• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemilihan Umum Dan Sistem Kepartaian : Suatu Studi Terhadap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Pemilu Legislatif DPRD Kota Medan 2004

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemilihan Umum Dan Sistem Kepartaian : Suatu Studi Terhadap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Pemilu Legislatif DPRD Kota Medan 2004"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PEMILIHAN UMUM DAN SISTEM KEPARTAIAN : SUATU

STUDI TERHADAP PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS)

DALAM PEMILU LEGISLATIF DPRD KOTA MEDAN 2004

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi S-1 di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

OLEH :

Amirudin 020906007

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Abstrak

Pemilihan umum sudah sejak lama diperlakukan sebagai tatacara untuk memperoleh kedudukan atau status sebagai wakil rakyat atau sebagai anggota Badan Perwakilan dengan memanfaatkan pemilihan umum, dengan cara ini melihat pemilihan umum sebagai usaha pembentukan dan pertumbuhan sistem kepartaian.

Sistem Kepartaian menjadi sangat penting jika dikaitkan dengan pemilihan umum. Sistem pemilihan umum distrik (single member constituency) yang dipergunakan oleh negara-negara yang memiliki sistem kepartaian dua partai (two party system) seperti misalnya Amerika Serikat, Inggris. Sedangkan dalam sistem pemilihan umum proporsional (multi party system), diselenggarakan oleh negara yang menganut sistem kepartaian banyak partai, yang dalam prinsipnya bahwa keanekaragaman dalam kelompok masyarakat telah menjadi cerminan bagi sistem kepartaian seperti itu. Dalam kaitannya dengan sistem pemilihan umum pola multi partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan berimbang (propotional representational) yang memberikan kesempatan luas kepada partai-partai politik untuk tumbuh berkembang berdasarkan golongan-golongan. Artinya, bahwa kepada partai-partai kecil meraih keuntungan pada saat adanya kelebihan suara oleh partai besar dari satu daerah pemilihan yang dapat dialihkan ke daerah pemilihan lainnya guna menggenapi perolehan suara yang diperlukan untuk memenangi satu kursi di parlemen. Maka dengan perspektfi seperti itu tampak jelas adanya korelasi antara sistem kepartaian dan sistem pemilihan umum. Hal ini dilihat dalam konstruksi demokrasi.

Partai politik Islam sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia tentunya memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan sistem politik di Indonesia. Seperti pada rekomendasi peletakan kalimat penerapan syariat Islam yang diajukan oleh partai Islam seperti masyumi. Dan kemudian menjadi perdebatan politik tersendiri sehingga melahirkan naskah pancasila seperti sekarang ini. Partai Keadilan Sejahtera merupakan partai baru yang lahir pasca reformasi bergulir. Tentunya kehadiran partai ini menjadi referensi baru dalam sejarah partai politik Islam di Indonesia. Sebagai partai Islam baru ternyata partai ini dapat terbilang sukses dalam meraih suara pada pemilu 2004 secara Nasional PKS berhasil memperoleh 7,34 % suara (8.325.020) dan berhasil memperoleh 45 kursi di DPR RI (8.18%) dari total kursi yang diperebutkan di DPR RI. Dan di Medan PKS berhasil memenangkan pemilu legislatif dengan memperoleh 9 kursi di DPRD Kota Medan, yakni; 161,760 suara mengalahkan partai Islam lainnya.

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Nama : Amirudin NIM : 020906007 Departemen : Ilmu Politik

Judul : PEMILIHAN UMUM DAN SISTEM KEPARTAIAN: SUATU STUDI TERHADAP PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS) DALAM PEMILU LEGISLATIF DPRD KOTA MEDAN 2004

Medan, Maret 2008

Ketua Departemen

(Drs. Heri Kusmanto, M.A) NIP 132 215 084

Dosen Pembimbing Dosen Pembaca

(Drs. P. Antonius Sitepu, Msi) (Dra. Evi Novida Ginting, M.SP) NIP. 131 485 245 NIP. 132 102 005

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul PEMILIHAN UMUM DAN SISTEM KEPARTAIAN : SUATU STUDI TERHADAP PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS) DALAM PEMILU LEGISLATIF DPRD KOTA MEDAN 2004. Adapun skripsi ini disusun guna memenuhi syarat untuk menyelesaikan studi Strata-1 pada Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, sebenarnya penulis banyak menghadapi berbagai kesulitan dan hambatan. Namun berkat pertolongan Tuhan Yang Maha Esa dan dorongan serta bantuan dari berbagai pihak baik berupa materil maupun moril akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Heri Kusmanto, MA, selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, yang juga selaku Dosen Pembimbing yang membimbing saya hingga penyusunan skripsi ini selesai.

(5)

4. Ibu Evi Novida Ginting, M.SP selaku dosen Pembaca saya yang selalu memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi saya, terima kasih

5. Seluruh staff pengajar pada Departemen Ilmu Politik FISIP USU yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan.

6. Seluruh staff pegawai FISIP USU, Departemen Ilmu Politik, Kak Uci, Bang Rusdi, yang sangat membantu penulis untuk seluruh urusan administrasi

7. Kedua orang tuaku Abdul Roni, BA dan ibuku Kasmini terima kasih atas dukungan dan kasih sayang kalian, skripsi ini kupersembahkan untuk kalian

8. Adikku Eli Ermawani semoga cita-citamu tercapai

9. Buat keluarga besar Melayu Batubara semoga keluarga ini bertambah besar sebesar namanya.

10.Seniorenku ibnu ashqori pohan, S.Sos, Eris Estrada, Tulus Candra dan lain-lain

11.Bagi teman, pihak-pihak yang membantu, orang yang kusayangi, yang tidak tersebut namanya satu persatu, bukan karena aku melupakan kalian tetapi karena kalian semua terlalu berarti buatku. Kalian tersebut dan tertulis di hatiku, Terima kasih.

(6)

Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang memerlukannya.

Medan, 17 Maret 2008,

(7)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………. i

Daftar isi……… iv

Daftar Tabel ………. vii

Daftar Lampiran ………. viii

Abstrak ………. ix

Bab I. Pendahuluan 1. Latar Belakang ... 1

2. Perumusan Masalah ………. 11

3. Tujuan Penelitian ………. ... 12

4. Manfaat Penelitian ... 12

5. Dasar - Dasar Teoritis ... 12

5.1. Perspektif Teori Pemilihan Umum ... 12

5.2. Sistem Kepartaian... 15

5.3. Partai Politik ... 17

5.3.1. Fungsi Partai Politik... 19

5.4. Partai Politik Islam ... 21

6. Metodologi Penelitian ... 23

6.1. Jenis Penelitian ... 23

6.2. Populasi dan Sampel Penelitian………... 24

6.3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 25

6.4. Teknik Analisa Data ... 25

6.5. Sistematika Penulisan ... 26

Bab II. Pemilu Legislatif 2004 Kota Medan dan Peranan Partai Keadilan Sejahtera II.1. Sistem Pemilu Legislatif Menurut Undang-undang No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum ... 27

II.1.1. Dimensi Sistem Pemilihan Umum... 28

II.1.1.1 Lingkup dan Besaran Daerah Pemilihan... 28

II.1.1.2. Metode Pencalonan... 31

(8)

II.1.1.4. Formula Pemberian Kursi atau Penentuan

Calon Terpilih... 33

II. 2. Pemilu Legislatif 2004 Kota Medan... 37

II. 3. Gambaran Tentang Partai Keadilan Sejahtera (PKS)... 41

II.3.1. Partai Keadilan Sejahtera di Kota Medan... 45

II.3.2. Visi – Misi PKS ... 46

II.3.2.1. Visi Umum, Visi Khusus dan Misi PKS.. 46

II.3.2.2. Penjelasan Visi dan Misi PKS ... 46

II.3.3 Tujuan dan Sasaran PKS... 47

II.3.4. Lambang Partai ... 47

II.3.5. Makna Lambang, Warna Lambang dan Makna Partai Keseluruhan... 48

II.3.6. Karakteristik Partai... 48

Bab III. Sistem Kepartaian, Partai Islam dan Partai Keadilan Sejahtera Dalam Pemilu Legislatif 2004 Kota Medan III.1. Profil PKS... 50

III.2. Kepartaian di Indonesia……… 51

III.3. Partai Politik Islam Pada Masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru... 53

III.3.1. Demokrasi Terpimpin... 53

III.3.2. Orde Baru... 56

III.3.2.1. Asas Tunggal Pancasila... 60

III.3.2.2. Partai Islam dan Pemilu-Pemilu Pada Masa Orde Baru... 62

III.4. Kebangkitan Kembali Partai Islam Pada Era Reformasi 66 III.5. Partai Keadilan Sejahtera: Tujuan dan Sasaran, Pemantapan Sasaran... 77

III.5.1. Tujuan dan Sasaran... 77

III.5.1.1. Tujuan Partai... 77

III.5.1.2. Sasaran Partai ... 78

(9)

III.5.2.1. Sasaran Jangka Pendek PKS

Kota Medan ... 78 III.5.2.2. Sasaran Jangka Panjang PKS

Kota Medan... 79 III.5.2.3. Sasaran Khusus DPD PKS

Kota Medan... 79 III.6. Pemilihan Umum Legislatif 2004 dan Rahasia

Kemenangan Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan. ... 79 III.6.1. Rahasia Kemenangan Partai Keadilan

Sejahtera Kota Medan... 81 III.6.2 Strategi Besar Kemenangan DPD PKS

Kota Medan dalam memenangkan pemilu 2004... 85

Bab IV. Kesimpulan dan Saran

4.1. Kesimpulan ... 89 4.2. Saran... 91

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1

Partai Politik Islam Peserta Pemilu 1999……… 8

Tabel 1.2

Partai Politik Islam Peserta Pemilu 2004 ... 9

Tabel 2.1

Perolehan Suara Partai Politik Islam Pada Pemilu 2004 di

Kota Medan ... 43

Tabel 2.2

Sejarah Singkat Partai Keadilan Sejahtera ... 46

Tabel 3.1

(11)

Abstrak

Pemilihan umum sudah sejak lama diperlakukan sebagai tatacara untuk memperoleh kedudukan atau status sebagai wakil rakyat atau sebagai anggota Badan Perwakilan dengan memanfaatkan pemilihan umum, dengan cara ini melihat pemilihan umum sebagai usaha pembentukan dan pertumbuhan sistem kepartaian.

Sistem Kepartaian menjadi sangat penting jika dikaitkan dengan pemilihan umum. Sistem pemilihan umum distrik (single member constituency) yang dipergunakan oleh negara-negara yang memiliki sistem kepartaian dua partai (two party system) seperti misalnya Amerika Serikat, Inggris. Sedangkan dalam sistem pemilihan umum proporsional (multi party system), diselenggarakan oleh negara yang menganut sistem kepartaian banyak partai, yang dalam prinsipnya bahwa keanekaragaman dalam kelompok masyarakat telah menjadi cerminan bagi sistem kepartaian seperti itu. Dalam kaitannya dengan sistem pemilihan umum pola multi partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan berimbang (propotional representational) yang memberikan kesempatan luas kepada partai-partai politik untuk tumbuh berkembang berdasarkan golongan-golongan. Artinya, bahwa kepada partai-partai kecil meraih keuntungan pada saat adanya kelebihan suara oleh partai besar dari satu daerah pemilihan yang dapat dialihkan ke daerah pemilihan lainnya guna menggenapi perolehan suara yang diperlukan untuk memenangi satu kursi di parlemen. Maka dengan perspektfi seperti itu tampak jelas adanya korelasi antara sistem kepartaian dan sistem pemilihan umum. Hal ini dilihat dalam konstruksi demokrasi.

Partai politik Islam sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia tentunya memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan sistem politik di Indonesia. Seperti pada rekomendasi peletakan kalimat penerapan syariat Islam yang diajukan oleh partai Islam seperti masyumi. Dan kemudian menjadi perdebatan politik tersendiri sehingga melahirkan naskah pancasila seperti sekarang ini. Partai Keadilan Sejahtera merupakan partai baru yang lahir pasca reformasi bergulir. Tentunya kehadiran partai ini menjadi referensi baru dalam sejarah partai politik Islam di Indonesia. Sebagai partai Islam baru ternyata partai ini dapat terbilang sukses dalam meraih suara pada pemilu 2004 secara Nasional PKS berhasil memperoleh 7,34 % suara (8.325.020) dan berhasil memperoleh 45 kursi di DPR RI (8.18%) dari total kursi yang diperebutkan di DPR RI. Dan di Medan PKS berhasil memenangkan pemilu legislatif dengan memperoleh 9 kursi di DPRD Kota Medan, yakni; 161,760 suara mengalahkan partai Islam lainnya.

(12)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Di dalam berbagai literatur Ilmu Politik sering didapati penjelasan bahwa Pemilu merupakan sarana yang sangat penting bagi terselenggaranya sistem politik yang demokratis. Karena itu, tidak mengherankan banyak Negara yang ingin disebut sebagai Negara Demokratis menggunakan Pemilu sebagai mekanisme membangun legitimasi kekuasaan seperti yang pernah dipraktekkan oleh rezim Soeharto. Padahal Pemilu bisa disebut demokratis bila proses dan hasilnya berlangsung secara kompetitif, bebas, adil, terbuka dan damai yang dirasakan oleh partai politik dan rakyat pemilih. Demokrasi juga menggariskan bahwa Pemilu adalah kesempatan bagi partai oposisi dan rakyat untuk menjalankan mekanisme check and balances terhadap partai yang berkuasa (rulling party). Munafrizal Manan dalam karyanya yang berjudul Pentas Politik

Indonesia Pasca Orde Baru, menceritakan tentang pelaksanaan Pemilu 1999 dan

kekalahan partai politik Islam.1

Selain itu terdapat juga deretan karya dari para Indonesianis yang konsen terhadap fenomena politik di Indonesia seperti karyanya Herbeth Feith dengan bukunya Pemilihan Umum 1955 di Indonesia yang diterjemahkan oleh Nugroho Dalam tulisan tersebut ia mengidentifikasikan kekalahan partai politik Islam dari segi sosio-politik adalah 1) Minimnya kesiapan partai mengikuti pemilu, 2) Kehadiran partai politik Islam tidak diiringi oleh momentum yang tepat, 3) Terlalu banyak berdiri partai yang berlabelkan Islam sehingga membingungkan para pemilih Islam.

1

(13)

Katjasungkana dan kawan-kawan. William Liddlle mengenai Pemilu Era Orde Baru, dan yang terakhir adalah persamaan Pemilu 1955 dengan Pemilu 1999 yang ditulis oleh Dwihgt Y. King.2

Pada pemilu 1955 tidak kurang dari 28 partai poltik ikut serta sebagai kontestan, meskipun pesertanya banyak (multi partai), secara garis besar apabila dilihat secara idiologi dapat digolongkan ke dalam tiga golongan ideologi besar yaitu; Islam, Nasionalis, dan Komunis atau Sosialisme. Hasil Pemilu 1955 tidak memuaskan semua pihak baik golongan Islam maupun golongan Nasionalis tidak ada yang keluar sebagai pemenang dengan suara mayoritas lebih dari 50 prosen. Dalam pemilu 1955 tersebut ternyata partai-partai Islam terpuruk, kecuali Masyumi dan NU yang mendapatkan di atas 17 prosen suara. Sementara partai-partai Islam lainnya tidak mendapatkan suara yang lebih dari 10 persen.

Indonesia pada 17 Agustus 2007 genap berusia 62 tahun. Dalam kurun waktu 62 tahun tersebut Indonesia telah menyelenggarakan 9 (sembilan) kali pemilihan umum yakni; pemilihan umum yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999 dan 2004.

3

Lili Romli dalam bukunya yang berjudul Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-partai Islam di Indonesia. Lili memfokuskan

perhatiannya pada pertumbuhan partai-partai politik Islam pada masa pasca Orde Baru. Dan la juga menyinggung di dalam bukunya tersebut bahwa lahirnya

partai-2

Lihat Dwight Y. King, “Kontinuitas Basis Pendukung Partai Politik, 1955-1999 dalam Kompas

23-24 Mei 2000

3

(14)

partai Islam dalam jumlah yang besar ternyata tidak diiringi oleh kemenangan partai-partai Islam tersebut4

Berdasarkan catatan Lili Romli (2006), dinamika partai-partai politik Islam memiliki peran yang sangat signifikan dan mewarnai perjalanan bangsa Indonesia dari masa awal kemerdekaan dan demokrasi parlementer. Hal ini terlihat diawal - awal kemerdekaan, yaitu dalam rangka menyumbangkan peran dalam membangun dan menegakkan negara Republik Indonesia, Masyumi kadang-kadang bekerjasama dengan partai-partai sekuler dalam suatu kabinet koalisi. Namun ketika peralihan sistem pemerintahan dari Presidensil menjadi parlementer, dengan desakan BP KNIP yang dipimpin oleh Sutan Syahrir, Masyumi tidak masuk ke dalam pemerintahan meskipun beberapa anggotanya menjadi anggota kabinet akan tetapi keterlibatan mereka sebagai menteri atas nama pribadi.

.

5

Ketika memasuki Demokrasi Parlementer, berdasarkan UUDS 1950, peran partai-partai Islam mewarnai kehidupan demokrasi. Partai-partai Islam merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan dalam pembentukan kabinet. Setiap

Pada Kabinet Amir Syarifuddin I, Masyumi juga menjadi partai oposisi. Namun dalam Kabinet Amir II, Masyumi ikut serta dalam kabinet. Keikutsertaan ini dengan maksud mempengaruhi Perdana Menteri Amir Syarifuddin dalam perundingan dengan pihak Belanda. Ternyata usaha ini gagal dengan disepakatinya Perjanjian Renville. Akibat dari hasil perjanjian itu Masyumi kemudian menyatakan keluar dari Kabinet,

4

Lihat Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes; Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006, hal.4

5

(15)

pembentukan kabinet, partai-partai Islam merupakan unsur penting yang harus dilibatkan apakah partai itu Masyumi. NU, PSII maupun Perti. Masyumi sendiri pernah memimpin kabinet sebanyak tiga kali; yaitu Kabinet Natsir (6 Agustus 1950 - 7 April 1951), kabinet Soekiman (27 april 1951 – 5 April 1952) dan Kabinet Burhanuddin Harahap (17 Agustus 1955 – 24 Maret 1956)6

Fenomena perolehan suara partai-partai Islam yang tidak keluar sebagai pemenang tesebut dapat dilihat bahwa tidak semua umat Islam, yang mayoritas itu, memilih partai-partai Islam. Mereka juga, memilih partai-partai yang sekuler dan bahkan juga partai-partai yang atheis, seperti PKI. Dengan tidak semua memilih partai Islam, hal itu karena memang umat Islam Indonesia tidak lah umat Islam yang homogen dalam pemahaman terhadap Islam. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa umat Islam Indonesia juga terdiri dari Islam santri dan abangan. Mereka yang tergolong Islam abangan tentu memilih partai-partai yang sekuler, sedangkan mereka yang termasuk dalam kelompok santri memilih partai-partai Islam.7

Kenyataan terpuruknya partai-partai Islam dalam mendulang suara ternyata di dalam perjalanan sejarah bangsa ini tidak mengalami perbaikan yang menggembirakan pada setiap pertarungan memperebutkan suara rakyat. Ini semakin nyata dengan marginalisasi partai politik Islam pada masa Demokrasi Terpimpin dan Orde baru. Realitas ini dapat kita lihat pada Demokrasi Terpimpin menurut Syafii Maarif, ada dua kelompok partai Islam dalam menyikapi

6

Lihat Herbeth Feith. The Decline of Constitutional Democracy In Indonesia, Ithaca and NewYork: Cornel University; Press. 1986. dalam Lili Romli, Ibid, hal 44.

7

Lihat Daniel S Lev. “Partai-Partai Politik Indonesia Masa Demokrasi

(16)

Demokrasi Terpimpin. Kelompok pertama. Masyumi yang memandang keikutsertaan dalam sistem politik otoriter sebagai penyimpangan dari ajaran Islam. Kelompok kedua, yaitu Liga Muslim, anggotanya terdiri dari NU, PSII, dan Perti, berpandangan bahwa turut serta dalam sistem Demokrasi Terpimpin adalah sikap realistik dan pragmatis.8

Menurut Deliar Noer, ternyata partai-partai Islam yang bergabung dalam Demokrasi Terpimpin bukan menambah keuntungan namun malah merugi. Ini dapat dilihat dari perolehan kursi di DPR-GR. Jumlah kursi Wakil partai-partai Islam bukannya bertambah malah menurun, yaitu dari 115 kursi (hasil pemilu 1955) menjadi 43 kursi.

Bagi kelompok yang turut serta dalam Demokrasi Terpimpin, jangan dilihat dari kaca mata hitam putih tapi dipandang dari sudut strategi untuk menyelamatkan Islam. Sedangkan bagi kelompok yang menolak Demokrasi Terpimpin berpandangan bahwa Demokrasi Terpimpin, karena menerapkan praktik-praktik otoriterian dalam pemerintahannya, harus ditolak. Hal itu tidak sesuai dengan ajaran Islam.

9

Bagi Slamet Effendy Yusuf keberadaan NU dalam Demokrasi Terpimpin dalam upaya menandingi PKI dalam setiap aksi-aksi atau program-program yang dilaksanakan oleh PKI. Hal ini dapat dilihat dimana PKI setiap mendirikan ormas-ormas underbownya selalu ditandingi oleh NU.10

Pada Era Orde Baru posisi partai Islam secara umum dan kehidupan berdemokrasi semakin berada pada posisi yang semakin terpuruk. Sudah menjadi

8

Lihat Syafii Maarif. Islam dan Politik; Teori Belah Bumbu Masa Demokrasi Terpimpin, Jakarta: Gema Insani Pers. 1996. hal. 53.

9

Lihat Deliar Noer, "Islam dan Politik: Mayoritas atau Minoritas? ", dalam Prisma No. 5 tahun 1998, hal. 14.

10

(17)

pengetahuan umum pada saat itu jika pelaksanaan Pemilu pada Era Orde Baru hanyalah sebuah rekayasa politik belaka sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan yang telah ada. Seperti yang dikemukakan oleh William Liddle, bahwa pemilu-pemilu Orde Baru bukanlah alat yang memadai untk mengukur suara rakyat. Hal itu karena pemilu-pemilu pada Orde Baru dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan birokrasi, Tangan-tangan itu tidak hanya mengatur hampir seluruh proses pemilu, tetapi juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi partai politik milik pemerintah, yaitu Golkar. Dalam setiap pemilu kompetisi ditekan seminimal mungkin dan kebebasan serta keberagaman pandangan tidak diperbolehkan atau dilarang.11

Tumbangnya rezim Soeharto menandakan lahirnya Era Reformasi, Eforia kebebasan menjadi ciri yang tidak dapat di bendung pada era ini. Hampir semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami perubahan yang cukup signifikan. Pada bidang politik menandai dimulainya kehidupan berpolitik yang

Di Era Orde Baru dilakukan penyederhanaan partai politik. Partai-partai politik Islam berfusi dan membentuk partai baru yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), persaingan antara Golkar sebagai partai pemerintah dengan PPP sebagai representasi partai Islam berjalan dengan sengit Dalam konteks Pemilu 1977 Liddle melukiskan suasana Pemilu 1977 sebagai pertarungan dua kekuatan, The Government Versus Islam. Dalam Pemilu ini Golkar berhadapan langsung dengan PPP. Golkar merupakan personifikasi dari sekulerisasi dengan program pembangunan ekonomi, sementara PPP personifikasi sebagai kekuatan Islam dengan menggunakan ka'bah sebagai lambangnya.

11

(18)

bebas adalah dengan lahirnya partai-partai politik bagaikan jamur di musim hujan. Dan ini juga menandai bangkitnya kembali partai-partai Islam.

Seperti yang telah penulis ceritakan singkat mengenai pemilu yang telah diselenggarakan oleh Indonesia. Pemilu 1955 dan Pemilu 1999 merupakan Pemilu yang mengundang perhatian banyak kalangan dibandingkan dengan Pemilu-Pemilu lainnya. Ini disebabkan penilaian oleh banyak pihak bahwa kedua Pemilu-Pemilu tersebut adalah Pemilu yang memenuhi hampir semua persyaratan Pemilu yang demokratis. Dan karenanya berbeda sekali dengan Pemilu lainnya yang diselenggarakan oleh Orde baru, yang banyak terjadi kecurangan, manipulasi, diskriminasi dan intimidasi.12

Dalam konteks Islam politik, Eforia politik itu membawa akibat munculnya kembali orientasi Islam struktural dan Islam politik melalui bentuk berdirinya partai-partai yang berasas, bersimbol, dan berbasis dukungan Islam. Ini merupakan salah satu fenomena politik yang menarik pasca Soeharto. Fenomena

Selain itu Pemilu 1999 adalah Pemilu kali pertamanya yang diselenggarakan pada Era Reformasi.

Kiranya Indonesia pada tahun 2004 lalu, masih dapat dikategorikan ke dalam fase transisi. Salah satu hal yang menonjol pada tahap ini ialah apa yang disebut sebagai Eforia politik. Eforia ini juga masih terasa dan dapat dilihat dengan banyaknya partai politik peserta Pemilu yang akan bertanding untuk memperebutkan "kursi" kekuasaan di dalam pemerintahan.

12

(19)

itu merupakan refleksi kemajemukan umat Islam dan keberagaman kepentingan kelompok Islam. Lahirnya partai-partai tersebut adalah buah dari Eforia politik yang sulit dielakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang selama ini berlangsung telah memberikan kebebasan bagi warga Negara untuk berserikat atau berorganisasi.

Tabel 1.1

Partai Politik Islam Peserta Pemilu 1999

NO NAMA PARTAI SINGKATAN

1. Partai Persatuan Pembangunan PPP

2. Partai Bulan Bintang PBB

3. Partai Keadilan PKS

4. Partai Nahdatul Ulama PNU

5. PP PP

6. PPI Masyumi PPI Masyumi

7. Partai Syarikat Islam Indonesia PSII

8. Partai Kebangkitan Umat PKSU

9. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia Partai KAMI

10. Partai Umat Islam PUI

11. Partai Abdul Yatama PAY

12. Partai Indonesia Baru PIB

13. Partai SUM SUM

14. PSII 1905 PSII 1905

15. Partai Masyumi Baru PMB

(20)

17. Partai Umat Muslimin Indonesia PUM1 Sumber: Tabloid Portibi Trobos, Edisi Perdana, Februari 2004

Jika dibandingkan dengan partai Islam yang pernah ada tahun 1950-an, jumlah partai ber-asas Islam yang muncul saat ini jauh lebih banyak. Pada pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai pemilu. 15 diantaranya adalah partai politik yang secara sah menjadikan Islam sebagai asasnya (lihat tabel 1.1).

Tabel 1.2

Partai Politik Islam Peserta Pemilu 2004

No NAMA PARTAI SINGKATAN

1. Partai Persatuan Pembangunan PPP

2. Partai Keadilan Sejahtera PKS

3. Partai Bintang Reformasi PBR

4. Partai Bulan Bintang PBB

5. Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia PPNUI Sumber : Tabloid Portibi Trobos, Perdana, Februari 2004

Dan pada Pemilu 2004 yang lalu diikuti oleh 24 partai politik peserta pemilu, 5 diantaranya adalah partai politik Islam (lihat tabel 1.2). Hal ini sangat bertolak belakang dengan fakta pada masa sebelum era reformasi yang menempatkan kekuatan politik Islam berada pada posisi yang marjinal atau outsider. Pada masa itu, oleh pemerintah partai Islam dipandang sebagai kategori

politik yang menjadi pesaing utama terhadap idiologi Negara. Karenanya, pemerintah berupaya melemahkan dan menjinakkan partai-partai Islam.13

Meskipun demikian, yang menarik adalah ternyata Eforia Islam politik yang mengejawantah melalui banyaknya muncul partai Islam tersebut tidak dengan

13

(21)

serta merta membuahkan kemenangan partai politik Islam. Secara Nasional tampak pada hasil Pemilu 1999 yang menempatkan sejumlah partai politik Islam mengalami keterpurukan dalam meraup perolehan suara.

Partai Persatuan Pembangunan pada Pemilu 1999 memperoleh 10,72% atau 11.329.905 suara di susul dengan Partai Bulan Bintang yang memperoleh 1,94% atau 2.049.708 suara, kemudian Partai Keadilan sekarang bernama PKS memperoleh 1,36% atau 1.436.565 suara dan Partai Nahdatul Ulama memperoleh 679.179 suara. Perolehan suara partai-partai politik di atas ternyata tidak dapat dipertahankan bahkan di tingkatkan pada Pemilu 2004 ini dapat kita lihat Partai Persatuan Pembangunan memperoleh 9.248.764, Partai Keadilan Sejahtera mengalami peningkatan yang signifikan yakni mendapatkan 8.325.020 suara, dan Partai Nahdatul Ummah mendapat 895.610 suara.

Ini juga menunjukkan bahwa meskipun di Indonesia secara statistik mayoritas penduduknya adaiah beragama Islam, namun dalam hal pilihan politik umat Islam tidak secara otomatis menjadi pendukung partai-partai Islam. Artinya label Islam tetap belum menjadi daya tarik dalam kancah politik di Indonesia.14

Fenomena atau fakta ini menjadi sangat menarik bagi penulis, karena ditengah keterpurukan partai-partai Islam dalam menggalang suara secara

Ternyata argumentasi di atas tidak sepenuhnya benar jika kita lihat untuk perolehan partai politik Islam pada tingkatan Kabupaten/Kota. Dibeberapa kota di Indonesia seperti; Jakarta, Medan, dan Yogyakarta. Partai Keadilan Sejahtera atau PKS menjadi pemenang pada Pemilu legislatif 2004. seperti yang terjadi di Medan.

14

(22)

Nasional, namun terdapat partai Islam yakni PKS yang mampu memenangkan pertarungan untuk kursi legislatif pada level Kabupaten/Kota. Alasan tadi lah yang membuat penulis mengangkat fenomena ini menjadi judul penelitian yang akan penulis laksanakan.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah salah satu partai Islam yang lahir sebagai buah dari reformasi. Awalnya partai ini bernama Partai Keadilan (PKS) karena tidak dapat melampaui batas minimal perolehan 2 persen suara pada pemilihan umum 1999 (electoral threshold) maka partai ini berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera.

Sebelum menjadi sebuah partai, aktivis-aktivis partai ini masih tergabung dalam suatu wadah seperti gerakan. Kegiatan yang sering mereka laksanakan sebelum membentuk partai bahkan sampai dengan sekarang ini adalah Pesantren Kilat atau biasa disebut dalam Bahasa Arab Dauroh. Kemudian setelah adanya partai maka perekrutan anggota dilaksanakan secara resmi melalui Training Orientasi Partai (TOP). PKS juga sering dikatakan sebagai partai dakwah karena aktivitas kadernya yang memiliki kontiunitas dalam menggelar pengajian-pengajian dari rumah ke rumah dari mesjid ke mesjid.

Partai yang dipimpin oleh Hidayat Nur Wahid sebagai Presiden Partai Keadilan di awal berdirinya. Partai ini dapat dikatakan sukses dalam merebut hati konstituennya di Indonesia, meskipun partai ini gagal melewati batas electoral threshold namun partai ini dapat bangkit kembali dan menunjukkan jati diri partai

(23)

secara Nasional PKS berhasil memperoleh 7,34 % suara (8.325.020) dan berhasil memperoleh 45 kursi di DPR RI (8.18%) dari total kursi yang diperebutkan di DPR RI.15

Jika kita coba bandingkan perolehan suara PKS dengan partai Islam lainnya secara nasional, PKS berada di urutan tiga besar setelah PPP dan PBB pada pemilu 1999. PPP memperoleh 11.329.905 suara, disusul dengan PBB

Di tingkat daerah baik tingkat I atau tingkat II di beberapa daerah di Indonesia PKS berhasil keluar sebagai pemenang dalam pertarungan memperebutkan kursi di DPR. Salah satunya adalah di Kota Medan. Pada Pemilu legislatif 2004 di Kota Medan PKS berhasil menjadi “pemenang” dalam menempatkan kader-kadernya di kursi “Dewan Perwakilan Rakyat Kota Medan. Dengan memperoleh 160.887 suara, kemudian disusul oleh Partai Golongan Karya pada peringkat kedua dengan perolehan 121.001 suara” Disusul dengan Partai Demokrat yang memperoleh 111.634 suara, kemudian diikuti oleh PDI-Perjuangan dengan perolehan suara 105.893 suara. Dan selanjutnya ditempat terakhir disusul oleh Partai Amanat Nasional dengan perolehan 100.812 suara.

Di propinsi Sumatera utara PKS hanya mampu memenangkan pertarungan hanya di Kota Medan saja, tidak untuk kabupaten/kota lainnya. Seperti di Binjai dan Deli Serdang PKS dikalahkan oleh partai lama yakni Partai Golongan Karya. Bahkan PKS tidak dapat memenangkan pertarungan di kabupaten/kota yang notabene penduduknya mayoritas beragama Islam seperti di Tapanuli Selatan; PKS hanya mampu memperoleh 17.431 suara dikalahkan oleh partai Golongan Karya dengan perolehan 82.627 suara.

15

(24)

dengan perolehan 2.049.708 suara, kemudian PKS yang pada waktu itu PK dengan memperoleh 1.436.708 suara. PKS semakin membuktikan dirinya sebagai partai yang diterima oleh konstituen di Indonesia yakni pada pemilu 2004, untuk partai politik Islam PKS memperoleh 8.325.020 suara dan hanya berada di bawah PPP yang berhasil memperoleh 9.248.764 suara.

2. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi perumusan masalah yang penulis kemukakan di dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana desksripsi relasi antara Pemilihan Umum dan Sistem Kepartaian dalam Sistem Politik Indonesia

2. Bagaimana peran Partai Politik Islam dalam Sistem Politik Indonesia 3. Bagaimana eksplorasi peranan PKS dalam pemilihan umum legislatif

DPRD Kota Medan 2004 3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui deskripsi singkat tentang pemilihan umum dan sistem kepartaian dalam Sistem Politik Indonesia.

2. Untuk mengetahui peran PKS pada pemilihan umum legislatif DPRD Kota Medan 2004

(25)

4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan bermanfaat bagi:

1. Bagi Partai-partai Islam secara umum dapat melihat seberapa besar konstituen yang memilih partai-partai yang berasaskan Islam

2. Khusus bagi PKS dapat membuat strategi untuk merebut konstituen yang beragama Islam agar tidak memilih partai Islam lainnya.

3. Bagi akademisi dapat menjadi referensi tambahan untuk tema partai politik dan Pemilu

4. Bagi penulis sebagai sarana mengasah kemampuan dalam membaca, menulis, berpikir sekaligus menganalisa tentang fenomena Pemilu dan partai politik Islam khususnya PKS di Kota Medan.

5. Dasar - Dasar Teoritis

5.1. Perspektif Teori Pemilihan Umum

Bagian ini perlu untuk penulis sampaikan agar penelitian yang akan dilakukan nanti memiliki landasan teori atau landasan berfikir dalam "membedah" atau memecahkan masalah yang ada. Teori adalah serangkaian konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.16 Sedangkan menurut F.N Karliger teori adalah sebuah konsep atau konstruksi yang berhubungan satu dengan yang lain, suatu set dari proporsi yang mengandung suatu pandangan yang sistematis dari fenomena.17

16

Lihat Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989, hal. 37

17

(26)

Di dalam ilmu politik kita dapat mengenal dua macam pemahaman tentang demokrasi: Pertama, secara normatif. Pemahaman secara normatif bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti kita mengenali ungkapan "Pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat" ungkapan normatif tersebut biasanya diterjemahkan dalam konstitusi pada masing-masing negara misalnya di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, Demokrasi dalam artian empirik, yakni demokrasi dalam kehidupan politik praktis, misalnya apakah pemerintah memberikan ruang gerak para warga untuk berpartisipasi dalam politik.18

Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian makna demokrasi seperti yang dikembangkan di atas, memberikan suatu indikasi kepada kita bahwa dalam pandangan yang pertama pengertian itu lebih cenderung kepada penggunaan pendekatan dengan titik tolaknya berasal dari satu asumsi dasar yakni "Bagaimana keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan tersebut harus di buat". Sedangkan dalam pemikiran yang kedua, menunjukkan suatu bukti bahwa demokrasi itu senantiasa berhadapan dengan masalah yang substansial (apa yang seharusnya dibuat oleh pemerintah).19

Dengan demikian jika kita kaitkan bagaimana relasi antara pemilihan umum dan demokrasi terletak pada esensi dari demokrasi secara empirik yakni; memberikan ruang gerak kepada rakyat untuk berpartisipasi secara aktif di dalam politik. Untuk mewujudkan partisipasi itu maka pemilu merupakan salah satu

18

Lihat P. Anthonius Sitepu, Sistem Politik Indonesia, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006, hal.123

19Ibid

(27)

instrumen demokrasi yang hadir sebagai wadah untuk mewujudkan hal itu. Selain itu Guillermo A. O' Donnell dan Phillipe C. Schmitter memandang Pemilu juga sebagai alat untuk membangunkan partai-partai agar bereaksi, karena "Partai adalah lembaga modern untuk merestrukturisasi dan mengumpulkan pilihan-pilihan individual."20

Pemilihan umum sering disebut sebagai "pesta demokrasi" dalam hal ini semua rakyat harus ikut memilih tanpa ada perbedaan.21

Menurut UU No. 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum pasal 1 ayat 1 menyebutkan: Pemilu adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat dalam Negara Pemilu merupakan sarana demokrasi tanpa adanya Pemilu yang demokratis maka tidak terdapat demokrasi pada sebuah Negara. Pemilu dapat dinilai demokratis kalau dalam pelaksanaannya terpenuhi beberapa syarat yakni; 1) Pemilu dalam pelaksanaannya harus menjamin kerahasiaan dalam pemberian suara (secret ballot) dan kejujuran terutama dalam penghitungan suara, 2) Pemilu harus diikuti oleh beberapa partai politik yang saling berkompetisi secara fair dalam suatu sistem kepartaian yang telah dianut dan kompetitif. 3) Hasil Pemilu dipakai untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin Negara sebagaimana yang dianut oleh Negara pemilihan langsung (direct democracy) dan menentukan jumlah keanggotaan dan komposisi lembaga perwakilan sebagaimana Negara yang menganut prinsip demokrasi tidak langsung (indirect democracy) atau demokrasi perwakilan (representative democracy).

20

Guillermo A. O' Donnel dan Phillipe C. Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986, hal. 57-58. Dalam "Partai Politik dan Konsolidasi Demokrasi diIndonesia”, Paige Johnsons.Pada Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta: Penebar Swadaya, 19997, hal. 4

21

(28)

Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pada Pemilu legislatif 2004 dilaksanakan pemilihan untuk memilih orang-orang yang dicalonkan oleh partai untuk duduk dalam kursi DPR-RI, DPRD-TK I, DPRD TK II, dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Pemilu ini menggunakan sistem proporsional daftar terbuka. Pemilih tidak lagi seperti memilih "kucing di dalam karung" seperti layaknya sistem Pemilu yang diterapkan pada pemerintahan Orde Baru. Pada Pemilu kali ini, pemilih langsung mencoblos nama calon Wakil rakyat yang dikehendakinya yang berasal dari partai yang ia percayai.

Partai politik yang berhasil lolos untuk "bertarung" dalam Pemilu legislatif 2004 berjumlah 24 partai politik. Sebelumnya terdapat lebih dari 225 partai politik yang akan ikut berkompetisi pada putaran Pemilu 2004. Namun Departemen Kehakiman dan HAM serta KPU hanya meloloskan 24 partai politik. Ke-24 partai politik inilah yang berhak dan telah memenuhi segala ketentuan/persyaratan untuk menjadi peserta Pemilu.

5.2. Sistem Kepartaian

Bentuk kepartaian dalam suatu negara dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah partai yang ada di negara tersebut. Hal ini menyangkut telah sistem kepartaian berdasarkan atas tipologis numerik (Numerical typology) yang secara statis dan tradisional membagi sistem kepartaian menjadi sebagai berikut:22

22

(29)

1. Sistem Partai Tunggal (Single Party System)

Partai tunggal merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang kedudukannya dominan diantara beberapa partai lainnya. Pola partai tunggal terdapat di beberapa Negara seperti Afrika, Eropa Timur dan RRC. Suasana kepartaian non kompetitif karena partai-partai yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan bersaing secara merdeka melawan partai itu. Negara yang paling berhasil untuk meniadakan partai-partai lain ialah Uni Soviet. Oposisi dianggap sebagai penghianatan. Partai tunggal serta organisasi yang bernaung di bawahnya berfungsi sebagai pembimbing dan penggerak masyarakat dan menekankan perpaduan dari kepentingan partai dan kepentingan rakyat secara menyeluruh.23

2. Sistem Partai Dwipartai (Two Party Sistym)

Konsep Dwi partai merupakan dua partai, atau adanya beberapa partai tetapi dengan peran dominan dari dua partai dalam suatu negara. Hanya beberapa Negara yang memiliki sistem Dwipartai, antara lain Inggris dan Amerika Serikat.

Sistem, Dwi Partai umumnya diperkuat dengan digunakannya sistem pemilihan single-member constituency (sistem distrik) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. Sistem pemilihan ini mempunyai kecenderungan untuk menghambat pertumbuhan dan

23

(30)

perkembangan partai kecil, sehingga dengan demikian memperkokoh sistem dwi partai dimana saja.24

3. Sistem Multi Partai (Multi Party System)

Pada masyarakat majemuk umumnya memiliki sistem multi partai. Dimana dalam suatu negara terdapat banyak perbedaan, seperti perbedaan agama, suku, dan ras. Dengan kondisi seperti ini maka golongan-golongan dalam masyarakat akan lebih cederung untuk menyalurkan loyalitas mereka pada organisasi yang sesuai dengan ikatan primordialnya dari pada bergabung dengan kelompok lainnya. Maka dari itu dianggap bahwa pola multi partai lebih mampu menyalurkan keanekaragaman budaya dan politik dalam suatu masyarakat. Sistem seperti ini dapat ditemukan diantaranya pada Belanda, Prancis, dan Indonesia.

Dalam kaitannya dengan sistem pemilihan umum pola multi partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan berimbang (proportional representational) yang memberikan kesempatan luas kepada partai-partai politik

untuk tumbuh berkembang berdasarkan golongan-golongan. Artinya, bahwa kepada partai-partai kecil meraih keutungan pada saat adanya kelebihan suara oleh partai besar dari satu daerah pemilihan yang dapat dialihkan ke daerah pemilihan lainnya guna menggenapi perolehan suara yang diperlukan untuk memenangi satu kursi di parlemen. Maka dengan perspektif seperti itu tampak jelas adanya korelasi antara sistem kepartaian dan sistem pemilihan umum.25

24Ibid

.,

25

P. Antonius Sitepu, Op cit., hal. 19-20

(31)

5.3. Partai Politik

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai serta cita-cita yang sama, dan yang mempunyai tujuan kekuasaan tersebut, melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.26

Bagi Indonesia sendiri kehidupan partai politik baru dapat dilacak kembali secara samara-samar sampai tahun 1908 dikatakan bahwa organisasi-organisasi yang memberi kesan adanya partai politik, dalam kenyataannya bukan partai dalam pengertian modern organisasi sebagai tujuannya merebut kedudukan dalam negara di dalam persaingan melalui pemilihan umum. Namun dapatlah dikatakan bahwa partai dalam artian modern, sebagai suatu organisasi massa yang berusaha untuk mempengaruhi proses politik, merombak kebijaksanaan dan mendidik para pemimpin dan mengejar penambahan para anggota, baru lahir di Indonesia ketika didirikan Sarekat Islam pada tanggal 10 September 1912 oleh Oemar Said Tjokroaminoto. Sejak itulah partai dianggap menjadi wahana yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan Nasionalis.

Dapat juga dikatakan bahwa partai sebagai kekuatan politik adalah suatu gejala baru bagi semua negara di dunia ini, dalam artian bahwa umurnya tidak setua umur masyarakat manusia. Sejak tahun 1850, tidak ada satu negarapun di dunia ini kecuali Amerika Serikat mengenal partai dalam pengertian modern. Namun menurut catatan banyak ahli bahwa pada tahun 1950 - an, hampir semua nation-states di dunia sudah memiliki partai politik, dan bagi kebanyakan negara-negara jajahan partai politik menarik perhatian, karena partai politik bisa menjadi kekuatan tandingan untuk melawan penjajah.

27

Joseph Lapalombara dan Myron Weiner dalam bukunya Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, disebutkan bahwa; partai politik merupakan a

26

Lihat Miriam Budiardjo, Partisipasi Politik dan Partai Politik, Jakarta: Gramedia, 1982, hal. 99.

27

(32)

creature of modern and modernizing political system.28

Menurut Maurice Duverger, proses lahirnya partai politik dapat ditelusuri dalam dua karakter: a) Partai politik yang berdiri atas dorongan individu perindividu yang memiliki kesepahaman, kesamaan pandangan dan satu idiologi, maka mereka sepakat mendirikan partai politik tersebut. b) Partai politik yang merupakan penjelmaan dari berbagai unsur organisasi yang karena merasa perlu untuk membangun kekuatan politik bersama (beraliansi) untuk tujuan suatu perjuangan politik maka organisasi-organisasi yang sepaham itu sepakat mendirikan partai politik.

Dalam awal perkembangan partai politik dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Merupakan salah satu indikator gejala modernisasi masyarakat, dimana telah terjadi ledakan partisipasi masyarakat dan pemindahan hak-hak politik kepada masyarakat semakin luas. 2) teori situasi historis, dimana partai politik berkaitan dengan krisis yang terjadi di dalam suatu masyarakat.

29

Dalam negara demokratis, partai politik menyelenggarakan fungsi: 5.3.1. Fungsi Partai Politik

30

• Sarana Komunikasi Politik

Dalam fungsi ini partai politik berfungsi untuk menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpang siuran pendapat dalam masyarakat berkurang.

28

Lihat Khairudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 64

29

Lihat Suroto, Partai-partai Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Citra Mandala Pratama, 2003, hal.32.

30

(33)

• Sarana Sosialisasi Politik

Dalam hubungan ini partai politik berfungsi sebagai salah satu sarana sosialisasi politik. Dalam usaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilu partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin. Untuk itu partai berusaha menciptakan image bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Disamping itu partai politik juga menanamkan solidaritas partai dan mendidik anggotanya menjadi warga negara yang sadar sebagai warga negara.

• Sarana Rekrutmen Politik.

Berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai.

• Sarana Pengatur Konflik

Dalam suasana demokrasi persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha untuk mengatasi.

Di Indonesia terminologi Partai Politik di dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 2002 tentang partai Politik, pada Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepetingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum.31

Di atas telah dijelaskan sekelumit perjalanan cikal-bakal partai politik Indonesia pada masa pra kemerdekaan. Adapun yang menjadi tonggak lahir dan

31

(34)

berkembangnya partai-partai politik di Indonesia pada masa pasca kemerdekaan ditandai dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 menyebutkan bahwa atas dasar usul Badan Pekerja (BP) Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) kepada pemerintah, agar memberikan kesempatan seluas- luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik. Dalam Diktum maklumat pemerintah 3 Nopember 1945 itu yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Moh. Hatta berbunyi sebagai berikut:

 Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang benar segala aliran/paham yang ada dalam masyarakat

 Pemerintah berharap supaya partai politik itu telah tersusun sebelumnya diselenggarakan pemilihan umum bagi anggota Badan Perwakilan Rakyat pada Januari 1946.32

Menyusul Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 tersebut, tumbuh dan berkembanglah setiap kelompok mendirikan partai politik sampai Januari 1946 berjumlah 10 partai politik.33

32

Lihat "Transformasi Kekitatan-kekuatan Politik dalam Konfigurasi Politik Sistem Politik Indonesia", P. Anthonius Sitepu. Dalam Politeia: JurnalIlmu Politik, Medan: Jurusan Ilmu Politik Fisip - USU dan Laboratorium Jurusan Ilmu Politik FISIP - USU, 2005, hal. 26

33Ibid

(35)

1. Tujuan Umum Partai Politik untuk:

a. Mewujudkan cita-cita Nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945

b. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

2. Tujuan khusus partai politik adalah memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.34 Sigmund Neuman bahwa di dalam negara demokratis, partai politik mengatur keinginan dan aspirasi berbagai golongan dalam masyarakat. Sedangkan dalam negara komunis partai politik bertugas untuk mengendalikan semua aspek kehidupan secara monolitik.

5.4. Partai Politik Islam

Mengenai apa dan bagaimana kita melihat partai politik Islam, Eep Saifulloh Fatah membagi partai-partai Islam dalam 4 kelompok; Pertama, partai politik yang menjadikan komunitas muslim sebagai basis atau target massanya, Kedua, partai politik yang memakai label Islam sekalipun tidak berasaskan Islam.

Ketiga, partai politik yang menjadikan Islam sebagai asasnya. Keempat, partai politik yang agenda dan platformnya secara tegas melayani kepentingan dan ideologi kalangan Islam.35

34

Dianay, Op. Cit. hal. 4.

35

(36)

Berdasarkan klasifikasi yang dikemukakan oleh Eep Saifullah Fatah di atas maka agak sukar untuk mengidentifikasi dengan jelas tentang partai politik Islam. Namun demikian, paling tidak, berdasarkan klasifikasi tersebut kita dapat mengidentifikasi dimana secara garis besar partai-partai politik Islam yang berdiri pada Era Reformasi ini adalah: Pertama, partai politik yang menjadikan Islam sebagai asas dan program formalnya dan kedua, partai politik yang lebih mementingkan nilai-nilai Islam dari pada simbol-simbol Islam. Dengan kata lain partai model yang pertama lebih menekankan pendekatan formalistik sedangkan yang kedua lebih menekankan pendekatan substansialistik.36

Menurut Faisal Ismail partai politik Islam merupakan cerminan pada identitas, label dan simbol Islam, sekaligus tercermin pula pada visi dan misi perjuangan yang terekam daiam berbagai agenda dan program kerja yang sangat Dalam persepektif itu kiranya kita telah memiliki frame atau bingkai untuk dapat melihat dan mengklasifikasikan partai-partai politik Islam yang ada dan akan lahir nantinya. Hal ini sangat berguna untuk dimengerti agar tidak terjadi lagi praktek-praktek mengatasnamakan umat Islam dalam setiap jargon-jargon yang "dijual" oleh partai dalam rangka meraih konstituennya.

Selain apa yang dituliskan oleh Eep Saifullah tadi yang mengidentifikasi atau mengklasifikasikan partai-partai Islam yang ada. Terdapat juga identifikasi yang disampaikan oleh Faisal Ismail. Sebelum membahas lebih jauh tentang apa yang dimaksud partai Islam oleh Faisal Ismail, penulis juga merasa penting untuk menyampaikan apa yang telah dituliskan oleh Eep Saifullah sangat bermanfaat bagi kita untuk memahami perilaku partai-partai Islam.

36

(37)

relevan dengan nilai-nilai Islam.37

Partai politik Islam yang menjadi peserta Pemilu legislatif 2004 sebanyak lima partai politik Islam sesuai dengan apa yang menjadi kategori politik Islam yang dimaksud di atas, yakni; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dipimpin oleh Hamzah Haz, Partai Bulan Bintang (PBB) yang diketuai oleh Yusril Ihza Mahendra, Partai Bintang Reformasi oleh KH. Zaenuddin MZ, Partai Keadilan Sejatera (PKS) sebagai Presiden Hidayat Nur Wahid dan yang terakhir Partai Persatuan Nahdatul Ummah (PPNU) yang di imami oleh Syukrom Ma'mun.

Dalam penelitian ini, partai politik Islam yang dimaksud merujuk dari apa yang dikemukakan oleh Faisal Ismail di atas lebih spesifik lagi partai yang berasaskan Islam.

38

Ketepatan metodologi yang digunakan dalam melakukan penelitian mutlak

sangat diperlukan. Menurut Antonius Birowo, metodologi mengkaji tentang proses

penelitian yaitu bagaimana peneliti berusaha menjelaskan apa yang diyakini dapat

diketahui dari masalah penelitian yang akan dilakukan.

Pada penelitian Ini penulis hanya menyoroti Partai Keadilan Sejahtera sebagai salah

satu partai politik Islam yang berhasil menjadi pemenang Pemilu legislatif 2004 di

Kota Medan Sumatera Utara.

6. Metodologi Penelitian

39

37

Lihat Faisal Ismail, Pijar-pijar Islam Pergumulan Kultural dan Struktur, Yogyakarta: LESFI,2002, hal. 133

38

Lihat Mar'at. Sikap Manusia, Perubahan Serta Pengukurannya, Jakarta: Gramedia Widya Sarana, 1992, hal. 131

39

Lihat Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi,Yogyakarta: Gitanyali, 2004, hal. 71-72

Dalam hal penelitian ini

yang menjadi metodologi yang penulis gunakan adalah penelitian ini merupakan jenis

(38)

6.1. Jenis Penelitian

Penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif analitif untuk melihat dan

menganalisa bagaimana Pemilu Legislatif 2004 dan Kemenangan Partai Islam dalam

hal ini adalah Partai Keadilan Sejahtera. Penelitian deskriptif yang penulis gunakan

dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan

keadaan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang ada. Fakta atau data yang ada

dikumpulkan, diklasifikasikan dan kemudian akan dianalisa.40

Pada penelitian deskriptif analitif, penulis memusatkan perhatian pada

penemuan fakta sebagaimana keadaan sebenarnya yang ditemukan. Penelitian

deskriptif analitif tidak hanya menawarkan tetapi juga melakukan analisis terhadap fakta dan data yang ditemukan.41

Populasi adalah suatu kelompok yang memiliki karateristik serupa sedangkan yang dimaksud dengan sampel adalah karakteristik yang memampukan peneliti untuk memerinci populasi menjadi kelompok yang lebih kecil.

6.2. Populasi dan Sampel Penelitian

42

Sebuah sampel adalah bagian dari populasi. Survey sampel adalah suatu prosedur dalam mana hanya sebagian populasi saja yang diambil dan dipergunakan untuk menentukan sifat serta ciri yang dikehendaki dari populasi. 43

40

Lihat H. Hadari Nawawi dan H. Matini, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000, hal. 73

41

Lihat Arif Rahman, Sistem Politik Indonesia DalamPerspektif Struktural Fungsional, Surabaya: SIC. 2002. hal. 26.

42

Lihat Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, Jakarta: Kencana, Cetakan I, 2007, hal. 22 , 23

43

Lihat Moh Nazir, Phd, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988, hal.325

(39)

suatu elemen individu dari populasi tidak didasarkan pada pertimbangan pribadi tetapi tergantung kepada aplikasi kemungkinan.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan non-probablistik sampling untuk menentukan unit yang akan diambil menjadi sampel.

Non-probablistik sampling atau nonacak adalah suatu pendekatan pengambilan sampel

berdasarkan karakteristik atau properti tertentu.44

Penulis menggunakan 2 cara/metode untuk pengumpulan data yakni; studi lapangan dan studi kepustakaan. Studi lapangan (primer) yang dimaksud adalah melakukan wawancara dan pengamatan terhadap Partai Keadilan Sejahtera. Dan Dari pendekatan ini bentuk yang tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini adalah Purposive sampling. Purposive sampling menekankan terhadap tujuan dari peneliti mengambil sampel yang dapat

berdasarkan contoh yang unik dan menarik bagi peneliti. Dari uraian teoritis di atas maka, untuk penelitian ini sebagai sampel adalah Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan. Dipilihnya partai ini karena partai ini sebagai partai yang baru lahir pasca reformasi tetapi dapat keluar menjadi pemenang dalam pemilu legislatif 2004 di Kota Medan mengalahkan partai Islam lainnya bahkan partai Islam yang sejak lama telah ada seperti PPP.

Dan yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan yang dianggap mampu dan cukup mewakili untuk memberikan informasi. Selain itu ialah tim pemenangan Pemilu Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan.

6.3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

44

(40)

studi Kepustakaan yang dimaksud adalah mengumpulkan berbagai bahan, data, literatur, dan tulisan tersebar lainnya yang berhubungan dengan Pemilihan Umum Legislatif 2004 dan partai politik Islam secara umum, lebih khususnya adalah Partai Keadilan Sejahtera di Kota Medan.

6.4. Teknik Analisa Data

(41)

6.5. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini akan disajikan ke dalam 4 (empat) bab yakni; Bab I Pendahuluan; pada bab ini terdapat latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, pembatasan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori penelitian dan metodologi penelitian.

Pada Bab II; bab II akan menyajikan deskripsi Pemilu legislatif 2004 di Medan dan juga profil Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan. Bab III dalam penulisan penelitian ini nantinya akan berisikan tentang penyajian data dan fakta yang didapat dari lapangan dan juga akan menyajikan pembahasan dan analisis dari data dan fakta tersebut.

(42)

BAB II

PEMILU LEGISLATIF 2004 KOTA MEDAN DAN PERANAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

2.1. Sistem Pemilu Legislatif Menurut Undang-undang No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum

Setiap daerah yang masih berada dalam kawasan kedaulatan dan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pelaksanaan Pemilu hanya merujuk pada satu aturan main yakni UU No. 12 tahun 2003. pelaksanaan Pemilu di Medan pastinya berlandaskan pada aturan main yang diamanahkan oleh UU No. 12 tersebut. Maka, tidak ada yang berbeda pelaksanaan Pemilu Legislatif di Medan dengan pelaksanaan Pemilu Legislatif lainnya di wilayah Republik Indonesia.

Nama yang diberikan pada sistem pemilihan umum sangat beragam, seperti sistem proporsional, sistem mayoritas/pluralitas, single-member constituency, multi-member constituencies, sistem daftar terbuka, sistem daftar

tertutup, dan preferensi (alternatives votes). Keragaman ini terjadi karena masing-masing pihak menamai sistem pemilihan umum dari dimensi yang berbeda. Mereka yang melihat sistem pemilihan umum dari dimensi lingkup dan besaran daerah pemilihan menamai sistem pemilihan umum itu single-member constituency atau multi-member constituencies. Bila sistem pemilihan umum

dilihat dari dimensi pencalonan, maka sistem pemilihan umum akan dinamai sistem daftar terbuka (open list system) atau sistem daftar tertutup (closed list system). Sistem pemilihan umum preferensi (baik total maupun parsial) atau

alternative votes, sebagaimana diterapkan di Australia, merupakan nama sistem

(43)

sistem pemilihan umum dilihat dari dimensi formula penentuan calon terpilih, maka nama yang diberikan terhadap sistem pemilihan umum adalah sistem proporsional atau sistem mayoritas/pluralitas.45

Sistem pemilihan umum mengandung empat dimensi, yaitu 1) lingkup dan besaran daerah pemilihan, 2) metode pencalonan, 3) metode pemberian suara, dan 4) formula pembagian dan/atau penentuan calon terpilih.

2.1.1. Dimensi Sistem Pemilihan Umum

46

c) kombinasi faktor wilayah dengan jumlah penduduk.

2.1.1.1 Lingkup dan Besaran Daerah Pemilihan

Dimensi pertama menyangkut lingkup dan besaran daerah pemilihan (district magnitude) untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD, dan untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Yang dimaksud dengan daerah pemilihan ialah batas wilayah dan/atau jumlah penduduk yang menjadi dasar penentuan jumlah suara untuk menentukan calon terpilih.

Lingkup daerah pemilihan dapat ditentukan berdasarkan : a) wilayah administrasi pemerintahan (Nasional, provinsi, atau kabupaten/kota)

b) jumlah penduduk

47

Besaran daerah pemilihan merujuk pada jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan, yaitu apakah satu kursi untuk setiap daerah pemilihan (single-member constituency) ataukah lebih dari satu kursi untuk setiap daerah pemilihan

(multi-member constituencies).

45

Lihat Ramlan Surbakti, "Sistem Pemilu Menurut No. 12 Tahun 2003”

46

(44)

Lingkup dan besaran daerah pemilihan anggota DPR menurut UU No. 12 Tahun 2003 dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama, daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi. Kedua, jumlah anggota DPR ditetapkan sebanyak 550 orang. Ketiga, jumlah kursi DPR untuk setiap provinsi ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk dengan memperhatikan perimbangan yang wajar. Perimbangan yang wajar dicapai dengan tiga ketentuan berikut, yaitu (1) kuota setiap kursi maksimal 425.000 jiwa untuk daerah yang tingkat kepadatan penduduknya tinggi, sedangkan untuk daerah yang tingkat kepadatan penduduknya rendah kuota setiap kursi minimal 325.000 jiwa; (2) jumlah kursi setiap provinsi dialokasikan tidak kurang dari jumlah kursi provinsi pada Pemilu 1999; dan (3) provinsi baru hasil pemekaran setelah Pemilu 1999 memperoleh alokasi kursi sekurang-kurangnya tiga kursi. Dan Keempat, setiap daerah pemilihan mendapat alokasi kursi antara 3 sampai 12 kursi.48

Namun UU No. 12 Tahun 2003 tidak merumuskan secara jelas apa ukuran daerah dengan kepadatan tinggi dan kepadatan rendah. Setidak-tidaknya terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan daerah dengan kepadatan rendah. Pertama, membuat klarifikasi berdasarkan kriteria perbandingan jumlah penduduk dengan luas wilayah daerah. Atau Kedua, semua provinsi di Pulau Jawa dikategorikan sebagai daerah dengan kepadatan tinggi sedangkan seluruh Provinsi di luar Pulau Jawa dikategorikan sebagai daerah dengan kepadatan rendah. Dasar pemikiran pendekatan kedua adalah perimbangan kursi DPR di Pulau Jawa dengan luar pulau Jawa. Pendekatan pertama lebih menggambarkan kenyataan daripada pendekatan kedua tetapi pendekatan kedua secara teknis lebih praktis daripada pendekatan pertama.49

47

Ramlan Surbakti, Ibid, hal. 2

48

Ramlan Surbakti, Ibid, hal. 2 – 3

49

(45)

Lingkup dan besaran daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi menurut UU No. 12 Tahun 2003 tegambar dalam ketentuan berikut. Pertama, daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota. Kedua, jumlah kursi DPRD setiap provinsi ditetapkan oleh KPU berdasarkan jumlah penduduk, yaitu minimal 35 kursi maksimal 100 kursi. Dan setiap daerah pemilihan mendapat alokasi kursi minimal tiga kali maksimal 12.

(46)

sosio-kultural. Kriteria-kriteria ini sangat relatif sehingga memerlukan kearifan dalam menimbang dan memilih.50

Dimensi yang kedua berkaitan dengan pencalonan, yaitu siapakah yang mengajukan calon: partai politik peserta pemilihan umum, atau perorangan ataukah keduanya? Jawaban atas pertanyaan ini tentu tergantung pada siapa yang menjadi peserta Pemilihan Umum: partai politik, perseorangan (calon independen), atau keduanya. Bila perseorangan yang menjadi peserta Pemilu maka yang mengajukan calon tertentu bukan pengurus partai politik melainkan sekumpulan anggota masyarakat yang mendukung calon perseorangan tersebut. Namun bila partai politik yang menjadi peserta Pemilu, maka calon dapat saja diseleksi dan diajukan oleh pengurus partai politik tetapi dapat pula diseleksi oleh pengurus partai tetapi dipilih oleh anggota partai secara terbuka dan kompetitif sebagai pemilihan pendahuluan. Jumlah calon yang dapat diajukan sudah barang tentu tergantung pada besaran daerah pemilihan, yaitu berapa kursi yang ditetapkan untuk setiap daerah pemilihan tertentu. Apabila partai politik yang mengajukan calon, sedangkan untuk suatu daerah pemilihan dialokasikan lebih dari satu kursi, maka daftar calon yang diajukan partai politik dapat bersifat tertutup (closed list system), yaitu nomor urut calon yang akan mendapatkan kursi ditentukan oleh pengurus partai politik, tetapi dapat pula bersifat terbuka (open list system), yaitu nomor urut calon yang akan mendapatkan kursi ditentukan oleh

pemilih berdasarkan rangking jumlah suara yang diperoleh setiap calon. Pilihan 2.1.1.2. Metode Pencalonan

50

(47)

atas peserta Pemilu, pihak yang mengajukan calon, dan jenis daftar calon sudah barang tentu akan mempunyai implikasi tidak saja pada keterwakilan berbagai kelompok masyarakat dalam lembaga perwakilan dan keterwakilan aspirasi berbagai kelompok masyarakat tetapi juga pada kualitas calon terpilih.51

Menurut UU No. 12 tahun 2003, peserta pemilihan anggotaDPR/D adalah partai politik peserta Pemilu, sedangkan peserta pemilihan anggota DPD adalah perseorangan. Partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen dari jumlah kursi yang diperebutkan pada setiap daerah pemilihan demokratis dan terbuka serta dapat mengajukan calon dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %. Partai Politik Peserta Pemilu diharuskan UU untuk mengajukan daftar calon dengan nomor urut (untuk mendapatkan Kursi). Karena itu dari segi pencalonan UU No.12 Tahun 2003 mengadopsi sistem daftar calon tertutup.52

51

Ramlan Surbakti, Ibid, hal. 5.

52

Abdul Bari Azed dkk, Pemilu dan Partai Politik, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, hal. 142

2.1.1.3. Metode Pemberian Suara

(48)

Surat Suara (SS) coblosan dinyatakan sah apabila: 1) SS itu ditanda-tangani oleh Ketua KPPS

2) terdapat coblosan terhadap satu tanda gambar partai politik peserta Pemilu dan terhadap satu calon dari daftar calon yang diajukan oleh partai politik yang tanda gambarnya dicoblos

3) terdapat tanda coblosan pada satu tanda gambar partai politik peserta Pemilu tanpa mencoblos salah satu calon.53

53

Ramlan Surbakti, Op. Cit, hal. 6 - 7

Apakah coblosan terhadap satu tanda gambar partai politik tetapi calon yang dipilih dari partai politik lain dapat dikategorikan sah? Sebagian orang menyatakan pemberian suara seperti itu tidak sah karena tidak termasuk yang dinyatakan dalam pasal 93 tetapi sebagian yang lain berpendapat pemberian suara seperti itu sah tetapi hanya coblosan terhadap tanda gambar partai politik sedangkan coblosan terhadap nama calon dari partai lain tidak sah. Ketika menyusun tata cara pemberian suara, KPU akan mengatur secara lebih jelas persoalan tersebut. Bila selain mencoblos satu tanda gambar partai politik, setiap pemilih juga diminta mencoblos satu calon dari daftar calon yang diajukan oleh partai politk, mengapa mencoblos tanda gambar partai saja tanpa mencoblos satu calon dikategorikan sah? UU sudah mengatur demikian sehingga KPU tidak bisa lain kecuali harus menegakkan ketentuan tersebut.

2.1.1.4. Formula Pemberian Kursi atau Penentuan Calon Terpilih

(49)

Kalau suara diberikan kepada partai politik, maka formula proporsionalitaslah yang digunakan, yaitu setiap partai politk peserta Pemilu akan mendapakan kursi proporsional dengan jumlah suara sah yang diperolehnya. Kalau suara diberikan kepada kandidat, maka formula yang digunakan dapat berupa pluralitas (suara lebih banyak) tetapi dapat pula berupa mayoritas (suara paling banyak). Apabila yang dipilih rakyat kedua-duanya (partai politik dan kandidat), maka formula yang digunakan juga keduanya, yaitu proporsionalitas dan rangking calon dalam perolehan suara. Formula apa yang diadopsi dalam Undang-Undang Pemilu sudah barang tentu akan mempunyai implikasi yang luas terhadap banyak hal, seperi derajat keterwakilan, akuntabilitas calon terpilih, tingkat legitimasi calon terpilih, dan jumlah partai politik (sistem kepartaian).54

UU No.12 Tahun 2003 mengadopsi sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Bila demikian, apakah yang dimaksudkan dengan sistem proporsional terbuka dan apa bedanya dengan sistem proporsional tertutup? Seperti telah dikemukakan di atas, sistem proporsional merujuk pada formula pembagian kursi dan/atau penentuan calon terpilih, yaitu setiap partai politik peserta Pemilu mendapatkan kursi proporsional dengan jumlah suara sah yang diperolehnya. Penerapan formula proporsional dimulai dengan menghitung Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), yaitu jumlah keseluruhan suara sah yang diperoleh seluruh partai politik peserta Pemilu pada suatu daerah pemilihan dibagi dengan jumlah kursi yang diperebutkan pada daerah pemilihan tersebut. [Jumlah seluruh suara yang sah = 4,2 juta, sedangkan jumlah kursi yang diperebutkan 12,

54

(50)

maka BPP = 4,2 juta dibagi 12 adalah 350.000]. Kursi yang diperebutkan itu kemudian dialokasikan kepada setiap partai politik peserta Pemilu dengan rumus: jumlah suara sah yang diperoleh partai politik dibagi dengan BPP. Bila parpol A memperoleh suara sah di daerah pemilihan tersebut sebanyak 500.000 suara, maka parpol A mendapat 1 kursi dengan sisa suara sebanyak 150.000 (500.000 dibagi 350.000). Kalau dari 12 kursi yang diperebutkan itu masih ada kursi yang belum terbagi habis, maka sisa kursi itu diberikan kepada Parpol Peserta Pemilu menurut urutan sisa suara terbanyak (dengan catatan jumlah suara yang diperoleh parpol yang tidak mencapai BPP dikategorikan sebagai sisa suara). UU No.12 Tahun 2003 melarang dengan tegas perjanjian penggabungan sisa suara.55

Sistem daftar terbuka ataupun tertutup merujuk pada mekanisme pencalonan yang harus diikuti oleh partai politik peserta Pemilu, yaitu apakah mengajukan daftar calon dengan nomor urut perolehan kursi ataukah mengajukan daftar calon dengan abjad atau cara undian. Apabila undang-undang mengharuskan partai politik peserta Pemilu mengajukan daftar calon dengan nomor urut perolehan kursi, maka pencalonan ini disebut sistem daftar tertutup. Disebut tertutup karena sebelum pemungutan suara partai politik telah menentukan nomor urut calon yang akan terpilih. Sistem pemlilihan umum dengan daftar tertutup biasanya meminta pemilih memberikan suaranya kepada parpol peserta Pemilu (misalnya dengan mencoblos tanda gambar partai). Daftar calon yang disusun menurut abjad atau disusun dengan undian disebut pula dengan sistem terbuka karena para pemilih melalui pemungutan dan penghitungan

55

(51)

suaralah yang akan menentukan siapa di antara calon itu akan terpilih. Sistem pemilihan umum dengan daftar terbuka biasanya meminta pemilih memberikan suaranya kepada calon dan/atau Parpol Peserta Pemilu.56

Apakah penjabaran sistem pemilihan dalam UU ini senyatanya mengadopsi sistem proporsional dengan daftar calon terbuka untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD? Bila pasal-pasal tentang pencalonan, pemberian suara Kursi yang diperoleh suatu partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan akan diberikan kepada siapa dari daftar calon yang diajukan tersebut? Sistem pemilihan umum proporsional dengan daftar tertutup memberikan jawaban berikut: kursi yang diperoleh partai diberikan kepada calon menurut nomor urut. Bila suatu partai memperoleh tiga kursi, maka kursi itu diberikan kepada calon nomor 1,2 dan 3. Sistem pemilihan umum dengan daftar terbuka memberikan jawaban berikut: kursi yang diperoleh partai diberikan kepada calon menurut urutan jumlah suara yang diperoleh oleh masing-masing calon tanpa terikat pada nomor urut dalam daftar calon. Bila suatu partai memperoleh tiga kursi, maka ketiga kursi itu diberikan kepada calon dengan jumlah suara terbanyak urutan 1, 2 dan 3.

Bila demikian, UU No. 12 Tahun 2003 mengadopsi sistem proporsional apa? Secara resmi Pasal 6 ayat (1) mengatakan pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka, sedangkan pada ayat (2) mengatakan pemilihan anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.

56

Gambar

Tabel 1.1 Partai Politik Islam Peserta Pemilu 1999
Gambar bulan sabit dengan untaian padi tegak lurus di tengah berwarna
Table 3.1 Daftar Nama Partai Politik Islam

Referensi

Dokumen terkait

Skor rata-rata total validasi media cerita bergambar dari hasil penelitian uji potensi antifungi ekstrak daun cengkeh (Syzygium aromaticum) terhadap jamur upas (Corticium

Kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan pengelolaan barang bukti hasil sitaan yaitu adanya pejabat polisi yang diduga telah melanggar kode etik kepolisian,

Data Alat dan Mesin di dalam ruangan - berisi data dari masing- masing Ruang (kelas, ruang guru, dst) menyangkut nama barang, merek, tipe, ukuran, bahan, nomor

Cerita kemudian berubah sudut pandang, tetapi masih menceritakan Sihar dan wanita bernama Laila. Hal yang menjadi fokus pada.. bagian ini seperti pada penggambaran di atas

Hal ini yang menjadikan negara dengan nega- ra yang lain melakukan kerjasama dalam pem- barantasan terorisme,Tjarsono(2012:6). Isu te- rorisme kemudian mulai mendapatkan perhati- an

 Travel insurance ( dalam travel insurance harus tercantum / tertulis nominal asuransi yang akan di cover, berikut dengan apa saja yang di cover, nama yang tercover harus ada ).

Oleh karena itu dalam program pelepasliaran burung kakatua hasil penyerahan masyarakat perlu dilakukan identifikasi secara morfologi dan teknik DNA molekuler untuk

The aim of this research was to find out the effectiveness of teaching reading using Jigsaw technique at the second grade students of MTsMuhammadiyah 03 Bandingan Purbalingga in