas Penemuan Harta Karun di Wilayah Perairan Internasional” belum pernah ditulis sebelumnya.

(8)

administrasi bagian kemahasiswaan dan perpusatakaan Fakulatas Hukum Universitas Sumatera Utara.

E. Tinjauan Kepustakaan

Dalam pembahasan isu hukum internasional tidak terlepas dari sumber – sumber hukum internasional yang termaktub dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yaitu:15

15Statute of the International Court of Justice

(1945), pasal 38 ayat (1)

a. international conventions, whether general or particular, establishing rules

expressly recognized by the contesting states (Perjanjian – perjanjian

internasional);

b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law

(Hukum kebiasaan internasional);

c. the general principles of law recognized by civilized nations (Prinsip – prinsip

umum hukum internasional);

d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of

the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for

the determination of rules of law. (Putusan – putusan pengadilan internasional dan

ajaran-ajaran para sarjana terkemuka).

(9)

Sejalan dengan konvensi sebelumnya, pasal 2 ayat (3) Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air tahun 2001, juga mendukung pernyataan bahwa:

“Negara – negara harus harus melestarikan warisan budaya bawah air bagi kepentingan umat manusia sesuai dengan ketentuan konvensi ini.”16

Disamping pengaturan hukum berdasarkan konvensi internasional, terdapat juga pengaturan dalam bentuk hukum bangsa – bangsa (law of nations) dalam penentuan status kepemilikan harta karun, yaitu law of finds dan law of salvage. Kedua peraturan ini termasuk dalam jus gentium yang termasuk sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law) yang banyak digunakan oleh pengadilan nasional dalam penentuan status kepemilikan penemuan harta karun.

17

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang digunakan sebagai berikut:

1. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis pendekatan dalam penelitian, yaitu pendekatan yuridis sosiologis dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis sosiologis merupakan pendekatan dengan mengambil data primer atau

16UNESCO Convention on the Protection of Underwater Cultural Heritage

2001 [UCH Convention], pasal 2(3)

17

(10)

data yang diambil langsung dari lapangan, sedangkan pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan dengan data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen). Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif karena yang hendak diteliti dan dianalisa melalui penelitian ini adalah status kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional.

2. Data Penelitian

Sumber data dari penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library

research). Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap berbagai macam sumber

bahan hukum yang dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu:18

a. Bahan hukum primer (primary resource atau authoritative records), yaitu: Berbagai dokumen peraturan internasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain adalah berbagai konvensi dan perjanjian internasional seperti UNCLOS, UCH

Convention, dan International Convention on Salvage serta berbagai putusan

internasional maupun nasional dan resolusi lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder (secondary resource atau not authoritative

records) yaitu:

Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang isu perdebatan status hukum kepemilikan dan perlindungan terhadap bangkai – bangkai kapal yang berada di dasar laut internasional yang ditinjau dari sudut pandang hukum internasional seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam seminar, dan lain-lain.

18

(11)

c. Bahan Hukum Tersier (tertiary resource), yaitu:

Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup kamus bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia serta untuk menerjemahkan beberapa literatur asing.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengna cara penelitian kepustakaan

(library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan serta jurnal-jurnal hukum.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penulusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengaan permasalahan.

(12)

4. Analisis Data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya, akan dianalisis dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:19

a. Metode induktif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data-data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan dan diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam satu kesimpulan akhir.

b. Metode deduktif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu diragukan lagi dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.

c. Metode komparatif, yaitu dengan melakukan perbandingan (komparasi) antara satu sumber bahan hukum dengan bahan hukum lainnya.

G. Sistematika Pembahasan

Dalam melakukan pembahasan skripsi ini, penulis membagi dalam 5 (lima) bab yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

19

(13)

Bab I Bab I adalah Bab Pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang pemilihan judul, dimana penulis melihat adanya ketidakjelasan pengaturan hukum internasional dalam menentukan status kepemilikan atas klaim yang diajukan terhadap bangkai kapal beserta muatannya yang ditemukan di perairan internasional. Selanjutnya, bab ini diikuti dengan perumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan yang terakhir yaitu sistematika pembahasan.

Bab II Di dalam bab ini, pengaturan harta karun berdasarkan hukum internasional dibahas secara komprehensif dan mendalam. Bab ini memaparkan tentang ruang lingkup, sejarah, serta konvensi yang mengatur tentang harta karun untuk memberi gambaran umum tentang eksistensi harta karun dalam hukum internasional

Bab III Bab III membahas konsep kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional. Pertama – tama, bab ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan perairan internasional. Kemudian bab ini membahas mengenai konsep kepemilikan harta karun yang berdasarkan jus gentium/law of nations dan dalam sub bab terakhir membahas mengenai konsep kepemilikan berdasarkan konvensi – konvensi internasional.

(14)

bersaing dalam hal kepemilikan harta karun. Kemudian pada sub bab terakhir membahas bentuk/cara yang mungkin ditempuh para pihak yang terkait untuk menyelesaikan klaim kepemilikan diantara berbagai pihak.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam bidang perpustakaan sekolah, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Volksbibliotheek atau terjemahan dari perpustakaan rakyat, namun pengertiannya berbeda dengan

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Contoh 2 yang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, apabila dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun

Prosedur Kerja ini hanya melibatkan proses-proses yang berlaku di PPSP sahaja, bermula daripada menerima borang permohonan sehinggalah penghantaran perakuan Majlis PPSP

Oleh sebab itu, penulis tertarik ingin melakukan penelitian tindakan kelas sebagai upaya dalam meningkatkan prestasi belajar siswa melalui metode pembelajaran mind

Hasil uji statistik didapatkan nilai p, 0,001 lebih kecil dari 0,005 (0,001 <0,05) sehingga data disimpulkan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak yang artinya

DI AJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGI AN PERSYARATAN DALAM MEMPEROLEH GELAR SARJANA EKONOMI.. JURUSAN

Dengan menggunakan metode six sigma melalui pendekatan DMAIC akan mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas yang menjadi akar penyebab masalah dari proses

mempengaruhi lawan tuturnya. Berkaitan dengan penelitian ini di dalam Stand Up Comedy menyajikan tindak tutur tidak bersifat menginformasikan saja. Namun, ada sebuah