OLEH
LUKMAN KRESNO OKTAVIANTO H14054245
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
LUKMAN KRESNO OKTAVIANTO. Analisis Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM).
Perkebunan merupakan salah satu sub sektor bidang pertanian yang mempunyai potensi besar dan memegang peranan penting dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia pada umumnya. Pada tahun 2008 sub sektor perkebunan mempunyai kontribusi sebesar 14,86 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian atau kurang lebih sebesar 2,14 persen terhadap PDB (BI, 2009).
Sebagai salah satu komoditas perkebunan utama pada pasar minyak nabati dunia, CPO (Crude Palm Oil) juga tidak terlepas dari sasaran untuk tujuan konversi ke produk agrofuel. Agrofuel adalah bahan bakar yang berasal dari tanaman pertanian seperti kelapa sawit, jarak pagar, dan singkong. Terlepas dari konversi minyak sawit menjadi agrofuel, digunakannya CPO sebagai bahan baku agrofuel ditengarai telah berperan pada peningkatan harga minyak sawit di dunia, sebagaimana yang terjadi pada berbagai komoditas yang menjadi sasaran untuk digunakan sebagai bahan baku untuk agrofuel seperti kacang kedelai, dan jarak pagar. Hal ini diungkapkan dalam bentuk respon penawaran kelapa sawit dan perubahan luas areal kelapa sawit.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan luas areal dan produktivitas kelapa sawit di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menduga respon penawaran dari petani kelapa sawit dalam jangka pendek dan jangka panjang. Setelah faktor-faktor dan dugaan respon penawaran diketahui, maka akan dirumuskan implikasi kebijakan yang dapat diterapkan pada sektor perkebunan kelapa sawit.
Pada penelitian ini, model ekonometrika yang digunakan untuk mengestimasi respon penawaran adalah model Nerlove. Model Nerlove adalah model dinamis yang menyatakan bahwa output adalah fungsi dari harga yang diharapkan, penyesuaian areal, dan beberapa variabel eksogen lainnya. Bentuk yang tereduksi (reduced form) dari model Nerlove akan berbentuk model autoregressive karena model tersebut memasukkan nilai lag dari variabel dependen diantara variabel-variabel penjelasnya.
peningkatan harga CPO pada tahun sekarang maka petani akan merespon dengan menaikkan luas areal kelapa sawitnya pada tahun yang akan datang. Pada jangka panjang, respon luas areal kelapa sawit terhadap harga CPO mengalami peningkatan yaitu sebesar 0,2496. Ini menggambarkan bahwa para petani telah memahami bahwa pada jangka panjang, permintaan terhadap CPO sebagai bahan baku agrofuel akan semakin meningkat. Oleh karena itu, para petani memutuskan untuk mengkonversi sisa lahan yang dimiliki mereka menjadi areal perkebunan kelapa sawit guna meningkatkan respon penawaran mereka (IOPRI, 2008).
Hasil yang diberikan dari respon produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO dalam jangka pendek sebesar 0,0281 menggambarkan ketika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sekarang, maka petani akan meresponnya dengan meningkatkan produktivitas kelapa sawitnya pada tahun berikutnya. Pada jangka panjang, respon produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO mengalami sedikit peningkatan yaitu sebesar 0,0880. Dengan demikian, dapat dipastikan akan terjadi peningkatan produktivitas kelapa sawit dalam jangka pendek dan panjang.
Nilai respon penawaran kelapa sawit terhadap harga CPO baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek bertanda positif dan bersifat inelastis yaitu masing-masing sebesar 0,3377 dalam jangka panjang dan 0,0542 dalam jangka pendek. Hasil ini menggambarkan jika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sekarang maka akan direspon dengan meningkatkan penawaran kelapa sawit di Indonesia pada tahun berikutnya. Ini menjelaskan bahwa pada jangka pendek, beberapa faktor yang mempengaruhi luas areal bernilai tetap sementara dalam jangka panjang faktor-faktor tersebut sangat bervariasi. Para petani menggunakan acuan harga CPO tahun sebelumnya untuk meningkatkan penawarannya.
Oleh :
LUKMAN KRESNO OKTAVIANTO H14054245
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002
BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Oktober 1985 di Bandung. Penulis merupakan
anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Eddy Priandono dan Siti Kadariyah
Rahayu. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri Angkasa XII Kabupaten
Bandung yang kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 21 Bandung. Penulis kemudian
melanjutkan jenjang pendidikan di SMU Negeri 8 Bandung.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2005 melalui jalur
SPMB dan pada tahun berikutnya memilih Mayor Ilmu Ekonomi dan Minor Kebijakan
Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis cukup
aktif di beberapa kegiatan organisasi seperti SES-C (Sharia Economics Student Club) dan
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua karunia rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi
ini adalah “Analisis Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia”. Respon penawaran merupakan topik yang menarik untuk diangkat karena melihat berbagai
pengaruh harga (baik harga komoditi sendiri ataupun komoditi substitusi) dan biaya-biaya
input terhadap respon produksi para petani. Disamping hal tersebut, skripsi juga
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Keluarga penulis, Bapak Eddy Priandono, Ibu Siti Kadariyah Rahayu, Mas Yan,
dan Fina atas semua do’a dan dukungannya dalam penyusunan skripsi ini.
2. Dedi Budiman Hakim, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan baik secara teoritis dan teknis kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Wiwiek Rindayati selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menguji
dan memberikan masukan, kritik, dan ilmu yang bermanfaat dalam skripsi ini.
4. Tony Irawan, M.App.Ec selaku penguji komisi pendidikan yang telah
memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa dan pedoman penulisan
skripsi.
5. Iman Sugema, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan
bimbingan akademik kepada penulis selama menjadi mahasiswa di Departemen
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
6. Kepala Tata Usaha beserta staf pelaksana Departemen Ilmu Ekonomi atas
dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu Bapak Cecep,
Mas Anto, Mbak Atik, Mas Dede, Mas Ryan, Mas Anwar.
7. Pihak Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian yang telah
memberikan data statistik kelapa sawit periode 1969-2008.
8. Pihak Indonesian Palm Oil Research Institute yang telah memberikan informasi
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
11. Riza dan keluarga, Gerry, Adrian, Inna, Vagha, Amalia, Dhamar, Riri,
Nursechafia, Dewinta, Bayu, Adhitia, Arisa, Anggi, Reza, Ardani, Indra, Novi,
Dian, Nada, Istiana, Reni, Hendra, Rizkita, Surya, keluarga AK 6, tim futsal IE
42, dan teman-teman IE 42 serta seluruh civitas FEM dan InterCAFE atas
dukungan yang sangat berarti kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
Kalian adalah orang-orang yang dianugerahi pengetahuan, wawasan dan rasa
sosialitas yang tinggi dan tanpa kalian, diri ini takkan mampu tuk berdiri tegap
dan merasa berarti. Penghargaan setinggi-tingginya untuk kalian.
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang
membutuhkan. Sekali lagi, terima kasih banyak.
Bogor, Agustus 2009
Lukman Kresno Oktavianto
OLEH
LUKMAN KRESNO OKTAVIANTO H14054245
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
LUKMAN KRESNO OKTAVIANTO. Analisis Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM).
Perkebunan merupakan salah satu sub sektor bidang pertanian yang mempunyai potensi besar dan memegang peranan penting dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia pada umumnya. Pada tahun 2008 sub sektor perkebunan mempunyai kontribusi sebesar 14,86 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian atau kurang lebih sebesar 2,14 persen terhadap PDB (BI, 2009).
Sebagai salah satu komoditas perkebunan utama pada pasar minyak nabati dunia, CPO (Crude Palm Oil) juga tidak terlepas dari sasaran untuk tujuan konversi ke produk agrofuel. Agrofuel adalah bahan bakar yang berasal dari tanaman pertanian seperti kelapa sawit, jarak pagar, dan singkong. Terlepas dari konversi minyak sawit menjadi agrofuel, digunakannya CPO sebagai bahan baku agrofuel ditengarai telah berperan pada peningkatan harga minyak sawit di dunia, sebagaimana yang terjadi pada berbagai komoditas yang menjadi sasaran untuk digunakan sebagai bahan baku untuk agrofuel seperti kacang kedelai, dan jarak pagar. Hal ini diungkapkan dalam bentuk respon penawaran kelapa sawit dan perubahan luas areal kelapa sawit.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan luas areal dan produktivitas kelapa sawit di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menduga respon penawaran dari petani kelapa sawit dalam jangka pendek dan jangka panjang. Setelah faktor-faktor dan dugaan respon penawaran diketahui, maka akan dirumuskan implikasi kebijakan yang dapat diterapkan pada sektor perkebunan kelapa sawit.
Pada penelitian ini, model ekonometrika yang digunakan untuk mengestimasi respon penawaran adalah model Nerlove. Model Nerlove adalah model dinamis yang menyatakan bahwa output adalah fungsi dari harga yang diharapkan, penyesuaian areal, dan beberapa variabel eksogen lainnya. Bentuk yang tereduksi (reduced form) dari model Nerlove akan berbentuk model autoregressive karena model tersebut memasukkan nilai lag dari variabel dependen diantara variabel-variabel penjelasnya.
peningkatan harga CPO pada tahun sekarang maka petani akan merespon dengan menaikkan luas areal kelapa sawitnya pada tahun yang akan datang. Pada jangka panjang, respon luas areal kelapa sawit terhadap harga CPO mengalami peningkatan yaitu sebesar 0,2496. Ini menggambarkan bahwa para petani telah memahami bahwa pada jangka panjang, permintaan terhadap CPO sebagai bahan baku agrofuel akan semakin meningkat. Oleh karena itu, para petani memutuskan untuk mengkonversi sisa lahan yang dimiliki mereka menjadi areal perkebunan kelapa sawit guna meningkatkan respon penawaran mereka (IOPRI, 2008).
Hasil yang diberikan dari respon produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO dalam jangka pendek sebesar 0,0281 menggambarkan ketika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sekarang, maka petani akan meresponnya dengan meningkatkan produktivitas kelapa sawitnya pada tahun berikutnya. Pada jangka panjang, respon produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO mengalami sedikit peningkatan yaitu sebesar 0,0880. Dengan demikian, dapat dipastikan akan terjadi peningkatan produktivitas kelapa sawit dalam jangka pendek dan panjang.
Nilai respon penawaran kelapa sawit terhadap harga CPO baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek bertanda positif dan bersifat inelastis yaitu masing-masing sebesar 0,3377 dalam jangka panjang dan 0,0542 dalam jangka pendek. Hasil ini menggambarkan jika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sekarang maka akan direspon dengan meningkatkan penawaran kelapa sawit di Indonesia pada tahun berikutnya. Ini menjelaskan bahwa pada jangka pendek, beberapa faktor yang mempengaruhi luas areal bernilai tetap sementara dalam jangka panjang faktor-faktor tersebut sangat bervariasi. Para petani menggunakan acuan harga CPO tahun sebelumnya untuk meningkatkan penawarannya.
Oleh :
LUKMAN KRESNO OKTAVIANTO H14054245
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002
BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Oktober 1985 di Bandung. Penulis merupakan
anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Eddy Priandono dan Siti Kadariyah
Rahayu. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri Angkasa XII Kabupaten
Bandung yang kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 21 Bandung. Penulis kemudian
melanjutkan jenjang pendidikan di SMU Negeri 8 Bandung.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2005 melalui jalur
SPMB dan pada tahun berikutnya memilih Mayor Ilmu Ekonomi dan Minor Kebijakan
Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis cukup
aktif di beberapa kegiatan organisasi seperti SES-C (Sharia Economics Student Club) dan
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua karunia rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi
ini adalah “Analisis Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia”. Respon penawaran merupakan topik yang menarik untuk diangkat karena melihat berbagai
pengaruh harga (baik harga komoditi sendiri ataupun komoditi substitusi) dan biaya-biaya
input terhadap respon produksi para petani. Disamping hal tersebut, skripsi juga
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Keluarga penulis, Bapak Eddy Priandono, Ibu Siti Kadariyah Rahayu, Mas Yan,
dan Fina atas semua do’a dan dukungannya dalam penyusunan skripsi ini.
2. Dedi Budiman Hakim, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan baik secara teoritis dan teknis kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Wiwiek Rindayati selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menguji
dan memberikan masukan, kritik, dan ilmu yang bermanfaat dalam skripsi ini.
4. Tony Irawan, M.App.Ec selaku penguji komisi pendidikan yang telah
memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa dan pedoman penulisan
skripsi.
5. Iman Sugema, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan
bimbingan akademik kepada penulis selama menjadi mahasiswa di Departemen
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
6. Kepala Tata Usaha beserta staf pelaksana Departemen Ilmu Ekonomi atas
dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu Bapak Cecep,
Mas Anto, Mbak Atik, Mas Dede, Mas Ryan, Mas Anwar.
7. Pihak Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian yang telah
memberikan data statistik kelapa sawit periode 1969-2008.
8. Pihak Indonesian Palm Oil Research Institute yang telah memberikan informasi
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
11. Riza dan keluarga, Gerry, Adrian, Inna, Vagha, Amalia, Dhamar, Riri,
Nursechafia, Dewinta, Bayu, Adhitia, Arisa, Anggi, Reza, Ardani, Indra, Novi,
Dian, Nada, Istiana, Reni, Hendra, Rizkita, Surya, keluarga AK 6, tim futsal IE
42, dan teman-teman IE 42 serta seluruh civitas FEM dan InterCAFE atas
dukungan yang sangat berarti kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
Kalian adalah orang-orang yang dianugerahi pengetahuan, wawasan dan rasa
sosialitas yang tinggi dan tanpa kalian, diri ini takkan mampu tuk berdiri tegap
dan merasa berarti. Penghargaan setinggi-tingginya untuk kalian.
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang
membutuhkan. Sekali lagi, terima kasih banyak.
Bogor, Agustus 2009
Lukman Kresno Oktavianto
DAFTAR TABEL ………... iii
1.4. Manfaat Penelitian ……….. 14
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ………... 14
II. TINJAUAN PUSTAKA ………. 15
2.1. Profil Kelapa Sawit ………... 15
2.2. Aspek Ekonomis dan Pengolahan Kelapa Sawit ... 15
2.3. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia ……….. 18
2.4. Tinjauan Kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Minyak Sawit ………..……….. 20
2.5. Kerangka Pemikiran Teoritis ……….….… 22
2.5.1. Penawaran ……….. 22
2.5.2. Respon Penawaran ……… 23
2.5.2.1. Perubahan Jumlah Produksi Menurut Perubahan Areal dan Produktivitas ………..…… 25
2.5.2.2. Respon Penawaran melalui Respon Areal dan Respon Produktivitas ……… 26
2.5.2.3. Respon Beda Kala (Lag) dalam Komoditi Pertanian ……… 28
2.5.2.4. Model Lag yang Didistribusikan ……… 29
2.5.2.5. Model Nerlove ……… 31
2.6. Kerangka Pemikiran Konseptual ………. 34
2.7. Penelitian Terdahulu ………...…………. 37
2.6.1. Penelitian Mengenai CPO ……….. 37
2.8. Hipotesis Penelitian ………...…. 41
III. METODE PENELITIAN ………... 42
3.1. Jenis dan Sumber Data ……….……… 42
3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data …..……….. 42 3.3. Spesifikasi Model Analisis ………...………... 43 3.3.1. Model Respon Luas Areal ………. 44 3.3.2. Model Respon Produktivitas ……….………. 46 3.3.3. Spesifikasi Variabel …….………….……… 48 3.3.4. Model Respon Penawaran ……… 51 3.4. Pengujian Model dan Hipotesis ……….. 53 3.4.1. Uji Kesesuaian Model ………..………. 53 3.5. Definisi Operasional ………...…………. 60
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 62
4.1. Estimasi Parameter Model ……….. 62 4.1.1. Respon Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia ……… 62 4.1.2. Respon Produktivitas Kelapa Sawit Indonesia …… 67 4.2. Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia …………. 71
4.3. Implikasi Kebijakan …..………..…… 74
V. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 76
5.1. Kesimpulan ……….……. 76
5.2. Saran ……… 78
DAFTAR PUSTAKA ………. 79
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1980-2010 ……... 2 1.2. Luas Areal CPO, Produksi Perkebunan CPO Seluruh Indonesia, Harga
CPO, dan Harga CO ………... 5
1.3. Volume dan Nilai Ekspor Impor Kelapa Sawit Indonesia ……… 7 2.1. Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun
2000-2008 ……… 19
4.1. Hasil Estimasi Parameter Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia …………. 63 4.2. Hasil Estimasi Parameter Produktivitas Kelapa Sawit di Indonesia ………. 67 4.3. Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia dalam Jangka Pendek dan
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1. Pangsa Ekspor Negara Produsen CPO ………... 3 1.2. Harga Mingguan Minyak Mentah Indonesia ………. 4
Korelasi Harga CPO dan Harga CO ……….. 6
Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit ……….. 9
Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit ……….. 10
Rata-rata Persentase Pertumbuhan Harga CPO ……… 11
Rata-rata Persentase Pertumbuhan Produksi Kelapa Sawit ………... 12
2.1. Pohon Industri Kelapa Sawit………. 17
2.2. PerkembanganProduksi Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan
Tahun 2000-2008……… 20
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Tabel Uji Normalitas Model Respon Luas Areal Kelapa Sawit dan Model Respon Produktivitas Kelapa Sawit ……….……... 85 2. Tabel Uji Multikolinieritas (Variance Inflation Factor) Model Respon
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara tropis di dunia yang mempunyai
kekayaan alam yang melimpah. Indonesia mempunyai luas daratan sebesar
2.027.087 km2 dengan luas lautan sebesar 3.166.163 km2 dari total luas area
Indonesia yang mencapai 5.193.250 km2 dan inilah yang menjadikan Indonesia
menjadi negara kepulauan terbesar di dunia (BPS, 2006). Sektor-sektor pertanian,
peternakan, perikanan, hingga sektor pariwisata memiliki potensi yang besar
untuk dikembangkan.
Perkebunan merupakan salah satu sub sektor bidang pertanian yang
mempunyai potensi besar dan memegang peranan penting dalam pembangunan
pertanian dan perekonomian Indonesia pada umumnya. Pada tahun 2008 sub
sektor perkebunan mempunyai kontribusi sebesar 14,86 persen terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian atau kurang lebih sebesar 2,14 persen
terhadap PDB (BI, 2009).1
Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit mentah yang dihasilkan dari
komoditi perkebunan kelapa sawit kini telah menjadi primadona dan komoditi
ekspor andalan Indonesia. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya perkebunan
kelapa sawit yang dikembangkan di daerah luar pulau Jawa seperti Sumatera,
Sulawesi, dan Kalimantan. Selain itu komoditi ini juga memiliki keunggulan
komparatif dilihat dari segi budidaya, karena tanaman ini merupakan jenis
tanaman tropik dan dari segi luas area total sampai yahun 2006, Indonesia
mempunyai areal kelapa sawit terluas di dunia, yaitu 6,594 juta hektar (Tabel 1.1).
Tabel 1.1. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1980-2008
Luas Areal (000 Ha) Produksi CPO (000 ton) Tahun PR PBN PBS Nasional PR PBN PBS Nasional
1980 6 200 84 290 1 499 221 721
1990 291 372 463 1.126 377 1.247 179 1.803
1995 659 405 962 2.026 1.001 1.614 1.864 4.479
1996 739 427 1.084 2.250 1.134 1.707 2.058 4.899
1997 813 517 1.592 2.922 1.283 1.587 2.578 5.448
1998 891 557 2.113 3.561 1.345 1.502 3.084 5.931
1999 1.041 577 2.284 3.902 1.548 1.469 3.439 6.456
2000 1.167 588 2.403 4.158 1.906 1.461 3.634 7.001
2001 1.561 610 2.542 4.713 2.798 1.519 4.079 8.396
2002 1.808 632 2.627 5.067 3.427 1.608 4.588 9.623
2003 1.854 663 2.766 5.283 3.517 1.751 5.173 10.441
2004 2.220 606 2.459 5.285 3.847 1.618 5.366 10.831
2005 2.356 530 2.567 5.454 4.500 1.449 5.911 11.861
2006 2.549 687 3.357 6.594 5.783 2.313 9.254 17.350
2007 2.565 687 3.358 6.611 5.895 2.313 9.254 17.373
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009
Keterangan : **) Angka Estimasi
: PR : Perkebunan Rakyat
: PBN : Perkebunan Besar Negara : PBS : Perkebunan Besar Swasta
Dalam perekonomian Indonesia, kelapa sawit berperan sebagai
penerimaan negara dari sektor non-migas yang cukup besar. Industri kelapa sawit
di Indonesia juga menarik banyak perhatian mengingat kontribusinya yang sangat
Saat ini, kelapa
ebunan kelapa sawit dikelola oleh 2.733.857 peta
tu 1.500.719 orang bekerja pada sektor Perkebun
areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 20
nyebaran luas areal kelapa sawit juga tersebar
alimantan. Tercatat total luas areal perkebunan ke
Pekebunan Negara, dan Perkebunan Swasta)
2008 adalah 4.895.022 hektar sedangkan luas ar
ntan adalah 1.819.788 hektar. Kemudian pada ta
negara penghasil CPO terbesar dunia dengan tota
n. Perkebunan, 2008). Dari segi pangsa ekspor,
ng kompetitif. Pada tahun 2005, pangsa ekspor In
1 persen sedangkan Malaysia sebesar 45 persen
esian Palm Oil Commision (IPOC), 2007 (diolah) ar 1.1. Pangsa Ekspor Negara Produsen CPO
Melihat fakta ini, keunggulan lain yang dimiliki oleh komoditas kelapa
sawit yang menghasilkan CPO adalah luas areal yang sangat memungkinkan
untuk pengembangan industri CPO di Indonesia. Market share Indonesia sebesar
41 persen yang membuat Indonesia lebih kompetitif, dan kontribusi ekspor CPO
terhadap perekonomian Indonesia khususnya pada sektor non migas adalah
tertinggi dibandingkan ekspor komoditas perkebunan lainnya.
Pada tahun 2006, pemerintah mencanangkan kebijakan agrofuel karena
selain dibuat dari minyak sawit dan ramah lingkungan, program ini juga bertujuan
untuk menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, menguatkan
ekonomi, dan meningkatkan kualitas lingkungan. Agrofuel adalah bahan bakar
yang berasal dari tanaman pertanian seperti kelapa sawit, jarak pagar, dan
singkong.
Sumber : Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, Harga Minyak Bumi Indonesia Tahun 2007 (diolah)
Gambar 1.2. Rata-Rata Harga Mingguan Minyak Mentah Indonesia
Melihat kondisi tersebut, pemanfaatan CPO sebagai bahan baku agrofuel
kondisi bahan bakar fosil yang harganya meningkat (Gambar 1.2) menyebabkan
banyaknya negara mencari sumber-sumber energi alternatif, yaitu bioenergi.
Tabel 1.2. Luas Areal CPO, Produksi Perkebunan CPO Seluruh Indonesia, Harga CPO, dan Harga CO.
Tahun Produksi CPO
Luas Areal
Tanam Produktivitas Harga CPO Harga CO
ton Ha ton/Ha Rp/Kg Rp/Kg
Sumber : Departemen Pertanian, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009
dan Harga Minyak Bumi Indonesia Tahun 2007 (diolah)
Peningkatan permintaan CPO menyebabkan harga CPO akan terus
meningkat. Peningkatan harga ini juga disebabkan oleh peningkatan permintaan
harga minyak bumi (CO, Crude Oil) adalah US$ 22 per barrel, maka pada bulan
Juli tahun 2007 harga minyak bumi telah mencapai kisaran US$ 75 per barrel.
Namun bisa dilihat bahwa harga CPO pada kisaran tahun 1998 sampai
tahun 2002 mengalami fluktuasi (Tabel 1.2). Selain karena dampak krisis
ekonomi tahun 1997/1998, hal ini juga dipengaruhi oleh harga minyak goreng dari
bahan lain di dunia seperti zaitun dan kedelai. Seperti yang telah diketahui bahwa
CPO juga dijadikan bahan baku minyak goreng sawit. Saat ini, sumbangan
minyak kedelai masih yang terbesar dalam pasar minyak goreng dunia.
Pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2006, harga minyak bumi
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa
ketersediaan minyak bumi telah berkurang yang ditandai dengan kenaikan harga
(Tabel 1.2).
Sumber : Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, Harga Minyak Bumi Indonesia Tahun 2007 (diolah)
Pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998, harga CPO turun drastis dari
Rp. 1.697,80 per Kg menjadi Rp. 769, 30 per Kg. Sedangkan harga CO juga
mengalami sedikit penurunan dari Rp. 1.158,2 per Kg menjadi Rp. 1.106,013 per
Kg. Namun, keadaan ini justru ditanggapi dengan kenaikan luas areal tanam
kelapa sawit dari 2.516.079 hektar menjadi 2.788.783 hektar. Bila keadaan ini
diturunkan dalam bentuk grafik (Gambar 1.3), maka dapat disimpulkan bahwa
harga CPO dan harga CO berkorelasi positif setiap tahun dan hal ini
mengisyaratkan bahwa peran CPO sebagai komoditas bahan makanan mulai
bergeser menjadi komoditas energi.
Tabel 1.3. Volume dan Nilai Ekspor Impor Kelapa Sawit Indonesia
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009
Menghadapi permintaan pasar luar negeri baik sebagai bahan baku
agrofuel dan konsumsi bahan pangan yang dalam hal ini adalah minyak goreng
sawit, Indonesia memiliki barganing position yang kuat. Salah satu penyebabnya
adalah iklim tropis Indonesia yang mendukung perkebunan CPO sehingga
Naiknya harga energi berdampak langsung pada harga produk pertanian
melalui kenaikan biaya input seperti pupuk, dan biaya transportasi (Nainggolan
dan Suprapto, 2007). Pencarian bahan bakar alternatif bersumber bioenergi
memang telah memberikan persaingan terhadap sumber daya pangan. Hal ini
dapat terjadi jika lahan dan sumber daya produktif pertanian berubah menjadi
sumber daya untuk pasokan energi. Secara makro ekonomi, alasan peningkatan
harga bahan pangan dapat dijelaskan pada sisi penawaran. Pada sisi penawaran,
peningkatan harga minyak bumi telah menyebabkan peningkatan biaya produksi
pertanian, dan juga menyebabkan lahan pertanian diubah dari keperluan produksi
bahan pangan menjadi keperluan produksi bahan baku untuk biofuel.
Berdasarkan uraian di atas, akan menarik apabila melihat bagaimana
pengaruh berbagai komoditas yang lain yang terkait dengan kelapa sawit baik
langsung maupun tidak langsung. Menarik juga bila melihat bagaimana pengaruh
biaya input seperti pupuk dan upah tenaga kerja terhadap respon penawaran
kelapa sawit.
1.2. Permasalahan
Harga dunia minyak bumi yang melambung hingga mencapai US$ 140 per
barel pada Juni 2008 membuat negara-negara baik negara maju maupun negara
berkembang termasuk Indonesia mengalami kenaikan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) sehingga meningkatkan biaya produksi dalam negerinya. Tidak hanya
sektor industri yang terkena dampak, tetapi juga sektor-sektor lain termasuk
program pun dirumuskan untuk mencari solusi dari krisis energi ini. Salah satu
cara yang ditempuh adalah mencoba untuk mengganti bahan bakar berbahan baku
fosil menjadi bahan bakar alternatif berbahan baku nabati. Beberapa komoditas
pertanian pun bertambah fungsinya tidak hanya digunakan untuk kebutuhan
pangan tetapi juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi.
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009 (diolah)
Gambar. 1.4. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit
Sebagai salah satu komoditas utama pada pasar minyak nabati dunia, CPO
juga tidak terlepas dari sasaran untuk tujuan konversi ke produk agrofuel.
Terlepas dari konversi minyak sawit menjadi agrofuel, digunakannya CPO
sebagai bahan baku agrofuel ditengarai telah berperan pada peningkatan harga
minyak sawit di dunia, sebagaimana yang terjadi pada berbagai komoditas yang
kacang kedelai, dan jarak pagar2.Hal ini diungkapkan dalam bentuk respon
penawaran kelapa sawit dan perubahan luas areal kelapa sawit.
Berdasarkan Gambar 1.4, perkembangan luas areal kelapa sawit sejak
tahun 1969 mengalami peningkatan secara berkelanjutan. Pada saat Perkebunan
Besar Swasta (PBS) masuk pada tahun 1980, perkembangan luas areal mulai
meningkat. Memasuki tahun 2000, peningkatan luas areal meningkat secara tajam
karena pada tahun tersebut timbul isu agrofuel. Trend peningkatan luas areal
(Gambar 1.4) menggambarkan peningkatan permintaan atas CPO yang terjadi
akan produk olahannya seperti ekspor CPO ke China, India, dan Belanda untuk
diolah menjadi minyak goreng sawit dan berbagai produk olahan kimia lainnya
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009 (diolah)
Gambar. 1.5. Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit
2
Berdasarkan Gam
Jika harga input terlalu
menjadi meningkat yang
an oleh besarnya biaya-biaya input yang juga fluk
dijelaskan sebelumnya bahwa naiknya har
pada harga produk pertanian melalui kenaikan b
lu tinggi, maka akan membuat biaya produksi d
ang membuat petani akan mengurangi produksin
tput. Penetapan harga output berupa harga dasar y
ngat penting untuk dilakukan mengingat har
u insentif terbesar yang mempengaruhi keputu
mengurangi produksinya.
deral Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit I
olah)
bar. 1.6. Persen Pertumbuhan Harga CPO.
Berdasarkan Ga
ambar 1.6, rata-rata persentase petumbuhan h
i tahun 1970 hingga 2006 mengalami peningka
at dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti dite
ataupun peningkatan permintaan terhadap CP
a garis besar, fluktuasi harga CPO mempengaru
eral Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit I
lah)
.7. Persen Pertumbuhan Produksi Kelapa Sawit.
ambar 1.7, rata-rata persentase petumbuhan produ
dari tahun 1970 hingga 2006 mengalami peningk
maupun dalam hal penggunaan faktor-faktor produksi yang didekati melalui
respon luas areal tanam dan respon produktivitas. Alasannya adalah penggunaan
luas areal tanam dan produktivitas sebagai variabel tidak bebas dapat dengan
mudah ditentukan atau dikontrol oleh para petani (Askari dan Cummings, 1977).
Semua keputusan tersebut semata-mata didasarkan pada prinsip efisiensi dalam
menentukan alokasi yang optimal dari sarana produksi yang berorientasi pada
keuntungan atau pendapatan petani.
Dengan demikian, akan menjadi sangat penting untuk melihat bagaimana
respon penawaran dari para petani terhadap berbagai stimulus pasar yang terjadi
seperti harga (harga komoditi sendiri dan komoditi substitusi) dan biaya-biaya
input sehingga dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan luas areal dan
produktivitas kelapa sawit di Indonesia?
2. Bagaimana respon penawaran dari petani kelapa sawit dalam jangka
pendek dan jangka panjang?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan
penelitian ini adalah :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan luas areal dan
produktivitas kelapa sawit di Indonesia.
2. Menduga respon penawaran dari petani kelapa sawit dalam jangka pendek
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah dan
instansi-instansi terkait, baik swasta maupun negeri dalam merumuskan kebijakan
pengelolaan kelapa sawit sehingga mampu meningkatkan produktivitas. Penelitian
ini selain bermanfaat bagi peneliti karena mampu mengaplikasikan ilmu yang
dipelajari selama perkuliahan, juga diharapkan bermanfaat bagi para pembaca
sebagai sarana menambah wawasan dan bahan penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
produksi kelapa sawit yang diestimasi dengan perubahan luas areal dan
produktivitas kelapa sawit di Indonesia. Penelitian ini juga terkonsentrasi pada
dugaan elastisitas penawaran dari petani baik dalam jangka panjang maupun
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Profil Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit merupakan komoditas andalan perkebunan dalam
negeri, karena memiliki andil yang besar sebagai pemasok devisa negara.
Walaupun kelapa sawit bukan merupakan tanaman asli Indonesia, namun tanaman
ini dapat berkembang dengan baik karena mampu beradaptasi dengan iklim
Indonesia (Ditjen Perkebunan, 2006).
Dari segi pemanfaatannya, kelapa sawit dapat diolah menjadi berbagai
produk. Saat ini, industri hilir kelapa sawit telah mampu mengolah mulai dari
daging buah, biji, tandan kosong, hingga batangnya. Komoditas ini sangat
ekonomis karena memiliki berbagai kegunaan baik untuk industri pangan maupun
non pangan. Namun, perkembangan produk kelapa sawit lebih cenderung ke arah
pengembangan produk pangan (sekitar 90 persen) dan sisanya ke arah
produk-produk non pangan atau produk-produk oleokimia (sekitar 10 persen). Dalam hal pangan,
sebagian besar minyak sawit digunakan untuk pembuatan minyak goreng dan
sebagian untuk pembuatan margarin (Hariyadi et al, 2003)
2.2. Aspek Ekonomis dan Pengolahan Kelapa Sawit
Gambar 1 merupakan gambar pohon industri kelapa sawit yang
menunjukan setiap bagian dari kelapa sawit yang memiliki nilai ekonomi. Tandan
buah segar kelapa sawit terbagi menjadi 3 bagian yaitu buah, tandan kosong, dan
tempurung, dan serat dapat diolah menjadi berbagai produk turunannya. Gambar
2.1 juga menggambarkan suatu model pasar, di mana proses merupakan hubungan
yang terintegrasi satu sama lain.
Buah kelapa sawit dalam pengolahannya menghasilkan dua jenis minyak.
Minyak yang berasal dari daging buah (mesocarp) berwarna merah dikenal
sebagai minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO), sedangkan
minyak yang kedua berasal dari inti kelapa sawit atau kernel palm oil (KPO).
Selain minyak, buah kelapa sawit juga menghasilkan bahan padatan berupa sabut,
cangkang (tempurung) dan tandan buah kosong kelapa sawit. Bahan padatan ini
dapat dimanfaatkan untuk sumber energi, pupuk, makanan ternak, dan bahan
untuk industri.
Seperti yang telah diketahui bahwa produk kelapa sawit dapat
dikelompokan dalam jenis bahan makanan (oleofood), bahan non makanan
(oleochemical), bahan kosmetika, dan farmasi. Minyak kelapa sawit dan inti
kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan pangan diperoleh melalui proses
3
2
Pada umumnya, sebagian besar CPO difraksinasi sehingga menghasilkan
fraksi olein (cair) dan fraksi stearin (padat). Fraksi olein digunakan untuk bahan
pangan, dan fraksi stearin (padat) digunakan untuk keperluan non pangan. Bahan
pangan dengan bahan baku olein antara lain : minyak goreng, mentega, industri
makanan ringan, dan sebagainya.
Minyak kelapa sawit sebagai bahan non pangan dapat digunakan untuk
bahan industri ringan maupun berat, antara lain untuk industri penyamakan kulit
agar menjadi lembut dan fleksibel. Industri tekstil menggunakan minyak sawit
sebagai pelumas yang tahan terhadap tekanan dan suhu tinggi. Pada industri
ringan dipakai sebagai bahan baku sabun, deterjen, semir sepatu, lilin, tinta cetak,
dan sebagainya (Ditjen Perkebunan, 2006)
Selain untuk industri bahan pangan dan non pangan, minyak kelapa sawit
juga mempunyai potensi yang cukup besar untuk industri kosmetik dan farmasi.
Sifat minyak kelapa sawit yang mudah diabsorbsi kulit, banyak dipakai untuk
pembuatan shampo, minyak rambut, lipstik, dan sebagainya.
2.3. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia
Sejak tahun 1967, luas areal kelapa sawit tumbuh dengan cepat. Hal ini
juga disebabkan oleh upaya pemerintah yang ingin mengembangkan tanaman
perkebunan sebagai komoditi ekspor. Perkebunan kelapa sawit menurut
pengusahaan dibagi menjadi tiga, yaitu Perkebunan Besar Negara (PBN),
Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan Perkebunan Rakyat (PR). Berdasarkan data
produksi kelapa sawit hingga tahun 1980. Kemudian sampai dengan tahun 1988,
perkebunan kelapa sawit didominasi oleh PBN, dan kemudian digantikan oleh
PBS hingga saat ini. Menurut pendistribusian lahannya, propinsi Riau memiliki
lahan yang paling luas yang kemudian diikuti oleh Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, dan Jambi. (Ditjen Perkebunan, 2006)
Tabel 2.1. Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2000-2008* (Ha)
Tahun PR PBN PBS Jumlah
2000 1.166.758 588.125 2.403.194 4.158.077
2001 1.561.031 609.947 2.542.457 4.713.435
2002 1.808.424 631.566 2.627.068 5.067.058
2003 1.854.394 662.803 2.766.360 5.283.557
2004 2.220.338 605.865 2.458.520 5.284.723
2005 2.356.895 529.854 2.567.068 5.453.817
2006 2.549.572 687.428 3.357.914 6.594.914
2007 2.752.172 606.248 3.408.416 6.766.836
2008*) 2.903.332 607.419 3.497.125 7.007.876
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009
Keterangan : *) Angka estimasi
: PR : Perkebunan Rakyat : PBN : Perkebunan Besar Negara : PBS : Perkebunan Besar Swasta
Bersamaan dengan perkembangan luas areal yang telah mencapai
6.766.836 hektar pada tahun 2007 (Tabel 2.1), produksi minyak kelapa sawit pun
ikut berkembang pesat. Pertumbuhan produksi kelapa sawit Indonesia paling
tinggi diantara negara produsen CPO lainnya dalam 8 tahun terakhir, yaitu
2000-2007, atau tumbuh lebih dari 2 kali lipat dari 7,44 juta ton menjadi 17,66 juta ton
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009 (diolah)
Gambar 2.2. Perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2000-2008*) (Ton)
2.4. Tinjauan Kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Minyak Sawit
Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah pada sektor
industri kelapa sawit tidak hanya dari sisi peningkatan produksi, namun yang
lebih kompleks pada sisi pengaturan tataniaga minyak sawit. Berbagai instrumen
telah diaplikasikan untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : (1) pengendalian laju
inflasi dan mencegah penurunan pendapatan masyarakat, dan (2) pengendalian
pasokan minyak sawit kasar di dalam negeri melalui pembatasan ekspor untuk
menjaga kestabilan harga minyak goreng (Amang dalam Wardani 2008).
Beberapa instrumen kebijakan pemerintah yang digunakan untuk
mencapai tujuan tersebut adalah (1) penetapan pungutan ekspor, (2) penetapan
-2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008*)
alokasi kebutuhan dalam negeri berupa pembatasan ekspor, (3) pemupukan
cadangan penyangga minyak sawit kasar, dan (4) pelarangan ekspor. Instrumen
yang sangat populer dan banyak menimbulkan kontroversi antar pihak-pihak yang
berkepentingan adalah pajak ekspor (tax export) dan pelarangan ekspor (export
ban).
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 Tentang
Pengembangan Pola Perkebunan, seluruh perusahaan kelapa sawit harus
membangun kemitraan (kebun plasma) dengan kebun inti dengan menggunakan
pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Pola PIR adalah pola pelaksanaan
pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti
yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai
plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh, dan
berkesinambungan dalam jangka waktu tertentu.
Pengembangan perkebunan dengan pola PIR dilakukan untuk membangun
dan membina perkebunan rakyat di wilayah baru dengan teknologi maju agar
mampu memperoleh pendapatan yang layak serta meningkatkan kegiatan
transmigrasi dengan mewujudkan suatu sistem pengelolaan usaha yang
2.5. Kerangka Pemi
ran adalah peyajian penawaran dalam bentuk gra
hedule) yang menggambarkan jumlah yang akan
-harga alternatif komoditi tersebut. Kurva
an antara jumlah atau kuantitas yang ditawarkan
ap sama. Kemiringan positif menunjukkan bahwa
awarkan bervariasi dalam arah yang sama deng
an kurva penawaran yang menggambarkan hubun
dengan harga. Pergeseran kurva penawaran terj
g mempengaruhi jumlah yang ditawarkan suatu p
ti itu sendiri berubah, misalnya harga input,
diti lain, dan tujuan perusahaan (Lipsey, 1995).
Pergerakan kurva penawaran dari kiri bawah ke kanan atas dalam satu
kurva (misalkan S0) menunjukkan bahwa jika harga komoditi sendiri tinggi maka
penjual atau produsen akan menjual dalam jumlah yang lebih banyak. Sedangkan
kurva penawaran akan bergeser dari S0 ke S1 apabila faktor selain harga komoditi
sendiri seperti harga komoditi pesaing mengalami peningkatan. Jika harga
komoditi pesaing meningkat dan dengan asumsi bahwa petani akan menanam
komoditi yang lebih menguntungkan, maka petani akan mengurangi jumlah
penawaran komoditi sendiri dan meningkatkan jumlah penawaran terhadap
komoditi pesaing begitu juga sebaliknya.
Menurut Lipsey (1995), jumlah yang akan dijual oleh perusahaan disebut
kuantitas yang ditawarkan untuk komoditi itu. Kuantitas atau jumlah yang
ditawarkan merupakan arus, yaitu banyaknya per satuan waktu. Satu hipotesis
ekonomi yang mendasar adalah bahwa untuk kebanyakan komoditi, harga
komoditi dan kuantitas atau jumlah yang akan ditawarkan berhubungan secara
positif, dengan faktor yang lain tetap sama. Dengan kata lain, makin tinggi harga
suatu komoditi, makin besar jumlah komoditi yang akan ditawarkan, semakin
rendah harga, semakin kecil jumlah komoditi yang ditawarkan.
2.5.2. Respon Penawaran
Kelapa sawit termasuk golongan tanaman tahunan (perennial crop),
dengan karakteristik adanya tenggang waktu yang cukup panjang antara saat
tanam dengan pertama kali dipanen, yaitu sekitar 3-4 tahun. Oleh karena itu,
harus mempertimbangkan tenggang waktu antara saat tanam dan saat panen
pertama kali, termasuk penanaman dan penggantian tanaman (Labys, 1973).
Kendala yang dihadapi adalah tidak tersedianya data yang memadai, terutama
untuk penggantian tanaman. Karenanya, sering dilakukan pendekatan yang lebih
sederhana, namun cukup representatif.
Menurut Abedullah dan Ali (1998), respon produksi dari produsen sebuah
komoditi diasumsikan merupakan fungsi dari harga yang diharapkan dari
komoditi itu sendiri (P*t), harga yang diharapkan dari komoditi lain (P*jt), harga
input ( ), dan faktor tetap ( ), atau dapat dituliskan sebagai berikut :
Y*t = f (P*t, P*jt, Wt, Zt, *, *, *, *) (2.1)
Dengan :
Y*t = tingkat produksi yang diharapkan dari petani suatu komoditi
sebagai respon dari perubahan harga yang diharapkan pada
waktu ke t.
*
, *, *, * = parameter respon produksi dalam jangka panjang dari suatu
komoditi sebagai respon terhadap harga sendiri, harga `komoditi
lain, harga input, dan faktor tetap.
j = komoditi alternatif.
Jika mengasumsikan petani mempunyai motivasi untuk memaksimumkan
keuntungan, maka * akan positif dan * akan negatif. Sedangkan * akan positif
jika komoditi bersangkutan dengan komoditi j bersifat komplementer, dan
nol jika tidak berkaitan. Sementara * akan bernilai positif atau nol tergantung
peran dari input tetap tersebut terhadap produksi.
Jika kurva supply menggambarkan hubungan antara harga dan kuantitas
dengan asumsi cateris paribus atau menganggap semua faktor lain konstan, maka
respon penawaran menggambarkan respon output terhadap perubahan harga
dengan tidak menahan faktor lain konstan. Di dalam ilmu ekonomi respon
penawaran berarti variasi dari output pertanian dan luas areal dalam kaitannya
dengan perubahan harga (Ghatak dan Ingersent, 1984).
2.5.2.1. Perubahan Jumlah Produksi Menurut Perubahan Areal dan Produktivitas
Menurut Tomek dan Robinson (1972), hal-hal yang umumnya
menyebabkan perubahan dalam hal produksi adalah perubahan harga input
(faktor), perubahan tingkat profitabilitas komoditi alternatifnya, perubahan dalam
teknologi yang mempengaruhi baik produktivitas maupun biaya produksi atau
efisiensi, dan perubahan harga dari komoditi yang diproduksi secara bersamaan
(joint products). Pendugaan respon penawaran sederhana dapat didekati melalui
konsep bahwa jumlah produksi pertanian adalah hasil perkalian antara luas areal
tanam dengan produktivitasnya (Ghatak dan Ingersent, 1984). Secara matematis
dapat dituliskan sebagai berikut :
Dengan :
QRt = Produksi CPO pada tahun t
ARt = Luas areal CPO yang menghasilkan pada tahun t
YRt = Produktivitas CPO pada tahun t
Luas areal kelapa sawit dipengaruhi oleh luas areal yang ditanam, di mana
luas areal yang ditanam itu sendiri dipengaruhi oleh harga CPO yang terjadi saat
itu. Tanaman kelapa sawit mulai berproduksi pada tahun kelima hingga keenam
setelah tanam. Namun dengan diterapkannya teknologi maju budidaya kelapa
sawit, maka dapat dipersingkat menjadi tidak lebih dari empat tahun dan juga
dapat meningkatkan produktivitas tanaman (Darminta, 1995).
Jika dihubungkan secara langsung, maka luas areal tanam merupakan
fungsi dari harga CPO pada saat masa panen tersebut dan harga pada saat tanam.
Ini merupakan representasi dari jenis fungsi penyesuaian parsial Nerlove yang
melibatkan bedakala (lag) peubah harga yang cukup panjang (Hallam, 1990).
2.5.2.2. Respon Penawaran Melalui Respon Areal dan Respon Produktivitas
Konsep respon penawaran tercermin dalam elastisitas penawaran.
Elastisitas penawaran ini mengukur ketanggapan kuantitas yang ditawarkan
terhadap peubah-peubah yang mempengaruhinya dengan nilai antara nol sampai
tak terhingga.
Jika kurva penawarannya vertikal, maka jumlah yang ditawarkan tidak
akan berubah dengan adanya perubahan harga atau elastisitas penawarannya sama
elastisitas penawaran yang tingginya tak terhingga di mana penurunan harga
sedikit saja dapat menurunkan jumlah yang akan ditawarkan oleh produsen dari
jumlah yang tak terhingga besarnya menjadi nol (Lipsey, 1995). Di antara kedua
elastisitas penawaran yang ekstrim ini, terdapat berbagai variasi bentuk kurva
penawaran.
Pada umumnya produk pertanian memiliki elastisitas penawaran kurang
dari satu (cenderung inelastis). Hal ini disebabkan pada saat permintaan turun,
tanah, tenaga kerja, dan mesin yang ditujukan untuk pemakaian pertanian tidak
ditransfer dengan cepat ke pemakaian non pertanian. Hal yang sebaliknya terjadi
untuk kondisi yang berlawanan (Lipsey, 1995).
Berdasarkan uraian di atas, fungsi areal panen dapat dirumuskan (Ghatak
dan Ingersent, 1984) :
ARt = f(PRt, PSt, PFt, UPHt, ARt-1) (2.3)
Dengan :
PRt = Harga CPO ditingkat petani pada tahun t
PSt = Harga komoditi alternatif pada tahun t
PFt = Harga Pupuk pada tahun t
UPHt = Upah tenaga kerja pada tahun t
ARt-1 = Peubah beda kala dari ARt
Kemudian, respon penawaran dapat diturunkan dari persamaan (2.2)
terhadap perubahan harga (Ghatak dan Ingersent, 1984). Dengan
mendiferensiasikannya terhadap harga, maka diperoleh :
(2.4)
Dengan mengasumsikan tingkat pengembalian yang konstan (constant
return to scale) dan kemudian membagi kedua ruas dengan Q/P, maka kita
mendapatkan :
(2.5)
(2.6)
maka :
(2.7)
Dengan :
eQP = Elastisitas (respon) penawaran kelapa sawit terhadap harga CPO
eAP = Elastisitas (respon) areal tanam terhadap harga CPO
eYP = Elastisitas (respon) produktivitas terhadap harga CPO
Dengan demikian, elastisitas (respon) penawaran kelapa sawit terhadap
harga CPO (eQP) dapat diduga secara tidak langsung dengan melakukan
pendugaan elastisitas terlebih dahulu terhadap eAP dan eYP. NilaieAP dan eYP dapat
diduga melalui hasil estimasi terhadap variabel-variabel yang digunakan pada
2.5.2.3. Respon Beda Kala (lag) dalam Komoditi Pertanian
Salah satu karakteristik utama produk pertanian adalah adanya tenggang
waktu antara menanam dan memanen yang disebut dengan gestation period atau
beda kala (lag). Hasil yang diperoleh petani didasarkan pada perkiraan–perkiraan
periode mendatang dan pengalamannya di masa lalu. Apabila terjadi peningkatan
harga output suatu komoditas pertanian pada saat tertentu maka peningkatan itu
tidak akan segera diikuti oleh peningkatan areal dan produktivitas karena
keputusan alokasi sumber daya telah ditetapkan petani pada saat sebelumnya.
Respon petani terjadi setelah beda kala (lag) sebagai dampak perubahan harga
input, output, dan kebijakan pemerintah (Gujarati, 2004).
Peubah beda kala (lagged variable) sering dimasukkan ke dalam model
ekonometrik yang menduga respon pelaku ekonomi. Alasannya adalah respon dari
pelaku ekonomi untuk merespon terhadap perubahan-perubahan peubah yang
mempengaruhi mereka pada umumnya tidak dapat segera diwujudkan, karena
diperlukan suatu penyesuaian terlebih dahulu. Dengan demikian, peubah lag
dalam model merupakan salah satu cara untuk mempertimbangkan lamanya
waktu proses penyesuaian dari perilaku ekonomi dan proses dinamis dari proses
tersebut (Koutsoyiannis, 1977). Secara umum, model fungsi respon penawaran
hasil-hasil pertanian dipengaruhi oleh tingkat penawaran periode sebelumnya,
harga-harga input dan output periode sebelumnya serta faktor-faktor lain
2.5.2.4. Model Lag yang Didistribusikan
Dalam Ilmu Ekonomi, ketergantungan suatu variabel Y atas variabel X
jarang bersifat seketika (Firdaus, 2004). Sangat sering, Y beraksi terhadap X
dengan suatu selang waktu atau setelah beberapa periode waktu. Selang waktu itu
disebut lag. Ada tiga alasan utama terjadinya lag, yaitu :
1. Alasan Psikologis
Alasan ini disebabkan oleh kekuatan kebiasaan (kelembaman). Contohnya,
orang tidak mengubah kebiasaan konsumsi mereka dengan segera mengikuti
penurunan harga atau peningkatan pendapatan, mungkin karena proses
perubahan melibatkan suatu kehilangan kegunaan (disutility) yang cepat.
2. Alasan yang Bersifat Teknologi.
Jika harga modal dibandingkan dengan tenaga kerja relatif menurun yang
menyebabkan penggantian tenaga kerja secara ilmu ekonomi dimungkinkan.
Tentu saja penambahan modal tersebut memerlukan waktu (persiapan).
3. Alasan Kelembagaan
Misalkan kewajiban yang bersifat kontrak mungkin mencegah perusahaan
untuk beralih dari satu sumber tenaga kerja atau bahan mentah yang lain.
Untuk alasan-alasan tersebut di atas, lag menempati peranan pokok dalam
ilmu ekonomi. Hal ini tercermin dalam konsep jangka pendek dan jangka panjang
dalam ilmu ekonomi.
Model autoregressive adalah suatu model jika dalam model regresi
diantara variabel yang menjelaskan. Dengan asumsi dasar bahwa variabel yang
menjelaskan dalam model regresi bersifat stokastik.
Model persamaan linier dapat dituliskan sebagai berikut :
Yt = 1 + 2 Yt-1 + 3 Xt + Vt (2.8)
Atau,
Yt = 1 + (1 – ) Yt-1 + 3 Xt + Vt (2.9)
2.5.2.5. Model Nerlove
Model merupakan suatu penjelas dari fenomena aktual sebagai suatu
sistem atau proses. Salah satu model yang sering digunakan dalam menganalisis
masalah ekonomi adalah model ekonometrika. Model ekonometrika adalah suatu
model statistika yang menghubungkan peubah-peubah ekonomi dari suatu
fenomena yang mencakup unsur stokastik. Unsur Stokastik ini biasanya diabaikan
dalam model ekonomi lainnya yang pada umumnya mengasumsikan adanya
hubungan-hubungan secara deterministik (Koutsoyiannis, 1977).
Koutsoyiannis (1977) menyatakan bahwa kriteria suatu model yang
terandalkan harus memenuhi tiga tolok ukur, yaitu :
(1) Memenuhi kriteria teori ekonomi (theoritically meaningful),
(2) Secara statistik dapat dipertanggungjawabkan.
Kriteria statistik yang sering digunakan adalah derajat ketepatan (goodness
of fit) yang dikenal dengan koefisien determinasi (R2) serta nyata secara
(3) Kriteria ekonometrika yang menetapkan apakah suatu taksiran memiliki
sifat-sifat yang dibutuhkan seperti unbiasedness, consistency, sufficiency,
dan efficiency.
Dari semua model ekonometrik yang digunakan untuk mengestimasi
respon penawaran produk pertanian dan perkebunan, model Nerlove adalah salah
satu model yang paling sukses dan banyak digunakan serta terus diuji oleh banyak
studi untuk memperbaiki model ini (Braulke, 1982). Model Nerlove adalah model
dinamis yang menyatakan bahwa output adalah fungsi dari harga yang
diharapkan, penyesuaian areal, dan beberapa variabel eksogen lainnya.
Berdasarkan Gujarati (2004), sebuah model dikatakan dinamis jika nilai
berikutnya dari variabel dependen dipengaruhi oleh nilai pada periode
sebelumnya. Bentuk yang tereduksi (reduced form) dari model Nerlove akan
berbentuk model autoregressive karena model tersebut memasukkan nilai lag dari
variabel dependen diantara variabel-variabel penjelasnya.
Model Nerlove menghipotesiskan reaksi petani atas dasar harga yang
diinginkan dan penyesuaian parsial areal (produksi). Menurut Askari dan
Cumings (1977), pada periode ke-t (A*t) tergantung pada peubah-peubah bebas X
periode ke-t (Xt). Dalam hal ini, dimisalkan A*t adalah areal tanam kelapa sawit
yang diinginkan, dan dipengaruhi oleh tingkat harga komoditas atau harga CPO
pada periode ke-t (Pt) dan peubah bebas lainnya (Xt), maka persamaannya
menjadi :
Luas areal yang diharapkan tidak dapat diamati secara langsung, sehingga
untuk mengatasinya perlu didalilkan suatu hipotesis yang merupakan hipotesis
perilaku penyesuaian parsial. Pada umumnya, luas tanam aktual At belum tentu
sama besarnya dengan tingkat yang diinginkan A*t. Untuk melukiskan proses
penyesuaian antara luas tanam aktual dan luas tanam yang diinginkan, Nerlove
(1956) dalam Askari dan Cummings (1977) merumuskan hubungan matematis
sebagai berikut :
At – At-1 = d(A*t – At-1) (2.11)
Atau dapat ditulis :
At = dA*t + (1-d) At-1 (2.12)
Kemudian substitusikan persamaan (2.10) ke dalam persamaan (2.11)
At = d(a0 + a1 Pt + a2 Xt + ut) + (1-d) At-1
= da0 + da1 Pt + da2 Xt+ (1-d) At-1 + (dut) (2.13)
Sehingga reduced form-nya menjadi:
At = b0 + b1 Pt + b2 Xt+ b3 At-1 + et (2.14)
Dengan :
At – At-1 = Perubahan luas areal aktual yang terjadi
Pt = tingkat harga yang diharapkan pada waktu ke t
A*t – At-1 = Perubahan luas areal yang diinginkan
d = Koefisien penyesuaian (adjusment coefficient)
Koefisien d bernilai 0 d 1 merupakan pengukur kecepatan penyesuaian
areal aktual sebagai respon terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi areal
dalam areal, jika d = 1 maka perubahan areal yang diinginkan sama dengan
perubahan areal yang terjadi.
Persamaan (2.13) dan (2.14) merupakan persamaan dengan model
persamaan parsial Nerlove. Model tersebut menunjukan bahwa besarnya nilai
peubah pada suatu periode luas areal (At) sebagian dipengaruhi oleh harga
komoditas itu sendiri (Pt) dan sebagian dipengaruhi oleh cadangan hasil periode
sebelumnya. Karena luas areal dan produktivitas secara bersama-sama
menentukan produksi, maka model yang dipakai untuk menduga fungsi respon
produktivitas sama dengan model yang dipakai untuk menduga luas areal panen.
2.6. Kerangka Pemikiran Konseptual
Secara umum, untuk menduga respon penawaran petani kelapa sawit di
Indonesia dapat didekati dengan menggunakan pendekatan perubahan produksi.
Perubahan produksi kelapa sawit dapat diketahui dengan menggunakan
pendekatan bahwa produksi adalah hasil perkalian antara luas areal dan
produktivitas. Untuk mengetahui besarnya perubahan produksi kelapa sawit,
terlebih dahulu dilakukan identifikasi peubah-peubah eksogen dari luas areal dan
produktivitas kelapa sawit.
Namun, seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa baik komoditas
pertanian maupun perkebunan memiliki respon beda kala (lag). Untuk itu, dalam
masing-masing model baik model respon luas areal maupun model respon
Berdasarkan uraian di atas, analisis respon penawaran kelapa sawit
terhadap harga CPO akan dilakukan menggunakan model penyesuaian Nerlove.
Model Nerlove terdiri dari dua model yaitu model respon luas areal dan model
respon produktivitas.
Setelah kedua model terbentuk, maka dapat diketahui besarnya respon
areal dan produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Dengan menjumlahkan besarnya respon luas
areal dan respon produktivitas kelapa sawit, maka dapat diketahui besarnya
respon penawaran kelapa sawit. Dengan demikian, perubahan produksi dari para
petani kelapa sawit dipengaruhi oleh perubahan dari luas areal dan perubahan
produktivitas yang pada akhirnya mempengaruhi penawaran kelapa sawit,
sedangkan luas areal dan produktivitas sendiri dipengaruhi oleh berbagai hal.
Dari hasil analisis ini, maka dapat diketahui prospek kelanjutan produksi
kelapa sawit. Penulis membuat alur pemikiran yang digambarkan dalam Gambar
5
1
2.7. PenelitianTerdahulu
2.7.1. Penelitian Mengenai CPO
Susila (1995) melakukan penelitian tentang model ekonomi minyak sawit
mentah dunia. Kesimpulan hasil penelitian bahwa respon jangka pendek produksi,
konsumsi, ekspor, dan impor terhadap perubahan harga CPO dan harga minyak
pesaing bersifat inelastis. Pada sisi lain respon harga CPO terhadap perubahan
produksi dalam jangka pendek bersifat elastis dengan koefisien 1,4. Hasil simulasi
dengan skenario baku menunjukan bahwa produksi, konsumsi, ekspor-impor CPO
dunia meningkat masing-masing dengan laju 6,08 persen, 5,0 persen, dan 4,12
persen pertahun untuk periode 1995-2000.
Penelitian tentang CPO dilakukan oleh Askadirimi (2007) yang
menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan minyak sawit (CPO)
Indonesia dengan metode Two-Stage Least Squares (2SLS). Hasil penelitian
Askadarimi menunjukan bahwa produksi minyak sawit (CPO) Indonesia
tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal kelapa sawit dan
produktivitas minyak sawit Indonesia. Persamaan luas areal kelapa sawit
Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil CPO domestik, harga riil karet
domestik, dummy kebijakan perluasan areal kelapa sawit, dan luas areal kelapa
sawit Indonesia tahun sebelumnya. Pada persamaan produktivitas kelapa sawit
Indonesia menunjukkan bahwa harga riil ekspor CPO, dummy kebijakan perluasan
areal kelapa sawit, dan produktivitas CPO Indonesia tahun sebelumnya
berpengaruh nyata, sedangkan harga riil CPO domestik dan harga riil pupuk
pengamanan pasokan domestik mestinya hanya menjadi kebijakan jangka pendek,
sedangkan dalam jangka panjang kebijakan dari sisi produksi akan lebih efektif.
Penelitian tentang CPO juga dilakukan oleh Wardani (2008) yang
menganalisa dampak kebijakan perdagangan di sektor industri CPO terhadap
keseimbangan pasar minyak goreng dalam negeri dengan menggunakan metode
Two-Stage Least Squares (2SLS). Hasil penelitian Wardani menunjukkan bahwa
model keterkaitan ekspor CPO dan pengaruh pajak ekspor CPO terhadap
keseimbangan pasar minyak goreng sawit Indonesia menghasilkan lima
persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Penawaran ekspor CPO
Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil ekspor CPO, nilai tukar riil,
pajak ekspor CPO, produksi CPO domestik, dan populasi Indonesia. Sedangkan
lag ekspor CPO Indonesia tidak berpengaruh secara nyata terhadap ekspor CPO
Indonesia. Berdasarkan hasil yang diperoleh, upaya yang dapat dilakukan oleh
pemerintah adalah perlu adanya suatu kebijakan alternatif selain pajak ekspor
sebagai komplemen untuk mengatasi kelemahan dari penerapan pajak ekspor.
2.7.2. Penelitian Mengenai Respon Penawaran
Alias dan Tang (2005) menganalisis hubungan jangka panjang antara
pasokan minyak kelapa sawit Malaysia dan variabel-variabel yang
mempengaruhinya menggunakan analisis kointegrasi multivarian Johansen.
Analisis supply response kelapa sawit Malaysia menggunakan data tahunan
(series) produsen kelapa sawit dari 1967 sampai 2002. Error Correction Model