• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Terhadap Keberadaan Pidana Minimum Khusus Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Peraturan Perundang-Undangan Diluar KUHP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Terhadap Keberadaan Pidana Minimum Khusus Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Peraturan Perundang-Undangan Diluar KUHP"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TERHADAP KEBERADAAN PIDANA MINIMUM

KHUSUS DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM PIDANA DAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN DILUAR KUHP

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir

Dalam Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

YULIA ANDARINI NASUTION

NIM : 070200164

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS TERHADAP KEBERADAAN PIDANA MINIMUM

KHUSUS DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM PIDANA DAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN DILUAR KUHP

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir

Dalam Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

YULIA ANDARINI NASUTION

NIM

: 070200164

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

NIP. 195703261986011001

Dr. M. Hamdan, SH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

Pembimbing I

Prof. Alvi Syahrin SH, MS

NIP. 196303311987031001

Pembimbing II

DR. Madiasa Ablisar, SH, MS

(3)

KATA PENGANTAR

Pertama – tama penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang

Maha Esa atas karunia, berkat dan rahmat yang diberikanNya, sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan

program S1 pada Universitas Sumateta Utara Medan diwajibkan menyusun karya

tulis / skripsi sesuai dengan ketentuan – ketentuan yang berlaku.

Untuk memenuhi kewajiban tersebut, maka penulis menyusun skripsi yang

diberi judul :

Perlindungan Penduduk Sipil dan Tawanan Perang Dalam

Konflik Non Internasional Sri Lanka – Macan Tamil.

Berpedoman pada judul tersebut penulis menyadari bahwa di dalam

pelaksanaan penulisan karya tulis / skripsi ini banyak mengalami kesulitan –

kesulitan dan hambatan – hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta

petunjuk dari dosen pembimbing maka penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini. Saya menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak luput dari

kekurangan – kekurangan yang masih ada dalam banyak hal dalam penulisan

skripsi ini. Maka dari itu saya mengharapkan kritik serta saran yang bersifat

membangun di masa yang akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan, bimbingan

dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar – besarnya kepada :

1.

Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum

(4)

2.

Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum sebagai Pembantu Dekan

I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3.

Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, M.Hum, DFM sebagai Pembantu Dekan

II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4.

Bapak Muhammad Husni, S.H, M.Hum sebagai Pembantu Dekan III

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5.

Bapak Arif, S.H, M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum Internasional

sekaligus Dosen Pembimbing II penulis yang membimbing penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

6.

Bapak Sutiarnoto, S.H, M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I penulis yang

membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7.

Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H, M.Hum sebagai Sekretaris Departemen

Hukum Internasional.

8.

Bapak Mulhadi, S.H, M.Hum sebagai Dosen Wali penulis yang selalu

membimbing penulis selama menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

9.

Orangtua penulis, Ayah Dr. Togar Siallagan, MM, M.Kes dan Bunda Dr.

Meliana Nainggolan buat segala hal baik materi, motivasi, dorongan, cinta

kasih yang tidak bisa penulis nilai dengan apapun, Both of you are my

Super Hero. I love to the end My Super Parents, GOD Bless you forever.

10.

Abang penulis, Daniel Elgar Kalista Siallagan yang telah menjadi

pemimpin yang baik dan selalu memberikan contoh untuk adek – adeknya.

(5)

11.

Adek Penulis, Ririn Olivia Siallagan dan Micaela Ariana Siallagan yang

selalu menjadi adek yang baik, dan selalu memberikan masukan yang

positif bagi penulis, keep your spirit my Super Sisters.

12.

Teman – teman di Tim Basket Hukum / Kobakum (Komunitas Basket

Hukum) :Bang Tema, Bang Hansen, Bang Hengky, Bang Dody, Andika,

Lincon, Satrio, dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. We

are the Super Champion in LIBAS (Liga Basket USU).

13.

Pacar Penulis, Christina Nauli Sinaga, yang selalu memberikan dukungan,

motivasi, cinta dan kasih sayang. I love you to the end.

14.

Teman – teman stb 07, spesial buat sahabat – sahabat terbaikku : Kawasito

Tarigan, Isabela Ritonga, Ricardo Pardede, Debora Risma Naiborhu,

Lincon Sirait, Cristian Burunk, Tery Wiliam, Ivan Geraldi, Dinda, Ermilia,

Finita Hutabarat, Harry Cristian Lumbantobing, Gabriel Brahmana, Delon

Sitanggang, Sarwedi Sianipar. I saw this field, that grew perfection full of

things they do.

15.

Semua teman – teman yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu,

maapkan saya kalau belum ditulis.

Medan, Februari 2011

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...

DAFTAR ISI ...

v

ABSTRAKSI ...

vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...

1

B. Rumusan Masalah ...

6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...

7

D. Keaslian Penulisan ...

8

E. Tinjauan Kepustakaan ...

8

F. Metode Penelitian ...

15

G. Sistematika Penulisan ...

20

BAB II

LATAR BELAKANG MUNCULNYA

SISTEM PIDANA

MINIMUM KHUSUS DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

PIDANA DI INDONESIA

A.

Sistem, Tujuan dan Teori Pemidanaan ...

22

B.

Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia ...

35

C.

Latar Belakang Pemikiran Dianutnya Pidana Penjara

Minimum Khusus ...

43

(7)

BAB III

SISTEM PIDANA MINIMUM KHUSUS DALAM

PERUNDANG-UNDANGAN DI LUAR KUHP DAN DI DALAM

RANCANGAN KUHP INDONESIA

A.

Pidana Minimum Khusus dalam

Perundang-undangan di luar KUHP ...

51

B.

Pidana Minimum Khusus dalam Rancangan KUHP

Nasional di Masa Mendatang ...

56

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan ...

67

B.

Saran ...

68

(8)

ABSTRAK

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas

hukum (

rechtsstaat

), maka

kedudukan hukum harus ditempatkan di atas

segala-galanya. Setiap perbuatan

harus sesuai dengan aturan hukum tanpa kecuali.Usaha

pembaharuan hukum pidana sampai saat ini terus dilakukan,

dengan satu tujuan

utama yakni menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana

nasional untuk

menggantikan kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan

kolonial. Dalam

pembaharuan hukum pidana Indonesia, terlebih dahulu haruslah diketahui

permasalahan pokok dalam hukum pidana. Masalah tersebut adalah adanya

ketidakpuasan dari masyarakat maupun pelaku kejahatan (terpidana) terhadap

penjatuhan jenis pidana (

strafsoor

) yang dikehendaki dan penentuan berat

ringannya pidana yang dijatuhkan (

strafmaat

)

.

Untuk mengantisipasi

perkembangan masyarakat dalam kaitannya dengan

perubahan kejahatan, maka

dapat dilakukan usaha perencanaan

pembuatan hukum pidana yang menampung

segala dinamika masyarakat, hal ini

merupakan masalah kebijakan yaitu mengenai

pemilihan sarana dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.

Dalam kehidupan sosial masyarakat, pemberian pidana dirasa tidak

seimbang dengan beratnya kejahatan yang dilakukan karena tidak adanya

perangkat peraturan yang mengatur secara jelas mengenai beratnya hukuman

pidana yang diberikan oleh penegak hukum. Maka dari itu, ketentuan mengenai

pidana minimum dirasa perlu untuk dicantumkan dalam Rancangan KUHP, agar

tidak terjadi disparatis pidana dan juga meningkatkan prevensi general terhadap

delik-delik tertentu yang dianggap sangat serius bagi kehidupan masyarakat

dengan sedapat mungkin menghindari penjatuhan pidana penjara jangka pendek

yang dapat memberikan efek negatif terhadap pelaku tindak pidana.

(9)

ABSTRAK

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas

hukum (

rechtsstaat

), maka

kedudukan hukum harus ditempatkan di atas

segala-galanya. Setiap perbuatan

harus sesuai dengan aturan hukum tanpa kecuali.Usaha

pembaharuan hukum pidana sampai saat ini terus dilakukan,

dengan satu tujuan

utama yakni menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana

nasional untuk

menggantikan kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan

kolonial. Dalam

pembaharuan hukum pidana Indonesia, terlebih dahulu haruslah diketahui

permasalahan pokok dalam hukum pidana. Masalah tersebut adalah adanya

ketidakpuasan dari masyarakat maupun pelaku kejahatan (terpidana) terhadap

penjatuhan jenis pidana (

strafsoor

) yang dikehendaki dan penentuan berat

ringannya pidana yang dijatuhkan (

strafmaat

)

.

Untuk mengantisipasi

perkembangan masyarakat dalam kaitannya dengan

perubahan kejahatan, maka

dapat dilakukan usaha perencanaan

pembuatan hukum pidana yang menampung

segala dinamika masyarakat, hal ini

merupakan masalah kebijakan yaitu mengenai

pemilihan sarana dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.

Dalam kehidupan sosial masyarakat, pemberian pidana dirasa tidak

seimbang dengan beratnya kejahatan yang dilakukan karena tidak adanya

perangkat peraturan yang mengatur secara jelas mengenai beratnya hukuman

pidana yang diberikan oleh penegak hukum. Maka dari itu, ketentuan mengenai

pidana minimum dirasa perlu untuk dicantumkan dalam Rancangan KUHP, agar

tidak terjadi disparatis pidana dan juga meningkatkan prevensi general terhadap

delik-delik tertentu yang dianggap sangat serius bagi kehidupan masyarakat

dengan sedapat mungkin menghindari penjatuhan pidana penjara jangka pendek

yang dapat memberikan efek negatif terhadap pelaku tindak pidana.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan negara atas kekuasaan (machtsstaat), maka kedudukan hukum harus ditempatkan di atas segala-galanya. Setiap perbuatan harus sesuai dengan aturan hukum tanpa kecuali.1

“…membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia danmemajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, danikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila”.

Ketentuan tersebut tercermin dalam pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang menyebutkan bahwa:

Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN), telah menentukan arah kebijakan di bidang hukum khususnya mengenai sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat, serta memperbaharui perundang-undangan warisan Belanda dan hukum nasional yang diskriminatif termasuk ketidakadilan gender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.

Pembangunan dalam bidang hukum khususnya pembangunan hukumpidana, tidak hanya mencakup pembangunan yang bersifat struktural, yakni pembangunan lembaga-lembaga hukum yang bergerak dalam suatu mekanisme, tetapi harus juga mencakup pembanguan substansial berupa produk-produk yang merupakan hasil suatu system hukum dalam bentuk peraturan hukum pidana danyang bersifat kultural, yakni sikap-sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi berlakunya sistem hukum.2

Usaha pembaharuan hukum pidana sampai saat ini terus dilakukan, dengan satu tujuan utama yakni menciptakan suatu kodifikasi hukum pidananasional untuk menggantikan kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonial yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie 1915 yang merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht negeri Belanda tahun 1886,3

1Jimly Asshiddiqie,

Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 69

yang mulai berlaku 1 Januari 1918.

2

Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 3-4

3

(11)

Upaya pembangunan hukum dan pembaharuan hukum harus dilakukan secara terarah dan terpadu. Kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum dan penyusunan perundang-undangan baru sangat dibutuhkan. Instrument hukum dalam bentuk perundang-undangan ini sangat diperlukan untuk mendukung pembangunan diberbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan sertatingkat kesadaran hukum serta pandangan masyarakat tentang penilaian suatu tingkah laku.

Menurut Romli Atmassasmita4

1. Pembaharuan hukum pidana tidaklah dapat terjadi tanpa adanya perubahan pandangan masyarakat tentang penilaian suatu tingkah laku

, analisis mengenai pembaharuan hukum pidana ini adalah sebagai berikut:

2. Peubahan penilaian atas suatu tingkah laku dimaksud tidaklah terlepas dari dukungan social budaya dimana masyarakat tumbuh

3. Paradigma studi kejahatan yang mempergunakan model konsensus akan menghasilkan pertumbuhan dan pembaharuan hukum pidana yang lebih mementingkan perorangan atau kelompok tertentu.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi turut mempengaruhi cara berpikir, bersikap dan bertindak. Perubahan sikap danpandangan dan orientasi warga masyarakat inilah yang mempengaruhi kesadaran hukum dan penilaian terhadap suatu tingkah laku. Apakah perbuatan tersebut dianggap lazim atau bahkan sebaliknya merupakan suatu ancaman bagi ketertibansosial. Perbuatan yang mengancam ketertiban sosial atau kejahatan seringkali memanfaatkan atau bersaranakan teknologi. Kejahatan ini merupakan jenis kejahatan yang tergolong baru serta berbahaya bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk mengantisipasi perkembangan masyarakat dalam kaitannya denganperubahan kejahatan tersebut, maka dapat dilakukan usaha perencanaan pembuatan hukum pidana yang menampung segala dinamika masyarakat hal ini merupakan masalah kebijakan yaitu mengenai pemilihan sarana dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.

Dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia, terlebih dahulu haruslah diketahui permasalahan pokok dalam hukum pidana.Hal demikian penting, karena hukum pidana merupakan cerminan suatu masyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu.Bila nilai-nilai itu berubah, maka hukum pidana juga berubah.5

Dengan tanpa mengabaikan masalah tindak pidana dan masalah kesalahan, maka masalah penjatuhan pidana (sanksi) dewasa ini juga dicarikan pemecahannya. Masalah tersebut adalah adanya ketidakpuasan dari masyarakat maupun pelaku kejahatan

4

Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), hal. 58

5

(12)

(terpidana) terhadap penjatuhan jenis pidana (strafsoor) yang dikehendaki dan penentuan berat ringannya pidana yang dijatuhkan (strafmaat).

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia, hanya ditentukan mengenai:

1. Maksimum dan minimum, misalnya untuk pidana penjara minimum satu hari dan maksimum 15 tahun seperti yang tercantum dalam pasal 12 ayat (2) KUHP yang berbunyi sebagai berikut: “Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut”. Sedangkan untuk pidana kurungan minimum satu hari dan maksimum satu tahun seperti yang tercantum dalampasal 18 KUHP ayat (1) yang berbunyi: “Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun”.

2. Aturan pemberian pidana (straftoemetingregels) seperti yang diatur dalam pasal 47 ayat (1), pasal 52, dan pasal 63 sampai dengan pasal 71 KUHP

3. Maksimum khusus pada setiap tindak pidana, misalnya dalam pasal 362 KUHP berbunyi: “Barang siapa mengambil barang sesuai yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah”

Selain ketentuan di atas maka konsep KUHP Nasional tahun 2002, pada buku I pasal 64 ayat (2), dinyatakan sebagai berikut:

“Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum khusus”.

Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka dalam konsep KUHP Nasional tahun 2002 dimungkinkan adanya minimum khusus untuk tindak pidana tertentu dan hal ini merupakan salah satu upaya pembaharuan hukum pidana materil di Indonesia yang merupakan bagian dari sistem pemidanaan.

(13)

tidak boleh meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan yang berintikan kasih sayang terhadap sesama manusia.

Dengan melihat ketentuan yang ada dalam KUHP yang mengatur tentang minimum umum pidana penjara salaam satu hari, maka hal tersebut perlu diimbangi dengan minimum khusus terutama untuk delik-delik yang dipandang sangat merugikan atau membahayakan masyarakat pada umumnya dan delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya.

Apabila dilihat dari sudut sistem pemidanaan, pencantuman jumlah sanksi/ ancaman pidana minimum dalam perumusan delik (aturan khusus) hanya merupakan salah satu sub sistem dari sistem pemidanaan.

Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan:6

“Sistem minimal khusus merupakan suatu penyimpangan dari system induk di dalam KUHP. Oleh karena itu apabila undang-undang di luar KUHP membuat ketentuan minimal khusus, maka harus dibuat aturan penerapan pidana-nya yang bersifat khusus pula. Oleh karena itu, pidana minimum khusus ini tidak dapat begitu saja diterapkan/ dioperasionalkan dalam perumusan delik. Untuk dapat diterapkan, harus ada sub sistem lain yang mengaturnya yaitu harus ada aturan/ pedoman pemidanaannya. Jadi, permasalahannya bukan terletak pada masalah, bahwa ketentuan minimal khusus itu dapat menimbulkan ketidak adilan, tetapi pada tidak adanya aturan pedoman pemidanaannya”

Oleh karena dalam KUHP sebagai buku induk dari semua perundang-undangan pidana di Indonesia tidak diatur mengenai pidana minimum khusus ini, maka hal ini merupakan suatu penyimpangan, sehingga apabila dalam perundang-undangan di luar KUHP dicantumkan mengenai pidana minimum khusus, seharusnya pula disertai dengan aturan pedoman pemidanaannya.

B. Permasalahan

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian skripsi ini adalah:

1. Bagaimanakah latar belakang munculnya sistem pidana minimum khusus dalam perundang-undangan pidana di Indonesia?

2. Bagaimanakah sistem pidana minimum khusus dalam perundang-undangan di luar KUHP dan di dalam rancangan KUHP Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

6

(14)

1. Tujuan

a. Untuk mengetahui latar belakang munculnya sistem pidana minimum khusus dalam perundang-undangan pidana di Indonesia

b. Untuk mengetahui sistem pidana minimum khusus dalam perundang-undangan di luar KUHP dan di dalam rancangan KUHP Indonesia

2. Manfaat a. Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan yang lebih konkrit bagi aparat penegak hukum dan pemerintah, khususnya dalam memformulasikan pidana minimum khusus di Indonesia dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan pengkajian hukum khususnya yang berkaitan dengan kebijakan dalam pidana minimum khusus.

b. Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran upaya pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam penyusunan KUHP baru, sebagai pengganti dari KUHP sekarang yang berasal dari WvS mengenai kebijakan pidana penjara minimum khusus.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Analisis Terhadap Keberadaan Sistem Pidana Minimum Khusus dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Peraturan Perundang-Undangan di Luar KUHP” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

(15)

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wet Boek Van Strafrecht voor Nederlands Indie, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit tersebut. Karena itu para ahli hukum berusaha memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat.7

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam KUHP tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit. Perkataan feit sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebahagian dari suatu kenyataan, sedangkan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan. Hazewinkel-Suringa membuat rumusan yang umum dari strabaar feit sebagai perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus diadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.8

Istilah-istilah yang pernah dipergunakan baik dalam perundang-undangan maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feitadalah : tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan pidana. Nyatalah kini setidak-tidaknya ada dikenal tujuh istilah bahasa Indonesia.Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahaan dari strafbaar feit, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.

Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana adalah perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial.

Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” untuk menggambarkan isi pengertian strafbaar feit dan beliau mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Beliau tidak setuju dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih pendek daripada

7

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum PidanaI, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal 67.

8

(16)

perbuatan, “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit.9

Dari pengertian tersebut, tindak pidana tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Perbuatan

b. Yang dilarang ( oleh aturan hukum ) c. Ancaman pidana ( bagi yang melanggar )

Dari uraian unsur tindak pidana diatas, maka yang dilarang adalah perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian kata perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah pada perbuatan itu, tetapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa seseorang itu dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang dalam hukum.

Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 KUHP seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dihukum apabila memenuhi hal-hal berikut:

a.Ada norma pidana tertentu

b. Norma pidana tersebut berdasarkan undang-undang

c.Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan terjadi.

Dengan perkataan lain, bahwa tidak seorangpun karena suatu perbuatan tertentu, bagaimanapun bentuk perbuatan tersebut dapat dihukum kecuali telah ditentukan suatu hukuman berdasarkan undang-undang terhadap perbuatan itu. Jadi syarat utama dari adanya “perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa ada aturan hukum yang melarang dan mengancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

2. Sistem pemidanaan di indonesia

Andi Hamzah memberikan arti sistem pidana dan pemidanaan sebagai susunan (pidana) dan cara pemidanan. M. Sholehuddin menyatakan, bahwa masalah sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana karena seringkali menggambarkan nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa. Artinya pidana maengandung tata nilai-nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan yang tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang.10

Sistem merupakan jalinan dari beberapa unsur yang menjadi satu fungsi. Sistem pemidanaan memegang posisi strategis dalam upaya untuk menanggulangi tindak pidana yang terjadi.Sistem pemidanaan adalah suatu aturan perundang-undangan yang

9

Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hal. 3

10

(17)

berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Apabila pengertian sistem pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana substantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pemidanaan tidak dapat terlepas dari jenis-jenis pidana yang diatur dalam hukum positif suatu negara. Pemidanaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat yang teratur terhadap pelaku kejahatan dapat berbentuk menyingkirkan atau melumpuhkan para pelaku tindak pidana, sehingga pelaku tersebut tidak lagi menggangu di masa yang akan datang. Cara menyingkirkan dapat dilakukan bermacam-macam yaitu berupa pidana mati, pembuangan, pengiriman keseberang lautan dan sampai pemenjaraan. Secara berangsur-angsur ada kecenderungan cara pemidanaan itu mengalami pergeseran dari waktu ke waktu.

Pada zaman dahulu sebelum ada pengaruh asing penduduk Indonesia mempunyai hukum sendiri yang bersifat Melayu Polinesia, dan pandangan animistis-fetiistis menjadi dasarnya. Susunan pidananya berupa11

1. Pembalasan umum, ialah pembalasan keluarga terhadap keluarga, marga terhadap marga

:

2. Pembalasan khusus, ialah pembalasan oleh orang yang dirugikan terhadap yang merugikan

3. Pembayaran uang damai (pemulih) yang dibayar oleh yang merugikan kepada yang dirugikan atau oleh desa, marga atau keluarga dari orang yang merugikan kepada orang yang dirugikan, atau kepada desanya, marga atau keluarganya Pada zaman kerajaan majapahit dikenal sistem pemidanaan berupa; pidana pokok yang meliputi pidana mati, pidana potong anggota badan bagi yang bersalah, denda, ganti kerugian, atau pangligawa atau putukucawa. Dan juga dikenal pidana tambahan yang meliputi tebusan, penyitaan dan patibajambi (uang pembeli obat). Dalam kitab perundang-undangan Majapahit sama sekali tidak mengenal pidana penjara dan pidana kurungan. Dengan demikian tiap-tiap orang yang bersalah harus menjalani salah satu dari empat pidana pokok di atas.

Berbeda dengan keadaan Majapahit, untuk keadaan sekarang sistem pemidanaan telah mengalami banyak perubahan-perubahan yang berupa penyempurnaan dari sistem yang telah lalu. Tidak telepas pula dengan keadaan di Indonesia, sistem pemidanaan yang

11

(18)

ada berlaku hingga sekarang masih mengacu pada K.U.H.Pidana yang merupakan warisan Kolonial Belanda. Dari sistem ini yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut banyak menimbulkan permasalahan, diantaranya mengenai relevansinya sistem pemidanaan yang dipakai dewasa ini dengan keadaan dan aspirasi bangsa Indonesia.

a. Sistem Pemidanaan Di dalam KUHPidana

Jenis-jenis pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tercantum dalam Pasal 10. Pasal ini sebagai dasar bagi hakim dalam menjatuhkan pidana.

Pasal ini menyebutkan ada 2 (dua) jenis pidana yaitu : 1) jenis pidana pokok meliputi ;

a) pidana mati b) pidana penjara c) pidana kurungan d) pidana denda

2) jenis pidana tambahan meliputi ; a) pencabutan hak-hak tertentu b) perampasan barang-barang tertentu c) pengumuman putusan hakim

Selain jenis sanksi yang berupa pidana, di dalam KUHP terdapat pula jenis sanksi berupa tindakan (maatregel/measure/treatment), misalnya terhadap anak di bawah umur ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu: (1) mengembalikan kepada orang tua atau yang memelihara; dan (2) menyerahkan kepada pendidikan paksa negara. Bagi yang cacat mental atau sakit jiwa dimasukkan ke rumah sakit jiwa paling lama 1 (satu) tahun.12

Dengan demikian, bahwa sistem pemidanaan yang tercantum dalam KUH Pidana mengenal dua macam sistem yaitu, sistem pemidanaan alternatif dan sistem pemidanaan tunggal. Alternatif artinya bahwa hakim dalam memutuskan perkara boleh memilah dalam menjatuhkan putusannya, sedangkan sistem pemidanaan tunggal diartikan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusannya harus sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal tersebut.

Sistem pemidanaan yang bersifat tunggal sebagaimana dianut K.U.H Pidana dapat dilihat dalam pasal 489 ayat (1) Buku ke III KUH Pidana tentang pelanggaran terhadap keamanan umum bagi orang dan barang.

12

(19)

b. Sistem Pemidanaan di Luar Kitab Undang-undang Pidana

Untuk sistem pemidanaan yang terdapat di luar Undang-undang Hukum Pidana, juga menganut sistem pemidanaan alternatif dan sistem pemidaan kumulatif, ini bisa dilihat dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi. Adapun selain Undang-undang Nomor 11 Tahun 1963 yang menganut sistem pemidanaan alternatif dan kumulatif, yaitu Undang-undang No 3 tahun 1971 tentang pemberantasan korupsi, khususnya Pasal 28 (alternatif dan kumulatif), 29, 30, 31, dan 32 (kumulatif dan alternatif), Undang-undang Nomor 7/drt/Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana ekonomi, misalnya Pasal 6 yang mengadakan sistem kumulatif. Untuk Undang-undang Nomor 12/drt/Tahun 1951 tentang senjata api, yaitu Pasal 1 ayat (1) (alternatif) dan Pasal 2 (tunggal).

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku.

2. Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif, yang dipergunakan adalah bahan hukum. Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.13

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Undang-Undang Dasar 1945.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Adapun beberapa pasal yang terkait dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Pasal 1 ayat (1) 2. Pasal 10

3. Pasal 12 ayat (2)

13

(20)

4. Pasal 18 ayat (1) 5. Pasal 47 ayat (1) 6. Pasal 52

7. Pasal 53 ayat (2) 8. Pasal 57 ayat (1)

9. Pasal 63 sampai dengan pasal 71 10. Pasal 64 ayat (2)

11. Pasal 231 12. Pasal 333 13. Pasal 334 14. Pasal 362 15. Pasal 408 16. Pasal 409

17. Pasal 426 ayat (2), ayat (4) 18. Pasal 427

19. Pasal 477 ayat (2) 20. Pasal 489ayat (1)

3) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional

4) Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan antara lain:

1. Undang-undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 tentang Pemberantasan

2. Undang-undang Nomor 7/drt/Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

Kegiatan Subversi

3. Undang-undang Nomor 12/drt/Tahun 1951 tentang Senjata Api 4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak

(21)

5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

7. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 8. Undang-undang No 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Buku-buku hukum.

2) Bahan-bahan kuliah penemuan hukum. 3) Artikel di jurnal hukum.

4) Komentar-komentar atas putusan pengadilan. 5) Tesis, disertasi hukum.

6) Karya dari kalangan hukum yang ada hubungannya dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang pada penelitian ini adalah: 1) Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia.

2) Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

(22)

4. Analisis

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis data dalam penelitian ini adalah:

a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang sistem pemidanaan.

b. Membuat sistematik dari Pasal-Pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu (yang selaras dengan sistem pemidanaan).

c. Bahan yang berupa peraturan perundang-undangan ini dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik kesimpulan secara metode deduktif, yaitu kerangka pemikiran diarahkan kepada aspek-aspek normatif yang terkandung dalam hukum positif. Sehingga hasil dari analisis ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

(23)

BAB III: Bab ini akan membahas tentang sistem pidana minimum khusus dalam perundang-undangan di luar KUHP dan di dalam Rancangan KUHP Indonesia, yang mengulas tentang pidana minimum khusus dalam perundang-undangan di luar KUHP dan pidana minimum khusus dalam rancangan KUHP Nasional di masa mendatang

(24)

BAB II

LATAR BELAKANG MUNCULNYA SISTEM PIDANA MINIMUM KHUSUS DALAM PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA DI INDONESIA

A. Sistem, Tujuan dan Teori Pemidanaan 1. Sistem Pemidanaan

L.H.C. Hullsman pernah mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (thesentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanctionand punishment).14

Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhisanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.15

Selanjutnya dikemukakan Barda Nawawi Arief, bertolak dari pengertian diatas, maka apabila aturan aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.

Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum pidana substantif tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.

Ketentuan pidana yang tercantum dalam semua Undang-Undang Khusus di luar KUHP merupakan bagian khusus (sub sistem) dari keseluruhan sistem pemidanaan. Dengandemikian, sistem pemidanaan dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP harus terintegrasi dalam (konsisten dengan) aturan umum (general rules). Namun, dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP tersebut dapat membuat aturan khusus yang menyimpang atau berbeda dengan aturan umum.16

14

L.H.C. Hullsman dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 23.

15

Ibid, hal 129.

16

(25)

Dalam hukum pidana di Indonesia, sistem pemidanaan secara garis besar mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok, yaitu Jenis pidana (strafsoort), lamanya ancaman pidana (strafmaat), dan pelaksanaan pidana (strafmodus).

a. Jenis pidana (strafsoort)

Jenis pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yang terdiri dari : 1) Pidana pokok berupa :

a) Pidana mati ; b) Pidana penjara ; c) Pidana kurungan ; d) Pidana denda ; e) Pidana tutupan. 2) Pidana tambahan berupa :

a) Pencabutan beberapa hak tertentu ; b) Perampasan barang-barang tertentu ; c) Pengumuman putusan hakim.

Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, Indonesia hanya mengenal pidana pokok dan pidana tambahan.

b. Lamanya Ancaman Pidana (strafmaat)

Ada beberapa pidana pokok yang seringkali secara alternatif diancamkan pada perbuatan pidana yang sama. Oleh karena itu, hakim hanya dapat menjatuhkan satu diantara pidana yang diancamkan itu. Hal ini mempunyai arti, bahwa hakim bebas dalam memilih ancaman pidana. Sedangkan mengenai lamanya atau jumlah ancaman, yang ditentukan hanya maksimum dan minimum ancaman. Dalam batas-batas maksimum dan minimum inilah hakim bebas bergerak untuk menentukan pidana yang tepat untuk suatu perkara. Akan tetapi kebebasan hakim ini tidaklah dimaksudkan untuk membiarkan hakim bertindak sewenang-wenang dalam menentukan pidana dengan sifat yang subyektif.

Hal tersebut senada dengan pendapat Leo Polak yang mengemukakan bahwa salah satu syarat dalam pemberian pidana adalah beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.17

17

(26)

Kemudian berkaitan dengan tujuan diadakannya batas maksimum dan minimum adalah untuk memberikan kemungkinan pada hakim dalam memperhitungkan bagaimana latar belakang dari kejadian, yaitu denganberat ringannya delik dan cara delik itu dilakukan, pribadi si pelaku delik,umur, dan keadaan-keadaan serta suasana waktu delik itu dilakukan, disamping tingkat intelektual atau kecerdasannya.

KUHP di Indonesia hanya mengenal maksimum umum dan maksimum khusus serta minimum umum. Ketentuan maksimum bagi penjara adalah 15 (lima belas) tahun berturut-turut, bagi pidana kurungan 1 (satu) tahun, dan maksimum khusus dicantumkan dalam tiap-tiap rumusan delik, sedangkanpidana denda tidak ada ketentuan maksimum umumnya. Adapun pidana penjara dan pidana kurungan, ketentuan minimumnya adalah satu hari. Dalam undang-undang juga diatur mengenai keadaan-keadaan yang dapat menambah dan mengurangi pidana. Keadaan yang dapat mengurangi pidana adalah percobaan dan pembantuan, dan terhadap dua hal ini, pidana yang diancamkan adalah maksimum pidana atas perbuatan pidana pokoknya dikurangi sepertiga, seperti ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 57KUHP.

Pasal 53 ayat (2) KUHP berbunyi “Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dalam hal percobaan dikurangi sepertiga”. Sedangkan Pasal 57 ayat (1) KUHP berbunyi “Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga”. Disamping ketentuan yang meringankan juga diatur tentang keadaan keadaan yang dapat menambah atau memperberat pidana, yaitu perbarengan, recidive serta pegawai negeri. Dalam hal pidana penjara dapat ditambah menjadi maksimum 20 tahun, pidana kurungan menjadi maksimum 1 tahun 4 bulan dan pidana kurungan pengganti menjadi 8 bulan.18

c. Pelaksanaan Pidana (strafmodus)

KUHP yang berlaku di Indonesia pada saat ini belum mengenal hal yang dinamakan pedoman pemidanaan.Oleh karena itu, hakim dalam memutus suatu perkara diberi kebebasan memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif dalam pengancaman di dalam undang-undang. Selanjutnya hakim juga dapat memilih berat ringannya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh undang-undang hanya maksimum dan minimum pidana.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang sering menimbulkan masalah dalam praktek adalah mengenai kebebasan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang diberikan.Hal ini disebabkan undang-undang hanya menentukan batas maksimum dan minimum pidananya saja. Sebagai konsekuensi dari masalah tersebut, akan terjadi hal yang disebut dengan disparitas pidana.

2. Tujuan Pemidanaan

18

(27)

Di bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions, ProfesorThomas S Kuhn mengemukakan pemikiran yang merupakan terobosan perubahan paradigma dan menentang konsep lama yang berlaku umum di kalangan ilmuwan yang berpendapat bahwa perkembangan ilmu selalu bersifat kumulatif. Thomas S Kuhn menyatakan bahwa dalam kondisi tertentu, perubahan tidak boleh lagiberproses lambat secara kumulatif, tetapi harus dilakukan secara 'revolusioner'. Kuhn menggambarkan adanya situasi yang dinamainya sebagai 'anomalia' yang melahirkan 'krisis'. Situasi anomalia ini muncul ketika paradigma lama tak mampu lagi menyelesaikan konflik-konflik dan penyimpangan-penyimpangan yang berlangsung. Pada saat itulah dibutuhkan 'loncatan' paradigma, dari paradigma lama langsung secara revolusioner ke suatu paradigma baru.

Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat (extra ordinary crime) dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan pidana mati. Waktu berjalan terus dan di pelbagai negara terjadi perubahan dan perkembangan baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ternyata sejarah pemidanaan di pelbagai bagian dunia mengungkapkan fakta dan data yang tidak sama mengenai permasalahan kedua komponen tersebut diatas. Dengan adanya pengungkapan fakta dan data berdasarkan penelitian sosio-kriminologis, maka harapan yang ditimbulkan pada masa lampau dengan adanya berbagai bentuk dan sifat pidana mati yang kejam agar kejahatan kejahatanyang berat dapat dibasmi, dicegah atau dikurangkan, ternyata masih akan dan harus diterapkan pada masa sekarang. Sejarah hukum pidana pada masa lampau mengungkapkan adanya sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obatyang paling mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun terhadap kejahatan kejahatanlain. Dalam pada itu bukan saja pada masa lampau, sekarang pun masih adayang melihat pidana mati sebagai obat yang paling mujarab untuk kejahatan.19

Indonesia yang sedang mengadakan pembaharuan di bidang hukum pidananya, juga tidak terlepas dari persoalan pidana mati ini. Pihak pendukung danpenentang pidana mati yang jumlahnya masing-masing cukup besar, mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, buatan bangsa sendiri, yang telah lama dicita-citakan.

Masalah pemidanaan berhubungan erat dengan kehidupan seseorang dimasyarakat, terutama bila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan bermasyarakat yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan. Pada masa sekarang ini telah umum diterima pendapat bahwa yang menjatuhkan pidana adalah negara atau pemerintah dengan perantaraan alat-alathukum pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana selalu dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut: Pemerintah harus menjamin kemerdekaan individu, menjamin supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap

19

(28)

dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah/ negara menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah/ negara diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah / negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan pada pihaklain, pemerintah / negara menyerang pribadi manusia yang hendak menyerang danmengganggu manusia lain.20

Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan, antara lain, teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan teorigabungan.Teori absolut (pembalasan) menyatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Teori pembalasan ini pada dasarnya dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak objektif yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.

Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan adalah prevensi umum dan prevensi khusus, Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai, kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatan atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya. Teori gabungan mendasarkan jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salahsatu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yangada.21

Tujuan pemidanaan menurut konsep Rancangan KUHP 2010 dinyatakandalam pasal 54 ayat (1), adalah sebagai berikut:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

20

http://library.usu.ac.id/download/fh/pid-syahruddin, Syahruddin Husein, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, 26 Mei, 2005. Diakses tanggal 15 November 2011.

21

(29)

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Dalam Pasal 54 ayat (2) juga dinyatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Keseluruhan teori pemidanaan baik yang bersifat prevensi umum dan prevensi khusus, pandangan perlindungan masyarakat, teori kemanfaatan, teori keseimbangan yang bersumber pada pandangan adat bangsa Indonesia maupun teori resosialisasi sudah tercakup didalamnya. Menurut Muladi dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus tercakup dua hal, yaitu pertama harus sedikit banyak menampungaspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasartingkat kesalahan si pelaku dan yang kedua harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat.

3. Teori Pemidanaan

Perkembangan teori-teori tentang tujuan pemidanaan berkembang seiring dengan munculnya berbagai aliran-aliran di dalam hukum pidana yang mendasari perkembangan teori-teori tersebut. Perihal ide dari ditetapkannya tujuan pidana dan pemidanaan dapat dilihat dari berbagai teori-teori pemidanaan yang dalam perkembangannya sebagai berikut:

a. Teori Absolut / Retributive (Retributism)

Menurut teori absolut, pidana adalah suatu hal yang mutlak harus dijatuhkan terhadap adanya suatu kejahatan. Pidana adalah hal yang tidak mengenal kompromi untuk diberikan sebagai pembalasan terhadap suatu kejahatan.22

Teori retributivisme mencari pendasaran hukuman dengan memandang kemasa lampau, yaitu memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang sudah dilakukan. Menurut teori ini, hukuman diberikan karena si pelaku harus menerima hukuman itu demi kesalahannya. Hukuman menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkan.

Andi Hamzah mengemukakan, dalam teori absolut atau teori pembalasan, pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendiri yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukannya suatu kejahatan dan tidak perlu memikirkan manfaat dari penjatuhan pidana.23

22

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hal. 26.

Dengan demikian, menurut teori absolut, pidana adalah suatu hal yang mutlak harus dijatuhkan terhadap adanya suatu kejahatan. Pidana adalah hal yang tidak mengenal kompromi untuk diberikan sebagai pembalasan terhadap suatu kejahatan.

(30)

Menurut Johanes Andenaes, tujuan utama dari pidana menurut teori absolut adalah “untuk memuaskan tuntutan keadilan”, sedangkan pengaruh pengaruhnya yang menguntungkan adalah merupakan tujuan yang kedua.24

b. Teori Relatif/ Teleologis (Teleological Theory)

Menurut teori ini, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntuan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.Oleh karena itu, J.Andenaes menganggap teori ini dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence).25

Dasar pembenaran dari teori ini adalah adanya pidana terletak padatujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan (quiapeccatum est), melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan (nepeccatur).26

Selanjutnya dikemukakan juga oleh Muladi mengenai Nigel Walker yang berpendapat bahwa bahwa teori ini lebih tepat disebut sebagai teori atau aliran reduktif (the reductive point of view), karena dasar pembenaran menurut teoriini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan.Dengan demikian pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orangyang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu, teori relatif ini sering disebut jugateori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenaran dari teori ini adalah adanya pidana terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan (quia peccatum est), melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan (nepeccatur).27

Berdasarkan tujuan pidana yang dimaksudkan untuk pencegahan kejahatan ini, selanjutnya dibedakan dalam prevensi khusus yang ditujukan terhadap terpidana dan prevensi umum yang ditujukan terhadap masyarakat pada umumnya.

c. Teori Retributive Teleologis (Teleological Retributivist) / TeoriGabungan

Di samping pembagian secara tradisional terhadap teori-teori pemidanaan seperti yang dikemukakan di atas, yaitu teori absolut dan teori relatif, terdapat lagi teori ketiga yang merupakan gabungan. Menurut Andi Hamzah, teori gabungan ini bervariasi juga. Ada yang menitikberatkan pembalasan dan ada pula yang menginginkan supaya unsur pembalasan seimbang dengan unsur prevensi.28

Van Bemmelen merupakan salah satu tokoh dari penganut teori gabungan yang menitikberatkan pada unsur pembalasan. Beliau mengatakan: “Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan

24

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni 1998), hal. 11.

25

Ibid, hal. 17.

26

Ibid, hal. 16.

27

Ibid, hal. 16.

28

(31)

dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.”29

Dalam hal teori gabungan yang menginginkan supaya unsur pembalasan seimbang dengan unsur prevensi, maka Andi Hamzah mengemukakan bahwa teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar daripada yang seharusnya. Selanjutnya diketengahkan juga oleh beliau, bahwa teori ini sejajar dengan teori Thomas Aquino yang mengatakan bahwa kesejahteraan umum menjadi dasar hukum undang-undang pidana khususnya.30

Menurut Muladi, terdapat beberapa penulis-penulis lain yang berpendirian bahwa pidana mengandung berbagai kombinasi tujuan yaitu pembalasan, prevensi general serta perbaikan sebagai tujuanpidana. Mereka adalah Binding, Merkel, Kohler, Richard Schmid danBeling.31

Dengan demikian, pada umumnya para penganut teori gabungan mempunyai paham bahwa dalam suatu pidana terkandung unsur pembalasan dan unsur perlindungan masyarakat. Adapun titik berat maupun keseimbangan di antara kedua unsur tersebut tergantung dari masing-masing sudut pandang penganut teori gabungan ini. Di samping itu, menurut aliran ini maka tujuan pemidanaan bersifat plural (umum), karena menghubungkan prinsip-prinsip teleologis (prinsip-prinsip utilitarian) dan prinsip-prinsip retributivist di dalam satu kesatuan sehingga seringkali pandangan ini disebut sebagai aliran integrative. Pandangan ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus, misalnya pencegahan dan rehabilitasi, yang kesemuanya dilihat sebagai saran-saran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.32

B. Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia Barda Nawawi Arief33

Pembaharuan hukum pidana tersebut meliputi pembaharuan hukum pidana materiil (substantif), hukum pidana formil (hukum acara pidana) dan hukumpelaksanaan

mengemukakan bahwa dalam pembaharuan hukum, hukum pidana merupakan bidang yang menarik dibandingkan dengan hukum lain. Hal ini disebabkan hukum pidana mengandung sifat yang kontradiktif atau paradoksal, yaitu di satu pihak hukum pidana bermaksud melindungi kepentingan atau benda hukum dan hak asasi manusia dengan merumuskan norma-norma perbuatan yang terlarang, namun di lain pihak hukum pidana menyerang kepentingan hukum / HAM seseorang dengan mengenakan sanksi kepada si pelanggar norma.

29

Ibid. hal 32.

30 Ibid 31

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Loc. cit. 32

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Op. cit, hal.51.

33

(32)

pidana. Dalam melaksanakan pembaharuan hukum pidana, ketiga bidang hukum pidana itu harus secara bersama-sama diperbaharui, karena apabila hanya salah satu bidang saja yang diperbaharui, akan menimbulkan kepincangan atau kesulitan dalam pelaksanaannya. Di samping itu, tujuan utama dari pembaharuan hukum pidana, yaitu penanggulangan kejahatan, tidak akan dapat tercapai sepenuhnya. Dalam hal ini, penulis hanya akan membahas pembaharuan di bidang hukum materiil (substantif) saja.

Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri.34

Selanjutnya dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam suatu sejarah perjalanan bangsa, maka setiap diadakannya pembaharuan hukum pidana, tentu dilatarbelakangi oleh beberapa aspek yang urgen dengan diadakannya pembaharuan hukum pidana dari bangsa itu sendiri. Gustav Radbruch berpendapat bahwa memperbaharui hukum pidana tidak berarti memperbaiki hukum pidana, melainkan menggantinya dengan yang lebih baik.

35

Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan, maka:

bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya harus di tempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai.

1. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial.

2. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat.

3. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui sistem hukum. Dilihat dari sudut pendekatan nilai pembaharuan hukum pidana mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofis dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.

Selanjutnya dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief bahwa:

“Pembaharuan Hukum Pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakekatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik penegakan hukum, politik hukum

34

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 29.

35

(33)

pidana, politik kriminal dan politik sosial). Didalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai, pembaharuan hukum pidana harus berorientasi pada pendekatan nilai.“36

Pemikiran Barda Nawawi Arief tersebut dilatarbelakangi oleh pendapat Roeslan Saleh yang mengemukakan:

Keharusan rasionalitas itu bukanlah berarti bahwa pertimbangan-pertimbangan etis dalam hukum pidana dapat ditinggalkan saja, juga syarat rasional adalah suatu syarat moral (Wilkins, Moris dan Howard). Oleh sebab itu rasionalitas jangan sampai dikaburkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang bersifat etis. Batas-batas yang bersifat etis itu haruslah sebaik-baiknya dan seteliti-telitinya dirumuskan. Di dalam batas-batas dari apa yang secara etis dapat diterima haruslah dapat diambil keputusan-keputusan yang rasional itu.37

Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana di Indonesia seyogyanya memperhatikan pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai ini. Hal ini penting demi tercapainya suatu hukum pidana yang dapat mengatasi masalah sosial, memberikan perlindungan kepada masyarakat dan bukan merupakan hukum yang tidak pernah beranjak dari jaman penjajahan. Menurut AZ Abidin, bahwa hukum pidana itu merupakan cermin suatumasyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu. Bilamana nilai-nilai itu berubah, hukum pidana juga berubah. Hukum pidana secaratepat sebagai one of the most faithfull mirror of a given civilization, reflecting thefundamental values on which latter rest.38

Dalam hal ini, usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia sudah dimulaisejak masa permulaan berdirinya Republik Indonesia, yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Guna menghindari kekosongan hukum, Undang UndangDasar 1945 memuat Aturan Peralihan, yang dalam Pasal II dinyatakan bahwa:

“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini”.

Pada bidang hukum pidana materiil, Wetboek van Strafrecht voorNederlands-Indie masih tetap berlaku dan diterapkan selama masa pendudukan itu. Hal ini berarti pada kurun waktu itu tidak pernah ada suatu produk legislatif yang menyatakan WvS atau beberapa pasal dari WvS tersebut menjadi tidak berlaku. Hanya pada tahun 1944, Pemerintah Bala Tentara Jepang mengeluarkan apa yang disebut Gunsei Keizirei yang merupakan suatu peraturan serupa dengan KUHP, yang harus diterapkan oleh pengadilan-pengadilan pada waktu itu. Dengan sendirinya, apabila suatu perbuatan termasuk dalam

36

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 1994), hal. 39.

37

Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal 44.

38

(34)

rumusan atau kualifikasi delik WvS dan juga dalam Gunsei Keizirei. Keadaan ini berlangsung sampai dikeluarkan Undang Undang Nomor 1 tahun 1946 tanggal 26 Pebruari 1946.Sejak saat inilah dapat dikatakan pembaharuan hukum pidana Indonesia dimulai.39

Hal tersebut senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Loebby Loqman, bahwa upaya untuk melakukan pembaharuan pidana yang sesungguhnya dapat dikatakan baru dimulai dengan dikeluarkannya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946, karena di dalamnya memberi kekuatan untuk menyesuaikan materi KUHP.

Menurut Soeharjo SS, usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia tentunya tidak terlepas dari politik hukum yang bertugas untuk meneliti perubahan perubahan yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam masyarakat. Politik hukum tersebu tmeneruskan arah perkembangan tertib hukum dari “Jus Constitutum” yang bertumpu pada kerangka landasan hukum yang terdahulu menuju pada penyusunan “Jus Constituendum” atau hukum pada masa yang akan datang.40

Apabila ditinjau pada alasan mengapa diperlukan pembaharuan hukum pidana, Sudarto mengemukakan bahwa pembaharuan hukum pidana dilandaskan pada 3 (tiga) alasan, yaitu:41

1. Alasan Politik: Indonesia yang telah lima puluh tahun merdeka adalah wajar mempunyai hukum pidana sendiri, yang diciptakannya sendiri, oleh karena hal ini merupakan simbol kebanggaan dari negara yang telah bebas dari penjajahan. 2. Alasan Sosiologi: Pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan dari

idiologi politik suatu bangsa, dimana hukum itu berkembang. Artinya bahwa segala nilai-nilai sosial dan kebudayaan dari bangsa itu harus mendapat tempat dalam pengaturan di hukum pidana.

3. Alasan Praktis: Dengan pembaharuan hukum pidana yang baru, akan dapat memenuhi kebutuhan praktik, sebab hukum peninggalan penjajah jelas masih menggunakan bahasa belanda. Padalah Indonesia sebagai negara yang merdeka sudah memiliki bahasa sendiri, tentu tidaklah tepat jika menerapkan suatu aturan hukum berdasarkan pada teks yang tidak asli.

39

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1993), hal. 60-61.

40

Soehardjo SS, Poltik Hukum dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal 66.

41

(35)

Sehubungan dengan kenyataan, bahwa teks resmi dari KUHP masih berbahasa Belanda, maka sebenarnya orang harus mengerti bahasa Belanda apabila hendak menerapkannya secara tepat. Hal ini tentunya tidak mungkin diharapkan dari bangsa Indonesia yang sudah merdeka dan mempunyai bahasa nasional sendiri, yaitu bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dipandang dari sudut demikian, KUHP yang sekarang seharusnyalah diganti dengan dengan KUHPnasional.

Jimly Asshidiqie42

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Teuku Mohammad Radie mengemukakan bahwa hukum nasional yang hendak diciptakan sebagai kerangka landasan kehidupan bangsa Indonesia dengan sendirinya disamping harus didasarkan atas pandangan hidup bangsa, Pancasila dan ketentuan-ketentuan UUD1945, harus pula disesuaikan dengan tuntutan kemajuan jaman.

menyatakan bahwa perumusan ketentuan dalam KUHP baru seyogyannya merupakan produk kesadaran hukum masyarakat Indonesia sendiri atau paling tidak merupakan perumusan yang dekat dengan kesadaran masyarakat hukum Indonesia. Artinya perumusan ketentuan hukum baru itu jangan sampai semata-mata merupakan produk kesadaran hukum barat sebagaimana tampil dalam kenyataan KUHP yang merupakan warisan penjajahan Belanda di Indonesia.

Senada dengan pendapat di atas, Baharudin Lopa mengemukakan bahwa pembangunan hukum nasional ialah membangun tata hukum Indonesia yang bersumber pada kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Hukum nasional dengan sendirinya akan memiliki corak khas Indonesia sebagai salah satu aspek dari kebudayaan Indonesia.43

Koento Wibisono berpendapat bahwa Pancasila sebagai salah satu unsure staats fundamental norm bangsa, dengan sendirinya juga merupakan komitmen filsafati yang menjajikan persatuan sikap dan pandangan bangsa, kesatuan upaya bangsa ini dalam menyongsong hari depan yang dicita-citakan bersama melalui pembangunan di segala bidang, juga di bidang hukum nasional.

Satjipto Rahardjo mengemukakan pendapat yang senada dengan hal di atas, yaitu sehubungan dengan penerimaan Pancasila sebagai norma dasar bagi tata hukum Indonesia, maka tidak jarang orang akan mengatakan bahwa Pancasila itulah yang menentukan mana yang bisa diterima oleh tata hukum Indonesia.44

Selanjutnya, Muladi berpendapat bahwa salah satu karakteristik hukum pidana yang mencerminkan proyeksi hukum pidana masa datang adalah hukum pidana nasional dibentuk tidak hanya sekedar atas alasan sosiologis, politis dan praktis semata-mata, melainkan secara sadar harus disusun dalam rangka kerangka Ideologi Nasional

42

Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1997), hal 3.

43

Baharudin Lopa, Etika Pembangunan Hukum Nasional Dalam Identitas Hukum Nasional, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997), hal. 17.

44

(36)

Pancasila.45

Dalam pembaharuan KUHP sebagai pembaharuan hukum pidana materiil,dapat dilakukan dengan 2 (dua ) cara, yaitu :

Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana di Indonesia sebagai salah satu upaya pembangunan hukum nasional harus memperhatikan Pancasila sebaga isalah satu norma dasar dan kepribadian dari bangsa Indonesia.

1. Secara parsial, yaitu mengadakan beberapa perubahan pada bagian-bagian tertentu dari KUHP. Cara ini disebut juga cara “tambal sulam”.

2. Secara total, yaitu pembaharuan secara keseluruhan terhadap KUHP sehingga muncul KUHP baru.

Selama ini pembaharuan hukum pidana di Indonesia baru dilakukan dengan cara parsial. Sebagai perwujudan pembaharuan hukum pidana secara parsial, telah muncul beberapa kebijakan legislatif atau produk perundang-undangan yang pernah dikeluarkan oleh Pemerintah. Adapun usaha pembaharuan KUHP secara total, yaitu dengan mewujudkan KUHP Nasional yang baru mulai terlihat dengan adanya rekomendasi Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional selekas mungkin diselesaikan. Atas seruan tersebut, maka telah disusun Konsep Rancangan KUHP Nasional, yang beberapa kali mengalami perbaikan dalam penyusunannya sampai muncul Konsep terakhir, yaitu Konsep KUHP 2006, yang diterbitkan oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan.

C. Latar Belakang Pemikiran Dianutnya Pidana Penjara Minimum Khusus

Dari sekian banyak isu sosial yang mendesak dalam negara ang sedang membangun adalah masalah penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial tersebut merupakan salah satu akibat yang harus diterima oleh masyarakat yang sedang membangun, masyarakat yang sedang mengalami transformasi ke arah masyarakat modern. Penyimpangan tersebut adalah bilamana ada norma aturan yang menguasa perbuatan yang dianggap menyimpang tersebut.Salah satu bentuk penyimpangan tersebut adalah pelanggaran atas aturan-aturan hukum pidana yang disebut sebagai kejahatan.

Kejahatan merupakan salah satu bentuk tingkah laku manusia yang seringkali menimbulkan akiabt yang sangat merugikan, tidak saja bagi individu tertentu, tetapi juga masyarakat bahkan terhadap negara. Apalagi dengan melihat bahwa kejahatan merupakan salah satu masalah sosial, karena pertumbuhan dan perkembangan kehidupannya di dalam masyarakat menumbuhkan bentuk-bentuk kejahatan dari kejahatan tradisional meningkat menjadi kejahatan inkonvensional yang dapat menyentuh kepentingan umum, perekonomian umum, perekonomian negara, hak asasi manusia dan lain sebagainya.

45

(37)

Beberapa kejahatan-kejahatan tersebut, karena sifatnya yang sangat tercela, maka ancaman hukumannya diperberat oleh pembentuk undang-undang, yaitu perilaku yang mengakibatkan terjadinya kegoncangan dalam masyarakat, seperti penganiayaan, kejahatan terhadap jiwa, integritas jiwa dan raga maupun kebebasan manusia.46

Menurut Muladi, dengan memperhitungkan berbagai kepentingan yang terkait dengan penegakan hukum pidana, maka nampak adanya kecenderungan-kecenderungan internasional yang salah satunya adalah dengan mengembangkan sanksi (pidana) maksimum khusus untuk kejahatan-kejahatan tertentu.47 Pengembangan pidana minimum khusus tersebut adalah dalam rangka mengurangi dispartis pidana (disparity of sentencing) dan menunjukkan beratnya tindak pidana yang dilakukan.48

Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifatnya berbahaya yang dimilikinya dapat dipertbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.49

Berkaitan dengan disparitas dan pidana minimum khusus tersebut, Andi Hamzah mengemukakan:50

Berhubung karena bermacam-macamnya pidana dan tindaka yang tercantum dalam KUHP dan perundang-undangan di luar KUHP sering pula merupakan alternatif dalam satu Pasal, di samping tidak adanya minimum khusus dalam tiap-tiap tindak pidana yang tercantum dalam Pasal-Pasal terswebut sebagaimana halnya di Amerika Serikat, maka hakim di Indonesia mempunyai kebebasan yang sangat luas dalam menentukan beratnya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa.

Akibat dari ketentuan semacam ini kadang-kadang dua delik yang sama, misalnya pembunuhan dipidana snagat berbeda, yang satu misalnya lima tahun penjara sedangkan yang lain sepuluh tahun penjara. Di sinilah letak kelebihan jika dicantumkan minimum pidana dalam setiap Pasal undang-undang pidana.

Pada saat ini, KUHP yang berlaku di Indonesia merupakan suatu produk peninggalan pemerintahan Belanda, yang meskipun telah banyak dilakukan perubahan di dalamnya, masih terasa kurang dapat memenuhi kepentingan nasional, masyarakat dan individu dalam negara Republik Indonesia yang sedang mela

Referensi

Dokumen terkait

pelaku pembunuhan tersebut tidak dapat di hukum.. Sumber Hukum Tindak Pidana Pembunuhan Biasa dalam Bentuk Pokok berdasarkan KUHP dengan Hukum Pidana Islam. 1. Sumber Hukum

Adapun tindak pidana pembunuhan sengaja yang diatur dalam KUHP antara lain, pembunuhan dalam bentuk pokok, pembunuhan yang diikuti, didahului atau disertai dengan tindak pidana

Adapun tindak pidana pembunuhan sengaja yang diatur dalam KUHP antara lain, pembunuhan dalam bentuk pokok, pembunuhan yang diikuti, didahului atau disertai dengan tindak pidana

• Berbeda dengan KUHP yang menempatkan pidana mati sebagai salah satu pidana pokok, RUU KUHP menempatkan pidana mati sebagai pidana yang paling terakhir dijatuhkan untuk

Tulisan  ini  berisi  paparan  mengenai  upaya‐upaya  yang  telah  dilaksanakan 

Dan syarat-syarat khusus, seperti kewajiban mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan tindak pidana (Pasal 14c ayat (1) KUHP), dan/atau syarat khusus lain

Ketiga bab tersebut digabung dalam Bab VIII Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang, Kesehatan, Barang dan Lingkungan Hidup..

Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan