ANALISIS YURIDIS TERHADAP HUBUNGAN KERJA
ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA BERDASARKAN
PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN
(STUDI KASUS: PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN
NOMOR:41/G/2009/PHI.Mdn)
TESIS
Oleh
SURYA ADINATA
087011108/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS YURIDIS TERHADAP HUBUNGAN KERJA
ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA BERDASARKAN
PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN
(STUDI KASUS: PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN
NOMOR:41/G/2009/PHI.Mdn)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
SURYA ADINATA
087011108/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA BERDASARKAN PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN (STUDI KASUS : PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PENGHASILAN NEGERI MEDAN NOMOR : 41/6/2009/PHI.MEDAN)
Nama Mahasiswa : Surya Adinata
Nomor Pokok : 087011108
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Telah diuji pada
Tanggal : 30 September 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum
Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
ABSTRAK
Perjanjian Kerja secara lisan hanya diberlakukan terhadap perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) saja. Berbeda terhadap PKWTT yang perjanjian kerjanya dibuat secara tertulis yang mengharuskan kepada pengusaha untuk mencantumkan masa percobaan dalam surat perjanjian kerja, namun terhadap PKWTT yang dibuat secara lisan maka syarat masa percobaan harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Hubungan kerja melalui perjanjian kerja secara lisan adalah hubungan kerja tanpa adanya penandatanganan surat perjanjian kerja, dikarenakan tidak ada perjanjian kerja yang ditandatangani maka hubungan kerja tersebut akan mangacu kepada peraturan ketenagakerjaan yang berlaku. Begitu halnya pengaturan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam perjanjian kerja secara lisan juga mengacu kepada peraturan ketenagakerjaan.
Peraturan ketenagakerjaan tidak membedakan pengaturan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam hal perjanjian kerja yang dibuat secara lisan maupun secara tertulis, yang membedakannya hanya bentuknya saja yaitu terhadap perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis ditandai dengan adanya perjanjian kerja antara kedua belah pihak yang dituangkan didalam suatu surat perjanjian namun terhadap perjanjian kerja secara lisan tidak dibuat surat perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak, cukup dengan pernyataan yang secara bersama disetujui oleh kedua belah pihak dan sebaiknya disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.
Ketentuan Pasal 63 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mewajibkan pengusaha membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang perjanjian kerjanya dibuat secara lisan tidaklah efektif dan banyak pengusaha yang tidak menjalankannya bukan hanya karena tidak ada sanksi yang mengaturnya namun juga karena dengan tidak dibuatnya perjanjian kerja secara tertulis dan tidak adanya surat pengangkatan akan dapat menguntungkan pengusaha yaitu diantaranya tidak jelasnya kapan hubungan kerja kedua belah pihak dimulai.
Perjanjian kerja secara lisan dapat menyulitkan pekerja dalam hal pembuktian kebenaran dirinya sebagai pekerja yang telah bekerja pada pengusaha dalam proses Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja di Pengadilan Hubungan Industrial. Kelemahan perjanjian kerja yang dibuat secara lisan adalah apabila pekerja setelah melewati 3 (tiga) bulan masa percobaan namun pihak pengusaha tidak ada membuat surat pengangkatan.
Pembuktian perjanjian kerja secara lisan apabila tidak ada surat pengangkatan yang dibuat oleh pengusaha maka pihak pekerja harus terlebih dahulu membuktikan adanya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha yakni berdasarkan Pasal 1 Angka (15) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa hubungan kerja harus memenuhi 3 (tiga) unsur yakni adanya unsur pekerjaaan, adanya unsur perintah dan adanya unsur upah.
ABSTRACT (employersand employees); therefore, this agreement should refer to the manpower regulation. The arrangement of the right and the responsibilty of employers and employees in the oral labor agreement should also refer to the manpower regulation. The manpower regulation does not differentiate the arrangement of the employers’ and the employees’ right and responsibility, both in the oral labor agreement and in the written labor agreement. Their difference is about the form : in the written labor agreement, there are signatures of both parties, while in the oral labor agreement, there is only a joint statement of both parties and witnessedby at least two witnesses.
Article 63, Paragraph 1, Act 13, 2003, which requires an employer to issue a letter of appointment for each employee in the oral labor agreement is not effective. Many employers apply this kind of agreement because they know that there is no Employment in Court of Industrial Relations. The weaknerss of oral labor agreement is that the employer does not issue a letter of appoinment although his workers have been working in his company for more than three months.
The employees who attempt to prove that there is a relationship between them and their employers should refer to Article 1, Paragraph 15, Act Number 13, 2003 which states that work relationship should fulfill three criteria: employment, instruction, and wages.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Hubungan Kerja Antara Pengusaha dan Pekerja
Berdasarkan Perjanjian Kerja Secara Lisan (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor: 41/G/2009/PHI.Mdn)”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus
dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Program Studi
Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih
yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan
amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum, Bapak Dr.
Pendastaren Tarigan, SH, MS dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum,
selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan
dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Kemudian juga, kepada Dosen Penguji yang terhormat dan amat terpelajar
penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian
tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. DR. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi
Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Studi Magister
Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan
(M.Kn).
5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.)
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara diantaranya Ibu Fatimah, SH, Kak
Sari, Kak Winda, Kak Lisa, dan lain-lain yang selalu membantu kelancaran dalam
hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.
6. Direktur dan Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan beserta Staf
dan Karyawan yang telah banyak membantu dalam hal pengambilan data dan
7. Para sahabat juga rekan yang berbaik hati yang tidak disebutkan satu persatu yang
telah banyak memberikan dukungan kepada penulis selama masa pendidikan.
Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga
turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada
Ayahanda Johan Brien, SE, SH, MM dan Ibunda Fida Yusri serta semua saudaraku yang
telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Istri tercinta
Deaby Ayu Rahartika serta ananda tersayang Alya Azzahra Dinata dan Soraya Deya Dinata
yang selama ini telah memberikan semangat.
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada
penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan,
kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.
Akhirnya Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak, terutama kepada penulis dan para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu
kenotariaan pada khususnya.
Medan, September 2010 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : Surya Adinata
Tempat/Tanggal Lahir : Medan/22 Oktober 1979
Status : Menikah
Alamat : Jalan Sei Kera No.296 B Medan
II. ORANG TUA
Nama Ayah : Johan Brien
Nama Ibu : Fida Yusri
III. PENDIDIKAN
- SD : Tahun 1986 s.d 1992
SD Negeri 060854
- SMP : Tahun 1992 s.d 1995 SMP Negeri 10 Medan
- SMA : Tahun 1995 s.d 1998 SMA Kartika I Medan - Perguruan Tinggi/S1 : Tahun 1998 s.d 2003
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara - Perguruan Tinggi/S2 : Tahun 2008 s.d
Program Studi Magister Kenotariatan
DAFTAR ISI
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 11
1. Kerangka Teori... 11
2. Konsepsi... 20
G. Metode Penelitian... 22
BAB II PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN ... 25
A. Pengaturan Hubungan Kerja... 25
1. Pembuatan Perjanjian Kerja... 28
2. Kewajiban Pekerja... 31
3. Kewajiban Pengusaha... 31
4. Berakhirnya Hubungan Kerja... 32
5. Cara Penyelesaian Perselisihan antara Pengusaha dan Pekerja.... 33
B. Pengaturan tentang Perjanjian Kerja... 38
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu... 49
3. Perjanjian Kerja secara Lisan... 50
4. Perjanjian Kerja secara Tertulis... 54
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP PEKERJA YANG HUBUNGAN KERJA DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN... 56
A. Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK... 56
B. Konsep Pemutusan Hubungan Kerja... 62
C. Hak-Hak Bagi Pekerja... 67
1. Hak-Hak Pekerja yang diatur Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan... 67
2. Hak-Hak Pekerja yang diatur Undang-Undang Nomor 03 Tahun 1992 Tentang Jamsostek... 71
3. Hak-Hak Pekerja terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja.... 76
4. Hak-Hak Pekerja terhadap Upah... 80
D. Upaya Hukum Bagi Pekerja yang di PHK... 82
BAB IV STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN REG.NOMOR 41/G/2009/PHI.Mdn ANTARA HARIZON PANE, DKK MELAWAN PT RIVERA VILLAGE PERMAI ... 85
A. Kronologis Perkara atau tentang Duduknya Perkara... 85
B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim/Tentang Hukumnya... 90
C. Analisis terhadap Fakta-Fakta dan Pertimbangan Hukum Majelis Hakim... 98
1. Tentang Status Hubungan Kerja para Penggugat... 98
2. Tentang Hak-Hak yang Wajib diterima oleh para Penggugat... 103
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN....105
A. KESIMPULAN... 105
B. SARAN... 106
DAFTAR PUSTAKA... 109
ABSTRAK
Perjanjian Kerja secara lisan hanya diberlakukan terhadap perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) saja. Berbeda terhadap PKWTT yang perjanjian kerjanya dibuat secara tertulis yang mengharuskan kepada pengusaha untuk mencantumkan masa percobaan dalam surat perjanjian kerja, namun terhadap PKWTT yang dibuat secara lisan maka syarat masa percobaan harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Hubungan kerja melalui perjanjian kerja secara lisan adalah hubungan kerja tanpa adanya penandatanganan surat perjanjian kerja, dikarenakan tidak ada perjanjian kerja yang ditandatangani maka hubungan kerja tersebut akan mangacu kepada peraturan ketenagakerjaan yang berlaku. Begitu halnya pengaturan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam perjanjian kerja secara lisan juga mengacu kepada peraturan ketenagakerjaan.
Peraturan ketenagakerjaan tidak membedakan pengaturan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam hal perjanjian kerja yang dibuat secara lisan maupun secara tertulis, yang membedakannya hanya bentuknya saja yaitu terhadap perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis ditandai dengan adanya perjanjian kerja antara kedua belah pihak yang dituangkan didalam suatu surat perjanjian namun terhadap perjanjian kerja secara lisan tidak dibuat surat perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak, cukup dengan pernyataan yang secara bersama disetujui oleh kedua belah pihak dan sebaiknya disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.
Ketentuan Pasal 63 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mewajibkan pengusaha membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang perjanjian kerjanya dibuat secara lisan tidaklah efektif dan banyak pengusaha yang tidak menjalankannya bukan hanya karena tidak ada sanksi yang mengaturnya namun juga karena dengan tidak dibuatnya perjanjian kerja secara tertulis dan tidak adanya surat pengangkatan akan dapat menguntungkan pengusaha yaitu diantaranya tidak jelasnya kapan hubungan kerja kedua belah pihak dimulai.
Perjanjian kerja secara lisan dapat menyulitkan pekerja dalam hal pembuktian kebenaran dirinya sebagai pekerja yang telah bekerja pada pengusaha dalam proses Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja di Pengadilan Hubungan Industrial. Kelemahan perjanjian kerja yang dibuat secara lisan adalah apabila pekerja setelah melewati 3 (tiga) bulan masa percobaan namun pihak pengusaha tidak ada membuat surat pengangkatan.
Pembuktian perjanjian kerja secara lisan apabila tidak ada surat pengangkatan yang dibuat oleh pengusaha maka pihak pekerja harus terlebih dahulu membuktikan adanya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha yakni berdasarkan Pasal 1 Angka (15) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa hubungan kerja harus memenuhi 3 (tiga) unsur yakni adanya unsur pekerjaaan, adanya unsur perintah dan adanya unsur upah.
ABSTRACT (employersand employees); therefore, this agreement should refer to the manpower regulation. The arrangement of the right and the responsibilty of employers and employees in the oral labor agreement should also refer to the manpower regulation. The manpower regulation does not differentiate the arrangement of the employers’ and the employees’ right and responsibility, both in the oral labor agreement and in the written labor agreement. Their difference is about the form : in the written labor agreement, there are signatures of both parties, while in the oral labor agreement, there is only a joint statement of both parties and witnessedby at least two witnesses.
Article 63, Paragraph 1, Act 13, 2003, which requires an employer to issue a letter of appointment for each employee in the oral labor agreement is not effective. Many employers apply this kind of agreement because they know that there is no Employment in Court of Industrial Relations. The weaknerss of oral labor agreement is that the employer does not issue a letter of appoinment although his workers have been working in his company for more than three months.
The employees who attempt to prove that there is a relationship between them and their employers should refer to Article 1, Paragraph 15, Act Number 13, 2003 which states that work relationship should fulfill three criteria: employment, instruction, and wages.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Untuk mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja. Bekerja dapat
dilakukan secara mandiri atau bekerja kepada orang lain. Bekerja kepada orang lain
dapat dilakukan dengan bekerja kepada negara yang selanjutnya disebut sebagai
pegawai atau bekerja kepada orang lain (swasta) yang disebut sebagai pekerja atau
buruh.
Pengertian pekerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja atau buruh adalah
seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah.1 Sedangkan
definisi tenaga kerja berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan “Setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk masyarakat”.
Bertolak dari pengertian bahwa pekerja atau buruh adalah orang yang
melakukan pekerjaan untuk orang lain (swasta) berarti sedikitnya harus ada dua pihak
yang terlibat dalam hubungan kerja yaitu orang yang melakukan pekerjaan yang
1
disebut dengan pekerja atau buruh dan orang yang memberikan pekerjaan yang
disebut dengan Pengusaha.
Pengertian pengusaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 butir (a)
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan
milik sendiri, dan selanjutnya pada Pasal 1 angka 5 butir (b) Undang-Undang Nomor
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa Pengusaha adalah ”orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya”.
Secara sosiologis, pekerja atau buruh memang merupakan pihak yang lebih
lemah dibanding pihak pengusaha. Pekerja atau Buruh adalah orang yang tidak bebas
dalam menentukan kehendaknya terhadap pengusaha, karena dalam suatu hubungan
kerja pengusaha telah memberikan batasan-batasan yang harus diikuti oleh pihak
pekerja atau buruh.2 Sangat sulit bagi pihak pekerja atau buruh untuk menentang, dan
bila mereka berkeras untuk menentang maka mereka akan kehilangan mata
pencaharian. Bagi pengusaha, kehilangan seorang pekerja atau buruh bukan persoalan
karena masih ada ribuan tenaga kerja yang mencari pekerjaan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan bahwa hubungan kerja antara pengusaha dengan
pekerja/buruh dibuat berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan,
upah dan perintah berbeda dengan pengertian perjanjian kerja (arbeidsovereenkomst)
2
pada Pasal 1601a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dinyatakan bahwa
perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di
bawah perintahnya pihak yang lain si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu,
melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 14
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa
perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Secara umum perjanjian dapat diartikan sebagai suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Suatu
perjanjian dapat dilakukan terhadap apa saja yang disepakati sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan norma yang berlaku.
Bentuk perjanjian kerja tidak dimintakan dalam bentuk tertentu, jadi dapat
dilakukan secara lisan yaitu dengan surat pengangkatan oleh pengusaha, maupun
secara tertulis yaitu dengan adanya surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua
belah pihak yakni antara Pekerja dan Pengusaha. Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang ketenagakerjaan turut memberikan peluang adanya ketidakwajiban
pengusaha untuk membuat perjanjian kerja perorangan secara tertulis, dengan alasan
kondisi masyarakat yang beragam yang memungkinkan perjanjian kerja secara lisan.3
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan, bahwa “Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau
3Akibat Hukum Perjanjian Lisan
lisan”. Perjanjian Kerja pada prinsipnya dapat dibuat secara tertulis dan lisan dengan
syarat harus terpenuhinya syarat-syarat keabsahan perjanjian kerja sebagaimana yang
diatur dalam ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwasannya syarat sahnya perjanjian kerja
dibuat atas dasar :
a. Kesepakatan kedua belah pihak
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesepakatan diartikan sebagai bentuk persetujuan para pihak atas apa yang
diperjanjikan dan hal-hal yang termuat dalam perjanjian. Apabila perjanjian itu dibuat
dalam bentuk tertulis seperti kontrak, maka tentunya dinyatakan dalam draft kontrak
tersebut. Namun apabila dibuat secara lisan, maka cukup dengan pernyataan yang
secara bersama disetujui oleh kedua belah pihak dan sebaiknya disaksikan oleh
sekurang-kurangnya dua orang saksi.
Hubungan kerja melalui perjanjian kerja tertulis ditandai dengan adanya
penandatanganan perjanjian kerja yang mengatur tentang syarat kerja serta hak dan
kewajiban para pihak. Sedangkan hubungan kerja melalui perjanjian kerja lisan
ada perjanjian kerja yang ditandatangani, maka hubungan kerja tersebut akan
mangacu kepada peraturan ketenagakerjaan yang berlaku.4
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh
yang didasarkan pada perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan
perintah. Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa “Hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah, dan perintah”, sehingga dengan demikian apabila
terpenuhinya ketiga unsur tersebut maka jelas terdapat hubungan kerja baik yang
dibuat dalam bentuk perjanjian kerja secara tertulis maupun secara lisan.
Meskipun Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan perjanjian kerja bisa
dibuat secara lisan namun praktiknya buruh berada dalam posisi yang sangat sulit jika
tidak memiliki kontrak kerja tertulis. Perusahaan bisa dengan sepihak memutuskan
hubungan kerja dengan berbagai alasan.5
Hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh idealnya merupakan
hubungan yang saling menguntungkan dikedua belah pihak namun seringkali posisi
pekerja/buruh tidak seimbang dengan posisi pengusaha.
Dalam realita sekarang ini terdapat praktik-praktik yang dilakukan oleh
pengusaha dalam memperkerjakan pekerja/buruh dengan memperkerjakan
pekerja/buruh tanpa adanya perjanjian tertulis, walaupun dibenarkan oleh
4
Sehat Damanik, Op.Cit, hlm. 5. 5
Radar Online, Repot jika tidak pegang perjanjian kerja tertulis, Jakarta 08 Desember 2009,
Undang Ketenagakerjaan namun implikasinya perlindungan terhadap pekerja/buruh
menjadi lemah, hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi yang diantaranya adalah
pekerja/buruh tidak berhak atas sejumlah tunjangan seperti tunjangan jamsostek,
tunjangan lembur kerja, tunjangan cuti kerja dan apabila terjadi perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja dikemudian hari terhadap pekerja/buruh oleh pengusaha
maka pekerja/buruh tersebut sangat rentan untuk tidak menerima uang pesangon, dan
atau uang penghargaan masa kerja yang disesuaikan dengan masa kerja serta uang
penggantian hak, hal ini dikarenakan sulitnya pihak pekerja/buruh untuk dapat
membuktikan adanya hubungan kerja diantara pekerja/buruh dengan pengusaha.
Selama pelaksanaan hubungan kerja tidak tertutup kemungkinan terjadi Pemutusan
Hubungan Kerja baik yang dilakukan atas inisiatif pengusaha atau atas inisiatif
pekerja.
Lemahnya posisi pekerja/buruh yang diperjanjikan kerja secara lisan
disebabkan karena alasan, yaitu pertama, ketidaktahuan dari salah satu atau
masing-masing pihak pekerja/buruh dan pengusaha. Kedua, karena kekosongan hukum.
Ketiga, adanya itikad buruk dari pengusaha dan ketidaktahuan pekerja/buruh.
Menurut Eggy Sudjana secara umum penyebab lemahnya kondisi
pekerja/buruh di Indonesia diantaranya yakni:6
1. Lemahnya posisi tawar tenaga kerja berhadapan dengan pemilik perusahaan
atau industri karena keahlian dan tingkat pendidikan yang rendah.
6
2. Kebijakan pemerintah yang kurang responsif dan akomodatif terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat.
Secara sosiologis buruh adalah orang atau kelompok yang tidak bebas sebagai
orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada tenaganya saja, ia terpaksa
untuk bekerja pada orang lain dan majikan inilah pada dasarnya menentukan
syarat-syarat kerja itu7.
Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan
perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa
majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar
dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara
yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis .8
Ditinjau dari aspek perlindungan hukum dari berbagai peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan maka diatur perlindungan sejak sebelum adanya hubungan
kerja, selama dalam hubungan kerja dan setelah hubungan kerja berakhir.
Perlindungan terhadap pekerja sebelum bekerja maksudnya bahwa pekerja
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pekerjaan tanpa adanya diskriminasi.
Perlindungan pekerja dalam hubungan kerja maksudnya bahwa pekerja harus
diberikan upah yang layak berdasarkan upah minimum yang ditetapkan pemerintah
dan diikutsertakan dalam program jamsostek dan pekerja dilindungi hak-hak
7
A.s. Finawati, Buruh Di Indonesia:Dilemahkan Dan Ditindas dalam Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan (Jakarta: Djambatan, 2003),hlm 8, diakses dari http//www.pemantauankeadilan.com/detil/detil.php?id=168&tipe=opini pada tanggal 12 April 2010
8
normatifnya seperti hak cuti, hak beribadah pada saat waktu bekerja, hak
mendapatkan upah lembur dan hak mendapatkan perlindungan keselamatan dan
keamanan dalam melakukan pekerjaan. Bentuk perlindungan setelah hubungan kerja
maksudnya bahwa adanya kewajiban pengusaha untuk membayar pesangon apabila
pekerja di PHK secara sepihak dan kewajiban pengusaha untuk mengikutsertakan
pekerja dalam program jaminan hari tua atau program pensiun pekerja.
Sehubungan dengan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja yang
didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan, pada tanggal 06 Mei 2009 Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan telah menerima pendaftaran
gugatan dengan Register Nomor:140/Pen.K/09/PHI-Mdn antara Harizon Pane, dkk
sebagai Penggugat melawan PT. Rivera Village Permai berkedudukan di Medan
sebagai Tergugat yang mana duduk perkaranya adalah bahwa pada tanggal 03
Nopember 2008 Harizon Pane, dkk telah diberhentikan oleh pihak PT.Rivera Village
Permai tanpa diberikan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Pihak
perusahaan tidak memberikan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja
kepada Harizon Pane, dkk beralasan bahwa Harizon Pane, dkk bukan merupakan
karyawan perusahaan dan tidak pernah terdaftar sebagai karyawan dalam perusahaan
padahal mereka sudah bekerja masing-masing selama 6 s.d 10 tahun di perusahaan
tersebut.
Gugatan yang diajukan Harizon Pane, dkk telah diputus oleh Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 22 Juli 2009
tuntutan para pekerja khususnya mengenai hubungan kerja yang didasarkan pada
perjanjian kerja secara lisan. Pada pertimbangan hukumnya majelis hakim
berpendapat bahwa hubungan kerja antara Harizon Pane, dkk sebagai Penggugat dan
PT. Rivera Village Permai sebagai Tergugat merupakan hubungan kerja yang
didasarkan pada perjanjian kerja yakni adanya unsur pekerjaan, perintah dan upah
yang mana perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan sehingga para
penggugat berhak mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja serta
uang penggantian hak.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka peneliti tertarik memilih judul
Analisis yuridis terhadap hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja berdasarkan
perjanjian kerja secara lisan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka penelitian ini akan membahas
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja yang
didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan?
2. Bagaimana perlindungan hukum ketenagakerjaan terhadap pekerja yang
hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan?
3. Apakah putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan
pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan sudah sesuai dengan
hukum ketenagakerjaan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan
yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukum ketenagakerjaan terhadap
hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian
kerja secara lisan.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum ketenagakerjaan
terhadap pekerja yang hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja secara
lisan.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Medan Nomor: 41/G/2009/PHI.Mdn mengenai hubungan
kerja antara pengusaha dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara
lisan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis, yaitu:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan hukum bidang keperdataan khususnya hukum
ketenagakerjaan.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja agar dapat menjamin hubungan
kerja yang seimbang dalam pengaturan hak dan kewajiban pihak pekerja/buruh
dan pengusaha, sehingga pada akhirnya pekerja/buruh serta pengusaha dapat
saling merasakan ketentraman.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah dilakukan di Perpustakaan
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara terhadap hasil-hasil penelitian
yang ada, ternyata belum ada yang melakukan penelitian mengenai “Analisis yuridis
terhadap hubungan kerja antara Pengusaha dan Pekerja berdasarkan perjanjian kerja
secara lisan.(Studi Kasus: Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Medan Nomor: 41/G/2009/PHI.Mdn), oleh karena itu penelitian yang
dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah asli sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan nilai-nilai objektivitas dan
kejujuran.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Untuk mendalami perjanjian kerja secara lisan sudah seharusnya didasarkan
saling berkaitan. Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran
teoritis, teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi.9
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya
mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis
yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.10
Dalam penelitian ini teori perjanjian sangat relevan untuk ditinjau dari hukum
perdata, sebab menurut ketetapan undang-undang hukum perdata semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu, suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.11
Perjanjian diistilahkan dalam Bahasa Inggris dengan contract, dalam Bahasa
Belanda dengan verbintenis atau perikatan juga dengan overenkomst atau perjanjian.
Kata kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian yang tertulis
dibandingkan dengan kata perjanjian.12 Kata perjanjian juga sering dikaitkan dengan
perjanjian kerja sama yang dimaksudkan adanya hubungan timbal balik antara satu
pihak dengan pihak yang lainnya.
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarata: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm. 122.
10
Made Wirantha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta: 2006), hlm. 6.
11
R. Subekti dan R. Tjitrosudibiyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek, terjemahan, cetakan 8, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), hlm. 338.
12
Perjanjian kerja yang dalam Bahasa Belanda disebut arbeidsoverenkoms,
mempunyai beberapa pengertian, Pasal 1601a KUHPerdata memberikan pengertian
sebagai berikut : Perjanjian kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu yaitu
buruh mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain yaitu
majikan dengan upah selama waktu tertentu.
Selain pengertian tersebut diatas, Imam Soepomo berpendapat bahwa
“perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh), mengikatkan
diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lain yakni membayar upah”.13
Profesor Subekti memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai berikut:
Perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian yang
ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan
adanya suatu “hubungan diperatas” (dienstverhouding), yaitu suatu hubungan
berdasarkan mana pihak yang satu (majikan ) berhak memberikan perintah-perintah
yang harus ditaati oleh yang lain.14
Pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut diatas dapat
dilihat bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah dibawah perintah pihak lain yang
menunjukan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan
bawahan dengan atasan. Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial
ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi untuk memberikan perintah dan
13
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 36.
15 Abdul Achmad Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia, ( Jakarta: Rajawali Pres, 1997), hlm. 21.
14
pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara
perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya.
Dalam hubungan antara pekerja dengan pengusaha bukanlah seperti hubungan
antara pembeli dan penjual, atau seperti hubungan antara dokter dengan pasien,
ataupun pengacara dengan kliennya. Hal yang membedakan salah satunya adalah
posisi tawar yang tidak sama diantara pekerja dan pengusaha. Secara yurisis
pekerja/buruh memang bebas. Sebagaimana prinsip negara kita bahwa tidak
seorangpun boleh diperbudak, namun secara sosiologis pekerja/buruh adalah tidak
bebas. Ketergantungan pekerja/buruh terhadap pengusaha, apalagi kondisi
pekerja/buruh dewasa ini belum pada taraf pekerja/buruh yang menguasai
ketrampilan dan pengetahuan keilmuan melainkan hanya mengandalkan tenaganya.
Jika hubungan antara pekerja dengan pengusaha tidak diatur maka kekuasaan yang
tidak terbatas dari pengusaha dapat mendatangkan ketimpangan sosial yang besar
terhadap pekerja/buruh, sehingga pekerja/buruh harus dilindungi melalui hukum yaitu
hukum perburuhan.15
Hukum adalah fenomena sosial yang penting. Tak ada kelompok sosial yang
bisa berlangsung tanpa hukum dalam arti luas. Hukum memiliki dua cita-cita kembar
yaitu keadilan dan ketertiban. Ada masyarakat yang lebih mementingkan segi
keadilannya ada pula yang memilih segi ketertibannya, perdebatan untuk menentukan
15
mana pilihan terbaik tak akan pernah selesai, sama halnya perdebatan menentukan
dimana titik tengahnya.16
Kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah untuk
mengintegrasikan dan mengkordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa
menimbulkan konflik (conflict of interest). Melalui hukum, konflik itu bisa ditekan
sekecil-kecilnya. Pengorganisasian kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan
membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut.
Hukum dalam pengertiannya yang utama adalah suatu aturan yamg
dicita-citakan dan diwujudkan dalam Undang-Undang, namun sebelumnya perlu ditegaskan
bahwa hukum memiliki dua pengertian yang perlu dipahami yaitu:17
1. Hukum dalam arti keadilan. Maka disini hukum menandakan peraturan yang
adil tentang kehidupan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan.
2. Hukum dalam arti Undang-Undang atau lex/wet. Kaidah-kaidah yang
mewajibkan itu dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang adil
tersebut.
Hukum bertujuan menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan
ketertiban dan keseimbangan dengan tercapainya ketertiban dalam masyrakat yang
diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi dalam mencapai tujuannya. Hukum
berfungsi membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat,
16
AL Andang L Binawan, Hukum di Pusat Pasar : Keadilan sosial yang memudar dalam Keadilan Sosial Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Editor AL Andang L Binawan & A Presetyantoko, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2004), hlm. 75.
17
membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta
memelihara kepastian hukum.18
Dalam literatur dikenal beberapa teori tentang tujuan hukum. Kepastian
hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara
pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan
keragu-raguan (multi tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma
dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
Menurut teori etis (etische theori), hukum hanya semata-mata bertujuan
mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf yunani,
Aristoteles, dalam karyanya Eticha Nicomachea dan Retorika, yang menyatakan
bahwa hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi kepada setiap orang
sesuatu yang ia berhak menerimanya. 19
Hukum ketenagakerjaan merupakan hukum yang dibentuk untuk mengadakan
keadilan dalam hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Secara sosial
ekonomi posisi pengusaha dan pekerja/buruh sangat bertolak belakang. Hal ini
menyebabkan hubungan antara keduanya diatur oleh hukum, yaitu hukum yang adil.
Keadilan yang merupakan tujuan dasar dalam pembentukan dan pelaksanaan
hukum bahkan yang menjadi tujuan hidup bernegara tidak akan dicapai dengan
menyerahkan sistem ekonomi semata-mata pada mekanisme pasar.20
18
E.Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia,(Jakarta: 1966), hlm. 31. 19
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, ( Bandung: Alumni, 1985), hlm. 23.
20
Hubungan kerja adalah merupakan suatu hubungan yang timbul antara pekerja
dan pengusaha setelah diadakan perjanjian sebelumnya oleh pihak yang
bersangkutan. Pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha
dengan menerima upah dan sebaliknya pengusaha menyatakan pula kesanggupannya
untuk memperkerjakan pekerja dengan membayar upah. Dengan demikian hubungan
kerja yang terjadi antara pekerja dan pengusaha adalah merupakan bentuk perjanjian
kerja yang pada dasarnya memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Didalam hubungan kerja terdapat tiga unsur yaitu :21
a. Ada Pekerjaan
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek
perjanjian) dan pekerjaan itu haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja/buruh.
Secara umum yang dimaksud dengan pekerjaan adalah segala perbuatan yang
harus dilakukan oleh pekerja/buruh untuk kepentingan pengusaha sesuai isi
perjanjian kerja.
b. Ada Upah
Unsur kedua yang harus ada dalam setiap hubungan kerja adalah adanya upah.
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang atau bentuk lain sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
21
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah
dilakukan. Dengan demikian intinya upah merupakan imbalan prestasi yang
dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atas pekerjaan yang telah
dilakukan oleh pekerja/buruh.
c. Ada Perintah
Perintah merupakan unsur yang paling khas dari hubungan kerja maksudnya
bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh berada dibawah perintah
pengusaha.
Dalam praktek unsur perintah ini misalnya dalam perusahaan yang mempunyai
banyak pekerja/buruh yaitu adanya peraturan tata tertib yang harus dipatuhi oleh
pekerja/buruh.
Dengan dipenuhinya ketiga unsur tersebut diatas,jelaslah ada hubungan kerja baik
yang dibuat dalam bentuk perjanjian kerja tertulis maupun lisan.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada prinsipnya
telah memberikan defenisi normatif mengenai perjanjian kerja. Pasal 1 angka 14
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mendefenisikan perjanjian kerja sebagai
perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak, Atas pengertian tersebut, maka
dapat dijelaskan beberapa unsur penting perjanjian kerja sebagai berikut:
a. Adanya perbuatan hukum/peristiwa hukum berupa perjanjian kerja
b. Adanya subjek atau pelaku yakni pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja
c. Memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak
Peristiwa hukum perjanjian merupakan tindakan yang dilakukan oleh
pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja untuk saling mengikatkan diri dalam
suatu hubungan yang bersifat normatif atau saling mengikat. Dalam berbagai teori
ilmu hukum perikatan, perjanjian merupakan bentuk dari perikatan dimana 2 (dua)
pihak mengikatkan diri untuk berbuat, memberikan sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu yang dituangkan dalam suatu perjanjian baik secara lisan maupun secara
tertulis. Perjanjian selalu menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pelaku yang
terlibat di dalamnya. Konsekuensi dari tidak terpenuhinya hak dan kewajiban tersebut
dapat berupa batal atau kebatalan terhadap perjanjian tersebut dan bahkan
memungkinkan menimbulkan konsekuensi penggantian kerugian atas segala bentuk
kerugian yang timbul akibat tidak terpenuhinya prestasi yang diperjanjikan.
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
hubungan kerja baru dapat timbul setelah pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja
mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 50
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan,
bahwa “hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh”. Dengan demikian tidak ada keterkaitan apapun yang menyangkut
pekerjaan antara pekerja/buruh dan pengusaha tertentu apabila sebelumnya tidak ada
2. Konsepsi
Menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran tulisan ini, berikut dijelaskan
defenisi operasional dari istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu :
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama dan sesdudah masa kerja.22
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.23
3. Pekerja/buruh adalah orang-orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.24
4. Pengusaha ialah :25
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri.
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesiamewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yangberkedudukan di luar wilayah Indonesia.
22
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 23
Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 24
Pasal 1 angka (3) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 25
5. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para
pihak.26
6. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.27
7. Bentuk Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan28
8. Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.29
9. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.30
10.Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka
pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang
bersangkutan.31
11.Surat pengangkatan sekurang kurangnya memuat keterangan:
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
Pasal 1 angka (14) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 27
Pasal 1 angka (15) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 28
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 29
Pasal 56 ayat (1)Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 30
Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 31
Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 32
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian yang berbasis kepada yuridis normatif,
yaitu penelitian tentang asas-asas hukum, kaedah hukum, dan sistematika hukum,
serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum
lainnya. Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis
analisis terhadap norma hukum, baik hukum dalam aturan perundang-undangan
maupun dalam putusan pengadilan.
Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan
disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang
objeknya hukum itu sendiri.33
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis. Bersifat deskriptif
maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan
sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan
berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat
bagaimana menjawab permasalahan.
2. Bahan Penelitian
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi
kepustakaan (library research).
33
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Bahan Hukum Primer yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dan peraturan-peraturan yang terkait dengan objek
penelitian.
2. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti putusan pengadilan,
hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, pendapat pakar hukum yang erat
kaitannya dengan permasalahan penelitian.
3. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang
untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum dan
kamus hukum, surat kabar, internet, serta makalah-makalah yang berkaitan
dengan objek penelitian.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan meliputi tehnik pengumpulan data secara studi
kepustakaan (library research), sebagai suatu teknis pengumpulan data dengan
memanfaatkan berbagai literatur atau studi dokumen dengan cara meneliti sumber
bacaan yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini, seperti buku-buku hukum,
majalah hukum, artikel-artikel, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan
yang ada kaitannya dengan penelitian, pendapat para sarjana dan bahan-bahan
4. Analisis Data
Keseluruhan data diorganisasikan dan diurutkan kedalam pola, kategori dan
satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema seperti yang disarankan oleh data
yang dianalisa secara kualitatif.34Data dari hasil penelitian dianalisis secara kualitatif,
artinya data-data yang ada dianalisis secara mendalam, holistik dan komprehensif.
34
BAB II
PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN
PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN
A. Pengaturan tentang Hubungan Kerja
Pada dasarnya hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dan pengusaha
yang terjadi setelah diadakan perjanjian antara pekerja dengan pengusaha, di mana
pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan
menerima upah dan di mana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk
mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. Perjanjian yang sedemikian itu
disebut perjanjian kerja. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja
sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja
antara pekerja dengan pengusaha.
Menurut Hartono Widodo dan Judiantoro, hubungan kerja adalah
kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain
yang memerintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah
disepakati.35
35
Selanjutnya Tjepi F. Aloewir, mengemukakan bahwa pengertian hubungan
kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari
perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu.36
Hubungan kerja merupakan hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang
terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja
adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dengan demikian jelaslah bahwa
hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja.
Hubungan kerja adalah merupakan suatu hubungan yang timbul antara pekerja
dan pengusaha setelah diadakan perjanjian sebelumnya oleh pihak yang
bersangkutan. Pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha
dengan menerima upah dan sebaliknya pengusaha menyatakan pula kesanggupannya
untuk memperkerjakan pekerja dengan membayar upah. Dengan demikian hubungan
kerja yang terjadi antara pekerja dan pengusaha adalah merupakan bentuk perjanjian
kerja yang pada dasarnya memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Unsur-unsur yang ada dalam suatu hubungan kerja yaitu:37
1. Adanya unsur work atau pekerjaan
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek
perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya
36
Tjepi F. Aloewic, Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Industrial, Cetakan ke-11, (Jakarta: BPHN, 1996), hlm. 32.
37
dengan seizin pengusaha dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1603a yang berbunyi:
“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia
dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”.
Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena
bersangkutan dengan ketrampilan atau keahliannya, maka menurut hukum jika
pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.
2. Adanya unsur perintah
Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah
pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk
melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan
hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter
dengan pasien, pengacara dengan klien. Hubungan tersebut merupakan hubungan
kerja karena dokter, pengacara tidak tunduk pada perintah pasien atau klien.
3. Adanya upah
Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja),
bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada
pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah,
maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja. Seperti seorang
narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu, seorang
mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktik lapangan di hotel.
Yang hendak ditunjuk oleh perkataan waktu tertentu atau zekere tijd sebagai
unsur yang harus ada dalam perjanjian kerja adalah bahwa hubungan kerja antara
pengusaha dan pekerja tidak berlangsung terus-menerus atau abadi. Jadi bukan
waktu tertentu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan kerja antara pengusaha
dengan pekerja. Waktu tertentu tersebut dapat ditetapkan dalam perjanjian kerja,
dapat pula tidak ditetapkan. Di samping itu, waktu tertentu tersebut, meskipun
tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja mungkin pula didasarkan pada peraturan
perundang-undangan atau kebiasaan.
Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal mengenai pembuatan
perjanjian kerja, kewajiban pekerja, kewajiban pengusaha dan berakhirnya hubungan
kerja.
1. Pembuatan Perjanjian Kerja.
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
mendefenisikan perjanjian kerja adalah Perjanjian antara pekerja dengan
pengusaha/pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan
kewajiban para pihak. Menurut Undang-undang ini perjanjian kerja dapat
dibuat secara tertulis maupun lisan. Perjanjian kerja yang dibuat dalam bentuk
tertulis diwajibkan terhadap perjanjian kerja waktu tertentu saja38, sedangkan
perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat dibuat secara lisan maupun tertulis.
38
Apabila perjanjian kerja dibuat secara tertulis, maka harus memuat sebagai
berikut:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat -syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.39
Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.40 Perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2
(dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan
pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.41
Ketentuan Undang-Undang ketenagakerjaan mengatur perjanjian kerja yang
dibuat secara lisan, terhadap perjanjian kerja secara lisan maka pengusaha
39
Pasal 54 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 40
Pasal 54 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 41
wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan
yang sekurang-kurangnya memuat keterangan:
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.42
Selain hal-hal diatas terdapat juga beberapa hal lainnya yang perlu diatur
dalam suatu perjanjian kerja:43
a. Macam pekerjaan
b. Cara-cara pelaksanaannya
c. Waktu atau jam kerja
d. Tempat kerja
e. Besarnya imbalan kerja, macam-macamnya serta cara pembayarannya
f. Fasilitas-fasilitas yang disediakan perusahaan bagi pekerja/buruh/pegawai
g. Biaya kesehatan/pengobatan bagi buruh/pegawai/pekerja
h. Tunjangan-tunjangan tertentu
i. Perihal cuti
j. Perihal ijin meninggalkan pekerjaan
k. Perihal hari libur
l. Perihal jaminan hidup dan masa depan pekerja
42
Pasal 63 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 43
m. Perihal pakaian kerja
n. Perihal jaminan perlindungan kerja
o. Perihal penyelesaiaan masalah-masalah kerja
p. Perihal uang pesangon dan uang jasa
q. Berbagai masalah yang dianggap perlu
2. Kewajiban Pekerja
Dalam suatu hubungan kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan dan
pekerjaan itu wajib dilakukan sendiri oleh pekerja/buruh. Secara umum yang
dimaksud dengan pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dilakukan
oleh pekerja/buruh untuk kepentingan pengusaha sesuai isi perjanjian kerja.
Pekerja/buruh yang baik adalah buruh yang menjalankan
kewajiban-kewajibannya dengan baik, yang dalam hal ini kewajiban untuk melakukan
atau tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan yang sama,
seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan44. Pekerja harus mentaati peraturan
perusahaan yang menurut undang-undang ketenagakerjaan peraturan
perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan45.
3. Kewajiban Pengusaha
Pengusaha berkewajiban memberikan upah terhadap pekerja. Upah adalah
suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk sesuatu
44
Pasal 1603d KUHPerdata 45
pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai
dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan
perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara
pengusaha dengan buruh termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri
maupun keluarganya46 Yang dimaksud dengan imbalan termasuk juga sebutan
honorarium yang diberikan oleh pengusaha kepada buruh secara teratur dan
terus-menerus.
Pengusaha juga berkewajiban untuk memberitahukan dan menjelaskan isi
peraturan perusahaan yang berlaku diperusahaan. Peraturan perusahaan
sekurang-kurangnya memuat:
a. Hak dan kewajiban pengusaha
b. Syarat kerja
c. Tata tertib perusahaan
d. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
Peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
undangan yang berlaku apabila bertentangan dengan peraturan
undangan yang berlaku maka yang digunakan adalah peraturan
perundang-undangan. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan paling lama 2 (dua)
tahun dan wajib diperbaharui setelah masa berlakunya habis.
4. Berakhirnya Hubungan Kerja
Hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja berakhir disebabkan oleh:
46
a. Pekerja meninggal dunia
b. Jangka waktu perjanjian kerja berakhir
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja, peraturan kerja, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
5. Cara Penyelesaian Perselisihan antara pengusaha dan pekerja
Ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur mekanisme
penyelesaian perselisihan antara pengusaha dan pekerja antara lain sebagai
berikut:
a. Perundingan Bipartit
Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan Perselisihan
Hubungan Industrial.47 Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai
kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka sebagai langkah awal
dalam penyelesaian perselisihan. Ketentuan mengenai upaya bipartit
diatur pada Pasal 136 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang dinyatakan bahwa penyelesaian
47
perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh secara musyawarah untuk
mufakat.Apabila tercapai kesepakatan maka para pihak membuat
Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani dan kemudian Perjanjian
Bersama ini didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah
oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlunya
mendaftarkan perjanjian bersama bertujuan untuk menghindari
kemungkinan salah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi. Apabila gagal dicapai
kesepakatan maka karyawan dan pengusaha mungkin harus menghadapi
prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.
b. Perundingan Tripartit
Undang-undang Ketenagakerjaan mengatur 3 (tiga) Lembaga
penyelesaian yang dapat dipilih oleh para pihak yaitu:
- Penyelesaian melalui Mediasi
Mediasi48 merupakan upaya penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan hak, perselisihan PHK dan perselisihan antara serikat
pekerja/buruh melalui seorang mediator (perantara). Dalam
Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
48