• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Tentang Pengaturan Dan Kedudukan Internet Protokol Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Tentang Pengaturan Dan Kedudukan Internet Protokol Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN DAN KEDUDUKAN INTERNET PROTOKOL SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK

PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

IVAN GIOVANI SEMBIRING 070200161

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN DAN KEDUDUKAN INTERNET PROTOKOL SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK

PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

070200161

IVAN GIOVANI SEMBIRING

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP. 195703261986011001 DR. M. HAMDAN, SH, MH

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

(3)

i

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur, hormat dan kemuliaan bagi nama Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberi kekuatan, hikmat, kebijaksanaan, pengetahuan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini disusun berdasarkan pengalaman dan kegiatan yang penulis lakukan selama masa perkuliahan.

Skripsi ini berjudul: “Tinjauan Yuridis Tentang Pengaturan Dan Kedudukan Internet Protokol Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Kejahatan Mayantara (Cyber Crime).”

Pelaksanaan pendidikan guna memperoleh gelar sarjana ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu diharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini, banyak bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

(4)

ii

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, SH. MHum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hamdan, SH, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Abul Khair, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.

9. Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum, selaku Dosen Wali penulis selama mengikuti perkuliahan.

10.Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi selama mengikuti perkuliahan.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

(5)

iii

2. Adik saya Ivo Randy Sembiring Colia dan Indriani Maya Sari Br. Sembiring Colia yang telah memberikan kasih sayang dan dukungan moril kepada penulis.

3. Mia Pratiwi Tarigan, SS yang selama ini memberi motivasi, dukungan, serta pembelajaran yang sangat berarti buat penulis.

4. Teman-teman penulis: Adi Suranta Sembiring, Pelix Adrian Sembiring, Prananta Garcia Tarigan, Albert Valentino Sembiring, Ian tArigan, Riyadhi Kila Ginting, Ian Barus, Anta Mahong.

5. Kepada teman-teman organisasi IMKA (Ikatan Mahasiswa Karo) “ERKALIAGA” Fakultas Hukum USU: Rezky Diapani Bangun, Edy Milala, Egi Tarigan, Henni Tarigan, SH, Alva Monica Tarigan, SH, Christy Ginting, SH, Emi Milala, SH, Juna Kaban, SH, Meilani Sabrina Sitepu, Febrina Sari Kacaribu, Enos, SH, David Adrian Sembiring, Mario Borneo Tarigan, Amin Manalu, Elly Carolina Barus, Dilakukan Christy Sitepu, Mandala Elio Ginting, dan teman-teman IMKA lainnya yang telah banyak membantu menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepada saudara-saudaraku terima kasih atas dukungan, doa, dan perhatian yang sangat besar dan selalu mendukungku, terima kasih kepada seluruh keluarga besarku yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.

(6)

iv

8. Kepada Nila Octavia Sidabutar, AMKeb, yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada penulis.

9. Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2012 Penulis,

(7)

v DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan masalah... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Metode Penelitian... 12

F. Sistematika ... 16

BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK SEBAGAI BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME) DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Tinjauan Umum Tentang Penggunaan Alat Bukti Berupa Informasi Elektronik ... 18

B. Tindak Pidana Kejahatan Mayantara (Cyber crime) ... 35

(8)

vi

BAB III KEDUDUKAN INTERNET PROTOKOL SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA (cyber crime)

A. Sejarah Internet Protokol dan Perkembangannya ... 63 B. Internet Protokol Sebagai Alat Bukti ... 69 C. Internet Protokol Sebagai Alat Bukti pada Tindak Pidana

Kejahatan Mayantara (Cybercrime) ... 86 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 98 B. Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA

(9)

vii ABSTRAKSI

Salah satu masalah yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi internet adalah lahirnya suatu bentuk kejahatan baru yang sering disebut dengan

cyber crime (kejahatan mayantara). Penggunaan internet untuk tujuan yang baik atau tujuan yang jahat dijadikan sebagai media, alat atau sasaran kejahatan, tercatat atau meninggalkan jejak elektronis seperti Internet Protocol (IP). Jejak-jejak elektronis itu dapat dijadikan sebagai bukti untuk membuat terang sebuah tindak pidana. Oleh karena itu, skripsi ini penulis susun dengan judul “Tinjauan Yuridis Tentang Pengaturan Dan Kedudukan Internet Protokol Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Kejahatan Mayantara (Cyber Crime).” Permasalahan yang diangkat dan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan mengenai penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik sebagai bukti dalam tindak pidana kejahatan mayantara (cyber crime) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan bagaimana kedudukan Internet Protocol sebagai alat bukti dalam tindak pidana kejahatan mayantara (cyber crime). Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui pengaturan alat bukti informasi elektronik berupa internet protocol

dalam tindak pidana kejahatan mayantara berdasarkan UU No. 11 tahun 2008. Metode dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif-normatif yang bersifat kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah konseptual. Materi penelitian diambil dari data primer data primer dan data sekunder, kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan penelitian.

Kedudukan Internet Protokol sebagai alat bukti dalam kejahatan mayantara (cyber crime) adalah sebagai petunjuk dalam mencari kebenaran materiil dalam kasus kejahatan mayantara (cyber crime). Petunjuk diperoleh berdasarkan keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Implikasi yuridisnya adalah dengan digunakannya Internet Protokol sebagai alat bukti dalam tindak pidana kejahatan mayantara atau cyber crime, maka setiap orang yang melakukan tindak pidana tersebut dapat dikenakan pemidanaan.

Melihat perkembangan zaman yang diikuti dengan berkembangnya modus operandi oleh pelaku kejahatan mayantara (cyber crime), namun belum ada regulasi (kebijakan) yang secara jelas dan tegas mengatur mengenai bukti-bukti elektronik dalam hukum pembukti-buktian di persidangan, maka seyogyanya hakim harus mencari dan menemukan hukumnya, yaitu melakukan penemuan hukum (rechts-vinding).

(10)

vii ABSTRAKSI

Salah satu masalah yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi internet adalah lahirnya suatu bentuk kejahatan baru yang sering disebut dengan

cyber crime (kejahatan mayantara). Penggunaan internet untuk tujuan yang baik atau tujuan yang jahat dijadikan sebagai media, alat atau sasaran kejahatan, tercatat atau meninggalkan jejak elektronis seperti Internet Protocol (IP). Jejak-jejak elektronis itu dapat dijadikan sebagai bukti untuk membuat terang sebuah tindak pidana. Oleh karena itu, skripsi ini penulis susun dengan judul “Tinjauan Yuridis Tentang Pengaturan Dan Kedudukan Internet Protokol Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Kejahatan Mayantara (Cyber Crime).” Permasalahan yang diangkat dan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan mengenai penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik sebagai bukti dalam tindak pidana kejahatan mayantara (cyber crime) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan bagaimana kedudukan Internet Protocol sebagai alat bukti dalam tindak pidana kejahatan mayantara (cyber crime). Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui pengaturan alat bukti informasi elektronik berupa internet protocol

dalam tindak pidana kejahatan mayantara berdasarkan UU No. 11 tahun 2008. Metode dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif-normatif yang bersifat kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah konseptual. Materi penelitian diambil dari data primer data primer dan data sekunder, kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan penelitian.

Kedudukan Internet Protokol sebagai alat bukti dalam kejahatan mayantara (cyber crime) adalah sebagai petunjuk dalam mencari kebenaran materiil dalam kasus kejahatan mayantara (cyber crime). Petunjuk diperoleh berdasarkan keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Implikasi yuridisnya adalah dengan digunakannya Internet Protokol sebagai alat bukti dalam tindak pidana kejahatan mayantara atau cyber crime, maka setiap orang yang melakukan tindak pidana tersebut dapat dikenakan pemidanaan.

Melihat perkembangan zaman yang diikuti dengan berkembangnya modus operandi oleh pelaku kejahatan mayantara (cyber crime), namun belum ada regulasi (kebijakan) yang secara jelas dan tegas mengatur mengenai bukti-bukti elektronik dalam hukum pembukti-buktian di persidangan, maka seyogyanya hakim harus mencari dan menemukan hukumnya, yaitu melakukan penemuan hukum (rechts-vinding).

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Globalisasi pada dasarnya bermula dari awal abad ke 20, yakni pada saat revolusi transportasi dan elektronika mulai memperluas dan mempercepat perdagangan antar bangsa. Menurut Tholchah Hasan, di samping pertambahan dan kecepatan lalu lintas barang dan jasa, berkembang pula secara cepat globalisasi gagasan modern seperti negara, konstitusi, nasionalisme, kapitalisme, demokrasi, sekularisme, juga industri dan perusahaan media massa.51

Kemajuan teknologi yang terjadi pada saat ini telah merubah struktur masyarakat dari yang bersifat lokal menuju ke arah masyarakat yang berstruktur global. Perubahan ini disebabkan oleh kehadiran teknologi informasi yang semakin pesat perkembangannya. Perkembangan teknologi informasi yang berkembang saat ini berpadu dengan media dan komputer, yang kemudian melahirkan piranti baru yang disebut internet. Kehadiran internet telah memunculkan paradigma baru dalam kehidupan manusia. Kehidupan berubah dari yang hanya bersifat nyata (real) ke realitas baru yang bersifat maya (virtual). Realitas yang kedua ini biasa dikaitkan dengan internet dan cyber space.

Adanya kecanggihan teknologi komputer di zaman abad modern ini, memang sangat bermanfaat bagi manusia. Keunggulan komputer berupa kecepatan dan ketelitiannya dalam menyelesaikan pekerjaan sehingga dapat

51

(12)

2

menekan jumlah tenaga kerja, biaya serta memperkecil kemungkinan melakukan kesalahan, mengakibatkan masyarakat semakin mengalami ketergantungan kepada komputer. Namun dampak negatif dapat timbul apabila terjadi kesalahan peralatan komputer yang mengakibatkan kerugian besar bagi pemakai (user) atau pihak-pihak yang berkepentingan. Kesalahan yang disengaja mengarah kepada penyalahgunaan komputer.

Semakin berkembangnya teknologi informasi sekarang ini, baik berupa internet atau media lain yang sama, menimbulkan berbagai akibat. Ada akibat positif maupun akibat negatif yang timbul dari perkembangan teknologi informasi tersebut. Banyak kemudahan yang dapat kita peroleh dari pemanfaatan teknologi informasi tersebut, khususnya dari internet, dan tidak dapat dipungkiri juga, bahwa teknologi informasi khususnya internet tersebut dapat menjadikan kejahatan yang semula hanya bersifat konvensional seperti pencurian, penipuan, pengancaman, dan lain sebagainya menjadi lebih canggih melalui penggunaan media komputer secara online dengan resiko tertangkap yang sangat kecil.52

Perkembangan dunia internet di Indonesia telah mencapai suatu tahap yang begitu cepat, sehingga tidak mengherankan apabila di setiap sudut kota banyak ditemukan warung-warung internet yang menyajikan berbagai jasa pelayanan internet. Pada mulanya, internet sempat diramalkan akan mengalami kehancuran oleh beberapa pengamat komputer di era 1980-an karena kemampuannya yang saat itu hanya bertukar informasi satu arah saja. Namun semakin ke depan, ternyata ramalan tersebut meleset, dan bahkan sekarang

(13)

3

menjadi suatu kebutuhan akan informasi yang tiada henti-hentinya bergulir. Namun keindahan internet tidak seindah namanya yang dijanjikan dapat memberikan berbagai informasi yang ada di belahan dunia manapun, karena berbagai kejahatan yang ada di kehidupan nyata ternyata lebih banyak ditemukan di sana. Kejahatan di internet ini populer dengan nama cyber crime.

Internet sebagai hasil rekayasa teknologi bukan hanya menggunakan kecanggihan teknologi komputer tapi juga melibatkan teknologi telekomunikasi di dalam pengoperasiannya. Apalagi pada saat internet sudah memasuki generasi kedua, perangkat komputer konvensional akan tergantikan oleh peralatan lain yang juga memiliki kemampuan mengakses internet.

Berdasarkan beberapa literatur serta prakteknya, cyber crime memiliki karakter yang khas dibandingkan kejahatan konvensional, yaitu antara lain:53

a. Perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa hak atau tidak etis tersebut terjadi di ruang/wilayah maya (cyberspace), sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi hukum negara mana yang berlaku terhadapnya.

b. Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apapun yang bisa terhubung dengan internet.

c. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materil maupun immateril (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan informasi) yang cenderung lebih besar dibandingkan kejahatan konvensional.

d. Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya.

e. Perbuatan tersebut seringkali dilakukan secara transnasional/melintasi batas negara.

Di Indonesia telah banyak terjadi kejahatan di dunia maya atau cyber crime. Salah satu contoh kasus yang sempat menggegerkan Indonesia adalah pada tahun 2004, seseorang yang bernama Dani Firmansyah men-deface atau mengubah halaman dari situs tnp.kpu.go.id yang ia lakukan dengan cara SQL

53

(14)

4

Injection. Dia berhasil menembus IP tnp.kpu.go.id 203.130.201.134, serta berhasil meng-update daftar nama partai. Teknik yang dipakai Dani dalam meng-hack

yakni melalui teknik spoofing (penyesatan). Dani melakukan hacking dari IP

public PT Danareksa (tempat dia bekerja) 202.158.10.117, kemudian membuka IP

Proxy Anonymous Thailand 208.147.1.1 lalu masuk ke IP tnp.kpu.go.id 203.130.201.134, dan berhasil membuka tampilan nama 24 partai politik peserta pemilu.54

Contoh kasus lainnya adalah dunia perbankan melalui Internet (e-banking)

Indonesia dikejutkan oleh ulah seseorang bernama Steven Haryanto, seorang

hacker dan jurnalis pada majalah Master Web. Lelaki asal Bandung ini dengan sengaja membuat situs asli tapi palsu layanan internet banking Bank Central Asia, (BCA). Steven membeli domain-domain dengan nama mirip www.klikbca.com (situs asli Internet banking BCA), yaitu domain wwwklik-bca.com, kilkbca.com, clikbca.com, klickca.com, dan klikbac.com. Isi situs-situs plesetan ini nyaris sama. Jika nasabah BCA salah mengetik situs BCA asli maka nasabah tersebut masuk perangkap situs plesetan yang dibuat oleh Steven sehingga identitas pengguna (user id) dan nomor identitas personal dapat diketahuinya.

Diperkirakan, 130 nasabah BCA tercuri datanya. Menurut pengakuan Steven pada situs bagi para webmaster di Indonesia, www.webmaster.or.id tujuan membuat situs plesetan adalah agar publik berhati-hati dan tidak ceroboh saat melakukan pengetikan alamat situs (typo site), bukan untuk mengeruk keuntungan.

54

(15)

5

Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian merupakan suatu proses pencarian kebenaran materiil atas suatu peristiwa pidana. Hal ini berbeda jika dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata yang merupakan proses pencarian kebenaran formil. Proses pembuktian sendiri merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan.

Hukum acara pidana di dalam bidang pembuktian mengenal adanya Alat Bukti dan Barang Bukti, di mana keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan, seperti yang diatur Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah:

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa55

Pada perkembangannya, alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP tidak lagi dapat mengakomodir perkembangan teknologi informasi, hal ini menimbulkan permasalahan baru. Salah satu masalah yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi adalah lahirnya suatu bentuk kejahatan baru yang sering disebut dengan cyber crime, dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi Arief disebut dengan tindak pidana mayantara. Secara garis besar cyber crime terdiri dari dua jenis, yaitu kejahatan yang menggunakan teknologi

55

(16)

6

informasi (TI) sebagai fasilitas dan kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas TI sebagai sasaran.

Tentu saja upaya penegakan hukum tidak boleh terhenti dengan ketidakadaan hukum yang mengatur penggunaan barang bukti maupun alat bukti berupa informasi elektronik di dalam penyelesaian suatu peristiwa hukum. Selain itu, proses mengajukan dan proses pembuktian alat bukti yang berupa data digital perlu pembahasan tersendiri mengingat alat bukti dalam bentuk informasi elektronik ini serta berkas acara pemeriksaan telah melalui proses digitalisasi dengan proses pengetikan (typing), pemeriksaan (editing), dan penyimpanan

(storing) dengan menggunakan komputer. Hasilnya tetap saja dicetak di atas kertas (printing process). Dengan demikian, diperlukan kejelasan bagaimana mengajukan dan melakukan proses pembuktian terhadap alat bukti yang berupa data digital.

Proses pembuktian suatu alat bukti yang berupa data digital ini juga menyangkut aspek validasi data digital yang dijadikan alat bukti tersebut. Aspek lain terkait adalah masalah menghadirkan alat bukti tersebut, apakah dihadirkan cukup dengan perangkat lunaknya (software) ataukah harus dengan perangkat kerasnya (hardware).56

Sebagaimana telah dijelaskan terlebih dahulu, bukti digital tidak dikenal dalam KUHAP. Untuk beberapa perbuatan hukum tertentu, bukti digital dikenal dan pengaturannya tersebar pada beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang tentang Dokumen Perusahaan, Undang-undang tentang Tindak

56

(17)

7

Pidana Pencucian Uang, Undang-undang Tentang Kearsipan, Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menjadi fokus penulisan ini.

Sebagai lex specialis, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 memiliki kekhususan secara formil dibandingkan KUHAP. Salah satu kekhususan tersebut yang menjadi fokus dalam penulisan ini adalah terkait penggunaan alat bukti yang merupakan pembaharuan proses pembuktian konvensional dalam KUHAP. Pengaturan mengenai alat bukti pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tersebut terlihat dalam Pasal 5, yaitu sebagai berikut:

1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk

tertulis; dan

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.57

Usaha mewujudkan cita-cita hukum (rechtside) untuk mensejahterakan masyarakat melalui kebijakan hukum pidana tidak merupakan satu-satunya cara yang memiliki peran paling strategis. Dikatakan demikian karena hukum pidana

57

(18)

8

hanya sebagai salah satu dari sarana kontrol masyarakat (sosial). Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Di samping itu, perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi arena efektif untuk melakukan perbuatan melawan hukum.

Perkembangan teknologi dan perkembangan hukum telah menyebabkan tergesernya bentuk media cetak menjadi bentuk media digital (paper less). Perlu diperhatikan dalam kejahatan dengan menggunakan komputer, bukti yang akan mengarahkan suatu peristiwa pidana adalah berupa data elektronik, baik yang berada di dalam komputer itu sendiri (hardisk/floppy disc) atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas pengguna komputer.

Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dengan media internet, atau dalam

(19)

9

para aparat hukum menggali serta menangani jejak-jejak elektronis itu sebagai bukti untuk membuat terang sebuah tindak pidana yang dilakukan.

Melihat fakta hukum sebagaimana diuraikan di atas, dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah disalahgunakan sebagai sarana kejahatan ini menjadi teramat penting untuk diantisipasi bagaimana kebijakan hukumnya, sehingga cyber crime yang terjadi dapat dilakukan upaya penanggulangannya dengan hukum acara pidana, termasuk dalam hal ini adalah mengenai sistem pembuktiannya.58

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji mengenai penggunaan alat bukti digital atau alat bukti elektronik yang terdapat dalam undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta penggunaan internet protokol sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana kejahatan mayantara atau cyber crime. Untuk itu, penulis membuat penulisan hukum dalam bentuk skripsi dengan judul :

“TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN DAN KEDUDUKAN INTERNET PROTOKOL SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME).”

B. Rumusan masalah

Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting di dalam penyusunan suatu penulisan hukum. Perumusan masalah di dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga tujuan yang

58

(20)

10

akan dicapai menjadi lebih jelas dan sistematis. Dengan demikian akan diperoleh hasil yang diharapkan.

Sehubungan dengan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, peneliti mengidentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan mengenai penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik sebagai bukti dalam tindak pidana kejahatan mayantara (cyber crime) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

2. Bagaimana kedudukan Internet Protokol sebagai alat bukti dalam tindak pidana kejahatan mayantara (cyber crime)?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas dan pasti agar penelitian tersebut memiliki arahan dan pedoman yang pasti. Tujuan penelitian pada prinsipnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh peneliti sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi.59

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini antara lain sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui macam-macam alat bukti elektronik yang digunakan sebagai alat bukti dalam pembuktian pada kasus tindak pidana kejahatan mayantara yang terjadi di Indonesia.

59

(21)

11

b. Untuk mengetahui implikasi yuridis penggunaan alat bukti elektronik khususnya Internet Protokol sebagai alat bukti dalam tindak pidana kejahatan mayantara (cyber crime).

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis khususnya dalam hal Hukum Acara Pidana tentang penggunaan alat bukti elektronik dalam hal pembuktian perkara kejahatan mayantara (cyber crime).

b. Untuk mengetahui kesesuaian penerapan teori-teori Hukum Acara khususnya Acara Pidana dalam menyelesaikan atau mengatasi masalah di lapangan.

D. Manfaat Penelitian

Nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini antara lain:60

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan di bidang hukum khususnya dalam bidang hukum Acara Pidana dalam hal pembuktian dengan menggunakan alat bukti elektronik.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan, sumber referensi bagi para pihak yang berkepentingan terhadap penelitian ini.

60

(22)

12 2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi tentang penggunaan alat bukti elektronik dalam hal ini adalah Internet Protokol sebagai alat bukti dalam pembuktian dalam kejahatan mayantara (cyber crime).

b. Untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran baik masyarakat maupun aparat penegak hukum mengenai penggunaan alat bukti elektronik sebagai alat bukti dalam pembuktian dalam kejahatan mayantara (cyber crime).

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu Metodologi pada hakikatnya memberikan pedoman tentang cara-cara seorang ilmuan mempelajari, menganalisis dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya.

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

(23)

13

menjelaskan kesulitan dan daerah. mungkin, memprediksi pengembangan masa depan.

Penelitian hukum normatif, mencakup penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas hukum, penelitian hukum klinis, sistematika peraturan perundang-undangan, sinkronisasi suatu perundang-perundang-undangan, sejarah hukum dan perbandingan hukum.61

2. Sifat Penelitian

Penelitian hukum ini merupakan penelitian mengenai sinkronisasi peraturan perundang-undangan. Pada penelitian hukum normatif sepenuhnya menggunakan data sekunder dan tidak diperlukan penyusunan atau perumusan hipotesis.

Penelitian yang peneliti lakukan adalah termasuk penelitian deskriptif, yakni penelitian hukum yang bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku.62

3. Jenis Data

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi mengenai macam-macam alat bukti digital yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia serta penggunaan alat bukti digital khususnya Internet Protokol sebagai alat bukti pada tindak pidana kejahatan mayantara (cyber crime).

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari :

61

Soerjono Soekanto, op.cit. 62

(24)

14 a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki otoritas.63

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari peraturan perundangundangan antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum pendukung yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, meliputi buku-buku teks, dokumen-dokumen, artikel dan jurnal-jurnal hukum. Pada penelitian ini sebagai bahan hukum sekunder peneliti menggunakan buku-buku ilmu hukum, jurnal, publikasi media cetak maupun elektronik yang berkaitan dengan masalah yang dibahas pada penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, baik itu berupa rancangan undang-undang, kamus hukum, maupun ensiklopedia

4. Teknik Pengumpulan Data

Mengingat jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa jenis data sekunder yang diperoleh dari bahan pustaka, maka teknik

63

(25)

15

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan.

Pustaka yang dimaksud terdiri dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya tulis, dan data yang didapat dari halaman-halaman internet (web page). Kegiatan studi pustaka tersebut dilakukan dengan mengikuti tahap-tahap sebagai berikut :

a. Penentuan sumber data sekunder.

b. identifikasi data sekunder yang diperlukan, yaitu proses mencari dan mengenal bahan hukum.

c. inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah, dengan cara pengutipan atau pencatatan.

d. pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.

5. Analisis Data

Setelah data terkumpul kemudian dianalisa menggunakan metode analisis kualitatif. Menurut Winarno Surakhmad, analisis kualitatif adalah suatu analisa yang memahami kebenaran yang diperoleh dari hasil penelitian dan jawaban-jawaban responden untuk dicari hubungan antara satu dengan yang lain, kemudian disusun secara sistematis.64

64

(26)

16 F. Sistematika

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai keseluruhan sisi penelitian, pada penelitian ini akan dibagi menjadi empat bab dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini, penulis memaparkan tentang : latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II PENGATURAN MENGENAI PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK SEBAGAI BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME) DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Dalam bab ini, penulis akan memaparkan tentang deskripsi mengenai pengaturan penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik sebagai bukti dalam tindak pidana kejahatan mayantara (cyber crime) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan kedudukan Internet Protokol sebagai alat bukti dalam tindak pidana kejahatan mayantara (cyber crime)

(27)

17

Dalam bab ini, penulis akan memaparkan tentang kedudukan Internet Protokol sebagai alat bukti dalam tindak pidana kejahatan mayantara (cyber crime)

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini, penulis memaparkan mengenai kesimpulan dan saran-saran.

(28)

18 BAB II

PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK SEBAGAI BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME) DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

A. Tinjauan Umum Tentang Penggunaan Alat Bukti Berupa Informasi Elektronik

1. Alat Bukti

Pemeriksaan perkara pidana di muka pengadilan, maka hakim secara aktif memeriksa guna menemukan kebenaran materil sebagaimana apa yang menjadi tujuan hukum acara pidana itu sendiri di lain pihak sebagaimana diketahui bahwa di dalam proses pemeriksaan perkara perdata hakim secara pasif dalam pemeriksaan acara perdata tersebut yaitu hanya menilai apa yang dikemukakan oleh para pihak yakni antara penggugat dan tergugat.

Wirjono Projodikoro, menulis:

(29)

19

mengalami keadaan itu. Ingatan orang-orang ini harus diberitahukan kepada hakim”.65

Sistem HIR maupun dalam sistem KUHAP tidak diatur secara jelas tentang soal pembuktian, jika dibandingkan dengan ketentuan Hukum Acara Perdata, seperti yang terlihat dalam pasal 163 HIR sebagai berikut :

“Barang siapa yang mendalilkan mempunyai sesuatu hak atau mengajukan sesuatu peristiwa (feit) untuk memperoleh haknya atau untuk membatalkan adanya hak orang lain haruslah membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.66

Seperti yang telah dikemukakan bahwa yang menjadi persoalan penting dalam proses perkara pidana adalah untuk menemukan kebenaran materil atau kebenaran yang sesungguhnya. Sumber utama di dalam menemukan kebenaran materil tersebut ialah adanya pembuktian yang menghendaki agar semua alat bukti yang diperlukan guna mendapatkan suatu kebenaran yang sesungguhnya dapat ditampilkan sedemikian rupa di muka pengadilan agar supaya hakim dapat memperoleh gambaran secara jelas tentang adanya suatu tindak pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang No.8 tahun 1981 pada pasal 84 ayat 1 menyebutkan tentang alat-alat bukti yakni:

a. Keterangan saksi;

Wirjono Projodikoro, 1985. Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Penerbit Sumur Bandung, Cetakan Keduabelas, hal. 108

66

(30)

20

Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang telah disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah sebagai berikut: 1. Keterangan saksi

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu mengacu kepada pemeriksaan saksi. Setidaknya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.67

Untuk menilai keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, keterangan tersebut harus saling berhubungan antara satu dengan yang lain, sehingga dapat membentuk keterangan yang menerangkan dan membenarkan atas adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Dalam menilai dan mengkonstruksi kebenaran keterangan dari saksi hakim harus dituntut kewaspadaanya. Dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP disebutkan bahwa dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan :

a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain. b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.

c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.

d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

67

(31)

21

Kekuatan pembuktian dari keterangan saksi dapat dijelaskan sebagai berikut:68

a. Bahwa keterangan saksi tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya.

b. Bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, dapat dibantah oleh terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa saksi yang meringankan maupun dengan keterangan ahli atau alibi.

2. Keterangan ahli

Dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Pasal 184 ayat (1) KUHAP menetapkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Menempatkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, dapat dicatat sebagai salah satu kemajuan dalam pembaruan hukum. Mungkin pembuat undang-undang menyadari dan sudah tidak dapat dimungkiri lagi, bahwa pada saat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin berkembang pesat saat ini, keterangan ahli memiliki dan memegang peranan dalam penyelesaian kasus pidana. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sedikit banyak membawa dampak terhadap metode kejahatan, yang memaksa kita untuk mengimbanginya dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian.69

68

Subekti. 1995. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 79.

69

(32)

22

Mengenai nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli, pada prinsipnya adalah tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Jadi nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah sama dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Sehingga nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli adalah:70

a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian ”bebas” atau ”vrij bewijskracht”. Tidak melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Halim mempunyai kebebasan untuk menilainya.

b. Bahwa keterangan seorang ahli saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Jadi apabila keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa, maka harus disertai lagi dengan alat bukti yang lain.

Keterangan ahli sebagai alat bukti pada umumnya, tidak menyangkut pokok perkara pidana yang diperiksa. Sifatnya lebih ditujukan untuk menjelaskan sesuatu hal yang masih kurang jelas tentang hal atau suatu keadaan.

3. Surat

Dalam Pasal 187 KUHAP, surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang adalah :

a. Surat yang dibuat atas sumpah jabatan. b. Surat yang dikuatkan dengan sumpah.

70

(33)

23

Dalam Pasal tersebut telah diperinci secara luas mengenai surat-surat yang dapat dianggap mempunyai nilai sebagai alat bukti71

a. ”Berita acara” dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, dengan syarat, isi berita acara dan surat resmi yang dibuat pejabat umum yang berwenang itu harus berisi:

:

1) Memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialami pejabat itu sendiri.

2) Disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Jadi, surat yang termasuk alat bukti surat yang disebutkan di sini adalah ”surat resmi” yang dibuat ”pejabat umum” yang berwenang untuk membuatnya, tetapi agar surat resmi yang bersangkutan dapat bernilai sebagai alat bukti dalam perkara pidana, surat resmi itu harus memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh si pejabat, serta menjelaskan dengan tegas alasan keterangan yang dibuatnya. b. Surat yang berbentuk ”menurut ketentuan perundang-undangan” atau surat

yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya, dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu kejadian.

c. Surat ”keterangan dari seorang ahli” yang memuat pendapat berdasar keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.

71

(34)

24

d. ”Surat lain” yang dapat berlaku apabila ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Mengenai hal ini lebih tepat apabila disebut sebagai alat bukti petunjuk.

Mengenai nilai kekuatan pembuktian pada alat bukti surat. Dalam Pasal 187 huruf a dan b KUHAP, surat dinilai sebagai alat bukti yang ”sempurna”, dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang ”mengikat” bagi hakim. Sepanjang hal itu tidak dilumpuhkan dengan ”bukti lawan”.

Oleh karena alat bukti surat resmi atau otentik merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat (volledig en beslissende bewijskracht), hakim tidak bebas lagi untuk menilainya, dan terikat kepada pembuktian surat tersebut dalam mengambil putusan perkara perdata yang bersangkutan. Demikian secara ringkas gambaran dari kekuatan pembuktian surat resmi atau otentik yang diatur dalam hukum acara perdata.

Untuk menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti surat dalam hukum acara pidana seperti yang telah diatur dalam KUHAP. Maka dapat ditinjau dari segi teori serta menghubungkannya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP.72

a) Ditinjau dari segi formal

Alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti ”sempurna”. Karena, bentuk surat-surat yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formal dalam pembuatannya, serta

72

(35)

25

dibuat dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang, dan keterangan yang terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan, maka ditinjau dari segi formal alat bukti surat seperti yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b dan c adalah alat bukti yang bernilai ”sempurna”. Oleh karena itu, alat bukti surat resmi mempunyai nilai ”pembuktian formal yang sempurna”. b) Ditinjau dari segi materiil

Dari sudut materiil, semua alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187, ”bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Pada alat bukti surat itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan ala bukti keterangan ahli, yaitu sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat ”bebas”. Tanpa mengurangi sifat kesempurnaan formal alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 huruf a, b dan c, sifat kesempurnaan formal tersebut tidak dengan sendirinya mengandung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat.

Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat mempergunakan atau menyingkirkannya. Dasar alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat tersebut berdasarkan pada beberapa asas, antara lain : (1) Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran

(36)

26

”dapat” disingkirkan demi untuk mencari kebenaran materiil. Kebenaran dan kesempurnaan formal harus mengalah berhadapan dengan kebenaran sejati.

(2) Asas keyakinan hakim, asas ini terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yang menganut ajaran sistem pembuktian ”menurut undang-undang secara negatif”. Berdasarkan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila kesalahannya telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan atas keterbuktian itu hakim ”yakin”, terdakwalah yang bersalah melakukannya.

(3) Asas batas minimum pembuktian. Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat resmi (otentik) berbentuk surat yang dikeluarkan berdasar ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaan yang melekat pada alat bukti surat tidak mendukung untuk berdiri sendiri. Alat bukti surat masih tetap memerlukan dukungan dari alat bukti lainnya.

(37)

27

bukti yang lain untuk memenuhi apa yang telah ditentukan oleh asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP.

4. Petunjuk73

Dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya.

Rumusan Pasal tersebut, agak sulit ditangkap dengan mantap. Barangkali rumusan tersebut dapat dituangkan dengan cara menambah beberapa kata ke dalamnya. Dengan penambahan kata-kata itu dapat disusun dalam kalimat berikut: Petunjuk ialah suatu "isyarat" yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan di mana isyarat itu mempunyai "persesuaian" antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut "melahirkan" atau "mewujudkan" suatu petunjuk yang "membentuk kenyataan" terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.

Dalam Pasal 188 ayat (2) "membatasi" kewenangan hakim dalam cara memperoleh alat bukti petunjuk. Hakim tidak boleh sesuka hati mencari petunjuk dari segala sumber. Sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk, terbatas dari alat-alat bukti yang secara "limitatif" ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2). Menurut Pasal 188 ayat (2), petunjuk hanya dapat diperoleh dari:

73

(38)

28 a. Keterangan saksi,

b. Surat,

c. Keterangan terdakwa.

Petunjuk sebagai alat bukti, baru mungkin dicari dan ditemukan jika telah ada alat bukti yang lain. Persidangan pengadilan tidak mungkin terus melompat mencari dan memeriksa alat bukti petunjuk, sebelum sidang pengadilan memeriksa alat bukti yang lain, sebab petunjuk sebagai alat bukti, bukan alat bukti yang memiliki bentuk "substansi tersendiri". Dia tidak mempunyai "wadah" sendiri jika dibandingkan dengan alat bukti yang lain. Alat bukti keterangan saksi misalnya, jelas mempunyai bentuk objektif atau wadah sendiri, yaitu orang yang memberikan keterangan itu. Demikian juga alat bukti surat. Mempunyai bentuk wadah sendiri yakni surat yang bersangkutan. Tidak demikian halnya dengan alat bukti petunjuk. Dia tidak mempunyai bentuk wadah sendiri. Bentuknya sebagai alat bukti adalah "asessor" (tergantung) pada alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagai sumber yang dapat melahirkannya, dan hanya boleh diambil dan diperoleh dari ketiga alat bukti yang lain tersebut. Kalau alat bukti yang menjadi sumbernya tidak ada diperiksa dalam persidangan pengadilan, dengan sendirinya tidak akan pernah ada alat bukti petunjuk.

(39)

29

a) Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu, hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.

b) Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain.

5. Keterangan terdakwa74

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1). Penempatannya pada urutan terakhir ini merupakan salah satu alasan yang digunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi.

Dalam Pasal 189 ayat (1) menjelaskan tentang pengertian dari alat bukti keterangan terdakwa. Pasal ini menjelaskan bahwa keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri.

2. Alat Bukti Berupa Informasi Elektronik Dalam Undang-Undang RI No.11 tahun 2008

Menurut Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic

74

(40)

30

mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.75

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah diatur mengenai apa saja kriteria tentang alat bukti elektronik. Di dalam pasal-pasal undang-undang tersebut telah jelas menyebutkan dan mendefinisikan mengenai alat-alat bukti elektronik. Walaupun masih belum semuanya diatur mengenai perumusan-perumusan tentang alat bukti elektronik, akan tetapi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut merupakan payung hukum bagi penegakan Cyber Law di Indonesia.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut dijelaskan mengenai penggunaan alat bukti elektronik yang dapat digunakan sebagai bukti dalam persidangan. Dalam pasal tersebut dinyatakan sebagai berikut :

1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

75

(41)

31

3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a) surat yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan

b) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Perumusan pasal tersebut merupakan sebuah regulasi yang setidaknya Indonesia. Di Indonesia sendiri tindak pidana cyber crime itu banyak sekali dapat menjadi payung hukum terhadap tindak pidana cyber crime yang ada, antara lain:76

1. Unauthorized Access to Computer System and Service (akses yang tidak berkepentingan/tidak sah ke sistem komputer dan sistem pelayanan). Kejahatan ini dilakukan dengan memasuki atau menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa ijin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik jaringan komputer yang dimasukinya. Motifnya bisa bermacam-macam, antara lain adalah sabotase, pencurian data dan sebagainya. Sebagai contoh adalah pada tahun 2004, website milik Komisi Pemilihan Umum dirusak oleh seorang hacker.

76

(42)

32

2. Illegal Contents (muatan tidak sah). Kejahatan ini dilakukan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Contohnya adalah pornografi, pemuatan berita bohong, agitasi termasuk juga delik politik dapat dimasukkan dalam kategori ini bila menggunakan media ruang maya (cyber).

3. Data Forgery (pemalsuan data). Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet.

4. Cyber Espionage (mata-mata). Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen atau datanya tersimpan dalam suatu sistem yang computeraized. 5. Cyber Sabotage and Extortion (sabotase dan pemerasan). Kejahatan ini

dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung ke internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu virus, trojan, atau backdoor, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku.

(43)

33

7. Infringements of Piracy (pelanggaran pembajakan). Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan secara computeraized. Yang apabila diketahui orang lain maka dapat merugikan korban secara materiil maupun immaterial, seperti nomor PIN (personal identity number) ATM, nomor kartu kredit dan sebagainya.

Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 menyatakan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”. Apa yang dimaksud dengan informasi elektronik tersebut adalah sebagai berikut :

Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

(44)

34

Pengertian dokumen elektronik itu telah dijelaskan dengan jelas pada Pasal 1 angka 4, yang menjelaskan bahwa dokumen elektronik adalah sebagai berikut :

Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Akan tetapi, tidak sembarang informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tersebut, suatu informasi elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tersebut, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:77

1. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;

2. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

77

(45)

35

3. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan 5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

B. Tindak Pidana Kejahatan Mayantara (Cyber crime)

Kejahatan mayantara (Cyber crime) merupakan bentuk kejahatan yang relatif baru apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kejahatan lain yang sifatnya konvensional (street crime). Cyber crime muncul bersamaan dengan lahirnya revolusi teknologi informasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Ronni R. Nitibaskara bahwa : Interaksi sosial yang meminimalisir kehadiran secara fisik, merupakan ciri lain revolusi teknologi informasi. Dengan interaksi semacam ini, penyimpangan hubungan sosial yang berupa kejahatan (cyber), akan menyesuaikan bentuknya dengan karakter baru tersebut”.78

Beberapa literatur sering mengidentikkan cyber crime sebagai computer crime. The U.S. Department of Justice memberikan pengertian Computer Crime

sebagai: "… any illegal act requiring knowledge of Computer technology for its perpetration, investigation, or prosecution".79

78

Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, 2001. Ketika Kejahatan Berdaulat: Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Peradaban, Jakarta, hal. 38.

Pengertian lainnya diberikan oleh

79

(46)

36

Organization of European Community Development, yaitu: "any illegal, unethical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the

transmission of data". Kejahatan komputer dapat diartikan juga sebagai tindak pidana apa saja yang dilakukan dengan memakai komputer (hardware dan

software) sebagai sarana/alat atau komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain, atau tindakan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer yang canggih.80 Andi Hamzah dalam bukunya Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer (1989) mengartikan cyber crime sebagai: “kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara illegal.” Sedangkan menurut Eoghan Casey “Cyber crime is used throughout this text to refer to any crime that involves computer and networks, including crimes

that do not rely heavily on computer“.81

Kejahatan mayantara (cyber crime) dapat diartikan sebagai kegiatan ilegal dengan perantara komputer yang dapat dilakukan melalui jaringan elektronik global. Perbedaannya dengan kejahatan konvensional dapat dilihat dari kemampuan serbaguna yang ditampilkan akibat perkembangan informasi dan teknologi komunikasi yang semakin canggih. Sebagai contoh, komunikasi yang melalui internet membuat pelaku kejahatan lebih mudah beraksi melewati batas wilayah Negara untuk melakukan kejahatannya tersebut. Internet juga membuat kejahatan semakin terorganisir dengan tersedianya teknik yang semakin canggih

80

Eddy Djunaedi Kartasudirdja, ibid. 81

(47)

37

guna mendukung dan mengembangkan jaringan untuk perdagangan obat, pencucian uang, perdagangan senjata ilegal, penyelundupan dan lain-lain. Bagi para hacker keadaan ini memberikan ruang yang cukup luas untuk mengaplikasikan keahlian komputer yang dimilikinya.82

Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-10 mengenai Pencegahan kejahatan dan penanganan Pelaku Tindak Pidana, yang membahas isu mengenai kejahatan yang berhubungan dengan jaringan komputer, membagi cyber crime

dalam arti luas. Cyber crime menjadi dua kategori yaitu cyber crime dalam arti sempit dan cyber crime dalam arti luas. Cyber crime dalam arti sempit (kejahatan komputer: computer crime) adalah setiap perilaku ilegal yang ditunjukkan dengan sengaja pada operasi elektronik yang menargetkan sistem keamanan komputer dan data yang diproses oleh sistem komputer tersebut. Cyber crime dalam arti luas (kejahatan yang berkaitan dengan komputer: adalah setiap perilaku ilegal yang dilakukan dengan maksud atau berhubungan dengan sistem komputer atau jaringan, termasuk kejahatan pemilikan, penawaran atau distribusi dari komputer sistem atau jaringan. Tentu saja definisi ini sangat kompleks. Perbuatan yang dianggap ilegal di suatu negara belum tentu dianggap ilegal di negara lain.83

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya istilah cyber crime berbeda-beda, ada yang menggunakan istilah kejahatan komputer, kejahatan mayantara dan lain-lain. Sedikitnya terdapat dua kelompok para ahli yang memberikan pendapat mengenai istilah ataupun definisi mengenai kejahatan komputer, kejahatan yang

82

Steven Furnell, 2002. Cyber crime Vandalizing The Information Society. United States of America: Pearson Education Limited, hal. 3.

83

(48)

38

berkaitan erat dengan komputer, atau penyalahgunaan komputer. Ada yang memandang kejahatan komputer dalam arti sempit, yakni kejahatan yang perlu menggunakan keahlian khusus pada komputer atau jaringan. Ada pula yang mengartikan dalam arti luas yaitu semua kejahatan yang berhubungan dengan komputer.

a. Pengertian Cyber crime dalam Arti Luas

Ada beberapa pengertian kejahatan komputer oleh berbagai ahli sebagaimana dikutip dalam (Kartasudirja, 1999). Menurut Comer, cyber crime

adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan itikad buruk untuk tujuan keuangan yang melibatkan komputer. Menurut Mandel mendefinisikan pengertian cyber crime meliputi : penggunaan komputer untuk tujuan melaksanakan perbuatan penipuan, pencurian atau penyembunyian yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan keuangan, keuntungan bisnis, kekayaan atau pelayanan; ancaman terhadap komputer itu sendiri, seperti pencurian perangkat keras atau lunak, sabotase dan pemerasan. Kemudian menurut Kespersen, cyber crime adalah setiap perbuatan melawan hukum yang secara langsung mengganggu proses program komputer yangtelah dirancang.Sedangkan Ulrich Sieber mendefinisikankejahatan komputer menjadi; penipuan dengan memanipulasi komputer; mata-mata dengan komputer dan pembajakan perangkat lunak; sabotase komputer, pencurian data, memasuki Dual Processor System (DP system) tanpa otoritas dan hacking dan komputer sebagai alat untuk melakukan kejahatan.84

84

(49)

39 Menurut Kartasudirja (1999)85

2. Pengertian Cyber crime dalam Arti Sempit

, dalam pengertian luas, cyber crime adalah tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan dengan memakai komputer (hardware

dan software) sebagai sarana atau alat, komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan pihak lain.

Para ahli yang menganut pandangan yang sempit memberikan pengertian atau definisi kejahatan komputer sebagai tindak pidana yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi canggih, tanpa penguasaan ilmumana tindak pidana tidak mungkin dapat dilaksanakan. (…any illegal act for which knowledge of computer technology is essential for its perpetration).86

Pakar hukum komputer, Don Parker dan Nycum, memberikan pengertian kejahatan komputer dalam arti sempit yaitu setiap perbuatan hukum yang menjadikan pengetahuan khusus mengenai teknologi komputer sangat penting untuk pelaksanaan, penyidikan dan penuntutan. Menurut Kartasudirja, dalam pengertian sempit, cyber crime adalah tindak pidana yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer yang canggih.87

3. Karakteristik Cyber crime

Ada beberapa karakteristik yang membedakan cyber crime dengantindak pidana konvensional. Karakteristik cyber crime dibandingkan tindak pidana lain menurut Nitibaskara88

(50)

40 1. Penggunaan TI dalam modus operandi;

2. Korban cyber crime dapat menimpa siapa saja mulai dari perseorangan sampai negara;

3. Cyber crime bersifat non violence (tanpa kekerasan);

4. Karena tidak kasat mata maka fear of crime (ketakutan atas kejahatan) tidak mudah timbul.

Cyber crime berbeda dengan kejahatan komputer lainnya. Hal ini mempengaruhi dengan adanya kecepatan cyberspace sehingga terjadi perubahan mendasar mengenai kejahatan ini. Pertama, karena kecanggihan cyberspace, kejahatan dapat dilakukan dengan cepat bahkan dalam hitungan detik. Kedua, karena cyberspace yang tidak terlihat secara fisik maka interaksi baik individu maupun kelompok terjadi sehingga pemikiran yang dianggap ilegal di luar dunia

cyber dapat disebarkan ke masyarakat melalui dunia cyber. Ketiga, karena dunia

cyber yang universal memberikan kebebasan bagi seseorang mempublikasikan idenya termasuk yang ilegal seperti muncul bentuk kejahatan baru seperti

cyberterrorism. Keempat, karena cyberspace tidak dalam bentuk fisik maka konsep hukum yang digunakan menjadi kabur. Misalnya konsep batas wilayah Negara dalam sistem penegakan hukum suatu negara menjadi berkurang karena keberadaan dunia cyber dimana setiap orang dapat berinteraksi dari berbagi tempat di dunia.89

Keberadaan dunia cyber, sekarang ini menjadi urusan dunia internasional bukan domestik suatu negara lagi. Karena pengaruh yang ditimbulkan dapat

89

(51)

41

menimpa siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Sebagai contoh yang dikemukakan Schmidt adalah penyebaran virus “I love you” pada tahun 2000 yang meluas di luar perkiraan sebelumnya. Virus ini adalah salah satu virus pertama yang menjangkiti kurang lebih 45 sistem jaringan di dunia dan membuat kerugian sekitar 10 milyar dollar US. Setelah diselidiki, pelakunya adalah seorang mahasiswa suatu universitas komputer di Filipina yaitu Onel de Guzman yang beralasan itu semua dilakukan dalam rangka proyek penelitian kampus. Karena pada tahun tersebut Filipina belum ada aturan yang mengatur hacking maka aparat penegak hukum membatalkan semua tuduhan terhadapnya. 90

Hal ini menandakan bahwa cyber crime bersifat global dalam artian akibat yang ditimbulkan tidak terbatas dalam satu wilayah suatu negara saja. Dengan menggunakan teknologi komputer dan komunikasi, dalam hal ini jaringan komputer melalui media internet, cyber crime dapat dilakukan dalam berbagai tempat yang terpisah dengan korbannya. Bahkan, korban dan pelaku cyber crime

dapat berasal dari negara yang berbeda. Sehingga cyber crime sering kali bersifat

borderless (tanpa batas wilayah) bahkan transnasional (lintas batas negara). Di samping itu, cyber crime tidak meninggalkan jejak berupa catatan atau dokumen fisik dalam bentuk kertas (paperless), akan tetapi semua jejak hanya tersimpan dalam komputer jaringannya tersebut dalam bentuk data atau informasi digital (log files).91

90

R. Schmidt. 2006, Scence of the Cybercrime, United States of America: Syngress Publishing, hal. 123-124.

91

(52)

42

Dalam dunia maya, masalah keamanan merupakan suatu hal yang sangat penting. Tingginya tingkat kriminal dalam dunia internet/cyber dan lemahnya hukum dalam hal pengamanan dan penanganan kasus cyber crime ini, menyebabkan semakin maraknya kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam dunia

cyber tersebut. Ditambah lagi kecilnya kemungkinan ditangkapnya pelaku dan kemajuan teknologi yang mempermudah aksi mereka. Seseorang yang melakukan kejahatan jenis ini, terkadang tidak memiliki motif untuk meraup keuntungan ekonomis, tetapi juga karena unsur lain seperti tantangan, hobby dan bahkan membuktikan tingkat intelijen yang dimilikinya dan kebolehan teknis yang terlibat di dalamnya. Yang pada intinya, pelaku menggunakan kekreativitasnya untuk melakukan aksinya tersebut.92

Dibalik dari semua itu, tidak semua cyber crime dapat disebutkan sebagai tindak kejahatan dalam arti yang sesungguhnya. Dimana, cyber crime sebagai kejahatan yang murni kriminal seperti pencurian data, penipuan, penyebaran virus dan material bajakan dan lain sebagainya. Sedangkan cyber crime sebagai kejahatan abu-abu yaitu dalam hal pengintaian guna untuk mengumpulkan data dan informasi sebanyak-banyaknya demi kepentingan pengintaian, termasuk sistem pengintaian baik secara terbuka maupun tertutup. Kejahatan seperti ini disebut sebagai probing atau portscaning. Seperti layaknya dalam komunitas dunia internasional pada umumnya, kebebasan dalam penggunaan internet memerlukan suatu aturan yang jelas dan melindungi setiap penggunaannya dan menghindari kekacauan yang sangat mudah terjadi di dalam dunia cyber ini

92

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian pada motif yang sama juga terdapat 18 orang (36%) yang menyatakan pendapatnya bahwa mereka membaca surat kabar karena untuk mencari informasi-informasi aktual

Jika Anda login ke Windows dengan menggunakan user administrator, mudah bagi Anda untuk menjalankan berbagai macam aplikasi. Bagaimana jika Anda masuk sebagai user biasa dan

2. Al-mashlahah al-mulghah , yaitu sesuatu yang dianggap mashlahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentang dengan ketentuan

Service strategy merupakan salah satu bagian penting dari framework Information Technology Infrastructure Library (ITIL) yang digunakan di dalam penerapan

Pada tes pengetahuan akhir dzikir, peserta diberikan kembali soal yang serupa dengan soal pada tes pengetahuan awal. Dari hasil analisis pengetahuan akhir dzikir

PERANCANGAN SISTEM KOMPETISI VIDEO KLIP GRUP BAND INDIE DENGAN MENGGUNAKAN SMS GATEWAY UNTUK POLLING PEMILIHAN DI MANAJ EMEN

Uji statistik yang dilakukan adalah uji korelasi Spearman untuk mengetahui korelasi antara usia sampel wanita menopause dengan flow saliva sebelum mengunyah permen karet

Bahan peledak adalah bahan/ zat yang berbentuk cair, padat, gas atau campurannya yang apabila dikenai suatu aksi berupa panas, benturan, gesekan