• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Resapan Air Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kemampuan Resapan Air Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

KEMAMPUAN RESAPAN AIR TANAH PADA BERBAGAI

PENGGUNAAN LAHAN DI LATOSOL DARMAGA DAN

ANDOSOL CISARUA

LINGGA SWASANA YOGIA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kemampuan Resapan Air Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

(4)

ABSTRAK

LINGGA SWASANA YOGIA. Kemampuan Resapan Air Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan WAHYU PURWAKUSUMA.

Hutan merupakan ekosistem alamiah yang memiliki kualitas tanah yang baik. Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan penurunan kualitas lahan. Penurunan kualitas lahan akan berbeda untuk setiap jenis tanah. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan nilai kapasitas infiltrasi, jumlah serasah, jumlah fauna makro dan kandungan bahan organik tanah pada kebun campuran, tegalan dan hutan di Latosol dan Andosol. Hasil penelitian menunjukkan jumlah serasah, kandungan bahan organik, jumlah fauna makro dan kapasitas infiltrasi pada lahan pertanian lebih kecil dibandingkan dengan hutan. Karakteristik tersebut paling buruk terdapat pada tegalan. Perbedaan terbesar terjadi pada tegalan di Andosol untuk jumlah serasah, kandungan bahan organik, fauna makro dan kapasitas infiltrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan kualitas tanah akibat perubahan penggunaan lahan lebih di Andosol lebih besar dibandingkan dengan Latosol.

Kata kunci: bahan organik tanah, kapasitas infiltrasi, fauna makro tanah, serasah

ABSTRACT

LINGGA SWASANA YOGIA. Soil Water Recharge Capability on Various Land Use in Latosol Darmaga and Andosol Cisarua. Supervised by DWI PUTRO TEJO BASKORO and WAHYU PURWAKUSUMA.

Forest is a natural ecosystem that has good soil properties. Land use change from forest to agricultural land led to degradate soil quality. The degradation of soil quality would be different for different soil type. The study aimed to compare infiltration capacity, the amount of organic litter, macrofauna and soil organic matter content in perennial mixed farm, annual dryland and forest on Latosol and Andosol. The results showed that the amount of organic litter, organic matter content, macrofauna and infiltration capacity of agricultural land are smaller than those of forest. Those characteristics are poorest on annual dryland. The largest difference occurs in annual dryland at Andosol for the amount of litter, soil organic matter content, macrofauna and infiltration capacity. This indicate that land use change may cause greater soil quality degradation in Andosol than Latosol.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

KEMAMPUAN RESAPAN AIR TANAH PADA BERBAGAI

PENGGUNAAN LAHAN DI LATOSOL DARMAGA DAN

ANDOSOL CISARUA

LINGGA SWASANA YOGIA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Kemampuan Resapan Air Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua

Nama : Lingga Swasana Yogia NIM : A14090030

Disetujui oleh

Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc Pembimbing I

Ir Wahyu Purwakusuma, MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus, MSc Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan segala rahmat, nikmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro MSc selaku pembimbing pertama penulis, atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran dalam membimbing penulis selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. 2. Bapak Ir Wahyu Purwakusuma MSc selaku pembimbing kedua penulis yang

telah memberikan arahan, masukan, kesabaran dan sejumlah catatan sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan.

3. Ibu Dr Ir Enni Dwi Wahjunie MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, arahan yang sangat berguna bagi penulis.

4. Kedua orangtuaku serta keluarga yang tanpa henti memberikan doa, semangat, motivasi, perhatian yang sangat besar kepada penulis selama ini.

5. Teman-teman seperjuangan MSL 46 yang tidak bisa disebut namanya satu persatu, pegawai Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya lahan serta semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian hingga menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Penggunaan dan Pengolahan Lahan 2

Serasah 3

Bahan Organik Tanah 4

Fauna Tanah 5

Infiltrasi 6

Sifat Umum Latosol 8

Sifat Umum Andosol 9

METODE 9

Bahan dan Alat 9

Pelaksanaan Penelitian 10

Analisis Data 10

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 11

Jumlah Serasah 11

Bahan Organik Tanah 14

Fauna makro 16

(11)

KESIMPULAN DAN SARAN 20

Kesimpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 24

(12)

DAFTAR TABEL

1 Kecepatan infiltrasi akhir beberapa tipe tanah 8 2 Kisaran laju peresapan tanah pada tanah Puerto Rico, dikelompokkan

menurut golongan tanah (meliputi 57 tipe tanah dan 740 pengujian) 8 3 Bobot serasah pada berbagai jenis penggunaan lahan di Latosol

Darmaga dan Andosol Cisarua 12

4 Persentase perbedaan bobot serasah pada dua jenis penggunaan lahan

terhadap hutan 13

5 Persentase perbedaan kadar bahan organik tanah di setiap kedalaman pada dua jenis penggunaan lahan terhadap hutan 15 6 Rata-rata jumlah fauna makro dari tiga kali ulangan pada berbagai

penggunaan lahan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua 16 7 Persentase perbedaan jumlah fauna makro pada dua jenis penggunaan

lahan terhadap hutan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua 17 8 Kapasitas infiltrasi pada berbagai penggunaan laan di Latosol

Darmaga dan Andosol Cisarua 18

9 Persentase perbedaan kapasitas infiltrasi pada dua jenis penggunaan lahan terhadap hutan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua 19

DAFTAR GAMBAR

1 Tutupan tajuk pada berbagai penggunaan lahan (A=hutan Andosol; B=kebun campuran Andosol; C=tegalan Andosol; D=hutan Latosol;

E=kebun campuran Latosol; F=tegalan Latosol) 13

2 Kadar bahan organik tanah pada berbagai penggunaan lahan di

Andosol Cisarua (A) dan Latosol Darmaga (B) 14

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jumlah serasah pada berbagai penggunaan lahan di Latosol Darmaga 24 2 Jumlah serasah pada berbagai penggunaan lahan di Andosol Cisarua 24 3 Kandungan C-Org dan bahan organik tanah pada lahan hutan di

Andosol Cisarua 24

4 Kandungan C-Org dan bahan organik tanah pada lahan kebun

campuran di Andosol Cisarua 25

5 Kandungan C-Org dan bahan organik tanah pada lahan tegalan di

Andosol Cisarua 25

6 Kandungan C-Org dan bahan organik tanah pada lahan hutan di

Latosol Darmaga 26

7 Kandungan C-Org dan bahan organik tanah pada lahan kebun

campuran di Latosol Darmaga 26

8 Kandungan C-Org dan bahan organik tanah pada lahan tegalan di

Latosol Darmaga 27

9 Jumlah fauna makro tanah pada berbagai penggunaan lahan di Latosol

(13)

10 Jumlah fauna makro tanah pada berbagai pengunaan lahan di Andosol

Cisarua 29

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan merupakan suatu ekosistem alamiah dimana di dalamnya terdapat berbagai proses ekologis yang saling mempengaruhi satu sama lain. Karena proses-proses yang terjadi di dalamnya, hutan memiliki fungsi yang sangat penting bagi lingkungan, salah satunya adalah fungsi hidrologis. Fungsi hidrologis hutan yang baik tersebut didukung oleh karakteristik tanah yang baik.

Hutan memiliki lapisan serasah yang tebal, penutupan permukaan tanah oleh kanopi tanaman dan perkembangan fauna tanah yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan tanah yang lain (Hairiah et al. 2004a). Selain itu, hutan juga memiliki kemampuan melindungi tanah yang sangat baik dari erosi akibat tebalnya lapisan serasah (Morgan 2005). Kondisi ini menyebabkan tingginya kandungan bahan organik tanah, struktur tanah yang baik, rendahnya tingkat pembentukan kerak di permukaan tanah dan porositas makro yang tinggi sehingga dapat menurunkan limpasan permukaan (Suprayogo et al. 2004). Karena memiliki sifat fisik yang baik tersebut lahan hutan memiliki laju infiltrasi yang tinggi (Binkley dan Fisher 2000, Susswein et al. 2001). Menurut Taylor et al. (2009), tanah dengan penggunaan lahan hutan memiliki kemampuan retensi air yang lebih baik karena adanya micro-topography berupa gundukan-gundukan dan lubang-lubang yang dimiliki hutan. Hal ini memudahkan air hujan yang jatuh ke tanah untuk masuk ke dalam tanah dan menahan aliran permukaan sehingga hanya sedikit air limpasan yang dapat mengakibatkan terjadinya erosi.

Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan penurunan kualitas lahan. Hal ini disebabkan pada saat penggarapan, pemeliharaan maupun saat pemanenan dilakukan pengolahan tanah yang merusak sifat fisik tanah. Beberapa sifat fisik tanah dapat berubah akibat pengolahan tanah yang mengarah pada penurunan dan semakin buruknya sifat fisik tanah (Sanchez 1992). Tanah yang diolah akan menjadi cepat kering, berkadar bahan organik rendah dan memiliki struktur buruk. Buruknya struktur tanah dapat berdampak pada penurunan porositas makro, diikuti dengan penurunan laju infiltrasi serta peningkatan limpasan permukaan.

(15)

2

lahan hutan menjadi kebun kopi monokultur berpengaruh sangat nyata terhadap penurunan porositas tanah. Lahan hutan memiliki pori makro yang relatif lebih banyak dan laju infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebun kopi monokultur.

Besar penurunan kualitas lahan akan berbeda untuk setiap jenis tanah, hal ini bergantung pada karakteristik dari masing-masing tanah. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian untuk mengetahui seberapa besar perbedaan karakteristik yang terjadi pada hutan dan lahan yang mengalami pengolahan, dalam hal ini kebun campuran dan tegalan di dua jenis tanah yang berbeda.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan nilai kapasitas infiltrasi, jumlah serasah, jumlah fauna makro dan kandungan bahan organik tanah pada penggunaan lahan kebun campuran, tegalan dan hutan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup analisis kapasitas infiltrasi tanah, jumlah serasah, jumlah fauna makro dan kandungan bahan organik tanah pada tiga jenis penggunaan lahan di dua jenis tanah yang berbeda.

TINJAUAN PUSTAKA

Penggunaan dan Pengolahan Lahan

Penggunaan lahan merupakan bentuk intervensi atau campur tangan manusia terhadap sumberdaya lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik materiil maupun spiritual (Arsyad 2006).

Hutan merupakan areal yang ditumbuhi berbagai jenis pepohonan besar dan kecil, dengan tingkat pertumbuhan yang maksimum, dapat meliputi hutan heterogen yang merupakan hutan alami atau hutan homogen yang ditumbuhi pepohonan dengan didominasi oleh satu jenis saja (Sitorus 1989). Menurut Morgan (2005), hutan memiliki kemampuan melindungi tanah yang sangat baik dari erosi. Lahan hutan memiliki struktur tanah yang baik, kandungan bahan organik dan laju infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian (Susswein et al. 2001). Selain itu, baik dari segi jumlah, jenis dan aktifitas makhluk hidup tanah di lahan hutan lebih banyak dibandingkan dengan lahan pertanian. Makhluk hidup paling banyak akan ditemukan dibawah lapisan serasah (Binkley dan Fisher 2000). Menurut Ruiz et al. (2008), hutan primer memiliki keanekaragaman dan kelimpahan biomassa 2 sampai 3 kali lipat dibandingkan dengan tanah yang diolah.

(16)

3 1989), kebun campuran adalah areal yang ditanami berbagai macam tanaman, jenis tanaman keras, atau kombinasi tanaman keras dan tanaman semusim yang tidak jelas mana yang lebih dominan.

Tegalan merupakan usaha pertanian tanah kering yang intensitas penggarapannya dilakukan secara permanen. Lahan tegalan disebut juga areal pertanian lahan kering semusim, adalah areal pertanian yang tidak pernah diairi dan secara permanen ditanami dengan jenis tanaman berumur pendek saja (Sitorus 1989).

Pengolahan tanah biasanya diartikan sebagai manipulasi mekanis pada tanah dengan tujuan memperbaiki kondisi tanah yang memengaruhi produksi tanaman. Biasanya terdapat tiga tujuan pokok pada pengolahan tanah, yaitu pengendalian gulma, penyatuan bahan organik ke dalam tanah dan perbaikan struktur tanah (Hillel 1997).

Beberapa sifat fisik tanah dapat berubah akibat pengolahan tanah. Banyak dari sifat fisik tanah akan memburuk akibat pengolahan (Sanchez 1992). Pengolahan tanah memiliki efek negatif terhadap pori makro tanah, baik dari kelimpahan maupun kontinuitasnya, mempercepat proses dekomposisi bahan organik, mengurangi populasi fauna makro dan fauna meso tanah serta meningkatkan resiko terjadinya erosi. Laju infiltrasi tanah menjadi lebih kecil merupakan efek dari berkurangnya pori makro dan bertambahnya bobot isi tanah (Thierfelder et al. 2005, Ruiz et al. 2008, Capowiez et al. 2009).

Porositas tanah hutan umumnya lebih besar dibandingkan dengan tanah sejenis yang digunakan sebagai lahan pertanian. Selain itu, agregat tanah pada lahan hutan lebih stabil dibandingkan dengan lahan pertanian. Hal ini disebabkan kegiatan bercocok tanam yang terus menerus pada lahan pertanian, sehingga mengakibatkan penurunan kadar bahan organik tanah dan pori makro tanah (Binkley dan Fisher 2000). Menurut Lipiec et al. (2006), pengolahan tanah memengaruhi distribusi ukuran pori tanah. Perubahan karakteristik pori akibat pengolahan tanah memengaruhi infiltrasi kumulatif.

Berdasarkan penelitan yang dilakukan Monde et al. (2008), alih fungsi lahan hutan menjadi pertanian menyebabkan degradasi serasah dan karbon organik tanah.

Menurut Supardi (1983), pengelolaan tanah yang baik yaitu selalu mencakup penambahan bahan organik yang serasi, sifat fisika dan kimia yang optimum, pergiliran tanaman yang tidak merusak kehilangan unsur, sehingga setiap kali panen tidak mengalami kehilangan bahan organik dari tanah yang mencolok.

Serasah

(17)

4

Serasah adalah bagian mati tanaman berupa daun, cabang, ranting, bunga dan buah yang gugur dan terdapat di permukaan tanah, baik yang masih utuh ataupun telah sebagian mengalami pelapukan. Termasuk pula hasil pangkasan tanaman atau dari sisa-sisa penyiangan gulma yang biasanya dikembalikan ke lahan pertanian oleh pemiliknya.

Serasah bermanfaat dalam mempertahankan kegemburan tanah melalui (1) melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung tetesan air hujan sehingga agregat tanah tidak rusak dan pori makro tetap terjaga, (2) menyediakan makanan bagi makhluk hidup tanah, (3) menyaring partikel tanah yang terangkut oleh limpasan permukaan.

Lapisan serasah yang tebal dapat memberikan tutupan bagi tanah sehingga dapat melindungi agregat tanah dari pukulan air hujan, mempertahankan keragaman fauna tanah melalui penyediaan makanan, dan mempertahankan kandungan bahan organik tanah (Hairiah et al. 2004).

Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan peran penting dari kualitas sisa tanaman dalam menentukan kecepatan dekomposisi sisa tanaman. Konversi ekosistem alami menjadi lahan pertanian dapat mengakibatkan terjadinya kehilangan bahan organik tanah dan biomassa mikroba (Handayanto dan Hairiah 2007). Sebagian besar para petani tidak menyadari betapa penting arti dari sisa tanaman terhadap perbaikan sifat fisik tanah. Tanpa sisa tanaman ini, usaha mempertahankan humus dalam tanah menjadi tidak mungkin (Supardi 1983).

Menurut Thierfelder et al. (2009), pada umumnya tanah yang terlindungi oleh serasah dan tidak terganggu memiliki kapasitas infiltrasi tanah yang lebih besar dibandingkan dengan tanah sejenis yang diolah secara konvensional dan tidak terlindungi oleh serasah. Lahan hutan memiliki lapisan serasah yang tebal sebagai pelindung (Van Noordwijk et al. 2003).

Bahan Organik Tanah

Bahan organik tanah adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi. Sumber primer bahan organik tanah adalah jaringan organik tanaman, baik berupa daun, batang atau cabang, ranting, buah maupun akar, sedangkan sumber sekunder berupa jaringan organik fauna termasuk kotorannya serta mikroflora. Dalam pengelolaan bahan organik tanah, sumbernya juga berasal dari pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang (kotoran ternak yang telah mengalami dekomposisi), pupuk hijau dan kompos, serta pupuk hayati (inokulan) (Hanafiah 2007). Sumber bahan organik yang paling penting ialah tanaman yang tumbuh diatas tanah. Sisa akar dan batang-batang yang ditinggalkan dalam tanah merupakan sumber utama bahan organik (Supardi 1983).

Secara fisik, bahan organik berperan (1) memengaruhi warna tanah menjadi coklat-hitam, (2) merangsang granulasi serta menurunkan plastisitas dan kohesi tanah, (3) memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah dan (5) meningkatkan daya tanah menahan air (Hanafiah 2007).

(18)

5 kegiatan bercocok tanam, maka keseimbangan kadar bahan organik akan berubah dan kadar bahan organik dalam tanah akan berubah secara drastis (Binkley dan Fisher 2000).

Menurut Morgan (2005), salah satu cara untuk menjaga kesuburan tanah adalah dengan cara pemberian bahan organik. Hal ini dapat meningkatkan kapasitas tanah dalam memegang air, dan memantapkan agregat tanah. Bahan organik tersebut dapat ditambahkan melalui pupuk hijau, jermai atau sisa tanaman yang telah mengalami dekomposisi. Memberikan mulsa secara teratur dapat mempertahankan atau menaikkan kadar bahan organik tanah (Supardi 1983).

Bahan organik tanah adalah salah satu atribut penting dari kualitas tanah yang memengaruhi agregat tanah. Agregat tanah memiliki peran penting dalam proses infiltrasi, memberikan habitat yang sesuai bagi makhluk hidup tanah, suplai oksigen bagi perakaran tanaman serta dapat mencegah terjadinya erosi. Selain itu, kandungan bahan organik tanah dapat menurunkan bobot isi tanah, serta meningkatkan laju infiltrasi tanah (Franzluebbers 2002).

Kandungan bahan organik tanah dengan kadar antara 0.0-0.8%, 0.8-1.2% dan lebih dari 1.2% secara berturut-turut dimasukkan dalam kategori kurang, sedang, dan cukup (Tan 2000).

Pengaruh bahan organik terhadap tanah tergantung pada laju proses dekomposisinya. Secara umum faktor-faktor yang memengaruhi laju dekomposisi ini meliputi faktor bahan organik dan faktor tanah. Faktor bahan organik meliputi komposisi kimiawi, nisbah C/N, kadar lignin dan ukuran bahan, sedangkan faktor tanah meliputi temperatur, kelembaban, tekstur, struktur suplai oksigen, reaksi tanah, dan ketersediaan hara terutama N, P, K dan S (Hanafiah 2007).

Kehilangan vegetasi penutup tanah akibat panen menyebabkan meningkatnya penetrasi sinar matahari sehingga temperatur tanah turut meningkat. Hal ini memacu proses dekomposisi bahan organik. Selain itu, penggunaan alat-alat panen memberi peluang untuk terjadinya pencampuran serasah dengan tanah yang juga memacu proses dekomposisi (Sabaruddin et al. 2009).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mallory et al. (2011) pada lahan pertanian dengan jenis pengolahan tanah yang berbeda, kandungan bahan organik tanah terbanyak pada lahan dengan tanpa pengolahan, diikuti dengan pengolahan konservasi, dan pengolahan konvensional yang memiliki kandungan bahan organik paling sedikit.

Fauna Tanah

(19)

6

Fauna tanah memiliki pengaruh yang besar terhadap kondisi tanah. Misalnya fauna makro seperti cacing tanah, rayap dan semut memiliki pengaruh penting terhadap struktur tanah, aerasi, agregat tanah, drainase dan pori-pori tanah yaitu melalui pergerakan tubuhnya pada saat mencari makanan, mengangkut bahan organik ke bagian tanah yang lebih dalam dengan cara menggali lubang serta membuat terowongan dalam tanah (Pankhurst 1999, Ruiz et al. 2008).

Menurut Handayanto dan Hairiah (2007), budidaya pertanian umumnya menurunkan jumlah individu dan diversitas fauna tanah dibandingkan dengan vegetasi alami. Kegiatan budidaya pertanian merubah kondisi tanah, dan membuat kondisi lebih buruk dibandingkan dengan vegetasi alami, antara lain (a) kelembaban tanah menurun dan temperatur meningkat, (b) siklus pembasahan/pengeringan menjadi lebih cepat, (c) jumlah bahan organik menjadi lebih rendah, dan (d) tanah mudah terusik oleh erosi dan pengolahan tanah. Lingkungan yang buruk menyebabkan beberapa spesies asli tidak dapat bertahan hidup. Tindakan pengolahan tanah intensif menurunkan diversitas fauna tanah, terutama fauna makro, dan dapat mengganggu siklus hidupnya.

Banyak faktor yang memengaruhi jumlah dan keanekaragaman makhluk hidup tanah. Faktor yang penting antara lain suplai oksigen, suhu tanah, serta jumlah dan karakter dari bahan organik tanah (Binkley dan Fisher 2000).

Perubahan dalam pengolahan tanah, manajemen serasah dan rotasi tanaman memengaruhi sifat-sifat tanah dan komposisi dari fauna tanah. Pengolahan tanah akan lebih memengaruhi spesies yang memiliki beberapa siklus hidup di tanah (Govaerts et al. 2007).

Semut, cacing, kumbang tanah dapat memindahkan bagian penting dari tanah, mengangkat bahan mineral dari lapisan horizon tanah yang lebih dalam, dan mengubur bahan organik dari horizon atas dan serasah.

Fauna makro tanah berperan dalam degradasi bahan organik dan unsur hara mineral, mengendalikan populasi patogen, meningkatkan dan menjaga struktur tanah dan mencampur bahan organik di dalam tanah.

Efek pengolahan tanah pada kehidupan fauna makro tanah antara lain mengurangi keanekaragaman dan kelimpahan makhluk hidup tanah, fauna makro tanah lebih banyak hidup di lapisan lebih dalam dan meningkatkan organisme hama (Ruiz et al. 2008).

Infiltrasi

Menurut Arsyad (2006), infiltrasi adalah peristiwa masuknya air ke dalam tanah, umumnya (tetapi tidak mesti), melalui permukaan dan secara vertikal. Laju infiltrasi didefinisikan sebagai volume air yang mengalir ke dalam profil per satuan luas permukaan tanah. Pada kondisi pemberian air ke permukaan tanah melebihi kemampuan tanah untuk menyerap air, infiltrasi akan berlanjut dengan laju yang maksimal, yang oleh Horton (1940) disebut sebagai kapasitas infiltrasi tanah. Lebih lanjut, Hillel menciptakan suatu istilah kemampuan infiltrasi untuk menjelaskan laju infiltrasi, yang dihasilkan bila air pada tekanan atmosfer tersedia bebas pada permukaan tanah (Hillel 1997).

(20)

7 infiltrasi. Kemampuan infiltrasi suatu tanah dan keragamannya terhadap waktu tergantung pada kadar air awal dan tekanan, serta pada tekstur, struktur, dan keseragaman dari profil tanah (Hillel 1997).

Umumnya, kemampuan infiltrasi tanah pada awal tahapan infiltrasi adalah tinggi karena tanah pada awalnya cukup kering, tetapi kemudian cenderung turun secara monoton dan akhirnya mencapai laju yang tetap secara asimtot, yang sering diistilahkan sebagai kapasitas infiltrasi akhir atau kemampuan infiltrasi kondisi tetap (Arsyad et al. 1975, Hillel 1997).

Menurut Hillel (1997) kemampuan infiltrasi tanah tergantung pada beberapa faktor, antara lain :

(1) Waktu dari mulai hujan atau pemberian air, dimana laju infiltrasi pada awalnya relatif tinggi kemudian berkurang dan akhirnya mencapai laju yang tetap yang merupakan sifat profil tanah tersebut.

(2) Kandungan air awal, dimana semakin basah tanah pada awalnya maka kemampuan infiltrasi awal akan lebih rendah dan semakin cepat tercapainya laju infiltrasi yang tetap.

(3) Hantaran hidrolik, dimana semakin tinggi hantaran hidrolik jenuh tanah, maka kemampuan infiltrasi tanah cenderung semakin tinggi.

(4) Kondisi permukaan tanah, dimana bila permukaan tanah bersifat sarang dan mempunyai struktur terbuka, kemampuan infiltrasi awal akan lebih besar dibandingkan tanah yang seragam, tetapi kemampuan infiltrasi akhir tidak akan berbeda.

(5) Terdapatnya lapisan penghambat di dalam profil tanah, dimana lapisan-lapisan yang berbeda dalam hal tekstur atau struktur dari tanah di atasnya bisa menghambat gerakan air selama infiltrasi.

Laju infiltrasi dipengaruhi oleh karakteristik dari tanah tersebut. Pada umumnya, tanah yang bertekstur kasar seperti pasir dan lempung berpasir memiliki laju infiltrasi yang lebih besar dibandingkan dengan tanah liat disebabkan oleh besarnya ruang antar pori-pori. Kapasitas infiltrasi berkisar lebih dari 200 mm h-1 untuk pasir, dan kurang dari 5 mm h-1 pada liat yang padat.

Variasi dari laju infiltrasi dapat menjadi cukup besar disebabkan perbedaan pada struktur, kepadatan, kadar air saat itu, dan bentuk profil dari tanah serta kerapatan vegetasi yang tumbuh diatasnya (Morgan 2005).

Beberapa faktor yang dapat memengaruhi infiltrasi tanah antara lain (1) bahan organik tanah (Lipiec et al. 2006), (2) kadar air tanah, (3) tekstur dan struktur tanah, (4) distribusi pori dan kontinuitas pori tanah (USDA 1998, Kutilek 2004) dan (5) stabilitas agregat (Wuest et al. 2005).

(21)

8

Tabel 1 Kecepatan infiltrasi akhir beberapa tipe tanah

Tipe tanah Kecepatan infiltrasi (mm/jam)

Pasir >20

Tanah berpasir & tanah berdebu 10-20

Lempung 5-10

Tanah liat 1-5

Liat kaya sodium (sodic) <1

Sedangkan berdasarkan penelitian Lugo-Lopez et al. (1968 dalam Sanchez 1992) , kisaran laju peresapan terhadap tanah di Puerto Rico dapat terlihat pada tabel 2.

Tabel 2 Kisaran laju peresapan pada tanah Puerto Rico, dikelompokkan menurut golongan tanah (meliputi 57 tipe tanah dan 740 pengujian)

Golongan tanah Laju peresapan (cm/jam)

Minimum Maksimum

Oksisol 8.4 15.4

Ultisol 7.4 23.6

Mollisol 8.2 19.5

Alfisol 2.7 11.5

Inseptisol 2.7 13.2

Entisol 2.3 27.5

Vertisol 0.1 9.5

Kerusakan struktur tanah akan berdampak pada penurunan jumlah porositas makro tanah dan lebih lanjut akan diikuti dengan penurunan laju infiltrasi tanah dan peningkatan limpasan permukaan (Suprayogo el al. 2004a). Limpasan permukaan akan membawa partikel tanah, pupuk dan pestisida keluar dari lahan. Benda-benda tersebut dapat terakumulasi di sungai maupun tempat lain.

Infiltrasi adalah bagian penting dari tanah yang mengendalikan pencucian unsur hara, limpasan permukaan dan ketersediaan air bagi tanaman (Franzluebbers 2002).

Beberapa hal yang dapat meningkatkan infiltrasi tanah antara lain (1) pemberian sisa tanaman untuk mengurangi pukulan butiran hujan sehingga tanah terlindungi dari kerusakan (Govaerts et al. 2007), (2) mengurangi pengolahan tanah sehingga menjaga kontinuitas pori dan aktifitas biologi tanah dan (3) meningkatkan kandungan bahan organik tanah untuk menjaga kestabilan agregat tanah (USDA 1998).

Sifat Umum Latosol

Latosol terbentuk dari bahan induk tufa dan batuan beku, dengan rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 2000 – 7000 mm dan bulan kering dari tiga bulan, topografi bergelombang sampai bergunung, vegetasi tropika basah serta tingkat pelapukan lanjut (Soepraptohardjo 1961).

(22)

9 Menurut Dudal dan Soepraptohardjo (1957 dalam Rachim 2009), Latosol adalah tanah yang sudah terlapuk lanjut, sangat tercuci, batas horizon baur, kandungan mineral primer dan unsur hara rendah, pH rendah antara 4.5-5.5, kandungan bahan organik rendah, struktur remah, stabilitas agregat tinggi, terjadi akumulasi seskuioksida akibat pencucian silika. Sifat zat organiknya rendah hingga agak sedang (3-10%) di lapisan atas, menurun kebawah, aktivitas biologi baik dan kepekaan erosi kecil. Di Indonesia, Latosol umumnya terdapat pada bahan induk vulkanik.

Sifat Umum Andosol

Kata Andosol berasal dari ando, yang berarti tanah hitam. Tanah ini adalah tanah-tanah yang gembur, ringan dan porous, tanah bagian atasnya berwarna gelap/hitam, bertekstur sedang (lempung, lempung berdebu), terasa licin seperti sabun apabila dipilin, dan secara khusus terbentuk dari bahan piroklastik yang kaya gelas vulkan, baik yang masih lepas dan belum terangkut seperti abu volkan dan tephra, maupun yang sudah mengalami transportasi seperti endapan lahar dan alluvium vulkanik (Subagyo et al. 2004). Menurut Simonson (1979), salah satu karakteristik Andosol yaitu adanya horizon A1 yang biasanya tebal dan berwarna gelap, jarang ditemukan horizon A2. Kadar bahan organik di horizon A1 umumnya dapat mencapai 15%, bahkan mencapai 30% pada kasus tertentu.

Menurut Dudal dan Soepraptohardjo (1957 dalam Rachim 2009), Andosol adalah tanah berwarna hitam atau coklat tua, struktur remah, licin bila dipilin, jika kering irreversible dan membentuk pasir semu (pseudosand), zat organik 10-30%, menurun kebawah, permeabilitas sedang, aktivitas biologi sedang, kepekaan erosi besar baik terhadap erosi air ataupun erosi angin. Tanah di bawahnya berwarna coklat sampai coklat kekuningan, tekstur sedang, porous, pemadasan rendah, akumulasi liat sering ditemukan di lapisan bawah.

METODE

Penelitian dilakukan di Resort Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Cisarua, seksi Pengelolaan Taman Nasional wilayah VI Tapos yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan di kebun percobaan Cikabayan, Institut Pertanian Bogor. Lokasi tersebut dipilih karena mewakili jenis tanah yang berbeda, yaitu Andosol di Resort PTN Cisarua, dan Latosol di kebun percobaan Cikabayan. Penelitian dimulai dari bulan April 2013 sampai Oktober 2013. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Sumberdaya Fisik Lahan dan Laboratorium Konservasi Tanah dan Air Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

(23)

10

Alat-alat yang digunakan antara lain double ring infiltrometer, penggaris, bor tanah, cangkul, cawan dan kantung plastik serta alat-alat laboratorium untuk analisis bahan organik.

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan di dua lokasi yang memiliki jenis tanah yang berbeda yaitu Andosol dan Latosol dengan topografi yang relatif sama (kelas kemiringan lereng 8-15%). Penggunaan lahan yang dipilih pada kedua lokasi adalah hutan, kebun campuran dan tegalan.

Pada setiap penggunaan lahan ditetapkan tiga blok sebagai ulangan dengan luas masing-masing sekitar 25 m2 dengan jarak tiap blok sekitar 5-7 meter. Pengamatan dan pengukuran dari parameter yang diamati dilakukan pada masing-masing blok yang telah ditentukan. Parameter yang diamati langsung di lapangan adalah jumlah dan jenis fauna makro serta laju infiltrasi tanah. Sedangkan pengambilan contoh untuk analisis lebih lanjut di laboratorium adalah contoh serasah dan contoh tanah untuk analisis bahan organik.

Pengamatan fauna makro tanah dilakukan dengan menggunakan metode Hand Sorting. Pengamatan dilakukan dengan cara menggali tanah seluas 1 m2 dengan kedalaman sampai 10 cm. Tanah dimasukkan kedalam karung kemudian dipindahkan ke tempat lain untuk dilakukan pemisahan antara fauna makro dengan tanah secara langsung. Sebongkah tanah diambil untuk dianalisis di laboratorium untuk mendapatkan data tekstur tanah sebagai data penunjang. Fauna yang ditemukan diidentifikasi kemudian dikembalikan beserta sisa tanah ketempat semula. Pengamatan fauna makro tanah dilakukan di setiap blok pada ketiga penggunaan lahan.

Pengumpulan serasah dilakukan dengan menggunakan metode Hand Sorting. Serasah dikumpulkan dari area seluas 1 m2 pada setiap blok. Serasah yang dikumpulkan adalah serasah yang berada diatas permukaan tanah. Serasah kemudian dibawa ke laboratorium Konservasi Tanah dan Air IPB untuk ditetapkan bobotnya.

Pengambilan contoh tanah dilakukan dengan cara pengeboran menggunakan bor tanah pada kedalaman 0-10 cm, 10-20 cm, 20-30 cm, 30-40 cm, 40-50 cm, dan 50-60 cm, berat untuk tiap contoh sekitar 500 gram. Contoh tanah yang diambil dianalisis kandungan bahan organik tanahnya. Contoh tanah untuk bahan organik tidak diambil pada setiap blok, tetapi hanya pada dua blok sebagai ulangan di ketiga penggunaan lahan.

Pengukuran laju infiltrasi dilakukan dengan menggunakan double ring infiltrometer. Pengukuran laju infiltrasi dilakukan pada setiap blok di ketiga penggunaan lahan.

Analisis Data

(24)

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kebun percobaan Cikabayan adalah salah satu kebun percobaan yang dikembangkan oleh IPB sebagai pusat penelitian dan penanaman berbagai jenis tanaman seperti tanaman hortikultura, tanaman pangan, dan tanaman perkebunan. Kebun ini terletak di ketinggian 184-234 m dpl dengan kemiringan lereng 0-30%, beriklim basah dengan curah hujan rata-rata per tahun diatas 3000 mm dan bersuhu sekitar 23-32o C.

Hutan tempat dilakukannya penelitian tidak termasuk dalam wilayah kebun percobaan Cikabayan, tetapi masih termasuk kawasan kampus Institut Pertanian Bogor. Secara geografis, lokasi hutan terletak pada koordinat 6o 34’ 48.502” LS 106o 43’ 30.112” BT, kebun campuran 6o 34’ 53.761” LS 106o 42’ 59.789” BT, dan tegalan pada koordinat 6o 34’ 50.500” LS 106o 43’2.572” BT.

Secara umum tekstur dan kadar C-organik tanah Latosol di kebun percobaan Cikabayan memiliki tekstur klai dengan kadar klai diatas 75% dan kadar C-organik berkisar 1-2% pada kedalaman tanah 0-20 cm. Pada kedalaman tanah 20-40 cm memiliki tekstur klai dengan kadar klai lebih dari 80%, kadar C-organik dibawah 2%.

Resort Pengelolaan Taman Nasional Cisarua adalah salah satu dari 13 Resort yang terdapat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, termasuk bagian bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Bogor. Menurut klasifikasi Schmidt – Ferguson, wilayah Resort Cisarua termasuk ke dalam tipe iklim A dengan curah hujan tinggi, rata-rata 3000-4000 mm.

Hutan tempat dilakukannya penelitian terletak di desa Sukagalih yang termasuk kedalam Resort Pengelolaan Taman Nasional Cisarua. Hutan ini terletak pada ketinggian mulai dari 936 mdpl sedangkan kebun campuran dan tegalan merupakan lahan pertanian milik penduduk yang tinggal di desa Sukagalih. Secara geografis, lokasi hutan terletak pada koordinat 6o 43’ 55.910 LS 106o 55’ 12.864” BT, kebun campuran 6o 43’ 48.793” LS 106o 55’ 15.715” BT, dan tegalan pada koordinat 6o 43’ 50.021” LS 106o 55’ 15.492” BT.

Secara umum tekstur dan kadar C-organik tanah Andosol di desa Sukagalih memiliki tekstur lempung berliat dengan kadar debu diatas 45%, kadar C-organik berkisar 4-6% pada kedalaman 0-20 cm. Pada kedalaman tanah 20-40 cm memiliki tekstur lempung berliat dengan kadar debu sekitar 30-40%, kadar C-organik 3-4%.

Jumlah Serasah

(25)

12

Tabel 3 Bobot serasah pada berbagai jenis penggunaan lahan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua

Jenis tanah Hutan Kebun campuran Tegalan

Bobot per luasan (g/m2)

Latosol 733.9 312.7 43.3

Andosol 727.1 255.6 0*

Keterangan : *0 menunjukkan tidak ditemukannya serasah

Tabel 3 menunjukkan bahwa bobot serasah pada kedua jenis tanah di penggunaan lahan kebun campuran dan tegalan lebih sedikit dibandingkan dengan hutan. Bobot terendah terdapat pada lahan tegalan di kedua jenis tanah. Hal ini disebabkan pada lahan pertanian jumlah dan keragaman vegetasi relatif lebih rendah dibandingkan dengan hutan (Hairiah et al. 2004a). Selain itu, jenis vegetasi yang tumbuh juga memengaruhi jumlah serasah yang terdapat di permukaan tanah.

Gambar 1 menunjukkan keragaman serta kerapatan vegetasi pada lahan kebun campuran dan tegalan lebih sedikit dibandingkan dengan hutan di kedua jenis tanah. Hal ini menyebabkan berkurangnya suplai serasah pada lahan kebun campuran dan tegalan sehingga jumlah serasah pada kedua jenis penggunaan lahan tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan hutan, terutama pada lahan tegalan.

(26)

13

A B C

D E F

Gambar 1 Tutupan tajuk pada berbagai penggunaan lahan (A=hutan Andosol; B=kebun campuran Andosol; C=tegalan Andosol; D=hutan Latosol; E=kebun campuran Latosol; F=tegalan Latosol)

Pada lahan tegalan, tanaman yang ditaman merupakan tanaman semusim. Hampir seluruh bagian tanaman akan diambil dari lahan pada saat panen sehingga hanya sedikit sisa tanaman yang ada di atas permukaan tanah. Serasah yang ada adalah sisa gulma yang dipangkas dan sisa tanaman yang ditambahkan oleh petani. Hal ini menyebabkan serasah pada lahan tegalan paling sedikit dibandingkan dengan lahan kebun campuran dan hutan. Penelitian yang dilakukan oleh Monde et al. (2008) juga mendapatkan hasil bahwa alih guna lahan hutan menjadi pertanian menyebabkan berkurangnya serasah serta karbon organik tanah. Persentase perbedaan bobot serasah pada kedua jenis penggunaan lahan terhadap hutan disajikan pada tabel 4.

Tabel 4 Persentase perbedaan bobot serasah pada dua jenis penggunaan lahan terhadap hutan

Jenis tanah hutan – kebun campuran hutan – tegalan

Persentase perbedaan(%)

Latosol 57.3 94.0

Andosol 64.8 100

(27)

14

alpukat dan cengkeh. Hal ini berpeluang menyebabkan perbedaan bobot sisa tanaman yang dihasilkan sehingga persentase perbedaan jumah serasah terhadap hutan untuk Latosol lebih kecil dibandingkan dengan Andosol. Selain itu, pada kebun campuran di Andosol dibuat rorak dengan panjang 1m dan lebar 0,3 m serta kedalaman yang dapat mencapai 1 m sebagai tempat pembuangan sisa tanaman. Hal ini dilakukan pemilik lahan sebagai upaya pembersihan lahan dari sisa tanaman sekaligus dijadikan pupuk hijau untuk tanaman yang ditanam. Sehingga serasah yang berada di permukaan lahan menjadi berkurang.

Penggunaan lahan tegalan di Latosol pada saat pengambilan contoh sedang ditanami singkong, sedangkan di Andosol ditanami tanaman kubis. Seluruh tanaman kubis dicabut dari tanah pada saat panen sehingga tidak meninggalkan sisa tanaman. Selain itu, tidak ditemukan adanya serasah pada lahan tegalan di Andosol disebabkan metode penanaman yang dilakukan oleh pemilik lahan. Pemilik lahan membuang sisa tanaman ke petak yang sedang diistirahatkan. Pada lahan tegalan di Latosol, serasah yang ada merupakan sisa-sisa gulma yang dipangkas, serta sisa tanaman di sekitar lahan yang ditambahkan oleh petani.

Bahan Organik Tanah

Bahan organik tanah adalah kumpulan senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi. Salah satu sumber bahan organik tanah adalah jaringan organik tanaman (Hanafiah 2007). Kadar bahan organik tanah pada kedua jenis tanah disajikan pada gambar 2.

Gambar 2 Kadar bahan organik tanah pada berbagai penggunaan lahan di setiap kedalaman di Andosol Cisarua (A) dan Latosol Darmaga (B)

(28)

15 Gambar 2 menunjukkan bahwa kadar bahan organik tanah pada lahan kebun campuran dan tegalan lebih rendah dibandingkan hutan. Menurut Giller et al. (1997 dalam Handayanto & Hairiah 2007), proses dekomposisi bahan organik dalam tanah yang diolah secara intensif akan berlangsung lebih cepat dibanding dengan tanah yang tidak diolah. Cepatnya proses dekomposisi akan menpercepat penurunan kandungan bahan organik tanah (Morgan 2005). Hal ini mengakibatkan kandungan bahan organik tanah pada lahan tegalan paling sedikit dibandingkan penggunaan lahan yang lain, disebabkan pengolahan yang dilakukan di lahan tegalan relatif lebih intensif dibandingkan dengan kebun campuran. Persentase perbedaan kadar bahan organik tanah pada kedua penggunaan lahan terhadap hutan disajikan pada tabel 5.

Tabel 5 Persentase perbedaan kadar bahan organik tanah disetiap kedalaman pada dua jenis penggunaan lahan terhadap hutan

Jenis tanah hutan – kebun campuran hutan – tegalan Persentase perbedaan (%)

Latosol

0-10 cm 8.01 13.71

10-20 cm 14.05 7.62

20-30 cm 17.78 8.03

30-40 cm 16.89 18.82

40-50 cm 10.77 15.56

50-60 cm 9.15 9.15

Rataan 12.77 12.15

Andosol

0-10 cm 27.06 31.15

10-20 cm 21.26 29.26

20-30 cm 13.44 26.16

30-40 cm 23.66 25.12

40-50 cm 20.75 28.99

50-60 cm 12.24 18.92

Rataan 19.75 26.60

Tabel 5 menunjukkan bahwa perbedaan kandungan bahan organik pada Andosol terhadap hutan lebih besar dibandingkan dengan Latosol. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pengolahan tanah. Pada lahan tegalan di Latosol, petani melakukan pengelolaan tanah secara konservasi, yaitu pengolahan tanah yang minimum dan pemberian sisa tanaman sebagai mulsa. Pada lahan tegalan di Andosol dilakukan pengolahan tanah secara intensif. Saat persiapan lahan, tanah digarap secara maksimal dengan membolak-balikkan tanah/membongkar tanah hingga kedalaman 20 cm, yang dilakukan berulang-ulang sebelum penanaman.

(29)

16

oleh pemilik lahan kedalam rorak sehingga hanya sedikit serasah yang akan menjadi sumber bahan organik bagi tanah.

Menurut Sabaruddin et al. (2009), penetrasi sinar matahari dapat memacu proses dekomposisi bahan organik sehingga mempercepat berkurangnya bahan organik. Lahan kebun campuran di Latosol masih ditumbuhi rumput dan tanaman liar yang rapat, sedangkan di Andosol hanya ditumbuhi sedikit tanaman liar, sehingga tanah di Andosol kurang terlindungi dari penetrasi sinar matahari. Hal ini berpeluang menyebabkan perbedaan kandungan bahan organik tanah terhadap hutan di Latosol tidak sebesar di Andosol.

Fauna makro

Menurut Avelina (2008) fauna tanah dapat dijadikan sebagai indikator kualitas lahan karena fauna tanah bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Fauna makro adalah organisme tanah yang terlihat dengan mata telanjang (diameter >2 mm), termasuk invertebrata yang hidup, mendapatkan makanan di dalam maupun di permukaan tanah serta lapisan serasah (Ruiz et al. 2008). Rata-rata jumlah fauna makro pada setiap penggunaan lahan disajikan pada tabel 6. Tabel 6 Rata-rata jumlah fauna makro dari tiga kali ulangan pada berbagai

penggunaan lahan di Latosol dan Andosol jenis fauna

(30)

17

Menurut Handayanto & Hairiah (2007), budidaya pertanian umumnya menurunkan jumlah individu dan diversitas fauna tanah dibandingkan dengan vegetasi alami. Kegiatan budidaya pertanian merubah kondisi tanah, dan membuat kondisi lebih buruk dibandingkan dengan vegetasi alami, antara lain (a) kelembaban tanah menurun dan temperatur meningkat, (b) siklus pembasahan/pengeringan menjadi lebih cepat, (c) jumlah bahan organik menjadi lebih rendah, dan (d) tanah mudah terusik oleh erosi dan pengolahan tanah. Kegiatan pengolahan tanah dan pembolak-balikan tanah akan menghancurkan struktur tanah, serta ketika pemeliharaan tanah akan terjadi pemadatan tanah akibat sering terinjak oleh petani. Kondisi ini mengganggu kehidupan fauna makro sehingga lebih sedikit ditemukan pada lahan yang mengalami pengolahan.

Keberadaan serasah yang lebih sedikit pada kebun campuran, terutama tegalan menyebabkan berkurangnya sumber makanan bagi fauna makro tanah. Selain itu lapisan serasah merupakan lapisan yang memiliki kondisi lebih menguntungkan bagi keberadaan fauna tanah. Kondisi ini mendorong berbagai fauna untuk memusatkan aktivitasnya di lapisan serasah. Peran fauna tanah terhadap sifat fisik tanah yaitu membantu dalam pembentukan agregat, memperbaiki struktur tanah, aerasi dan drainase (Avelina 2008). Persentase perbedaan jumlah fauna makro pada kedua jenis penggunaan lahan terhadap hutan disajikan pada tabel 7.

Tabel 7 Persentase perbedaan jumlah fauna makro pada dua jenis penggunaan lahan terhadap hutan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua Jenis tanah Hutan - Kebun campuran Hutan – tegalan

Persentase perbedaan (%)

Latosol 13.46 55.76

Andosol 56.25 85.41

Tabel 7 menunjukkan perbedaan terbesar jumlah fauna makro di Andosol terhadap hutan lebih besar dibandingkan di Latosol. Hal ini berpeluang disebabkan faktor jenis tanah, serasah yang ada, jenis vegetasi yang tumbuh, suhu, iklim serta jumlah dan karakter dari bahan organik tanah (Binkley dan Fisher 2000). Selain itu, menurut Govaerts et al. (2007), perubahan dalam pengolahan tanah, manajemen serasah dan rotasi tanaman mempengaruhi sifat-sifat tanah dan komposisi dari fauna tanah.

Pada lahan kebun campuran di Andosol, kehadiran rorak berpeluang menyebabkan berkumpulnya fauna tanah di dalam rorak, sehingga fauna makro hanya sedikit ditemukan di dalam tanah di sekitar rorak. Selain itu, kondisi tanah pada lahan kebun campuran Andosol tidak tertutupi rumput seperti pada Latosol turut berpeluang memengaruhi keberadaan fauna makro tanah.

(31)

18

Kapasitas Infiltrasi

Infiltrasi adalah suatu proses masuknya air kedalam profil tanah melalui permukaan tanah. Pada umumnya mengacu terhadap infiltrasi vertikal, dimana air bergerak kebawah dari permukaan tanah (Jury dan Horton 2004). Untuk mengetahui proses tersebut dapat dilakukan dengan pengukuran laju infiltrasi. Kondisi pada saat laju infiltrasi mencapai nilai konstan dan tanah sudah dalam kondisi jenuh disebut kapasitas infiltrasi. Kapasitas infiltrasi pada setiap penggunaan lahan disajikan pada tabel 8.

Tabel 8 Kapasitas infiltrasi pada berbagai penggunaan lahan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua

Tabel 8 menunjukkan kapasitas infiltrasi pada penggunaan lahan kebun campuran dan tegalan lebih kecil dibandingkan dengan hutan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sofyan (2011), infiltrasi tanah dipengaruhi oleh struktur tanah, bahan organik, kepadatan tanah dan juga porositas tanah. Pengolahan tanah yang dilakukan menyebabkan bertambah cepatnya proses dekomposisi bahan organik sehingga penurunan kadar bahan organik tanah semakin cepat, rusaknya struktur tanah yang akan berdampak pada penurunan porositas makro tanah, serta berkurangnya populasi fauna tanah (Suprayogo et al. 2004, Lipiec et al. 2006, Capowiez et al. 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Raja (2009), pengolahan tanah mengakibatkan hancurnya agregat tanah serta meningkatkan kepadatan tanah, sehingga tanah menjadi memiliki lebih banyak pori mikro. Pori mikro merupakan pori yang memiliki kemampuan melalukan air kedalam tanah yang rendah. Hal ini menyebabkan lahan tegalan yang mengalami pengolahan intensif memiliki kapasitas infiltrasi paling kecil dibandingkan penggunaan lahan yang lain.

(32)

19 Bahan organik tanah berperan dalam menciptakan struktur tanah yang lebih baik. Berkurangnya bahan organik dapat mengakibatkan porositas tanah menurun sehingga laju infiltrasi tanah juga menurun. Bahan organik tanah adalah salah satu atribut penting dari kualitas tanah yang mempengaruhi agregat dan bobot isi tanah. Agregat itu sendiri memiliki peran penting dalam proses infiltrasi, memberikan habitat yang sesuai bagi makhluk hidup tanah, dan suplai oksigen bagi perakaran tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan bahan organik dapat meningkatkan laju infiltrasi tanah (Franzluebbers 2002). Bahan organik tanah pada lahan kebun campuran dan tegalan lebih sedikit dibandingkan dengan hutan (Gambar 1), sehingga kapasitas infiltrasinya menjadi lebih kecil.

Faktor lain yang secara tidak langsung mempengaruhi laju infiltrasi, yaitu serasah yang menutupi permukaan tanah dan keberadaan fauna tanah. Selain sebagai sumber bahan organik, serasah yang menutupi permukaan tanah juga dapat melindungi tanah dari pukulan butiran hujan sehingga struktur tanah tetap terjaga. Menurut Thierfelder et al. (2009), pada umumnya infiltrasi tanah lebih besar pada tanah yang terlindungi oleh serasah dan tidak terganggu dibandingkan dengan tanah yang diolah secara konvensional dan tidak terlindungi oleh serasah. Serasah yang terdapat pada lahan tegalan lebih sedikit dibandingkan dengan hutan dan kebun campuran (Tabel 3) sehingga ketersediaan bahan organik menjadi sedikit, dan tanah menjadi lebih mudah hancur akibat pukulan hujan. Hal ini mengakibatkan hancurnya serta tersumbatnya pori makro tanah oleh butir halus sehingga kontinuitas pori terganggu. Akibatnya pergerakan air dalam tanah akan menjadi lambat.

Keberadaan fauna tanah memengaruhi dekomposisi serasah menjadi bahan organik serta terbentuknya biopori di dalam tanah yang kontinyu. Akibat pengolahan lahan, keberadaan fauna tanah menjadi lebih sedikit (Tabel 6), terutama fauna makro tanah yang sangat berpengaruh terhadap pori makro tanah (Ruiz et al. 2008). Hal ini mengakibatkan secara tidak langsung kapasitas infiltrasi di lahan kebun campuran dan tegalan lebih rendah dibandingkan dengan hutan. Tabel 9 Persentase perbedaan kapasitas infiltrasi pada dua jenis lahan terhadap

hutan di Latosol Darmaga dan Andosol Cisarua

Jenis tanah Hutan - Kebun campuran Hutan – tegalan Persentase perbedaan (%)

Latosol 11.11 33.33

Andosol 50.00 75.00

Tabel 9 menunjukkan persentase perbedaan kapasitas infiltrasi pada kebun campuran dan tegalan terhadap hutan di Andosol lebih besar dibandingkan dengan Latosol. Hal ini berpeluang diakibatkan oleh kondisi lahan, teknik pertanian yang dilakukan serta berapa lama lahan tersebut berubah dari hutan menjadi penggunaan lahan yang lain.

(33)

20

mengakibatkan kerusakan yang lebih parah di Andosol dibandingkan dengan Latosol sehingga perbedaan kapasitas infiltrasi tegalan terhadap hutan di Andosol lebih besar dibandingkan denga di Latosol.

Lahan kebun campuran dan tegalan di Latosol dikonversi dari lahan hutan sekitar 15 tahun yang lalu, sedangkan di Andosol konversi lahan telah dilakukan lebih dari 20 tahun yang lalu, dimana hutan dialihfungsikan menjadi kebun teh oleh perusahaan swasta, baru kemudian sejak tahun 2000 dikonversi menjadi lahan kebun campuran dan tegalan. Perbedaan waktu ini dapat menyebabkan kerusakan di Andosol lebih besar dibandingkan dengan Latosol sehingga perbedaan kapasitas infiltrasi di Andosol terhadap hutan lebih besar dibandingkan dengan di Latosol.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Jumlah serasah dan fauna makro, serta kandungan bahan organik dan kapasitas infiltrasi pada penggunaan lahan kebun campuran dan tegalan lebih sedikit dan lebih rendah dibandingkan dengan hutan. Nilai parameter tersebut paling sedikit dan terendah dijumpai pada lahan tegalan.

2. Perbedaan nilai parameter dari jumlah serasah dan fauna makro, serta kandungan bahan organik dan kapasitas infiltrasi antara hutan dengan tegalan lebih besar dibandingkan dengan perbedaan nilai parameter tersebut antara hutan dengan kebun campuran. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin intensif pengolahan yang dilakukan menyebabkan semakin besar perbedaan nilai parameter tersebut terhadap hutan.

3. Perbedaan kapasitas infitrasi pada kebun campuran dan tegalan terhadap hutan di Andosol Cisarua lebih besar dibandingkan dengan Latosol Darmaga. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa Andosol Cisarua lebih rentan mengalami kerusakan dibandingkan dengan Latosol Darmaga akibat perubahan penggunaan lahan.

Saran

1. Untuk menjaga kemampuan resapan air tanah, sebaiknya dilakukan pemanfaatan sisa-sisa tanaman sebagai penutup tanah dan sumber bahan organik di lahan-lahan pertanian.

2. Pengukuran yang dilakukan menunjukkan hasil yang cukup bervariasi, sehingga sebaiknya jumlah contoh dan ulangan diperbanyak untuk mendapatkan hasil yang akurat.

(34)

21

DAFTAR PUSTAKA

Ardiyanto A. 2004. Analisis Kapasitas Infiltrasi dan Hantaran Hidrolik Berbagai Jenis Tanah dengan Variasi Penutup The dan Karet pada PTPN VLII Perkebunan Panglejar, Kabupaten Bandung [skripsi].Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Arsyad S, Kaban N, Sukmana S. 1975. Fisika Tanah, Dasar-Dasar Sifat Fisik dan Proses. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Atmosentono H. 1968. Tanah Sekitar Bogor. Bogor: Lembaga Penelitian Tanah. Avelina D. E. 2008. Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah Menggunakan

Metode “Litterbag” pada Tiga Tipe Penggunaan Lahan di Desa Situdaun, Kecamatan Tenjolaya [skirpsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Baver L D. 1959. Soil Physic. 3rd ed. New York: John Willey and Sons.

Capowiez Y, Cadoux S, Bouchant P, Ruy S, Roger-Estrade J, Richard G, Boizard H. 2009. The effect of tillage type and cropping system on earthworm communities, macroporocity and water infiltration. Soil Till Res. 105:209-216. Binkley D, Fisher R F. 2000. Ecology and Management of Forest Soils – 4rd ed.

John Wiley & Sons. Inc. Canada.

Govaerts B, Fuentes M, Mezzalam M, Nicol J M, Deckers J, Etchevers J D, Figueroa-Sandoval B, Syre K D. Infiltration soil moisture, root rot and nematode population after 12 years of different tillage, residue and crop rotation managements. Soil Till Res. 94:209-219.

Hairiah K, Widianto B, Suprayogo D, Widodo R H, Purnomosidhi P, Rahayu S, Van Noordwijk M. 2004a. Ketebalan Serasah sebagai Indikator Daerah Aliran Sungai (DAS) Sehat. Bogor: World Agroforestry Centre.

Hairiah K, Suprayogo D, Widianto B, Suhara E, Mardiastuning A, Prayogo C, Widodo R H, Rahayu S. 2004b. Alih guna lahan hutan menjadi lahan agroforestri berbasis kopi: ketebalan seresah, populasi cacing tanah dan makroporositas tanah. Malang: Agrivita 26(1):75-88.

Hairiah K, Rahayu S, Lusiana B, Van Noordwijk M. 2005. Neraca Hara dan Karbon dalam Sistem Agroforestri [Bahan ajar].

Hanafiah K A. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Handayanto, Hairiah K. 2007. Biologi Tanah. Pustaka Adipura.

Hillel D. 1997. Pengantar Fisika Tanah. Susanto R H, Purnomo R H, penerjemah. Mitra Gama Widya. Terjemahan dari: Introduction to Soil Physics.

Jury W A, Horton A. 2004. Soil Physics 6th ed. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Kutilek M. 2004. Soil hydraulic properties as related to soil structure. Soil Till Res. 79:175-184.

Lipiec J, Kus J, Slowinska-Jurkiewicz A, Nosalewicz A. 2006. Soil porosity and water infiltration as influenced by tillage methods. Soil Till Res. 89:210-220. Marieta. 2011. Karakteristik Sifat Fisik dan Hidrologi Tanah pada Berbagai

(35)

22

Monde A N, Sinukaban N, Murtilaksono N, Pandjaitan. 2008. Dinamika karbon (C) akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Agroland 15(1):22-26.

Morgan R P C. 2005. Soil Erosion and Conservation 3rd ed. Australia: Blackwell Science Ltd.

Nasoetion A. H. 1990. Pengantar ke Ilmu-Ilmu Pertanian. Untuk Mahasiswa Baru. Institut Pertanian Bogor. Tahun Ajaran 2000/2001. Litera AntarNusa.

Pankhurst C E. 1999. Towards Management of Soil Biotic Processes in Tropical and Temperate Cropping Systems. Reddy M V, editor. Management of Tropical Agroecosystems and the Beneficial Soil Biota. Amerika Serikat: Science Publishers, Inc.

Raja C P. 2009. Hantaran Hidrolik Jenuh dan Kaitannya dengan Beberapa Sifat Fisika Tanah pada Tegalan dan Hutan Bambu [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Rachim D A. 2009. Klasifikasi Tanah di Indonesia. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Faperta IPB.

Rahmawati N E. 2007. Dampak Pembukaan Lahan Hutan Terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Tanah : Studi Kasus di Taman Wisata Alam Sibolangit Deli Serdang [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Ruiz N, Lavelle P, Jimenez J. 2008. Soil Macrofauna Field Manual – Technical level. Roma: FAO.

Sabaruddin, Fitri S N, Lestari L. 2009. Hubungan antara kandungan bahan organik tanah dengan periode pasca tebang tanaman HTI Accacia Mangium Willd. Jurnal Tanah Trop. 14(2):105-110

Sanchez P A. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Hamzah A, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Properties and Management of Soils in The Tropic 1st ed.

Simonson R W. 1979. Origin of the name “ando soils”. Tan K H, editor. Andosols. Amerika Serikat: Van Nostrand Reinhold Company Inc.

Sitorus S R P. 1989. Survai Tanah dan Penggunaan Lahan. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Faperta IPB.

Soepraptohardjo M. 1961. Klasifikasi Tanah di Indonesia. Kongres Ilmu Tanah I. Bogor.

Sofyan M. 2011. Pengaruh Pengolahan Tanah Konservasi Teradap Sifat Fisik dan Hidrologi Tanah: Studi Kasus di Desa Babakan, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat [skirpsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Subagyo H, Suharto N, Siswanto A B. 2004. Tanah pertanian di Indonesia. dalam pengembangan dan manajemen tanah-tanah di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

Suin N M. 1997. Ekologi Fauna Tanah. Jakarta: Bumi Aksara.

Supardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Suprayogo D, Widianto R H, Widodo P, Purnomosidi F, Rusiana Z Z, Aini N, Khasanah, Kusuma Z. 2004. Degradasi sifat fisik tanah sebagai akibat alih guna lahan hutan menjadi sistem kopi monokultur: kajian perubahan makroporositas tanah. Agrivita. 26(1):60-67.

(36)

23 Tan K H. 2000. Environmental Soil Science 2nd Edition, Revised and expanded.

New York: Marcel dekker.

Taylor M , Mulholland M, Thornburrow D. 2009. Infiltration Characteristics of Soil Under Forestry and Agriculture in the Upper Waikato Catchment. Selandia Baru: Environment Waikato Regional Council.

Thierfelder C, Wall P C. 2009. Effect of conservation agriculture techniques on infiltration and soil water content in Zambia and Zimbabwe. Soil Till Res. 105:217-227.

USDA. 1998. Soil Quality Information Sheet, USDA Natural Resources Conservation Service. Agricultural Research Service. USDA [http://soils.usda.gov]

Van Noordwijk M, Farida A, Verbist B, Tomich T P. 2003. Agroforestry and watershed functions of tropical land use mosaics. In 2nd Asia Pasific Training Workshop on Echohydrology. Cibinong: International Centre for Research in Agroforestry.

Wallwork J A. 1970. Ecology of Soil Animals. London: Mc Graw Hill.

(37)

24

LAMPIRAN

Lampiran 1 Jumlah serasah pada berbagai penggunaan lahan di Latosol Darmaga Latosol Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 rata-rata

bobot per luasan (g/m2)

Hutan 688.61 836.96 676.34 733.97

Kebun Campuran 542.92 271.93 123.28 312.71

Tegalan 60.1 36.99 32.98 43.36

Lampiran 2 Jumlah serasah pada berbagai penggunaan lahan di Andosol Cisarua Andosol Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 rata-rata

bobot per luasan (g/m2)

Hutan 919.64 552.2 709.72 727.18

Kebun Campuran 282.01 246.29 238.77 255.69

Tegalan 0 0 0 0

Keterangan : 0 menunjukkan tidak ada serasah pada penggunaan lahan tersebut

Lampiran 3 Kandungan C-org dan bahan organik tanah pada lahan hutan di Andosol Cisarua

(38)

25 Lampiran 4 Kandungan C-org dan bahan organik tanah pada lahan kebun

campuran di Andosol Cisarua

Keterangan : C-org : carbon organic, BO : Bahan Organik

Lampiran 5 Kandungan C-org dan bahan organik tanah pada lahan tegalan di Andosol Cisarua

(39)

26

Lampiran 6 Kandungan C-org dan bahan organik tanah pada lahan hutan di Latosol Darmaga

Keterangan : C-org : carbon organic, BO : Bahan Organik

Lampiran 7 Kandungan C-org dan bahan organik tanah pada lahan kebun campuran di Latosol Darmaga

(40)

27 Lampiran 8 Kandungan C-org dan bahan organik tanah pada lahan tegalan di

Latosol Darmaga Lapisan

(cm) Ulangan

C-org (%)

Bahan organik (%)

Rata-rata C-org (%)

Rata-rata BO (%)

0-10 1 2.35 4.06

2.28 3.93

2 2.21 3.81

10-20 1 1.83 3.16

1.79 3.09

2 1.75 3.02

20-30 1 1.62 2.79

1.48 2.55

2 1.33 2.30

30-40 1 1.11 1.92

1.16 2.00

2 1.20 2.08

40-50 1 1.04 1.79

0.94 1.63

2 0.85 1.47

50-60 1 0.94 1.63

0.86 1.49

2 0.79 1.35

(41)

28

Lampiran 9 Jumlah fauna makro tanah pada berbagai penggunaan lahan di Latosol Darmaga

Tegalan - Semut hitam besar

(42)

29 Lampiran 10 Jumlah fauna makro tanah pada berbagai penggunaan lahan di

(43)

30

Lampiran 11 Laju infiltrasi pada lahan hutan di Andosol Cisarua

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

t f t f t f t f

0 66 4 0 0

2 7.5 68 4.5 2 9 2 15

4 6 70 4.5 4 7.5 4 11

6 6 72 4 6 7.5 6 8.5

8 5.5 74 5 8 7 8 11.5

10 6 76 4 10 6 10 7.5

12 6.5 78 3.5 12 5.5 12 7.5

14 5 80 4.5 14 6 14 6.5

16 6 82 4.5 16 5.5 16 6

18 5.5 84 4 18 5 18 8

20 5.5 86 4.5 20 5 20 7.5

22 6 88 4.5 22 5.5 22 6.5

24 5.5 90 4 24 5 24 7

26 4.5 92 4.5 26 4.5 26 6.5

28 5.5 94 4.5 28 4.5 28 4.5

30 5.5 96 3.5 30 5 30 5.5

32 4.5 98 4.5 32 4 32 6.5

34 5.5 100 4.5 34 5 34 5.5

36 3.5 102 3.5 36 4.5 36 5.5

38 6 104 4.5 38 4 38 6.5

40 5 40 4 40 5.5

42 4.5 42 3.5 42 5.5

44 4.5 44 4 44 5

46 5 46 3.5 46 5

48 4 48 3.5 48 5

50 5 50 4 50 5

52 4.5 52 3.5 52 5

54 3.5 54 3.5 54 5

56 5 56 3.5

58 5 58 3.5

60 3.5 60 3.5

62 4.5

64 4.5

(44)

31 Lampiran 12 Laju infiltrasi pada lahan kebun campuran di Andosol Cisarua

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

t f t f t f t f t f

0 68 2.75 0 60 2 0

2 4 72 2.25 2 7 64 2 2 6

4 3 76 2.75 4 6 68 2 4 5.5

6 3 80 2.5 6 6 72 2 6 4.5

8 3.5 84 2.25 8 5.5 8 5

10 3 88 2.5 10 6 10 4.5

12 2.5 92 2.75 12 5.5 12 4

14 2 96 2.5 14 4.5 14 4

16 3 100 2.5 16 5.5 16 3.5

18 3 104 2.5 18 4.5 20 3

20 3 108 2.5 20 4 24 2.75

22 3 112 2.5 22 4 28 2.75

24 2.5 116 2.5 24 4 32 2.25

28 2.5 120 2.5 26 3.5 36 2.5

32 2.75 124 2.5 28 3.5 40 2.25

36 2.75 30 3 44 2.25

40 2.5 32 2.5 48 2

44 2.5 36 3 52 2.25

48 2.75 40

2.2

5 56 2

52 2.5 44

2.2

5 60 2

56 2.75 48 2 64 2

60 2.5 52

2.2

5 68 2

64 2.5 56 2 72 2

(45)

32

Lampiran 13 Laju infiltrasi pada lahan tegalan di Andosol Cisarua

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

t f t f t f

0 0 0

2 3.5 2 2.5 2 3

4 3 4 2 4 2.5

6 1.5 6 2 6 2.5

8 1.5 8 1.5 8 2

12 0.75 12 2 12 1.5

16 0.75 16 1.5 16 1

20 0.75 20 1.5 20 1

24 1 24 1.5 24 0.75

28 1.25 28 1.75 28 0.75

32 1 32 1.75 32 0.75

36 1.25 36 1.5 36 0.75

40 1 40 1.5 40 0.75

44 1.25 44 1.5 44 0.75

48 1 48 1.5 48 0.75

52 1.25 52 1.5

56 1 56 1.5

60 1.25

68 1.125

76 1.125

84 1.125

(46)

33 Lampiran 14 Laju infiltrasi pada lahan hutan di Latosol Darmaga

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

t f t f t f

0 0 0

5 3 5 2.8 5 1

10 2.6 10 1.8 10 1.2

15 2.2 15 1.8 15 1

20 2.2 20 1.6 20 0.8

25 2 25 1.6 25 0.8

30 1.8 30 1.6 30 0.8

35 2 35 1.2 35 1

40 1.8 40 1.2 40 0.6

45 1.8 45 1.2 45 0.8

50 1.8 50 1.2 50 0.8

55 1.6 55 1 55 0.6

60 1.6 60 1.2 60 0.6

65 1.4 65 0.8 65 0.6

70 1.4 70 0.8 70 0.8

75 1.2 75 1 75 0.6

80 1.2 80 0.8 80 0.6

85 1 85 0.8 85 0.6

90 1.2 90 0.8 90 0.8

95 1 95 0.8 95 0.6

100 1 100 0.6 100 0.6

105 0.8 105 0.6

110 0.8 110 0.6

115 0.8 115 0.6

120 0.8 120 0.6

125 0.8

(47)

34

Lampiran 15 Laju infiltrasi pada lahan kebun campuran di Latosol Darmaga

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

t f t f t f

0 0 0

5 0.6 5 2 5 1.4

10 0.8 10 1.6 10 1

15 0.6 15 1.6 15 1.2

20 0.4 20 1.4 20 0.8

25 0.6 25 1.2 25 0.8

30 0.2 30 1.2 30 1

35 0.6 35 1 35 0.8

40 0.4 40 1 40 0.8

45 0.2 45 1 45 0.8

50 0.4 50 1 50 1

55 0.4 55 0.8 55 0.8

60 0.4 60 0.8 60 0.8

65 0.4 65 1 65 0.8

70 0.2 70 0.8 70 0.6

75 0.2 75 1 75 0.8

80 0.4 80 1 80 0.6

85 0.2 85 1 85 0.6

90 0.4 90 1 90 0.8

95 0.4 95 0.8 95 0.6

100 0.2 100 0.8 100 0.6

105 0.4 105 0.6 105 0.6

110 0.4 110 0.8

115 0.2 115 0.6

120 0.4 120 0.6

125 0.4 125 0.6

130 0.2 130 0.6

135 0.4

140 0.4

(48)

35 Lampiran 16 Laju infiltrasi pada lahan tegalan di Latosol Darmaga

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

t f t f t f

0 0 0

5 1.4 5 1.4 5 0.6

10 0.4 10 1 10 1.2

15 0.4 15 1 15 0.4

20 0.8 20 1 20 0.8

25 0.6 25 0.4 25 0.6

30 0 30 0.6 30 0.6

35 0.4 35 0.8 35 0.6

40 0.8 40 0.6 40 0.6

45 0.2 45 0.6 45 0.4

50 0.2 50 0.4 50 0.4

55 0.6 55 0.2 55 0.6

60 0.6 60 0.6 60 0.4

65 0.6 65 0.6 65 0.6

70 0 70 0.6 70 0.4

75 0 75 0.4 75 0.6

80 0.6 80 0.6 80 0.4

85 0.2 85 0.4 85 0.6

90 0.2 90 0.4 90 0.4

95 0.2 95 0.6 95 0.4

100 0.4 100 0.6 100 0.4

105 0.4 105 0.6 105 0.4

110 0.4 110 0.6

115 0.2 115 0.6

120 0.2 120 0.6

125 0.2

130 0.2

(49)

36

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang, tanggal 16 Desember 1991 dari pasangan Suharsono dan Diani Octarini sebagai anak pertama dari dua bersaudara.

Riwayat pendidikan formal di SD N 249 Palembang dari tahun 1997 sampai tahun 2000, dan dilanjutkan di SD Swasta Eria, Medan. Pada tahun 2003 penulis menamatkan SD dan memasuki jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP N 2 Medan. Pada tahun 2006 penulis diterima di SMA N 1 Medan, kemudian pada tahun 2008 penulis pindah ke SMA N 5 Bogor. Pada tahun 2009 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Gambar

Gambar 1 Tutupan tajuk pada berbagai penggunaan lahan (A=hutan Andosol;
Gambar 2 Kadar bahan organik tanah pada berbagai penggunaan lahan di setiap

Referensi

Dokumen terkait

Adversity quotient merupakan kecerdasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesulitan dan sanggup untuk bertahan hidup, dalam hal ini tidak mudah menyerah dalam

Sebenarnya tidak ada kuota yang ditetapkan untuk penjualan ke pedagang besar kabupaten, kuota tersebut hanya ditentukan oleh seberapa besar keuntungan yang ingin

A .Pegunungan Bayah (Eosen) yang terjadi atas bagian Selatan yang terlipat kuat, bagian tengah terdiri atas batuan andesit tua (old Andesit)dan bagian Utara

Dari penelusuran pustaka dan observasi lapangan, ternyata lampion telah menjadi produk industri yang cukup menjanjikan.Bentuk dan fungsi lampion sudah tidak terpaku pada

Aktivitas fisik tidak ada hubungan dengan kejadian osteoarthritis genu di Rumah Sakit Islam Surabaya dengan nilai odds ratio untuk aktivitas fisik adalah 0,71 yang berarti bahwa

Prinsip penerapan GC G menurut E ffendi (2009), untuk mewujudkan prinsip G C G di suatu Good C orporate G overnancemerupakan sebuah sistem tata kelola perusahaan

Uji keab- sahan data dilakukan dengan teknik triangulasi sumber, yaitu dengan cara membandingkan hasil wawancara antara anak jalanan pengguna NAPZA dengan hasil observasi yang

“Pada akhir tahun 2013, UT diharapkan dapat melaksanakan 258 penelitian; mempublikasikan paling sedikit 30% dari jumlah penelitian dalam jurnal ilmiah nasional;