Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
DIANA PERTIWI 105044201449
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
DIANA PERTIWI 105044201449
Di Bawah Bimbingan Pembimbing
DRS. H. A. BASIQ DJALIL, SH., MA. NIP. 195003061976031001
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1431 H/2010 M
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Swt, yang telah memberikan kehidupan yang lebih baik menuju ke kehidupan yang lebih baik baik lagi, dan juga telah memberikan suatu anugerah yang tak terhingga, sehingga bisa melewati ujian-ujian yang telah diujikan. Shalawat serta salam saya haturkan pada junjungan Nabi besar, agung khotamul anbiya, Muhammad Saw, selaku khalifah dunia yang selalu memberikan pencerahan kepada umat-nya.
Tidak terasa sudah empat tahun lamanya, saya menempuh pendidikan di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Usaha-usaha didapatkan bukanlah murni dari diri saya pribadi, tetapi atas dukungan yang berharga, baik materiil dan immaterial, dari keluarga, dosen, rekan-rekan yang selalu mendukung, terutama dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat, banyak pelajaran yang berharga yang saya dapatkan dari kampus ini, mulai dari mengenal apa itu organisasi hingga ke tingkat birokrasi.
Alhamdulillah, akhirnya saya telah menyelesaikan skripsi yang berjudul Wali Pengampu pada Paman dari Pihak Ibu dalam Tinjauan Hukum Islam: Studi Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Dpk. Dengan harapan dapat bermanfaat pada hari-hari yang akan datang. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari keterlibatan serta bantuan dan kontribusi yang jelas kepada penulis. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
kesibukannya.
2. Drs. H. Basiq Djalil, S.H., M.H, Ketua Jurusan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus sebagai Pembimbing skripsi penulis. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas kesabaran dan keikhlasan Bapak dalam membimbing dan mengasuh kami. Amin.
3. Kamarusdiana, S.Ag., M.H, Sekretaris Jurusan SAS/Peradilan Agama.
4. Seluruh staf pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan selama penulis belajar.
5. Pimpinan Perpustakaan, baik Perpustakaan Utama UIN Jakarta maupun Perpustakaan Syariah dan Hukum, terima kasih atas pelanyanan buku, paper
dan lain-lainnya yang sangat menunjang penyelesaian skripsi ini.
6. Kedua orang tua penulis yang telah banting tulang, mendoakan, serta memberikan pengorbanan, baik secara materi dan immateri, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
7. Kakak-kakakku tercinta, yang tanpa henti mendukung dan mendorong penulis untuk menyelesaikan Skripsi.
8. Rekan-rekan kelas angkatan 2005 Jurusan Administrasi Keperdataan Islam, Ahwal al-Syakhsiyyah, terima kasih atas kebersamaan yang telah kita lalui bersama. Semoga Allah memberikan kita jalan yang selalu diridhai-Nya. Amin.
Akhirnya, kepada para pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, kupanjatkan do’a kepada Allah SWT, semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan pahala-Nya.
Ciputat, 1 Maret 2010 Penulis,
Diana Pertiwi
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...4
C. Tujuan dan Manfaat penelitian ...5
D. Studi Review Terdahulu...6
E. Metode Penelitian ...8
F. Sistematika Penulisan ...10
BAB II PERWALIAN/ PENGAMPUAN ANAK DALAM FIKIH A. Pengertian dan Cakupan Perwalian dalam Hukum Islam ... 12
B. Status dan Urutan Perwalian Anak Menurut Fikih...21
C. Perwalian Anak dalam Tata Hukum di Indonesia ...26
BAB III POSISI KASUS PENGAMPUAN ANAK DALAM PUTUSAN PERKARA NOMOR 16/Pdt.p/2007/PA DPK A. Kewenangan Pengadilan Agama dan Bentuk Putusan ...35
B. Profil Pengadilan Agama Depok ...43
C. Posisi Kasus atau Duduk Perkara ...48
D. Keputusan Hakim ...51
BAB IV ANALISA PUTUSAN A. Putusan Hakim dalam Tinjauan Tata Hukum di Indonesia ...64
B. Analisa Putusan Hakim Perspektif Hukum Islam ...72
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 85
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Swt, yang telah memberikan kehidupan yang lebih baik menuju ke kehidupan yang lebih baik baik lagi, dan juga telah memberikan suatu anugerah yang tak terhingga, sehingga bisa melewati ujian-ujian yang telah diujikan. Shalawat serta salam saya haturkan pada junjungan Nabi besar, agung khotamul anbiya, Muhammad Saw, selaku khalifah dunia yang selalu memberikan pencerahan kepada umat-nya.
Tidak terasa sudah empat tahun lamanya, saya menempuh pendidikan di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Usaha-usaha didapatkan bukanlah murni dari diri saya pribadi, tetapi atas dukungan yang berharga, baik materiil dan immaterial, dari keluarga, dosen, rekan-rekan yang selalu mendukung, terutama dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat, banyak pelajaran yang berharga yang saya dapatkan dari kampus ini, mulai dari mengenal apa itu organisasi hingga ke tingkat birokrasi.
Alhamdulillah, akhirnya saya telah menyelesaikan skripsi yang berjudul Wali Pengampu pada Paman dari Pihak Ibu dalam Tinjauan Hukum Islam: Studi Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Dpk. Dengan harapan dapat bermanfaat pada hari-hari yang akan dating. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari keterlibatan serta bantuan dan kontribusi yang jelas kepada penulis.
dan Hukum U I N Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh Pembantu Dekan yang telah memberilan ilmu pengetahuan serta waktu di saat kesibukannya. 2. Drs. H. Basiq Djalil, S.H., M.H, Ketua Jurusan sekaligus sebagai Pembimbing
skripsi penulis Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kamarusdiana, S.Ag., MH selaku Sekretaris Jurusan SAS/Peradilan Agama. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas kesabaran dan keikhlasan Bapak dalam membimbing dan mengasuh kami. Amin.
3. Dr.KH.Juaini Syukri, Lcs, M.Ag dan Dr.Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, M.A sebagai Penguji Sidang penulis saya ucapkan banyak terima kasih.
4. Seluruh staf pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan selama penulis belajar.
5. Pimpinan Perpustakaan, baik Perpustakaan Utama UIN Jakarta maupun Perpustakaan Syariah dan Hukum, terima kasih atas pelanyanan buku, paper
dan lain-lainnya yang sangat menunjang penyelesaian skripsi ini.
6. Kedua orang tua dan kerabat penulis, yang telah banting tulang, berdo’a, serta pengorbanan baik materi dan immateri sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 7. Kakakku tercinta dan kakak kelas, yang tanpa henti mendukung dan
mendorong penulis untuk menyelesaikan Skripsi. Rekan-rekan kelas angkatan 2005 Jurusan Administrasi Keperdataan Islam, Ahwal al-Syakhsiyyah, terima
iii
ini, semoga Allah SWT megngantinya dengan pahala yang setimpal.
Akhirnya, kepada para pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, kupanjatkan do’a kepada Allah Swt., semoga Dia senantiasa mencurahkan rahmat dan pahala-Nya.
Jakarta, Maulud 1431 H Maret
DAFTAR ISI ...iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...4
C. Tujuan dan Manfaat penelitian ...5
D. Studi Review atau Kajian Terdahulu ...6
E. Metode Penelitian ...8
F. Sistematika Penulisan ...10
BAB II PERWALIAN/ PENGAMPUAN ANAK DALAM FIKIH A. Pengertian dan Cakupan Perwalian dalam Hukum Islam ... 12
B. Status dan Urutan Perwalian Anak Menurut Fikih...21
C. Perwalian Anak dalam Tata Hukum di Indonesia ...26
BAB III POSISI KASUS PENGAMPUAN ANAK DALAM PUTUSAN PERKARA NOMOR 16/Pdt.p/2007/PA DPK A. Kewenangan Pengadilan Agama dan Bentuk Putusan ...35
B. Sejarah Profil Pengadilan Agama Depok ...43
C. Posisi Kasus atau Duduk Perkara ...48
D. Keputusan Hakim ...51
BAB IV ANALISA PUTUSAN A. Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Perkara...64
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu syarat adanya taklif dalam hukum Islam adalah adanya keahlian untuk dibebani (ahliyyah li al-taklif). Di antara syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang dianggap berhak untuk menerima pembebanan adalah adanya akal dan telah baligh. Tanpa keduanya, seseorang dianggap belum mampu dibebani. Dalam hal inilah seseorang yang gila tidak dihitung semua perbuatannya.
Perwalian merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau kedua orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum.1 Dapatnya seseorang untuk bertindak atas orang lain tersebut karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkannya untuk bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta ataupun atas dirinya sendiri.2 Perwalian seperti ini juga dikenal dengan istilah wali pengampu dalam sistem hukum di Indonesia.
Dalam hukum Islam, selain perwalian dalam pernikahan, terdapat tiga jenis perwalian dalam arti tersebut di atas, yaitu seseorang yang bertindak sebagai
11
Untuk masalah tersebut, lihat pula, Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), cet. V, h. 228.
1
2
seseorang yang lain, di antaranya adalah wali anak kecil, wali orang gila, dan wali orang yang safih. Pun juga, dari ketiga perwalian tersebut, para ulama fikih, kecuali hanya beberapa saja, sepakat bahwa wali bagi mereka adalah ayahnya, sedangkan ibunya tidak memiliki hak atas perwalian.3
Selain itu, para ulama fikih tersebut berbeda pendapat dalam penetapan wali ketika ayah tidak ada. Menurut mazhab Hanbali dan Maliki, wali sesudah ayah adalah orang yang amenerima wasiat dari ayah. Jika tidak ada, maka jatuh kepada wali hakim Syar’i. Kakek sama sekali tidak mempunyai hak atas perwalian. Sementara Hanafi menyatakan, bahwa para wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah. Sesudah itu kakek dari pihak ayah, lalu orang yang menerima wasiat darinya, dan kalau tidak ada, maka perwalian jatuh ke tangan qadhi (hakim).4
Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa pertama-tama perwalian berada di tangan ayah dan kakek (dari pihak ayah) dalam derajatnya yang sama, di mana masing-masing mereka berkedudukan yang sama untuk bertindak sebagai wali. Kemudian kepada orang yang menerima wasiat dari ayah atau kakek.5
Dari beberapa ketentuan di atas, dapat dilihat suatu kejelasan bahwa dalam hukum Islam, perwalian seorang anak, baik itu karena usianya yang belum mencapai
3
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet. I, h. 166.
4
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,h. 167; LIhat pula, Muhammad Jawad Mughniyah,
Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 683.
5
baligh, seseorang yang gila, atau seseorang yang safih (lemah akalnya), berada pada ayah, keluarga ayah, orang yang diwasiatkan, atau pada seorang hakim/qadhi.6
Berbeda dengan konsep tersebut di atas, dalam putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Depok (Putusan Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk), hakim menetapkan perwalian tiga orang anak yang belum baligh kepada paman anak tersebut dari pihak ibu (adik ibu). Jika mengacu pada hukum yang telah menjadi kesepakatan Jumhur Ulama di atas, maka secara sekilas terjadi suatu pertentangan antara apa yang diputuskan oleh hakim Agama Depok dengan apa yang tertera dalam fikih.
Maka dari itu, berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh bagaimana status atau hukum perwalian (pengampuan) seorang anak yang telah diputuskan oleh Pengadilan Agama Depok dalam Putusan Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk, terutama dalam perspektif hukum Islam. Untuk lebih memfokuskan masalah tersebut, penulis merangkum tema penelitian ini dalam judul karya ilmiah, yaitu: Wali Pengampu Pada Paman Dari Pihak Ibu Dalam Tinjauan Hukum Islam: Studi Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/PA Dpk.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Karena luasnya fokus bahasan yang akan diuraikan dalam judul tersebut, penulis membatasi beberapa masalah yang akan dikaji. Sebagaimana diketahui, terdapat dua jenis perwalian dalam hukum Islam, yaitu perwalian atas jiwa (yang sering disebut dengan perwalian dalam perkawinan) dan perwalian harta yang dikenal dengan pengampuan. Penulis hanya akan mengkaji konsep perwalian dalam hukum Islam dalam masalah kedua, yaitu perwalian atas harta atau yang dikenal dengan pengampuan.
Hukum Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hukum Islam yang telah dirumuskan oleh para imam atau ulama fikih, terutama pendapat-pendapat yang dianggap valid dan representative untuk mewakili prisma pemikiran hukum Islam, yang dikenal dengan istilah fikih. Selain itu, untuk konteks keindonesiaan, penulis akan mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Selain itu, untuk menyempitkan cakupan kasus yang ada, penulis hanya berfokus pada putusan Pengadilan Agama Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk, yang dikeluarkan Pengadilan Agama Depok.
2. Perumusan Masalah
Sebagaimana diketahui, perwalian seorang anak yang belum baligh hanya berada di tangan laki-laki dari keluarga ayah dan bukan dari ibu. Dalam Putusan Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk tentang Penetapan wali pengampu, Pengadilan Agama Depok menetapkan paman dari pihak ibu sebagai wali pengampunya. Maka dari itu, dalam tinjauan hukum Islam hal ini berbeda secara teoritis dan menjadi fokus penelitian penulis, yang dirangkum dalam pertanyaan penelitian berikut:
a. Bagaimana konsep perwalian/pengampuan anak yang belum baligh dalam hukum Islam?
b. Apa argumentasi hakim dalam memutuskan Penetapan Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk?
c. Apakah Keputusan tersebut seiring dengan hukum Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, di antaranya adalah:
a. Mengetahui konsep perwalian/pengampuan dalam tinjauan hukum Islam b. Penelitian ini juga hendak mengetahui pandangan hukum Islam terhadap
Putusan Nomor 16/Pdt.p/2007/PA tentang Penetapan Pengampuan Anak kepada Paman dari pihak Ibu.
2. Manfaat Penelitian
a. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuwan di bidang hukum keluarga.
b. Sebagai salah satu referensi mengenai pemikiran pembaruan hukum keluarga Islam, dan.
c. Sebagai bahan pertimbangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap proses perjuangan pembangunan hukum keluarga Islam.
D. Studi Review Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian yang penulis temukan dan berkaitan dengan judul skripsi ini, di antaranya:
1. Pelaksanaan Sulhu dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah (Studi Kasus di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia, oleh Mohammad Norman Shah bin Mohammad Yaziz. Skripsi Konsentrasi Peradilan Agama, Ahwal Syakhsiyyah, Syariah dan Hukum. Kesimpulan dari penelitian ini adalah, oleh karena sebagian besar sengketanya ditangani oleh Mahkamah Syariah wilayah Persekutuan adalah dalam bidang perkawinan, maka penyelesaian secara sulh (perdamaian) sangat sesuai dan wajar sekali. 2. Hak pemeliharaan Anak oleh Bapak Akibat Perceraian, studi Analisa Putusan
Kompilasi Hukum Islam. Alasan hakim dalam memutuskan perkara pengasuhan anak tersebut karena beberapa faktor, di antaranya: tingkat laku orang yang akan mengasuh, perhatian kepada anak, dan kemampuan ekonomi. 3. Penetapan Hak-hak Anak Akibat Perceraian Isteri Non-Muslim, Analisa Putusan Peradilan Agama, Jakarta Pusat Nomor 443/Pdt.G/2007/PA JP, oleh Roro Tanjung Sari, Konsentrasi Peradilan Agama, Tahun 2009. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perubahan pada pemenuhan hak-hak anak bagi orang tua yang non muslim dan anak tersebut masik tetap mendapatkan haknya.
4. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menetapkan Hak-hak Pemeliharaan Anak, Oleh Irwan Hermawan, Tahun 2006, Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum. Kesimpulan yang diberikan peneliti dalam skripsi ini adalah bahwa dengan mengacu kepada Putusan Nomor 674/Pdt.G/2002/PA JS, hakim memutuskan hak asuh anak di bawah umur kepada ayah, karena kemampuan ekonomi dan kesanggupannya.
hak asuh anak, baik karena perceraian ataupun bukan. Maka itu, penelitian ini mengambil obyek penelitian tentang Pengampuan Anak, bukan hak asuh anak.
E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (penelitian hukum kepustakaan), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.7
Dalam penelitian ini terdapat tiga cakupan besar, yaitu: pertama, dalam bab kedua dibahas tentang konsep perwalian/ pengampuan anak dalam fikih;
kedua, ntang posisi kasus pengampuan anak dalam putusan perkara Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/pa Dpk; ketiga, tentang analisa putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/PA Dpk dalam Tinjauan Tinjauan Hukum Islam.
2. Sumber Data
Dalam apenelitian ini, data terbagi menjadi dua, primer dan sekunder. Data primer adalah Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/PA Dpk, sedangkan data sekunder adalah buku-buku fikih yang membahas tentang perwalian/pengampuan anak, baik yang tergolong buku-buku klasik atau pun yang disusun oleh ulama/intelektual kontemporer.
7
Selain itu, sebagai penguat dan bahan komaprasi, penulis juga merujuk pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yang di dalamnya dibahas secara rinci tentang perwalian atau pengampuan anak.
Pun demikian, penulis akan merujuk pada sumber sekuender lainnya yang mendukung, seperti Koran, majalah, media internet, kamus dan ensiklopedia, dan sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan dan Analisa Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat pengumpul data sebagai berikut: Bahan hukum, terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku atau putusan pengadilan itu sendiri. Sementara bahan hukum sekundernya adalah bahan-bahan yang penulis dapatkan dari buku-buku yang berkaita dengan judul, terutama buku-buku fikih yang menguraikan masalah perwalian anak.
Sementara pengolahan data akan menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan yang diperoleh dari dokumen hukum yang sah, yaitu keputusan hakim, juga dokumen-dokumen hukum para pakar dan peneliti hukum, baik hukum Islam ataupun hukum yang berlaku di Indonesia. hal tersebut dilakukan dengan cara mengedit data, yaitu memeriksa data yang telah terkumpul dan hal tersebut berhubungan dengan perwalian anak dalam pandangan hukum Islam dan dipaparkan semua pengkajiannya secara sistematis.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mengarahkan penelitian, skripsi ini akan berfokus pada sistematika penulisan di bawah ini, yaitu:
Pada bab Pertama, akan dibahas tentang pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab Ketiga akan menguraikan tentang posisi kasus pengampuan anak dalam putusan perkara Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/Pa Dpk, mencakup profil Pengadilan Agama Depok, posisi kasus dan putusan hakim Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/pa Dpk.
Bab Keempat, adalah bab yang menguraikan tentang analisa atas putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/pa Dpk, mencakup pertimbangan hakim dalam putusan perkara, putusan hakim dalam tinjauan tata hukum di Indonesia, analisa putusan hakim perspektif hukum Islam.
A. Pengertian dan Cakupan Perwalian dalam Hukum Islam
Seyogyanya, seorang anak menjadi tanggungjawab kedua orang tua, baik dari
sisi pemeliharaan, pendidikan, ataupun pemenuhan kebutuhan yang lain sampai ia
dewasa. Dalam hal inilah, menurut konsep hukum Islam, terdapat istilah hadhanah
yang berarti merawat dan mendidik anak yang belum mumayyiz atau kehilangan
kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan keperluannya.1
Mengutip dari Abd. Rahman Ghazali, wali memiliki arti yang beragam, yaitu:
1. Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diserahi kewajiban mengurus
anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa
2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah, yaitu yang melakukan
janji nikah dengan mengantin laki-laki.
3. Kepala pemerintah. 2
Kata wali terdiri dari tiga huruf, yaitu: waw, lam, dan ya’. Dari sini kemudian
berkembang makna-makna baru, seperti: pendukung, pembela, pelindung, yang
1
Amiur Nurruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada, 2006), cet. III, h. 293.
2
Abd. Rahman Ghazalia, Fiqh Munakahat, (Jakarta Prenada Media, 2003), h. 165
mengurus, yang menguasai, yang mencintai, lebih utama, teman, anak paman
(sepupu), tetangga. Kata yang terdiri dari tiga huruf ini juga sering digunakan untuk
menggambarkan sesuatu yang bertentangan, yaitu menjauh atau berpaling. Pun juga
sering diartikan dengan penguasa.3
Adanya konsep perwalian/pengampuan ini berangkat dari suatu ketetapan
bahwa seseorang yang hendak melakukan suatu tindakan hukum harus berkuasa
(mempunyai wilayah) atas suatu akad, sehingga ia mampu untuk melaksanakan
hukumnya. Kekuasaan seseorang tersebut, baik karena ia sebagai pemangku/pemilik
akad tersebut dan memiliki ahliyyah, sehingga ia mampu pula untuk melakukan
tindakan hukum atas dirinya sendiri, atau pun karena ia menjadi wakil (nai`ban)
seseorang ataupun menjadi wakil (wakilan) dalam suatu akad.4
Menurut Abu Zahrah, kekuasaan seseorang (wilayah) tersebut terbagi menjadi
dua, yaitu perwalian qashirah dan perwalian muta’addiyah. Wilayah al-qashirah
adalah ketiak seseorang mampu untuk melaksanakan tindakan hukum atas dirinya
sendiri, yaitu ketika terpenuhi semua syarat dan rukunnya, sementara wilayah
al-muta’addiyah adalah ketika seseorang tidak mampu menjalankan tindakan hukum
dan harus diwakilkan kepada seseorang.5 Untuk itu, wilayah al-muta’addiyah terbagi
menjadi dua, yaitu perwalian atas harta benda dan perwalian atas diri (manusia) yang
3
Muhammad Qurash Shihab, “Wali dan Kewalian Perspektif al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an, Vil. II, Nomor 1 Tahun 2007, h. 9.
4
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1950), h.107
5
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 108.
sering terjadi dalam pernikahan. Hal senada juga dikemukakan oleh Asaf A.A. Fyzee,
bahwa perwalian terbagi menjadi perwalian atas orang, perwalian atas harta benda
dan perwlaian dalam perkawinan.6
Sementara terkait dengan pengampuan, dalam hukum Islam dikenal dengan
istilah al-hajr. Al-harju terbatas pada tindakan hukum, baik dalam ucapan ataupun
tindakan, seseorang yang berada dalam pengampuan, baik karena safih (bodoh),
masih anak-anak, kegilaan, atau karena lilitan hutang.7 Al-hajru pada asalnya berarti
menghalangi. Dengan demikian, al-harju berarti menghalangi seseorang untuk
melakukan tindakan hukum berupa akad atau interaksi lain yang berbentuk ucapan.8
Ada beberapa ayat yang mendasari perwalian dalam Islam, di antaranya
adalah QS. Al-Baqarah ayat 282, yang berbunyi:
…
....Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.... (QS. Al-Baqqarah/2: 282)
6
Asaf A.A. Fyzee, Pokok Hukum Islam I, penerjemah Arifin Bey, (Jakarta: Tintamas, 1959), h. 259
7
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 437.
8
Selain itu, terdapat pula firman Allah SWT dalam surat al-Nisa’/4 ayat 5 dan
bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (QS. Al-Nisa’/4: 5-6)
Menurut Ahmad Rafiq, beberapa ayat di atas menunjukkan peran, kewajiban
dan hak-hak wali terhadap anak dan harta yang di bawah perwaliannya. Selain
berbicara tentang seseorang yang tidak mampu secara akal (terutama seseorang yang
berhutang), ayat-ayat tersebut di atas juga mengisyaratkan suatu ketetapan bahwa
anak-anak yatim tidak boleh mentransaksikan hartanya sendiri, kecuali oleh
seseorang yang bertindak sebagai wakil atau walinya.9
Abdul Wahab Khalaf juga menyebutkan, QS. Al-Nisa’/4 ayat 5 dan 6 di atas
menunjukkan bahwa Allah melarang untuk menyerahkan harta benda kepada
seseorang yang belum sempurna akalnya (sufaha’), karena pemberian tersebut hanya
akan menyebabkan kehilangan atau kerusakan harta tersebut. Pun demikian jika suatu
hubungan bisnis atau perniagaan, hendaknya tetap dipegang oleh walinya, yang
menjualbelikan harta tersebut.10
Penetapan tersebut bukannya tanpa alasan. Sebagaimana dikemukakan pula
oleh Abdul Wahaf Khalaf, bahwa dalam pensyariatan perwalian ini terdapat hikmah
tasyri’ di dalamnya. Bahwa jika seseorang yang dalam kondisi lemah atau kurang
sempurna akalnya, ia tidak akan mampu untuk menilai sesuatu dan tidak akan
nampak gambaran ridha atau tidaknya. Orang yang kurang akalnya sama saja dengan
9
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), cet. IV, h. 260.
10
orang yang kurang waras, sementara anak kecil tidak akan bisa memilih dan
menentukan suatu kemaslahatan. Maka itu, dengan pertimbangan dan kemashlahatan
tersebut, Syariat Islam tidak membolehkan (melarang) keduanya untuk melakukan
tindakan hukum. Pelarangan tersebut hanya untuk menjaga dan melindungi keduanya
dari suatu bahaya atau kecelakaan.11
Untuk itu, beberapa aspek yang berkaitan dengan siapa saja yang harus
diwalikan dalam tindakan hukum akan dijelaskan berikut ini:
1. Anak Kecil
Belum dewasa menjadi salah satu sebab seseorang dalam
pengampuan, sehingga ia tidak boleh untuk melakukan tindakan hukum. Hal
ini didasarkan pada suatu alasan bahwa anak kecil masih dianggap lemah,
belum sempurna akal dan pelaranannya, sementara dalam perjanjian atau
interaksi hukum yang menjadi dasar adalah pertimbangan akal dan keridhaan.
Jika tidak terdapat akal atau kurang akalnya, maka hilanglah keharusan
transaksi tersebut.
Para ulama mazhab sepakat bahwa wali anak kecil adalah ayahnya,
sedangkan ibunya tidak mempunyai hak perwalian, kecuali beberapa mazhab
Syafi’i. Imamiyyah dan Syafi’i menyatakan bahwa seorang anak yang telah
mencapai usia sepuluh tahun, wasiatnya dalam hal kebajikan dan kebaikan
11
dinyatakan sah. Beberapa ulama Imamiyyah pun menyatakan thalak yang
dilakukan oleh anak seumur 10 tahun pun sah.12
Anak kecil tersebut pun terbagi menjadi dua, yaitu anak kecil yang
betul-betul belum memiliki ahliyyah dan anak kecil yang tidak hilang
sepenuhnya ahliyah-nya. Hal ini dasarkan pada usia anak tersebut dan
kemampuannya untuk membedakan mana yang baik atau yang buruk
(mumayyiz). Anak yang belum mencapai mumayyiz, menurut Abu Zahrah
minimal adalah kurang dari tujuh tahun, maka ia kehilangan secara penuh
ahliyahnya. Sementara anak yang telah mencapai usia mumayyiz atau ia telah
lebih dari tujuh tahun, maka ia tidak kehilangan secara penuh ahliyahnya,
tetapi dalam kondisi kurang. Dalam hal-hal tertentu, anak tidak kehilangan
secara penuh ahliyahnya (atau yang telah mencapai mumayyiz) dapat
melakukan tindakan hukum, terkhusus pada hal-hal yang bermanfaat baginya
dan tidak ada bahaya.13
Terkhusus untuk anak kecil yang telah mumayyiz ini, para ulama fikih
berbeda pendapat. Menurut kalangan Hanafi, sah hukumnya, meski tanpa
seizing wali, asalkan sesuatu yang bermanfaat, seperti menerima hibah,
12
Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur AB, dkk, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 684.
13
wasiat, dan wakaf tanpa penggantian. Namun dalam hal jual beli,maka tidak
sah kecuali dengan izin walinya. Mazhab Hanbali menyatakan bahwa sah jika
mendapatkan izin wali, sedangkan yang belum mumayyiz, sah jika dalam
urusan yang remeh, sekalipun tidak memperoleh izin dari wali, seperti
membeli permen dan barang-barang lain yang biasa dibeli oleh anak kecil.
Mazhab Syiah Imamiyyah dan mazhab Syafi’i mengatakan, bahwa semua
bentuk mualamah anak kecil secara keseluruhan tidak disyariatkan. Baik itu
yang penting, seperti jual beli, ataupun urusan-urusan yang remeh.14
2. Safih
Safih adalah seseorang yang tidak baik dalam membelanjakan
(bertransaksi) hartanya atau pemeliharaannya, atau menginfakkan hartanya
pada sesuatu yang tidak layak untuk disedekahkan. Pengampuan atas
seseorang yang dinyatakan safih ini menjadi kesepakatan Jumhur Ulama.15
Kesafihan dapat saja menyatu dengan kepandaian dan akal. Safih adalah orang
yang tidak cakap mengelola harta dan membelanjakan secara baik, baik dia
mempunyai kecakapan tetapi tidak digunakan ataupun karena betul-betul
tidak memiliki kecakapan.16
14
Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqh Lima MAzhab,h. 265.
15
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h. 451.
16
Selain itu, terdapat pula orang yang selalu lalai dalam hartanya. Orang
yang lalai tersebut sama statusnya dengan safih, yaitu karena keburukannya
dalam mengatur dan memelihara hartanya. Perbedaannya adalah bahwa pada
safih terkadang masih terdapat pikiran dan akal, namun secara alamiah ia
cenderung merusak hartanya tersebut. Sementara pada seseorang yang lalai, ia
tidak cenderung merusak hartanya tetapi bodoh dan tidak perhatian.17
3. Orang Gila
Orang gila dilarang menggunakan hartanya berdasarkan nash dan ijma,
baik gila itu akut ataupun temporal. Gila secara temporal dan ia menggunakan
hartanya dalam kondisi sadara/sehat, maka akadnya sah.
Hal ini didasarkan pada bahwa berakal sehat adalah salah satu syarat
syahnya hubungan muamalah. Orang yang tidak sadar dan mabuk, hukumnya
sama dengan orang gila. Namun jika seorang gila tersebut berhubungan badan
dengan perempuan dan hamil, anaknya masih tetap dinasabkan kepada
bapaknya, karena terhitung persetubuhan syubhat.18
4. Orang yang Berhutang
Dalam Islam, jika seseorang yang berhutang tidak mau membayar
hutangnya atas dasar kesengajaan, maka orang yang dihutangi (al-da’in)
boleh mengajukan ke pengadilan dan memperkarakannya, karena
17
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h. 451.
18
memperpanjang hutang adalah kezhaliman. Namun demikian, menurut Abu
Zahrah, para fuqaha bersepakat bahwa seseorang yang berhutang berhak atas
pengampuan dan jualbelikan hartanya. Pendapat Jumhur ini berbeda dengan
Abu Hanifah. Menurut Abu Hanifah, meskipun berada dalam pengampuan,
orang yang bertindak sebagai pengampu tidak boleh menjualbelikan hartanya
orang yang berhutang. Pengampuan ini terjadi ketika hutang yang dimiliki
seseorang tersebut telah menutupi (seukuran) semua hartanya dan
pengampuan itu pun harus ditetapkan oleh pengadilan.19
B. Urutan Perwalian Anak Menurut Fikih dan Syarat-syaratnya
Menurut Asaf A.A. Fyzee, dalam hukum Sunni, bapak adalah wali dari anak
yang belum dewasa dalam hal harta benda. Jika bapak tidak mungkin untuk
melakukankkannya, baik karena telah meninggal dunia atau karena halangan lain,
sehingga hilang ahliyah-nya, maka orang-orang yang berhak untuk menjadi wali,
dengan urutannya, adalah: penyelenggara (eksekutor) hak-hak bapak, bapak dari
bapak (kakek anak tersebut), dan penyelenggara dari hak-hak kakek tersebut.20
Menurut A.A. Fyzee pula, harus diakui bahwa dalam hukum Islam, terutama
Sunni, tidak mengenal adanya perwalian untuk keluarga selain ayah, seperti ibu,
19
Ibid., h. 155; lihat pula, Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariah al-Islamiyyah, h. 216-218.
20
paman ataupun saudara laki-laki, untuk bertindak sebagai wali yang sah. Namun,
karena berbagai pertimbangan dan kemashalahan, mereka dapat menjadi wali dengan
diangkat oleh suatu Mahkamah atau Pengadilan.21
Namun, dalam hal demikian Asaf mengkategorikan bentuk perwalian tersebut
menjadi dua, yaitu wali secara de facto dan wali secara de jure. Wali de facto adalah
mereka yang merasa sanggup untuk mengemban tanggungjawab sebagai wali dan
mengajukan permohonan kepada Mahkamah. Dengan demikian, orang tersebut
mampu menjadi pelaksana dan penanggungjawab atas harta benda seorang anak
tersebut. Wali de facto ini hanyalah bertindak sebagai wali atas perseorangan atau
harta benda seorang yang belum dewasa dan tidaklah mempunyai hak apapun juga,
melainkan sebaliknya mempunyai kewajiban-kewajiban.22
Sebagaimana diutarakan di atas, seseorang yang tergolong anak kecil, orang
gila atau kurang waras, maka tidak berhak untuk melakukan tindakan hukum (
al-mahjur). Maka itu, senada dengan apa yang dinyatakan oleh Asaf A.A. Fyzee di atas,
menurut Abdul Wahab Khalaf, tindakan hukumnya harus dilakukan oleh salah satu
dari enam orang yang secara berurutan (tartib) adalah: ayah, orang yang diberi wasiat
oleh ayah (eksekutor), kakek, orang yang diberi wasiat oleh kakek (eksekutor),
seorang qhadi/ hakim ataupun seseorang yang diberikan wasiat oleh qhadi/hakim
21
Ibid., h. 265.
22
tersebut.23 Eksekutor yang dimaksud oleh Asaf A.A. Fize di atas adalah orang yang
diwasiatkan adalah orang yang dipilih oleh bapak untuk menjadi wali dari anak
sebagai penggantinya (bapak) setelah kematiannya. Perwalian ini hanya terbatas pada
pemeliharaan dan perlindungan atas harta saja.24
Dalam konteks seseorang yang safih atau lalai, maka perwaliannya berada
pada tangan hakim, serta seseorang yang nantinya akan ditunjuk oleh hakim,
meskipun bapak atau kakeknya ada. Perwalian ini sampai kesafihannya hilang dan
sehat. Dengan pendapat dari Ibnu Abidin dalam al-Durr al-Mukhtar, Abu Zahrah
menyebutkan bahwa hukum seseorang yang safih dan lali ini sama dengan hukum
anak kecil (yang belum baligh) tetapi telah mencapai usia mumayyiz. Hanya saja,
yang membedakannya adalah bahwa bapak dan kakeknya tidak boleh menjadi
walinya kecuali hakim. Alasannya adalah karena seorang yang safih atau lalai, telah
dianggap dewasa, sehingga hilang hak perwalian seorang ayah atau kakek. Kecuali,
jika ia ternyata gila atau tidak waras, maka perwalian kembali kepada ayah atau
kakeknya, seperti halnya anak kecil.25
Sementara bagi anak kecil, atau orang yang terhukumi sama, seperti orang
gila atau kurang waras, maka kewaliannya tetap berada pada wali seperti yang
disebutkan di atas, yaitu bapak, orang yang diberi wasiat (eksekutor), kakek, ataupun
23
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 222.
24
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 224.
25
orang yang diberi wasiat oleh kakek (eksekutor).26 Sementara menurut mazhab
Maliki, hak perwalian hanya ada pada bapak anak tersebut dan orang yang diberikan
wasiat, serta pada hakim atau yang diberikan wasiat oleh hakim.27
Dalam pandangan mazhab Maliki, yang juga diikuti oleh Hanbali (mazhab
Imam Ahmad bin Hanbal), seorang kakek tidak masuk dalam urutan perwalian
setelah bapak. Jika pun hakim yang menentukan perwaliannya, maka posisinya tidak
sebagai wali de jure (menggunakan istilah Asaf A.A. Fyzee). Dalam pernikahan
kakek tidak berhak atas perwalian anaknya, maka dalam hal harta benda pun
demikian. Mazhab Syafi’i berpandangan seperti yang disebutkan di atas, bahwa
urutan wali adalah bapak, kakek, dan orang yang diberikan wasiat. Maka itu,
menurut pandangan mazhab Syafi’i, ketika bapak tidak ada, maka perwalian secara
otomatis jatuh kepada kakek. Hal ini didasarkan pada kedekatan hubungan
keduanya.28
Selain mazhab Syafi’i, pendapat yang mirip juga dikemukakan oleh ahli
hukum dari mazhab Hanafi, bahwa perwalian berada pada bapak, orang yang diberi
wasiat, kakek dan orang yang diberi wasiat oleh kakek. Berbedaan keduanya, Syafi’i
memposisikan orang yang diberikan wasiat di belakang kakek, sedangkan Syafi’i
26
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 222.
27
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 466.
28
memposisikannya tepat di belakang bapak. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa
bapak adalah lebih cocok dan tahu dengan kondisi anak tersebut.
Ada beberapa syarat dalam perwalian, terutama orang yang menjadi wali
dalam urusan harta benda. Di antaranya adalah syarat umum, seperti sempurna
ahliyyah-nya (kemampuan untuk bertindak hukum), berakal, baligh, merdeka,
kesamaan agama antara wali dan orang yang berada dalam pengampuan (kecuali jika
hakim, maka tidak diharuskan adanya kesamaan agama). 29
Seorang bapak yang berhak menjadi wali bagi anaknya adalah yang diketahui
adil (‘adalah) dan tidak pula terindikasi keadilannya tersebut hilang. Jika seorang
bapak tersebut adil, maka anak-anak, baik yang laki-laki atau perempuan, yang ada
dalam pemeliharaannya atau dalam pemeliharaan orang lain. Jika seorang bapak
tersebut kurang baik dalam mengurus harta dan buruk akalnya, ia tetap berhak atas
pemeliharaan harta anaknya tersebut, namun tidak semutlak bapak yang adil. Suatu
bisnis atau perniagaan yang boleh dilakukan hanyalah perniagaan yang jelas-jelas
menguntungkan dan jelas manfaatnya bagi anak tersebut. Namun jika jelas-jelas
bapak tersebut menyia-nyiakan atau menghambur-hamburkan harta anaknya tersebut,
maka hendaknya perwalian atasnya digantikan dengan orang lain, seperti halnya
orang yang tidak mempunyai bapak.30
29
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 222.
30
Dari beberapa uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam hukum
Islam, terutama seperti yang diutarakan oleh empat imam mazhab, yang paling
berhak atas perwalian dalam hal harta benda adalah bapak. Jika bapak tidak ada,
dalam pandangan fikih, terjadi perbedaan. Menurut Hanafi, jatuh kepada orang yang
diberikan wasiat oleh bapak, kemudian kepada kakek, dan terakhir pada orang yang
diberi wasiat oleh kakek. Syafi’i, ketika tidak ada bapak langsung pada kakek.
Sementara mazhab Maliki dan Hanbali menyebutkan bahwa kakek tidak berhak
untuk menjadi wali. Selain itu, dalam hukum Islam, seorang hakim atau qhadi berhak
pula atas perwalian, terutama bagi mereka yang safih atau lalai. Perwalian ini juga
boleh dilimpahkan hakim kepada seseorang yang dipercayainya.
C. Perwalian Anak dalam Tata Hukum di Indonesia: Tinjauan KHI, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata (BW)
Dalam Pasal 1 huruf h Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perwalian adalah kewenangan yang
diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil
untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau
orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum.31
Menurut Ahmad Rafiq, dari pengertian tersebut, wali adalah orang yang
diberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum demi kepentingan anak
31
yang tidak memiliki kedua orang tua atau karena orang tuanya tersebut tidak cakap
melakukan tindakan/perbuatan hukum.32
Perwalian dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 diuraikan dalam
satu bab, yaitu Bab XV. Dalam Pasal 107 Bab ini disebutkan, bahwa:
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut. (4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain
yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.33
Selain itu, disebutkan pula, bahwa orang tua dapat mewasiatkan kepada
seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak
atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia,34 atau Pengadilan Agama juga dapat
mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan menindahkannya
kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi,
pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya
sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. 35
32
A. Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 258.
33
Lihat, Pasal 107 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
34
Pasal 108 Kompilasi Hukum Islam
35
Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam ini juga dikemukakan tentang kewajiban seseorang atau badan hukum yang
diberi kekuasaan oleh Pengadilan untuk menjadi wali. Di antara kewajiban tersebut
adalah:
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan.
(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.36
(4) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah.37
Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang
mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah
perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.38 Namun jika perwalian
tersebut belum usai, dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa wali dapat
mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang
36
Pasal 110 Kompilasi Hukum Islam
37
Pasal 111 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
38
diperlukan untuk kepentingannya sesuai dengan kebutuhan atau bi al-ma`ruf
seandainya wali tersebut fakir.39
Perwalian dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahunm 1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam selaras dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1971
Tentang Perkawinan, meskipun dengan sedikit perbedaan. Jika dalam Kompilasi
Hukum Islam ukuran dewasa adalah di bawah 21 tahun, dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1971 Tentang Perkawinan disebutkan seseorang yang masih
terkategori anak dan berhak atas perwalian adalah yang belum mencapai umur 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua.40
Selain itu, dalam Undang-undang ini juga disebutkan bahwa perwalian terjadi
karena beberapa hal, di antaranya:
1. Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan
kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan
lisan dengan dua orang saksi.
2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain
yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.41
39
Pasal 112 Kompilasi Hukum Islam
40
Lihat Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Perkawinan.
41
Dalam hal kewajiban pun antara Undang-undang Nomor 1 Tahun 1971 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam relatif tidak terdapat perbedaan
signifikan.42 Yang agar berbeda hanya pada ayat 1 Pasal 51 Undang-undang
Perkawinan, di mana disebutkan bahwa wali berkewajiban mengurus anak yang
berada di bawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan
menghormati agama kepercayaan anak itu. Selebihnya, antara keduanya tidak
terdapat perbedaan, di mana wali berkwajiban mengurus dan memelihara harta benda
anak te
u belum
melaku
1 tahun 1974 menyebutkan wali dapat
dap anak perwalian tersebut.
rsebut.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1971 Tentang Perkawinan juga
ditetapkan tentang larangan bagi wali. Dalam Pasal. 52 UU No.1 tahun 1974
menyatakan terhadap wali berlaku pasal 48 Undang-undang ini, yakni orang tua
dalam hal ini wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun ata
kan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa.
Demikian halnya Pasal 53 UU No.
dicabut dari kekuasaannya, yaitu dalam hal:
1. Wali sangat melalaikan kewajibannya terha
2. Wali berkelakuan buruk sebagai walinya.
Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan menunjuk orang lain
sebagai wali (pasal 53 (2) UU No.1 tahun 1974). Dalam hal apabila wali
42
menyebabkan kerugian pada si anak maka menurut ketentuan pasal 54 UU No.1
tahun 1974 menyatakan, wali yang telah menyebabkan kerugian pada harta benda
anak yang berada dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak
tersebut dengan keputusan pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk
mengga
ut curandus, pengampunya
disebut
cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini”.
nti kerugian tersebut.
Perwalian juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang
disingkat dengan KUHPer. Perwalian dalam KUHPer disebut juga dengan
Pengampuan atau curatele. Pengamuan berarti suatu daya upaya hukum untuk
menempatkan seseorang yang belum dewasa menjadi sama dengan orang yang
dewasa. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan diseb
curator, dan pengampuannya disebut curatele.43
Dalam Pasal 433 KUHPer disebutkan: Setiap orang dewasa, yang selalu
berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah
pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang
dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.44 selain itu,
disebutkan pula dalam pasal 330 ayat (3), bahwa: “Mereka yang belum dewasa dan
tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan
43
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), h. 26.
44
Dalam hal ini, terdapat persamaan antara apa yang termaktub dalam
Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Kemudian dalam Pasal 462
KUHPer disebutkan lagi, bahwa: Seorang anak belum dewasa yang berada dalam
keadaan dungu, gila atau gelap mata, tidak boleh ditempatkan di bawah pengampuan,
tetapi tetap berada di bawah pengawasan bapaknya, ibunya atau walinya.45
Selanjutnya, dinyatakan pula dalam KUHPer, bahwa setiap keluarga sedarah
berhak meminta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila
atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta
oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping
sampai derajat keempat. Barang siapa karena lemah akal pikirannya, merasa tidak
cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi
dirinya sendiri.46
Jika disistematisasi, perwalian dalam KUHPer terbagi menjadi tiga macam,
yaitu:
1. Perwalian oleh bapak atau ibu yang hidup lebih lama, pasal 345 sampai pasal
354 KUHPerdata. Pasal 345 KUH Perdata menyatakan :
”Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum
45
Pasal 462 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
46
dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.”47
2. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta
tersendiri. Pasal 355 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa :
“Masing-masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan Hakim menurut ayat terakhir pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain”48
Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau
memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau perwalian
tersebut memang masih terbuka.
3. Perwalian yang diangkat oleh Hakim. Pasal 359 KUH Perdata menentukan:
“Bila anak belum dewasa yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua dan yang perwaliannya sebelumnya tidak diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah mendengar atau memanggil dengan sah para keluarga sedarah dan semenda.”49
Pengampuan ini terjadi karena adanya keputusan hakim yang didasarkan pada
adanya permohonan pengampuan.50 Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan
47
Pasal 345 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
48
Pasal 355 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
49
Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
50
pengampuan, sebagaimana tertera dan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, adalah sebagai berikut:
1. keluarga sedarah terhadap keluarga sedarahnya, dalam hal keadannya dungu,
sakit ingatan, atau mata gelap (Pasal 434 ayat 1 KUHPer).
2. Keluarga sedarah dalam garis lurus dan oleh keluarga semenda dalam garis
menyimpang sampai derajat keempat, dalam hal karena keborosannya (Pasal
434 ayat 2 KUHPer)
3. Suami atau isteri boleh meminta pengampuan akan isteri atau suaminya (Pasal
434 ayat 3 KUHPer)
4. Diri sendiri, dalam hal ia tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri (Pasal
434 ayat 4 KUHPer)
5. Kejaksaaan dalam hal gelap mata, keadaannya dungu, sakita ingatan (Pasal
435 KUHPer).
Selain itu, dalam hukum perdata juga diatur bagaimana akibat hukum
seseorang yang berada dalam pengampuan. Akibat hukum tersebut, bahwa orang
yang berada dalam pengampuan sama dengan orang yang belum dewasa.51 Selain itu,
diatur pula bahwa setiap perbuatan orang yang berada dalam pengampuan batal demi
hukum.52 Namun kedua hal ini terdapat pengecualian, yaitu seseorang yang berada
dalam pengampuan karena boros, masih boleh membuat surat wasiat, sebagaimana
51
Pasal 452 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
52
diatur dalam Pasal 446 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pun demikian
disebutkan dalam Pasal 446 ayat 3 KUHPer, orang yang dinyatakan dalam
pengampuan karena boros tersebut dapat melangsungkan pernikahan dan membuat
A. Kewenangan Pengadilan Agama dan Bentuk Keputusan 1. Profil Pengadilan Agama di Indonesia
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang. Kekuasaan kehakiman di Pengadilan Agama meliputi beberapa hal, di antaranya adalah:
a. Pengadilan Agama (Pengadilan Tingkat Pertama)
b. Pengadilan Tinggi Agama (Pengadilan Tingkat Banding)
Peradilan agama juga memiliki Pengadilan khusus, yaitu di Nangroe Aceh Darussalam, yaitu Mahkamah Syariah (Pengadilan Tinggkat Pertama) dan Mahkamah Syariah Provinsi (Pengadilan Tingkat Banding). Kekuasaan kehakiman Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung.1
Peradilan Agama memiliki visi, yaitu: Terwujudnya putusan yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib, dan damai, di bawah lindungan Allah SWT. Sementara misi yang diemban oleh
1
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Profil Peradilan Agama, (Jakarta: Dirjen Peradilan Agama, 2006), h. 2.
Peradilan Agama adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan Perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam Indonesia, di bidang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah,. Zakat, Infaq, Sadaqah, dan Ekonomi Syariat secara cepat, sederhana dan biaya ringan.2
Selain itu, wewenang khusus yang dimiliki oleh Mahkamah Syariah di Aceh memiliki kewenangan yang lebih luas, yaitu meliputi Ahwal al-Syakhsiyyah (hukum keluarga), Mu’amalah, dan Jinayat (hukum pidana Islam), yang diatur secara rinci dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001dan Qanun Nangroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002.
2. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Perwalian
Dalam sejarah hukum Islam di Indonesia, terutama setelah masa kemerdekaan, secara resmi Peradilan Agama mengalami dua kali perubahan dalam kewenangan absolutnya. Pertama adalah ketika diundangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama dan kedua ketika Undang-undang ini direvisi dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
2
Pengadilan Agama di Indonesia memiliki beberapa tugas pokok, di antaranya adalah kewenangan mengadili, memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat hukum Islam kepada instansi pemerintah. Kewenangan lain yang ditetapkan oleh Undang-undang adalah untuk Pengadilan Tinggi Agama, yaitu berwenang untuk mengadili dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif serta mengawasi jalannya persidangan.3
Adapun kompetensi absolut atau batasan yang ditentukan oleh bidang yurisdiksi yang dilimpahkan Undang-undang bagi Pengadilan Agama tercantum dalam Pasal 49 Ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan ditambah Pasal 49 dan 50 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Dalam Pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama Republik Indonesia, disebutkan:
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
3
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.4
Mengacu kepada Pasal tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa Pengadilan Agama memiliki kewenangan khusus, terutama dalam perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Terkait dengan kewenangan dalam perkawinan, dijelaskan pula dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yaitu beberapa hal terkait dengan: izin beristeri lebih dari satu, izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dan dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus berbeda pendapat, dispensasi perkawinan, penolakan kawin oleh Pegawan Pencatat Nikah, pembatalan perkawinan, gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri, perceraian karena talak, gugatan perceraian, penyelesaian harta bersama, mengenai kekuasaan anak-anak, ibu memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, bilamana bapak (yang seharusnya bertanggungjawab) tidak memenuhi kewajibannya, penentuan kewajiban
4
memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.5
Kemudian Pengadilan Agama juga berwenang untuk menangai putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak, putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua, pencabutan kekuasaan wali, penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, menunjuk seorang wali bagi seorang anak yang belum berumur 18 tahun, yang ditinggal kedua orang tuanya tanpa adanya penunjukan wali oleh seorang/kedua orang tuanya, pembebanan kewajiban ganti rugi terhadap wali yang menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya, penetapan asal usul seorang anak, putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran, pernyatan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.6
Jika mengacu kepada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menurut Yahya Harahap, hampir semua perkara perkawinan
5
Lihat, Penjelasan pasal 49 ayat 2 Undnag-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama; lihat pula, Padmo Wahjono, Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa Depan, dalam Amrullah Ahmad, dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, SH, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 169
6
masuk dalam kekuasaan Pengadilan Agama. Namun, ada suatu masalah yang tidak masuk, yaitu permasalahan perjanjian perkawinan. Menurutnya, hal ini tidaklah mengurangi jangkauan cakupannya yang telah meliputi segala aspek sengketa perkawinan.7
Demikian pula kalau dihubungkan dengan fokus kajian dalam penelitian ini, ada beberapa perkara yang berkaitan, yaitu kewenangan Peradilan Agama dalam pencabutan kekuasaan wali, penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, menunjuk seorang wali bagi seorang anak yang belum berumur 18 tahun, yang ditinggal kedua orang tuanya tanpa adanya penunjukan wali oleh seorang/kedua orang tuanya, pembebanan kewajiban ganti rugi terhadap wali yang menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya.8
Setelah terjadi revisi atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kewenangan Pengadilan Agama ditambah dengan beberaoa perkara, yaitu zakat, infaq, dan ekonomi syariah. Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan:
7
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agam, h. 139.
8
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
Selain itu, Undang-undang ini juga menetapkan peradilan agama yang menyelesaikan perkara-perkara tertentu, termasuk pidana Islam, yaitu di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Mahkamah Syari'ah Islam yang diatur dengan Undang-Undang.10 Di dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, sebetulnya telah ditetapkan terlebih dahulu bahwa Mahkamah Syariah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang a) ahwal al-Syakhsiyyah; b) mu’amalah, dan; c) jinayah.11
9
Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
10
Lihat Penjelasan Pasal 3 A Undnag-undang Nomor 3 Tahun 2006.
11
3. Bentuk Putusan Pengadilan Agama
Peradilan Agama memiliki dua bentuk keputusan sebagai produk yang dapat dijatukannya, yaitu penetapan dan putusan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 57 ayat (2), Pasal 59 ayat (2), pasal 60, pasal 61, pasal 62, Pasal 63, dan pasal 64, serta yang ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 60 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.12
Menurut penjelasan Pasal 60 Undang-undang Peradilan Agama, penetapan adalah keputusan Pengadilan atas perkara “permohonan”, sehingga bentuk putusan sangat terkait dengan corak atau bentuk gugat. Dalam keputusan ini tidak ada sengketa,13 sehingga, gugat permohonan, menurut Yahya Harahap, disederajatkan ekuivalensinya dengan keputusan penetapan, yang lazim disebut dengan beschiking secara umum. Putusan ini tidak mengikat siapapun, kecuali hanya berlaku pada diri pemohon saja.14
Sementara keputusan Peradilan Agama yang lain, putusan, merupakan keputusan Pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya sengketa,15 yang lazim disebut dengan gugatan contentiosa. Keputusan Pengadilan agama yang berbentuk putusan ini bersifat condemnatoir atau “menghukum” dan
12
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agam, h. 339.
13
Penjelasan pasal 60 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
14
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agam, h. 339.
15
eksekutorial atau “eksekusi”.16 Dalam hal keputusan yang besifat memaksa ini, Pengadilan dapat menggunakan alat negara dalam melaksanakan eksekusi ketika pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela.17
B. Profil Pengadilan Agama Depok 1. Profil Pengadilan Agama Depok
Pengadilan Agama Depok Kelas IB beralamat di Jalan Boulevard Sektor Aggrek Komplek Perkantoran Kota Kembang Grand Depok City Depok dan beroperasi pada alamat tersebut setelah diresmikannya gedung Pengadilan Agama Depok bersamaan dengan diresmikannya gedung Pengadilan Tinggi Agama Bandung pada tanggal 20 Februari tahun 2007 oleh Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, M.CL., di Jalan Soekarno Hatta 714 Bandung.18
Pengadilan Agama Depok dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tanggal 28 Agustus 2002 yang peresmian operasioanalnya dilakukan oleh Wali Kota Depok di Gedung Balai Kota Depok pada tanggal 25 Juni 2003 dan mulai menjalankan fungsi
16
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agam, h. 339.
17
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakata: Pustaka Pelajar, 2004), cet. V, h. 313.
18
peradilan sejak tanggal 01 Juli 2003 di Jalan Bahagia Raya No.11 Depok dengan menyewa rumah penduduk sebagai gedung operasionalnya.19
Daerah hukum Pengadilan Agama Depok adalah meliputi Pemerintahan Kota Depok sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 Pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa “Daerah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi wilayah Pemerintahan Kota Depok Propinsi Jawa Barat”
Pengadilan Agama Depok yang daerah hukumnya meliputi Wilayah Pemerintahan Kota Depok yang terdiri dari ( sebelum pemekaran adalah 6 Kecamatan dengan 60 Kelurahan) 11 Kecamatan dengan 64 Kelurahan dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dengan beban kerja rata-rat tiap bulan 162 perkara. Dalam melaksanakan tugasnya Pengadilan Agama Depok didukung dengan kekuatan pegawai sebanyak 38 Orang dan secara formal pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Depok harus dipertanggung jawabkan dalam bentuk laporan ke Pengadilan Tinggi Agama Bandung selaku atasan.20
Pengadilan Agama Depok sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan
19
Pengadilan Agama Depok, Visi dan Misi Pengadilan Agama Depok.
20
ekonomi syari’ah dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undang-undang.21
2. Visi dan Misi Peradilan Agama Depok
Tentang visi dan misi yang menjadi pedoman Pengadilan Agama Depok adalah visi dan misi Mahkamah Agung. Visi Mahkamah Agung adalah menjadi lembaga peradilan yang mandiri, efektif, efisien, serta meraih kepercayaan publik, profesional dan memberikan pelayanan hukum yang berkualitas, etis terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat dan mampu menjawab panggilan pelayanan publik.22
Sementara misi yang diemban oleh Mahkamah Agung dan menjadi pedoman pula oleh Pengadilan Agama Depok adalah:
1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-undang dan Peraturan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat.
2. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen
3. Memperbaiki akses pelayanan publik di bidang peradilan pada masyarakat.
4. Memperbaiki kualitas internal pada proses peradilan
21
“Profil Pengadilan Agama Depok”, diakses dari http://www.pa-depok.go.id/portal/profil-pa pada 27 Januari 2010.
22
5. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif dan efisien, bermartabat serta dihormati.
6. Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.23
Berlandaskan pada visi dan misi yang dikembangkan oleh Mahkamah Agung ini, Pengadilan Agama Depok mempunyai visi, yaitu: Mewujudkan Peradilan Agama yang berwibawa dan bermartabat, serta terhormat dalam menegakkan hukum untuk menjamin keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.
Sementara misi Pengadilan Agama adalah, sebagai berikut: 1. Meningkatkan pelayanan penerimaan perkara.
2. membuka akses publik seluas-luasnya.
3. mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana, cepat dan biaya ringan
4. mewujudkan putusan/penetapan yang memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum, dan dapat dilaksanakan (eksekutabel).
5. meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
6. meningkatkan pelaksanan pengawasan terhadap kinerja dan perilaku aparat Pengadilan agar berlaku jujur dan berwibawa serta agar Peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.24
3. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Depok
Wilayah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi Wilayah Kota Depok. Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6° 19’ 00” – 6° 28’ 00” Lintang Selatan dan 1° 60 43’ 00” - 160° 55’ 30” Bujur Timur. Secara geografis, Kota Depok berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada dalam lingkungan Jabodetabek. 25
Bentang alam kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah – perbukitan bergelombang lemah, dengan elavasi antara 50 – 140 meter di atas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15%. Kota Depok sebagai wilayah tertunda di Jawa Barat, mempunyai luas sekitar 200,29 km².
Kondisi geografis dialiri oleh sungai-sungai besar, yaitu sungai Ciliwung dan Cisadane, serta 13 sub satuan wilayah aliran sungai. Di samping itu, terdapat pula 25 Situ. Data luas Situ pada pada tahun 2005 sebesar 169,68 Ha, dengan kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar. Kondisi topografis berupa dataran rendah bergelombang dengan kemiringan lereng yang landai menyebabkan masalah banjir di beberapa wilayah, terutama kawasan
24 Ibid.
25