Pikiran
Rakyat
o
Senin0
Selasa0
Rabu.
Kamis0
Jumat1
2
3
€)
5 6 7 8 9 10 1117
18
19
20
21
22
23
24
25
26
o
Jan
0
Peb
.
Mar0
Apr
0
Mel
0
Jun
0
Jul
0
Ags
o
Sabtu0
Mlnggu12
13
14
15
16
27
28
29
30
31
OSep
OOId
ONov
ODes
Flora
-
& Teknologi
-=- 0...==
..
Kesehatan
IDANG bioteknologi kini telah memasuki generasi ketiga di mana tanaman seperti jagung, tembakau, padi, atau kacang tidak dikonsumsi secara langsung, melainkan dimanfaatkan sebagai pabrik penghasil protein untuk keper-luan pengobatan.
Generasi pertama bioteknologi hanya meningkatkan efisiensi produksi tanaman (mengurangi kebutuhan pestisida, atau meningkatkan keta-hanan terhadap kelembapan), lalu ge-nerasi kedua bioteknologi mulai meningkatkan nilai produk pangan dengan tambahan nutrisi (misalnya beras dengan peningkatan kandungan vitamin A), tetapi pada dasarnya kedua generasi bioteknologi tersebut masih memfungsikan tanaman untuk di-makan. Produk bioteknologi generasi ketiga menjadikan tanaman sebagai pabrik untuk menghasilkan protein obat atau plant made pharmaceutical.
Plant made pharmaceutical (PMP)
merupakan suatu protein terapeutik yang dapat digunakan dalam keperlu-an medis seperti keperlu-antibodi monoklonal, enzim, atau protein lainnya yang dihasilkan dari tanaman. Protein ter-apeutik yang dihasilkan dapat berguna untuk penyakit seperti alzheimer, kanker, COPD (chronic obstructive
pulmonary disease), cystic fibrosis,
diabetes, multiple sclerosis, rheuma-toid arthritis, cedera sumsum tulang belakang, dan sebagainya.
Pada dasarnya terdapat beberapa cara memproduksi protein, yakni de-ngan memanfaatkan Illamalia, kultur sel mikroba, serta tanaman. Pemilihan tanaman sebagai sarana produksi pemiliki bel?erapa keuntungan. Perta.:
ma, biaya prodUksi akan menurun se-earn signifikan karena metode ini dikembangkan dalam sumber daya alami dan terbami, yakni tanaman. Se-belumnya, produksi protein dengan memanfaatkan bakteri dan sel ma-malia merupakan metode yang sangat mahal dan terbatas pada kapasitas ru-angan. Teknologi kultur sel konven-sional memerlukan sejumlah besar waktu dan dana. Diperkirakan fasilitas pembuatan kultur sel membutuhkan dana sekitar 250 juta dolar sampai 450 juta dolar. Demikian seperti diulas di
situs web www.bio.org.
Kedua, penerapan pada skala pro-duksi relatiflebih mudah sehingga sesuai untuk memenuhi permintaan protein terapeutik yang terus meningkat dan bervariasi. Ketiga, risiko terpapar patogen manusia atau kontaminasi mamalia lain relatiflebih kecil dibandingkan dengan .metode lain. Selain itu, teknologi yang diper-, lukan sebenarnya tidak terlalu sulit
di-cari yakni serupa seperti ketika mem-perlakukan bakteri, tet&pibedanya dibutuhkan ladang. Dilihat dari aspek-aspek terkait seperti biaya produksi, kualitas produk, waktu produksi, skala hasil produksi, dan risiko kontaminasi, metode PMP lebih baik daripada metode lain seperti menggunakan ma-malia, bakteri, atau ragi.
Penelitian tentang plant made
phar-maceuticals ini bam berkembang
.
dalam 10 tahun terakhir. Pada awal-nya, penelitian ini dikembangkan oleh beberapa perusahaan dan sekitar 20-an universitas di seluruh dunia. FDA dan USDA (Badan POM dan Departe-men Agrikultur Amerika) merupakan pihak-pihak ~g
-
-~
~
sangat gencar-
IST1MEWA
KA YU rotan adalah material terbaik sebagai pengganti tulang manusia karena struktur kayu rotan memiliki rongga di bagian dalam sehingga darah, serabut saraJ, dan materi lain dapat melaluinya. *
melakukan penelitian ini. Dalam . perkembangannya di Amerika, PMP sempat menuai sejurnlab kontroversi clan kekhawatiran, antara lain risiko kontarninasi pada tanarnan yang digu-nakan untuk produk pangan.
Seperti disarnpaikan oleh Rural Ad-vancement Foundation International-USA, mereka yang menolak belum sepenuhnya yakin akan darnpak ekonomi, lingkungan, clan sosial dari penerapan teknologi ini. Selain itu, komponen regulasi komprehensif yang mengatur tentang teknologi ini pun belum tersedia secara memadai.
Tanarnan yang berpotensi untuk dikembangkan dengan metode ini adalabjagung, tembakau, tebu, wortel, bayarn, pisang, dIU).beberapa tanarnan lain. David Duncan, CEO dari ChIoro-gen, suatu perusabaan bioteknologi di Amerika, memilih tembakau karena selain dapat dipanen sarnpai 5 kali pa-da satu masa tanarn, tembakau juga bersifat self-pollination sehingga meminimalkan risiko kontarninasi silang terhadap tanarnan lain. Demikian seperti disarnpaikannya di www.dddrnag.com. Bukankah lebih baik memanfaatkan ladang-Iadang tembakau Indonesia untuk mempro-duksi obat daripada menggunakannya dalarn produksi rokok?
Rotan pengganti tulang
Potensi tanarnan Indonesia dalarn teknologi kesehatan bukan hanya itu. Sebagai negara penghasil rotan, suatu perkembangan menarik dari dunia
medis patut diapresiasi oleh bangsa ini. Kelak penderita patab tulang akan memiliki alternatif material pengganti tulang selain dari yang saat ini tersedia seperti logarn atau kerarnik. Sejurnlab timpeneliti Italia di laboratorium bio-keramik Istek di Faenza tengab men-coba penanaman implan tulang buatan dari rotan pada domba percobaan.
Konversi kimiawi dari kayu alarni menjadi hydroxyapatite (mineral penyusun tulang) secara keseluruhan dilakukan melalui lima tabap, yakni 1) pirolisis (penguraian dengan panas) 2) carburization (suatu proses pemanasan yang membebaskan karbon pada saat terurai) 3) oksidasi 4) karbonasi (pro-ses hidrotermal pada tekanan C02 un-tuk konversi lanjut menjadi kalsium karbonat) 5) fosfatisasi (penarnbaban baban kimia fosfat). Lima tabap fase transformasi tersebut disiapkan untuk mendapatkan mineral penyusun tu-lang hydroxyapatite (HA) dari kayu rotan. Setelab 10 hari, unsur-unsur dalarn kayu rotan berubab menjadi serupa dengan materi tulang.
Tim yang dipimpin oleh Dr. Anna Tampieri ini sebelumnya melakukan uji coba pada berbagai jenis kayu seba-gai pengganti tulang. Hasilnya menun-jukkan babwa kayu rotan adalab mate-rial yang terbaik karena struktur kayu rotan memiliki rongga di bagian dalarn sehingga darah, serabut saraf, clan ma-teri lain dapat melaluinya.
Menurut Dr. Tarnpieri, tulang dari rotan ini merupakan tiruan paling mendekati tulang asli karena dapat
ISTIMEWA
TANAMAN tembakau dinilai baikjika digunakan sebagai bahan obat-obatan
karena memiliki risikolebihsedikit dibandingkan dengan tanaman lain.
*:::a ~ ~
menyatu dengan tulang asli
sedemikian rupa hingga nyaris tak da-pat terlihat sarnbungannya. Selain itu, material pembentuk tulang ini cukup kuat sehingga dipastik;m dapat menyangga tubuh clanjuga memiliki daya taban yang sangat baik.
Saat ini para dokter seperti abli be-dab ortopedi, Maurillo Marcacci sedang meneliti metode barn peng-gantian tulang ini di rurnab sakit dekat Bologna University. Pengawasan di-lakukan untuk terns memantau perkembangan domba-domba yang telab ditanami tulang dari rotan dalarn tubuhnya. Sejauh ini belum ditemukan tanda-tanda reaksi penolakan atau in-feksi pada domba percobaan.
Jika semua beIjalan lancar, di masa depan implan tulang dapat dilakukan dengan biaya murab dan dengan efek-tivitas tinggi. Para abli memperkirakan babwa penanarnan irnplan tulang rotan terhadap manusia dapat di-lakukan pada lima tabun mendatang. Dernikian seperti dilansir di news.bbc.co.uk.
Rotan bukanlab tanarnan yang asing di Indonesia. Sifat rotan yang dapat berfungsi sebagai tali pengikat yang ulet clan kokoh telab sering dirnan-faatkan. Narnun pemanfaatannya masih terbatas karena tingkat penge-tabuan serta kreativitas masyarakat yang belurn berkembang. Dengan adanya penelitian pemanfaatan rotan sebagai baban pengganti tulang, pe-manfaatan rotan dapat menjadi lebih luas daripada sebagai baban baku tali atau mebel.
Menurut data Kementerian Ke-hutanan, Indonesia menyumbang 80 persen dari keseluruhan kebutuhan rotan dunia. Darijurnlab tersebut, 90 persen rotan dihasilkan dari hutan alarn yang terdapat di Sumatra, Kali-mantan, Sulawesi, dan sekitar 10 persen dihasilkan dari budidaya rotan.
Indonesia memiliki keanekaraga-man hayati dengan potensi besar dalarn penelitian dan pengemban~an teknologi kesehatan. Baik itu untuk di-jadikan pabrik protein bioteknologi
atau sebagai baban pengganti jaringan tubuh. Adalab suatu potensi menjan-jikan jika bangsa Indonesia marnpu
membuat vaksin, hormon, atau enzim dari laclang-Iadang palawija
Indonesia. ***
Fqjar Ramaclhitya P., alumnus
Farmasi UniversitasPadjadjaran