• Tidak ada hasil yang ditemukan

Domestikasi dan Pengembangbiakan dalam Upaya Pelestarian Ikan Lalawak (Barbodes sp )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Domestikasi dan Pengembangbiakan dalam Upaya Pelestarian Ikan Lalawak (Barbodes sp )"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumberdaya air, termasuk di dalamnya perairan umum (sungai, danau, situ, rawa dan genangan air lainnya) memiliki banyak fungsi dan salah satunya adalah sebagai habitat hidup ikan. Ikan-ikan alami yang menghuni badan air tersebut saat ini banyak yang terancam keberadaannya, bahkan banyak spesies diantaranya sudah tidak ditemukan lagi. Hal ini salah satunya disebabkan oleh penurunan kualitas air (meningkatnya kadar bahan pencemar: deterjen, minyak, pestisida, logam berat, kadar lumpur dan lain-lain) dan menurunnya debet air terutama pada musim kemarau serta penangkapan ikan yang berlebihan dan dengan cara yang berbahaya. Selanjutnya penyebab penurunan kualitas air tersebut dapat juga akibat meningkatnya limbah domestik, pertanian dan industri yang masuk ke badan air sedangkan penurunan kuantitas air salah satunya dapat disebabkan oleh penggundulan hutan di daerah hulu sungai sehingga menimbulkan erosi yang pada akhirnya menyebabkan pendangkalan sungai dan waduk/danau, serta berkurangnya daerah resapan air di daerah aliran sungai. Kepunahan ikan juga dapat disebabkan akibat meningkatnya usaha penangkapan ikan di perairan umum. Meningkatnya penangkapan ikan tersebut disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan masy arakat akan bahan makanan yang mengandung protein hewani dan sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk tetapi tidak diikuti dengan peningkatan kemampuan ekonomi (daya beli) masyarakat. Khususnya untuk di Kecamatan Buah Dua dan Congeang Kabupaten Sumedang penurunan populasi ikan lalawak selain seperti telah diuraikan di atas, juga disebabkan oleh penangkapan yang dilakukan dengan menggunakan bahan kimia dan alat tangkap listrik (electric fishing).

(2)

tanpa memperhatikan aspek kelestariannya sehingga saat ini beberapa jenis diantaranya telah berstatus sebagai ikan langka.

Untuk menghindari kepunahan dan mengembalikan keberadaan jenis -jenis ikan yang hampir punah tersebut perlu ada upaya pelestarian sumberdaya ikan tersebut baik secara in situ maupun ex situ, antara lain melalui upaya domestikasi. Ikan perairan umum yang sudah didomestikasikan perlu dilakukan pengembangbiakannya untuk memperoleh benih, baik secara kuantitas maupun kualitas. Agar benih yang dihasilkan siap untuk ditebar kembali ke habitat aslinya atau benih tersebut digunakan sebagai benih pada kegiatan budi daya, khususnya bagi jenis-jenis ikan liar yang potensial untuk dijadikan ikan konsumsi atau ikan hias (misalnya: lalawak, betutu, belida, kancra, gabus, botia dan arwana). Untuk keberhasilan pengembangbiakan perlu ditunjang oleh informasi yang berkaitan dengan kegiatan pengembangbiakan tersebut seperti nutrisi, patologi, lingkungan, rekayasa genetik serta teknologi perkolaman.

Salah satu jenis ikan yang telah berstatus langka dan hidup di perairan umum adalah ikan Lalawak, Barbodes sp. Ikan ini perlu didomestikasi karena sangat potensial untuk dijadikan ikan konsumsi, karena selain ukurannya yang relatif besar juga rasa dagingnya yang enak, serta potensi reproduksinya cukup tinggi.

Informasi mengenai biologi, ekologi dan pengembangbiakannya dalam upaya domestikasi belum banyak terungkap. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan.

Kerangka Pemikiran

(3)

kepadatan yang tinggi dalam lingkungan terkontro l serta mampu mengkonsumsi pakan buatan untuk pertumbuhannya.

(4)

Untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh tentang domestikasi dan pengembangbiakan ikan lalawak dapat dievaluasi melalui beberapa pendekatan antara lain: 1) aspek biologi ikan lalawak seperti penelusuran spesies melalui kajian analisis karakteristik morfometrik-meristik dan pengamatan kromosom, 2) aspek lingkungan terutama tentang alkalinitas, 3) aspek reproduksi, seperti pendekatan nutrisi untuk pertumbuhan dan pematangan gonad (Gambar 1). Alur kegiatan penelitian secara keseluruhan disajikan pada Gambar 2.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dan mengkaji:

1. Varietas ikan lalawak yang layak untuk di domestikasikan.

2. Kondisi lingkungan (alkalinitas) dan protein pakan yang sesuai untuk budidaya ikan lalawak.

3. Kebutuhan vitamin C dan E yang sesuai untuk memperbaiki performans reproduksi ikan lalawak.

Manfaat Penelitian

Untuk menambah keragaman komoditas ikan budidaya, di samping itu dapat meningkatkan sediaan benih untuk kegiatan budidaya dan sediaan benih untuk restoking ikan di perairan umum dalam upaya membantu pelestarian jenis ikan yang terancam punah.

Hipotesis

Hipotesis yang dikemukakan didalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Karakteristik morfometrik -meristik dan kromosom dapat dijadikan dasar dalam penentuan varietas ikan lalawak dalam upaya domestikasi dan pengembangbiakannya.

2. Kondisi lingkungan (alkalinitas) dan kandungan nutrisi (protein) yang sesuai dapat mendukung pertumbuhan ikan lalawak.

(5)

+

_

Gambar 1. Diagram alir pendekatan masalah

+ Kajian Morfometrik

dan Meristik

Kajian Kebiasaan Makanan dan Nutrisi

Kajian Biologi Reproduksi

Kajian Habitat

Varietas Terpilih

Jenis Pakan

Potensi Reproduksi

Lingkungan Budidaya

Induk yang mempunyai potensi reproduksi

Matang Gonad

Fertilisasi _

Penetasan larva

Pemeliharaan larva

Domestikasi

Pemijahan

_

+

(6)

Adaptasi (lingkungan, dan pakan )

Pematangan gonad melalui Pendekatan lingkungan dan

nutrisi

Pemijahan melalui manipulasi lingkungan,

induksi dengan spesies lain dan perlakuan

hormonal

Pemeliharaan larva/benih melalui penerapan manajemen lingkungan

dan pakan yang tepat Morfologi:

Meristik Morfometrik

Penelusuran ragam varietas, Potensi reproduksi dan kajian ekologi

ikan lalawak

Analisis Kromosom (karyotype)

Benih/calon induk Ikan lalawak dari alam

(varietas terpilih)

Calon induk teradaptasi terhadap lingkungan

dan pakan buatan

Induk matang gonad Betina dan Jantan

Larva ikan lalawak

Benih

RESTOKING BUDIDAYA

(7)

PENELUSURAN RAGAM VARIETAS,

POTENSI REPRODUKSI DAN

EKOLOGI IKAN LALAWAK (

Barbodes

sp.)

Pendahuluan

Ikan lalawak (Barbodes sp.) merupakan salah satu spesies ikan yang terdapat di perairan umum kabupaten Sumedang, namun saat ini keberadaannya sudah sulit didapatkan. Salah satu perairan umum yang menjadi habitat ikan lalawak adalah sungai Cikandung yang terletak di kecamatan Buah Dua kabupaten Sumedang. Menurut masyarakat setempat, di perairan umum kecamatan Buah Dua terdapat dua jenis ikan lalawak, yaitu ikan lalawak biasa dan lalawak jengkol. Struktur morfologis kedua jenis ikan ini sedikit berbeda terutama bentuk dan ukuran tubuhnya. Ikan lalawak biasa mempunyai bentuk tubuh agak memanjang sedang ikan lalawak jengkol membulat. Sejak tahun 1970, sebagian kecil masyarakat telah melakukan upaya pemindahannya ke kolam, yang hanya merupakan suatu upaya untuk menyimpan ikan hidup hasil tangkapan dari alam sebelum dikonsumsi dan bukan untuk usaha budidaya. Keberadaan ikan ini di alam lama kelamaan dikhawatirkan punah, karena makin meningkatnya upaya panangkapan akibat meningkatnya kebutuhan masyarakat akan protein hewani khususnya yang bersal dari ikan. Untuk mencegah kepunahan ikan tersebut maka diperlukan berbagai informasi yang menunjang pelestarian ikan lalawak melalui pengelolaan baik secara konservasi maupun budidayanya. Dalam budidaya salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah dari aspek reproduksi.

(8)

gonad akan diikuti oleh pertambahan berat ikan serta bertambahnya diameter telur dan perkembangan tingkat kematangan gonad (Effendie 1997).

Ikan lalawak merupakan salah satu jenis ikan yang hidup di perairan umum (seperti sungai Cimanuk) dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai ikan konsumsi, walaupun belum menjadi jenis ikan yang terancam punah, ikan ini perlu mendapat perhatian karena di beberapa lokasi keberadaannya sudah sangat berkurang (Sjafei et al. 2001). Ikan lalawak yang ditemukan di perairan Cimanuk memiliki fekunditas (potensi reproduksi) sebesar 12 200 sampai 13 500 butir telur, dengan nilai GSI (gonado somatik index) pada ikan betina TKG IV (tingkat kematangan gonad) sebesar 5.6 sampai 14.2%. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa nilai fekunditas dari suatu spesies ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ketersediaan makanan (Wooton 1979), ukuran ikan (panjang dan berat) (Synder 1983) dan ukuran diameter telur (Woynarovic dan Horvath 1980) serta faktor lingkungan (Abidin 1986).

Dalam proses perkembangbiakan ikan secara alami, air sebagai media hidupnya juga turut berperan. Air sebagai lingkungan tempat hidup organisme perairan harus mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan organisme tersebut. Dalam kegiatan budidaya, perbedaan dari masing -masing siklus kehidupan sudah banyak dipelajari. Seperti pada budidaya ikan sistem air mengalir, air hanya bertindak sebagai sarana bagi transpor oksigen dan hasil buangan yang berasal dari ikan dan sebagai akibatnya kualitas air tersebut dapat diterima selama kualitas air tertsebut tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap sasaran antara lain pertumbuhan ikan, penetasan telur dan sebagainya. Beberapa parameter fisika dan kimia perairan yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan adalah suhu, oksigen terlarut, karbondioksida bebas, amonia, pH dan alkalinitas (Weatherley 1972).

(9)

kimia dan proses kerjanya dipengaruhi oleh suhu. Ikan mempunyai selang suhu optimum untuk memenuhi laju metabolisme yang diinginkan (Philips 1972).

Kebutuhan oksigen terlarut ikan bervariasi, bergantung kepada spesiesnya. Wardoyo (1981) menyatakan bahwa kebutuhan organisme akan oksigen bergantung kepada jenis, stadia dan aktivitasnya. Jika kandungan oksigen di perairan tidak dipertahankan maka hewan peliharaan akan mengalami stress, mudah terserang parasit dan penyakit atau mati (Stickney 1979). Selanjutnya dikemukakan bahwa, kadar oksigen terlarut yang layak bagi kehidupan ikan tidak kurang dari 2 ppm. Ikan memerlukan oksigen untuk mengoksidasi nutrien yang diperoleh dari makanan yang dikonsumsinya agar di peroleh energi untuk berbagai aktivitas, seperti aktivitas berenang, pertumbuhan, reproduksi atau sebaliknya (Zonneveld et al. 1991). Sedangkan kandungan karbondioksida yang baik untuk tidak mengganggu kehidupan ikan adalah tidak lebih dari 5 ppm dan apabila kandungan oksigen tinggi, ikan dapat mentolerir kandungan karbondioksida lebih dari 10 ppm dan kandungan amonia yang dapat ditolerir oleh ikan adalah antara 0.6 sampai 2 ppm (Boyd 1979). Selanjutnya Piedrahita dan Seland (1994) mengemukakan bahwa pH berpengaruh terhadap kesadahan dan lingkungan perairan alami maupun dalam sistem budidaya. Perairan dengan pH berkisar antara 6.5 sampai 9.0 sangat baik bagi pertumbuhan ikan, sedangkan pada kisaran pH 4.0 sampai 6.5 dan 9.5 sampai 11.0 pertumbuhannya cenderung lambat (Swingle 1969 dalam Boyd 1982).

Untuk pengembangbiakan ikan lalawak agar keberadaanya tetap terjaga baik di perairan umum maupun kolam masyarakat di kecamatan Buah Dua dan Congeang Kabupaten Sumedang, perlu dilakukan kajian tentang ragam varietas, potensi reproduksi dan ekolo ginya.

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat

(10)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ragam varietas , potensi reproduksi dan ekologi ikan lalawak yang terdapat di perairan umum (sungai) maupun di kolam -kolam masyarakat yang berada di sekitar Kecamatan Congeang dan Buah Dua Kabupaten Sumedang.

Prosedur Penelitian

Pengambilan sampel ikan lalawak dari berbagai varietas dilakukan di sungai Cikandung (stasiun I dan II) dan kolam masyarakat (stasiun III) (Gambar 3). Dari hasil tangkapan tersebut diperoleh ikan lalawak jengkol sebanyak dua puluh ekor, lalawak sungai dua puluh ekor dan lalawak kolam dua puluh lima ekor. Sedangkan yang matang gonadnya dari hasil tangkapan tersebut untuk ikan lalawak jengkol betina satu ekor dan jantan dua ekor, ikan lalawak sungai betina satu ekor dan jantan satu ekor sedangkan ikan lalawak kolam didapatkan dua ekor yang betina dan empat ekor jantan. Selanjutnya untuk uji kromosom (kariotip) jumlah ikan yang digunakan masing-masingnya adalah dua sampai lima ekor. Pembuatan preparat kromosom yang dilakukan menurut teknik jaringan padat (solid tissue technique) yang mengacu pada metode Al-Sabti (1985), metode Amemiya dan Gold (1986). Bahan dan peralatan yang digunakan pada penelitian ini baik untuk di lapangan maupun di laboratorium disediakan sesuai tahap-tahap penelitian (Lampiran 1), dan prosedur analisis kromosom (Lampiran 2). Disamping itu juga dilakukan kajian tentang ekologi ikan lalawak itu sendiri di masing-masing stasiun pengamatan. Beberapa parameter dianalisis di lapangan dan sebagaian dianalisis di Laboratorium.

(11)

Stasiun III

Gambar 3. Stasiun pengamatan penelitian

Parameter Uji

Adapun parameter karakteristik morfometrik-meristik yang diamati mengacu kepada metode yang digunakan oleh Affandi et al. (1992), yaitu: panjang total, panjang ke pangkal cabang sirip ekor, panjang baku, panjang kepala, panjang bagian di depan sirip punggung, panjang dasar sirip punggung dan sirip dubur, panjang batang ekor, tinggi badan, tinggi batang ekor, tinggi kepala, lebar kepala, lebar badan, tinggi sirip punggung dan sirip dubur, panjang sirip dada dan sirip perut, panjang jari-jari sirip dada yang terpanjang, panjang jari-jari keras dan jari-jari lemah, panjang hidung, panjang ruang antar mata, lebar mata, panjang bagian kepala di belakang mata, panjang antara mata dengan sudut operkulum, tinggi pipi, panjang rahang atas, panjang rahang bawah, lebar bukaan mulut, jari-jari sirip punggung (D), sirip dada (P), sirip perut (V), sirip dubur (A) dan sirip ekor (C), serta sisik di depan sirip punggung, sisik pipi, sisik di sekeliling badan, sisik batang ekor, sisik pada garis rusuk dan garis sisi. Sedangkan untuk kromosom parameter uji berdasarkan panjang lengan kromosomnya.

(12)

a

Gambar 4. Karakter morfometrik dan meristik ikan lalawak yang diukur

Keterangan: 1. Panjang total; 2. Panjang baku; 3. Panjang sampai cagak; a. Panjang hidung; b. Lebar mata; c. Panjang kepala; d. Panjang kepala di belakang mata; e. Panjang antara mata dengan sudut tutup insang; f. Tinggi pipi;

g. Panjang rahang bawah; h. Panjang rahang atas; i. Panjang di depan mata; P. Sirip dada; V. Sirip perut; A. Sirip dubur; C. Sirip ekor; D. Sirip punggung

Tabel 1. N isbah ciri/karakter morfometrik ikan uji

No. Sandi Karakter Keterangan

1. N1 PT/PB Panjang total per panjang baku

2. N2 PC/PB Panjang cagak per panjang baku

3. N3 PK/PB Panjang kepala per panjang baku

4. N4 PBDSD/PB Panjang bagian depan sirip dorsal per panjang baku

5. N5 PDSD/PB Panjang dasar sirip dorsal per panjang baku

6. N6 PSSV/PB Panjang sebelum sirip ventral per panjang baku

7. N7 PDSV/PB Panjang dasar sirip ventral per panjang baku

8. N8 PSSA/PB Panjang sebelum sirip anal per panjang baku

9. N9 PDSA/PB Panjang dasar sirip anal per panjang baku

19. N19 PKBM/PK Panjang kepala di belakang mata per panjang kepala

20. N20 PRA/ PK Panjang rahang atas per panjang kepala

21. N21 PRB/PK Panjang rahang bawah per panjang kepala

22. N22 TK/PK Tinggi kepala per panjang kepala

23. N23 LB/TB Lebar badan per tinggi badan

(13)

Untuk mengetahui kemampuan reproduksi dari varietas ikan lalawak baik yang berasal dari hasil tangkapan di perairan umum (sungai) maupun kolam masyarakat beberapa parameter uji yang dapat digunakan adalah:

1.Indeks Kematangan Gonad

Indeks kematangan gonad (IKG) individu ikan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Bobot gonad (g) IKG (%) = x 100 Bobot tubuh (g)

2. Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad (TKG) ditentukan dengan melakukan analisis karakter morfologis dan anatomis gonad berdasarkan modifikasi Cassie (Effendie 1997) (Tabel 2). Selain secara anatomis, perkembangan gonad juga dianalisis secara histologis. Untuk ikan jantan berdasarkan Kaya dan Hasler (1972) dalam Effendi (1997), sedangkan untuk ikan betina berdasarkan Chinabut et al. (1991) dalam Siregar (1999) (Tabel 3). Prosedur pengujian preparat histologis dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 2. Kriteria penilaian tingkat kematangan gonad ikan lalawak secara anatomis (mengacu kepada Effendie 1997)

Ovarium seperti benang, panjang sampai ke depan rongga tubuh. Warna jernih. Permukaan licin.

Testis seperti benang, lebih pendek (terbatas) dan terlihat ujungnya di rongga tubuh. Warna jernih.

II

Ukuran ovarium lebih besar. Pewarnaan lebih gelap kekuning-kuningan. Telur belum terlihat jelas dengan mata.

Ukuran testis lebih besar. Pewarnaan putih seperti susu. Bentuk lebih jelas daripada tingkat I

III

Ovarium berwarna kuning. Secara morfologi telur mulai kelihatan butirnya dengan mata.

Permukaan testis tampak bergerigi. Warna makin putih, testis makin besar. Dalam keadaan diawet mudah putus.

IV

Ovarium makin besar mengisi 1/2 sampai 2/3 rongga perut. Telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak.

Seperti pada tingkat III tampak lebih jelas. Testis semakin pejal.

V

Ovarium berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat di dekat pelepasan. Banyak telur seperti tingkat II.

(14)

Tabel 3. Kriteria penilaian tingkat kematangan gonad ikan lalawak

Oosit 1. Proliferasi germinal menjadi oogonia. Setiap oogonia dikelilingi oleh satu lapis sel epitel dengan sitoplasma yang mengambil warna merah muda dan inti sel yang besar.

Testis regresi. Dinding gonad dilapisi oleh spermatogonia awal dan sekunder. Sperma sisa mungkin masih terdapat.

II

Oosit 2. Pase perkembangan oosit ditandai meningkatnya ukuran sitoplasma mengambil warna basofilik dan ukuran sitoplasma menjadi besar berwarna biru terang berada ditengah sel. Selama perkembangan oosit primer dibungkus oleh satu lapis epitel folikular yang sulit dibedakan.

Perkembangan spermatogonia. Sama dengan tingkat I hanya proporsi spermatogonia sekunder bertambah. Sperma sisa kadang-kadang masih ter lihat.

III

Oosit 3. Stadia perkembangan sel folikular, dari oosit membesar, nukleus berada ditengah dan sitoplasma berwarna biru gelap. Terdapat provitelin nukleoli yang mengelilingi inti. Pergerakan provitelin nukleoli dimulai pada stadia ini dan nukleoli euvitelin mulai berkembang

Awal aktif spermatogenesis. Cyste spermatocyt timbul dan kemudian semakin bertambah. Cyste spermatid dan spermatozoa juga mulai keluar.

IV

Oosit 4. Nukleoli euvitelin jelas kelihatan disekitar membran nuklear dari nukleus dan sitoplasma berwarna biru terang dibanding stadia II dan III. Stadia ini terjadi vitelogenesis yang ditandai meningkatnya secara nyata butiran kuning telur dan lemak disekitar sitoplasma. Lapisan zona radiata dari oosit nampak jelas dari epitel folikular.

Aktif spermatogenesis. Semua tingkat spermatogenesis ada dalam jumlah yang banyak. Spermatozoa bebas mulai terlihat dalam rongga seminiferous.

V

Oosit 5. Stadia peningkatan ukuran oosit karena diisi oleh kuning telur. Butiran kuning telur kelihatan jelas dan tersebar disekitar sitoplasma yang berwarna biru keabu-abuan, sedangkan inti berwarna merah muda, membran nukleus dan karyoplasma mengalami degenerasi. Lapisan zona radiata terlihat jelas, epitelium folikular berkembang menjadi sel kubus atau sel selinder.

Testis masak. Lumen penuh dengan spermatozoa. Pada dinding lobule penuh dengan cyste bermacam-macam tingkat.

VI

Oosit 6. Vakuola kuning telur yang besar dan butiran kuning telur berwarna terang muncul pada seluruh bagian sitoplasma. Penurunan inti dalam sel dan membran inti menghilang. Zona radiata, sel folikel dan sel teka terlihat jelas. Ketebalan dinding oosit tidak teratur dengan satu sisi lebih luas dibanding dengan yang lain. Bagian yang tebal akan merupakan subtrat untuk penggabungan fertilis asi telur.

(15)

3. Fekunditas Relatif

Analisis fekunditas dengan menggunakan cara gabungan antara gravimetrik dengan volumetrik dengan persamaan:

G x X F = Q

4. Bobot Telur

Bobot telur per butir (BT) dihitung dengan cara membandingkan indeks kematangan gonad (IKG) dengan nilai fekunditas relatif.

BT (µg/butir) = IKG/Fekunditas Relatif

5. Diameter Telur

Diameter telur diukur dengan menggunakan mikromet er okuler pada mikroskop. Jumlah sampel telur yang digunakan lebih kurang sebanyak 100 butir untuk tiap gonad ikan.

Sedangkan parameter ekologi yang diamati antara lain: faktor fisika (suhu, kedalaman, kecerahan, total suspency solid , arus dan subtrat ), faktor kimia (pH, oksigen terlarut, ammonia dan alkalinitas), serta biologi antara lain: kebiasaan makanan, hubungan panjang berat dan faktor kondisi. Untuk kebiasaan makanan dilakukan dengan menggunakan persamaan indeks bagian terbesar (Index of preponderance) (Natarajan dan Jhingran dalam Effendie 1979):

6. IP = (ViOi/ΣViOi) x 100%

Keterangan: IP = Indeks bagian tebesar

Vi = Persentase volume satu macam makanan

Oi = Persentase frekuensi kejadian satu macam makanan

N = Jumlah total individu dari selu ruh jenis

Sedangkan hubungan panjang berat persamaan yang digunakan adalah menurut Hile (1936) dalam Effendi (1979).

7. W = aLb

Keterangan : F = Fekunditas

G = Bobot gonad (g)

X = Jumlah telur sampel (butir)

(16)

Keterangan: W = Berat ikan (g) L = Panjang ikan (mm) a dan b = konstanta

Selanjutnnya untuk faktor kondisi mengacu kepada persamaan yang digunakan oleh Lagler (1961) dalam Effendi (1979).

8. K = 105W/L3

Keterangan: K = Faktor kondisi W = Berat ikan (g) L = Panjang ikan (mm)

Analisis Data

Untuk uji morfometrik-meristik; data dianalisis melalui dua pendekatan yaitu analisis korelasi dan komponen utama (Principal Component Analysis -PCA). Menurut Rachmawati (1999), analisis korelasi digunakan pada data frekuensi alel dan data morfometrik untuk melihat keeratan hubungan antar variabel yang diukur. Variabel yang memiliki hubungan korelasi yang dekat dapat dianggap mempunyai sifat-sifat yang sama atau berlawanan (Legendre dan Legendre 1983 dalam Rachmawati 1999). Korelasi antar variabel yang diukur dapat diturunkan dengan metode terpusat melalui transformasi:

Zij =

Keterangan: Zij = Nilai karakter ke-i (i=1, 2,...,P) untuk individu ke-j (j=1, 2,...,N)

Si = Simpangan baku karakter ke-i

Korelasi antar karakter ke-i dan ke-k dapat dinyatakan sebagai berikut (Steel dan Torrie 1991):

rik =

=

Keterangan: Sik = Peragam contoh bagi karakter ke-i dan ke-k S2i dan S2k = Ragam masing-masing karakter

j

Σ

(

N Xij - Xi) (Xkj - Xk) / N - 1

Σ

(

Xij - Xi)2

Σ

(Xkj - Xk)2 / N - 1 N

j =1

N J=1

S2 S2 Sik

i k Xij - Xi

(17)

Analisis komponen utama (Principal Component Analysis-PCA) digunakan untuk melihat adanya pengelompokan individu berdasarkan karakter morfometrik. PCA merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk mempresentasikan sebagian besar informasi yang terdapat dalam suatu matriks data ke dalam bentuk grafik (Karson 1982 dalam Rachmawati 1999). PCA pada prinsipnya menggunakan pengukuran jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu untuk variabel yang berkoresponden pada data). Jarak Euclidean diperoleh berdasarkan rumus:

Keterangan: I, i' = Dua baris

J = Indeks kolom (bervariasi dari 1 sampai P)

Selanjutnya dalam notasi matriks komponen utama dituliskan sebagai berikut:

Y = A X

Keterangan: A = Matriks transformasi terhadap karakter asal X = Vektor karakter asal

Matriks data berukuran P x N yang diperoleh dari pengukuran terhadap P karakter (X1, X2,...,Xp) dari contoh berukuran N individu adalah sebagai berikut:

X11 X12...X1p X = X21 X22....X2p .

Xn1 Xn2...Xnp

Matriks S yang merupakan penduga tak bias bagi ragam data tersebut adalah:

S = ( I - ) X'

Dimana E adalah matriks berukuran N x N (Lebart, Morineau dan Warwick 1984 dalam Rachmawati 1999). Matriks ragam peragam S mempunyai akar ciri λ1 = λ2

d2 (i, i') =

Σ

(

Xij - Xi'j)2 P

j=1

1 N - 1

(18)

= ... = λp dan mempunyai vektor ciri a1, a2,...ap yang berbeda sesuai dengan akar cirinya.

Komponen utama pertama merupakan kombinasi linier terbobot karakter asal yang menerangkan keragaman data terbesar:

Y1 = a11X1 + a21X1 + ... + ap1 Xp = a1'X

Vektor pembobot a1' adalah akar ciri ortogonal yang dipilih, sehingga keragaman komponen utama pertama menjadi maksimum (Ludwig dan Reynolds 1988 dalam Rachmawati 1999).

Komponen utama kedua adalah kombinasi linier terbobot karakter asal yang berkorelasi nihil dengan komponen utama pertama dan memaksimumkan sisa keragaman data setelah diterangkan oleh komponen utama pertama, yaitu:

Y2 = a12X2 + a22X2 + ... + ap2 Xp = a2'X

Vektor pembobot a2' adalah vektor ciri ortogonal yang dipilih, sehingga keragaman komponen utama kedua maksimum dan bebas terhadap a1' dari komponen utama pertama. Dengan demikian selanjutnya komponen utama ke-j dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut:

Yj = a1jX1 + a2jX2 + ... + apj Xpj = aj'X

Vektor pembobot aj' dipilih sehingga dap at ditulis dengan rumus sebagai berikut: S2Yj = aj ' S aj , bernilai maksimum, dengan syarat: ai'aj = 1 untuk j = 1, 2 ...,P dan ai'aj = 0 untuk i ≠ j, sehingga Yi dan Yj berkorelasi nihil.

Sebelumnya, untuk menghilangkan pengaruh satuan pengukuran, data ditransformasikan ke dalam bentuk baku Z. Selanjutnya, komponen utama diturunkan dari matriks korelasi R.

Uji kromosom; data dianalisis berdasarkan harga numerik posisi sentromer (HNPS) atau nilai rasio lengan (r) sehingga bentuk kromosom dapat ditentukan sebagai berikut:

HNPS = x 100

Rasio (r) = x 100 Panjang lengan pendek kromosom

Panjang total kromosom

(19)

Menurut Levan et al. (1964), untuk nilai HNPS berbanding terbalik dengan makin kecil nilai HPNS, makin besar nilai r yang menggambarkan bentuk kromosom dari metasentrik sampai telosentrik (Tabel 4).

Tabel 4. Nilai HNPS, r dan bentuk kromosom

HNPS R Bentuk Kromosom

Untuk potensi reproduksi data dianalisis dengan mentabulasikan semua data yang diperoleh dari ikan sampel, kemudian untuk melihat mana yang terbaik dari masing-masing varietas dilakukan uji banding. Data tingkat kematangan gonad dianalisis dengan melihat tahapan -tahapan perkembangan gonad secara morfologis dan anatomis. Sedangkan untuk uji ekologinya adalah dengan membandingkan antar masing-masing stasiun, sehingga nantinya diperoleh suatu gambaran lingkungan yang cocok untuk pemeliharaan ikan lalawak (Tabel 5).

Tabel 5. Parameter fisika-kimia air yang diamati

Parameter Alat Metode Analisis Satuan Lokasi

Fisika

Fitoplankton Planktonnet Filtration Method indv./l Ex situ

Hasil dan Pembahasan

(20)

ujung sirip perutnya tidak berwarna (Tabel 6). Akan tetapi ikan lalawak jengkol paling mudah dibedakan dengan ikan lalawak lainnya karena mempunyai ciri khas tersendiri yaitu bentuk tubuhnya yang membulat hampir mirip jengkol, sehingga masyarakat setempat lebih mengenalnya dengan sebutan ikan lalawak jengkol (Gambar 5). Selanjutnya untuk ikan lalawak sungai dan kolam disajikan pada Gambar 6 dan 7.

Tabel 6. Ciri morfologis ikan lalawak (Barbodes s p.)

No. Parameter

Morfologis Lalawak Jengkol Lalawak Sungai Lalawak Kolam

1. Warna tubuh Keperak-perakan

dengan bagian

2. Bentuk tubuh Pipih (tubuh meninggi

sehingga bentuknya

di bagian atas putih mata (iris)

Terdapat bintik merah pada bagian putih mata

Terdapat bintik merah pada bagian putih mata (iris)

5. Sirip punggung Berwarna

kehitam-hitaman dan sedikit warna merah di antara jari- jari

Berwarna kehitam -hitaman dan di antara jari- jari bag ian depan terdapat warna merah

Berwarna kehitam-hitaman dan di antara jari- jari bagian depan terdapat warna merah

6. Sirip ekor Bercagak, berwarna

kehitaman, terdapat warna merah buram di ujung sirip bagian atas dan di ujung sirip bagian bawah berwarna merah terang

Bercagak, berwarna lebih terang dibanding lalawak dari kolam dan diujung sirip bagian bawah terdapat warna merah

Bercagak, berwarna kehitam -hitaman dan di ujung sirip bagian bawah terdapat warna merah

7. Sirip dubur Berwarna putih,

terdapat warna merah pada ujung jari- jari kerasnya

Berwarna putih dan terdapat warna merah terang di bagian ujung jari- jari kerasnya

Berwarna putih dengan sedikit warna merah di bagian ujung jari- jari kerasnya

8. Sirip perut Berwarna putih

(21)

Gambar 5. Ikan lalawak jengkol

Gambar 6. Ikan lalawak sungai

Gambar 7. Ikan lalawak kolam

(22)

Tabel 7. Nilai Rerata 24 karakter nisbah morfometrik ikan Lalawak Jengkol ns = Berpengaruh tidak nyata

Selanjutnya hasil analisis 24 karakter nisbah morfometrik ikan lalawak jengkol dengan ikan lalawak kolam disajikan pada Tabel 8, dan ikan lalawak sungai dengan ikan lalawak kolam Tabel 9.

Tabel 8. Nilai Rerata 24 karakter nisbah morfometrik ikan Lalawak Jengkol dan ikan Lalawak Kolam

Nilai Rerata

No Sandi Nisbah

Morfometrik Lalawak

(23)

Lanjutan tabel 8

Nilai Rerata

No Sandi Nisbah

Morfometrik Lalawak

Jengkol ns = Berpengaruh tidak nyata

(24)

Lanjutan tabel 9

Nilai Rerata

No Sandi Nisbah

Morfometrik Lalawak

Sungai

Lalawak Kolam

t Hitung Uji t

12 N12 TK/TB 0.52 ± 0.05 0.55 ± 0.08 1.63 0.120ns

13 N13 TK/PB 0.20 ± 0.01 0.21 ± 0.03 2.37 0.029*

14 N14 TB/PB 0.38 ± 0.03 0.39 ± 0.02 0.81 0.428ns

15 N15 LB/PB 0.15 ± 0.02 0.16 ± 0.02 2.05 0.054*

16 N16 LK/PB 0.14 ± 0.01 0.15 ± 0.02 4.13 0.001*

17 N17 JAM/PK 0.31 ± 0.04 0.40 ± 0.09 7.49 0.000*

18 N18 LM/PK 0.50 ± 0.04 0.44 ± 0.04 3.96 0.001*

19 N19 PKBM/PK 0.37 ± 0.04 0.35 ± 0.06 4.91 0.000*

20 N20 PRA/PK 0.32 ± 0.04 0.28 ± 0.06 1.09 0.290ns

21 N21 PRB/PK 0.74 ± 0.06 0.80 ± 0.11 1.92 0.070ns

22 N22 TK/PK 0.39 ± 0.04 0.42 ± 0.06 1.94 0.068ns

23 N23 LB/TB 0.41 ± 0.49 0.13 ± 0.01 1.54 0.140ns

24 N24 TBE/PB 0.41 ± 0.49 0.13 ± 0.01 2.52 0.021*

* = Berpengaruh nyata (P<0.05) ns = Berpengaruh tidak nyata

Pada Tabel 7, antara ikan lalawak jengkol dengan lalawak sungai setelah dilakukan uji t terdapat tiga belas karakter yang berbeda yaitu N5, 6, 7, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 22, 23 dan 24 (p<0.05). Selanjutnya pada Tabel 8, antara ikan lalawak jengkol dengan lalawak kolam terdapat sepuluh karakter yang berbeda yaitu N3, 7, 12, 15, 16, 17, 18, 19, 20 dan 21 (p<0.05). Sedangkan pada Tabel 9 antara ikan lalawak sungai dengan ikan lalawak dari kolam terdapat tiga belas karakter yang berbeda yaitu N1, 2, 4, 6, 8, 10, 13, 15, 16, 17, 18, 19 dan 24 (p<0.05). Untuk nilai rerataan nisbah morfometrik masing-masing ikan lalawak (jengkol, sungai dan kolam) disajikan pada Lampiran 4, 5 dan 6.

(25)

tidak memiliki korelasi yang kuat (Lampiran 7). Menurut Santoso (2003), bahwa sebenarnya tidak ada ketentuan yang tepat mengenai apakah angka korelasi tertentu menunjukkan tingkat korelasi yang kuat atau lemah. Namun dapat dijadikan suatu pedoman sederhana, bahwa angka korelasi diatas 0.5 menunjukkan korelasi yang cukup kuat, sedangkan dibawah 0.5 korelasi lemah.

Selanjutnya untuk melihat adanya pengelompokan individu berdasarkan morfometrik maka dilakukan analisis komponen utama (Gambar 8A-D).

Gambar 8A. Korelasi antar karakter pada sumbu 1 dan 2

Gambar 8B. Korelasi antar karakter pada sumbu 1 dan 3

Berdasarkan analisis komponen utama terhadap karakter morfometrik yang diberikan oleh tiga sumbu utama pertama masing-masing sebesar 25.72%, 15.28% dan 11.45% (Gambar 8A dan B). Nilai tersebut menjelaskan bahwa pada sumbu satu dapat menjelaskan bentuk tubuh ikan lalawak sebesar 25.72%, sumbu dua 15.28% dan sumbu tiga 11.45% (Lampiran 8). Karakter yang paling berperan pada sumbu satu positif terhadap panjang baku adalah N14, 15 dan 16. Sedangkan

Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2)

Active

Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 3)

(26)

pada sumbu dua negatif karakter yang paling berperan terhadap panjang baku adalah N1 dan N2. Untuk sumbu tiga negatif karakter yang paling berperan terhadap panjang kepala adalah N20 dan N21 (Lampiran 9).

Pada Gambar 8C terlihat penyebaran individu pada sumbu satu dan dua tidak membentuk pengelompokan populasi yang nyata, tetapi mempunyai kecenderungan jenis ikan lalawak jengkol berada disebelah kanan dan jenis ikan lalawak sungai disebelah kiri. Penyebaran terhadap sumbu satu dipengaruhi oleh variasi nilai N14, 15 dan 16, sedangkan penyebaran pada sumbu dua dipengaruhi oleh N1 dan N2. Hal ini menunjukkan bahwa dengan panjang baku yang sama dari ketiga jenis ikan lalawak; lalawak jengkol cenderung memiliki tinggi badan, lebar badan dan lebar kepala yang lebih besar daripada jenis lainnya. Atau dengan kata lain dengan panjang baku yang sama dari ketiga jenis ikan lalawak, maka ikan lalawak sungai memiliki tinggi badan, lebar badan dan lebar kepala lebih kecil d ibandingkan jenis ikan lalawak lainnya tetapi mempunyai panjang total dan panjang cagak lebih besar dari kedua jenis ikan lalawak lainnya.

Pada sumbu tiga, ikan lalawak kolam cenderung berada di sebelah atas dari ikan lalawak lainnya (Gambar 8D). Adapun karakter yang mempengaruhinya adalah N20 dan N21. Hal ini menunjukkan bahwa dengan panjang kepala yang sama ikan lalawak kolam cenderung memiliki nilai panjang rahang atas dan rahang bawah lebih besar dibandingkan kedua jenis ikan lalawak lainnya. Hasil tersebut di atas diperkuat dengan hasil analisis cluster (Tabel 10), dimana ikan lalawak sungai mempunyai nilai euclidean yang paling besar (0.57).

Gambar 8C. Penyebaran individu pada sumbu 1 dan 2; (a) lalawak kolam, (b) lalawak jengkol dan (c) lalawak sungai

Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 2) Cases with sum of cosine square >= 0,00

(27)

Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 3) Cases with sum of cosine square >= 0,00

Active

Gambar 8D. Penyebaran individu pada sumbu 1 dan 3; (a) lalawak kolam, (b) lalawak jengkol dan (c) lalawak sungai

Tabel 10. Matrik nilai euclidean nisbah karakter morfometrik ikan lalawak jengkol, lalawak sungai dan lalawak kolam

Lalawak Jengkol Lalawak Sungai Lalawak Kolam

Lalawak Jengkol 0.00 0.50 0.20

Lalawak Sungai 0.50 0.00 0.57

Lalawak Kolam 0.20 0.57 0.00

Dari tabel tersebut di atas akan terbentuk dua kelompok ikan, dimana kelompok yang pertama adalah ikan lalawak sungai dan kelompok ke dua adalah ikan lalawak kolam dan jengkol (Gambar 9).

Gambar 9. Dendogram pengelompokan antara ikan lalawak sungai, lalawak jengkol dan lalawak kolam

(28)

Pengelompokan tersendiri dari ikan lalawak sungai dapat disebabkan ikan lalawak sungai memiliki nisbah morfometrik yang berbeda dari ikan lalawak lainnya seperti nilai nisbah tinggi badan, lebar badan dan lebar kepala. Selanjutnya perbedaan ini juga dapat disebabkan oleh perbedaan habitat tempat hidup ikan lalawak itu sendiri. Selanjutnya juga dilakukan analisis meristik. Adapun hasil analisis meristik disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Karakter meristik ikan lalawak jengkol, lalawak sungai dan lalawak kolam

Ikan Jari- jari

(29)
(30)

Selanjutnya untuk membedakan varietas ikan salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan melakukan analisis kromosom. Kromosom merupakan tempat gen -gen yang berperan dalam mewariskan sifat pada turunan serta sebagai pengontrol fenotip. Hasil uji kromosom ikan lalawak jengkol, sungai dan kolam disajikan pada Gambar 10 dan 11.

Gambar 10. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol

Gambar 11. Susunan kromosom ikan lalawak sungai dan lalawak kolam

Gambar 10 dan 11 menunjukkan bahwa jumlah kromosom ikan lalawak jengkol, sungai dan kolam sama yaitu 24 pasang (2n = 48). Sedangkan dari susunan kariotipnya ikan lalawak jengkol berbeda dengan lalawak sungai dan kolam, tetapi antara ikan lalawak sungai dan kolam sama (Tabel 12).

1 2 3 4 5 6 7 8

9 10 11 12

13 14 15 16 17

18 19 20 21

22 23 24

M

SM

T

ST

1 2 3 4 5 6 7

8 9 10 11

12 13 14 15 16 17

18 19 20 21 22

23 24

M

SM

T

(31)

Kromosom dapat dibedakan berdasarkan lokasi dari sentromer dan panjang relatif dari lengan. Kromosom akrosentrik berbentuk batang dengan satu sentromer terminal (lengan tunggal). Metasentrik berbentuk V dengan posisi sentromer di bagian tengah (dua lengan yang simetrik) dan telosentrik adalah suatu kondisi peralihan dengan satu lengan yang lebih pendek daripada lainnya (Hochachka dan Mommsen 1998). Menurut Guodenough dan Adisoemarto (1984), berdasarkan letak sentromernya kromosom dapat dikelompokan menjadi lima yaitu telosentrik, akrosentrik, subtelosentrik, metasentrik dan submetasentrik. Tetapi pada umumnya pengelompokan yang dilakukan adalah metasentrik, submetasentrik dan akrosentrik. Metasentrik adalah kromosom yang sentromernya terletak ditengah sehingga kedua lengan sama panjang. Kromosom submetasentrik adalah kromosom yang memiliki sentromer terletak agak ke atas sehingga lengan yang satu lebih panjang. Sedangkan kromosom akrosentrik adalah kromosom yang mempunyai sentromer di tepi sehingga lengan yang satu jauh lebih panjang daripada lengan lainnya.

Tabel 12. Jumlah kromosom dan kari otip ikan lalawak jengkol, lalawak sungai dan lalawak kolam

No Jenis Ikan Jumlah Kromosom Susunan Kromosom

1 Lalawak Jengkol 2n = 48

11 pasang metasentrik (M) 6 pasang submetasentrik (SM) 5 pasang telosentrik (T) 2 pasang subtelosentrik (ST)

2 Lalawak Sungai 2n = 48

12 pasang metasentrik (M) 5 pasang submetasentrik (SM) 4 pasang telosentrik (T) 3 pasang subtelosentrik (ST)

3 Lalawak Kolam 2n = 48

12 pasang metasentrik (M) 5 pasang submetasentrik (SM) 4 pasang telosentrik (T) 3 pasang subtelosentrik (ST)

(32)

Pada hewan semakin dekat kekerabatannya semakin banyak persamaan bentuk, ukuran dan jumlah kromosomnya. Dua hewan yang berbeda spesies dapat memiliki kromosom yang sama bahkan pada ikan dengan genus yang berbeda juga akan mempunyai kromosom yang sam a, namun akan berbeda penampilan morfologisnya. Menurut Purdom (1993), terdapat tiga variasi kromosom dalam intra spesifik maupun dalam intra individual yaitu: 1) variasi jumlah kromosom (2n) maupun jumlah lengan kromosom, 2) variasi dalam pola pita kromosom individual dan 3) variasi kromosom seks. Variasi-variasi tersebut tidak hanya terlihat di antara individu atau spesies tetapi juga di antara sel-sel dalam suatu individu. Penelitian kromosom pada ikan telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai preparat jaringan antara lain sisik, kultur sel bagian posterior sirip ekor (Uwa et al. 1981; Uwa dan Yoshio 1981), kultur leukosit (Busack et al. 1980; Hartono 2003), embryo (Uwa dan Magtoon 1986), lengkung insang (Andriani 2000; Nuryanto 2001) dan larva (Said et al. 2001).

Untuk menjaga keberadaan ikan-ikan yang sudah mulai punah, maka salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan melihat potensi reproduksinya. Beberapa aspek potensi reproduksi yang dapat dijadikan suatu acuan antara lain adalah indeks kematangan gonad, tingkat kematangan gonad, bobot telur, diameter telur dan fekunditas . Nilai indeks kematangan gonad, fekunditas , bobot telur dan diameter telur dapat dilihat pada Tabel 13. Sedangkan tingkat kematangan gonad (TKG) ikan lalawak umumnya berkisar antara TKG I – II (Tabel 14).

Tabel 13. Nilai indeks kematangan gonad (IKG), fekunditas (F), bobot telur (BT) dan diameter telur (DT)

Parameter Jenis Jengkol Sungai Kolam

IKG (%) ?

?

1.07 10.90

1.11 9.28

0.97 10.19

F (butir) - 12 936 11 124 13 135.2

BT (µ g/butir) - 113.69 76.87 82.04

DT (mm) - 0.71 0.67 0.67

(33)

kolam (10.19%) dan sungai (9.28%). Sedangkan untuk ikan jantan nilai indeks kematangan gonad yang terbesar pada ikan lalawak sungai (1.11%), selanjutnya secara berturut-turut diikuti oleh ikan lalawak jengkol (1.07%) dan kolam (0.97%). Hal ini disebabkan karena pertambahan bobot ovarium selalu lebih besar daripada pertambahan bobot testis. Peningkatan bobot ovarium berhubungan dengan proses vitelogenesis dalam perkembangan gonad, sedangkan peningkatan bobot testis berhubungan dengan proses spermatogenesis (Cerda et al. 1996).

Tabel 14. Kriteria tingkat kematangan gonad ikan lalawak (Barbodes s p.) secara anatomis

Tingkat Kematangan

Gonad

Betina Jantan

I

Ovarium seperti benang, panjang sampai ke depan rongga tubuh, warna jernih, permukaan licin.

Testis seperti benang, lebih pendek (terbatas) dan terlihat ujungnya di rongga tubuh, warna jernih.

II

Ukuran ovarium lebih besar, warna lebih gelap kekuning-kuningan, telur belum terlihat jelas dengan mata.

Ukuran testis lebih besar, warna putih seperti susu, bentuk lebih jelas daripada tingkat I

TKG I, gonad betina masih berbentuk sepasang benang kasar yang terletak pada bagian kanan dan kiri rongga perut, warna kuning kecoklatan dengan permukaan licin dan telur belum dapat dilihat. Secara histologis gonad TKG I didominasi oleh oosit dengan inti sel yang lebih besar, serta sitoplasma yang berwarna ungu lebih tebal. Pada ikan mas, ukuran oosit stadium ini berkisar antara 25.0 sampai 262.5 µm (Hardjamulia 1987) dan pada ikan semah berkisar antara 30 sampai 120 µm (Hardjamulia et al. 1995). Sedangkan gonad ikan jantan berbentuk sepasang benang berwarna bening dan licin, serta ukurannya lebih pendek dan kecil bila dibandingkan dengan gonad betina. Secara histologis terlihat jaringan ikat lebih dominan. Sel spermatogonium berasal dari perkembangan pertama atau kedua yang akan memasuki perkembangan tahap spermatogonia. Fase ini dinamakan immature/belum matang (Murphy dan Taylor 1990).

(34)

1992). Secara histologis TKG II mempunyai oosit dengan diameter bertambah besar, sitoplasma terlihat lebih jelas berwarna ungu. Pada perifer sitoplasma sudah kelihatan lapisan vesikula kuning telur. Untuk ikan jantan, gonad mempunyai ukuran lebih besar daripada TKG I, dan berwarna putih. Secara histologis kantong-kantong tubulus seminiferi mulai berisi spermatosit yang berasal dari perkembangan spermatogonium (Gambar 12).

Gambar 12. Struktur histologi s gonad ikan Lalawak betina (Barbodes sp.) (A) dan ikan Lalawak jantan (Barbodes sp.) (B)

(Pewarnaan hematoxylin-eosin)

Keterangan: 1. Oosit, 2. inti sel, 3. vesikula, 4. spermatogonium, 5. spermatosit

Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Peningkatan bobot ovarium dan testis juga bergantung kepada ketersediaan pakan, karena bahan baku dalam proses pematangan gonad terdiri atas karbohidrat, lemak dan protein (Kamler 1992). Menurut Luvi (2000), nilai IKG ikan lalawak yang tertangkap di Sungai Cimanuk untuk yang jantan berkisar antara 0.78 sampai 6.26, sedangkan yang betina 0.71 sampai 29.07%.

Peningkatan nilai indeks kematangan gonad, fekunditas, bobot telur dan diameter telur dapat disebabkan oleh perkembangan oosit. Nilai fekunditas suatu spesies ikan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan (Wootton 1979). Nilai fekunditas tertinggi didapati pada ikan lalawak kolam yaitu sebesar 13 135.2 butir, selanjutnya diikuti oleh ikan lalawak jengkol sebesar 12 936 butir dan ikan lalawak sungai sebesar 11 124 butir. Perbedaan ukuran (bobot tubuh dan panjang total) akan menyebabkan berbedanya ukuran bobot ovarium dan juga akan

A B

TKG I 1

2

TKG I I 1

3

TKG I

4

TKG I I

(35)

menyebabkan berbedanya nilai fekunditas. Ikan yang baru pertama kali matang gonad memiliki ukuran tubuh lebih kecil bila dibandingkan dengan ikan yang telah mengalami beberapa kali matang gonad (Synder 1983). Nilai fekunditas juga dipengaruhi oleh ukuran diameter dan bobot telur (Woynarovich dan Horvath 1980). Bobot telur tertingg i didapati pada ikan lalawak jengkol 113.69 µg/butir dan selanjutnya secara berturut-turut diikuti oleh ikan lalawak kolam sebesar 82.04 µg/butir dan ikan lalawak sungai sebesar 76.87 µg/butir. Sedangkan untuk diameter telur terbesar didapati pada ikan lalawak kolam dan sungai yaitu sebesar 0.71 mm dan ikan lalawak jengkol sebesar 0.67 mm. Selanjutnya Abidin (1986) menyatakan bahwa nilai fekunditas, bobot telur dan diameter telur juga dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.

Hasil analisis parameter fisika dan kimia masing-masing stasiun penelitian disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Parameter fisika dan kimia pada masing -masing stasiun penelitian

Stasiun

(36)

Selain kecepatan arus, kecerahan dipengaruhi pula oleh padatan tersuspensi (TSS). Nilai TSS pada ketiga stasiun pengamatan berkisar antara 74 sampai 90.3. Menurut Alabaster dan Lloyd (1980), kisaran nilai TSS 80 sampai 400 kurang menunjang untuk usaha perikanan, karena kondisi perairan dengan nilai tersebut dapat menyebabkan proses fotosintesis di perairan tidak berjalan dengan maksimum. Kecepatan arus juga dipengaruhi oleh ketinggian antara bagian hulu dan hilir sungai, kalau perbedaannya cukup besar maka arus akan semakin deras. Kecepatan arus juga akan berpengaruh pada jenis subtrat suatu perairan. Pada stasiun satu dan dua subtrat berbentuk kerikil, sedangkan pada stasiun tiga berbentuk lumpur karena arusnya lambat. Menurut Effendi (2003), kecepatan arus dari suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan air untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar.

Derajat keasaman (pH) stasiun pengamatan berkisar antara 6.0 sampai 7.0, hal ini berarti pH perairan yang terdapat pada stasiun pengamatan tergolong netral. Kondisi ini disebabkan lokasi pengamatan berada jauh dari sumber limbah seperti pabrik tahu dan pemukiman penduduk. Sungai di sekitar stasiun pengamatan sampai ke hulu hanya dikelilingi oleh hutan dan persawahan. Nilai pH netral cukup baik untuk menunjang kehidupan ikan (Hickling 1971). Oksigen terlarut pada stasiun satu lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh perbedaan suhu perairan, pergerakan air dan proses fotosintesis organisme di perairan.

(37)

alkalinitas pada ke tiga stasiun berada pada kisaran 85-160 ppm CaCO3, dan alkalinitas tersebut cukup baik untuk perikanan. Ikan lalawak hidup di air yang jernih sampai air yang agak keruh, dengan dasar perairan yang berpasir, sedikit berlumpur dan berbatu-batu kecil.

Komposisi makanan ikan berdasarkan nilai rata-rata index of prepondence pada ketiga stasiun pengambilan sampel disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Indeks of Prope nderance (IP) makanan Ikan Lalawak (Barbodes sp.)

IP (%)

(38)

Rotifera 5%, Detritus 3%, Crustaceae 1% dan tidak terdeteksi sebesar 1% (Gambar 15).

Berdasarkan hasil analisis tersebut didapatkan bahwa jenis makanan ikan lalawak adalah berupa phytoplankton, zooplankton, invertebrata air dan lainnya (detritus). Menurut Luvi (2000), ikan lalawak dari sungai Cimanuk berdasarkan analisis isi perutnya tergolong ikan omnivora karena ditemukan jenis organisme nabati dan hewani.

Gambar 13. Komposisi makanan ikan Lalawak (Barbodes sp.) di stasiun I

Gambar 14. Komposisi makanan ikan Lalawak (Barbodes sp.) di stasiun II

45%

6% 19%

23%

1% 3%

2%

0% 1%

Bacillariophyceae

Chlorophyceae

Cyanophyceae

Euglenophyceae

Rotifera

Crustaceae

Protozoa

Detritus

Tidak Terdeteksi

27%

21%

12% 20%

14%

2% 2%

0% 2%

Bacillariophyceae

Chlorophyceae

Cyanophyceae

Euglenophyceae

Rotifera

Crustaceae

Protozoa

Detritus

(39)

Gambar 15. Komposisi makanan ikan Lalawak (Barbodes sp.) di stasiun III

Hasil analisis hubungan panjang total dan bobot tubuh serta faktor kondisi untuk ikan lalawak jengkol, sungai dan kolam disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi

Ikan Lalawak (Barbodes sp.) Parameter

Jengkol Sungai Kolam

Jumlah ikan (ekor) 20 20 25

Bobot rata-rata (g) 17.571 9.943 29.956

Panjang total rata-rata (mm) 98.330 93.733 129.041

Hubungan Panjang berat W = 0.00011*L6.230 W = 8.05E- 05*L6.270 W = 2.39E*L5.970

Nilai r 0.74 0.94 0.93

Tipe pertumbuhan Alometrik positif Alom etrik positif Alometrik positif

Faktor kondisi 1.498 1.149 1.216

Berdasarkan hasil analisis seperti terlihat pada Tabel 17, bahwa antara panjang total dan bobot tubuh ikan lalawak baik jengkol, sungai maupun kolam menunjukkan hubungan yang kuat sekali, hal ini terlihat dari nilai r korelasinya yang tinggi. Santoso (2003), menyatakan bahwa angka korelasi diatas 0.5 menunjukkan korelasi yang cukup kuat, sedangkan dibawah 0.5 korelasi lemah. Nilai korelasi terendah terdapat pada ikan lalawak jengkol yaitu sebesar 0.74 (Gambar 16), selanjutnya diikuti oleh ikan lalawak kolam yaitu sebesar 0.93 (Gambar 17) dan lalawak sungai yaitu sebesar 0.94 (Gambar 18).

13%

10%

24%

23% 5%

20%

3% 1%

1%

Bacillariophyceae

Chlorophyceae

Cyanophyceae

Euglenophyceae

Rotifera

Crustaceae

Protozoa

Detritus

(40)

Gambar 16. Hubungan panjang berat ikan lalawak jengkol

Gambar 17. Hubungan panjang berat ikan lalawak sungai

W = 0, 00011* L6, 230

R2 = 0, 74

0 10 20 30 40 50 60 70

0 5 10 15 20

Panjang Total (cm)

Bobot Tubuh (g)

W = 8, 05E- 05* L6, 270

R2 = 0, 94

0 5 10 15 20 25

0 2 4 6 8 10 12 14

Panjang Total (cm)

(41)

Gambar 18. Hubungan panjang berat ikan lalawak kolam

Faktor kondisi (K) ikan lalawak jengkol didapatkan sebesar 1.498, selanjutnya diikuti oleh lalawak kolam, yaitu sebesar 1.216 dan ikan lalawak sungai, yaitu sebesar 1.149. Secara keseluruhan untuk ikan lalawak baik jengkol, sungai dan kolam pertumbuhan berat lebih cepat daripada pertumbuhan panjangnya. Hal ini juga diikuti oleh faktor kondisi ikan lalawak, dimana nilai K nya berkisar antara 1.149 sampai 1.216. Menurut Effendi (1979), bahwa nilai K untuk ikan-ikan yang badannya kurang pipih berkisar antara 1 sampai 3. Hubungan panjang total dan bobot tubuh serta faktor kondisi suatu ikan bergantung kepada makanan, umur, jenis sex dan kematangan gonad (Effendi 1997).

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

1. Ikan lalawak jengkol, lalawak kolam dan lalawak sungai yang terdapat di Kecamatan Buah Dua dan Congeang Kabupaten Sumedang termasuk ke dalam genus Barbodes.

2. Ikan lalawak jengkol merupakan varietas baru dari Barbodes, dengan bentuk badan bulat, sedangkan lalawak kolam dan sungai memanjang. Jumlah

W = 2, 39E- 05* L5,970

R2 = 0, 93

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 5 10 15 20

Panjang Total (cm)

(42)

kromosom ikan lalawak jengkol, sungai dan kolam sama, tetapi susunan kromosomnya berbeda.

3. Ikan lalawak jengkol mempunyai kemampuan reproduksi yang cukup baik dibandingkan dengan ikan lalawak sungai dan kolam.

4. Ikan lalawak termasuk ikan omnivora yang cenderung ke herbivora.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai status taksonomi ikan lalawak jengkol dengan menggunakan metode DNA.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terutama tentang aspek lingkungan (alkalinitas) dan pakan buatan (kandungan protein pakan).

(43)

PENGARUH ALKALINITAS TERHADAP

TINGKAT KERJA OSMOTIK, KONSUMSI OKSIGEN,

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP

IKAN LALAWAK (

Barbodes

sp.)

Pendahuluan

Dalam masalah penanganan budidaya ikan, faktor lingkungan (kualitas air) perlu diperhatikan sebab pengaruh lingkungan terhadap produksi hewan air adalah bersifat ganda, sedang sifat genetik dan faktor lainnya bersifat tunggal serta faktor-faktor tersebut bersifat interaktif dan akumulatif. Salah satu faktor lingkungan yang harus dipertimbangkan dalam kegiatan budidaya ikan adalah alkalinitas.

(44)

sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan nilai alkalinitas, akan tetapi berkaitan dengan keberadaan fosfor dan elemen esensial lainnya yang meningkat kadarnya dengan meningkatnya nilai alkalinitas. Nilai alkalinitas di perairan berkisar antara 5 hingga ratusan mg/l CaCO3. Nilai alkalinitas yang baik berkisar antara 30 sampai 500 mg/l CaCO3, nilai alkalinitas pada perairan alami adalah 40 mg/l CaCO3 (Boyd 1988 dalam Effendi 2003). Selanjutnya dikatakan juga bahwa perairan dengan nilai alkalintias lebih dari 40 mg/l CaCO3 disebut sebagai perairan sadah sedangkan perairan dengan alkalinitas kurang dari 40 mg /l CaCO3 disebut sebagai perairan lunak.

Untuk keberhasilan budidaya ikan, maka kualitas air baik dari segi fisika dan kimianya perlu dipahami. Di samping kualitas, kuantitas air juga penting dipandang dari segi besarnya kemampuan perairan untuk memproduksi suatu biomassa biota air (ikan). Kualitas air tidak hanya menentukan bagaimana ikan akan tumbuh tetapi juga bagaimana ikan tersebut dapat hidup. Masing-masing faktor saling berinteraksi dan mempengaruhi faktor-faktor lainnya. Salah satu parameter kualitas air yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan adalah alkalinitas.

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan mulai bulan Juni sampai Agustus 2004. Penelitian dilaksanakan di Hatchery dan Laboratorium Terpadu Pondok Pesantren Mahad Al-Zaytun, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh alkalinitas media pemeliharaan terhadap tingkat kerja osmotik, konsumsi oksigen, pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan lalawak, Barbodes sp.

Prosedur Penelitian

(45)

penelitian berupa akuarium dengan ukuran 90 x 50 x 40 cm dan diisi air setinggi 30 cm (volume 135 L). Air yang digunakan adalah air sumur dangkal sebagai bahan baku dan selanjutnya dibuat alkalinitasnya sesuai dengan perlakuan yaitu dengan cara mencampurkan air dari sumur dangkal dengan air sumur artesis yang berakalinitas tinggi (276.55 ppm CaCO3). Pakan yang digunakan selama percobaan berlangsung adalah berupa pellet yang biasa diperjualbelikan di pasar dengan kadar protein lebih kurang 23%.

Ikan dipelihara selama 75 hari dan setiap 15 hari sekali dilakukan pengukuran bobot dan panjang total ikan. Selama pemeliharaan ikan diberi pakan tiga kali sehari yaitu pada pukul 7 pagi, 12 siang dan 5 sore, ikan diberi makan sampai kenyang. Untuk menjaga agar kualitas air tetap terjaga maka setiap hari dilakukan penyiponan sisa-sisa makanan dan kotoran ikan. Sedangkan untuk mempertahankan alkalinitas agar tetap sesuai dengan perlakuan maka setiap tujuh hari sekali dilakukan pergantian air secara total sesuai dengan perlakuan.

Rancangan Percobaan

Untuk uji alkalinitas, rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap yang terdiri atas empat perlakuan konsentrasi alkalinitas yaitu 48, 78, 108 dan 138 ppm CaCO3, masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali, sehingga diperoleh 12 unit wadah percobaan.

Parameter Uji

Untuk uji alkalinitas parameter yang diamati meliputi tingkat kerja osmotik, tingkat konsumsi oksigen, pertambahan bobot mutlak, laju pertumbuhan harian dan kelangsungan hidup . Sebagai data penunjang juga dilakukan analisis terhadap beberapa parameter kualitas air lainnya. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Tingkat kerja osmotik

TKO = (osmolaritas darah ikan –

osmolaritas media) mOsm/L H2O) 2. Tingkat konsumsi oksigen

(46)

tn = (O2)n-1 – (O2)n x Vn-1 / (Wn) x (tn – tn-1)

Keterangan

: (O2)o = Konsentrasi oksigen pada saat to (mgO2/l) (O2)n = Konsentrasi oksigen pada saat tn (mgO2/l) Vo = Volume air pada saat to

Vn-1 = Volume air pada saat tn-1 W = Bobot ikan uji pada saat tn 3. Pertambahan bobot mutlak: PBM (g) = Wt - Wo

Keterangan

: __

Wt = Bobot rata-rata ikan pada akhir penelitian (g) __

Wo = Bobot rata-rata ikan pada awal penelitian (g) 4. Laju Pertumbuhan Harian : Wt = Wo (1 + 0.01α)t (Huisman 1976)

Keterangan

: __

Wt = Bobot rata-rata ikan pada akhir penelitian (g) __

Wo = Bobot rata-rata ikan pada awal penelitian (g)

α = Laju pertumbuhan harian (%) t = Waktu pemeliharaan (hari) 5. Kelangsungan Hidup:KH (%) = Nt/No x 100

Keterangan: Nt = Jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian No = Jumlah ikan pada awal penelitian

Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari parameter pengamatan ditabulasikan, kemudian dilakukan analisis varian dan apabila terdapat perbedaan antar perlakuan maka dilakukan uji lanjut Tukey’s. Data diolah dengan menggunakan program SPSS versi 11.0.

Hasil dan Pembahasan

(47)

sedangkan kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan harian ikan lalawak memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05) (Tabel 18).

Tabel 18. Tingkat kerja osmotik (TKO), tingkat konsumsi oksigen (KO), pertambahan bobot mutlak (PBM), laju pertumbuhan harian (LPH), dan kelangsungan hidup (KH) pada masing-masing perlakuan selama

penelitian

Alkalinitas (ppm) Parameter

48 78 108 138

TKO (mOsm/L H2O) 100 ± 0.00a 14.50 ± 1.04c 25.58 ± 2.82b 28.68 ± 0.39b

KO (mg/kg ikan/jam) 329.53±49.26a 309.78 ± 52.43a 623.54 ± 81.50b 661.49 ± 35.02b

PBM (g) 2.01 ± 1.05b 6.17 ± 1.90a 1.80 ± 1.37b 1.75 ± 1.44b

LPH (%) 0.32 ± 0.31a 0.53 ± 0.14a 0.30 ± 0.26a 0.17 ± 0.14a

KH (%) 100a 100a 100a 100a

Keterangan: Angka y ang diikuti oleh huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0.05)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa alkalinitas media pemeliharaan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap tingkat kerja osmotik (P<0.05) (Lampiran 12). Tingkat kerja osmotik menurun sejalan dengan meningkatnya alkalinitas media pemeliharaan sampai pada batas tertentu. Hubungan antara tingkat kerja osmotik dengan alkalinitas media pemeliharaan berbentuk kuadratik dengan persamaan Y= 0.0246x2 – 5.2539x + 290.26, dengan nilai R2 adalah sebesar 0.88 (Gambar 19). Dari pola tingkat respon kuadratik tersebut, dapat diketahui bahwa tingkat kerja osmotik yang minimum yaitu sebesar 9.74 mOsm/L H2O pada alkalinitas media pemeliharaan 107 ppm CaCO3.

Gambar 19. Hubungan antara tingkat kerja osmotik ikan lalawak (Barbodes sp.) dengan alkalinitas media pemeliharaan

y = 0,0246x2 - 5,2539x + 290,26

R2 = 0,88

0 20 40 60 80 100 120

0 50 100 150

Alkalinitas Media (ppm CaCO3)

(48)

Alkalinitas menggambarkan kandungan basa yang dititrasi dengan asam kuat seperti basa dari kation Ca, Mg, K, Na, NH4 dan Fe, yang umumnya bersenyawa dengan karbonat dan bikarbonat, asam lemak dan hidroksil. Pada perairan alamiah, nilai alkalinitas terutama menggambarkan nilai kebasaan dari karbonat dan bikarbonat. Hanya dalam perairan tercemar nilai alkalinitas menggambarkan basa dari hidroksil. Boyd (1988) menganjurkan kisaran alkalinitas dan kesadahan bagi ikan adalah 20 sampai 300 ppm. Alkalinitas optimal dalam budidaya ikan intensif adalah 100 sampai 150 ppm (Wedenmeyer 1996). Fungsi utama alkalinitas adalah sebagai penyangga fluktuasi pH air. Semakin tinggi alkalinitas maka kemampuan air untuk menyangga lebih tinggi sehingga fluktuasi pH semakin rendah. Alkalinitas dan kesadahan selain berfungsi sebagai penyangga pH, ternyata dengan keberadaan unsur kalsiumnya penting dalam mempertahankan kepekaan membran sel dalam jaringan saraf dan otot (Smith 1982).

(49)

sistem organ yang sekontinyu seperti sistem saraf. Tetapi lebih merupakan kumpulan dari berbagai perbatasan semi permiabel yang membatasi antara ikan dan lingkungannya (Smith 1982).

Perbedaan tekanan osmotik yang rendah menyebabkan osmoregulasi berlangsung efisien dan ini merupakan indikasi osmoregulasi yang baik, sebaliknya perbedaan tekanan osmotik yang tinggi merupakan indikasi osmoregulasi yang kurang baik. Perbedaan tekanan osmotik yang rendah akan mengurangi beban kerja enzim Na+K+-ATP ase serta pengangkutan aktif ion Na+, K+ dan Cl- akibatnya energi (ATP) yang digunakan untuk proses osmoregulasi sedikit dan berarti makin banyak porsi energi yang tersedia untuk pertumbuhan (Geoff dan Maquire 1992). Oleh karena itu laju pertambahan bobot lebih tinggi pada perbedaan tekanan osmotik yang rendah. Selanjutnya Payne et al. (1988) juga menyatakan bahwa penggunaan energi berhubungan dengan osmoregulasi ikan, sehingga apabila kebutuhan energi untuk osmoregulasi tinggi maka porsi energi untuk pemeliharaan dan pertumbuhan akan berkurang yang mengakibatkan pertumbuhan menjadi lambat. Hal ini juga erat kaitannya dengan tingkat konsumsi oksigen.

(50)

Gambar 20. Hubungan antara konsumsi oksigen ikan lalawak (Barbodes sp.) dengan alkalinitas media pemeliharaan Kebutuhan oksigen bagi ikan mempunyai dua aspek yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang bergantung pada keadaan metabolisme ikan. Ikan memerlukan oksigen untuk mengoksidasi nutrien yang berasal dari makanan yang dikonsumsinya agar dihasilkan energi. Selanjutnya energi yang dihasilkan akan digunakan untuk keperluan aktivitas, seperti berenang, mencerna makanan, serta reproduksi dan lain-lain (Zonneveld et al. 1991). Pada kondisi alkalinitas optimal porsi energi yang digunakan dalam proses metabolisme menjad i minimum akibatnya porsi energi untuk pertumbuhan meningkat.

Pertambahan bobot mutlak rata-rata memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) (Lampiran 14). Ikan pada alkalinitas 138 ppm CaCO3 memberikan pertambahan bobot mutlak rata-rata paling rendah (Gambar 21), yaitu 1.75 g. Pada kisaran alkalinitas 48 sampai dengan 138 ppm CaCO3 memberikan kurva respon kuadratik terhadap pertambahan bobot mutlak rata-rata mengikuti persamaan: Y = -0.0012x2 + 0.2004x – 4.2699; yang artinya pertambahan bobot mutlak rata-rata meningkat dengan meningkatnya alkalinitas media pemeliharaan hingga mencapai nilai yang maksimum sebesar 4.094 g pada alkalinitas media pemeliharaan 85 ppm CaCO3, setelah itu laju pertambahan bobot mutlak menurun walaupun alkalinitas media pemeliharan ditingkatkan.

y = - 0, 0038x3 + 1, 0654x2 - 89, 27x + 2575, 7 R2 = 1

0 100 200 300 400 500 600 700 800

0 20 40 60 80 100 120 140 160

Alkalinitas Media (ppm CaCO3)

(51)

Gambar 21. Bobot mutlak rata-rata ikan lalawak (Barbodes sp.) per perlakuan (alkalinitas) setiap waktu pengamatan

Pertumbuhan setiap organisme, termasuk ikan dapat dianggap berasal dari dua proses yang berlawanan; proses pertama cenderung untuk menurunkan energi tubuh (katabolisme) dan proses yang lain cenderung untuk menaikkan energi tubuh (anabolisme) (Zonneveld et al. 1991). Pertumbuhan terjadi apabila ada kelebihan input energi dan asam amino (protein) yang berasal dari pakan. Sebelum digunakan untuk pertumbuhan, energi terlebih dahulu digunakan untuk memenuhi seluruh aktivitas dan pemeliharaan tubuh melalui proses metabolisme (NRC 1993). Walaupun pertumbuhan tidak menduduki prio ritas terakhir selama distribusi energi, tetapi dalam banyak kasus pertumbuhan dan reproduksi tampaknya hanya mendapat sisa energi bila ada setelah semua fungsi-fungsi yang lain seperti: respon terhadap stress dan respon lain yang bersifat segera telah mendapat cukup energi. Jadi pertumbuhan dan reproduksi merupakan indikator yang tepat mengenai keberhasilan ikan dalam menghadapi masalah lingkungannya.

Sebagai data penunjang, hasil pengukuran beberapa parameter sifat fisika dan kimia air selama percobaan adalah sebagai berikut: suhu 28.5 sampai 31oC, pH 6.69 sampai 8.46, oksigen terlarut 4.8 sampai 6.4 mg/l dan amonia 0.025 sampai 0.34 mg/l. Dari data tersebut ternyata kisaran sifat fisika dan kimia air media pemeliharaan ada dalam batas yang cukup baik untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhan ikan lalawak.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

1 2 3 4 5 6

Waktu Pengamatan (minggu)

Pertambahan Bobot Mutlak (g)

(52)

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Alkalinitas media pemeliharaan yang baik untuk mendukung pertumbuhan ikan lalawak adalah 85 ppm CaCO3.

Saran

(53)

KEBUTUHAN PROTEIN PAKAN UNTUK PERTUMBUHAN

IKAN LALAWAK

(Barbodes

sp.

)

Pendahuluan

Kegiatan usaha budidaya ikan, baik ikan herbivora, karnivora maupun omnivora dapat dilakukan dengan baik apabila aspek nutrisi ketiga jenis ikan tersebut diketahui atau dikuasai. Dengan adanya data atau informasi kebutuhan nutrisi maka formulasi pakan yang tepat dapat dibuat. Pakan yang dimakan pertama-tama akan digunakan untuk memelihara tubuh dan pergantian jaringan tubuh yang rusak, aktivitas, selanjutnya kelebihan dari pakan akan digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi.

Kebutuhan nutrisi yang perlu diketahui antara lain protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Protein merupakan zat makanan yang sangat dibutuhkan untuk pemeliharaan tubuh, pembentukan jaringan, penggantian jaringan tubuh yang rusak serta penambahan protein tubuh dalam proses pertumbuhan. Protein juga dapat digunakan sebagai sumber energi seperti halnya lemak dan karbohidrat. Oleh karena itu, dalam menentukan kebutuhan nutrisi, kebutuhan protein perlu dipenuhi terlebih dahulu. Pada kegiatan usaha budidaya intensif, biaya produksi yang terbesar adalah biaya untuk pengadaan pakan. Untuk meningkatkan pendapatan petani ikan, maka pakan dengan formulasi yang tepat, bermutu tinggi, efisien dan ekonomis perlu diperoleh.

(54)

Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan mulai bulan Oktober 2004 sampai Januari 2005. Penelitian dilaksanakan di di Hatchery dan Laboratorium Terpadu Pondok Pesantren Mah ad Al-Zaytun, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan kadar protein dalam pakan ikan lalawak sebagai salah satu data dasar dalam pembuatan formulasi pakan selanjutnya. Informasi yang didapatkan akan digunakan sebagai dasar untuk penelitian tahap berikutnya (penyusunan ransum).

Prosedur Penelitian

Gambar

Gambar 11. Susunan kromosom ikan lalawak sungai dan lalawak kolam
Tabel 13. Nilai indeks kematangan gonad (IKG), fekunditas (F),                                             bobot telur (BT) dan diameter telur (DT)
Gambar 12.   Struktur histologis gonad ikan Lalawak betina (Barbodes                              dan ikan Lalawak jantan ( sp.) (A)  Barbodes sp.) (B)                                (Pewarnaan hematoxylin-eosin)
Tabel 15 menunjukkan untuk stasiun satu suhunya lebih rendah dari
+7

Referensi

Dokumen terkait

Demikian berita acara terima barang ini kami buat untuk dapat di pergunakan

bijaksana, lemah &gt;&lt; kuat, buruk &gt;&lt; baik, dan kejahatan &gt;&lt; kebaikan tetapi pada akhirnya kejahatan dapat dikalahkan oleh kebajikan, (2) sugesti

Ketidaknyamanan fasilitas yang disediakan pada Bandros baik dari bentuk dan material pada kursi, atap yang yang rendah sehingga membuat penumpang kesulitan untuk berdiri

Kesimpulan dari analisis data produksi hasil perikanan Sulawesi Selatan selama tahun 1999 - 2007, dengan alat tangkap yang dijadikan standar adalah alat tangkap pukat

Sesuai dengan pedoman penilaian kinerja guru, khususnya kemampuan guru dalam berkomunikasi dengan peserta didik telah ditetapkan beberapa indikator yaitu: (1) Cara

Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia lebih condong kepada negara-negara Blok Barat dalam rangka mendapatkan pinjaman dana dari negera-negara tersebut untuk

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Suryanawa (2008) pada penelitiannya menunjukan bahwa faktor kondisi yang memfasilitasi memiliki hubungan

Kelebihan metode Learning Journals yang diterapkan dalam pembelajaran sosiologi di kelas XI IPS 1 antara lain adalah siswa menjadi lebih memahami materi