Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
DEFI USWATUN HASANAH
NIM.1110044100003
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Syari'ah (S.SV) Oleh
DETI USWATUN HASANAH
NIM.
1110044100003KONSENTRASI PERADILAN
AGAMA
PROGRAM
STUDI
HUKUM KELUARGA
ISLAM
F'AKULTAS
SYARI'AH DAN
IIUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF
HIDAYATULLAII
JAKARTA
t43sl20t4
Bimbingan:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Mei 2014. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah.
Jakarta, 12Mei2014 Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua Drs. H.A. Basiq Djalil. S.H.M.A NrP. 19500306197603 1 001
E.
Rosdiana. M.A.Pembimbing
NrP. 1 9690 6102003 t22001 Dr. Hj. Mesraini. M.Ag
NrP. 1 97602t32003 12200t
Dr. Asmawi. M.Ag Penguji I
NrP. 19721010199703 1008 Sri Hidayati. M. Ae
NIP. 1 97 1 02151997 032002
a
Sekretaris
196808121 999031014
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 April 2014
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435/2014 M. x + 87 halaman + 69 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hak perempuan memperoleh nafkah iddah pasca cerai gugat yang diajukan istri dengan alasan KDRT dan poligami liardalam prakteknya di pengadilan, dalam artian putusan tersebut telah sesuai dengan aturan perundang-undangan atau belum. Karena pada saat ini banyaknya kasus perceraian yang diajukan oleh istri yang mana dalam Hukum Acara Perdata disebut dengan cerai gugat. Pada penelitian ini penulis mengambil objek penelitian di Pengadilan AgamaTanjung Pati, Sumatera Barat. Penulis ingin mengetahui bagaimana hak perempuan pasca cerai gugat ini dipraktekan dalam putusan hakim di Pengadilan tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris. Sedangkan untuk penentuan sampelnya dilakukan dengan tekhnik random sampling yang mana disini terdapat 12 putusan Pengadilan Agama Tanjung Pati Tahun 2012 yang berkaitan dengan hak nafkah iddah pada cerai gugat. Sehubungan dengan itu maka respondennya adalah 5 Hakim di Pengadilan Agama Tanjung Pati. Tekhnik analisis yang digunakan adalah analisis normatif kualitatif, yaitu dengan berpedoman pada aturan yang ada dan membandingkan dengan fakta-fakta terhadap putusan- putusan di Pengadilan Agama Tanjung Pati.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada satu putusan pun yang memberikan hak nafkah iddah pada perkara cerai gugat, walaupun dalam proses persidangan hakim membenarkan adanya KDRT, namun putusan tersebut berakibat sang istri tidak mendapatkan hak nafkah iddah.
Kata kunci: Nafkah Iddah, Cerai Gugat
Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, M. Ag
dalam menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan
besar kita Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat dan seluruh umat Islam yang taat akan
ajarannya hingga akhir zaman .
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda H. Firdaus MS dan IbundaDra. Hj
Dewi Warti yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal
lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada
mereka.
Penulis sadar tidak akan dapat menyelesaikan sripsi ini tanpa adanya bantuan
orang-orang yang ada di sekitar penulis. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Dr. H. JM. Muslimin,M.A, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A, dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A selaku Ketua dan
Sekretaris Program StudiHukum Keluarga, serta Bapak Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag,
selaku Dosen Pembimbing akademik. Penulis mengucapkan terima kasih banyak atas
bantuan, perhatian, serta arahan yang selama ini diberikan.
3. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag, dosen pembimbing skripsi, yang senantiasa ikhlas
meluangkan waktunya untuk selalu memberikan arahan dan bimbingan serta motivasi
mengarungi samudra kehidupan.
5. Ketua Pengadilan Agama Tanjung Pati dan para Hakim serta pihak-pihak terkait yang
telah meluangkan waktunya sehingga memudahkan penulis menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari‟ah dan Hukum beserta para
staf yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada Adik-adikku tercinta, Defi Rahmi Fadillah dan Irfanul Habibi, yang menjadi
cermin bagi penulis untuk menjadi kakak yang baik dan bijak sehingga bisa menjadi
contoh. Terima kasih telah memberi semangat dan dukungan. Karena berkat do‟a, kasih
sayang dan motivasi dari mereka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada Nenek, Kakek, Etek dan Pak Etek, Uni dan Uda keluarga besar di Payakumbuh,
yang telah memberikan bantuan baik secara moril maupun materil kepada ananda selama
ini.
9. Teman-teman seperjuangan Peradilan Agama A angkatan 2010, terutama the winnie
Nisa Oktafiani,Wardhatul Jannah,Nurul Hikmah, Dede Umu Kulsum, Restia Gustiana,
Eka Dita Martiana, dan teman-teman semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu. Terima kasih telah mengisi menjadi partner Penulis selama ini dan terima juga
atas semangat yang telah ditularkannya kepada Penulis
10.Teman-Teman KKN Langit 13, Gengker dan lainnya, terima kasih atas hari-hari yang
Eka) , suka dan duka hidup di perantauan kita lalui bersama di kosan
Demikianlah ucapan terima kasih penulis haturkan kepada seluruh pihak, semoga
Allah Swt membalas dan melipatgandakan jasa dan kebaikan semuanya. Akhir kata, dengan
kerendahan hati semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan,
terutama bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Pepatah klasik nan sederhana senantiasa bergema, tak ada gading yang tak retak. Untuk
itu, penulis mohon maaf apabila dalam penyusunan tugas akhir ini banyak kekurangan dan
kealfaan.Semoga Allah swt senantiasa melimpahkan rahmatdan hidayah-Nya kepada kita semua.
Amin.
Ciputat, 21 April 2014
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
D. Metode Penelitian ... 11
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ... 14
F. Sistematika Penelitian ... 16
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG CERAI GUGAT A. Pengertian Cerai Gugat dan Khulu‟ ...17
B. Proses Penyelesaian Perkara Cerai Gugat dan Khulu‟ di Pengadilan Agama ...24
C. Nafkah Iddah dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ... 48
D. Komparasi antara Pendapat Fuqaha Mazhab dan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia tentang Hak Nafkah Iddah. ... 53
BAB IV HAK NAFKAH IDDAH PASCA CERAI GUGAT DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TANJUNG PATI A. Profil Pengadilan Agama Tanjung Pati ... 59
B. Putusan Pengadilan Agama Tanjung Pati tentang Nafkah Iddah Pada Perkara Cerai Gugat Tahun 2012 ... 64
C. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tanjung Pati Tentang Hak Nafkah Iddah Pada Cerai Gugat ... 76
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...81
B. Saran ... 82
DAFTAR PUSTAKA ...83
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam
(rahmatan lil’alamin) diturunkan oleh Allah SWT sebagai agama terakhir merupakan
agama yang komprehensif, dimana ajarannya lengkap mengatur semua sendi-sendi
kehidupan manusia. Hal ini sangat wajar karena Islam merupakan agama yang
diturunkan Tuhan Pencipta alam yang mengetahui keadaan, kebutuhan dan
kemampuan semua makhluknya dan Allah telah menciptakan manusia tentu
mengetahui berbagai kebutuhan manusia sekaligus menyediakan fasilitas untuk
pemenuhan kebutuhan tersebut yang diiringi dengan aturan-aturan mainnya, agar
tidak terjadi benturan-benturan kebutuhan antar sesama manusia sehingga terwujud
ketertiban di bumi-Nya. Di antara kebutuhan-kebutuhan manusia yang diatur cara
pemenuhannya adalah kebutuhan biologis yang menuntut manusia untuk saling
mencintai,memiliki pasangan hidup dan sekaligus melahirkan keturunan dari
pasangannya tersebut. Hal ini diatur melalui Perkawinan. 1
Perkawinan ini juga merupakan syariat Islam yang tujuannya bukan saja
untuk menyalurkan instink seksual manusia dan meletakkannya pada jalan yang
1
benar, tetapi berfungsi juga sebagai sarana reproduksi manusia untuk mengagungkan
nama Allah. Dan Nabi saw juga menganjurkan umatnya untuk menikah “ nikah
adalah ajaranku, barang siapa yang tidak mengikuti ajaranku, maka ia bukan
umatku.”2
Perkawinan adalah sebuah gerbang untuk membentuk keluarga bahagia. Hal
ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam pasal 1 disebutkan: “Perkawinan adalahikatan lahir bahtin antara seorang
pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”3
Definisi perkawinan diatas sarat dengan muatan filosofis. Istilah kekal dalam
definisi tersebut dapat dimaknai bahwa tujuan perkawinan adalah untuk
selama-lamanya. Oleh karena itu sebagaimana yang disebutkan oleh Anik Farida bahwa salah
satu unsur perekat perkawinan adalah adanya keabadian atau kelanggengan (idea of
permanence) yaitu keinginan untuk hidup bersama dari pasangan sampai kematian
menjemput.4
Untuk menjaga kelanggengan sebuah perkawinan masing-masing pasangan
berkewajiban untuk selalu memelihara prinsip-prinsip perkawinan. Diantara prinsip
tersebut adalah mawaddah wa rahmah atau cinta dan kasih sayang (Q.S. Al
Ruum/30: 21), saling melengkapi dan melindungi (Q.S.Al-Baqarah/2:187),
2
Yayan Sopyan, Islam-Negara Tranformsi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional(Ciputat: UIN Jakarta, 2011), h. 172.
3
Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Pokok Perkawinan (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) , h. 1.
4
mu„asyarah bil ma’ruf atau memperlakukan pasangan dengan sopan (Q.S. An
Nisa‟/4: 19)
Memelihara prinsip perkawinan adalah kewajiban bersama suami-istri.
Dengan demikian peran untuk membangun dan mempertahankan keluarga bahagia
menjadi kewajiban kolektif suami-istri dan anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut. Dalam suatu lembaga perkawinan setiap pasangan tidak hanya
dituntut untuk melakukan serangkaian kewajiban, tetapi setiap pasangan juga
memiliki sejumlah hak.5
Ikatan pertama pembentukan rumah tangga telah dipatri oleh ijab kabul yang
dilakukan waktu akad nikah. Ikatan janji yang terbentuk antara suami istri tersebut
bukanlah sembarang janji. Wahyu Ilahi menyebutnya bukan pula menggunakan
kata-kata yang biasa seperti ع atau kata ع yang keduanya berarti ikatan janji, tetapi
kata yang digunakan adalah ثيم yakni suatu istilah yang khusus dipakai untuk
ikatan janji yang penting seperti perjanjian dua kaum atau dua bangsa, dan untuk
perjanjian suci seperti perjanjian antara Allah swt dan hamba-hambaNya.6 Melihat
begitu pentingnya ikatan antara suami dan istri itu, wahyu ilahi memakai istilah ثيم
ظي غ ( ikatan yang kuat).7
5
Anik Farida, dkk, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian, h. 4.
6
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995) h. 53
7
Namun terkadang dalam menjalankan bahtera rumah tangga itu tidak selalu
mulus, pasti ada kesalahfahaman, kekhilafan dan pertentangan. Hal ini sering terjadi
karena pernikahan merupakan pertemuan antara dua jiwa yang berbeda latar
belakang, adat istiadat, pendidikan, prilaku dan kebiasaan, sehingga manakala satu
dengan yang lainnya sudah tidak ada saling pengertian dalam perbedaan- perbedaan
tersebut, maka muncullah masalah dalam rumah tangga. 8
Permasalahan yang muncul dalam keluarga biasanya adanya diawali dengan
percekcokan.Terkadang percekcokan itu perlu ada di tengah dinamika keluarga
sebagai bumbu keharmonisan dan variasi rumah tangga. Tentunya dalam porsi yang
tidak terlalu banyak.9Percekcokan dalam menangani permasalahan keluarga ini, ada
pasangan yang dapat mengatasinya, dalam artian mereka mereka bersabar dan
sanggup menahan diri dan menasehati satu sama lain. Namun ada juga keluarga yang
tidak dapat mengatasi problematika ini sehingga berakibat adanya konflik,
masing-masing pihak tetap bersikeras pada pendiriannya untuk berpisah, dan upaya
rekonsiliasi pun gagal ditempuh, pada kondisi ini perceraian tidak dapat dihindarkan.
Melihat kenyataan bahwa perceraian merupakan suatu hal yang sama sekali
tidak bisa dihindari dalam kehidupan perkawinan, maka Islam memberikan legislasi
akan adanya perceraian meskipun sangat diajurkan untuk ditinggalkan. Hal ini
tampak pada sabda Nabi: ( اط ا ها ى ع اح ا ضغبأ ) “Perkara halal yang dibenci
Allah adalah perceraian”. Dengan demikian perceraian adalah jalan terakhir yang
8
Adil Samadani, Kompetensi Pengadilan Agama Terhadap Tindak Kekerasan, h. 2.
9
dapat diambil oleh suami-istri jika tidak ada upaya lain demi menghindari bahaya
yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang menegaskan bila
seseorang dihadapkan pada suatu dilema, maka akan dibenarkan untuk memilih
melakukan kemudharatan yang paling ringan diantara beberapa kemudaratan yang
sedang dihadapinya.10
Perceraian menurut hukum agama Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal
38 dan Pasal 39 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan telah dijabarkan dalam Pasal
14 sampai Pasal 18 serta Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No
9 Tahun 1975 mencakup cerai talak dan cerai gugat.11 Dalam memahami kasus cerai
gugat atau talak ini, pemahaman yang paten berlaku adalah ketika perceraian itu
diajukan oleh suami, maka jenis perkaranya cerai talak, di mana suami mohon izin
untuk ikrar talak raj’i di muka sidang Pengadilan Agama. Sementara ketika
perceraian itu diajukan oleh pihak istri, maka jenis perkaranya cerai gugat, di mana
istri meminta hakim untuk memutus perkawinannya, selajutnya putusan itu berbentuk
ba’in sughra.
Terdapat perbedaan akibat hukum antara cerai talak dan cerai gugat,
sebagaimana yang tercantum dalam KHI pasal 149,12 dalam pasal-pasal tersebut
10
Anik Farida, dkk, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian, h. 6.
11
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta:Sinar Grafika, 2013), h. 7.
12
terlihat adanya perbedaan akibat hukum antara cerai talak dan cerai gugat, adalah
dimana cerai talak sang istri berhak mendapat mut‟ah dan hak nafkah iddah,maskan
serta kiswah dari suami, kecuali jika ia nusyuz (KHI pasal 152)13, sementara pada
cerai gugat aturan tersebut tidak ada.
Mengenai alasan-alasan apa saja yang dapat membolehkan terjadinya
perceraian, yang mana itu menjadi acuan hakim ketika memutuskan perkara
perceraian, terdapat dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, baik dalam
KHI, PP No 9 Tahun 1975 pasal 19, maupun Pedoman dalam Pelaksanaan Teknis
Peradilan lainnya. Sehingga dengan adanya aturan ini dapat memperkecil terjadinya
perceraian antara suami-istri. Akan tetapi permasalahan yang dihadapi di lapangan
tidak bisa semua disamaratakan atau diputuskan dengan aturan hukum yang sudah
ada. Sebagian besar aturan tersebut belum melindungi pihak perempuan ketika ia
mengajukan cerai gugat dikarenakan penyebab-penyebab yang ada pada suaminya.
Sementara ia tidaklah termasuk kepada golongan istri yang nusyuz. Akan tetapi
menurut Undang-Undang Perkawinan mereka tetap digolongkan kepada istri yang
nusyuz, sehingga tidak berhak atas hak nafkah iddah dan hak-hak pasca perceraian
lainnya.
Masalah nafkah iddah menjadi salah satu hal menarik untuk dikaji terutama
dalam perkara cerai gugat. Hal ini dikarenakan belum adanya aturan yang pasti dan
umur 21 tahun. Lihat Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2003), h. 69.
13
tegas dalam menetapkan hak nafkah iddah pada perkara cerai gugat, sehingga
sebagian hakim tidak berani mengambil keputusan di luar aturan yang ada, akan
tetapi hakimMahkamah Agung telah berani melakukan improvisasi hukum,dengan
menetapkan uang hak nafkah iddah kepada istri yang mengajukan cerai gugat. Hal ini
terdapat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No 137K/AG/2007 dan No
276K/AG/2010. Kedua yurisprudensi tersebut menetapkan adanya hak nafkah iddah
bagi istri yang mengajukan cerai gugat dimana dalam proses persidangan ia tidak
terbukti telah berbuat nusyuz. Tentu hal ini bertentangan dengan pasal 149 KHI yang
menyatakan bahwa tidak ada mut‟ah dan nafkah iddah bagi istri yang mengajukan
cerai gugat dan khulu‟, karena ia dinilai melakukan nusyuz, di sini sang hakim
menggunakan Hak ex officionya untuk menciptakan adanya keadilan bagi istri atau
pemenuhan minimal hak-hak istri pasca perceraian.
Di dalam buku II Pedoman Teknis Pengadilan Agama ditentukan bahwa apabila
gugatan cerai dengan alasan adanya kekejaman atau kekerasan suami, hakim secara
ex officio dapat menetapkan nafkah iddah.
Pengadilan Agama Tanjung Pati adalah salah satu pengadilan yang berwenang
dalam memutus perkara cerai gugat di Kab 50 Kota. Menurut Laporan Perkara yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama Tanjung Pati pada tahun 2012 terdapat
617 perkara. Dari 617 perkara tersebut 421 perkara adalah dalam bentuk perkara cerai
gugat dan 196 perkara dalam bentuk perkara cerai talak. Berdasarkan data tersebut
Pati dalam perkara cerai gugat, dalam artian apakah Pengadilan Tanjung Pati ini
mempraktekkan yurisprudensi tersebut atau tidak.
Berdasarkan uraian singkat di atas penulis tertarik untuk membahas masalah
ini dan merumuskannya ke dalam sebuah karya tulis dalam bentuk skripsi dengan
judul “HAK NAFKAH IDDAH PASCA CERAI GUGAT DAN
IMPLEMENTASINYA DI PENGADILAN AGAMA TANJUNG PATI”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Dalam kasus cerai gugat dengan alasan apapun yang diajukan sang istri, baik
karena kekerasan dalam rumah tangga, poligami tanpa izin, tidak diberi nafkah
selama beberapa waktu. Sesuai dengan aturan yang ada baik dalam KHI maupun
UUP, hakim akan langsung menjatuhkan talak ba’in sughra, akibat dari talak ini sang
istri tidak akan mandapat hak nafkah iddah, mut‟ah, kiswah dan maskan.Kecuali istri
dalam keadaan hamil, karena istri yang dalam keadaan hamil maka ia akan
mendapatkan hak nafkah iddah, mut‟ah, maskan dan kiswah. Pada beberapa putusan
pengadilan tidaklah semua istri yang mengajukan cerai gugat itu tergolong kepada
istri yang nusyuz. Kadang-kadang malah sebaliknya suamilah yang menyebabkan
istri mengajukan cerai gugat, seperti adanya kekerasan dalam rumah tangga. Di sini
istri berusaha untuk menuntut haknya.
Di sini akan dilihat bagaimana hakim Pengadilan Agama Tanjung Pati Kab 50
Pengadilan Agama Tanjung Pati tetap tidak memberikan hak nafkah kepada istri yang
mengajukan cerai gugat dalam keadaan tidak hamil, akibat KDRT (sesuai dengan
aturan KHI) sehingga menyebabkan ketidakadilan bagi istri. Atau hakim Pengadilan
Agama Tanjung Pati memberikan putusan yang berbeda dengan memberikan hak
nafkah iddah bagi istri yang menggugat cerai suaminya dengan alasan KDRT.
Objek penelitian ini hanya difokuskan untuk menganalisis hak istri yang
mengajukan cerai gugat namun tidak dalam keadaan hamil memperoleh nafkah iddah
dalam putusan Pengadilan Agama Tanjung Pati selama tahun 2012
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis rumuskan dalam
bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana hak perempuan memperoleh nafkah iddah pasca cerai gugat
menurut fuqaha mazhab dan Peraturan Perkawinan di Indonesia.
2. Bagaimana hak perempuan dalam memperoleh nafkah iddah pasca cerai gugat
dipraktekkan di Pengadilan Agama Tanjung Pati.
3. Sejauh mana kebebasan hakim dalam menafsirkan ketentuan
perundang-undangan tentang hak nafkah iddah pasca cerai gugat dalam upaya
menegakkan keadilan.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengkaji bagaimana hak perempuan memperoleh nafkah iddah pasca
cerai gugat menurut fuqaha mazhab dan Peraturan Perkawinan di Indonesia.
2. Untuk menjelaskan bagaimana hak perempuan dalam memperoleh nafkah
iddah pasca cerai gugat dipraktekkan di Pengadilan Agama Tanjung Pati.
3. Untuk mengetahui sejauh mana kebebasan hakim dalam menafsirkan
ketentuan perundang-undangan tentang hak nafkah iddah pasca cerai gugat
dalam upaya menegakkan keadilan
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat baik secara teoritis maupun praktis,
antara lain:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
yang berharga untuk penulis maupun praktisi-praktisi hukum, terutama
hakim-hakim di Pengadilan Agama Tanjung Pati dalam memecahkan
masalah-masalah yang muncul akibat perceraian, fokusnya mengenai cerai
gugat.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam merumuskan
D. Metode Penelitian. 1. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis empiris. Yang dimaksud dengan pendekatan yuridis-empiris
adalah: penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan
hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi
dalam masyarakat.
Metode pendekatan yuridis empiris merupakan cara prosedur yang
dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder
terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap
data primer di lapangan.
Pendekatan yuridis empiris ini dimaksudkan untuk melakukan penjelasan
atas masalah yang diteliti dengan hasil penelitian yang diperoleh dalam hubungan
dengan aspek hukum dan realita yang terjadi menyangkut hak nafkah iddah pada
cerai gugat di Pengadilan Agama Tanjung Pati.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah jenis penelitian kualitatif yaitu
penelitian untuk mengungkapkan rahasia sesuatu dilakukan dengan cara menghimpun
data dalam keadaan sewajarnya, mempergunakan cara kerja yang sistematis, terarah
Karena yang menjadi objek kajian adalah putusan hakim, maka penelitian ini
juga akan terfokus pada isi putusan. Oleh karenanya peneliti akan menggunakan
content analysis.14
Dengan teknik ini, maka data kualitatif tekstual yang diperoleh akan dipilah,
dilakukan pengelompokan yang sejenis, selanjutnya dianalisa isinya secara kritis
untuk mendapatkan suatu formulasi analisa mengenai putusan hakim Pengadilan
Agama Tanjung Pati tahun 2012 mengenai hak nafkah iddah
3. Subjek dan Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Tanjung Pati. Adapun yang
menjadi populasi dalam penelitian ini adalah putusan Pengadilan Agama Tanjung
Pati terkait hak nafkah iddah pada cerai gugat. Sedangkan penentuan sampelnya
dilakukan dengan tekhnik random sampling15 terhadap putusan Pengadilan Agama
Tanjung Pati yang berkaitan dengan hak nafkah iddah pada cerai gugat, dan putusan
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sehubungan dengan itu maka
respondennya adalah 5 orang Hakim Pengadilan Agama Tanjung Pati.
14
Content Analisis atau Kajian Isi menurut Holsti adalah teknik yang digunakan untuk manarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis. Lihat Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2011), h. 220. Boy Sabarguna mendefinisikan content analisis dengan proses memilih, membandingkan, menggabungkan, memilah berbagai pengertian, hingga ditemukan yang relevan. Lihat Boy Sabarguna, Analisis Data pada Penelitian Kualitatif, (Jakarta: UIP, 2008), h. 66.
15
4. Metode Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan sebagai referensi untuk menunjang keberhasilan penelitian
ini berupa literatur-literatur fiqh, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Inpres
No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-Undang No 3 tahun
2006 Tentang Peradilan Agama, Yurisprudensi Mahkamah Agung No 137
K/AG/2007 dan No 276 K/AG/2010. Serta artikel atau majalah-majalah yang ada
kaitannya dengan masalah nafkah iddah pada cerai gugat
b. Studi Lapangan
Studi lapangan ini dilakukan dengan dua tekhnik berikut
1. Studi dokumen untuk memperoleh berkas dalam bentuk Putusan Pengadilan
Agama Tanjung Pati dari tahun 2012 yang telah Berkekuatan Hukum Tetap
terkait dengan hak nafkah iddah pada cerai gugat
2. Wawancara yang dilakukan kepada hakim yang menyelesaikan perkara
tentang hak nafkah pada cerai gugat di Pengadilan Agama Tanjung Pati.
Wawancara ini dilakukan dengan metode Wawancara tak terstruktur (open–
ended) yaitu wawancara dengan pertanyaan yang bersifat terbuka dimana
responden secara bebas menjawab pertanyaan tersebut.16Wawancara ini
digunakan untuk mengungkap perasaan-perasaan, dan pikirandan
alasan-alasan tingkah lakunya, atau disebut juga“ Informasi emic“17
16
Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, t.th), h. 233.
17
5. Metode Analisis Data
Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah
terkumpul, akan digunakan analisis normatif kualitatif. Normatif18 karena peneliti
bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan
kualitatif yang dimaksud yaitu analisis yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas
dan informasi yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus (sehingga tidak
dapat disusun ke dalam suatu struktur klasifikatoris)19 dari responden. Memahami
kebenaran yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pertanyaan kepada sejumlah
responden baik secara lisan maupun secara tertulis selama dalam melakukan
penelitian.
6. Teknik Penelitian
Adapun tekhnik penulisan penelitian skripsi ini berpedoman kepada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Setelah penulis melakukan penelusuran terhadap karya ilmiah yang bertema
tentang hak nafkah iddah pada cerai gugat di Perpustakaan Fakultas Syari‟ah dan
Hukum, penulis menemukan dua skripsi yang berkaitan. Dua skripsi yang terkait
18
Disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian ini hukum MA dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam perundang-undangan (law in books). Lihat, Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), h. 118.
19
akan dikemukakan oleh penulis secara ringkas untuk mengetahui sisi perbedaan
dengan skripsi penulis.
Pertama, skripsi Hanif Bagus Azhar (107044202413), dengan judul “Nafkah
Iddah bagi Mantan Istri Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (Analisis Putusan
Perkara Nomor 1038/pdt.G/2008/PA.Jt)” pada tahun 2012. Penelitian yang digunakan
adalah analisis deskriftif yaitu menggambarkan isi putusan Pengadilan Agama
Jakarta Timur mengenai hak nafkah bagi mantan istri akibat adanya kekerasan
dalam rumah tangga. Hasil penelitiannya dalam pertimbangan sang hakim tidak
menyebutkan secara jelas bahwa perkara ini adalah perkara kekerasan dalam rumah
tangga. Padahal dalam petitumnya telah disebutkan oleh penggugat bahwa tergugat
sering memukul penggugat.Berbeda dengan skripsi penulis, dalam skripsi ini penulis
menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan mengambil putusan secara
ramdom sampling. Dan hak nafkah iddah pada perkara cerai gugat tidak hanya
didasarkan pada alasan kekerasan dalam rumah tangga.
Kedua, Skripsi Noor Baayah binti Abu Bakar (107044103904), dengan judul
“Hak-Hak Istri Akibat Perceraian Perbandingan Imam Syafii dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI)” pada tahun 2011. Penelitian yang digunakan adalah perbandingan
antara pendapat Imam Syafi‟i dan Kompilasi Hukum Islam mengenai hak-hak
mantan istri akibat putusnya perceraian secara umum. Baik mahar, nafkah iddah,
mut‟ah, kiswah dan lainnya. Hasil penelitiannya memaparkan persamaan dan
perbedaan antara pendapat Imam Syafi‟i dan KHI mengenai hal tersebut, yang mana
perbedaannya adalah dalam hal pembagian harta bersama. Sedangkan skripsi yang
akan penulis tulis secara khusus tidak membandingkan pendapat Imam Syafi‟i dan
KHI, tetapi antara aturan perundang-undangan mengenai hak nafkah iddah pada cerai
gugat dan melihat realitanya di Pengadilan Agama Tanjung Pati.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun dengan sitematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, yang meliputi: latar belakang masalah,pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan
(review) kajian terdahulu, sistematika penulisan. Unsur-unsur ini dikemukakan
diawal sebagai pedoman dari penelitian yang akan dilakukan.
Berikutnya, Bab II, akan mengupas kajian teoritis tentang cerai gugat dan
khulu‟, baik dalam perspektif perundang-undangan perkawinan di Indonesia maupun
dalam aturan hukum Islam. Di dalamnya mencakup pengertian, proses penyelesaian
perkara sampai akibat hukumnya. Bagian ini penting untuk dibahas mengingat
bahwa tiap-tiap putusnya perkawinan memiliki dampak yang berbeda.
Bab III menguraikan tentanghak perempuan memperoleh nafkah iddah
menurut pandangan Imam Mazhab dan juga peraturan perundang-undangan
perkawinan di Indonesia dan juga komparasi antara pandangan Fuqaha Mazhab dan
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia tentang hak nafkah iddah
Bab IV adalah bagian inti penelitian ini, yaitu bahasan mengenai
Tanjung Pati tahun 2012. Disini akan dijelaskan bagaimana implementasi aturan
perundang-undangan mengenai hak nafkah iddah pada cerai gugat di Pengadilan
Agama Tanjung Pati dengan menganalisis putusan-putusan yang ada mengenai hal
ini. Di sini juga akan dipaparkan seberapa jauh hakim menggunakan kebebasannya
dalam memutuskan perkara mengenai cerai gugat dengan melihat alasan yang
diajukan sang istri, dengan melampirkan hasil wawancara dari hakim di Pengadilan
Agama Tanjung Pati.
A. Pengertian Cerai Gugat dan Khulu’
Setiap orang melaksanakan perkawinan dengan harapan terwujudnya kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, namun dalam realitanya hal
tersebut sangat sulit untuk diwujudkan, bahkan banyak terjadi kehidupan keluarga
atau kehidupan rumah tangga yang tidak bahagia. Dalam Islam, kehidupan suami istri
yang mengalami kekacauan atau kebencian akibat tidak adanya kasih sayang,
pergaulan yang tidak baik atau masing-masing pihak tidak dapat menjalankan
kewajibannya dengan baik, maka dalam hal ini Islam berpesan agar bersabar,
sanggup menahan diri dan menasehati satu sama lain. Tetapi terkadang kekacauan
atau kebencian itu semakin membesar, perpecahan semakin sangat,penyelesaiannya
menjadi sulit, kesabaran menjadi hilang.20Dalam hal ini Islam membenarkan
putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga.
Istilah perceraian terdapat dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
yang memuat ketentuan fakultatif bahwa “perkawinan dapat putus karena kematian,
perceraian, dan atas putusan pengadilan”. Begitu juga dengan KHI,akan tetapi
pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan-aturan yang lebih rinci.
Seperti dalam pasal 114 menyebutkan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan
karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
20
Menurut Abdul Kadir Muhammad sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad
Syaifuddin, putusnya perkawinan karena kematian disebut dengan “cerai mati‟,
sedangkan putusnya perkawinan karena perceraian ada 2 istilah, yaitu: cerai gugat
(khulu‟) dan cerai talak.21
Pengertian dari cerai gugat yaitu isteri menggugat suaminya untuk bercerai
melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan
dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (isteri) dengan tergugat.22
Abdul Manan mendefinisikan cerai gugat sebagaimana yang terdapat dalam buku
Aneka Permasalahan Hukum Perdata Islam di Indonesia yaitu cerai yang didasarkan
atas adanya gugatan yang diajukan oleh seorang istri agar perkawinan dengan
suaminya menjadi putus.23
Cerai gugat terjadi karena adanya kemauan dari pihak istri, dengan alasan
perkawinannya tidak dapat dipertahankan lagi. Cerai gugat dapat terjadi jika ada
keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak istri, karena ia benci kepada suaminya.
Cerai gugat dalam Islam dikenal dengan istilah khulu‟/talak tebus, artinya talak
yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak istri kepada suami.Khulu‟
yang terdiri dari lafaz kha-la-„a yang berasal dari kata يِث ا ع خ(menanggalkan
21
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian h. 16.
22
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia(Palu: Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2002), h. 906.
23
pakaian).24Dihubungkannya kata khulu‟dengan perkawinan karena dalam Al qur‟an
disebutkan bahwa suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu merupakan
pakaian bagi suaminya dalam surat Al Baqarah ayat 187:
مت ا م
“Mereka merupakan pakaian bagimu dan kamu merupakan pakaian bagi mereka”
Penggunaan kata khulu‟ untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai
pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu dari suaminya. Dalam arti
istilah hukum dalam beberapa kitab fiqh khulu‟ diartikan dengan:
ع ا ا اط ا ظ ب ض عب ف
“Putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan ucapan
thalaq atau khulu’.25
Dalam buku Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka fiqh Al qadha,
Aris Bintania menyebutkan bahwa khulu‟menurut istilah fiqh berarti menghilangkan
atau membuka buhul akad nikah dengan kesediaan istri membayar tebusan kepada
pemilik akad (suami) dengan menggunakan perkataan cerai atau khulu‟. Khulu‟
merupakan penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari
ikatan suaminya. Khulu‟ disebut juga dengan talak tebus yang terjadi atas persetujuan
suami istri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada istri dengan tebusan harta
atau uang dari pihak istri yang menginginkan cerai dengan cara itu. Penebusan atau
24
Ibnu Manzur, Lisanul Arab juz 4, (Beirut: Darehie Al Tourath Al- Arabi, t.th) h. 178. Dan juga A.W. Munawwir. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Pentashih, Ali Ma‟sum & Zainal Abidan Al Munawwir, ed. 12(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 360.
25
pengganti yang diberikan istri kepada suami disebut dengan iwadh.Iwadh dapat
berupa pengembalian mahar atau sejumlah barang, uang atau sesuatu yang dipandang
mempunyai nilai yang telah disepakati kedua suami istri.26
Sedangkan menurut pasal1 huruf i Kompilasi Hukum Islam, khulu‟ adalah
perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadh
kepada dan atas persetujuan suaminya. Menurut pasal 124 Kompilasi Hukum Islam
khulu‟ harus berdasarkan atas alasan perceraian
Untuk maksud yang sama dengan kata khulu‟ itu ulama menggunakan
beberapa kata, yaitu: fidyah, shulh, mubaraah.27 Walaupun dalam makna yang sama,
namun dibedakan dalam dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan.
Khulu‟ hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah. Dasar
kebolehannya terdapat di dalam Al Qur‟an dan terdapat pula dalam hadist Nabi.
Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur‟an surat Al Baqarah ayat 229:
ف ا ح ي ي اأ مت خ ف
ب تفا يف ي ع ج ا
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan istri untuk menebus dirinya.”
Dalam Undang-Undang Nomor1 Tahun 1974 maupun Peraturan
PemerintahNomor 9 Tahun 1975, istilah khulu‟ ini tidaklah ditemukan,Pengadilan
26
Aris Bintaria,Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka fiqh Al qadha,(Depok : PT Raja Grafindo Persada, 2012),h. 134.
27
Agama hanya mengenal adanya dua jenis perkara perceraian, yaitu perkara
permohonan cerai talak dan perkara cerai gugat. Dalam perkara cerai gugat
disebutkan bahwa jika istri ingin memutuskan ikatan perkawinan dengan suaminya ia
bisa menggugat cerai suaminya melalui pengadilan yang akan memutuskan hubungan
perkawinan keduanya.28 Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009. Disini terlihat bahwa Undang-Undang tersebut tidak membedakan antara cerai
gugat dan khulu‟ sehingga mereka tidak menjelaskan pasal-pasal mengenai hal
tersebut.
Berbeda halnya dengan Kompilasi Hukum Islam, KHI membedakan antara
cerai gugat dengan khulu’.Jika sebelumnya istri ingin memutuskan hubungan
perkawinan dengan suaminya mengajukan gugat, maka dalam KHI seorang istri juga
bisa mengajukan perceraian dengan jalan khulu‟ (talak tebus) kepada dan dengan
persetujuan suaminya. Namun berlakunya acara perceraian dengan cara khulu‟ (talak
tebus) tidak melahirkan jenis perkara perceraian yang baru di Pengadilan Agama,
khulu‟ menjadi bagian dari perkara cerai gugat dengan tambahan putusan mengenai
tebusan yang harus dibayar oleh istri dan perceraian menjadi dengan jatuhnya talak
khulu’ dari suami.
Akan tetapi perceraian dengan jalan khulu‟ (talak tebus) tidak justru
mempermudah seorang istri untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan
28
suaminya, ia harus tetap memiliki alasan-alasan sebagaimana yang harus juga ia
buktikan dalam cerai gugat biasa, bahkan konsekuensinya ia harus membayar tebusan
kepada suaminya.
Dari paparan diatas terlihat adanya persamaan dan perbedaan di antara
keduanya dalam pandangan KHI. Persamaannya adalah keinginan untuk bercerai
sama-sama berasal dari pihak isteri dan alasan-alasan cerai gugat maupun khulu‟ pun
harus sesuai dengan alasan-alasan yang terdapat dalam pasal 116 KHI.Sementara
perbedaannya: pertama, dilihat dari wajibnya disediakan iwadh oleh istri, dalam
khulu‟ iwadh harus ada, sementara pada cerai gugat tidak perlu membayar uang iwad
(uang tebusan).29Kedua, dari bentuk putusannya, cerai gugat biasanya putusannya
berbentuk talak satu ba‟in sughra, dan kalau cerai gugat dengan alasan pelanggaran
taklik talak dengan talak satu khul’i. Sementara pada khulu‟ apapun alasannya
putusannya berbentuk talak satu khul’i.30 Ketiga, hak istri untuk menerima nafkah
iddah, pada khulu‟ istri tidak berhak atas nafkah selama masa iddah yang ia jalani,
pada cerai gugat selama menjalani masa iddah ia akan tetap memperoleh nafkah
iddah dari mantan suaminya. 31
Melalui cerai gugat atau khulu‟ ini, maka perempuan memiliki hak yang
setara dengan laki-laki dalam institusi perkawinan yang dapat membebaskan istri dari
29
Aris Bintaria,Hukum Acara Peradilan Agama dalam,h.144.
30
Mahkamah Agung, Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama,Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Buku II(Jakarta: Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, 2010), h.155.
31
tekanan yang dialaminya.32 Hanya saja yang perlu dikritisi adalah bentuk penerapan
cerai gugat ini masih terdapat sebuah ketidakadilan jika dibandingkan dengan talak.
Apabila si istri mengajukan cerai gugatnya ke pengadilan, maka yang harus terlebih
dahulu disiapkan adalah biaya untuk menebus dirinya. Dibandingkan dengan cerai
talak, di mana sang suami tanpa sebuah tebusan untuk dirinya.
B. Proses Penyelesaian Perkara Cerai Gugat dan Khulu’ di Pengadilan Agama
Salah satu azas-azas hukum perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 adalah azas mempersukar atau mempersulit proses perceraian, yang disebut juga
dengan azas preventif. 33 Azas mempersulit proses hukum perceraian juga terkandung
dalam pasal 39 ayat [2] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang memuat
ketentuan imperatif bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,
bahwa antara suami-istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami-istri. Kemudian
ketentuan imperatif dalam pasal 39 ayat [2] UU Nomor 1 Tahun 1974 telah
dijabarkan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang
menentukan alasan-alasan hukum perceraian.34
32
Anik Farida, dkk, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian,h. 33.
33
Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah (Jakarta: Penamadani,2004), h. 222.
34
Pasal 19 Peraturan Pemerintah diatas diulangi dalam Kompilasi Hukum Islam
dengan rumusan yang sama, hanya menambahkan dua anak ayatnya, yaitu:
1. Suami melanggar taklik talak.35
2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
Taklik talak adalah janji atau pernyataan yang dibacakan suami setelah akad
nikah. Kalau suami melanggar janji yang telah diucapkan dan istrinya tidak rela bisa
mengadu ke pengadilan untuk mengajukan perceraian. Jadi taklik talak sebagai
sebuah ijtihad baru sangat penting untuk melindungi hak-hak wanita.36 Pada
prinsipnya taklik talak adalah suatu penggantungan terjadinya jatuhnya talak terhadap
peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya antara
istri. (6)Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
35
Taklik talak ini telah lazim diperjanjikan dalam perkawinan dewasa di Indonesia, dimana setiap mempelai laki-laki setelah akad nikah mengucapkan ijab kabul, mengucapkan lagi ikrar taklik
talak yang berbunyi sebagai berikut:“apabila saya (suami) meninggalkan istri saya 6 bulan berturut-turut, tanpa memberi kabar dan memberi nafkah kepada istri saya”, atau “apabila saya (suami) memukul/ menyakiti istri saya melampaui batas dan berbekas”, atau “ apabila saya
(suami) menambah istri saya, maka apabila istri saya tidak ridho datang kepada saya atau pihak yang berwajib atau Kantor Urusan Agama atau mesjid dan membayar uang iwadh sebesar yang ditentukan, maka jatuhlah talak saya (suami) satu”. Lebih lanjut baca Muhammad Syaifuddin dkk, Hukum Perceraian, h. 141.
Memang tidak jelas kapan metode perceraian taklik talak ini pertama kali dipraktekkan, sebagaimana yang dikutip oleh Ratna Lukito dalam bukunyaseorang ilmuan belanda, Jan Prins, sudah mengklaim pada tahun 1951 institusi taklik ini cenderung untuk mempertahankan beberapa hak tradisional istri, berasal dari dekret yang dikeluarkan oleh seorang raja Mataram pada abad ketujuh belas Masehi. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu terhadap institusi taklik talak ini, membuktikan adanya percampuran elemen-elemen yang diderivasikan dari hukum adat dan hukum Islam. Ratna Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islamdan Adat di Indonesia (Jakarta: INIS, 1998) h. 78.
36
suami istri. Secara prinsipil pernyataan dalam taklik talak berupa ikrar dari suami dan
hanya mengikat pada suami istri itu sendiri. Lembaga taklik talak disamping untuk
menjaga kerukunan hubungan suami istri juga untuk mengimbangi hak talak yang
ada pada suami.
Undang-Undang Perkawinan tidak menyinggung murtad sebagai alasan
perceraian sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam murtad dijadikan alasan
perceraian. Artinya jika salah satu keluar dari agama Islam, maka suami atau istri
dapat mengajukan permohonan cerai kepada pengadilan.
Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa perceraian harus dilakukan di
depan sidang pengadilan, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 39 dan pasal
40.37 Pasal 115 KHI menegaskan bunyi Pasal 39 UU Perkawinan yang sesuai dengan
konsep KHI, yaitu orang Islam: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. Dengan aturan ini perempuan akan mendapatkan
perlindungan hukum.38
Menurut pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 gugatan
perceraian diajukan oleh suami, istri, dan kuasanya kepada pengadilan yang daerah
37
Pasal 39 UU Perkawinan:(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. (3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam perundang- undangan tersendiri.
38
hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Tetapi setelah lahirnya UU No 73
Tahun 1989 jo UU No.3 Tahun 2006 jo. UU No 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Agama disebutkan dalam pasal 73 bahwa gugatandiajukan ke Pengadilan Agama
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri) kecuali apabila
penggugat meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. Dalam hal
penggugat bertempat tinggal di luar negeri gugatan perceraian diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Dalam hal
penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka
dilangsungkan.39 Apabila gugatan perceraian dilaksanakan atas alasan satu diantara
dua pihak mendapat penjara 5 tahun atau lebih, maka untuk memperoleh putusan
perceraian, sebagai bukti, istri sebagai penggugat menurut Pasal 74 UU No.7 Tahun
1989 jo. UU No 3 Tahun 2006 jo. UU No 50 Tahun 2009 cukup menyampaikan
salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi atau juga putusan
Mahkamah Agung RI40 disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan tersebut
telah berkekuatan hukum tetap. 41
39
Senada dengan pasal 132 KHI, hanya saja dalam ayat 2 KHI disebutkan apabila tergugat bertempat kediaman di luar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
40
Dalam pasal 135 KHI disebutkan jika gugatan perceraian karena alasan suami mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat, maka untuk mendapatkan keputusan perceraian sebagai bukti, maka penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutus perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah berkekuatan hukum tetap.
41
Apabila gugatan perceraian diajukan ke pengadilan dengan alasan tergugat
mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat suami tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami, maka hakim berdasarkan Pasal 75 UU No 7 Tahun
1989 jo. UU No 3 Tahun 2006 jo UU No 50 Tahun 2009, dapat memerintahkan
tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter. Jika gugatan perceraian didasarkan
syiqaq (cekcok) terus menerus yang membahayakan kehidupan suami-istri,maka
untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang
berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami-istri. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 76 UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006 jo UU No
50 Tahun 2009.42
Adapun cara mengajukan gugatan adalah dengan mengajukan gugatan ke
Pengadilan Agama (bagi orang islam) yang bersangkutan. Bagi orang yang tidak
dapat menulis boleh mengajukan secara lisan. Majelis hakim Pengadilan Agama
menurut pasal 80 UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006 jo UU No 50 Tahun
2009, melakukan pemeriksaan atas gugatan perceraian selambat-lambatnya 30 hari
setelah perkara didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama.43
Pengadilan wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara
agar mereka rukun lagi dalam satu rumah tangga. Usaha ini dilakukan oleh Majelis
Hakim Pengadilan Agama itu tidak hanya terbatas pada sidang pertama, tetapi pada
setiap sidang dilakukan. Agar perdamaian yang dilakukan oleh majlis hakim
42
Muhammad Syaifuddin,dkk,Hukum Perceraian,h. 256.
43
membawa hal positif, maka suami-istri yang bersatu itu harus datangsecara pribadi,
kecuali apabila salah satu pihak bertempat tinggal di luar negeri dan tidak mungkin
hadir dalam sidang secara pribadi, dalam hal in i dapat diwakilkan oleh kuasanya.
Apabila hakim berhasil mendamaikan suami-istri yang berperkara itu, maka
mereka tidak dapat lagi mengajukan gugatan dalam alasan yang sama.44 Akan tetapi,
apabila tidak berhasil mendamaikan mereka,selanjutnya Hakim akan mengadakan
pemeriksaan.
Sidang Majelis Hakim Pengadilan Agama yang memeriksaperkara perceraian
baik cerai talak maupun cerai gugat harus dilaksanakan dalam sidang tertutup yang
diatur dalam Pasal 80 UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006 jo UU No 50
Tahun 2009. Hal ini disebabkan karena dalam sidang gugatan perceraian itu kedua
belah pihak saling mengucapkan hal-hal yang bersifat pribadi bahkan merupakan aib
yang kurang layak diketahui orang lain.
Proses hukum cerai gugat di Pengadilan Agama diuraikan secara teknis-
yuridis dalam Buku II Edisi Revisi Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama45 adalah sebagai berikut:
a) Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar Pengadilan
Agama atau Mahkamah Syar‟iyah memutuskan perkawinan penggugat
dengan tergugat.
44KHI Pasal 144: “apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajuk
an gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Lihat juga PP Nomor 9 tahun 1975 pasal 32
45
b) Prosedur pengajuan gugatan dan pemeriksaan cerai gugat agar mempedomani
Pasal 73 s.d.86 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 jo pasal 14 s.d. 36 Peraturan
Pemeritah Nomor 9 Tahun 1975.
c) Gugatan nafkah anak, nafkah istri, mut‟ah, nafkah iddah dapat diajukan
bersama-sama dengan cerai gugat, sedangkan gugatan hadhanah dan harta
bersama suami istri sedapat mungkin diajukan terpisah dalam perkara lain.
d) Dalam perkara cerai gugat, istri dalam gugatannya dapat mengajukan gugatan
provisi, begitu pula suami yang mengajukan rekonvensi dapat pula
mengajukan gugatan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam pasal 24
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
e) Permohonan provisi sebagaimana yang dimaksudkan oleh huruf d diatas
antara lain: permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh
seorang pendamping (Pasal 41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
f) Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar‟iyah secara ex officio dapat
menetapkan kewajiban nafkah iddah terhadap suami, sepanjang istrinya tidak
terbukti telah berbuat nusyuz (Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974).
g) Dalam pemeriksaan cerai gugat, Pengadilan Agama atau Mahkamah
pendidikan suami dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan nafkah
madhiyah, nafkah iddah dan nafkah anak.
h) Cerai gugat dengan alsan taklik talak harus dibuat sejak awal diajukan
gugatan, agar selaras dengan format laporan perkara.
i) Dalam hal tergugat tidak hadir di persidangan dan perkara akan diputus
dengan verstek, pengadilan tetap melakukan sidang pembuktian mengenai
kebenaran adanya alasan perceraian yang didalilkan oleh penggugat.
j) Cerai gugat dengan adanya kekejaman atau kekerasan suami, hakim secara ex
officio dapat menetapkan nafkah iddah (lil istibra’)46
k) Untuk keseragaman, amar putusan cerai gugat berbunyi: “menjatuhkan talak
satu ba’in shughra tergugat (nama...bin....) terhadap penggugat (nama....
binti....)”
l) Amar putusan cerai gugat dengan alasan pelanggaran taklik talak
berbunyi:”menjatuhkan talak satu khul’i tergugat (nama...bin....) terhadap
penggugat (nama.... binti....) dengan iwadh sebesar Rp... (... tulis dengan
huruf)”.
Setalah perkara perceraian itu diputuskan, maka Panitera Pengadilan Agama
menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami istri atau kuasanya
dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang
46 Istibra‟ berarti menunggu masa bersih dan sucinya seorang istri dari mengandung/
pengetahuan akan kekosongan rahim dari kehamilan. Sejumlah ulama berpendapat bahwa istibra‟ itu hanya diwajibkan terhadap wanitawanita yang tidak mengetahui kekosongan rahimnya (hamil/tidak).
Sedangkan wanita yang mengetahui kekosongan rahimnya, maka tidak ada kewajiban beristibra‟.
bersangkutan.47Terhadap keputusan tersebut para pihak dapat mengajukan upaya
hokum banding dan kasasi. Apabila selama jangka waktu 14 hari semenjak
diputuskan perceraian gugat itu suami tidak melakukan upaya banding, putusan
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pada dasarnya prosedur administrasi perceraian melalui khulu‟ tidak jauh
berbeda dengan prosedur administrasi cerai gugat diatas. Istri atau kuasa hukumnya
mengajukan gugatan perceraian melalui khulu‟ kepada Pengadilan Agama yang
daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal istri.
Proses hukum talak khulu‟ di Pengadilan Agama diuraikan secara teknis
-yuridis dalam buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama (Edisi Revisi 2010) adalah sebagai berikut:48
a) Talak khulu‟ merupakan gugatan istri untuk bercerai dari suaminya dengan
tebusan. Proses penyelesaian gugatan tersebut dilakukan sesuai dengan
prosedur cerai gugat.
b) Untuk keseragaman, amar putusan talak khulu‟ berbunyi:
“Menjatuhkan talak satu khul’i tergugat (nama...bin...) terhadap penggugat
(nama....binti....) dengan iwadh berupa uang sebesar Rp .... ( .... tulis dengan
huruf)”.
Iwadh tersebut dapat pula berupa uang, rumah atau benda lainnya secara
bersama.
47
KHI pasal 147 ayat {1}.
48
c) Terhadap putusan khulu‟ dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.
d) Ketentuan khulu‟ sebagaimana tersebut dalam pasal 14849 KHI harus
dikesampingkan pelaksanaannya sebab menyalahi ketentuan hukum acara,
gugatan khulu‟ tetap harus diputus oleh hakim dan boleh banding dan kasasi.
Sebagaimana disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa aturan
mengenai khulu‟ tidak berlaku di dalam UU Perkawinan maupun dalam Peraturan
Pemerintah.Hukum acara khulu‟ ini ditemui aturannya dalam Kompilasi Hukum
Islam. Di berlakukannya acara khulu‟ di Pengadilan Agama membawa perubahan
signifikan terhadap hukum acara perceraian, jika sebelumnya baik suami maupun istri
berada dalam posisi yang sama untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama,
meskipun dengan pembedaan dua jenis perkara, dan istri supaya gugatan
perceraiannya dapat dikabulkan dan ikatannya diputus oleh Pengadilan Agama, istri
49
Proses hukum khusus gugatan perceraian dengan jalan khulu‟ menurut pasal 148
Kompilasi Hukum Islam adalah: (1) Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan
khulu‟ menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya
hanya perlu membuktikan alasan-alasan untuk terjadinya perceraian tanpa harus
menebus dirinya.
Dengan diberlakukannya acara khulu‟ seorang istri, jika alasan-alasan
perceraian yang terbukti ternyata berasal dari pihak istri, maka ia harus menebus
dirinya supaya talak dijatuhkan oleh suaminya, sehingga pada dasarnya bukan
pengadilan yang memutus ikatan perkawinan, tetapi kesediaan suami mengikrarkan
talaklah yang memutuskan hubungan perkawinan.
Berdasarkan paparan di atas terlihat bahwa dalam mengompilasi hukum
Islam, di satu sisi ada keinginan yang kuat untuk menyerap sebanyak mungkin
semangat dan nilai-nilai hukum Islam ke dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Akan tetapi di sisi lain ada berbagai persoalan-persoalan
penerapan hukum Islam ke dalam hukum positif yang tidak terlepas dari adanya
perbedaan dan semangat nilai-nilai, yang diutamakan oleh hukum Islam dalam
mengatur kehidupan para penganutnya berhadapan dengan nilai dan cita-cita
pembentukan kesatuan hukum di Negara Indonesia dengan cita rasa keadilan, yang
melindungi segenap warga negara sehingga dimata hukum semua warga negara
berada dalam kedudukan yang sejajar dalam seluruh lapangan hukum, termasuk
hukum keluarga.
Hal ini berakibat pada aturan acara khulu‟ yang dimuat dalam Kompilasi
Hukum Islam sebagai alternatif bagi kaum perempuan dan jalan untuk memutuskan
hubungan perkawinan niscaya akan menjadi pasal-pasal yang tidak bermakna dan
jalan cerai gugat biasa ketimbang dengan cara khulu‟, mengapa harus dengan talak
tebus jika alasan-alasan perceraian yang harus dibuktikan sama dengan cerai gugat
biasa yang tidak perlu dengan tebusan plus masih berhaknya istri atas nafkah iddah.
C. Akibat Cerai Gugat
Akibat putusnya perkawinan (perceraian) diatur dalam pasal 41 UU No. 1
Tahun 1974 dan pasal 149 KHI.Pasal 41 UU No 1 Tahun 1974 menjelaskan akibat
putusnya perkawinan karena perceraian adalah;
a. Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara, melindungi dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihanmengenai penguasaan anak,pengadilan memberikan putusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak, bila bapak dalam kenyataannya tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
hidup untuk bekas istri.
Pasal 149 KHI menjelaskan akibat talak, berbunyi; bilamana perkawinan
a. memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang,
benda kecuali bekas isteri tersebut qabla al dukhul
b. Memberikan nafkah, maskawin dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam
masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan
dalam keadaan tidak hamil
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separoh apabila qabla
al-dukhul
d. Memberikan biaya (hadhanah) untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.
Di dalam KHI memang tidak dijelaskan akibat cerai gugat dalam pasal
tersendiri. Dari pasal-pasal tersebut dapat dipahami bahwa bagi apabila cerai gugat
maka istri tidak menerima: pertama, hak nafkah iddah. Hal ini apabila perkara cerai
gugat tersebut diputus oleh majelis hakim dengan putusan talak ba‟in dan istri
tidaklah dalam keadaan hamil, sebagaimana pemahaman dalam pasal 149 huruf b.
Hak nafkah iddah ini hanya diberikan kepada istri yang berada dalam iddah talak
raj‟i. Pemahaman ini berlandaskan karena istri yang mengajukan cerai gugat adalah
istri yang nusyuz sehingga ia pantas untuk tidak mendapatkan hak nafkah iddah.
Kedua, mantan istri tidak akan menerima mut‟ah. Mut‟ah adalah pemberian
bekas suami kepada istri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang lainnya. Mut‟ah
ba‟da dukhul dan perceraian itu atas kehendak suami (KHI Pasal 158).50 Sementara
cerai gugat adalah perceraian dengan kehendak istri, maka ia tidak berhak atas mut‟ah
Ketiga, tidak dapat ruju‟. Cerai Gugat putusannya berupa talak ba‟in sughra.
Talak ba‟in sugra adalah talak satu atau dua disertai dengan iwadh dari istri kepada
suami yang dengan akad nikah baru suami dapat kembali kepada istrinya.51
Sementara KHI dalam Pasal 119 ayat 1 menjelaskan bahwa talak ba‟in sughra adalah
50
Terdapat perbedaan dalam pendapat para ulama mazhab tentang wanita yang berhak
mendapatkan mut‟ah. Pertama, Mazhab Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan Alaudin Al Kasani berpendapat: (a) wajib apabila terjadi perceraian sebelum dukhul (qabla dukhul) yang tidak disebut mahar sewaktu akad nikah dan penyebab perceraiannya adalah dari laki-laki, (b) Mustahabbah, apabila terjadi talak dalam keadaan selain tersebut pada point a di atas. Kedua, Mazhab Syafi‟i dan Ibnu Taimiyah berpendapat, wajib bagi semua perempuan yang ditalak kecuali yang berhak menerima separuh mahar. Baik penyebab perceraian dari laki-laki maupun penyebab dari perempuan. Ketiga,
Umar, Ali Husein bin Ali mengatakan wajib mut‟ah bagi perempuan yang ditalak secara mutlak, tanpa
kecuali. Lihat lagi Mudatsir Roci,”Seputar Masalah Mut‟ah, “ Suara Uldilag VII, no 4 (Maret 2004): h. 88
Abu Bakar Al Jashash dalam kitab Tafsirnya sebagaimana yang dikutip oleh Edi Riadi
menguraikan perbedaan pendapat ulama salaf dan khalaf tentang hukum pemberian mut‟ah dari laki
-laki kepada mantan istrinya. Para ulama salaf dan khalaf dalam menyikapi hukum mut‟ah terbagi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Abu Zainal, Abi Laila dan Al Laits berpendapat
memberikan mut‟ah kepada istri yang dicerai hukumnya sunnah bukan wajib, sehingga suami tidak dapat dipaksa untuk memberi mut‟ah kepada bekas istrinya. Kelompok kedua berpendapat, suami
memberi mut‟ah kepada istri yang dicerai hukumnya wajib. Kelompok kedua ini walaupun sepakat hukum memberikan mut‟ah wajib, akan tetapi mereka terbagi kepada lima varian. Pertama, suami yang mentalak istrinya wajib memberikan mut‟ah kepada mantan istrinya secara mutlak, pendapat ini dipelopori oleh Ali ra. Kedua, wajib memberikan mut‟ah, terbatas untuk mantan istri yang ditalak
apabila si istri tersebut belum diberi mas kawin dan belum disenggama, demikian pendapat Syuraih, Ibrahim dan Al Hasan. Ketiga, Ibnu Abbas dan Nafi‟ berpendapat wajib memberi mut‟ah untuk istri
yang ditalak, sudah diberi mahar tapi belum disenggama oleh suaminya. Keempat, pendapat
Muhammad Bin Ali, mut‟ah wajib untuk mantan istri yang belum diberi mahar baik sudah disenggama maupun belum disenggama. Kelima, pendapat Abu Amar, beliau berpendapat mut‟ah wajib untuk
seorang istri yang ditalak, akan tetapi mantan istri yang sudah diberi mahar belum disenggama hanya
berhak mut‟ah sebanyak ½ jumlah mahar. Abu Bakar Al Jashash sendiri berpendapat pemberian
mut‟ah wajib secara mutlak untuk istri yang ditalak. Lihat lagi, Edi Riadi, “ Hak-Hak Perempuan Pasca Percerai