• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Ketelantaran Lanjut Usia di Indonesia dengan Metode Biplot dan Gerombol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Ketelantaran Lanjut Usia di Indonesia dengan Metode Biplot dan Gerombol"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KETELANTARAN LANJUT USIA DI INDONESIA

DENGAN METODE BIPLOT DAN GEROMBOL

DEWI JASMINA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ketelantaran Lanjut Usia di Indonesia dengan Metode Biplot dan Gerombol adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Dewi Jasmina

(4)

RINGKASAN

DEWI JASMINA. Analisis Ketelantaran Lanjut Usia di Indonesia dengan Metode Biplot dan Gerombol. Dibimbing oleh BUDI SUSETYO dan MUHAMMAD NUR AIDI.

Lanjut usia (lansia) telantar berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 adalah seseorang yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu sandang, pangan, dan papan, juga telantar secara psikis dan sosial. Kriteria ketelantaran lansia sesuai dengan kesepakatan Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan Kementerian Sosial Republik Indonesia adalah tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD, makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu, makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali atau kombinasinya, memiliki pakaian kurang dari 4 stel, tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur, bila sakit tidak diobati, dan bekerja > 35 jam seminggu. Derajat ketelantaran lansia ditentukan dengan syarat, jika memenuhi 1 (satu) kriteria maka dikategorikan lansia tidak telantar, jika memenuhi 2 (dua) kriteria maka dikategorikan lansia hampir telantar dan jika memenuhi lebih dari 2 (dua) kriteria maka dikategorikan lansia telantar.

Permasalahan dan penanganan terhadap lansia telantar merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Dalam rangka penanganan terhadap lansia telantar diperlukan data dan informasi yang dapat memberikan gambaran mengenai lansia telantar di Indonesia. Untuk itu, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan peubah-peubah yang menentukan derajat ketelantaran lansia provinsi di Indonesia, memetakan dan melihat posisi relatif provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan peubah-peubah yang menentukan derajat ketelantaran lansia serta mengelompokkan provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan peubah-peubah yang menentukan derajat ketelantaran lansia.

Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian adalah metode biplot dan gerombol. Kedua metode ini merupakan bagian dari analisis peubah ganda yang dapat menganalisis secara simultan peubah dan objek yang diamati. Dengan analisis biplot dapat memetakan dan menentukan posisi relatif objek terhadap peubah, sedangkan dengan analisis gerombol dapat mengelompokkan objek berdasarkan peubah.

Data yang digunakan adalah data sekunder lanjut usia telantar 33 Provinsi di Indonesia tahun 2012 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan Kementerian Sosial Republik Indonesia. Data dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif, analisis biplot dan analisis gerombol.

(5)

Nusa Tenggara Barat dan Bengkulu, nilai persentase tinggi terdapat pada beberapa kriteria lansia telantar, yaitu tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD, makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali atau kombinasinya, dan memiliki pakaian kurang dari 4 stel. Sebaliknya kriteria yang memiliki nilai persentase yang rendah untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Bengkulu adalah makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu dan bekerja > 35 jam seminggu. Untuk provinsi lainnya tidak menunjukkan kecenderungan membentuk suatu kelompok tetapi secara individu memiliki kecenderungan terhadap suatu kriteria lansia telantar tertentu.

Selanjutnya berdasarkan hasil dari analisis gerombol diperoleh suatu kesimpulan bahwa provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan kriteria lansia telantar terbagi ke dalam 4 gerombol. Gerombol 1 terdiri dari 8 provinsi, yaitu Aceh, Lampung, Riau, Jawa Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, dan DKI Jakarta. Karakteristik utama lansia telantar pada gerombol 1 adalah memiliki persentase tertinggi untuk kritera makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu, makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali atau kombinasinya, dan memiliki pakaian kurang dari 4 stel. Karakteristik utama lainnya adalah memiliki persentase terendah untuk kriteria tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur. Gerombol 2 terdiri dari 14 provinsi, yaitu Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Banten, DIY, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. Karakteristik utama lansia telantar pada gerombol 2 adalah memiliki persentase tertinggi untuk kriteria tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD dan memiliki persentase terendah untuk kriteria makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali atau kombinasinya. Gerombol 3 terdiri dari 8 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Bengkulu, dan Nusa Tenggara Barat. Karakteristik utama lansia telantar pada gerombol 3 adalah memiliki persentase tertinggi untuk kriteria bila sakit tidak diobati dan memiliki persentase terendah untuk kriteria makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu dan bekerja > 35 jam seminggu. Gerombol 4 terdiri dari 3 provinsi, yaitu Maluku, Papua Barat, dan Papua. Karakteristik utama lansia telantar pada gerombol 4 adalah memiliki persentase tertinggi untuk kriteria tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur dan bekerja > 35 jam seminggu. Karakteristik utama lainnya adalah memiliki persentase terendah untuk kriteria tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD, memiliki pakaian kurang dari 4 stel dan bila sakit tidak diobati.

(6)

SUMMARY

DEWI JASMINA. Analysis of Neglected Elderly in Indonesia by Using Method of Biplot and Cluster. Supervised by BUDI SUSETYO and MUHAMMAD NUR AIDI.

Neglected elderly, based on the regulation of the Minister of Social Affairs of the Republic of Indonesia No. 08 of 2012, is a person over the age of 60 (sixty) years or more, due to certain factors, can not meet his/her basic needs, namely food, clothing, and shelter, as well as a person who is psychologically and socially neglected. Criteria of a neglected elderly in accordance with the agreement of the Central Bureau of Statistics and the Ministry of Social Affairs of the Republic of Indonesia is a person who has never had a school or never finished elementary school, eats staple food less than 14 times a week, eats high-protein side-dishes (vegetable or animal): vegetable < 4 times, animal ≤ 2 times or a combination thereof, has less than 4 sets of clothes, does not have a fixed place to sleep, and is not treated when he/she is ill as well as works > 35 hours a week. The degree of neglected elderly is determined by the condition, and if a person meets one (1) criteria then he/she cannot be categorized as a neglected elderly; if a person meets two (2) criteria then he/she is categorized as an almost-neglected elderly; and if a person meets more than two (2) criteria then he/she is categorized as a neglected elderly.

Problems and handling of the neglected elderly is the responsibility of government and society. In the framework of handling the neglected elderly, it is need data and information that can provide a description of the neglected elderly in Indonesia. Therefor, the purpose of this study is to describe the variables that determine the degree of neglected elderly in provinces in Indonesia, to map and view the relative position of the provinces in Indonesia based on the variables that determine the degree of neglected elderly and to group provinces in Indonesia based on the variables that determine the degree of neglected elderly.

The method used to achieve the purpose of research is biplot and cluster. Both of these methods are part of multivariat analysis that can analyze simultaneously variables and objects observed. With biplot analysis can map and determine the relative position of objects based on variables, while the cluster analysis can group objects based on variables.

The data used are secondary data of neglected elderly in 33 provinces in Indonesia in 2012. It is obtained from the Central Bureau of Statistics and the Ministry of Social Affairs of the Republic of Indonesia. The data are analyzed by using descriptive statistics, biplot analysis and cluster analysis.

(7)

he/she is ill. For West Nusa Tenggara and Bengkulu, a high percentage value found in some neglected elderly criteria, those are neglected elderly who has never had a school or never finished elementary school, eats high-protein side-dishes (vegetable or animal): vegetable < 4 times, animal ≤ 2 times or a combination thereof, and has less than 4 sets of clothes. Instead neglected elderly in these two provinces have a low percentage value for following criteria, those are neglected elderly who eats staple food less than 14 times a week and works > 35 hours a week. For other provinces don't show a tendency to form a group but individually have a tendency towards a certain criteria neglected elderly.

Furthermore, based on the results of the cluster analysis obtained a conclusion that the provinces in Indonesia based on the criteria of the neglected elderly are divided into four clusters. Cluster 1 consists of 8 provinces, those are Aceh, Lampung, Riau, West Java, Jambi, South Sumatra, North Sulawesi, and DKI Jakarta. The main characteristics of the neglected elderly in cluster 1 is the highest percentage for neglected elderly who eats staple food less than 14 times a week, eats high-protein side-dishes (vegetable or animal): vegetable < 4 times, animal ≤ 2 times or a combination thereof and has less than 4 sets of clothes. The other main characteristic is the lowest percentage for neglected elderly who does not have a fixed place to sleep. Cluster 2 consists of 14 provinces, those are Riau Islands, Central Java, East Java, Gorontalo, Central Sulawesi, Bangka Belitung, Southeast Sulawesi, East Kalimantan, Banten, DIY, South Kalimantan, West Kalimantan, South Sulawesi, and North Maluku. The main characteristics of the neglected elderly in cluster 2 is the highest percentage for neglected elderly who has never had a school or never finished elementary school and the lowest percentage for neglected elderly who eats high-protein side-dishes (vegetable or animal): vegetable < 4 times, animal ≤ 2 times or a combination thereof. Cluster 3 consists of 8 provinces, those are North Sumatra, West Sumatra, East Nusa Tenggara, Bali, Central Kalimantan, West Sulawesi, Bengkulu, and West Nusa Tenggara. The main characteristics of the neglected elderly in cluster 3 is the highest percentage for neglected elderly who is not treated when he/she is ill and the lowest percentage for neglected elderly who eats staple food less than 14 times a week and works > 35 hours a week. Cluster 4 consists of 3 provinces, those are Maluku, West Papua and Papua. The main characteristics of the neglected elderly in cluster 4 is the highest percentage for neglected elderly who does not have a fixed place to sleep and works > 35 hours a week. The other main characteristic is the lowest percentage for neglected elderly who has never had a school or never finished elementary school, has less than 4 sets of clothes, and is not treated when he/she is ill.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Statistika Terapan

ANALISIS KETELANTARAN LANJUT USIA DI INDONESIA

DENGAN METODE BIPLOT DAN GEROMBOL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

Judul Tesis : Analisis Ketelantaran Lanjut Usia di Indonesia dengan Metode Biplot dan Gerombol

Nama : Dewi Jasmina

NIM : G152120181

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Budi Susetyo, MS Ketua

Dr Ir Muhammad Nur Aidi, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Statistika Terapan

Dr Ir Indahwati, Msi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Ketelantaran Lanjut Usia di Indonesia dengan Metode Biplot dan Gerombol”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian tesis ini, yaitu kepada:

1. Bapak Dr Ir Budi Susetyo, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr Ir Muhammad Nur Aidi, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran dan arahan kepada penulis.

2. Ibu Dr Ir Indahwati, MSi, selaku Ketua Program Studi Statistika Terapan S2 dan selaku dosen penguji tesis yang telah memberikan saran dan arahan demi tersusunnya tesis ini.

3. Kepala Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial dan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar di IPB.

4. Keluarga Besar Program Studi Statistika dan Statistika Terapan Sekolah Pascasarjana IPB atas kerjasama, saran, dan bantuan yang diberikan.

5. Keluarga dan sahabat atas doa, dukungan, saran dan dorongannya selama penulis menyelesaikan studi di IPB.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan dan belum bisa dikatakan sempurna. Namun, terlepas dari segala kekurangan dan ketidaksempurnaan penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait.

Bogor, Februari 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Lanjut Usia Telantar 3

Kriteria Ketelantaran Lansia 3

Analisis Biplot 3

Analisis Gerombol 6

METODE PENELITIAN 7

Data 7

Metode Analisis 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Deskripsi Lansia Telantar di Indonesia 9

Analisis Biplot 12

Analisis Gerombol 15

SIMPULAN DAN SARAN 19

Simpulan 19

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 22

(14)

DAFTAR TABEL

1 Matriks korelasi Pearson kriteria ketelantaran lansia 12

2 Simpangan baku peubah 13

3 Pengelompokan provinsi berdasarkan analisis gerombol 16 4 Nilai F-hitung dan P-value dari hasil analisis ragam 17

5 Nilai rata-rata peubah pada setiap gerombol 17

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram batang persentase lansia telantar seluruh provinsi di Indonesia

tahun 2012 9

2 Diagram batang persentase lansia telantar yang memenuhi kriteria

ketelantaran lansia tahun 2012 10

3 Diagram kotak garis kriteria ketelantaran lansia tahun 2012 11

4 Biplot kriteria ketelantaran lansia tahun 2012 13

5 Dendogram hasil analisis gerombol dengan metode Ward 16

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perkiraan jumlah dan persentase penduduk lansia menurut kategori ketelantaran lansia, provinsi, klasifikasi daerah tempat tinggal, dan jenis

kelamin, 2012 22

2 Persentase penduduk lansia telantar yang memenuhi kriteria ketelantaran menurut provinsi dan kriteria ketelantaran, 2012 23 3 Proses pembentukan gerombol dengan metode pautan rata-rata (average

linkage) 24

4 Dendogram hasil analisis gerombol dengan metode pautan rata-rata

(average linkage) 25

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Pasal 5 dalam Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa sasaran dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada perseorangan, keluarga, kelompok dan/ atau masyarakat yang diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial yaitu kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana, dan/ atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Kriteria-kriteria masalah sosial tersebut telah dijabarkan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia ke dalam 26 jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), sebagaimana tertera pada lampiran Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial. Dua puluh enam jenis PMKS tersebut adalah anak balita telantar, anak telantar, anak berhadapan dengan hukum, anak jalanan, anak dengan kedisabilitasan, anak yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah, anak yang memerlukan perlindungan khusus, lanjut usia telantar, penyandang disabilitas, tuna susila, gelandangan, pengemis, pemulung, kelompok minoritas, bekas warga binaan lembaga pemasyarakatan, orang dengan HIV/ AIDS, korban penyalahgunaan NAPZA, korban trafficking, korban tindak kekerasan, pekerja migran bermasalah sosial, korban bencana alam, korban bencana sosial, perempuan rawan sosial ekonomi, fakir miskin, keluarga bermasalah sosial psikologis, dan komunitas adat terpencil.

Dua puluh enam jenis PMKS tersebut di atas terdiri dari berbagai macam kelompok usia, dari kelompok usia balita hingga kelompok lanjut usia atau disebut juga dengan lansia. Kelompok lansia termasuk kelompok yang perlu mendapat perhatian khusus karena jumlahnya selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan jumlah lansia ini tidak lepas dari keberhasilan pembangunan di berbagai bidang terutama bidang kesehatan dan bidang kesejahteraan sosial yang memiliki dampak pada meningkatnya angka harapan hidup. Peningkatan angka harapan hidup merupakan cerminan dari meningkatnya usia rata-rata penduduk yang mengakibatkan terjadinya peningkatan pada populasi lansia.

(16)

2

puluh) tahun keatas. Pada pasal 1 ayat 3 dan 4 didefinisikan tentang lansia potensial dan lansia tidak potensial. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/ atau Jasa. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. Sementara dari sisi PMKS lansia dikategorikan menjadi lansia tidak telantar, lansia hampir telantar dan lansia telantar.

Lansia telantar berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 adalah seseorang yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu sandang, pangan, dan papan, juga telantar secara psikis dan sosial.

Penanganan terhadap lansia telantar dalam rangka peningkatan kesejahteraan lansia, merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Sosial Republik Indonesia telah melakukan berbagai bentuk pelayanan sosial terhadap lansia telantar yaitu melalui pelayanan sosial dalam panti dan pelayanan sosial luar panti. Pelayanan sosial dalam panti terdiri dari asistensi sosial melalui lembaga kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial lansia melalui Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW). Pelayanan sosial luar panti terdiri dari asistensi sosial lansia telantar, pendampingan dan perawatan lansia di lingkungan keluarga lansia, pelayanan harian lansia, dan pelayanan lansia dalam situasi darurat (Kemensos RI dan BPS RI 2013).

Sejalan dengan penanganan terhadap lansia telantar diperlukan data dan informasi yang akurat yang dapat memberikan gambaran mengenai kondisi lansia dari berbagai aspek seperti pendidikan, kesehatan, kelayakan tempat tinggal dan ketenagakerjaan pada tingkat nasional maupun provinsi di Indonesia. Untuk itu dalam penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai ketelantaran lansia di Indonesia berdasarkan peubah-peubah yang menentukan ketelantaran lansia.

Dalam statistika dikenal adanya analisis peubah ganda yang dapat menganalisis secara simultan peubah-peubah yang diamati pada setiap objek. Analisis peubah ganda yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis biplot dan analisis gerombol. Kedua analisis tersebut dapat digunakan untuk mengelompokkan provinsi di Indonesia berdasarkan kriteria ketelantaran lansia. Hasil analisis biplot dan gerombol memungkinkan masing-masing provinsi di Indonesia memiliki karakteristik lansia telantar yang berbeda, sehingga memerlukan penanganan yang berbeda pula. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam menyelenggarakan pelayanan sosial terhadap lansia telantar.

Tujuan Penelitian

(17)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Lanjut Usia Telantar

Lanjut usia (lansia) telantar berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 adalah seseorang yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu sandang, pangan, dan papan, juga telantar secara psikis dan sosial. Ada beberapa faktor yang menyebabkan lansia memiliki potensi untuk mengalami ketelantaran diantaranya tidak mempunyai keluarga, sanak saudara atau orang lain yang mau dan mampu mengurusnya atau tidak mempunyai penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan minimumnya, baik jasmani, rohani maupun sosial.

Kriteria Ketelantaran Lansia

Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI) dan Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI) telah menyepakati tentang kriteria ketelantaran lansia (Kemensos RI dan BPS RI 2013). Kriteria Ketelantaran lansia sesuai dengan kesepakatan Kemensos RI dan BPS RI adalah sebagai berikut: 1. Tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD.

2. Makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu.

3. Makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali dalam seminggu atau kombinasinya.

4. Memiliki pakaian kurang dari 4 stel.

5. Tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur. 6. Bila sakit tidak diobati.

7. Bekerja > 35 jam seminggu.

Berdasarkan kriteria ketelantaran lansia tersebut dapat ditentukan derajat ketelantaran lansia, yaitu jika memenuhi 1 (satu) kriteria maka dikategorikan lansia tidak telantar, jika memenuhi 2 (dua) kriteria maka dikategorikan lansia hampir telantar dan jika memenuhi lebih dari 2 (dua) kriteria maka dikategorikan lansia telantar.

Analisis Biplot

Analisis biplot dikemukakan pertamakali oleh Gabriel pada tahun 1971, yang menyatakan bahwa biplot adalah representasi grafis dari matriks data. Biplot dapat digunakan sebagai alat untuk analisis data dan memungkinkan penilaian visual dari struktur matriks data yang besar.

Salinas et al. (2013) menyatakan bahwa biplot adalah representasi grafis dari data peubah ganda dengan unsur-unsur matriks data diwakili sesuai dengan titik-titik dan vektor yang terkait dengan baris dan kolom dari matriks.

(18)

4

disajikan sebagai titik-titik n pada grafik dua dimensi dengan kolom pertama sebagai sumbu-x dan kolom kedua sebagai sumbu-y. Demikian juga untuk matriks dapat disajikan sebagai titik-titik p pada grafik dua dimensi dengan baris pertama sebagai sumbu-x dan baris kedua sebagai sumbu-y. Grafik biplot dua dimensi terbentuk jika dua plot ditumpang-tindihkan yang terdiri dari titik-titik sehingga nilai-nilai matriks secara implisit dapat ditampilkan pada grafik biplot.

Biplot dapat menyajikan secara simultan n objek pengamatan dan p peubah dalam tampilan dua dimensi sehingga diperoleh informasi tentang hubungan antara peubah, hubungan antara peubah dan objek pengamatan, serta posisi relatif peubah dan objek pengamatan dapat dianalisis (Jolliffe 2002). Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Kroonenberg (2008), yang menyatakan bahwa biplot memungkinkan untuk menganalisa interaksi dua arah pada tabel data yang terdiri dari n objek dan p peubah sehingga pola sistematis antara baris, antara kolom dan antara baris dan kolom dapat dinilai dan dievaluasi. Dengan biplot dapat diperoleh informasi atau tafsiran sebagai berikut:

1. Karakteristik antar objek 2. Hubungan antar peubah

3. Posisi relatif objek terhadap peubah 4. Keragaman peubah.

Analisis biplot didasarkan pada penguraian nilai singular atau Singular

Value Decomposition (SVD). Bentuk umum dari SVD berdasarkan Jolliffe (2002)

dapat dijelaskan sebagai berikut. Misalkan suatu matriks data berukuran nxp

dan berpangkat r dengan n merupakan objek dan p peubah yang dikoreksi terhadap nilai rata-ratanya, maka SVD dari matriks dapat ditulis menjadi: (1)

Matriks dan masing-masing berukuran (nxr) dan (rxp) dengan setiap kolomnya ortonormal dan adalah matriks diagonal berukuran (rxr) yang unsur-unsur diagonalnya merupakan akar kuadrat dari akar ciri dan dengan √ √ √ . Unsur-unsur diagonal matriks Definisi ini juga berlaku untuk dengan unsur-unsur diagonalnya:

, dan misalkan dan

maka:

elemen ke-(i,j) dari matriks dapat ditulis sebagai:

(19)

Masing-5 masing dan mempunyai r elemen, dan jika berpangkat dua, maka vektor baris dan vektor kolom dapat digambarkan dalam ruang dimensi dua. Dalam kasus yang lebih umum persamaan (1) dapat ditulis menjadi:

xij ∑ memberikan representasi dua dimensi yang baik untuk kedua pengamatan n objek dan p peubah.

memberikan gambaran koragam antara peubah ke-j dan ke-k. Panjang dari vektor ‖ ‖ √ √ menggambarkan keragaman peubah ke-j. Korelasi antara peubah ke-j dan ke-k ditunjukkan oleh cosinus sudut antara dan .

Keakuratan biplot dalam menjelaskan keragaman dari data awal telah dirumuskan oleh Gabriel (1971) dalam bentuk:

dengan adalah akar ciri terbesar ke-1, adalah akar ciri terbesar ke-2 dan

(20)

6

Analisis Gerombol

Analisis gerombol menurut Johnson dan Wichern (2007) adalah suatu teknik untuk mengelompokkan n objek pengamatan ke dalam k buah gerombol ( k

< n ) berdasarkan karakteristiknya. Rencher (2002) menyatakan analisis gerombol merupakan teknik mencari pola dari suatu kumpulan objek dengan melakukan pengelompokan objek ke dalam kelompok-kelompok, dengan tujuan untuk mendapatkan kelompok yang optimal sehingga setiap kelompok atau gerombol memiliki objek-objek yang mempunyai sifat-sifat yang lebih mirip dibandingkan objek-objek yang berada pada kelompok atau gerombol lain. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Jolliffe (2002), yang menyatakan bahwa analisis gerombol bertujuan untuk membagi sekumpulan objek pengamatan ke dalam gerombol-gerombol sedemikian rupa sehingga antar unit pengamatan dalam satu gerombol lebih mirip dibandingkan dengan unit pengamatan dalam gerombol yang berbeda.

Ukuran kemiripan atau ketidakmiripan antar objek pada analisis gerombol biasanya ditunjukkan dengan menggunakan ukuran jarak (Johnson dan Wichern 2007). Konsep jarak yang biasa digunakan adalah jarak Euclid yang didefinisikan sebagai berikut:

Terdapat dua metode penggerombolan menurut Johnson dan Wichern (2007), yaitu metode hirarki dan metode non hirarki. Metode penggerombolan hirarki digunakan bila banyaknya gerombol yang akan dibentuk tidak diketahui sebelumnya, sedangkan metode penggerombolan non hirarki digunakan jika banyaknya gerombol yang akan dibentuk telah ditentukan sebelumnya.

Metode penggerombolan hirarki terdiri dari metode aglomerasi dan metode pemecahan. Pada metode aglomerasi setiap pengamatan secara bertahap bergabung menjadi satu gerombol sedangkan metode pemecahan setiap pengamatan pada awalnya berada dalam satu gerombol besar kemudian secara bertahap dipecah menjadi gerombol yang lebih kecil (Everitt et al. 2011).

Dalam metode hirarki dengan prosedur aglomerasi terdapat beberapa metode perbaikan jarak yang dapat digunakan (Johnson dan Wichern 2007), yaitu: 1. Metode pautan tunggal (single linkage/ minimum distance or nearest

neighbor). Metode ini dimulai dengan dua objek yang memiliki jarak terdekat

dalam gerombol yang berbeda sehingga kedua objek tersebut akan ditempatkan pada gerombol pertama, dan seterusnya.

2. Metode pautan lengkap (complete linkage/ maximum distance or farthest

neighbor). Metode ini terjadi ketika gerombol-gerombol yang terbentuk

didasarkan pada jarak terjauh antara objek dalam gerombol-gerombol tersebut. 3. Metode pautan rata-rata (average linkage/ average distance). Metode ini

(21)

7 dimulai dengan menghitung matriks jarak { }. Matriks jarak ini akan digunakan untuk menentukan objek yang paling dekat (mirip) dengan objek lainnya, sebagai contoh objek U dan V. Objek-objek ini digabung ke dalam satu gerombol (UV). Kemudian jarak antara gerombol (UV) dengan gerombol lainnya misal W dapat ditentukan dengan rumus berikut:

∑ ∑

dengan adalah jarak antara objek i dalam gerombol (UV) dan objek k

dalam gerombol W, sedangkan adalah jumlah objek yang ada dalam masing-masing gerombol (UV) dan W.

4. Metode Ward. Ward (1963) dalam Aldenderfer dan Blashfield (1984) mengemukakan bahwa metode Ward dirancang untuk mengoptimalkan ragam minimum dalam gerombol. Fungsi variansi ini dikenal sebagai jumlah kuadrat sisaan atau ESS (Error Sum of Square) yang dirumuskan dengan:

∑ ̅ ̅

dengan adalah nilai objek ke-i.

Pada tahap awal dari proses pembentukan gerombol, masing-masing objek merupakan satu gerombol. Pada tahap ini nilai ESS adalah nol. Prosedur metode Ward adalah dengan menggabungkan gerombol-gerombol yang menghasilkan kenaikan ESS minimum.

Rencher (2002) mengungkapkan bahwa banyak penelitian menyimpulkan bahwa diantara metode yang baik digunakan adalah metode pautan rata-rata

(average linkage), tetapi kadang-kadang suatu metode tertentu lebih cocok apabila

digunakan untuk suatu data tertentu, sehingga strategi yang tepat adalah dengan mencoba beberapa metode untuk suatu data sampai dihasilkan gerombol yang alami untuk data tersebut. Sementara itu, Blashfield (1980) dalam Aldenderfer dan Blashfield (1984) menyatakan bahwa metode Ward hampir tidak digunakan dalam ilmu biologi tetapi banyak digunakan dalam ilmu sosial.

Hasil dari metode gerombol dapat disajikan ke dalam bentuk diagram pohon yang disebut dengan dendogram (Johnson dan Wichern 2007). Jumlah gerombol yang dihasilkan ditentukan dari pemisahan gerombol. Pemisahan gerombol dapat dilakukan dengan cara pemotongan pada selisih jarak penggabungan yang terbesar.

METODE PENELITIAN

Data

(22)

8

ketelantaran lansia. Peubah-peubah tersebut adalah persentase lansia telantar tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD (X1), persentase lansia telantar makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu (X2), persentase lansia telantar makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali dalam seminggu atau kombinasinya (X3), persentase lansia telantar memiliki pakaian kurang dari 4 stel (X4), persentase lansia telantar tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur (X5), persentase lansia telantar bila sakit tidak diobati (X6), dan persentase lansia telantar bekerja > 35 jam seminggu (X7).

Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, analisis biplot, dan analisis gerombol. Analisis deskriptif dilakukan pada tahap awal dengan melakukan eksplorasi terhadap data dengan tujuan untuk melihat gambaran umum lanjut usia terlantar di Indonesia. Selanjutnya dilakukan analisis biplot untuk memetakan dan melihat posisi relatif provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan peubah-peubah yang menentukan derajat ketelantaran lansia. Tahapan akhir adalah analisis gerombol untuk mengelompokkan provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan peubah-peubah yang menentukan derajat ketelantaran lansia. Metode analisis gerombol yang digunakan adalah metode hirarki aglomerasi.

Prosedur yang dilakukan dalam analisis deskriptif adalah sebagai berikut: 1. Membuat diagram batang persentase lansia telantar di Indonesia.

2. Membuat diagram batang peubah-peubah kriteria ketelantaran lansia. 3. Membuat diagram kotak garis (boxplot) untuk masing-masing peubah. 4. Membuat matriks korelasi antara peubah.

Langkah-langkah pembuatan biplot (Jolliffe 2002) adalah sebagai berikut: 1. Mempersiapkan matriks data .

2. Membentuk matriks dengan koreksi rataan masing-masing peubah pada matriks .

3. Menghitung matriks .

4. Mencari akar ciri dan vektor ciri dari matriks . 5. Menentukan matriks , , dan .

6. Menjabarkan menjadi .

7. Menentukan matriks dan dengan dan , nilai yang digunakan pada penelitian ini adalah .

8. Membentuk biplot dari dua unsur pertama dari matriks dan .

Algoritma untuk metode gerombol hirarki dengan prosedur aglomerasi (Johnson dan Wichern 2007) adalah sebagai berikut:

1. Dimulai dari pembentukan gerombol sebanyak n objek.

2. Gabungkan dua objek atau gerombol terdekat (yang mempunyai kemiripan) ke dalam gerombol yang baru.

3. Lakukan perbaikan terhadap matrik jarak.

(23)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Lansia Telantar di Indonesia

Jumlah lansia telantar di Indonesia pada tahun 2012 diperkirakan sebanyak 2.4 juta jiwa atau 13.17% dari jumlah total penduduk lansia di Indonesia. Selainnya merupakan lansia tidak telantar sebanyak 61.24% dan lansia hampir telantar sebanyak 25.59% (Lampiran 1). Populasi penduduk lansia telantar tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Persentase lansia telantar seluruh Provinsi di Indonesia pada tahun 2012 dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram batang persentase lansia telantar seluruh provinsi di Indonesia tahun 2012

Dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa pada tahun 2012 persentase lansia telantar seluruh provinsi di Indonesia memiliki angka yang bervariasi, dari angka terendah sampai tertinggi. Provinsi yang memiliki persentase lansia telantar terendah adalah Provinsi Bali sebesar 7.4%, diikuti oleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Provinsi Kalimantan Timur yaitu masing-masing sebesar 8.14% dan 8.89%. Sedangkan, provinsi yang memiliki persentase lansia telantar tertinggi adalah Provinsi Papua sebesar 39.85%, diikuti oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat yaitu masing-masing sebesar 36.55% dan 32.65%. Dari Gambar 1 juga terlihat bahwa persentase lansia telantar yang tinggi sebagian besar terdapat di wilayah Indonesia bagian timur, sebaliknya

(24)

10

persentase lansia telantar yang rendah sebagian besar terdapat di wilayah Indonesia bagian barat. Hal ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan penduduk lansia belum merata di seluruh wilayah di Indonesia. Kondisi lansia yang tinggal di wilayah Indonesia bagian barat lebih baik daripada di bagian timur.

Pengkategorian lansia ke dalam kelompok lansia tidak telantar, hampir telantar dan telantar didasarkan pada kesepakatan yang telah ditetapkan oleh Kemensos RI dan BPS RI. Dalam kesepakatan ini ditetapkan 7 kriteria ketelantaran lansia. Dari 7 kriteria ketelantaran lansia tidak seluruhnya ada pada seorang lansia telantar. Lansia dikatakan telantar jika memenuhi lebih dari dua kriteria ketelantaran lansia. Persentase lansia telantar yang memenuhi kriteria ketelantaran lansia di Indonesia tahun 2012 dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram batang persentase lansia telantar yang memenuhi kriteria ketelantaran lansia tahun 2012

Dari 2.4 juta jiwa lansia telantar di Indonesia pada tahun 2012, sebanyak 88.82% tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD (X1), terlihat bahwa peubah X1 ini merupakan kriteria yang paling banyak dialami oleh lansia telantar di Indonesia. Selanjutnya berturut-turut kriteria yang banyak dialami oleh lansia telantar di Indonesia adalah makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu (X2) sebesar 55% dan memiliki pakaian kurang dari 4 stel (X4) sebesar 54.45%. Sedangkan kriteria yang paling sedikit dialami oleh lansia telantar di Indonesia adalah bila sakit tidak diobati (X6). Persentase lansia telantar yang bila sakit tidak diobati adalah sebesar 10.56% (Gambar 2).

(25)

11 Deskripsi tentang masing-masing peubah (kriteria ketelantaran lansia X1, X2, X3, X4, X5, X6, dan X7) dapat diketahui dengan menggunakan diagram kotak garis seperti yang terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram kotak garis kriteria ketelantaran lansia tahun 2012 Dari Gambar 3 diperoleh gambaran mengenai bentuk distribusi, ukuran tendensi sentral (ukuran pemusatan) dan ukuran penyebaran (keragaman) data kriteria ketelantaran lansia. Terlihat bahwa hampir semua peubah yang menjadi indikator ketelantaran lansia memiliki sebaran data yang cenderung tidak simetris. Peubah X1, X2 dan X4 memiliki pola sebaran negatif, distribusi data pada peubah-peubah ini cenderung menjulur ke arah kiri atau dengan kata lain data pada peubah-peubah ini relatif terkumpul pada nilai-nilai yang rendah. Sedangkan peubah X3, X5, X6 dan X7 memiliki pola sebaran positif, distribusi data pada peubah-peubah ini cenderung menjulur ke arah kanan atau dengan kata lain data pada peubah-peubah ini relatif terkumpul pada nilai-nilai yang tinggi.

(26)

12

Tabel 1 Matriks korelasi Pearson kriteria ketelantaran lansia

*P-value < 0.05

Dari Tabel 1 terlihat bahwa pasangan peubah yang memiliki hubungan/ korelasi linier yang signifikan adalah X1 dengan X2; X4 dengan X5; dan X4 dengan X7 pada tingkat signifikansi 5%. Besarnya korelasi antara peubah-peubah tersebut dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi, nilai koefisien korelasi antara X1 dengan X2; X4 dengan X5; dan X4 dengan X7 berturut-turut adalah -0.512, -0.588 dan -0.614. Dari nilai-nilai ini terlihat bahwa korelasi terbesar antara peubah-peubah kriteria ketelantaran lansia adalah antara peubah X4 dengan X7 dengan arah korelasi negatif (berlawanan arah).

Analisis Biplot

Hasil analisis biplot provinsi terhadap kriteria ketelantaran lansia dapat dilihat pada Gambar 4. Total keragaman yang mampu dijelaskan oleh biplot sebesar 63.4% yang terdiri dari 38.1% pada dimensi pertama dan 25.3% pada dimensi kedua.

Keragaman peubah digambarkan oleh panjang vektor untuk masing-masing peubah. Dari Gambar 5 terlihat bahwa peubah yang memiliki vektor yang panjang yaitu X2, X3, X4 dan X5, ini berarti bahwa peubah-peubah ini mempunyai ragam yang cukup besar. Sedangkan peubah yang mempunyai ragam yang relatif kecil adalah peubah X1, X6 dan X7 yang ditunjukkan oleh vektor pendek. Hasil ini sesuai dengan yang ditunjukkan pada bagian sebelumnya dengan menggunakan diagram kotak garis pada Gambar 3, kecuali peubah X4. Pada Gambar 4 terlihat bahwa peubah X4 merupakan peubah dengan keragaman terbesar, tetapi hal ini tidak ditunjukkan oleh Gambar 3. Hal ini dapat terjadi karena peubah X4 memiliki beberapa nilai yang merupakan pencilan sehingga berpengaruh terhadap tampilan biplot yang dihasilkan.

Besarnya keragaman untuk setiap peubah ditunjukkan oleh nilai-nilai simpangan baku masing-masing peubah seperti yang terlihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa peubah X3 merupakan peubah dengan keragaman terbesar, hasil ini sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Gambar 3. Sedangkan peubah dengan keragaman terkecil adalah peubah X6, hasil ini sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Gambar 3 dan Gambar 4. Sementara itu, untuk peubah-peubah lainnya yaitu X1, X2, X5, dan X7 nilai simpangan bakunyanya seperti yang tersaji pada Tabel 2 juga menunjukkan kesesuaian dengan hasil pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Peubah X1 X2 X3 X4 X5 X6

X2 -0.512*

X3 -0.098 -0.258

X4 0.225 -0.335 0.103

X5 -0.230 -0.111 -0.099 -0.588*

X6 0.235 -0.179 -0.147 0.133 -0.205

(27)

13

Gambar 4 Biplot kriteria ketelantaran lansia tahun 2012

Keterangan Gambar 4:

X1: persentase lansia telantar tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD X2: persentase lansia telantar makan makanan pokok kurang dari 14 kali

dalam seminggu

X3: persentase lansia telantar makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali atau kombinasinya

X4: persentase lansia telantar memiliki pakaian kurang dari 4 stel

X5: persentase lansia telantar tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur X6: persentase lansia telantar bila sakit tidak diobati

X7: persentase lansia telantar bekerja > 35 jam seminggu Tabel 2 Simpangan baku peubah

Peubah Nilai minimum Simpangan baku Nilai maksimum

(28)

14

Hubungan antara peubah dapat dilihat dari besar sudut dan arah yang terbentuk antara dua vektor peubah. Jika antara dua vektor peubah membentuk sudut yang sempit atau sudut lancip dan memiliki arah yang sama maka kedua peubah memiliki korelasi positif dengan nilai korelasi yang besar. Sedangkan jika antara dua vektor peubah membentuk sudut yang lebar atau sudut tumpul dan memiliki arah yang berlawanan maka kedua peubah memiliki korelasi negatif dengan nilai korelasi yang besar. Hasil biplot dari Gambar 4 yang berkenaan dengan hubungan atau korelasi antara peubah menunjukkan kesesuaian dengan matriks korelasi Pearson pada Tabel 1. Berdasarkan nilai korelasi dari Tabel 1 terlihat bahwa pasangan peubah X1 dan X2, X4 dan X5, serta X4 dan X7 menunjukkan nilai yang signifikan dan berkorelasi negatif. Hal yang sama ditunjukkan oleh hasil biplot pada Gambar 4, terlihat bahwa antara peubah X1 dan X2, X4 dan X5, serta X4 dan X7 membentuk sudut yang lebar atau sudut tumpul dan memiliki arah yang berlawanan yang berarti kedua peubah memiliki korelasi negatif dengan nilai korelasi yang besar.

Kedekatan jarak antar objek (provinsi) dan posisi relatif provinsi-provinsi terhadap peubah-peubah pada Gambar 4 menunjukkan kemiripan kriteria lansia telantar yang ada di provinsi-provinsi tersebut. Selain itu posisi objek terhadap vektor peubah menunjukkan kecenderungan objek terhadap peubah. Jika objek terletak searah dengan arah vektor peubah, maka objek tersebut memiliki nilai relatif besar (di atas nilai rata-rata peubah). Demikian pula sebaliknya, jika objek terletak berlawanan arah dengan arah vektor peubah, maka objek tersebut memiliki nilai relatif kecil (di bawah nilai rata-rata peubah). Dari Gambar 4 terlihat bahwa provinsi dengan jarak yang berdekatan yang terlihat jelas secara visual adalah Provinsi Papua, Maluku, dan Papua Barat. Ketiga provinsi ini memiliki posisi yang relatif berdekatan dan searah terhadap vektor peubah X5 dan X7. Hal ini berarti bahwa lansia telantar di Provinsi Papua, Maluku dan Papua Barat memiliki persentase yang tinggi pada peubah X5 (tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur) dan X7 (bekerja > 35 jam seminggu). Sebaliknya ketiga provinsi tersebut terletak pada arah yang berlawanan dengan vektor peubah X1, X4, dan X6. Sehingga lansia telantar di ketiga provinsi tersebut memiliki persentase yang rendah pada peubah X1 (tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD), X4 (memiliki pakaian kurang dari 4 stel), dan X6 (bila sakit tidak diobati).

Selanjutnya provinsi yang secara visual menunjukkan kemiripan kriteria lansia telantar adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Bengkulu. Dari Gambar 4 terlihat bahwa Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Bengkulu memiliki posisi yang relatif berdekatan dan searah terhadap vektor peubah X1, X3 dan X4. Hal ini berarti bahwa lansia telantar di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Bengkulu memiliki persentase yang tinggi pada peubah X1 (tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD), X3 (makan lauk pauk berprotein tinggi, nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali dalam seminggu atau kombinasinya), dan X4 (memiliki pakaian kurang dari 4 stel). Kedua provinsi tersebut juga memiliki posisi dengan arah yang berlawanan dengan peubah X2, X5, dan X7. Oleh karena itu, lansia telantar di kedua provinsi tersebut dapat dikatakan memiliki persentase yang rendah pada peubah X2 (makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu), X5 (tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur), dan X7 (bekerja > 35 jam seminggu).

(29)

15 dapat dilihat kecenderungannya terhadap suatu peubah tertentu. Provinsi yang memiliki kecenderungan terhadap peubah X1, artinya provinsi dengan persentase lansia telantar yang tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD relatif besar adalah Nusa Tenggara Barat, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tengah, dan Lampung.

Selanjutnya provinsi yang memiliki kecenderungan terhadap peubah X2, artinya provinsi dengan persentase lansia telantar yang makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu relatif besar adalah DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Banten.

Kemudian provinsi dengan kecenderungan terhadap peubah X3 atau dengan kata lain provinsi dengan persentase lansia telantar yang makan lauk pauk berprotein tinggi, nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali dalam seminggu atau kombinasinya relatif besar adalah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bengkulu, Sulawesi Tengah, Jambi, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.

Provinsi dengan persentase lansia telantar yang memiliki pakaian kurang dari 4 stel (X4) relatif besar adalah Bengkulu, Sulawesi Tengah, Lampung, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Provinsi dengan kecenderungan terhadap peubah X5 atau provinsi dengan persentase lansia telantar yang tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur relatif besar adalah Papua, Maluku, Papua Barat, Kalimantan Barat, Bali, Sumatera Utara, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Tengah.

Sementara itu, provinsi dengan kecenderungan terhadap peubah X6 atau provinsi dengan persentase lansia telantar yang yang bila sakit tidak diobati relatif besar adalah Sulawesi Selatan, Aceh, dan Riau.

Provinsi Papua Barat, Maluku, dan Kalimantan Barat adalah provinsi dengan kecenderungan terhadap peubah X7, artinya pada provinsi ini lansia telantar yang bekerja > 35 jam seminggu memiliki persentase cukup besar.

Analisis Gerombol

Analisis gerombol dalam penelitian ini bertujuan untuk mengelompokkan provinsi-provinsi di Indonesia ke dalam beberapa kelompok yang mempunyai karakteristik yang sama, dalam hal ini karakteristik yang dimaksud adalah kriteria ketelantaran lansia di Indonesia.

Penggerombolan provinsi-provinsi dilakukan menggunakan metode hirarki dengan mencoba dua metode perbaikan jarak, yaitu metode pautan rata-rata dan metode Ward. Dari kedua metode perbaikan jarak ini, metode Ward memberikan hasil yang lebih bermakna. Hasil dari analisis gerombol secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3, 4 dan 5, sedangkan hasil dari analisis gerombol dengan metode Ward dalam bentuk dendogram disajikan pada Gambar 5.

(30)

16

Gambar 5 Dendogram hasil analisis gerombol dengan metode Ward Keterangan Gambar 5:

1. Aceh 10. Lampung 19. NTT 28. Sulawesi Barat

2. Sumatera Utara 11. DKI Jakarta 20. Kalimantan Barat 29. Sulawesi Tenggara 3. Sumatera Barat 12.Jawa Barat 21. Kalimantan Tengah 30. Maluku

4. Riau 13. Banten 22. Kalimantan Selatan 31. Maluku Utara 5. Kepulauan Riau 14. Jawa Tengah 23. Kalimantan Timur 32. Papua

6. Jambi 15. DIY 24. Sulawesi Utara 33. Papua Barat 7. Sumatera Selatan 16. Jawa Timur 25. Gorontalo

8. Bangka Belitung 17. Bali 26. Sulawesi Tengah 9. Bengkulu 18. NTB 27. Sulawesi Selatan

Tabel 3 Pengelompokan provinsi berdasarkan analisis gerombol

Gerombol Provinsi

1 Aceh, Lampung, Riau, Jawa Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, DKI Jakarta

2 Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Banten, DIY, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara

3 Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat

4 Maluku, Papua Barat, Papua

(31)

17 Untuk mengetahui peubah-peubah yang menentukan pengelompokan digunakan analisis ragam terhadap tujuh peubah. Nilai F-hitung dan P-value dari hasil analisis ragam terhadap tujuh peubah X1, X2, X3, X4, X5, X6, dan X7 disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai F-hitung dan P-value dari hasil analisis ragam*

Peubah F-hitung P-value

X1 8.69 0.000

X2 10.39 0.000

X3 8.46 0.000

X4 13.74 0.000

X5 9.74 0.000

X6 0.92 0.444

X7 7.30 0.001

*tingkat signifikansi

Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa peubah yang menunjukkan hasil yang signifikan (P-value < 0.05) adalah X1, X2, X3, X4, X5, dan X7 sedangkan X6 tidak signifikan (P-value > 0.05). Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai rataan antara semua gerombol pada peubah X1, X2, X3, X4, X5, dan X7 sedangkan pada peubah X6 tidak terdapat perbedaan nilai rataan antara semua gerombol. Dengan demikian, peubah-peubah yang menentukan pengelompokan adalah X1, X2, X3, X4, X5, dan X7 sedangkan peubah X6 tidak menentukan pengelompokan.

Selanjutnya untuk mengetahui karakteristik dari masing-masing gerombol yang terbentuk dapat dilihat dari nilai rata-rata setiap peubah pada setiap gerombol seperti yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai rata-rata peubah pada setiap gerombol

Gerombol Peubah

X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7

1 80.31 67.29 56.28 55.92 42.54 8.98 32.01

(32)

18

merupakan nilai tertinggi jika dibandingkan dengan nilai yang sama pada gerombol lain. Selanjutnya, lansia telantar pada gerombol 1 rata-rata mengkonsumsi lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali dalam seminggu atau kombinasinya (X3) sebesar 56.28%. Nilai ini juga merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan nilai yang sama pada gerombol lain. Jika ditinjau dari aspek tempat tinggal, lansia telantar pada gerombol 1 sebagian besar sudah mempunyai tempat yang tetap untuk tidur. Hal ini terlihat dari rata-rata nilai persentase lansia telantar yang tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur (X5) paling rendah dibandingkan dengan kelompok lain yaitu sebesar 42.54%. Sementara itu, jika dilihat dari segi kebutuhan sandang lansia telantar yang terdapat pada gerombol 1 dapat dikatakan relatif tidak memadai, hal ini terlihat dari tingginya nilai persentase lansia telantar yang memiliki pakaian kurang dari 4 stel (X4) yaitu sebesar 55.92%. Nilai ini merupakan nilai yang tertinggi jika dibandingkan dengan nilai yang sama pada gerombol lain.

Gerombol 2 merupakan kelompok yang paling besar karena memiliki anggota paling banyak jika dibandingkan dengan anggota pada gerombol lain. Terdapat 14 provinsi yang termasuk ke dalam gerombol 2 ini, yaitu Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Banten, DIY, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. Pembahasan sebelumnya yaitu analisis biplot menunjukkan sebagian besar anggota gerombol 2 memiliki posisi yang relatif berdekatan. Gerombol 2 mempunyai dua karakteristik yang paling dominan diantaranya lansia telantar pada gerombol 2 pada umumnya tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD (X1), hal ini terlihat dari tingginya nilai rata-rata persentase X1 pada gerombol 2 yaitu sebesar 92.82%. Nilai ini merupakan nilai tertinggi jika dibandingkan dengan kelompok lain. Selanjutnya karakteristik gerombol 2 lainnya adalah rendahnya persentase lansia telantar yang makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali dalam seminggu atau kombinasinya (X3) yaitu sebesar 31.05%. Nilai ini paling rendah dibandingkan dengan nilai yang sama pada gerombol lain.

(33)

19 Provinsi-provinsi yang merupakan anggota dari gerombol 3, pada analisis biplot sebagian besar terlihat memiliki posisi yang berdekatan.

Gerombol 4 beranggotakan provinsi yang secara geografis terletak di wilayah timur Indonesia, yaitu Provinsi Maluku, Papua Barat, dan Papua. Penggerombolan yang terjadi pada gerombol 4 ini sesuai dengan hasil yang ditunjukkan oleh analisis biplot pada pembahasan sebelumnya. Hampir semua peubah (kecuali peubah X3) pada gerombol 4 memiliki nilai yang menonjol dibandingkan nilai peubah yang sama pada gerombol lain. Nilai-nilai peubah yang menjadi karakteristik dari gerombol 4 tersebut yaitu persentase lansia telantar yang tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD (X1) untuk gerombol 4 sebesar 76.56%. Nilai ini merupakan nilai yang terendah dibandingkan nilai yang sama pada gerombol lain. Selanjutnya, sebanyak 66.03% lansia telantar pada gerombol 4 makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu (X2). Nilai ini menempati urutan kedua tertinggi dibandingkan dengan nilai peubah yang sama pada gerombol lain. Terdapat 14.27% lansia telantar pada gerombol 4 yang memiliki pakaian kurang dari 4 stel (X4). Nilai ini merupakan nilai yang terendah dibandingkan nilai yang sama pada gerombol lain. Lansia telantar pada gerombol 4 yang tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur (X5) memiliki persentase tertinggi dibandingkan nilai yang sama pada gerombol lain yaitu sebesar 79.62%. Persentase lansia telantar yang bila sakit tidak diobati (X6) untuk gerombol 4 sebesar 6.11%. Nilai ini merupakan nilai yang terendah dibandingkan nilai yang sama pada gerombol lain. Lansia telantar pada gerombol 4 yang bekerja > 35 jam seminggu (X7) memiliki persentase sebesar 56.30%. Nilai ini merupakan nilai yang tertinggi dibandingkan nilai yang sama pada gerombol lain.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis deskriptif, analisis biplot dan analisis gerombol dapat disimpulkan bahwa:

1. Provinsi dengan persentase lansia telantar tertinggi adalah Provinsi Papua, sedangkan persentase terendah adalah Provinsi Bali. Lansia telantar tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD adalah kriteria yang paling banyak dialami oleh lansia telantar di Indonesia sedangkan yang paling sedikit adalah bila sakit tidak diobati. Kriteria lansia telantar dengan keragaman tertinggi adalah makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali dalam seminggu atau kombinasinya, sedangkan keragaman terendah adalah kriteria bila sakit tidak diobati.

(34)

20

lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali atau kombinasinya, dan memiliki pakaian kurang dari 4 stel, serta memiliki nilai persentase yang rendah untuk kriteria makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu dan bekerja > 35 jam seminggu. Untuk provinsi lainnya tidak menunjukkan kecenderungan membentuk suatu kelompok tetapi secara individu memiliki kecenderungan terhadap suatu peubah/ kriteria lansia telantar tertentu.

3. Pada analisis gerombol, provinsi di Indonesia terbagi ke dalam 4 gerombol. Gerombol 1 beranggotakan Provinsi Aceh, Lampung, Riau, Jawa Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, dan DKI Jakarta. Gerombol 1 dicirikan oleh persentase tertinggi untuk kritera makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu, makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali atau kombinasinya, dan memiliki pakaian kurang dari 4 stel, serta persentase terendah untuk kriteria tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur. Gerombol 2 terdiri dari Provinsi Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Banten, DIY, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. Gerombol 2 dicirikan oleh persentase tertinggi untuk kriteria tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD dan persentase terendah untuk kriteria makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4 kali, hewani ≤ 2 kali atau kombinasinya. Gerombol 3 terdiri dari Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Bengkulu, dan Nusa Tenggara Barat. Gerombol 3 dicirikan oleh persentase tertinggi untuk kriteria bila sakit tidak diobati dan persentase terendah untuk kriteria makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu dan bekerja > 35 jam seminggu. Gerombol 4 beranggotakan Provinsi Maluku, Papua Barat, dan Papua, dicirikan oleh persentase tertinggi untuk kriteria tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur dan bekerja > 35 jam seminggu, serta persentase terendah untuk kriteria tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD, memiliki pakaian kurang dari 4 stel dan bila sakit tidak diobati.

Saran

(35)

21

DAFTAR PUSTAKA

Aldenderfer MS, Blashfield RK. 1984. Cluster Analysis, Series: Quantitative

Applications in the Social Sciences. United States of America (US): Sage principal component analysis. Biometrika. 58: 453–467.

Greenacre M. 2010. Biplot in Practice. Barcelona (ES): Fundación BBVA. Ed ke-1.

Johnson RA, Wichern DW. 2007. Applied Multivariate Statistical Analysis. New Jersey (US): Pearson Prentice Hall. Ed ke-6.

Jollife IT. 2002. Principal Component Analysis. New York (US): Springer-Verlag. Ed ke-2.

[Kemensos RI] Kementerian Sosial Republik Indonesia. 1998. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Jakarta (ID): Kemensos RI.

[Kemensos RI] Kementerian Sosial Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Jakarta (ID): Kemensos RI.

[Kemensos RI] Kementerian Sosial Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial. Jakarta (ID): Kemensos RI.

[Kemensos RI] Kementerian Sosial Republik Indonesia, [BPS RI] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2013. Profil Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial Berdasarkan Data Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2012.

Jakarta (ID): Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik.

Kroonenberg PM. 2008. Applied Multiway Data Analysis. New Jersey (US): John Wiley & Son, Inc.

Rencher AC. 2002. Methods of Multivariate Analysis. Canada: John Wiley & Son, Inc. Ed ke-2.

Salinas DN, Garcia NR, Contreras EJ, Herrera F, López-Cózar ED. 2013. On the use of biplot analysis for multivariate bibliometric and scientific indicators.

Journal of the American Society for Information Science and Technology.

[Internet]. [diunduh 2014 Jul 07]. Tersedia pada: http://eprints.rclis.org/18984/1/BIPLOT%20post-print.pdf

Ward JH. 1963. Hierarchical grouping to optimize an objective function. Journal

of the America Statistical Association. 58(301):236-244.

(36)

22

Lampiran 1 Perkiraan jumlah dan persentase penduduk lansia menurut kategori ketelantaran lansia, provinsi, klasifikasi daerah tempat tinggal, dan jenis kelamin, 2012

Provinsi Tidak Telantar Hampir Telantar Telantar Total

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Aceh 165600 59.70 63300 22.82 48500 17.48 277300 100

Sumatera Utara 512300 65.57 156200 19.99 112900 14.45 781300 100

Sumatera Barat 251700 63.78 98500 24.96 44400 11.26 394500 100

Riau 155200 63.73 53400 21.93 34900 14.35 243500 100

Kepulauan Riau 44300 64.80 15500 22.63 8600 12.57 68300 100

Jambi 105200 58.46 45000 24.99 29800 16.55 179900 100

Sumatera Selatan 276600 57.37 134100 27.81 71400 14.82 482100 100

Kep. Bangka Belitung 50200 65.84 19800 26.02 6200 8.14 76200 100

Bengkulu 53400 51.37 27000 26.03 23500 22.59 103900 100

Lampung 328300 58.47 154200 27.46 79000 14.07 561500 100

DKI Jakarta 346600 67.31 115800 22.50 52400 10.19 514800 100

Jawa Barat 1946600 61.76 777900 24.68 427600 13.56 3152100 100

Banten 337200 64.26 128800 24.56 58600 11.18 524700 100

Jawa Tengah 2179000 64.89 857800 25.54 321200 9.57 3358000 100

DI Yogyakarta 310900 67.34 102100 22.12 48700 10.54 461700 100

Jawa Timur 2347400 59.52 1129400 28.64 467300 11.85 3944100 100

Bali 275900 69.30 92800 23.30 29500 7.40 398200 100

Nusa Tenggara Barat 128500 38.65 95400 28.70 108500 32.65 332400 100

Nusa Tenggara Timur 133200 36.50 98300 26.95 133400 36.55 364900 100

Kalimantan Barat 145300 55.53 72500 27.69 43900 16.78 261700 100

Kalimantan Tengah 62600 58.05 27800 25.78 17400 16.17 107900 100

Kalimantan Selatan 145900 66.30 47800 21.72 26400 11.99 220100 100

Kalimantan Timur 108900 69.97 32900 21.14 13800 8.89 155600 100

Sulawesi Utara 127400 64.82 43000 21.90 26100 13.28 196500 100

Gorontalo 40100 62.00 13200 20.46 11300 17.53 64600 100

Sulawesi Tengah 105800 66.47 32900 20.70 20400 12.83 159100 100

Sulawesi Selatan 434100 63.41 170200 24.86 80300 11.73 684600 100

Sulawesi Barat 31900 40.87 26500 33.93 19600 25.20 78000 100

Sulawesi Tenggara 73500 54.11 42400 31.18 20000 14.71 135900 100

Maluku 67800 67.02 21600 21.37 11700 11.61 101200 100

Maluku Utara 23400 44.67 17200 32.80 11800 22.53 52400 100

Papua 18900 30.52 18300 29.62 24600 39.85 61800 100

Papua Barat 11100 42.33 8900 34.06 6200 23.61 26200 100

(37)

23 Lampiran 2 Persentase penduduk lansia telantar yang memenuhi kriteria

ketelantaran menurut provinsi dan kriteria ketelantaran, 2012

Provinsi X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7

Aceh 83.80 61.81 51.12 68.06 39.77 17.99 28.65

Sumatera Utara 89.25 43.82 56.22 43.00 63.78 6.24 31.53

Sumatera Barat 86.00 44.08 54.84 56.13 60.32 13.39 30.68

Riau 79.42 72.07 58.66 51.17 38.16 11.37 36.93

Kepulauan Riau 93.82 52.75 20.54 61.88 46.35 13.29 19.24

Jambi 94.35 65.95 68.97 42.33 36.59 6.57 29.46

Sumatera Selatan 79.29 62.89 61.20 55.94 55.34 3.44 37.84

Kep. Bangka Belitung 89.86 54.14 14.45 45.72 56.07 8.85 47.38

Bengkulu 90.35 29.36 73.11 74.73 25.83 4.90 31.82

Lampung 89.94 47.37 52.75 61.32 29.74 16.66 40.63

DKI Jakarta 56.56 92.05 34.50 68.52 51.18 4.06 22.89

Jawa Barat 84.88 69.83 59.55 45.28 38.02 8.85 27.21

Banten 97.74 70.10 33.79 53.26 46.45 4.62 40.59

Jawa Tengah 94.56 52.30 29.79 58.48 40.62 15.75 37.12

DI Yogyakarta 90.32 59.19 40.70 43.74 41.01 13.58 36.50

Jawa Timur 91.24 50.93 30.25 64.52 43.71 8.93 39.00

Bali 93.30 31.38 36.61 47.56 76.16 10.76 38.76

Nusa Tenggara Barat 97.65 16.78 58.93 72.83 60.30 13.61 24.54

Nusa Tenggara Timur 89.71 35.40 79.20 48.89 60.02 11.27 32.11

Kalimantan Barat 94.09 56.61 40.23 38.02 56.56 7.32 44.88

Kalimantan Tengah 81.25 59.29 32.93 48.20 63.61 11.82 30.39

Kalimantan Selatan 97.72 66.12 33.93 47.90 35.62 11.54 38.50

Kalimantan Timur 90.79 78.33 19.61 39.16 65.14 7.57 39.40

Sulawesi Utara 74.20 66.31 63.47 54.76 51.54 2.91 32.46

Gorontalo 96.30 44.92 26.51 59.01 57.89 2.94 38.44

Sulawesi Tengah 93.30 41.83 44.52 73.33 54.94 3.64 34.04

Sulawesi Selatan 87.36 65.18 47.42 45.75 50.08 18.85 24.38

Sulawesi Barat 83.14 43.55 42.03 49.86 69.12 16.98 26.82

Sulawesi Tenggara 91.29 58.12 17.25 45.76 54.29 17.85 41.02

Maluku 72.96 65.52 44.15 12.72 74.93 4.00 58.72

Maluku Utara 91.04 75.65 35.68 59.97 34.63 11.68 21.35

Papua 83.23 64.75 63.72 14.40 95.92 5.87 35.46

Papua Barat 73.49 67.83 20.30 15.68 68.02 8.46 74.71

(38)

24

Lampiran 3 Proses pembentukan gerombol dengan metode pautan rata-rata

(average linkage)

Nomor Gerombol

Penggabungan Gerombol Jumlah Objek Jarak Rata-rata antara Gerombol

32 7 24 2 0.1983

31 14 16 2 0.2265

30 8 29 2 0.2658

29 4 12 2 0.2836

28 15 22 2 0.3089

27 2 3 2 0.3418

26 13 CL28 3 0.3857

25 CL29 6 3 0.4073

24 CL27 28 3 0.4233

23 CL31 25 3 0.4509

22 1 10 2 0.5038

21 21 27 2 0.5113

20 5 CL23 4 0.5142

19 CL26 20 4 0.5182

18 CL25 CL32 5 0.5305

17 CL30 23 3 0.5905

16 CL24 17 4 0.5908

15 CL19 CL21 6 0.5938

14 CL20 26 5 0.6089

13 30 33 2 0.6526

12 CL15 31 7 0.6808

11 CL22 CL18 7 0.6912

10 CL14 CL12 12 0.7110

9 CL10 CL17 15 0.7505

8 CL16 19 5 0.7586

7 CL8 18 6 0.8723

6 CL11 CL9 22 0.8876

5 CL6 CL7 28 0.9951

4 CL13 32 3 1.1285

3 CL5 9 29 1.2557

2 CL3 11 30 1.3192

(39)

25 Lampiran 4 Dendogram hasil analisis gerombol dengan metode pautan rata-rata

(average linkage)

Keterangan:

1. Aceh 10. Lampung 19. NTT 28. Sulawesi Barat

2. Sumatera Utara 11. DKI Jakarta 20. Kalimantan Barat 29. Sulawesi Tenggara 3. Sumatera Barat 12.Jawa Barat 21. Kalimantan Tengah 30. Maluku

4. Riau 13. Banten 22. Kalimantan Selatan 31. Maluku Utara 5. Kepulauan Riau 14. Jawa Tengah 23. Kalimantan Timur 32. Papua

6. Jambi 15. DIY 24. Sulawesi Utara 33. Papua Barat 7. Sumatera Selatan 16. Jawa Timur 25. Gorontalo

Gambar

Gambar 1  Diagram batang persentase lansia telantar seluruh provinsi                              di Indonesia tahun 2012
Gambar 4  Biplot kriteria ketelantaran lansia tahun 2012
Tabel 3  Pengelompokan provinsi berdasarkan analisis gerombol
Tabel 4  Nilai F-hitung dan P-value dari hasil analisis ragam*

Referensi

Dokumen terkait

Maka dari itu dapat disimpulkan penggunaan atau penerapan metode eksperimen, yang mana metode tersebut adalah metode yang diharuskan menggunakan percobaan atau

Orang-orang yang telah berani membunuh utusan Allah telah nyata berbuat zalim dengan tidak mau mendengar peringatan dari Allah dan manaati perintah Allah sebagaimana

Serta didapatkan perubahan perilaku emosional, ditandai oleh labilitas emosional, kegembiraan yang dangkal dan tak beralasan (euforia, kejenakaan yang tak sepadan),

Pemetaan dari data persepsi sensoris dilakukan dengan metode Cluster Analysis untuk menghasilkan dendogram yang menunjukkan hasil klaster antar variabel yang terbentuk

Dari perencanaan ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:  Unit pengolahan yang diperlukan untuk mengolah air banjir di Surabaya menjadi air minum adalah unit

Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara tingkat pengetahuan perawat dengan perilaku perawat dalam meminimalkan kecemasan akibat

yang melibatkan sebagian besar dari satu atau kedua rongga pleura. /apat pula terjadi perubahan pleura parietal. =ika nanah yang tertimbun tersebut tidak disalurkan keluar, maka

Indeks kemerataan yang mencapai nilai 1,00 berarti bahwa semua sampel yang ada di stasiun tersebut memiliki jumlah jenis organisme yang sama.. Nilai indeks dominansi