• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Ternak dalam Pengendalian Nyamuk Vektor Penyakit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Ternak dalam Pengendalian Nyamuk Vektor Penyakit"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

FAHMI KHAIRI. Pemanfaatan Ternak dalam Pengendalian Nyamuk Vektor Penyakit. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan SUPRIYONO.

Nyamuk merupakan serangga yang paling banyak menimbulkan masalah dalam kesehatan masyarakat, yaitu sebagai serangga pengganggu dan vektor berbagai macam penyakit, seperti malaria, demam berdarah dengue, chikungunya,

Japanese Encephalitis, dirofilariasis, filariasis, St. Louis Encephalitis, dan West Nile Virus. Tindakan zooprofilaksis, yaitu pemanfaatan ternak untuk mengalihkan gigitan nyamuk kepada manusia, belum pernah dilakukan di Indonesia. Penangkapan nyamuk yang mendatangi manusia dilakukan dengan metode Bare Leg Collection (BLC) pada rumah dengan dua perlakuan, yaitu rumah yang ditempatkan sapi dan tidak ditempatkan sapi, sedangkan pada sapi dilakukan dengan menggunakan magoon trap. Hasil penelitian menunjukkan kepadatan nyamuk Cx. sitiens yang dikenal sebagai vektor Japanese Encephalitis, pada rumah yang ditempatkan sapi sebesar 12,05 nyamuk/orang/jam, dan pada rumah yang tidak ditempatkan sapi 16,31 nyamuk/orang/jam, sedangkan pada sapi 54,38 nyamuk/sapi/jam. Kepadatan nyamuk Anopheles yang dikenal sebagai vektor malaria yang tertangkap tidak menunjukkan perbedaan. Kepadatan An. vagus

pada rumah yang ditempatkan sapi sama dengan pada rumah yang tidak ditempatkan sapi, yaitu 0,01 nyamuk/orang/jam, sebaliknya pada sapi mencapai 6,12 nyamuk/sapi/jam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penempatan sapi sebagai media zooprofilaksis berpotensi mengalihkan gigitan nyamuk dari manusia ke hewan.

(2)

ABSTRACT

FAHMI KHAIRI. The Utilization of Cattle in Mosquito Borne Disease Control. Supervised by SUSI SOVIANA and SUPRIYONO.

Mosquitoes are insects that cause the most health problems in society, as nuisance insects and vector of various diseases such as malaria, dengue hemorrhagic fever, chikungunya, Japanese Encephalitis, dirofilariasis, filariasis, St. Louis Encephalitis and West Nile Virus. Application of zooprophylaxis as the utilization of cattle to divert mosquito bite from human to animal has not been done in Indonesia.

This study was aimed to determine the effect of the placement of cattle around houses to reduce mosquitoes biting to human. Mosquitoes collection on human were done by Bare Leg Collection (BLC) around the houses with and without cattle placement. In the meantime, mosquitoes which come to cattle caught by Magoon trap. The result showed that the density of Cx. sitiens which known as vector of Japanese Encephalitis was 12,05 mosquitoes/man/hour at the houses with cattle and was 16,31 mosquitoes/man/hour at houses without cattle, and very high in cattle was 54,38 mosquitoes/cattle/hour. Density of Anopheles which known as vector of malaria did not show the difference between around houses with and without cattle placement. An. vagus density at house with or without cattle were same (0,01 mosquitoes/man/hour), but very high at cattle (6,12 mosquitoes/cattle/hour). This research showed that placement of cattle as zooprophylaxis application has good potency to reduce mosquito contact to human, which is means it could reduce mosquitoes borne diseases transmission.

Keywords: Anopheles, Bare Leg Collection, Cattle, Culex, Magoon trap,

(3)

PEMANFAATAN TERNAK DALAM PENGENDALIAN

NYAMUK VEKTOR PENYAKIT

FAHMI KHAIRI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pemanfaatan Ternak dalam Pengendalian Nyamuk Vektor Penyakit” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari hasil karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Fahmi Khairi

(5)

ABSTRAK

FAHMI KHAIRI. Pemanfaatan Ternak dalam Pengendalian Nyamuk Vektor Penyakit. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan SUPRIYONO.

Nyamuk merupakan serangga yang paling banyak menimbulkan masalah dalam kesehatan masyarakat, yaitu sebagai serangga pengganggu dan vektor berbagai macam penyakit, seperti malaria, demam berdarah dengue, chikungunya,

Japanese Encephalitis, dirofilariasis, filariasis, St. Louis Encephalitis, dan West Nile Virus. Tindakan zooprofilaksis, yaitu pemanfaatan ternak untuk mengalihkan gigitan nyamuk kepada manusia, belum pernah dilakukan di Indonesia. Penangkapan nyamuk yang mendatangi manusia dilakukan dengan metode Bare Leg Collection (BLC) pada rumah dengan dua perlakuan, yaitu rumah yang ditempatkan sapi dan tidak ditempatkan sapi, sedangkan pada sapi dilakukan dengan menggunakan magoon trap. Hasil penelitian menunjukkan kepadatan nyamuk Cx. sitiens yang dikenal sebagai vektor Japanese Encephalitis, pada rumah yang ditempatkan sapi sebesar 12,05 nyamuk/orang/jam, dan pada rumah yang tidak ditempatkan sapi 16,31 nyamuk/orang/jam, sedangkan pada sapi 54,38 nyamuk/sapi/jam. Kepadatan nyamuk Anopheles yang dikenal sebagai vektor malaria yang tertangkap tidak menunjukkan perbedaan. Kepadatan An. vagus

pada rumah yang ditempatkan sapi sama dengan pada rumah yang tidak ditempatkan sapi, yaitu 0,01 nyamuk/orang/jam, sebaliknya pada sapi mencapai 6,12 nyamuk/sapi/jam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penempatan sapi sebagai media zooprofilaksis berpotensi mengalihkan gigitan nyamuk dari manusia ke hewan.

(6)

ABSTRACT

FAHMI KHAIRI. The Utilization of Cattle in Mosquito Borne Disease Control. Supervised by SUSI SOVIANA and SUPRIYONO.

Mosquitoes are insects that cause the most health problems in society, as nuisance insects and vector of various diseases such as malaria, dengue hemorrhagic fever, chikungunya, Japanese Encephalitis, dirofilariasis, filariasis, St. Louis Encephalitis and West Nile Virus. Application of zooprophylaxis as the utilization of cattle to divert mosquito bite from human to animal has not been done in Indonesia.

This study was aimed to determine the effect of the placement of cattle around houses to reduce mosquitoes biting to human. Mosquitoes collection on human were done by Bare Leg Collection (BLC) around the houses with and without cattle placement. In the meantime, mosquitoes which come to cattle caught by Magoon trap. The result showed that the density of Cx. sitiens which known as vector of Japanese Encephalitis was 12,05 mosquitoes/man/hour at the houses with cattle and was 16,31 mosquitoes/man/hour at houses without cattle, and very high in cattle was 54,38 mosquitoes/cattle/hour. Density of Anopheles which known as vector of malaria did not show the difference between around houses with and without cattle placement. An. vagus density at house with or without cattle were same (0,01 mosquitoes/man/hour), but very high at cattle (6,12 mosquitoes/cattle/hour). This research showed that placement of cattle as zooprophylaxis application has good potency to reduce mosquito contact to human, which is means it could reduce mosquitoes borne diseases transmission.

Keywords: Anopheles, Bare Leg Collection, Cattle, Culex, Magoon trap,

(7)
(8)

PEMANFAATAN TERNAK DALAM PENGENDALIAN

NYAMUK VEKTOR PENYAKIT

FAHMI KHAIRI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Ternak dalam Pengendalian Nyamuk Vektor Penyakit”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan dalam memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor .

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini:

1 Kedua orang tua (Herzen Dt. Marajo dan Kumala Dewi Asmara) dan adik-adik tercinta (Arif, Anan, Iwan, Ana, Rabia, Fitri, dan Najmi) yang selalu memberikan doa, nasihat, semangat, dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2 Ibu Dr Drh Susi Soviana, MSi dan Bapak Drh Supriyono, MSi selaku dosen pembimbing atas kesabaran, kebaikannya dalam membimbing dan memberikan pengarahan, kritik, dan saran kepada penulis selama penelitian sampai akhir penulisan skripsi ini selesai.

3 Semua staf Bagian Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

4 Teman-teman seperjuangan Acromion FKH-47 yang telah memberikan semangat dan warna-warni selama kuliah di kampus ungu.

5 Serta teman-teman An Nahl yang telah memberikan semangat, pelajaran, dan pengertian atas perjuangan dalam kebaikan dan kebenaran.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Besar harapan penulis kiranya skripsi ini dapat berguna khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca, serta untuk kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kedokteran hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.

Bogor, Januari 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Biologi dan Perilaku Nyamuk 2

Nyamuk dan Penyakit yang Ditularkannya 3

Pemanfaatan Ternak dalam Pengendalian Nyamuk Vektor Penyakit 4

METODE 5

Waktu dan Tempat Penelitian 5

Metode Penelitian 5

Penangkapan Nyamuk 5

Preservasi Nyamuk 6

Identifikasi Nyamuk 6

Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Keragaman Nyamuk yang Tertangkap pada Orang dan Sapi 7 Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi 10 Kepadatan Nyamuk yang Tertangkap pada Umpan Orang dan Sapi 12

SIMPULAN DAN SARAN 13

Simpulan 13

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 14

(12)

DAFTAR TABEL

1 Keragaman nyamuk yang tertangkap pada orang dan sapi di Desa Hanura,

Lampung (Juli-September 2014) 8

2 Kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi nyamuk yang tertangkap dengan umpan orang di Desa Hanura, Lampung (Juli-September 2014) 10 3 Kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi nyamuk yang tertangkap dengan

umpan sapi di Desa Hanura, Lampung (Juli-September 2014) 12 4 Kepadatan nyamuk yang tertangkap di Desa Hanura, Lampung (Juli-

September 2014) 13

DAFTAR GAMBAR

1 Ragam jenis nyamuk yang tertangkap pada orang dan sapi di Desa Hanura,

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Nyamuk merupakan serangga yang penting dalam dunia kesehatan. Nyamuk adalah serangga berukuran kecil, halus, tungkainya panjang langsing, dan mempunyai bagian mulut untuk menusuk dan mengisap darah. Nyamuk tersebar di seluruh dunia, dapat dijumpai pada ketinggian 5.000 meter di atas permukaan laut sampai pada kedalaman 1.500 meter di bawah permukaan tanah di daerah pertambangan. Sebanyak 3100 jenis nyamuk yang dilaporkan di seluruh dunia, 457 jenis di antaranya terdapat di Indonesia, yaitu 8 spesies Mansonia, 80 spesies

Anopheles, 82 spesies Culex, dan 125 spesies Aedes. Sisanya merupakan anggota yang tidak penting dalam penularan penyakit (Hadi dan Koesharto 2006).

Nyamuk merupakan kelompok serangga yang paling banyak menimbulkan masalah dibidang kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh nyamuk memiliki distribusi yang luas, populasi yang tinggi, dan banyak spesies yang berperan sebagai pengganggu dan vektor penyakit (Becker et al. 2003). Peranan nyamuk dalam dunia kesehatan, selain sebagai serangga pengganggu secara langsung juga sebagai vektor dan inang antara berbagai macam penyakit, seperti malaria, demam berdarah dengue, chikungunya, Japanese Encephalitis, dirofilariasis, filariasis, St. Louis Encephalitis, dan West Nile Virus (Solichah 2009; Hadi dan Soviana 2010).

Berdasarkan perilaku kecenderungan terhadap inangnya, nyamuk dikenal memiliki sifat antropofilik, zoofilik, dan antropozoofilik. Sifat antropofilik merupakan kecenderungan nyamuk yang lebih menyukai darah manusia, sedangkan zoofilik merupakan kecenderungan nyamuk yang lebih menyukai darah hewan atau keduanya pada sifat antropozoofilik. Nyamuk Aedes dikenal bersifat antropofilik, nyamuk Anopheles dan Culex umumnya bersifat zoofilik.

Saat ini, upaya pengendalian nyamuk vektor lebih difokuskan pada penggunaan insektisida. Contohnya, pada kasus malaria, penggunaan insektisida dengan metode Indoor Residual Spraying (IRS) dengan menyemprotkan insektisida residual pada dinding-dinding rumah bahkan kandang-kandang ternak. Namun, pada metode ini diperlukan insektisida dalam jumlah yang sangat besar sehingga biaya yang dikeluarkan sangat mahal dan memberatkan daerah endemis malaria yang pada umumnya adalah negara-negara berkembang.

Pemeliharaan hewan ternak di sekitar permukiman dapat dimanfaatkan sebagai barrier, untuk menurunkan kontak nyamuk dengan manusia. Aplikasi ini dikenal dengan istilah zooprofilaksis. Zooprofilaksis merupakan cara biologis yang bertujuan untuk mencegah dan menghindarkan kejadian kontak antara nyamuk dengan manusia dalam upaya pengendalian nyamuk vektor penyakit.

Zooprofilaksis sudah banyak diaplikasikan di banyak negara di dunia dalam menangani penyakit tular vektor. Beberapa penelitian aplikasi zooprofilaksis menggunakan sapi, terutama untuk mengendalikan malaria, dilaporkan oleh Jan et al. (2001) di Pakistan dan Tirados et al. (2011) di Ethiopia. Selain itu, Alexander

(14)

2

pengendalian malaria secara nasional (KEMENKES 2012), tetapi belum pernah dilaporkan pelaksanaannya di lapang.

Penelitian ini membandingkan beberapa aspek biologi nyamuk pada aplikasi zooprofilaksis, dengan menempatkan dan tidak menempatkan sapi di sekitar permukiman dan mengetahui pengaruh penempatan sapi untuk mengurangi angka gigitan nyamuk terhadap manusia dalam upaya pengendalian nyamuk vektor penyakit.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk;

1. Mengetahui keragaman jenis nyamuk yang tertangkap di lokasi penelitian, baik yang tertangkap pada orang yang di rumahnya ditempatkan sapi, yang tidak ditempatkan sapi, dan pada sapi.

2. Mengetahui angka kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi berbagai jenis nyamuk yang tertangkap pada orang yang di rumahnya ditempatkan sapi, yang tidak ditempatkan sapi, dan pada sapi.

3. Membandingkan angka gigitan nyamuk pada orang yang di rumahnya ditempatkan sapi dan yang tidak ditempatkan sapi.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini menjadi dasar pengembangan program pengendalian penyakit tular vektor nyamuk dengan pemanfaatan ternak.

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi dan Perilaku Nyamuk

Nyamuk di Indonesia terdiri atas 457 spesies, di antaranya 8 spesies

Mansonia, 80 spesies Anopheles, 125 spesies Aedes, 82 spesies Culex, sedangkan sisanya merupakan anggota yang tidak penting dalam penularan penyakit. Nyamuk termasuk ke dalam ordo Diptera, famili Culicidae, dengan tiga subfamili; Anophelinae (Anopheles), Culicinae (Aedes, Armigeres, Culex, Mansonia), dan Toxorhynchitinae (Toxorhynchites). Aedes, Anopheles, Armigeres, Culex,

Culiseta, Haemogogus, Mansonia, Prosophora, dan Sabethes adalah genus nyamuk yang mengisap darah manusia dan berperan sebagai vektor. Beberapa nyamuk terbatas di daerah tertentu, seperti Haemogogus dan Sabethes, ditemukan hanya di Amerika Tengah dan Selatan. Beberapa nyamuk dapat dijumpai di mana- mana, seperti Culex quinquefasciatus dan Aedes aegypti (Hadi dan Koesharto 2006).

(15)

3

Antena pada nyamuk jantan berambut panjang sehingga disebut antena plumose, sedangkan pada nyamuk betina berambut halus sehingga disebut antena pilose. Probosis terdiri atas labrum-epifaring, hipofaring, sepasang mandibula, dan maksila bergerigi (stilet). Toraks ditutupi oleh skutum pada bagian dorsal dan dilengkapi tiga pasang tungkai yang panjang dan langsing. Warna, pola sisik, dan rambut pada toraks berguna dalam membedakan genus dan spesies. Bagian posterior abdomen mempunyai dua sersi kaudal yang berukuran kecil pada nyamuk betina, sedangkan nyamuk jantan memiliki organ seksual yang disebut hipopigidium (Hadi dan Soviana 2010).

Siklus hidup nyamuk mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa. Nyamuk tertarik pada cahaya, pakaian berwarna gelap, manusia, dan hewan. Hal ini disebabkan oleh rangsangan zat-zat yang dikeluarkan hewan, terutama CO2, beberapa asam amino, dan lokasi yang dekat dengan suhu hangat serta kelembapan yang tinggi. Beberapa spesies nyamuk bersifat antropofilik, zoofilik, antropozoofilik, dan hidup bebas di alam (Hadi dan Koesharto 2006).

Nyamuk jantan tidak mengisap darah, tetapi mengisap madu atau cairan tumbuhan. Umumnya nyamuk betina mengisap darah sebelum bertelur untuk kelangsungan reproduksi. Pada berbagai spesies, kegiatan mengisap darah berbeda menurut umur, waktu (siang atau malam), dan lingkungan. Beberapa spesies memasuki rumah untuk mencari makan (endofagik) dan istirahat di dalam rumah (endofilik), sedangkan spesies lain memasuki rumah hanya untuk makan (endofagik) dan menghabiskan waktu istirahatnya di luar rumah (eksofilik), ada juga yang mengisap darah di luar rumah (eksofagik) dan istirahat juga di luar rumah (eksofilik) (Hadi dan Koesharto 2006).

Nyamuk Anopheles dan Culex umumnya bersifat zoofilik. Sifat ini dapat berubah menjadi antropofilik jika terjadi perubahan ekologi yang menyebabkan sumber darah hewan tidak tersedia. Aktivitas mengisap darah dari nyamuk

Anopheles dan Culex berlangsung pada malam hari (nokturnal), berbeda dari nyamuk Aedes yang melakukan aktivitas mengisap darah pada siang hari (diurnal). Nyamuk yang bersifat eksofagik adalah nyamuk yang banyak mengisap darah di luar rumah, tetapi bisa masuk ke dalam rumah jika manusia merupakan inang utama, misalnya Anopheles balabacensis, An. sinensis, An. aconitus, dan

Mansonia uniformis. Nyamuk endofagik adalah nyamuk yang mengisap darah di dalam rumah, tetapi bila inang tidak tersedia di dalam rumah sebagian nyamuk akan mencari inang di luar rumah (Munif 2009). Nyamuk Aedes umumnya bersifat antropofilik. Aedes aegypti sering ditemukan dan melakukan aktivitas mengisap darah di dalam rumah, sedangkan nyamuk Ae. albopictus bersifat eksofagik dan eksofilik (Bahari 2011).

Nyamuk dan Penyakit yang Ditularkannya

Nyamuk merupakan vektor berbagai macam penyakit, seperti malaria, demam berdarah dengue, chikungunya, Japanese Encephalitis (JE), dirofilariasis dan filariasis. Nyamuk jenis An. sundaicus, An. subpictus, dan An. farauiti

(16)

4

disebabkan cacing Wuchereria brancrofti di perkotaan, dan An. vagus, An. aconitus, An. subpictus di pedesaan. Mansonia uniformis dan Anopheles spp. menularkan Brugria sp., nyamuk Culex vishnui, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. gelidus berperan sebagai vektor Japanese Enchephalitis (radang otak), nyamuk

Ae. albopictus sebagai vektor chikungunya (Hadi dan Koesharto 2006).

Berbagai agen penyakit yang dapat ditularkan nyamuk adalah berbagai jenis

Plasmodium penyebab malaria yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles, virus dengue-1, 2, 3, 4 penyebab penyakit demam berdarah yang diketahui ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Virus chikungunya penyebab chikungunya ditularkan oleh Ae. aegypti dan Ae. albopictus, virus Japanese B. Encephalitis penyebab radang otak yang ditularkan oleh Cx. tritaeniorhynchus, dan berbagai jenis cacing filaria, seperti Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi

penyebab filariasis (penyakit kaki gajah) ditularkan oleh Cx. quinquefasciatus dan

An. barbirostris. Nyamuk juga mengganggu hewan dan menularkan penyakit cacing jantung anjing (Dirofilaria immitis), Bovine Ephemeral Virus, dan lain-lain (Hadi dan Koesharto 2006).

Pemanfaatan Ternak dalam Pengendalian Nyamuk Vektor Penyakit

Zooprofilaksis oleh WHO (1982) didefinisikan sebagai penggunaan hewan domestik ataupun liar yang bukan inang reservoar dari suatu penyakit tertentu untuk mengalihkan gigitan nyamuk vektor dari manusia sebagai inang penyakit tersebut. Tindakan zooprofilaksis lebih khusus dilakukan terhadap nyamuk dengan cara menempatkan kelompok ternak di dekat sumber tempat perindukan dalam garis arah terbang nyamuk yang baru muncul menuju ke permukiman penduduk yang terjangkau oleh vektor tersebut. Tindakan zooprofilaksis yang direncanakan dan dilakukan seperti itu disebut zooprofilaksis aktif. Sebaliknya zooprofilaksis pasif, yaitu zooprofilaksis yang tidak direncanakan dan tidak dilakukan dengan sengaja, mempunyai daya mendeviasikan nyamuk vektor yang antropofilik menjadi zoofilik dalam batas tertentu.

Pemanfaatan ternak merupakan satu cara biologis yang bertujuan untuk mencegah dan menghindarkan kejadian kontak antara nyamuk dan manusia, dalam hal upaya pengendalian nyamuk sebagai vektor penyakit. Hal ini dikenal dengan istilah deviasi vektor dengan melakukan tindakan atau metode zooprofilaksis. Tindakan tersebut bertujuan agar terjadi perubahan orientasi nyamuk dari menggigit manusia kepada hewan ternak, seperti sapi, kerbau, kuda, dan sebagainya.

Pemberdayaan ternak sebagai tameng terhadap penyakit tular vektor mempunyai potensi dan prospek yang baik di masa depan. Beberapa penelitian dilaporkan telah menggunakan berbagai jenis hewan sebagai media zooprofilaksis. Contohnya Jan et al. (2001) di Pakistan dan Tirados et al. (2011) di Ethiopia yang menggunakan sapi sebagai media zooprofilaksis. Ayam juga pernah dilaporkan Alexander et al. (2002) sebagai media zooprofilaksis di Brazil dalam menangani kasus Leshmaniasis yang ditularkan oleh lalat pasir (Lutzomyia longipalpis).

(17)

5

50% nyamuk yang terdiri atas dua puluh spesies. Domba mampu mendatangkan sebanyak 33,4% nyamuk dengan jumlah sembilan belas spesies. Manusia sebagai pembanding hanya mampu menarik kedatangan 5,3% nyamuk dengan sembilan spesies. Daya tarik tiga hewan lainnya, yaitu monyet, kelinci, dan ayam relatif kecil. Masing-masing sebesar 1,2% (delapan spesies), 2,1% (sepuluh spesies), dan 3,7% (enam spesies) dari seluruh nyamuk yang tertangkap. Hasil penelitian tersebut merekomendasikan bahwa sapi dan domba merupakan media zooprofilaksis yang paling baik karena mampu menarik kedatangan nyamuk lebih besar dibandingkan terhadap manusia.

Pengendalian vektor melalui zooprofilaksis sangat bergantung pada peran serta masyarakat. Masyarakat diharapkan memelihara ternak di sekitar rumah sebagai perlindungan dari gigitan nyamuk. Mathys (2010) menyatakan ada dua syarat untuk keberhasilan program zooprofilaksis, yaitu pertama, jenis spesies nyamuk harus bersifat zoofilik dan eksofilik. Syarat kedua ternak harus ditempatkan di dekat tempat tinggal sebagai tameng antara nyamuk vektor dan manusia. Lokasi penempatan ternak harus dipisahkan dari permukiman manusia dengan jarak 10-20 meter.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2014 di Desa Hanura, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Desa Hanura merupakan daerah endemis malaria yang berada di pesisir pantai, berupa dataran dengan pemanfaatan lahan untuk permukiman, persawahan, dan peternakan. Di Desa Hanura terdapat aliran sungai, tambak- tambak garam, rawa-rawa, dan hutan bakau. Identifikasi nyamuk dilakukan di Laboratorium Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian

Penangkapan Nyamuk

(18)

6

Penangkapan nyamuk pada manusia dilakukan dengan metode BLC (Bare Leg Collection), yaitu penangkapan nyamuk menggunakan aspirator pada orang dalam keadaan kaki terbuka sebagai umpan bagi nyamuk. Penangkapan nyamuk pada sapi dilakukan dengan menempatkan sapi dalam magoon trap yang berupa kurungan berukuran 6 m x 6 m x 2 m, berdinding kelambu, dan dilengkapi dengan jendela untuk masuknya nyamuk dan pintu masuk untuk kolektor. Magoon trap

ditempatkan di antara tempat perindukan nyamuk dengan rumah, dengan jarak 10- 20 meter di depan rumah. Selanjutnya nyamuk yang diperoleh dimasukkan ke dalam paper cup yang ditutup dengan kain kasa dan dimatikan menggunakan kloroform.

Preservasi Nyamuk

Preservasi nyamuk dilakukan dengan cara kering menggunakan metode

pinning. Pembuatan preparat dengan cara menempelkan bagian toraks nyamuk pada kertas segitiga kecil yang telah ditancapkan pada jarum. Keseragaman tinggi nyamuk pada jarum menggunakan sebuah balok khusus (pinning block). Setelah dilakukan pinning, nyamuk diberi label dan disimpan dalam kotak penyimpanan. Bagian dasar kotak diberi alas gabus dan tiap sudut kotak diberi kapur barus agar preparat nyamuk terhindar dari serangan semut atau hama perusak lainnya. Preparat nyamuk diberi label sesuai jam penangkapan.

Identifikasi Nyamuk

Identifikasi nyamuk menggunakan mikroskop stereo dengan acuan yang digunakan adalah Kunci Identifikasi Morfologi Bergambar O’Connor dan Soepanto (2000), Kunci Identifikasi Nyamuk Aedes (DEPKES 2008a), Kunci Identifikasi Nyamuk Culex (DEPKES 2008b), dan WRBU (Walter Reed Biosystematics Unit) (2014).

Analisis Data

Data dianalisis untuk mengetahui kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi (Sigit 1968), dan indeks keragaman jenis serta kepadatan nyamuk yang dinyatakan dalam nilai MHD (Man Hour Density) dan CHD (Cattle Hour Density). Selanjutnya hasil dideskripsikan dalam bentuk gambar dan tabel. Analisis tersebut menggunakan perhitungan sebagai berikut :

Kelimpahan Nisbi

Kelimpahan nisbi adalah perbandingan jumlah individu spesies nyamuk terhadap total jumlah spesies nyamuk yang diperoleh dan dinyatakan dalam persen.

Kelimpahan Nisbi = x 100%

Frekuensi

(19)

7

Frekuensi =

Dominasi Spesies

Angka dominasi spesies dihitung berdasarkan hasil perkalian antara kelimpahan nisbi dengan frekuensi nyamuk tertangkap spesies tersebut dalam satu waktu penangkapan.

Dominasi Spesies = Kelimpahan Nisbi x Frekuensi

Indeks Keanekaragaman Jenis

(H) = -∑ Pi Ln (Pi) dengan Pi = Ni/N

Keterangan: Pi : Perbandingan jumlah individu suatu spesies dengan keseluruhan spesies

Ni : Jumlah individu ke-i

N : Jumlah total individu semua spesies

Kriteria indeks keanekaragaman menurut Krebs (1978) sebagai berikut: Tinggi (H > 3); Sedang (1 ≤ H ≤ 3); Rendah (H < 1)

MHD menyatakan kepadatan nyamuk yang kontak dengan manusia dalam satu jam (/orang/jam). MHD dinyatakan dalam:

MHD =

CHD menyatakan kepadatan nyamuk yang kontak di sapi di dalam magoon trap

dalam satu jam (/sapi/jam). CHD dinyatakan dalam:

CHD =

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaman Nyamuk yang Tertangkap pada Orang dan Sapi

Nyamuk yang tertangkap di Desa Hanura dari semua penangkapan, baik pada orang maupun sapi, selama lima kali penangkapan berjumlah 6750 nyamuk. Nyamuk yang tertangkap terdiri atas dua spesies Aedes (Ae. aegypti dan Ae.

albopictus), lima spesies Anopheles (An. aconitus, An. barbirostris, An. subpictus, An. sundaicus, dan An. vagus), satu spesies Armigeres (Ar. subalbatus), dan enam spesies Culex (Cx. bitaeniorhynchus, Cx. fuscocephalus, Cx. hutchinsoni, Cx.

(20)

8

pada malam hari. Sisanya adalah nyamuk Anopheles 10,21%, nyamuk Armigeres

0,37%, dan nyamuk Aedes 0,04% (Tabel 1).

Di antara nyamuk Culex, Cx. sitiens (Gambar 1 D) merupakan jenis yang dominan (63,70%). Kondisi daerah penelitian sangat sesuai untuk perkembang biakan nyamuk ini, yaitu daerah pantai dengan tambak-tambak garam, rawa-rawa, dan hutan bakau. Spesies ini ditemukan pada penangkapan dengan umpan orang maupun sapi. Cx. sitiens merupakan spesies yang berkembang biak di pesisir air payau. Nyamuk ini sering ditemukan di daerah pantai, pelabuhan, dermaga, atau di daerah yang banyak terdapat kolam, hutan bakau, tambak-tambak garam, dan parit. Prummongkol et al. (2011) melaporkan bahwa stadium pradewasa Cx.

sitiens terdapat pada genangan air yang terkena cahaya matahari, lubang-lubang kecil, danau, sumur, rawa-rawa, tambak udang, dan bekas galian tambang timah.

Nyamuk Cx. tritaeniorhynchus (Gambar 1 C) ditemukan dalam jumlah cukup tinggi (23,64%). Hal ini dikarenakan adanya lahan persawahan yang merupakan habitat perkembangbiakan stadium pradewasa nyamuk ini dan banyak warga yang memelihara ternak di sekitar permukiman penduduk. Diketahui bahwa nyamuk Cx. tritaeniorhynchus bersifat antropozoofilik sebagaimana dilaporkan Dharma et al. (2004) dan Ginanjar (2011) yang menemukan nyamuk

Cx. tritaeniorhynchus di lahan persawahan dan tersedianya ternak di sekitar permukiman. Cx. quinquefasciatus yang dikenal sebagai nyamuk rumah ditemukan dengan persentase sebesar 1,73%. Nyamuk ini memiliki habitat seperti pada genangan air yang keruh, kolam yang sudah tidak terpakai, selokan, dan tempat-tempat lembap lainnya (Hadi dan Koesharto 2006).

(21)

9

A B

C D

E F

G H

Gambar 1 Ragam jenis nyamuk yang tertangkap pada orang dan sapi di Desa Hanura, Lampung (A) Ar. subalbatus, (B) Cx. quinquefasciatus, (C)

Cx. tritaeniorhynchus, (D) Cx. sitiens, (E) An. sundaicus, (F) An.

vagus, (G) An. barbirostris, (H) An. subpictus (Juli - September 2014)

Nyamuk Anopheles yang tertangkap paling banyak adalah An. sundaicus,

An. vagus, dan An. barbirostris. Jenis Anopheles yang ditemukan pada penelitian ini sesuai dengan kondisi daerah penelitian, yaitu daerah pantai dengan tambak- tambak yang terbengkalai, rawa-rawa dan persawahan yang sangat sesuai untuk habitat jenis spesies Anopheles tersebut. An. vagus dan An. sundaicus merupakan vektor malaria di daerah pantai (Munif 2009). Prastowo (2011) melaporkan bahwa An. vagus dan An. barbirostris ditemukan pada daerah yang memiliki lahan persawahan. Selain itu, Suwito (2010) melaporkan bahwa An. sundaicus

merupakan vektor utama malaria di Kecamatan Padang Cermin.

(22)

10

yang melakukan penelitian di kawasan Hutan Jati Desa Bandung, Batang dengan umpan orang dan Taviv (2005) yang melakukan penelitian di daerah perkebunan karet dan kopi di Desa Segara Kembang, Sumatera Selatan dengan umpan orang yang menemukan Ar. subalbatus dalam jumlah yang sedikit. Sebaliknya, Ikhsan (2014) melaporkan bahwa Ar. subalbatus merupakan spesies yang tertangkap paling banyak di peternakan sapi perah dengan metode lightrap. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan lingkungan lokasi penelitian. Tingginya jumlah Ar.

subalbatus yang tertangkap pada penelitian Ikhsan karena tersedianya habitat yang menjadi tempat perkembangan stadium pradewasa nyamuk ini terutama genangan air hasil feses ternak. Habitat Ar. subalbatus adalah air kotor, seperti genangan air hasil feses ternak, genangan air pada pohon, tanggul, bambu, genangan air tanah, serta semak dengan kondisi lingkungan yang teduh (Harbach 2008).

Selain itu, juga ditemukan nyamuk Aedes, yaitu Ae. aegypti dan Ae.

albopictus walaupun dalam jumlah yang sangat rendah. Tempat perindukan Aedes

berupa genangan-genangan air yang tertampung di suatu wadah, seperti tempayan, drum, bak air, tempat air burung piaraan, barang-barang bekas, lubang di pohon, dan pelepah daun (Sitio 2008). Sedikitnya jumlah nyamuk Aedes yang tertangkap karena nyamuk ini melakukan aktivitas menggigit siang hari (diurnal), sedangkan penangkapan dilakukan pada malam hari.

Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi

Tabel 2 Kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi nyamuk yang tertangkap dengan umpan orang di Desa Hanura, Lampung (Juli-September 2014)

Kelimpahan Nisbi (%) Frekuensi Dominasi (%)

Spesies

Keterangan:

R + Sapi : Rumah yang ditempatkan sapi

(23)

11

Hasil penelitian menunjukkan Cx. sitiens memiliki nilai dominasi tertinggi, yaitu 81,44% pada rumah yang ditempatkan sapi dan 89,92% pada rumah yang tidak ditempatkan sapi. Spesies ini ditemukan dalam jumlah yang tinggi berkaitan dengan habitatnya di pesisir pantai. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Taviv (2005) dan Prummongkol et al. (2011). Nyamuk ini merupakan vektor potensial bagi penyebaran penyakit Japanese Encephalitis (JE), River Ross Virus, dan filariasis (Sendow 2005; New Zealand Biosecure 2006). JE merupakan penyakit yang dapat menginfeksi hewan maupun manusia. Menurut Hewitt (1999) dalam aplikasi zoprofilaksis, ternak yang digunakan bukan merupakan inang reservoar dari suatu penyakit. Jika hal ini terjadi, maka penularan penyakit dari hewan kepada manusia dan sebaliknya akan terus terjadi. Oleh sebab itu, penggunaan ternak sebagai media zooprofilaksis dalam penanganan penyakit tular vektor yang bersifat zoonosis perlu dipertimbangkan.

Cx. tritaeniorhynchus memiliki nilai dominasi lebih tinggi pada rumah yang ditempatkan sapi, yaitu sebesar 9,28%. Pada rumah yang tidak ditempatkan sapi nyamuk ini memiliki nilai dominasi sebesar 7,39%. Nyamuk ini merupakan vektor utama JE (Hariastuti 2012). Nyamuk Cx. quinquefasciatus memiliki nilai dominasi sebesar 6,94% pada rumah yang ditempatkan sapi dan 1,38% pada rumah yang tidak ditempatkan sapi. Rendahnya nilai dominasi nyamuk ini pada penangkapan di rumah yang tidak ditempatkan sapi karena rumah yang digunakan lama tidak dihuni sehingga aktivitas menggigit nyamuk lebih sedikit. Di daerah urban Cx. quinquefasciatus merupakan vektor utama filariasis yang disebabkan

Wuchereria bancrofti. Di Kansas dan California, Amerika Serikat nyamuk ini merupakan vektor penyakit yang disebabkan oleh West Nile Virus (Solichah 2009).

(24)

12

Tabel 3 Kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi nyamuk yang tertangkap dengan umpan sapi di Desa Hanura, Lampung (Juli-September 2014)

Spesies Kelimpahan Nisbi (%) Frekuensi Dominasi Spesies (%)

Cx. sitiens 49,29 1 49,29

Cx. tritaeniorhynchus 33,56 1 33,56

An. sundaicus 8,13 1 8,13

An. vagus 4,99 1 4,99

An. barbirostris 1,53 1 1,53

An. subpictus 1,29 0,8 1,03

An. aconitus 0,68 1 0,68

Ar. subalbatus 0,29 1 0,29

Cx. quinquefasciatus 0,22 0,6 0,13

Hasil penangkapan nyamuk pada sapi ditemukan sembilan spesies nyamuk, yaitu An. vagus, An. aconitus, An. sundaicus, An. barbirostris, An. subpictus, Ar.

subalbatus, Cx. sitiens, Cx. tritaeniorhynchus, dan Cx. quinquefasciatus (Tabel 3). Cx. sitiens memiliki nilai dominasi tertinggi sebesar 49,29%. Cx.

tritaeniorhynchus memiliki nilai dominasi sebesar 33,56%. Selain sebagai vektor

JE pada manusia, nyamuk Cx. tritaeniorhynchus merupakan vektor JE pada ternak ruminansia, babi, dan kuda (NVBDCP 2006). Selain Ar. subalbatus, nyamuk Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus merupakan vektor penyakit dirofilariasis pada anjing (Hadi dan Soviana 2010). Nyamuk Anopheles

yang ditemukan pada penangkapan dengan umpan sapi yang paling banyak adalah

An. sundaicus dan An. vagus. Keduanya memiliki nilai dominasi sebesar 8,13% dan 4,99%. Nilai indeks keragaman jenis pada penangkapan nyamuk pada sapi adalah sedang, yaitu 1,065.

Kepadatan Nyamuk yang Tertangkap pada Umpan Orang dan Sapi

Kepadatan nyamuk tertinggi ditemukan pada nyamuk Cx. sitiens pada penangkapan nyamuk dengan umpan sapi, yaitu sebesar 54,38 nyamuk/sapi/jam. Umumnya, kepadatan nyamuk yang tertangkap pada orang di rumah yang ditempatkan sapi lebih rendah dibandingkan terhadap orang di rumah yang tidak ditempatkan sapi. Contohnya, kepadatan Cx. sitiens pada orang yang di rumahnya ditempatkan sapi sebesar 12,05 nyamuk/orang/jam, tidak ditempatkan sapi sebesar 16,31 nyamuk/orang/jam, dan pada sapi sebesar 54,38 nyamuk/sapi/jam. New Zealand Biosecure (2006) menyebutkan bahwa nyamuk ini mempunyai waktu aktivitas menggigit terutama pada malam hari (nokturnal) dan inang yang beragam (manusia, ayam, kuda, domba, unggas, babi, dan sapi). Kepadatan Cx.

(25)

13

Cx. tritaeniorhynchus 1,32 1,37 38,17

An. sundaicus 0,03 0,01 9,63

Cx. quinquefasciatus 0,96 0,29 0,27

Cx. hutchinsoni 0,09 0,07 0

R – Sapi: Rumah yang tidak ditempatkan sapi

Kepadatan nyamuk Anopheles yang merupakan vektor malaria di Desa Hanura menunjukkan bahwa nyamuk ini bersifat zoofilik. Kepadatan nyamuk

Anopheles yang tertangkap pada sapi lebih tinggi dibandingkan terhadap kepadatan nyamuk yang tertangkap pada orang, baik pada rumah yang ditempatkan sapi maupun tidak ditempatkan sapi. Tingginya kepadatan nyamuk yang tertangkap pada sapi membuktikan sapi sebagai media zooprofilaksis yang potensial untuk mengalihkan gigitan nyamuk dari ke manusia ke hewan.

SIMPULAN DAN SARAN

tritaeniorhynchus. Penempatan sapi sebagai media zooprofilaksismampu mengalihkan gigitan nyamuk pada manusia, contohnya pada nyamuk Cx. sitiens

(26)

14

Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan efektivitas zooprofilaksis di daerah endemis penyakit tular vektor nyamuk.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander B, Carvalho RL, McCallum H, Pereira MH. 2002. Role of the domestic chicken (Gallus gallus) in the epidemiology of urban Visceral Leishmaniasis in Brazil. Emerging Infectious Diseases. Vol. 8(12).

Bahari DN. 2011. Kepadatan dan perilaku nyamuk Aedes (Diptera: Culicidae) di Desa Babakan Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Becker N, Petric D, Zgomba M, Boase C, Dahl C, Lane J, Kaiser A. 2003.

Mosquito And Their Control. Kluwer Academic/ Plenum Publishers. New York (US): 497 hal.

[DEPKES RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008a. Kunci Identifikasi Nyamuk Aedes. Jakarta (ID): Dit. Jen. PP & PL.

[DEPKES RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008b. Kunci Identifikasi Nyamuk Culex. Jakarta (ID): Dit. Jen. PP & PL.

Dharma W, Hoedojo, Abikusno RMN, Suripriastuti, A Inggrid AT, Sutanto BA. 2004. Survei nyamuk di Desa Marga Mulya, Kec. Mauk, Tangerang. J Kedokter Trisakti. Vol.23(2):57-62.

Ginanjar RA. 2011. Densitas dan perilaku nyamuk (Diptera : Culicidae) di Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Nyamuk dalam Hama Permukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Sigit SH, UK Hadi, editor. Bogor (ID): Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman.

Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit Pengenalan, Identifikasi, dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr.

Harbach R. 2008. Genus Armigeres Theobald 1901 [Internet]. [diunduh 2014 Nov 11). Tersedia pada: http://mosquito-taxonomic-inventory. info/genus- armigeres-theobald-1901.

Hariastuti NI. 2012. Japanese encephalitis. Balaba. Vol.8(2):55-57.

Hewitt S, Rowland M. 1999. Control of zoophilic malaria vectors by applying pyrethroid insecticides to cattle. Trop Med Int Hlth. Vol.4(7):481 – 486. Ikhsan M. 2014. Keragaman jenis dan fluktuasi kepadatan nyamuk pada

peternakan sapi Unit Reproduksi dan Rehabilitasi Institut Pertanian Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Jan AH, Ahmad M, Khan SU. 2001. Zooprophylaxis with special reference to malaria in human population. J. Pakistan Vet. Vol.21(1):52-54.

(27)

15

Krebs CJ. 1978. Ecology The Eksperimental Analysis of Distribution and Abundance. Third Edition. New York (US): Herper and Row Publisher. Mathys

T. 2010. Effectiveness of zooprophylaxis for malaria prevention and control in setting of complex and protracted emergency. Resilience. 1: 1-26. Munif A. 2009. Nyamuk vektor malaria dan hubungannya dengan aktivitas

kehidupan manusia di Indonesia. Aspirator. Vol.1(2):94-102.

New Zealand Biosecure. 2006. Culex sitiens. Auckland (NZ): Entomology Laboratory SMS (Southern Monitoring Service). 29 Nov 2006.

[NVBDCP] National Vector Borne Diseases Control Programme. 2006.

Guidelines for Surveillance of Acute Encephalitis Syndrome (with special reference to Japanese Encephalitis). New Delhi (IN): Directorate of National Vector Borne Diseases Control Programme.

O’Connor C.T, Supanto A. 2000. Kunci Bergambar Nyamuk Anopheles Betina Di Indonesia. Depkes RI. Dit.Jen P2M & PLP. Jakarta (ID): 40 hal.

Prastowo D, Anggraini YM. 2011. Dinamika populasi nyamuk yang diduga sebagai vektor di Kecamatan Rojolele, Kabupaten Kebuman, Jawa Tengah.

Jurnal Vektora. Vol.4(2):83-97.

Prummongkol S, Panasoponkul, Apiwathnasorn, Uthai UL. 2011. Biology of Culex sitiens, a predominant mosquito in Phang Nga, Thailand after tsunami. J Insect Scienc. Vol.12(11):1-8.

Sendow I, Bahri S. 2005. Perkembangan Japanese Encephalitis di Indonesia.

Wartazoa. Vol.15(3):111-118.

Sigit SH. 1968. Studies on the organization of oribatid mite communities in three ecologycally different grasslands [disertation]. Oklahoma State University USA.

Sitio A. 2008. Hubungan perilaku tentang pemberantasan sarang nyamuk dan kebiasaan keluarga dengan kejadian demam berdarah dengue di Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan tahun 2008 [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Solichah Z. 2009. Ancaman dari nyamuk Culex sp. yang terabaikan. Balaba. Vol.5(1):21-23.

Suwasono H, Barodji, Sumardi, Suwaryono T. 1995. Hasil penangkapan nyamuk di kawasan hutan jati Desa Bandung, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang.

Media Litbangkes. Vol.5(2):7-11.

Suwito. 2010. Bioekologi spesies Anopheles di Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran: Keragaman, karakteristik habitat, kepadatan, perilaku dan distribusi spasial [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Taviv Y. 2005. Fauna nyamuk di Desa Segara Kembang Kecamatan Lengkiti, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tirados I, Gibson G, Young S, Torr S. 2011. Are herders protected by their herds? An experimental analysis of zooprophylaxis againts the malaria vector

Anopheles arabiensis. Malar J. Vol. 10(1):68-76.

(28)

16

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 22 September 1992 dari ayah bernama Herzen Dt. Marajo dan ibu bernama Kumala Dewi Asmara di Koto Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Penulis merupakan anak pertama dari 8 bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri 1 Koto Baru dan lulus tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan ke MTs Negeri Koto Baru dan lulus tahun 2007. Penulis melanjutkan sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Koto Baru dan lulus tahun 2010. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor di Fakultas Kedokteran Hewan pada tanggal 28 Juni 2010 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

(29)

14

Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan efektivitas zooprofilaksis di daerah endemis penyakit tular vektor nyamuk.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander B, Carvalho RL, McCallum H, Pereira MH. 2002. Role of the domestic chicken (Gallus gallus) in the epidemiology of urban Visceral Leishmaniasis in Brazil. Emerging Infectious Diseases. Vol. 8(12).

Bahari DN. 2011. Kepadatan dan perilaku nyamuk Aedes (Diptera: Culicidae) di Desa Babakan Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Becker N, Petric D, Zgomba M, Boase C, Dahl C, Lane J, Kaiser A. 2003.

Mosquito And Their Control. Kluwer Academic/ Plenum Publishers. New York (US): 497 hal.

[DEPKES RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008a. Kunci Identifikasi Nyamuk Aedes. Jakarta (ID): Dit. Jen. PP & PL.

[DEPKES RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008b. Kunci Identifikasi Nyamuk Culex. Jakarta (ID): Dit. Jen. PP & PL.

Dharma W, Hoedojo, Abikusno RMN, Suripriastuti, A Inggrid AT, Sutanto BA. 2004. Survei nyamuk di Desa Marga Mulya, Kec. Mauk, Tangerang. J Kedokter Trisakti. Vol.23(2):57-62.

Ginanjar RA. 2011. Densitas dan perilaku nyamuk (Diptera : Culicidae) di Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Nyamuk dalam Hama Permukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Sigit SH, UK Hadi, editor. Bogor (ID): Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman.

Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit Pengenalan, Identifikasi, dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr.

Harbach R. 2008. Genus Armigeres Theobald 1901 [Internet]. [diunduh 2014 Nov 11). Tersedia pada: http://mosquito-taxonomic-inventory. info/genus- armigeres-theobald-1901.

Hariastuti NI. 2012. Japanese encephalitis. Balaba. Vol.8(2):55-57.

Hewitt S, Rowland M. 1999. Control of zoophilic malaria vectors by applying pyrethroid insecticides to cattle. Trop Med Int Hlth. Vol.4(7):481 – 486. Ikhsan M. 2014. Keragaman jenis dan fluktuasi kepadatan nyamuk pada

peternakan sapi Unit Reproduksi dan Rehabilitasi Institut Pertanian Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Jan AH, Ahmad M, Khan SU. 2001. Zooprophylaxis with special reference to malaria in human population. J. Pakistan Vet. Vol.21(1):52-54.

(30)

15

Krebs CJ. 1978. Ecology The Eksperimental Analysis of Distribution and Abundance. Third Edition. New York (US): Herper and Row Publisher. Mathys

T. 2010. Effectiveness of zooprophylaxis for malaria prevention and control in setting of complex and protracted emergency. Resilience. 1: 1-26. Munif A. 2009. Nyamuk vektor malaria dan hubungannya dengan aktivitas

kehidupan manusia di Indonesia. Aspirator. Vol.1(2):94-102.

New Zealand Biosecure. 2006. Culex sitiens. Auckland (NZ): Entomology Laboratory SMS (Southern Monitoring Service). 29 Nov 2006.

[NVBDCP] National Vector Borne Diseases Control Programme. 2006.

Guidelines for Surveillance of Acute Encephalitis Syndrome (with special reference to Japanese Encephalitis). New Delhi (IN): Directorate of National Vector Borne Diseases Control Programme.

O’Connor C.T, Supanto A. 2000. Kunci Bergambar Nyamuk Anopheles Betina Di Indonesia. Depkes RI. Dit.Jen P2M & PLP. Jakarta (ID): 40 hal.

Prastowo D, Anggraini YM. 2011. Dinamika populasi nyamuk yang diduga sebagai vektor di Kecamatan Rojolele, Kabupaten Kebuman, Jawa Tengah.

Jurnal Vektora. Vol.4(2):83-97.

Prummongkol S, Panasoponkul, Apiwathnasorn, Uthai UL. 2011. Biology of Culex sitiens, a predominant mosquito in Phang Nga, Thailand after tsunami. J Insect Scienc. Vol.12(11):1-8.

Sendow I, Bahri S. 2005. Perkembangan Japanese Encephalitis di Indonesia.

Wartazoa. Vol.15(3):111-118.

Sigit SH. 1968. Studies on the organization of oribatid mite communities in three ecologycally different grasslands [disertation]. Oklahoma State University USA.

Sitio A. 2008. Hubungan perilaku tentang pemberantasan sarang nyamuk dan kebiasaan keluarga dengan kejadian demam berdarah dengue di Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan tahun 2008 [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Solichah Z. 2009. Ancaman dari nyamuk Culex sp. yang terabaikan. Balaba. Vol.5(1):21-23.

Suwasono H, Barodji, Sumardi, Suwaryono T. 1995. Hasil penangkapan nyamuk di kawasan hutan jati Desa Bandung, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang.

Media Litbangkes. Vol.5(2):7-11.

Suwito. 2010. Bioekologi spesies Anopheles di Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran: Keragaman, karakteristik habitat, kepadatan, perilaku dan distribusi spasial [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Taviv Y. 2005. Fauna nyamuk di Desa Segara Kembang Kecamatan Lengkiti, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tirados I, Gibson G, Young S, Torr S. 2011. Are herders protected by their herds? An experimental analysis of zooprophylaxis againts the malaria vector

Anopheles arabiensis. Malar J. Vol. 10(1):68-76.

(31)

7

Frekuensi =

Dominasi Spesies

Angka dominasi spesies dihitung berdasarkan hasil perkalian antara kelimpahan nisbi dengan frekuensi nyamuk tertangkap spesies tersebut dalam satu waktu penangkapan.

Dominasi Spesies = Kelimpahan Nisbi x Frekuensi

Indeks Keanekaragaman Jenis

(H) = -∑ Pi Ln (Pi) dengan Pi = Ni/N

Keterangan: Pi : Perbandingan jumlah individu suatu spesies dengan keseluruhan spesies

Ni : Jumlah individu ke-i

N : Jumlah total individu semua spesies

Kriteria indeks keanekaragaman menurut Krebs (1978) sebagai berikut: Tinggi (H > 3); Sedang (1 ≤ H ≤ 3); Rendah (H < 1)

MHD menyatakan kepadatan nyamuk yang kontak dengan manusia dalam satu jam (/orang/jam). MHD dinyatakan dalam:

MHD =

CHD menyatakan kepadatan nyamuk yang kontak di sapi di dalam magoon trap

dalam satu jam (/sapi/jam). CHD dinyatakan dalam:

CHD =

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaman Nyamuk yang Tertangkap pada Orang dan Sapi

Nyamuk yang tertangkap di Desa Hanura dari semua penangkapan, baik pada orang maupun sapi, selama lima kali penangkapan berjumlah 6750 nyamuk. Nyamuk yang tertangkap terdiri atas dua spesies Aedes (Ae. aegypti dan Ae.

albopictus), lima spesies Anopheles (An. aconitus, An. barbirostris, An. subpictus, An. sundaicus, dan An. vagus), satu spesies Armigeres (Ar. subalbatus), dan enam spesies Culex (Cx. bitaeniorhynchus, Cx. fuscocephalus, Cx. hutchinsoni, Cx.

(32)

8

pada malam hari. Sisanya adalah nyamuk Anopheles 10,21%, nyamuk Armigeres

0,37%, dan nyamuk Aedes 0,04% (Tabel 1).

Di antara nyamuk Culex, Cx. sitiens (Gambar 1 D) merupakan jenis yang dominan (63,70%). Kondisi daerah penelitian sangat sesuai untuk perkembang biakan nyamuk ini, yaitu daerah pantai dengan tambak-tambak garam, rawa-rawa, dan hutan bakau. Spesies ini ditemukan pada penangkapan dengan umpan orang maupun sapi. Cx. sitiens merupakan spesies yang berkembang biak di pesisir air payau. Nyamuk ini sering ditemukan di daerah pantai, pelabuhan, dermaga, atau di daerah yang banyak terdapat kolam, hutan bakau, tambak-tambak garam, dan parit. Prummongkol et al. (2011) melaporkan bahwa stadium pradewasa Cx.

sitiens terdapat pada genangan air yang terkena cahaya matahari, lubang-lubang kecil, danau, sumur, rawa-rawa, tambak udang, dan bekas galian tambang timah.

Nyamuk Cx. tritaeniorhynchus (Gambar 1 C) ditemukan dalam jumlah cukup tinggi (23,64%). Hal ini dikarenakan adanya lahan persawahan yang merupakan habitat perkembangbiakan stadium pradewasa nyamuk ini dan banyak warga yang memelihara ternak di sekitar permukiman penduduk. Diketahui bahwa nyamuk Cx. tritaeniorhynchus bersifat antropozoofilik sebagaimana dilaporkan Dharma et al. (2004) dan Ginanjar (2011) yang menemukan nyamuk

Cx. tritaeniorhynchus di lahan persawahan dan tersedianya ternak di sekitar permukiman. Cx. quinquefasciatus yang dikenal sebagai nyamuk rumah ditemukan dengan persentase sebesar 1,73%. Nyamuk ini memiliki habitat seperti pada genangan air yang keruh, kolam yang sudah tidak terpakai, selokan, dan tempat-tempat lembap lainnya (Hadi dan Koesharto 2006).

(33)

9

A B

C D

E F

G H

Gambar 1 Ragam jenis nyamuk yang tertangkap pada orang dan sapi di Desa Hanura, Lampung (A) Ar. subalbatus, (B) Cx. quinquefasciatus, (C)

Cx. tritaeniorhynchus, (D) Cx. sitiens, (E) An. sundaicus, (F) An.

vagus, (G) An. barbirostris, (H) An. subpictus (Juli - September 2014)

Nyamuk Anopheles yang tertangkap paling banyak adalah An. sundaicus,

An. vagus, dan An. barbirostris. Jenis Anopheles yang ditemukan pada penelitian ini sesuai dengan kondisi daerah penelitian, yaitu daerah pantai dengan tambak- tambak yang terbengkalai, rawa-rawa dan persawahan yang sangat sesuai untuk habitat jenis spesies Anopheles tersebut. An. vagus dan An. sundaicus merupakan vektor malaria di daerah pantai (Munif 2009). Prastowo (2011) melaporkan bahwa An. vagus dan An. barbirostris ditemukan pada daerah yang memiliki lahan persawahan. Selain itu, Suwito (2010) melaporkan bahwa An. sundaicus

merupakan vektor utama malaria di Kecamatan Padang Cermin.

(34)

10

yang melakukan penelitian di kawasan Hutan Jati Desa Bandung, Batang dengan umpan orang dan Taviv (2005) yang melakukan penelitian di daerah perkebunan karet dan kopi di Desa Segara Kembang, Sumatera Selatan dengan umpan orang yang menemukan Ar. subalbatus dalam jumlah yang sedikit. Sebaliknya, Ikhsan (2014) melaporkan bahwa Ar. subalbatus merupakan spesies yang tertangkap paling banyak di peternakan sapi perah dengan metode lightrap. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan lingkungan lokasi penelitian. Tingginya jumlah Ar.

subalbatus yang tertangkap pada penelitian Ikhsan karena tersedianya habitat yang menjadi tempat perkembangan stadium pradewasa nyamuk ini terutama genangan air hasil feses ternak. Habitat Ar. subalbatus adalah air kotor, seperti genangan air hasil feses ternak, genangan air pada pohon, tanggul, bambu, genangan air tanah, serta semak dengan kondisi lingkungan yang teduh (Harbach 2008).

Selain itu, juga ditemukan nyamuk Aedes, yaitu Ae. aegypti dan Ae.

albopictus walaupun dalam jumlah yang sangat rendah. Tempat perindukan Aedes

berupa genangan-genangan air yang tertampung di suatu wadah, seperti tempayan, drum, bak air, tempat air burung piaraan, barang-barang bekas, lubang di pohon, dan pelepah daun (Sitio 2008). Sedikitnya jumlah nyamuk Aedes yang tertangkap karena nyamuk ini melakukan aktivitas menggigit siang hari (diurnal), sedangkan penangkapan dilakukan pada malam hari.

Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, dan Dominasi

Tabel 2 Kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi nyamuk yang tertangkap dengan umpan orang di Desa Hanura, Lampung (Juli-September 2014)

Kelimpahan Nisbi (%) Frekuensi Dominasi (%)

Spesies

Keterangan:

R + Sapi : Rumah yang ditempatkan sapi

(35)

11

Hasil penelitian menunjukkan Cx. sitiens memiliki nilai dominasi tertinggi, yaitu 81,44% pada rumah yang ditempatkan sapi dan 89,92% pada rumah yang tidak ditempatkan sapi. Spesies ini ditemukan dalam jumlah yang tinggi berkaitan dengan habitatnya di pesisir pantai. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Taviv (2005) dan Prummongkol et al. (2011). Nyamuk ini merupakan vektor potensial bagi penyebaran penyakit Japanese Encephalitis (JE), River Ross Virus, dan filariasis (Sendow 2005; New Zealand Biosecure 2006). JE merupakan penyakit yang dapat menginfeksi hewan maupun manusia. Menurut Hewitt (1999) dalam aplikasi zoprofilaksis, ternak yang digunakan bukan merupakan inang reservoar dari suatu penyakit. Jika hal ini terjadi, maka penularan penyakit dari hewan kepada manusia dan sebaliknya akan terus terjadi. Oleh sebab itu, penggunaan ternak sebagai media zooprofilaksis dalam penanganan penyakit tular vektor yang bersifat zoonosis perlu dipertimbangkan.

Cx. tritaeniorhynchus memiliki nilai dominasi lebih tinggi pada rumah yang ditempatkan sapi, yaitu sebesar 9,28%. Pada rumah yang tidak ditempatkan sapi nyamuk ini memiliki nilai dominasi sebesar 7,39%. Nyamuk ini merupakan vektor utama JE (Hariastuti 2012). Nyamuk Cx. quinquefasciatus memiliki nilai dominasi sebesar 6,94% pada rumah yang ditempatkan sapi dan 1,38% pada rumah yang tidak ditempatkan sapi. Rendahnya nilai dominasi nyamuk ini pada penangkapan di rumah yang tidak ditempatkan sapi karena rumah yang digunakan lama tidak dihuni sehingga aktivitas menggigit nyamuk lebih sedikit. Di daerah urban Cx. quinquefasciatus merupakan vektor utama filariasis yang disebabkan

Wuchereria bancrofti. Di Kansas dan California, Amerika Serikat nyamuk ini merupakan vektor penyakit yang disebabkan oleh West Nile Virus (Solichah 2009).

(36)

12

Tabel 3 Kelimpahan nisbi, frekuensi, dan dominasi nyamuk yang tertangkap dengan umpan sapi di Desa Hanura, Lampung (Juli-September 2014)

Spesies Kelimpahan Nisbi (%) Frekuensi Dominasi Spesies (%)

Cx. sitiens 49,29 1 49,29

Cx. tritaeniorhynchus 33,56 1 33,56

An. sundaicus 8,13 1 8,13

An. vagus 4,99 1 4,99

An. barbirostris 1,53 1 1,53

An. subpictus 1,29 0,8 1,03

An. aconitus 0,68 1 0,68

Ar. subalbatus 0,29 1 0,29

Cx. quinquefasciatus 0,22 0,6 0,13

Hasil penangkapan nyamuk pada sapi ditemukan sembilan spesies nyamuk, yaitu An. vagus, An. aconitus, An. sundaicus, An. barbirostris, An. subpictus, Ar.

subalbatus, Cx. sitiens, Cx. tritaeniorhynchus, dan Cx. quinquefasciatus (Tabel 3). Cx. sitiens memiliki nilai dominasi tertinggi sebesar 49,29%. Cx.

tritaeniorhynchus memiliki nilai dominasi sebesar 33,56%. Selain sebagai vektor

JE pada manusia, nyamuk Cx. tritaeniorhynchus merupakan vektor JE pada ternak ruminansia, babi, dan kuda (NVBDCP 2006). Selain Ar. subalbatus, nyamuk Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus merupakan vektor penyakit dirofilariasis pada anjing (Hadi dan Soviana 2010). Nyamuk Anopheles

yang ditemukan pada penangkapan dengan umpan sapi yang paling banyak adalah

An. sundaicus dan An. vagus. Keduanya memiliki nilai dominasi sebesar 8,13% dan 4,99%. Nilai indeks keragaman jenis pada penangkapan nyamuk pada sapi adalah sedang, yaitu 1,065.

Kepadatan Nyamuk yang Tertangkap pada Umpan Orang dan Sapi

Kepadatan nyamuk tertinggi ditemukan pada nyamuk Cx. sitiens pada penangkapan nyamuk dengan umpan sapi, yaitu sebesar 54,38 nyamuk/sapi/jam. Umumnya, kepadatan nyamuk yang tertangkap pada orang di rumah yang ditempatkan sapi lebih rendah dibandingkan terhadap orang di rumah yang tidak ditempatkan sapi. Contohnya, kepadatan Cx. sitiens pada orang yang di rumahnya ditempatkan sapi sebesar 12,05 nyamuk/orang/jam, tidak ditempatkan sapi sebesar 16,31 nyamuk/orang/jam, dan pada sapi sebesar 54,38 nyamuk/sapi/jam. New Zealand Biosecure (2006) menyebutkan bahwa nyamuk ini mempunyai waktu aktivitas menggigit terutama pada malam hari (nokturnal) dan inang yang beragam (manusia, ayam, kuda, domba, unggas, babi, dan sapi). Kepadatan Cx.

(37)

13

Cx. tritaeniorhynchus 1,32 1,37 38,17

An. sundaicus 0,03 0,01 9,63

Cx. quinquefasciatus 0,96 0,29 0,27

Cx. hutchinsoni 0,09 0,07 0

R – Sapi: Rumah yang tidak ditempatkan sapi

Kepadatan nyamuk Anopheles yang merupakan vektor malaria di Desa Hanura menunjukkan bahwa nyamuk ini bersifat zoofilik. Kepadatan nyamuk

Anopheles yang tertangkap pada sapi lebih tinggi dibandingkan terhadap kepadatan nyamuk yang tertangkap pada orang, baik pada rumah yang ditempatkan sapi maupun tidak ditempatkan sapi. Tingginya kepadatan nyamuk yang tertangkap pada sapi membuktikan sapi sebagai media zooprofilaksis yang potensial untuk mengalihkan gigitan nyamuk dari ke manusia ke hewan.

SIMPULAN DAN SARAN

tritaeniorhynchus. Penempatan sapi sebagai media zooprofilaksismampu mengalihkan gigitan nyamuk pada manusia, contohnya pada nyamuk Cx. sitiens

(38)

13

Cx. tritaeniorhynchus 1,32 1,37 38,17

An. sundaicus 0,03 0,01 9,63

Cx. quinquefasciatus 0,96 0,29 0,27

Cx. hutchinsoni 0,09 0,07 0

R – Sapi: Rumah yang tidak ditempatkan sapi

Kepadatan nyamuk Anopheles yang merupakan vektor malaria di Desa Hanura menunjukkan bahwa nyamuk ini bersifat zoofilik. Kepadatan nyamuk

Anopheles yang tertangkap pada sapi lebih tinggi dibandingkan terhadap kepadatan nyamuk yang tertangkap pada orang, baik pada rumah yang ditempatkan sapi maupun tidak ditempatkan sapi. Tingginya kepadatan nyamuk yang tertangkap pada sapi membuktikan sapi sebagai media zooprofilaksis yang potensial untuk mengalihkan gigitan nyamuk dari ke manusia ke hewan.

SIMPULAN DAN SARAN

tritaeniorhynchus. Penempatan sapi sebagai media zooprofilaksismampu mengalihkan gigitan nyamuk pada manusia, contohnya pada nyamuk Cx. sitiens

(39)

14

Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan efektivitas zooprofilaksis di daerah endemis penyakit tular vektor nyamuk.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander B, Carvalho RL, McCallum H, Pereira MH. 2002. Role of the domestic chicken (Gallus gallus) in the epidemiology of urban Visceral Leishmaniasis in Brazil. Emerging Infectious Diseases. Vol. 8(12).

Bahari DN. 2011. Kepadatan dan perilaku nyamuk Aedes (Diptera: Culicidae) di Desa Babakan Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Becker N, Petric D, Zgomba M, Boase C, Dahl C, Lane J, Kaiser A. 2003.

Mosquito And Their Control. Kluwer Academic/ Plenum Publishers. New York (US): 497 hal.

[DEPKES RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008a. Kunci Identifikasi Nyamuk Aedes. Jakarta (ID): Dit. Jen. PP & PL.

[DEPKES RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008b. Kunci Identifikasi Nyamuk Culex. Jakarta (ID): Dit. Jen. PP & PL.

Dharma W, Hoedojo, Abikusno RMN, Suripriastuti, A Inggrid AT, Sutanto BA. 2004. Survei nyamuk di Desa Marga Mulya, Kec. Mauk, Tangerang. J Kedokter Trisakti. Vol.23(2):57-62.

Ginanjar RA. 2011. Densitas dan perilaku nyamuk (Diptera : Culicidae) di Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Nyamuk dalam Hama Permukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Sigit SH, UK Hadi, editor. Bogor (ID): Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman.

Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit Pengenalan, Identifikasi, dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr.

Harbach R. 2008. Genus Armigeres Theobald 1901 [Internet]. [diunduh 2014 Nov 11). Tersedia pada: http://mosquito-taxonomic-inventory. info/genus- armigeres-theobald-1901.

Hariastuti NI. 2012. Japanese encephalitis. Balaba. Vol.8(2):55-57.

Hewitt S, Rowland M. 1999. Control of zoophilic malaria vectors by applying pyrethroid insecticides to cattle. Trop Med Int Hlth. Vol.4(7):481 – 486. Ikhsan M. 2014. Keragaman jenis dan fluktuasi kepadatan nyamuk pada

peternakan sapi Unit Reproduksi dan Rehabilitasi Institut Pertanian Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Jan AH, Ahmad M, Khan SU. 2001. Zooprophylaxis with special reference to malaria in human population. J. Pakistan Vet. Vol.21(1):52-54.

Gambar

Gambar 1 Ragam jenis nyamuk yang tertangkap pada orang dan sapi di Desa
Tabel  2  Kelimpahan  nisbi,  frekuensi,  dan  dominasi  nyamuk  yang  tertangkap
Tabel 4 Kepadatan nyamuk yang tertangkap di Desa Hanura, Lampung (Juli- September 2014)
Gambar 1 Ragam jenis nyamuk yang tertangkap pada orang dan sapi di Desa
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di perpustakaan STIKES Mega Rezky Makassar peran pustakawan dalam memahami karakter pemustaka belum maksimal mereka hanya bisa

Karena pendapatan bunga yang diperoleh lebih besar dari pada biaya bunga maka laba akan mengalami ke- naikan seharusnya ROA juga akan me- ningkat akan tetapi ROA

Lebih dari 20 tahun yang lalu telah ditegaskan bahwa apoptosis telah banyak dilaporkan pada 20 tahun yang lalu telah ditegaskan bahwa apoptosis telah banyak

Kung mahihirapang markahan ang lahat ng salita, gamitin ang tuldik upang maipatiyak ang wastong bigkas lalo na sa mga salitang magkakatulad ng baybay ngunit

Hasil kajian analisis ini menggambarkan bahwa sub bidang Ekuin terkait dengan berita Ekonomi Mikro dalam hal ini perilaku konsumen, industri, penentuan harga pasar, produksi barang

Selain itu, dengan adanya persepsi positif mengindikasikan bahwa masyarakat di sekitar kawasan penyangga TNWK masih memiliki kepedulian dan kesadaran yang baik

Melihat fenomena yang terjadi pada masyarakat Islam sekarang yang sebagaian masih melakukan ritual tersebut, tidak sejalan dengan syariat agama Islam, terutama yang

material, jika logika formal berbicara konsistensi premis-premis dan kesimpulan, maka logika material berbicara tentang kebenaran premis dengan fakta yang ada. Secara