• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penatalaksanaan Kusta Dengan Regimen Rifampisin, Ofloksasin Dan Minosiklin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penatalaksanaan Kusta Dengan Regimen Rifampisin, Ofloksasin Dan Minosiklin"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

PENATALAKSANAAN KUSTA DENGAN REGIMEN

RIFAMPISIN, OFLOKSASIN DAN MINOSIKLIN

DERYNE ANGGIA PARAMITA

198311112009122004

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)

PENATALAKSANAAN KUSTA DENGAN REGIMEN ROM (RIFAMPISIN, OFLOKSASIN, MINOSIKLIN)

PENDAHULUAN

Kusta atau yang juga dikenal dengan penyakit Hansen’s adalah penyakit granulomatos kronik

yang menyerang saraf tepi dan kulit. Penyebabnya adalah bakteri tahan asam Mycobacterium

leprae yang pertama sekali ditemukan oleh peneliti dari Jerman, Gerhard Henrik Armauer

Hansen pada tahun 1873.1,2 Penyebarannya yang lambat dan terdapat hubungan kekeluargaan

pada penderitanya mengusulkan bahwa penyakit ini diturunkan.3 Sebagai konsekwensinya

beberapa kultur daerah setempat menganggap penderita kusta (dan seringnya anggota

keluarganya) sebagai “tidak bersih” atau sebagai “lepra” dan membuat peraturan bahwa mereka

tidak boleh berhubungan dengan masyarakat yang tidak menderita. Terkadang penderita

diwajibkan untuk memakai pakaian khusus dan membunyikan bel sehingga yang tidak menderita

dapat menghindari mereka.4

Kusta atau lepra berasal dari kata latin Lepros yang mengandung arti pengotoran. Faktanya kusta telah menjadi penyakit yang sukar disembuhkan yang juga menyebabkan deformitas parah

dan kelumpuhan, telah membuat stigmata yang buruk. Walaupun telah didokumentasikan sejak

jaman dahulu kala, kusta tetap menjadi endemis pada beberapa negara berkembang di dunia.2

WHO membagi kusta menjadi 2 klasifikasi untuk kepentingan pengobatan dan

pengontrolan penyebaran. Pada tahun 1981 oleh kelompok studi kusta di WHO, klasifikasi

dibagi 2 yaitu kusta tipe MB dan PB.1 Ini sejalan dengan obat yang diberikan yaitu MDT-PB dan

(4)

memperbaiki pengobatan kusta, dimana pengobatan MDT-MB durasi nya disingkatkan dari 24

bulan menjadi 12 bulan dan penggunaan regimen baru yaitu regimen dosis tunggal kombinasi

ROM untuk lesi tunggal PB. Menurut WHO dosis tunggal regimen kombinasi ROM dapat

diterima dengan baik dan sebagai alternatif yang efektif secara biaya untuk pengobatan lesi

tunggal kusta tipe PB.5

EPIDEMIOLOGI

Kusta endemis pada beberapa benua kecuali Antartika. Di Eropa insidensi sangat rendah,

sedangkan pada negara Pasifik insidensi lebih tinggi. Populasi terbanyak terdapat di India

dengan hampir duapertiga dari populasi kusta dunia. Menurut data regional WHO pada tahun

2007 prevalensi di Afrika adalah 29.548, di Asia Tenggara 116.663, di Pasifik Barat 9.805.1,6

Negara Kasus Baru yg Terdeteksi (n)

Tbl 1. Negara yang melaporkan ≥ 5.000 kasus pada tahun 2007 7

Pada semua penelitian populasi kusta, penyakit ini lebih umum pada pria dibandingkan

(5)

dibandingkan tipe lepromatous, tetapi pada kedua grup ini, kusta predominan pada usia muda

dengan umur rata rata adalah 35 tahun.1

Kusta adalah penyakit kronik dengan periode inkubasi yang panjang. Rata-rata masa

inkubasi adalah 2-5 tahun untuk kasus tuberkuloid, dan 8-12 tahun atau sampai 20 tahun untuk

kasus lepromatos. Seorang tentara amerika yang menderita kusta setelah bertugas di negara

tropis, klinis nya tampak 20 tahun setelah paparan pertama sekali.1,3

Walaupun kusta jarang sebagai penyebab utama kematian, pasien mempunyai rasio

kematian yang standar setidaknya 2 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum karena efek

sekunder yang tidak langsung dari penyakit ini. Diperkirakan 1 milyar penderita kehilangan

disability adjusted life year (DALY) secara global setiap tahunnya karena kusta, dengan 6,3 tahun kehidupan sehat yang hilang per pasien.3

ETIOLOGI

Kusta disebabkan Mycobacterium leprae bakteri dengan bentuk batang obligat intraseluler yang

hanya tumbuh pada manusia dan sel hewan. Bakteri M. leprae adalah bakteri tahan asam karena

karakteristik kimianya. Apabila dilakukan pewarnaan pada spesimen M. leprae akan terlihat

warna merah dengan latar belakang biru karena kandungan asam mikolik pada dinding selnya.4

Pada jaringan atau pewarnaan, M. leprae dinilai dengan indeks biopsi (BI), yaitu jumlah skala

logaritmik dari bakteri per lapangan minyak emersi/OIF: BI 6 adalah jika terdapat 1000 atau

lebih/OIF, BI 5 jika 100-1000/OIF, BI 4 10-100/OIF, BI 3 jika 10/OIF, BI 2 1/1-10 OIF, BI 1

jika 1/10-100 OIF dan BI 0 jika tidak ada bakteri dalam 100 OIF. Karena BI 6 mengindikasikan

109 bakteri per gram jaringan granuloma, maka jaringan dengan BI 0 mempunyai 103 organisme

(6)

M. leprae tumbuh pada suhu 30-33⁰C dengan waktu menggandakan adalah 12 hari, dan

akan tetap bertahan di lingkungan sampai 10 hari.3 Bakteri ini tumbuh sangat baik pada makrofag

tubuh dan sel Schwann.4

PATOGENESIS

Patogenesis dan gambaran klinis dari kusta disebabkan 4 prinsip dari kerusakan jaringan3

(Gbr 1):

1. Derajat dimana imunitas yang diperantarai sel (CMI) diekspresikan. Kusta lepromatos

menunjukkan kegagalan pada CMI terutama menuju M. leprae dengan multiplikasi

resultan basil, penyebaran dan akumulasi antigen pada jaringan yang terinfeksi. Tidak

dijumpainya limfosit yang teraktifasi dan makrofag menunjukkan bahwa kerusakan saraf

lambat dan muncul secara bertahap. Pada kusta tuberkuloid, CMI diekspresikan dengan

kuat sehingga infeksi terbatas pada satu atau beberapa tempat dikulit dan saraf perifer.

Infiltrasi limfositik secara cepat membuat kerusakan pada saraf. Diantara dua bentuk

penyakit terletak 2 bentuk borderline, dengan perluasan penyakit menggambarkan

keseimbangan antara CMI dengan muatan bakteri.

2. Peluasan penyebaran penyakit dan multiplikasi. Pada kusta lepromatos, pemyebaran

hematogen dari basil terjadi pada daerah dingin, superfisial termasuk mata, mukosa

pernafasan atas, testis, otot kecil dan tulang dari kaki, jari kaki dan wajah, juga pada saraf

perifer dan kulit. Pada kusta tuberkuloid, multiplikasi penyakit terbatas pada beberapa

daerah dan basil tidak dijumpai.

3. Gambaran kerusakan jaringan merupakan komplikasi imunologis: reaksi kusta. Pasien

(7)

4. Pembentukan kerusakan saraf dan komplikasinya. Kerusakan saraf terjadi dalam 2 bentuk,

pada lesi kulit dan saraf perifer batang tubuh. Pada lesi kulit, sensori dermal kecil dan

serabut saraf yang mensarafi kulit dan struktur kutaneus mengalami kerusakan,

menyebabkan hilangnya sensor lokal dan hilangnya keringat pada daerah lesi kulit. Saraf

perifer batang tubuh adalah daerah yang mudah diserang pada daerah perifernya atau

terowongan fibroseus. Pada titik ini, peningkatan diameter saraf yang hanya sedikit akan

membuat peningkatan tekanan intraneural, dengan akibatnya kompresi neural dan

iskemia. Kerusakan pada saraf perifer batang tubuh menyebabkan tanda karakteristik,

dengan hilangnya sensori dermatom dan disfungsi otot yang dipersarafi saraf perifer.

Gbr.1 Mekanisme kerusakan pada kusta dan jaringan yang terlibat. Mekanisme dibawah garis

(8)

utuh adalah menuju tuberkuloid. Terjadi tumpang tindih pada pertengahan garis, yang menjadi

predisposisi terjadinya reaksi tipe 1 (dikutip sesuai aslinya dari kepuastakaan 3).

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

Diagnosis dari kusta berdasarkan gejala klinis dimana dijumpainya satu atau lebih dari satu atau

lebih tiga tanda kardinal : yaitu lesi kulit eritem atau hipopigmentasi yang anestesi; penebalan

saraf tepi dengan hilangnya sensasi pada daerah distribusi; dan pewarnaan kulit yang positif

untuk bakteri tahan asam.6,8 Petugas pemeriksa kusta yang biasa akan dapat menilai dan

mengenali gambaran klinis ini. Pada daerah endemis lesi kulit selalu konsisten dengan kusta jika

terdapat kehilangan sensori saraf dengan atau tanpa penebalan saraf dan pewarnaan slit kulit

yang positif.8

Terdapat banyak klasifikasi kusta, yang banyak dikenal adalah klasifikasi berdasarkan

WHO dan Ridley-jopling. Klasifikasi kusta menurut Ridley adalah berdasarkan klinis, perubahan

histopatologi dan status imunitas. Dibagi menjadi 5 bentuk yaitu kusta tipe TT (Tuberkuloid),

BT (Borderline tuberkuloid), BB (Borderline), BL (Borderline lepromatos), dan

LL(Lepromatos). Menurut konsepnya, tipe TT dan LL adalah stabil secara klinis, tetapi dapat

jatuh ke keadaan yang meningkat atau menurun sesuai status imunitasnya.1

Menurut WHO, kusta diklasifikasikan menjadi PB (pausibasiler) dan MB (multibasiler)

yang diperkenalkan pertama sekali pada tahun 1982 sebagai dasar untuk pengobatan dan

meminimalkan tingkat relaps.8 Klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan pewarnaan

kulit. Dimana pada pasien dengan pewarnaan kulit yang negatif dimasukkan kedalam grup PB,

sedangkan pasien dengan pewarnaan kulit positif akan dimasukkan kedalam grup MB.8,9 Namun

(9)

didasarkan pada bentuk klinis dan jumlah saraf yang terlibat. Pada sistem ini, jika terdapat 1-5

lesi kulit dan keterlibatan saraf hanya satu akan dimasukkan kedalam lesi PB, sedangkan apabila

terdapat lesi kulit lebih dari 5 dan keterlibatan saraf lebih dari satu akan masuk kedalam lesi

MB.6,9

Pada tahun 1997, WHO menambah klasifikasi kusta menjadi tiga, juga untuk kepentingan

pengobatan. Klasifikasi baru ini dianggap tepat untuk kusta yang hanya mempunyai satu lesi

tunggal, selain tepat juga efektif secara biaya, yang kemudian dikenal dengan SLPB (Single

lesion Pausibasiler).5

Tbl 2. Pembagian klasifikasi kusta menurut WHO berdasarkan jumlah lesi, kerusakan saraf dan

pewarnaan kulit tidak berkontribusi pada klasifikasi ini

(10)

Gbr 2. Diagram pembagian kusta (dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 9).

GAMBARAN KLINIS

Terdapat berbagai bentuk kusta yang didasarkan atas respon imun seseorang terhadap M. leprae.

Respon imun yang baik akan membentuk lesi tuberkuloid, yang terbatas pada kulit dan

keterlibatan saraf yang asimetris. Respon imun yang buruk akan membentuk lesi lepromatos,

yang ditandai dengan lesi kulit dan keterlibatan saraf yang banyak. Beberapa pasien memiliki 2

bentuk secara bersamaan.4

Kusta tipe Tuberkuloid (TT)

Pada kusta tipe ini, imunitas penderita kuat sehingga terjadi kesembuhan yang cepat dan

tidak dijumpai penurunan kearah resistensi penjamu yang kurang. Akan dijumpai beberapa

makula hipopigmentasi, beberapa besar dan menjadi anestesia.4 Terdapat beberapa keterlibatan

(11)

tengah dan batas yang jelas. Lesi akan mengalami indurasi, tanpa rambut dan kering.1 Pada

pemeriksaan histopatologi akan dijumpai granuloma yang mengelilingi elemen vaskular,

granuloma menyerang zona papiler dan dapat mengikis epidermis, namun BTA tidak dijumpai.

Saraf kulit tidak seluruh nya rusak tampak bengkak karena sel granuloma epiteloid dan

dikelilingi oleh zona limfosit.3

Gbr 2. Gambaran klinis dan histopatologi kusta tipe Tuberkuloid (dikutip sesuai aslinya

dari kepustakaan 1,3)

Kusta tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi akan tampak seperti kusta tipe tuberkuloid tetapi lebih kecil dan jumlah pembesaran

saraf menjadi lebih banyak, bentuk ini akan menetap atau menjadi bentuk yang lain.4 Pada tipe

ini imunitas penderita cukup kuat untuk menahan infeksi, sehingga penyakit hanya terbatas dan

pertumbuhan bakteri lemah, namun respon penjamu tidak cukup kuat untuk sembuh sendiri.Lesi

kulit berupa plak atau papul dengan batas yang jelas dengan pada beberapa orang akan dijumpai

lesi papul satelit. Secara histopatologi akan dijumpai jubah limfositik yang terbentuk agak

sempurna, sel Langhans tidak dijumpai atau dijumpai sedikit. BTA dan sel plasma adalah jarang.

(12)

Gbr 3. Lesi kusta tipe Bordeline Tuberkuloid (dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 1)

Kusta tipe Borderline (BB)

BB adalah titik tengah imunologik atau daerah pertengahan dari spektrum granulomatos,

merupakan bentuk yang sangat tidak stabil dimana pasien dapat menurun atau meningkat

menjadi bentuk granulomatos dengan atau tanpa reaksi klinis. Gambaran klinis berupa lesi anular

dengan bagian dalam yang berbatas tegas, plak lebar dengan pulau kulit yang sehat didalam plak

seperti gambaran “keju Swiss” atau lesi dimorfik klasik. Karena BB adalah bentuk yang tidak

stabil, lesi BB biasanya tidak bertahan lama dan pasien jarang dijumpai.1,4 Pada pemeriksaan

histopatologi akan dijumpai sel granuloma epiteloid akan terlihat lebih difus tetapi zona papiler

yang pendek. Sel raksasa cenderung menjadi badan asing dibandingkan Langhans dan sel saraf

bengkak sedang oleh infiltrat selular. BTA mungkin tidak dijumpai.3

(13)

Kusta tipe Borderline Lepromatos (BL)

Lesi kusta tipe BL akan dijumpai banyak makula, papul, plak dan nodul terkadang dengan

dan tanpa anestesia, bentuk akan menetap atau berubah menjadi bentuk LL.4 Pada tipe ini respon

imun sangat rendah sehingga tidak dapat menahan pertumbuhan bakteri, tetapi masih cukup

untuk merangsang kerusakan jaringan dnegan inflamasi terutama pada saraf. Lesi dapat berupa

bentuk anular dengan batas luar yang tidak jelas tetapi batas dalam yang jelas. Dapat juga

dijumpai lesi “punched out”. Pemeriksaan histologi akan tampak suatu respon yang klasik

dengan infiltrasi limfosit yang banyak yang mengelilingi makrofag. BTA akan mudah dijumpai.1

Gbr 5. Lesi kusta tipe BL (dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 1)

Kusta tipe Lepromatos Leprosy (LL)

Pada tipe LL, kurangnya CMI memyebabkan M. leprae replikasi bakteri tanpa hambatan

dan penyebaran kusta keseluruh organ. Infiltrasi dermal yang difus selalu terjadi subklinis dan

akan dijumpai bentuk pembesaran dari daun telinga, pelebaran dari hidung dan pembengkakan

jari yang akan menyerupai bentuk reumatik. Nodul dengan bentuk yang tidak jelas akan mudah

dijumpai dengan diameter 2 cm dan terdistribusi simetris.1 Pasien sering dijumpai tanpa alis mata

(14)

penebalan rete ridges. Dermis mengandung BTA yang banyak tunggal atau berkelompok

(clumps).3

Gbr 6. Lesi kulit tipe LL dan gambaran histopatologi (dikutip sesuai aslinya dari

kepustakaan 1,3)

PENGOBATAN KUSTA

Tujuan utama untuk program pengontrolan kusta adalah (1) deteksi pasien awal; (2) pengobatan

yang sesuai; dan (3) perawatan yang adekuat untuk pencegahan dari disabilitas dan rehabilitasi.

Karena kusta adalah penyakit infeksius, pengobatan antibiotik memegang peranan yang utama

pada manajemen pasien yang baru didiagnosis.9

Penemuan utama dalam pengobatan kusta adalah ditemukan dan diperkenalkannya MDT

(multidrug therapy) yang mengikuti rekomendasi WHO pada kemoterapi kusta untuk program

pengontrolan. MDT yang direkomendasikan WHO terdiri dari rifampisin, klofazimin dan

dapson. Ini sangat efektif dan telah lebih dari 18 milyar pasien sembuh, dan setidaknya 1 milyar

pasien kusta dicegah dari kelumpuhan. MDT terdiri dari 3 obat yaitu: dapson, rifampisin, dan

klofazimin. Pasien dengan pausibasiler diobati selama 6 bulan dengan regimen MDT PB. MDT

(15)

duluan). Ini kemudian diperbaiki hanya sampai 24 bulan pada tahun 1994 dan dipersingkat

menjadi 12 bulan pada 1998 tanpa terjadi pengurangan efikasinya.8

Pada pertemuan WHO tahun 1997 direkomendasikan penggunaan regimen ROM

(rifampisin, ofloksasin, minosiklin) untuk lesi tunggal PB. Pasien dengan lesi tunggal PB dapat

diobati dengan dosis tunggal regimen ROM. Penelitian eksperimental dan klinis telah

menunjukkan keefektifan bakterisidal dari obat ini, dalam kombinasi atau pun tunggal. Sehingga

untuk lesi tunggal PB (SLPB), WHO memberikan kebebasan dalam menentukan pilihan

pengobatan apakah menggunakan dosis tunggal regimen ROM atau MDT-PB selama 6 bulan.8,9

Pengobatan Kusta tipe PB

Pada pasien PB pemberian obat selama 6 bulan dengan rifampisin saja dapat membuat

pembersihan bakteri secara komplit. Namun, untuk mencegah resistensi rifampisin ditambahkan

dapson. Hasil yang dicapai dari inaktif penyakit secara klinis tidak seharusnya menjadi patokan

kelanjutan dari pengobatan MDT pada pasien PB, karena pada pasien ini biasanya selalu bebas

dari bakteri hidup dalam 6 bulan pengobatan MDT. Namun harus selalu diingat bahwa aktivitas

kusta PB tidak selalu berkorelasi dengan multiplikasi bakteri. Pada sebagian besar pasien,

inaktifitas klinis tidak dicapai dalam 6 bulan bahkan setelah hilangnya bakteri. Penelitian lebih

lanjut pada pasien PB yang menggunakan pengobatan MDT, telah menunjukkan bahwa

hilangnya lesi secara komplit dijumpai setelah 1-2 tahun setelah pemutusan obat. Insidensi relaps

pada pasien PB adalah sangat rendah dan sampai saat ini korelasi antara status aktivitas penyakit

dengan waktu dimana obat dihentikan dan relaps tidak ada didokumentasikan. Lebih lanjut,

(16)

Tbl 3. Regimen MDT-PB (dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 8)

Pengobatan kusta tipe MB

Rifampisin tetapmenajdi komponen utama dari regimen MDT, yang membersihkan

kebanyakan strain M. leprae pada beberapa bulan pengobatan. Baru-baru ini telah ditemukan

bahwa kombinasi dapson dan klofazimin sanhgat bakterisidal. Kombinasi ni sangat efektif pada

pasien kusta MB yang tidak diobati yang mengalami mutasi resisten-rifampisin dalam 3-6 bulan.

Untuk pengoabatan kusta MB, percobaan klinis yang terkontrol dan dapat dipercaya telah

menunjukkan bahwa MDT secara umum efektif dalam 24 bulan atau kurang. Penelitian ini

membawa rekomendasiWHO untuk mempersingkat pemakaian selaam 12 bulan untuk kusta

MB.9

Beberapa ahli khawatir bahwa pemberian regimen selama 12 bulan untuk pengobatan pada

pasien dengan indeks bakterial yang tinggi. Pengamatan telah menunjukkan bahwa indeks

bakterial yang tinggi pada saat awal pemberian regimen pengobatan telah berkorelasi dengan

tingginya risiko tidak hanya dengan lambatnya penghilangan lesi kulit juga indeks yang tinggi

pada akhir pemeberian regimen 12 bulan dibandingkan dengan pasien yang memulai dengan

indeks bakterial yang lebih rendah. Namun, telah ditemukan bahwa indeks bakterial yang tinggi

akan terus membaik setelah selesai regimen 12 bulan. Lebih lanjut, tambahan 12 bulan MDT

(17)

Tbl 4. Regimen pengobatan MDT-MB (dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 8)

Pengobatan kusta tipe SLPB

WHO pada tahun 1997 merekomendasikan dosis tunggal rifampisin-ofloksasin-minosiklin

(ROM) sebagai terapi lesi tunggal pausibasiler (SLPB), dan kemudian National Leprosy

Elimination Program di India mengadopsi ini dan menggunakannya pada seluruh negeri.10

Dosis tunggal kemoterapi ini telah digunakan pada pengobatan kusta, selain karena efikasi

nya secara klinis, regimen ini mempunyai keuntungan tambahan yaitu dalam penghematan

sumber daya manusia dan meningkatkan kepatuhan pasien. Respon klinis pada terapi regimen

ROM ditemukan sama efektifnya dengan MDT-PB untuk lesi tunggal kusta PB. Dari

pengamatan jangka panjang, manajemen dan problem klinis, dan implikasi lapangan didapati

hasil yang memuaskan.10

(18)

REGIMEN ROM

Pengobatan kusta utamanya terdiri dari rifampisin, dimana rifampisin adalah obat dengan efek

bakterisidal yang paling poten untuk M. leprae. Karena pengobatan pada kusta dirancang efektif untuk semua keadaan, yaitu pasien baru dan pasien yang relaps dari pengobatan sebelumnya

maka penggunaan rifampisin yang hanya dengan satu obat lain tidak direkomendasikan.

Rifampisin sebaiknya ditambah dengan dua agen obat lainnya yang harus memenuhi komponen

(i) dosis tunggal harus menunjukkan aktivitas bakterisidal melawan M. leprae (ii) obat lainnya

tidak sebagai antagonis dari rifampisin (iii) obat harus dapat ditoleransi apabila diberikan pada

dosis efektif.11

Ofloksasin dan minosiklin telah menunjukkan hasil yang memuaskan dalam melawan M.

leprae pada tikus dan manusia. Pemberian ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg menunjukkan aktivitas bakterisidal yang sama dengan pemberian DDS selama 30 hari untuk

pasien MDT-MB. Sehingga ofloksasin dan minosiklin dapat digunakan bersama dengan

rifampisin untuk pengobatan kusta.11

Rifampisin

Rifampisin adalah derivat dari rifamisin, suatu antibiotik makrosilik kompleks yang

menghambat DNA-dependent RNA polimerase pada patogen mikrobial yang luas.8 Rifampisin

adalah larut lemak, dengan pemberian secara oral akan cepat diabsorbsi dan didistribusikan

melalui jaringan seluler dan cairan tubuh. Apabila meningen mengalami inflamasi maka

beberapa jumlah yang signifikan akan masuk kedalam cairan serebrospinal. Dosis tunggal 600

mg akan mencapai puncak konsentrasi serum sekitar 10 mcg/ml dalam 2-4 jam, yang akan

(19)

didaur ulang pada sirkulasi enterohepatik, dan metabolitnya membentuk deasetilasi pada hati dan

kemudian akan diekresikan pada feses.12,13

Karena gampang terjadi resistensi maka rifampisin harus selalu diberikan kombinasi

dengan agen antimikrobial lainnya.12

Rifampisin adalah obat anti kusta yang sangat efektif dan menurunkan indeks morfologi

pada pasien lepromatos sampai 0 dalam 5 minggu. Diberikan secara oral 600 mg sekali untuk

dewasa dan 300 mg untuk anak-anak. Walaupun bakteri cepat dibunuh, rasio indeks bakterial

yang menurun, dan kecepatan perbaikan klinis dan insidensi reaksi kusta tipe 2 pada pasien

lepromatos adalah sama dengan dapson. Rifampisin memiliki kekurangan dimana ia dapat

memproduksi sindrom toksik. Toksisitasnya tergantung dosis (gagal ginjal dan hepatitis lebih

sering dengan dosis yang luas) dan interval diantara dosis (demam, anemia hemolotik dan

trombositopenia lebih sering jika obat diberikan dengan interval mingguan).8,13

Kontraindikasi pada penderita yang mengalami hipersensitivitas pada rifamisin dan

disfungsi hepar. Rifampisin merangsang enzim hati sehingga diperlukan peningkatkan dosis

yang diperlukan untuk memetabolisme obat pada hati. Ini termasuk kortikosteroid, kontrasepsi

steroid, agen hipoglikemik oral, antikoagulan oral, fenitoin, cimetidine, quinidin, siklosporin dan

glikosida digitalis. Apabila menggunakan rifampisin, pasien yang menggunakan kontrasepsi

sebaiknya menggunakan KB dalam bentuk nonsteroid selama pengobatan dan setidaknya 1 bulan

setelahnya. Ekskresi bilier dari media radiokontras dan sodium sulfobromopthalein dapat

berkurang dan kadar mikrobiologi dari asam folat dan vitamin B12 terganggu.12,14

Efek samping dari rifampisin biasanya dapat ditoleransi pada sebagian besar pasien dengan

dosis yang direkomendasikan, walaupun intoleransi gastrointestinal dapat parah. Efek samping

(20)

intermitten daripada harian. Peningkatan konsentrasi serum bilirubin dan transaminase yang

umum dijumpai pada saat pengobatan tapi tanpa manifestasi klinis. Namun hepatitis yang

tergantung dosis dapat terjadi yang biasanya fatal. Penting untuk diketahui bahwa maksimum

dosis perhari adalah 10 mg/kg (600 mg).8,12

Minosiklin

Minosiklin adalah tetrasiklin semisintetik. Merangsang bakteriostatik dengan menghambat

sintesis protein dan secara selektif terkonsentrasi pada organisme. Absorpsi terutama terjadi pada

lambung dan usus kecil. Konsentrasi puncak plasma terjadi dalam 1-4 jam dan waktu paruh

12-30 jam. Dimetabolisme pada hati dan diekskresi pada feses dan urin. Obat bertahan pada tubuh

setelah pemberian dihentikan karena retensi pada jaringan lemak.8,12

Minosiklin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan ginjal, kehamilan dan

anak-anak. Dan pemberiannya tidak boleh diberikan bersamaan dengan garam besi dan antasida.12

Dalam pemberiannya sebaiknya hati hati dengan fungsi hati, pada gangguan fungsi hati

minosiklin akan diekskresikan lebih lama dari yang diharapkan. Susu atau garam alumunium

aluminium dan magnesium akan mnegurangi absorpsi dari minosiklin.12

Diberikan dengan kombinasi dengan ofloksasin dan rifampisin, minosiklin sebaiknya tidak

diberikan pda wanita hamil dan pada awal kehidupan. Karena terdeposit pada gigi dan tulang dan

mengganggu kalsifikasi tulang, dimana akan menyebabkan osteogenesis abnormal dan

pewarnaan gigi dan hipoplasia dari enamel gigi.12

Efek samping yang dapat terjadi antara lain berupa mual dan vertigo yang lebih sering

dibandingkan tetrasiklin lainnya. Iritasi gastrointestinal umum terjadi karena minosiklin

(21)

yang resisten. Reaksi fototoksik dapat terjadi dengan gambaran seperti perubahan kulit

porfiria.8,12

Dosis tunggal minosiklin digunakan pada anak-anak dengan lesi tunggal PB, penelitian di

lapangan telah menunjukkan bahwa dosis tunggal minosiklin dapat dtoleransi pada anak-anak

dan tidak terlihat adanya efek samping yang merugikan karenanya.12

Minosiklin apabila diberikan bersama dengan obat antikoagulan akan dapat mempotensiasi

kerja obat tersebut, gagal ginjal parah dilaporkan pada pasien yang dianestesi dengan agen

halogen yang sebelumnya memakan tetrasiklin. Antasida, garam kalsium, dan obat-obat lambung

akna mengurangi absorpsi minosiklin. Antiepilepsi meningkatkan metabolisme minosiklin yang

akan menurunkan kadar minosiklin plasma.12

Ofloksasin

Ofloksasin adalah florokuinolon sintetik yang bekerja secara spesifik sebagai penghambat

DNA girase bakterial. Ofloksasin ditemukan efektif pada pengobatan M. leprae. Resistensi

kromosom telah dilaporkan tetapi hanya sedikit yang signifikan secara klinis.8,12

Ofloksasin diabsorbsi cepat pada saluran cerna. Kadar plasma puncak terjadi dalam 0.5-1.5

jam setelah pemberian dan terdistribusi pada jaringan tubuh dan terkonsentrasi pada bilier.

Waktu paruh 4 jam dan dieksresikan pada urin dalam bentuk yang tidak berubah.12

Pemberiannya harus diperhatikan pada pasien dengan gangguan hepar atau ginjal sehingga

perlu pengurangan dosis. Dan hati-hati penggunaannya pda pasien dengan epilepsi karena dapat

merangsang kejang. Pastikan cairan cukup selama penggunaan karena dapat terbentuk

kristaluria. Pada wanita hamil, wanita menyusui, anak-anak dan dewasa muda penggunaan

(22)

artropati. Pasien sebaiknya menghindari paparan dengan sinar matahari dan berikan jeda selama

4 jam sebelum memakan agen yang mengandung aluminium, besi, dan garam magnesium.12

Ofloksasin biasanya gampang ditoleransi, efek samping yang paling sering biasanya mual,

diare, muntah, dispepsia, nyeri perut, sakit kepala, mual dan pruritus.8,12

Ofloksasin dapat berinteraksi dengan obat antiinflamasi nonsteroid yang dapat merangsang

konvulsi. Antasida mengurangi absorpsi dari ofloksasin, efek antikoagulan koumarin dan

warfarin ditingkatkan oleh ofloksasin. Besi oral dan sukralfat menurunkan absorpsi ofloksasin.12

REGIMEN ROM PADA SLPB

Telah banyak diketahui keuntungan penggunaan dosis tunggal regimen ROM pada lesi tunggal

PB, namun WHO hanya merekomendasikan penggunaan regimen ini pada negara yang

mempunyai program nasional untuk itu dengan pasien yang memiliki lesi tunggal 1000

pertahunnya. Ada ketakutan WHO apabila regimen ROM ini digunakan tanpa perhatian yang

kuat maka pekerja lapangan akan mempunyai kecendrungan untuk salah mengkategorikan pasien

dan salah mendiagnosis.5

Hal-hal yang patut diperhatikan dari regimen ROM5 :

1. Kebenaran dari diagnosis lesi tunggal

Pada pasien yagn dicurigai dengan lesi tunggal, pekerja lapangan sebaiknya memeriksa

permukaan tubuh secraa lengkap dan menilai keterlibatan saraf. Dikhawatirkan apabila

petugas tidak memeriksa secara lengkap dan ternyata lesi terdapat lebih dari satu maka

pasien akan menerima pengobatan yang insufisien. Sama halnya juga pada keterlibatan

saraf.

(23)

‐ Pemeriksaan tubuh lengkap telah dilakukan

‐ Pemeriksaan keterlibatan saraf tepi telah dilakukan

‐ Apabila memungkinkan dilakukan pemeriksaan pewarnaan kulit, untuk mengeluarkan

pasien yang positif dari pengobatan dosis tunggal

2. Kontraindikasi penggunaan regimen ROM

Tetrasiklin diketahui terdeposit pada tulang dan gigi, dimana agen obat ini dapat tembus

pada barier plasenta dan diekskresikan pada air susu. Namun hal ini belum dapat

dipastikan apabila minosiklin diberikan dalam dosis tunggal, tetapi untuk mencegah hal

yang tidak diinginkan sebaiknya minosiklin tidak diberikan pada wanita hamil. Efek

teratogenik dari ofloksasin juga sebaiknya tidak dilupakan, sehingga regimen ROM

dikontraindikasikan pada wanita hamil. Dan pada anak-anakdibawah 5 tahun. Untuk

keadaan ini pengobtaan kusta yang tepat adalah pemberian MDT-PB

Pemeriksaan lanjutan (follow up) pada pasien yang diberikan regimen ROM adalah tidak

perlu, namun pasien dapat dianjurkan untuk melaporkan diri secara sukarela apabila terdapat lesi

baru setelah pemakaian regimen ROM. Pasien yang tidak menunjukkan perubahan klinis setelah

1 tahun pemberian regimen ROM maka dianggap pasien tersebut mengalami kegagalan

pengobatan, dan untuk hal ini pasien diberikan pengobatan MDT-PB selama 6 bulan.5

Dosis tunggal regimen ROM telah diterima dengan baik dan kasus relaps dan problem

klinis yang dilaporkan sangat sedikit, kemajuan penelitian sekarang adalah penggunaan regimen

ROM pada PB lesi 2-5.14 Penelitian awal yang menilai efikasi regimen ROM pada PB dengan

lesi 2 mempunyai hasil yang sama dnegan pemberian MDT-PB.8 Untuk lesi PB lebih dari 3-5

penelitian sedang dilakukan, dan dari data awal diketahui adanya pasien yang relaps namun hasil

(24)

penelitian lebih lanjut dan pengamatan yang lebih panjang diperlukan untuk mengetahui

(25)

DAFTAR RUJUKAN

1. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller

AS, Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th ed. New York:

McGraw-Hill; 2008. p. 1786-96

2. Zulkifli. Penyakit Kusta Dan Masalah Yang Ditimbulkannya. Available from :

http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf

3. Lockwood DNJ. Leprosy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s

Textbook of Dermatology 7th ed. Italy: Blackwell Science; 2004. p. 29.1-29.21

4. Charles D, Stoppler MC. Leprosy (Hansen’s Disease). Available from :

http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=101078. Last update :

6/11/2009

5. ILEP. International Guidelines For The Introduction of New MDT Regimens for The

Treatment of Leprosy. ILEP Technical bulletin 1998;14:1-4

6. Depkes RI. Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. 2007

7. Gautam VP. Treatment of Leprosy in India. J Postgrad Med July 2009;55:3:220-224

8. Sehgal NV, Sardana K, Dogra S. The Imperative of Leprosy Treatment in The Pre- and

Post- Global Leprosy Elimination Era: Appraisal of Changing The Scenario To Current

Status. Journal of Dermatological Treatment 2008;19:82-91

9. Ishii N. Recent Advances In The Treatment of Leprosy. Dermatology Online Journal

2003;9:2

10.Shinde A, Khopkar U, Ganapati R, Pai VV. Single-Dose Treatment for Single Lesion

(26)

11.Ji B, Sow S, Perani E, et al. Bactericidal Activity of a Single-Dose Combination of

Ofloxacin Plus Minocycline, With or Without Rifampin, Against Mycobacterium Leprae

in Mice and In Lepromatous Patients. Antimicrobial Agents and Chemotherapy

1998;42:5:1115-1120

12.WHO. Drug Used In Leprosy. Available from :

http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/13.1.html

13.Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Treatment. In: Leprosy 3rd ed. Singapore: Longman; 1990.

p. 77-91

14.Revankar CR, Bulchand HO, Pai VV, Ganapati R. Single-Dose ROM Treatment for

Multilesion Leprosy-Further Observations. International Journal of Leprosy and Other

Gambar

GAMBARAN KLINIS

Referensi

Dokumen terkait

(Kamadjaja DB. Cemento ossifying fibroma of the jaws. Den J majalah kedokteran gigi. Pada penelitian yang dilakukan McDonald-jankowski DS, kebanyakan dijumpai lesi campuran

Dari hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa dengan penggunaan modalitas fisioterapi berupa sinar infra merah dapat mengurangi nyeri pada kondisi lesi

Lesi kulit pada akne vulgaris adalah erupsi polimorf dengan gejala predominan salah satunya berupa komedo, papul yang tidak beradang dan pustul, nodul dan kista yang

Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.. Gangguan sensibilitas sedikit, BTA

Pada pemeriksaan histopatologi dapat dijumpai sel-sel tumor yang besar tersusun sinsitial dengan batas antar sel tidak jelas, inti vesikuler, bulat atau oval

Lesi kulit pada akne vulgaris adalah erupsi polimorf dengan gejala predominan salah satunya berupa komedo, papul yang tidak beradang dan pustul, nodul dan kista yang

Pada pasien ditemukan lesi kulit berupa purpura palpabel, yang tersebar bilateral pada kedua tungkai bawah, lengan dan pantat, di tempat adanya purpura tidak hilang dengan penekanan

Temuan lesi polimorfik dan gambaran pemeriksaan DIF berupa deposit IgA granular pada papila dermis dapat didiagnosis banding dengan beberapa penyakit kulit kronik lain, yaitu