• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Tanaman Dihaploid dari Persilangan Padi Sawah dan Padi Gogo melalui Kultur Antera

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produksi Tanaman Dihaploid dari Persilangan Padi Sawah dan Padi Gogo melalui Kultur Antera"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI TANAMAN DIHAPLOID DARI

PERSILANGAN PADI SAWAH DAN PADI GOGO MELALUI

KULTUR ANTERA

NUHA HERA PUTRI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Produksi Tanaman Dihaploid dari Persilangan Padi Sawah dan Padi Gogo melalui Kultur Antera” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

(4)

ABSTRAK

NUHA HERA PUTRI. Produksi Tanaman Dihaploid dari Persilangan Padi Sawah dan Padi Gogo melalui Kultur Antera. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO dan ISWARI SARASWATI DEWI.

Metode kultur antera merupakan salah satu metode pemuliaan padi yang efisien waktu, biaya dan tenaga kerja. Pemuliaan konvensional biasanya membutuhkan 10 generasi, waktu untuk mendapatkan galur murni homozigos dengan metode kultur antera dapat dipersingkat hanya menjadi 1-2 generasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan tanaman dihaploid (DH0) hasil regenerasi kultur antera persilangan padi sawah dan padi gogo. Eksplan yang digunakan yaitu antera F1 hasil persilangan beberapa jenis padi sawah dan padi gogo, yang terdiri atas 1) IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1, 2) Bio-R81 x I5-10-1-1, 3) Bio-R81 x O18b-1 dan 4) Bio-R82-2 x OO18b-18b-O18b-1. Dari penelitian ini diperoleh 265 tanaman hijau atau 34% dari jumlah tanaman total, yang terdiri atas 34 tanaman hijau hasil persilangan (IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 2), 59 tanaman hijau hasil persilangan (Bio-R81 x I5-10-1-1), 77 tanaman hijau hasil persilangan (Bio-R81 x O18b-1) dan 95 tanaman hijau untuk persilangan (Bio-R82-2 x O18b-1). Tanaman dihaploid generasi pertama (DH0) diperoleh dari tanaman hijau yang dihasilkan setelah diaklimatisasi, ditanam di rumah kaca dan diseleksi. Diperoleh individu DH0 berturut-turut diperoleh sebanyak 15, 11, 21 dan 26 tanaman pada persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1, Bio-R81 x I5-10-1-1, Bio-R81 x O18b-1 dan Bio-R82-2 x O18b-1.

Kata kunci : galur baru, padi sawah, padi gogo

ABSTRACT

NUHA HERA PUTRI. Dihaploid Plant Production from Lowland Rice and Upland Rice Crosses through Anther Culture. Supervised by BAMBANG SAPTA PURWOKO and ISWARI SARASWATI DEWI.

Anther culture is one of rice breeding method which is efficient in time, cost and labor. Conventional rice breeding usually needs 10 generations to achieve homozigous pure lines. Anther culture can reduce the time to only 1-2 generations. The objective of this research was to obtain doubled haploid or dihaploid plants (DH0) produced from rice anther culture of F1. The materials used in this research were anthers of F1 from some lowland rice and upland rice crosses i.e 1) IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1, 2) Bio-R81 x I5-10-1-1, 3) Bio-R81 x O18b-1 and 4) Bio-R82-2 x O18b-1. The result from this research were Bio-R82-265 green plants (34% from the total plants) consisted of 34 green plants from (IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1) , 59 green plants from (Bio-R81 x I5-10-1-1), 77 green plants from (Bio-R81 x O18b-1) , and 95 green plants from (Bio-R82-2 x O18b-1). The green plants were acclimatized, grown in the greenhouse and selected to obtain first generation of dihaploid plants. This research yielded 15, 11, 21, and 26 doubled-haploid (DH0) lines from IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1, Bio-R81 x I5-10-1-1, Bio-R81 x O18b-1, and Bio-R82-2 x O18b-1 respectively.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

PRODUKSI TANAMAN DIHAPLOID DARI PERSILANGAN

PADI SAWAH DAN PADI GOGO MELALUI

KULTUR ANTERA

NUHA HERA PUTRI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Produksi Tanaman Dihaploid dari Persilangan Padi Sawah dan Padi Gogo melalui Kultur Antera

Nama : Nuha Hera Putri NIM : A24090132

Disetujui oleh

Diketahui oleh

Dr.Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr Ketua Departemen

Tanggal Lulus: Prof Dr Ir Bambang S Purwoko, MSc

Pembimbing I

(8)
(9)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik. Penelitian yang bertema pemuliaan tanaman dan bioteknologi dengan judul “Produksi Tanaman Dihaploid dari Persilangan Padi Sawah dan Padi Gogo melalui Kultur Antera” ini dilakukan untuk mendapatkan genotipe padi berdaya hasil tinggi.

Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, MSc dan Dr. Ir. Iswari Saraswati Dewi selaku dosen pembimbing. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Iman Ridwan dan Teh Yeni, selaku staf BB Biogen. Terima kasih kepada kedua orang tua, serta kepada pimpinan PT BLST yaitu Bapak Sambas Waemata, Bapak Meika Syahbana Rusli dan Bapak Arif Imam Suroso serta Bapak Dwi Guntoro, Dosen Agronomi dan Hortikultura yang selalu memberikan motivasi dalam penulisan skripsi. Terima kasih juga kepada Meyrinda, Estu, Herdafi, Yusak dan Tim Gulma AGH yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung selama persiapan, pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.

Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk mendukung ketahanan pangan Indonesia.

Bogor, Mei 2014

(10)
(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Botani dan Morfologi Padi 2

Jenis-Jenis Padi 3

Pemuliaan Padi Konvensional 4

Kultur Antera 6

METODE 9

Tempat dan Waktu 9

Bahan 9

Alat 9

Rancangan Percobaan, Prosedur dan Analisis Data 10

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Simpulan 17

Saran 17

DAFTAR PUSTAKA 18

(12)

DAFTAR TABEL

1 Produksi kalus dan kalus menghasilkan tanaman pada kultur antera padi

hasil persilangan padi sawah dan padi gogo... 12 2 Respon galur persilangan padi sawah dan padi gogo terhadap regenerasi

tanaman pada kultur antera padi... 14 3 Efisiensi produksi tanaman hasil persilangan padi sawah dan padi gogo

melalui kultur antera padi... 15 4 Tanaman dihaploid pada kultur antera hasil persilangan padi sawah dan

padi gogo... 16

DAFTAR GAMBAR

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk Indonesia mengakibatkan kebutuhan pangan meningkat, khususnya beras. Susanto et al. (2003) mengatakan bahwa kebutuhan akan beras yang terus meningkat menuntut peningkatan produktivitas padi yang kontinyu. Namun di sisi lain Safitri et al. (2010) mengatakan bahwa laju peningkatan produktivitas padi di Indonesia telah melandai (levelling off), artinya teknologi budidaya yang dilakukan sulit untuk meningkatkan produksi karena potensi genetik produksinya sudah jenuh. Terjadinya perubahan fungsi lahan untuk pertanian (sawah) menjadi non pertanian menyebabkan semakin menurunnya produksi bahan pangan. Upaya peningkatan produksi perlu dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang tersedia, khususnya lahan kering. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi yang dapat meningkatkan produksi padi di lahan kering.

Padi gogo merupakan salah satu tanaman pangan yang berpotensi untuk dikembangkan. Pada tahun-tahun mendatang peranan padi gogo dalam penyediaan gabah nasional menjadi semakin penting (Rahayu et al. 2006). Pengembangan budidaya padi gogo merupakan alternatif untuk meningkatkan produksi padi nasional, karena perluasan padi sawah semakin sulit dilakukan. Strategi ini dilakukan di antaranya melalui optimalisasi pemanfaatan lahan tidur atau tumpang sari dengan tanaman perkebunan belum menghasilkan (Herawati et al. 2009).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah penggunaan varietas unggul. Penggunaan varietas yang tepat, teknik budidaya dan pola tanam yang tepat, dapat meningkatkan produktivitas padi di lahan kering menjadi 4 ton/ha (Puslitbangtan 1993). Jumlah varietas unggul padi gogo tidak sebanyak padi sawah. Perakitan padi gogo tipe baru belum banyak dilakukan mengingat berbagai kendala adaptasi lingkungan dan cekaman biotik. Varietas padi gogo diharapkan memiliki sifat produksi tinggi dan tahan terhadap cekaman abiotik dan biotik.

Varietas dapat dihasilkan melalui pemuliaan konvensional dan non konvensional. Proses pemuliaan konvensional membutuhkan waktu lima sampai tujuh tahun untuk menghasilkan padi dengan sifat yang diinginkan, sedangkan kultur antera dapat memperpendek proses tersebut. Kultur antera merupakan salah satu metode kultur in-vitro yang dapat menghasilkan galur murni dihaploid. Teknik ini dapat mempercepat perolehan galur murni dalam satu generasi (Dewi dan Purwoko 2011; Abdullah et al. 2008). Teknik kultur antera telah menghasilkan galur-galur padi harapan. Galur yang dirakit melalui kombinasi marka molekuler dan kultur antera telah dilepas sebagai varietas di Indonesia ialah Inpari HDB (Hawar Daun Bakteri) yang tahan terhadap hawar daun bakteri yang merupakan penyakit utama padi sawah [Dewi 2014, komunikasi singkat].

Tujuan Penelitian

(14)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Morfologi Padi

Padi adalah rerumputan (Gramineae atau Poaceae) yang termasuk ke dalam genus Oryza Linn. Terdapat dua spesies yang biasa dibudidayakan yaitu Oryza sativa Linn.dan O. glaberrima Steud namun O. glaberrima Steud tidak banyak dibudidayakan (Grist 1975). Siklus hidup tanaman padi berdasarkan pertumbuhannya dimulai dari perkecambahan, diikuti dengan perkembangan tajuk yaitu munculnya daun dan anakan berturut-turut, kemudian pemanjangan ruas, keluarnya malai, pembungaan, pengisian biji dan pematangan biji yang disertai dengan penuaan batang dan daun sampai akhirnya tumbuhan mati.

Proses pertumbuhan padi terbagi ke dalam fase pertumbuhan vegetatif, fase pertumbuhan generatif dan fase pematangan (Vergara 1991), yaitu :

1. Fase vegetatif

Fase vegetatif terdiri atas perkecambahan benih, anakan yang aktif, pengakaran, pertambahan tinggi, dan munculnya daun dengan interval tertentu. Fase vegetatif dimulai dari perkecambahan sampai inisiasi malai. Di daerah tropis, anakan maksimal akan keluar pada 40 sampai 60 hari setelah pindah tanam, tergantung pada varietas, jarak tanam dan tingkat kesuburan tanah. Fase jumlah anakan maksimal biasanya diikuti dengan berkurangnya anakan per satuan luas.

Daun dihasilkan dari batang utama dengan rata-rata satu daun per minggu namun dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Rentang waktu munculnya daun pada fase awal pertumbuhan lebih singkat (4-5 hari) dan lebih panjang pada fase pertumbuhan berikutnya (8-9 hari). Varietas berdaya hasil tinggi di daerah tropis memiliki 14-18 daun, hampir sama dengan varietas di daerah beriklim sedang. Rendahnya suhu dan lama penyinaran meningkatkan produksi daun sebelum inisiasi malai.

2. Fase reproduktif

Fase reproduktif berawal dari diferensiasi primordia malai. Fase ini dicirikan dengan perkembangan malai dan pemanjangan malai (Murayama 1995).

Makarim dan Suhartatik (2006) menyatakan bahwa fase reproduktif ditandai dengan memanjangnya beberapa ruas teratas batang tanaman, berkurangnya penambahan jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting dan pembungaan.

3. Fase pematangan

(15)

3 Jenis-Jenis Padi

Padi dibedakan menjadi tiga subspesies, yaitu indica, japonica dan javanica (Chang dan Bardenas 1965). Padi subspesies indica mempunyai karakteristik daun yang berukuran sempit berwarna hijau tua, gabah pendek dan agak bulat panjang, bulu sekam lebat dan panjang, gabah agak mudah rontok, jumlah anakan sedang, batang sedang-pendek, jaringan keras, tidak peka terhadap panjang hari atau agak peka, dan kandungan amilosa pada biji 10-24%. Padi subspesies japonica mempunyai karakteristik daun yang berukuran sempit-lebar dan berwarna hijau muda, gabah panjang-pendek, bulu sekam jarang dan pendek, gabah mudah rontok, jumlah anakan banyak, batang sedang-tinggi, jaringan lunak, kepekaan terhadap panjang hari bervariasi, dan kandungan amilosa pada biji 23-31%. Subspesies javanica mempunyai karakteristik: daun berukuran lebar, kaku dan berwarna hijau muda, gabah panjang, lebar dan tebal, gabah mempunyai ekor (awn) panjang, bulu sekam panjang, gabah sulit rontok, jumlah anakan sedikit, batang tinggi, jaringan keras, agak peka terhadap panjang hari, dan kandungan amilosa pada biji 20-25% (Gupta dan O‟Toole 1986).

Padi di Indonesia ditanam pada berbagai kondisi lingkungan beragam yang dikelompokkan menjadi padi sawah irigasi, padi sawah tadah hujan (padi sawah) dan padi lahan kering atau biasa disebut padi gogo (Dalrymple 1986), sedangkan De Datta (1981) mengatakan bahwa budidaya padi dikelompokkan berdasarkan sumber persediaan air yaitu sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Taslim dan Fagi (1989) menyatakan bahwa berdasarkan kedalaman genangan air, maka padi dapat digolongkan beberapa jenis, yaitu:

1. Padi gogo, yaitu padi yang dalam budidayanya tidak pernah digenangi.

2. Padi sawah, yaitu padi yang seluruh waktu pertumbuhannya digenangi 5-25 cm.

3. Padi gogo rancah, yaitu padi yang tidak digenangi di awal pertumbuhan dan kemudian digenangi 5-25 cm pada periode pertengahan sampai akhir pertumbuhan.

4. Padi pasang surut, yaitu padi dengan genangan di atas 50 cm, dengan variasi tinggi genangan air tergantung pada pasang surutnya air di pantai atau muara sungai.

(16)

4

rumpun padi sawah lebih besar sedangkan untuk umur panen, padi sawah juga lebih unggul karena lebih genjah.

Padi Gogo

Padi gogo banyak dibudidayakan di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara, meliputi 10% dari area padi yang ditanam. Area padi gogo terbesar di Asia terdapat di India, Bangladesh, Indonesia, Filipina dan Thailand (De Datta 1981).

Padi gogo yang toleran kekeringan biasanya memiliki sistem perakaran yang dalam yang dapat menembus lapisan tanah sampai kedalaman lebih dari 20 cm di bawah permukaan tanah, sehingga pada saat kekeringan, akar yang dalam masih dapat memanfaatkan air yang masih tersedia pada kedalaman lebih dari 20 cm di bawah permukaan tanah (Suprihatno et al. 2008). Ketahanan akar padi gogo mencapai 17 kali lebih besar dibanding padi sawah (Suardi 2002).

Pakar manajemen air IRRI menyatakan bahwa mereka telah memiliki jenis padi gogo yang toleran kekeringan, namun produktivitasnya rendah dan tidak peka terhadap pemberian pupuk (Hill 2001) .

Padi Rawa

Padi rawa merupakan padi yang hidup pada ketinggian air lebih dari 50 cm selama masa pertumbuhannya. Padi rawa banyak terdapat di Asia Selatan dan Asia Tenggara karena menggenangnya air tidak dapat dikontrol. Padi yang tumbuh pada kondisi ini membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Potensi hasil padi rawa sangat rendah yaitu 1.5 ton per hektar dan sangat bervariasi karena miskinnya hara serta kondisi air di lahan yang tidak menentu (Dobermann and Fairhurst 2000).

Pemuliaan Padi Konvensional

Pemuliaan tanaman adalah usaha peningkatan kemampuan tanaman untuk memperbaiki karakter tanaman agar diperoleh tanaman yang lebih unggul. Pemuliaan tanaman adalah perpaduan antara ilmu (science) dan seni (art) dalam merakit keragaman genetik suatu populasi tanaman tertentu menjadi lebih baik atau unggul dari sebelumnya. Tujuan pemuliaan tanaman adalah memperoleh atau mengembangkan varietas agar lebih efisien dalam penggunaan unsur hara dan tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik sehingga memberi hasil tertinggi per satuan luas dan menguntungkan bagi penanam serta pemakai (Syukur et al. 2012).

(17)

5

- Seleksi bulk

Variasi genetik pada seleksi bulk dihasilkan dari persilangan buatan antara beberapa tetua terpilih. Hasil persilangan F1-F5 ditanam sebagai populasi bulk. Terdapat seleksi alam dan genotipe yang paling sesuai dengan lingkungan tersebut akan memiliki keturunan yang lebih banyak sehingga akan menjadi dominan pada generasi berikutnya. Biasanya populasi bulk tumbuh di bawah cekaman dan tekanan penyakit yang biasa terdapat pada tanaman yang dibudidayakan, sehingga terdapat asumsi bahwa frekuensi populasi genotipe yang beradaptasi meningkat. Tanaman yang menunjukkan karakter yang diinginkan akan dipilih pada F6 ( Brown and Caligari 2006 ).

- Seleksi pedigree

Seleksi pedigree merupakan salah satu seleksi pada populasi bersegregasi. Pencatatan setiap anggota populasi bersegregasi hasil persilangan merupakan ciri dari seleksi silsilah yang berguna untuk mengetahui silsilah atau hubungan tetua dengan turunannya. Tanaman yang diseleksi pada generasi awal dapat dievaluasi dengan pengujian khusus untuk beberapa karakter, seperti ketahanan hama dan penyakit dan kualitas gabah. Metode pedigree sangat cocok untuk mengembangkan padi resisten hama dan penyakit, jika sifat ketahanan tersebut diatur oleh gen-gen utama. Tujuan metode ini yaitu untuk mendapatkan varietas baru dengan mengkombinasikan gen-gen yang diinginkan yang ditemukan pada dua genotipe atau lebih (Syukur et al. 2012).

- Silang balik (back cross)

Metode silang balik merupakan metode persilangan antara F1 dengan salah satu tetuanya. Metode pemuliaan ini khusus digunakan ketika suatu varietas yang terkenal baik dan berdaya hasil tinggi perlu diperbaiki hanya untuk karakter yang spesifik. Metode silang balik sering juga digunakan untuk menstabilkan proses pemuliaan ketika suatu varietas yang memiliki potensi hasil tinggi, dan masih memiliki beberapa kekurangan, khususnya terkait kerentanan terhadap hama atau penyakit yang berpengaruh terhadap hasil panen (Stopskopf 1993).

- Seleksi massa

Metode seleksi ini merupakan metode tertua yang digunakan dalam pemuliaan tanaman yang berlandaskan seleksi fenotipe. Selain itu, seleksi genotipe juga tetap dilakukan untuk mengetahui tingkat hertabilitas yang merupakan ukuran derajat kesesuaian antara sifat genotipe dan fenotipe.

(18)

6

Seleksi massa membutuhkan jumlah tanaman yang cukup banyak untuk mempertahankan identitas keragaman asli dari varietas lokal tersebut (Chahal and Gosal 2003).

- Seleksi galur murni

Seleksi galur murni merupakan seleksi tanaman tunggal dari populasi homozigos heterogen. Seleksi ini berdasarkan pada teori bahwa keragaman dalam suatu populasi heterozigos disebabkan oleh keragaman genetik dan lingkungan sedangkan keragaman dalam galur murni hanya disebabkan oleh keragaman lingkungan. Populasi dasar dari varietas asal harus memiliki keragaman genetik karena seleksi hanya dapat dilakukan jika terdapat perbedaan yang akan diwariskan. Seleksi galur murni membutuhkan banyak tanaman untuk diseleksi yang dibuat dari populasi asal dengan sifat genetik yang berbeda, kemudian menanam tanaman keturunan dari hasil seleksi individu untuk evaluasi awal (Syukur et al. 2012 ). Keragaman dalam famili seharusnya lebih kecil dibandingkan antar famili. Keragaman dalam famili disebabkan oleh lingkungan (De Datta 1981).

Kultur Antera

Kultur antera adalah salah satu metode pemuliaan tanaman dengan cara mengkulturkan antera yang mengandung mikrospora atau butir polen yang belum masak dalam media yang bernutrisi dengan tujuan mendapatkan tanaman haploid (Sleper and Poehlman 2006).

Kultur antera atau polen bertujuan untuk menghasilkan sel haploid dan tanaman dihaploid dari spora-spora yang monoploid, mikrospora atau tepungsari yang belum masak sehingga cara ini penting bagi pemuliaan (Wardiyati 1998). Kultur antera memberikan cara alternatif dalam memperbanyak dan meningkatkan efisiensi proses pemuliaan tanaman (Dalrymple 1986). Metode kultur antera akan meningkatkan efisiensi pembentukan tanaman ideal dan varietas padi lahan kering yang diinginkan (Herawati et al. 2008). Tanaman haploid atau dihaploid yang diperoleh dari kultur antera bermanfaat dalam analisis genetika dan pemuliaan tanaman (Purwoko et al. 2001).

Kultur antera dapat diaplikasikan dengan mengekstrak tanaman hasil persilangan padi yang berdaya hasil tinggi, pemurnian mandul jantan, gen pemulih kesuburan dan gen pemelihara (Nanda 2000). Antera diperoleh dari tunas bunga dan dapat dikulturkan pada medium padat atau cair sehingga terjadi embriogenesis. Proses perbanyakan tanaman haploid dengan menggunakan gametofit jantan ini disebut androgenesis (Yuwono 2006).

(19)

7 pembentukan planlet yang akan tumbuh dari kalus dalam 4-8 minggu (Dewi dan Purwoko 2011). Planlet akan dipindahkan ke dalam media yang baru untuk pengakaran dan perkembangan tajuk. Kemudian tanaman dipindahkan ke tanah yang steril (Sleper and Poehlman 2006).

Hal penting yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan hasil maksimum pada kultur antera, ialah sebagai berikut (Collin and Edwards 1998) :

1. Tanaman induk mendapatkan air dan hara yang cukup untuk mempertahankan pertumbuhan vegetatifnya. Malai dipilih pada fase perkembangan yang tepat untuk mendapatkan mikrospora.

2. Fase perkembangan mikrospora pada bunga yang tertutup dapat diketahui pertama kali melalui pewarnaan sel. Antera dihaluskan dan diwarnai dengan larutan acetocarmine, fase perkembangan mikrospora berkorelasi dengan morfologi dari bunga tersebut.

Kultur antera dapat membantu proses pemuliaan tanaman padi melalui dua keuntungan utama (Masyhudi dan Rianawati 1994) yaitu :

a. Teknik ini merupakan cara tercepat mendapatkan galur homozigos yang berasal dari dari galur tanaman heterozigos melalui penggandaan kromosom spontan.

b. Teknik ini juga dapat menghasilkan dan memilih mutan unggul dengan cepat.

Kultur antera mempunyai beberapa kelemahan, yaitu rendahnya tingkat regenerasi tanaman hijau, banyaknya tanaman albino, tidak semua genotipe responsif dan tanaman dapat mempunyai berbagai tingkat ploidi yang dapat dihasilkan (Masyhudi et al. 1997; Somantri et al. 2002 ). Tanaman yang tumbuh dari kultur antera dapat berupa tanaman hijau, tanaman albino atau mutan kloroplas. Tanaman albino mengalami defisiensi klorofil karena plastid tidak berkembang menjadi kloroplas dan tidak ada sintesis klorofil.

Banyaknya tanaman yang albino dapat diatasi dengan menambahkan poliamin untuk meningkatkan regenerasi tanaman hijau. Poliamin adalah kelompok senyawa polikation yang mempunyai bobot molekul rendah, banyak ditemukan pada organisme hidup dan terlibat di dalam proses biologi. Perlakuan poliamin berpengaruh terhadap peningkatan jumlah tanaman hijau pada kultur antera padi. Jumlah tanaman albino juga dipengaruhi oleh perlakuan poliamin. Tanaman albino selalu dihasilkan bersamaan dengan peningkatan tanaman hijau. Poliamin dikategorikan sebagai zat pengatur tumbuh yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, mulai dari perkecambahan benih sampai senesen. Poliamin yang banyak ditemukan pada tanaman ialah putresina, spermidina, dan spermina ( Dewi 2003; Purwoko et al. 2001).

Faktor Penentu Keberhasilan Kultur Antera

(20)

8

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera menurut (Dewi dan Purwoko 2011) antara lain:

1. Genotipe tanaman donor

Genotipe tanaman donor memegang peranan penting dalam keberhasilan menghasilkan tanaman hijau. Terdapat genotipe yang mampu beradaptasi pada semua komposisi media dan memiliki frekuensi induksi yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lain yang rekalsitran. 2. Status fisiologi tanaman donor

Dalam memulai kultur antera dapat timbul masalah rekalsitran (ketidaktanggapan sel, jaringan atau organ tanaman terhadap kultur in vitro) dan faktor terpenting lain ialah tahap perkembangan reproduktif dari tanaman donor. Tanaman padi donor antera harus ditanam dalam lingkungan yang optimum untuk pertumbuhan. Selain itu, respon antera yang berbeda terjadi jika tanaman ditanam pada musim yang berbeda. Tanaman padi yang ditanam pada musim hujan menyebabkan antera yang dikulturkan lebih sulit karena banyak yang menempel dan berair, sedangkan tanaman padi yang ditanam saat intensitas hujan rendah lebih mudah untuk dikulturkan. Hal ini sesuai dengan penelitian Dewi dan Purwoko (2011) yang menemukan bahwa tanaman padi donor antera yang ditanam pada musim kemarau memberikan tanggap yang lebih baik dibandingkan yang ditanam saat musim hujan.

Keberhasilan kultur antera juga dipengaruhi waktu koleksi eksplan yaitu dengan memperhatikan tahap pembungaan. Pengambilan eksplan sebaiknya dari tanaman donor yang diberi hara optimum serta selalu terpelihara dari serangan hama dan penyakit.

3. Tahap perkembangan mikrospora

Pemeriksaan tahap perkembangan mikrospora pada saat pengambilan antera dan saat dikulturkan merupakan saat paling kritis. Tahap ini dipengaruhi oleh suhu lingkungan karena suhu mempengaruhi perkembangan mikrospora ke tahap uninukleat dan tahap binukleat dapat berlangsung cepat atau lambat.

4. Kondisi kultur dan lingkungan fisik

Kepadatan eksplan di dalam wadah mempengaruhi sifat fisik dan biokimia dalam mendukung pembentukan embrio. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah kondisi suhu di ruang kultur, intensitas cahaya dan kondisi ruang gelap untuk induksi kalus serta ruang terang untuk regenerasi tanaman.

5. Umur dan ukuran kalus

(21)

9 Ukuran kalus terbaik untuk regenerasi tanaman hijau ialah 1-2 mm. Ukuran kalus yang lebih besar, akan banyak menginduksi atau meregenerasi tanaman albino (Dewi dan Purwoko 2011).

6. Media

Media yang digunakan yaitu media dasar dan modifikasinya. Komponen lain yang sangat penting yaitu zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur antera padi antara lain NAA, IBA dan kinetin. Vitamin dan Poliamin juga ditambahkan dalam komposisi media kultur antera. Kultur antera padi membutuhkan kisaran pH 5.5 - 5.8 untuk menginduksi dan meregenerasikan tanaman (Dewi et al. 2004).

7. Perlakuan terhadap eksplan

Pada kultur antera padi, praperlakuan terhadap eksplan dilakukan dengan menggunakan perlakuan suhu rendah. Perlakuan suhu rendah bertujuan untuk menyeragamkan stadia polen, yaitu pada tahap uninukleat. Malai yang terpilih disimpan pada suhu 5°C selama delapan hari (Dewi et al. 2006).

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB BIOGEN), Bogor. Penanaman eksplan dilakukan di rumah kaca dan pelaksanaan kultur antera dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan BB BIOGEN. Penelitian dimulai sejak bulan November 2012 - Juni 2013.

Bahan

Bahan yang digunakan adalah benih dari empat genotipe padi F1 dari persilangan (1) IR85640-114-2-1-3/ I5-10-1-1, (2) R81/ I5-10-1-1, (3) Bio-R81/ O18b-1, (4) Bio-R82-2/ O18b-1. Galur I5-10-1-1, Bio-R81, Bio-R82-2 dan O18b-1 adalah tanaman dihaploid hasil kultur antera. Media tanam yang digunakan mengikuti metode Dewi (2003) yaitu media untuk induksi kalus adalah N6, sedangkan media regenerasi kalus dan media perakaran adalah media MS. Pemadat yang digunakan adalah 0.3% agar phytagelTM dengan pH media 5.8.

Alat

(22)

10

Rancangan Percobaan, Prosedur dan Analisis Data

Percobaan dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 10 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah empat genotipe F1 padi. Terdapat 40 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan adalah satu cawan petri yang berisi ± 150 antera yang berasal dari 25-30 bunga atau spikelet (bulir) muda.

Pengkulturan antera mengikuti metode Dewi et al. (2004). Terdapat beberapa tahapan dalam kultur antera, yaitu :

1. Penanaman tanaman penghasil antera

Penanaman tanaman penghasil antera dimulai dengan mengecambahkan benih kemudian benih yang telah berkecambah dipindahkan ke bak dalam bak semai. Setelah berumur 21 hari, bibit dosis 200 kg/ha urea, 100 kg/ha SP36 dan 100 kg/ha KCl.

2. Pembuatan media

Media yang digunakan ialah N6 dan media MS. Media N6 digunakan untuk induksi kalus sedangkan media MS untuk regenerasi kalus dan perakaran. Media induksi kalus mengandung 2 mg/l NAA, 0.5 mg/l kinetin dan 60 g/l sukrosa. Media regenerasi mengandung 0.5 mg/l NAA, 2 ml/l kinetin dan 40 g/l sukrosa. Pada media induksi kalus dan regenerasi ditambahkan 10-3 M putresin yang merupakan salah satu jenis poliamin. Media perakaran mengandung 30 g/l sukrosa dan 0.5 mg/l IBA. Pemadat yang digunakan ialah 0.3% phytagel dengan pH media 5.8. Media disterilisasi menggunakan autoklaf dengan suhu 120°C dan tekanan 18-20 psi selama 20 menit.

3. Panen dan inkubasi malai berisi antera yang akan digunakan sebagai eksplan

Malai yang telah mencapai fase bunting dan masih terbungkus daun dikoleksi sebagai sumber eksplan. Malai yang digunakan ialah malai pada stadia uninukleat, yaitu ketika jarak aurikel daun bendera dengan daun di bawahnya 8-10 cm (Purwoko et al. 2001). Malai yang masih berada dalam selubung dicuci bersih kemudian dibungkus dengan tisu basah yang dilapisi dengan plastik. Setelah itu, malai diberi perlakuan sebelum antera dikulturkan, yaitu dengan perlakuan suhu dingin yang

disimpan pada suhu 5˚ C selama 7-10 hari (Dewi 2003). Malai yang terpilih setelah disterilisasi dengan 20% Clorox (mengandung 5.24% NaOCl) kemudian spikeletnya dipotong pada 1/3 bagian dari pangkalnya dan dikumpulkan pada cawan petri.

4. Penanaman antera pada media induksi kalus (Gambar 1)

Pada tahap inokulasi antera, masing-masing spikelet dijepit dengan pinset dan diketukkan pada tepi cawan petri yang sudah berisi 25 ml media induksi kalus, sampai antera keluar dan jatuh pada media. Inokulasi atau

(23)

11 menginduksi keluarnya kalus. Dalam waktu 3-4 minggu setelah inokulasi kalus akan mulai terbentuk (Somantri 2002).

5. Pemidahan kalus ke media regenerasi

Kalus yang berukuran 1-2 mm dipindahkan ke dalam botol yang berisi 25 ml media regenerasi untuk merangsang keluarnya tunas. Pembentukan kalus tidak serentak dan memerlukan waktu hingga lebih dari delapan minggu sejak diinokulasikan. Inisiasi induksi kalus dalam media induksi ditandai dengan membesarnya kalus sebagai akibat terjadinya pembelahan sel-sel mikrospora yang berkembang menjadi massa sel. Selanjutnya dinding pecah dan tampak keluar kalus berwarna putih (Sasmita 2001).

6. Aklimatisasi (planlet) tanaman hijau

Tunas/tanaman hijau yang tumbuh dipindahkan ke tabung kultur yang berisi 15 ml media perakaran. Aklimatisasi dilakukan dengan menanam planlet hasil kultur antera pada tabung reaksi yang berisi air selama satu minggu, kemudian dipindahkan ke bak semai berisi tanah selama satu minggu. Tanaman mulai dipindah ke lapangan namun dengan intensitas cahaya yang relatif rendah kemudian berangsur-angsur meningkat agar tanaman dapat beradaptasi.

7. Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah antera, jumlah kalus yang terbentuk, jumlah kalus yang menghasilkan tanaman hijau, jumlah kalus yang menghasilkan tanaman albino, jumlah tanaman hijau dan jumlah tanaman albino dan jumlah tanaman dihaploid yang diperoleh.

8. Analisis data

Data primer yang diperoleh digunakan untuk mendapatkan persentase antera yang membentuk kalus, persentase kalus yang menghasilkan tanaman hijau, persentase kalus yang menghasilkan tanaman albino, persentase tanaman hijau terhadap jumlah tanaman total dan rasio tanaman hijau terhadap jumlah antera yang diinokulasi serta persentase tanaman dihaploid. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan sidik ragam, dan data yang memiliki perbedaan antar persilangan, diuji

Data rata-rata jumlah antera yang dikulturkan per cawan petri dari masing-masing persilangan, menunjukkan jumlah antera yang relatif sama dan tidak berbeda nyata (Tabel 1).

(24)

12

Penanaman padi di rumah kaca dilakukan dua tahap dengan perbedaan rentang waktu selama dua minggu. Pada saat pengambilan malai tahap pertama cuaca pada saat itu mendung dan kemudian hujan, bertepatan dengan musim hujan. Hal ini berpengaruh terhadap kondisi antera yang akan dikulturkan karena sebagaian besar antera yang diambil pada tahap pertama banyak yang menempel dan terlihat lembap sehingga saat proses inokulasi, antera sulit keluar dan jumlah antera yang dihasilkan sedikit. Berbeda dengan pengambilan malai pada tahap kedua, kondisi saat itu frekuensi hujan mulai berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat respon genotipe yang berbeda terhadap peubah lingkungan.

Tabel 1. Produksi kalus dan kalus menghasilkan tanaman pada kultur antera padi hasil persilangan padi sawah dan padi gogo

Persilangan Jumlah Antera

Jumlah

Kalus %Kalus

Jumlah KMT 1) IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 152.3 a 41.2 a 26.5 a 5.7 a 2) Bio-R81 x I5-10-1-1 145.2 a 43.1 a 32.7 a 4.6 a 3) Bio-R81 x O18b-1 152.2 a 23.7 a 14.7 a 3.5 a 4) Bio-R82-2 x O18b-1 147.4 a 36.1 a 27.0 a 3.7 a KMT = kalus menghasilkan tanaman. Kolom yang memiliki huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT.

Gambar 1.Antera yang di tanam Gambar 2. Kalus yang di tanam pada media induksi kalus pada media regenerasi

Kalus

(25)

13 Persentase kalus IR85640-114-2-1-3 x 10-1-1 (26.5%), Bio-R81 x I5-10-1-1 (32.7%), Bio-R81 x O18b-1 (14.7%) dan Bio-R82-2 x O18b-1 (27%). Sama halnya dengan jumlah kalus yang dihasilkan, persentase kalus antar persilangan juga tidak berbeda nyata (Tabel 1).

Persentase kalus yang dihasilkan persilangan Bio-R81 x I5-10-1-1 cukup besar. Hasil penelitian Dewi et al. (2006) menunjukkan bahwa respon varietas padi indica bervariasi, jumlah antera yang membentuk kalus berkisar antara 1.4 – 26.5%. Menurut Herawati et al. (2008) kalus yang dihasilkan terdiri atas dua jenis, yaitu kalus embriogenik dan kalus non embriogenik. Hal ini dapat dilihat secara visual dengan melihat warna kalus. Kalus embriogenik akan berwarna agak kuning dan strukturnya kompak sedangkan kalus non embriogenik berwarna putih karena mengandung pati.

Jumlah Kalus Menghasilkan Tanaman

Antera yang diinokulasi akan membentuk kalus, namun ada juga yang tidak membentuk kalus dan kemudian berubah warna menjadi coklat. Kalus yang terbentuk pada F1 umumnya lebih cepat dibandingkan tetuanya (Safitri 2010). Kalus akan berdiferensiasi menjadi tanaman. Tanaman yang dihasilkan melalui metode kultur antera pada penelitian ini diperoleh secara tidak langsung, yaitu melalui tahap pembentukan kalus yang disebut peristiwa caulogenesis (Dewi et al. 2007).

Kalus yang berhasil diinduksi dan tumbuh menjadi tanaman pada keempat persilangan yang digunakan tidak berbeda nyata (Tabel 1). Jumlah kalus yang diinduksi, persentase kalus, dan jumlah kalus menghasilkan tanaman pada persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1, Bio-R81 x I5-10-1-1, Bio-R81 x O18b-1 dan Bio-R82-2 x O18b-1 tidak berbeda nyata. Hal ini diduga disebabkan karena tetua masing-masing persilangan di atas, salah satu induknya menggunakan galur yang merupakan tanaman dihaploid hasil kultur antera.

Tahap regenerasi tanaman menghasilkan tanaman dihaploid adalah melalui induksi embriogenesis dari pembelahan berulang spora monoploid tanaman F1. Kromosom mengganda secara spontan selama kultur sehingga akan diperoleh tanaman dihaploid yang homozigos.

Tetua dari beberapa persilangan yang digunakan ialah padi jenis indica. Padi jenis indica daerah penyebarannya banyak terdapat di Asia tropis dan subtropis. Padi jenis indica lebih sulit berespon dibandingkan padi jenis japonica ketika dikultur anterakan (Dewi et al. 2007). Efisiensi kultur antera dapat diketahui dari perbandingan jumlah tanaman yang dihasilkan dengan jumlah antera yang diinokulasikan. Hasil penelitian Herath et al. (2007) menunjukkan bahwa varietas padi lokal Sri Lanka dengan daya hasil tinggi yang berjenis padi indica, memiliki respon yang rendah terhadap kultur antera.

Kalus Menghasilkan Tanaman Hijau

(26)

14

Persilangan Bio-R81 x O18b-1 merupakan hasil persilangan yang memiliki respon paling baik dalam meregenerasikan tanaman hijau, dengan persentase kalus menghasilkan tanaman hijau tertinggi sebesar 6.8% yang tidak berbeda nyata dengan Bio-R82-2 x O18b-1 (4.7%), namun persentasenya nyata lebih tinggi dari Bio-R81 x I5-10-1-1 (3.7%) dan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1(2.4%) (Tabel 2).

Tabel 2. Respon galur persilangan padi sawah dan padi gogo terhadap regenerasi tanaman pada kultur antera padi albino. Kolom yang memiliki huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT.

Kalus Menghasilkan Tanaman Albino

Persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 menghasilkan kalus menghasilkan tanaman albino terbanyak (4.7), tidak berbeda nyata dengan Bio-R81 x I5-10-1-1 (3.0), namun nyata lebih tinggi dibandingkan Bio-Bio-R81 x O18b-1 (1.9) dan Bio-R82-2 x O18b-1 (2.0). Persilangan Bio-R81 x I5-10-1-1, Bio-R81 x O18b-1 dan Bio-R82-2 x O18b-1 ketiganya tidak berbeda nyata dalam menginduksi kalus yang menghasilkan tanaman albino. Walaupun jumlah kalus menghasilkan tanaman albino pada semua persilangan yang dikulturkan berbeda, namun persentase kalus menghasilkan tanaman albino antar persilangan tidak berbeda nyata. Persentase kalus menghasilkan tanaman albino merupakan persentase dari perbandingan jumlah tanaman albino yang dihasilkan dengan jumlah kalus yang terinduksi (Tabel 2).

Roy dan Mandal (2004) mengatakan bahwa daya kultur antera yang rendah, tingginya persentase tanaman albino pada tahap regenerasi dan banyaknya tanaman haploid adalah masalah utama dalam teknik kultur antera. Namun, Masyhudi dan Rianawati (1995) mengatakan bahwa pembentukan tanaman albino tidak dipandang sebagai masalah besar yang menghambat tujuan dari kultur antera padi karena peningkatan tanaman hijau akan bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah tanaman albino.

Tanaman Total

(27)

15 (42.1%), namun berbeda nyata dengan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 yang memiliki persentase paling rendah (10.7%) (Tabel 3).

Persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 menghasilkan tanaman albino terbanyak dan tanaman hijau paling sedikit (Tabel 3). Selain itu, persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 juga memiliki efisiensi kultur antera yang ditunjukkan oleh rasio jumlah tanaman hijau terhadap jumlah antera yang diinokulasi paling rendah (0.02), sedangkan ketiga persilangan lainnya memiliki efisiensi kultur antera yang tidak berbeda nyata yaitu persilangan Bio-R82-2 x O18b-1 (0.07), Bio-R81 x O18b-1 (0.05), dan Bio-R81 x I5-10-1-1 (0.04).

Tanaman hijau yang dihasilkan ditanam di rumah kaca sampai berbunga. Tanaman padi dihaploid dan haploid dapat dibedakan secara visual dengan melihat fenotipenya. Tanaman padi haploid biasanya akan tumbuh pendek dan menghasilkan tanaman yang steril, sedangkan tanaman dihaploid dapat tumbuh normal dan menghasilkan biji. Dewi et al. (2009) membuktikan bahwa antar tanaman hijau hasil kultur antera memiliki keragaman yang besar pada karakter agronomi antargalur dalam populasi tanaman dihaploid sehingga sesuai dengan tujuan pemuliaan yaitu untuk memilih sifat yang diinginkan diantara keragaman tersebut.

Tabel 3. Efisiensi produksi tanaman hasil padi sawah dan padi gogo melalui kultur antera padi

TH = tanaman hijau. Kolom yang memiliki huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT.

Tanaman Hijau

Tanaman hijau yang dihasilkan dipengaruhi oleh genotipe. Persilangan Bio-R82-2 x O18b-1 (9.5) merupakan persilangan yang menghasilkan tanaman hijau terbanyak tidak berbeda nyata dengan Bio-R81 x I5-10-1-1 (5.9) dan Bio Bio R-81 x O18b-1 (7.7), namun berbeda nyata dengan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 (3.4) yang menghasilkan tanaman hijau paling sedikit (Tabel 3). Menurut Sasmita (2006) tanaman hijau yang terbentuk dari kalus atau polen yang digunakan dapat mengekspresikan fenotipe yang seragam dan dapat dikelompokkan dalam satu galur.

(28)

16

Tanaman Albino

Regenerasi tanaman hijau diiringi oleh banyaknya tanaman albino. Banyaknya jumlah tanaman albino merupakan salah satu kelemahan kultur antera, namun hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena setiap tanaman hijau yang terbentuk merupakan satu genotipe unik (Dewi dan Purwoko 2001). Persilangan Bio-R81 x I5-10-1-1, Bio R-81 x O18b-1 dan Bio-R82-2 x O18b-1 menghasilkan tanaman albino yang jumlahnya tidak berbeda nyata, kecuali persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 menghasilkan tanaman albino dengan jumlah yang nyata lebih tinggi, yaitu sebanyak 28.3 (Tabel 3).

Tabel 4. Tanaman dihaploid pada kultur antera hasil persilangan padi sawah dan padi gogo

Galur

Jumlah tanaman hijau

Aklimatisasi Hidup Dihaploid Dihaploid (%) 1) IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 34 25 15 60.0

2) Bio-R81 x I5-10-1-1 59 36 11 30.6

3) Bio-R81 x O18b-1 77 51 21 41.2

4) Bio-R82-2 x O18b-1 95 76 26 34.2

Tabel 4 menunjukkan jumlah tanaman hijau yang berhasil diperoleh dari metode kultur antera hasil persilangan padi gogo dan padi sawah. Tidak semua tanaman yang diaklimatisasi berhasil hidup dan dipelihara sampai panen di rumah kaca. Keberhasilan aklimatisasi ditunjukkan pada jumlah tanaman hijau yang hidup. Persilangan Bio-R82-2 x O18b-1 menghasilkan jumlah tanaman hijau terbanyak saat diaklimatisasi yaitu 95 tanaman dan paling banyak bertahan hidup sampai dengan proses penanaman di rumah kaca, yaitu sebanyak 76 tanaman, sedangkan pada urutan kedua terbanyak yaitu persilangan Bio-R81 x O18b-1. Persilangan Bio-R81 x I5-10-1-1 menghasilkan 59 tanaman hijau yang dapat diaklimatisasi dan tanaman hijau yang ditanam di rumah kaca (36 tanaman), lebih banyak dibandingkan dengan persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1, namun hasil tanaman dihaploid yang diperoleh lebih sedikit yaitu 11 tanaman, sedangkan persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1 menghasilkan 15 tanaman dihaploid. Persilangan Bio-R81 x O18b-1 menghasilkan 21 tanaman dihaploid dan persilangan Bio-R82-2 x O18b-1 menghasilkan 26 tanaman dihaploid.

(29)

17

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Total tanaman hijau yang diperoleh dari kultur antera padi F1 sebanyak 265 tanaman, terdiri atas 34 tanaman hijau hasil persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1, 59 tanaman hijau hasil persilangan Bio-R81 x I5-I5-10-1-1, 77 tanaman hijau hasil persilangan R81 x O18b-1 dan 95 tanaman hijau hasil persilangan Bio-R82-2 x O18b-1. Melalui seleksi di rumah kaca diperoleh sebanyak 73 tanaman dihaploid generasi pertama, yang terdiri atas 15 tanaman dihaploid hasil persilangan IR85640-114-2-1-3 x I5-10-1-1, 11 tanaman dihaploid hasil persilangan Bio-R81 x I5-10-1-1, 21 tanaman dihaploid hasil persilangan Bio-R81 x O18b-1dan 26 tanaman dihaploid hasil persilangan Bio-R82-2 x O18b-1.

Persilangan Bio-R81 x O18b-1 merupakan persilangan yang memiliki respon paling baik terhadap kultur antera karena menghasilkan persentase kalus menghasilkan tanaman hijau dan persentase tanaman hijau terbanyak serta jumlah tanaman hijau dan tanaman dihaploid terbanyak kedua.

Saran

(30)

18

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah B, Dewi IS, Sularjo, Safitri H, Lestari AP. 2008. Perakitan padi tipe baru melalui seleksi silang berulang dan kultur antera. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27 (1) : 1-8. plant. Technical Bulletin 4. Desember. 1965. IRRI. L. B. Laguna. Philippines. Collin HA, Edwards S. 1998. Plant Cell Culture. London (GB) : Springer. 158p. Dalrymple DG. 1986. Development and Spread of High-Yielding Rice Varieties in

Developing Countries. Washington D.C. (US): Bureau for Science and Technology. 117p.

De Datta. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley & Sons, Inc. Singapore. 618p.

Dewi IS, Purwoko BS. 2001. Kultur antera untuk mendukung program pemuliaan tanaman padi. Bul. Agron. 29 (2) : 59-63.

Dewi IS. 2003. Peranan fisiologis poliamin dalam regenerasi tanaman pada kultur antera padi (Oyza sativa L.) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dewi IS,Purwoko BS, Aswidinnoor H, Somantri IH. 2004. Kultur padi pada

beberapa formulasi media yang mengandung poliamin. Jurnal Bioteknologi Pertanian 9 (1) : 14-19.

Dewi IS, Purwoko BS, Aswidinoor H, Somantri IH, Chozin MA. 2006. Regenerasi tanaman pada kultur antera beberapa aksesi padi indica toleran aluminium. Jurnal Agro Biogen 2(1) : 30-35.

Dewi IS, Purwoko BS, Aswidinnoor H, Somantri IH. 2007. Regenerasi tanaman pada kultur antera padi: pengaruh persilangan dan aplikasi putresin. Buletin Agronomi 35 (2) : 68-74.

Dewi IS, Trilaksana AC, Trikoesoemaningtyas, Purwoko BS. 2009. Karakterisasi galur haploid ganda hasil kultur antera padi. Bul Plasma Nutfah 15(1) :1-12. Dewi IS, Purwoko BS. 2011. Kultur in vitro untuk produksi tanaman haploid

androgenik. Bioteknologi Dalam Pemuliaan Tanaman. Bogor (ID): IPB Press. 265 hlm.

Dobermann A, Fairhurst TH. 2000. Rice: Nutrient Disorders & Nutrient Management. Canada (US): Oxford Graphic Printers. 203 p.

Grist DH. 1975. Rice (5thed). London (GB): Longman. 571p.

Gupta PC, O‟Toole JC. 1986. Upland Rice A Global Perspective. IRRI. Los Banos, Philippines.

Herath HMI, Bandara DC, Samarajeewa PK. 2007. Effect of culture media for anther culture of indica rice varieties and hybrids of indica and japonica. Tropical Agricultural Research & Extension 10 : 17-22.

(31)

19 Herawati R, Purwoko BS, Dewi IS. 2009. Keragaman genetik dan karakter agronomi galur haploid ganda padi gogo dengan sifat-sifat tipe baru hasil kultur antera. J. Agron. Indonesia 37 (2) : 87-94.

Hill B.2001. Rice Research : the Way Forward. Philippines (PH): IRRI. 69 p. Makarim AK, Suhartatik E. 2006. Morfologi dan Fisiologi Padi. Subang (ID) :

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 330 hlm.

Masyhudi MF, Rianawati S. 1994. Pengaruh genotipe dan sumber karbon pada kultur antera tanaman padi bulu. Zuriat Vol.5(1) : 61-68.

Masyhudi MF, Rianawati S. 1995. Pengaruh genotipe hibrida dan media terhadap induksi kalus dan regenerasi tanaman pada kultur antera padi. J. Biol. Indon 1 : 58-64.

Masyhudi MF, Soewito T, Rianawati S, Dewi IS. 1997. Regenerasi kultur antera beberapa varietas tanaman padi sawah di Indonesia. Penelitian Pertanian 16 : 77-85.

Murayama N. 1995. Development and senesence, p 119-132. In Matsuo, Takane et al., (Eds.). Science of The Rice Plant (Volume Two) Physiology. Tokyo (JP): Nobunkyo.

Nanda JS. 2000. Hybrid Rice, p. 24-52. In J.S. Nanda (Ed.). Rice Breeding and Genetics.[tempat tidak diketahui] : Enfield Science.

[PUSLITBANGTAN] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 1993. Padi, Buku 2. Ismunadji M, Partohardjono S, Syam M, Widjono A, editor. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Purwoko BS, Dewi IS, Usman AW. 2001. Poliamin meningkatkan regenerasi tanaman hijau pada kultur antera padi cv. Taipei 309. Hayati 8(4):117-120. Rahayu M, Prajitno D, Syukur A. 2006. Pertumbuhan vegetatif padi gogo dan

beberapa varietas nanas dalam sistem tumpangsari di lahan kering Gunung Kidul, Yogyakarta. Biodiversitas Vol 7(1) : 73-76.

Roy B, Mandal AB. 2004. Anther culture response in indica rice and variations in major agronomic characters among the androclones of a scented cultivar, Karnal local. African Journal of Biotechnology 4 (3) : 235-240.

Safitri H. 2010. Kultur antera dan evaluasi galur haploid ganda untuk mendapatkan padi gogo tipe baru [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Safitri H, Purwoko BS, Wirnas D, Dewi IS, Abdullah B. 2010. Daya kultur antera

beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru. J. Agron. Indonesia 38 (2) : 81-87.

Sasmita P. 2006. Karakterisasi dan evaluasi toleransi padi gogo haploid ganda hasil kultur antera terhadap naungan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sleeper DA, Poehlman JM. 2006. Breeding Field Crops (Fifth Edition). Missouri (US) : Blackwell Publishing Proffesional. 422p.

Somantri IH. 2002. Bioteknologi untuk Mendukung Pembentukan Varietas Padi Hibrida. Bogor (ID) : BB Biogen. 25 hlm.

(32)

20

Stopskopf NC, Tomes DT, Christie BR. 1993. Plant Breeding Theory and Practice. San Fransisco (US) : Westview Press

Suardi D. 2002. Perakaran padi dalam hubungannya dengan toleransi tanaman terhadap kekeringan dan hasil. Jurnal Litbang Pertanian 21 (3): 100-108. Suprihatno B, Samaullah Y, Sri B. 2008. Galur harapan padi sawah toleran

kekeringan. Sinar Tani

Susanto U, Drajat AA, Suprihatno B. 2003. Perkembangan pemuliaan padi sawah di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 22(3) : 125-131.

Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. 348 hlm.

Taslim H, Fagi AM. 1989. Ragam budidaya padi. Di dalam: Padi, Buku 1. Puslitbangtan. Bogor. hlm 215-230.

Vergara BS. 1991. Rice plant growth and development. Di dalam: Luh BS, editor. Rice Production. Volume I. Second Edition. New York (US): AVI Book. 13-20p.

Wardiyati T. 1998. Kultur Jaringan Tanaman Hortikultura. Malang (ID): Lembaga Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. 104 hlm. Yuwono T. 2006. Bioteknologi Pertanian.Yogyakarta (ID): Gajah Mada

University Press. 284 hlm.

(33)

21

RIWAYAT HIDUP

Nuha Hera Putri lahir di Jakarta, 15 Juni 1991. Penulis merupakan anak pertama dari Ucup Supriadi dan Adeylina Katili. Pada tahun 2006 penulis belajar di SMPN 45 Jakarta, setelah itu melanjutkan pendidikan di SMAN 33 Jakarta.

Penulis terdaftar di IPB pada tahun 2009 melalui jalur UTMI. Saat masih berada di TPB penulis aktif di Dewan Mushola Asrama dan FOSMA 165 (Forum Silaturahim Mahasiswa) ESQ IPB sejak TPB sampai dengan lulus. Tahun 2010-2011 penulis aktif sebagai pengurus HIMAGRON (Himpunan Mahasiswa Agronomi) sebagai staff departemen internal kemudian tahun 2011-2012 sebagai ketua departemen internal. Selain itu, penulis juga mengikuti berbagai kepanitiaan, salah satunya FBBN 2012 ( Festival Bunga dan Buah Nusantara) yang merupakan promotor dari Revolusi Oranye. Pada tahun 2011 penulis pernah bergabung dalam IDC ( IPB Debating Club ).

Gambar

Tabel 1. Produksi kalus dan kalus menghasilkan tanaman pada kultur antera padi

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang telah dila kukan dapat disimpulkan bahwa polime r an ilin yang konduktif terbentuk pada elektropolime risasi pH 1 sampa i 4, dimana nila i impedansi

Pada kegiatan KKN-PPM periode XIII ini, penulis berkesempatan untuk mendampingi keluarga Bapak I Nyoman Matra yang bertempat tinggal di Banjar Tunjuk Tengah. Luas areal

Hasil penelitian menunjukan bahwa kinerja keuangan PT Bank Mandiri ( Persero) Tbk yaitu Current ratio menunjukan kinerja perusahaan pada tahun 2008-2013 kurang baik

Peningkatan Penguasaan Konsep Siswa dalam pembelajaran menggunakan Pendekatan Problem Based Learning dengan Konteks Mempertahankan Kesegaran Jus S

dibenak konsumen, yaitu dengan melakukan sosialisasi mengenai kesehatan mulut, gigi kepada kosumen, dan memberikan manfaat dan keunggulan produk yang nyata sehingga

Untuk mengetahui pengaruh interaksi yang terbaik dari okulasi tanaman jeruk dengan menggunakan berbagai klon mata entres dan umur batang bawah JC

bahwa pelaksanaan hari dan jam kerja bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada pertimbangan huruf a, ditetapkan dengan Peraturan Walikota Probolinggo

Menurut NAECY (National Association for the Education of Young Children) , PAUD dimulai saat kelahiran hingga anak berusia 8 tahun. Batita dan balita mengalami