• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kredit Terhadap Produktivitas Sapi Potong Di Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kredit Terhadap Produktivitas Sapi Potong Di Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur."

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KREDIT TERHADAP PRODUKTIVITAS

SAPI POTONG DI KABUPATEN KUPANG

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

MARDIT NIKODEMUS NALLE

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kredit terhadap Produktivitas Sapi Potong di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 15 Desember 2014 Mardit Nikodemus Nalle

(4)

Sapi Potong di Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh RATNA WINANDI dan ANNA FARIYANTI.

Topik dari penelitian berawal dari perkembangan populasi sapi potong di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahun. kontribusi terhadap perkembangan Produk Domestik Bruto dilihat dari populasi sapi potong di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 16 606 803 ekor (BPS 2013) dan dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 44.04 persen dan kontribusi terhadap tenaga kerja sebesar 3.36 kali dari kemampuan terhadap peningkatan Produk Domestik Bruto yang tinggal di pedesaan (BPS 2011). Populasi sapi potong tersebar di enam provinsi di Indonesia yaitu : Provinsi Jawa Timur dengan total populasi sapi potong sebesar 31.89 persen, Provinsi Jawa Tengah dengan total populasi sapi potong 12.59 persen, Provinsi Sulawesi Selatan dengn total populasi sapi potong sebesar 6.63 persen, Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan total populasi sapi potong sebesar 6.03 persen, Provinsi lampung dengan total populasi sapi potong sebesar 5.02 persen dan provinsi Nusa Tenggara Timur dengan total populasi sapi potong sebesar 4.92 persen.

Perkembangan populasi sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur tersebar di 21 kabupaten/kota. Kabupaten Kupang merupakan sala satu kabupaten yang memiliki perkembangbiakan sapi potong di provinsi NTT. Populasi sapi potong di Kabupaten Kupang sebesar 19.42 persen (Ditjennak 2013) dapat memberikan kontribusi terhadap PDRB dan penyerapan lapangan kerja. Namun populasi sapi potong belum memberikan produktivitas yang tinggi terhadap peternak. Hal ini disebabkan kondisi iklim kering dengan musim kemarau yang panjang antara 7-8 bulan, sistem penggemukan yang masih sederhana dengan memanfaatkan pakan dari lahan penggembalaan dan lahan hutan, manajemen pengelolaan ternak yang masih sederhana. Hal ini dapat mengakibatkan produktivitas sapi menurun.

(5)

Metode penelitian dan pengambilan sampel dilakukan secara purposive di Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang Provinsi NTT. Jumlah responden yang diambil sebanyak 76 peternak dengan 38 peternak penerima kredit dan 38 peternak bukan penerima kredit. Variabel penggemukan sapi potong adalah bobot awal sapi, pakan, tenaga kerja, vitamin, obat-obatan, aquades, lama penggemukan, pengalaman beternak, tingkat pendidikan dan kredit. Perhitungan pendapatan peternak penerima kredit dan peternak bukan penerima kredit yaitu ukuran satu ekor dan 38 ekor sapi yang dipelihara peternak selama 259 hari.

Hasil analisis menunjukan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas sapi potong di tingkat penggemukan adalah bobot awal, pakan, vitamin, aquades dan tingkat pendidikan sedangkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh terhadap produktivitas sapi potong adalah tenaga kerja, obat-obatan, lama penggemukan, pengalaman beternak dan kredit. Skala usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Kupang provinsi NTT adalah decreasing return to scale yaitu setiap penambahan faktor produksi dapat meningkatkan pertambahan produksi yang menurun. Hasil analisis uji beda produktivitas sapi potong dan pendapatan peternak antara penerima kredit dan peternak bukan penerima kredit menunjukan bahwa kredit tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot sapi dan penjualan satu ekor sapi namun berpengaruh terhadap pendapatan peternak. Hal ini disebabkan rata-rata pertambahan bobot sapi potong peternak penerima kredit di Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang Provinsi NTT relatif sama dengan peternak bukan penerima kredit namun pendapatan peternak bukan penerima kredit memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada peternak penerima kredit. Hasil kajian mengenai tingkat pendapatan peternak di Kabupaten Kupang untuk penjualan satu ekor sapi potong dengan rata-rata lama penggemukan selama 259 hari di Provinsi NTT menunjukan bahwa pendapatan peternak bukan penerima kredit lebih besar daripada peternak penerima kredit dimana pendapatan peternak penerima kredit menerima pendapatan sebesar Rp 1 910 304 sedangkan pendapatan peternak penerima kredit menerima pendapatan sebesar Rp 461 493 dengan nilai R/C rasio pendapatan peternak penerima kredit sebesar 1.07 dan pendapatan peternak bukan penerima kredit sebesar 1.37.

Perlunya regulasi pemerintah dalam mengatur kebijakan terhadap pemberian kredit kepada peternak di Kabupaten Kupang yaitu bantuan modal sapi yang diberikan minimal dua ekor dengan jangka waktu pengembalian kredit lebih dari 3 tahun, perbaikan infrastruktur terutama irigasi dan jalan untuk meningkatkan akses peternak dalam hal produksi dan penjualan sapi. Kebijakan pemerintah di tingkat usahaternak adalah perlunya memberikan informasi kepada peternak tentang manajemen pengelolaan sapi potong yang tepat di tingkat peternak dan pendampingan bagi kelompok mengenai fungsi dan peran kelompok serta memberikan informasi mengenai harga jual di tingkat peternak. Kebijakan tersebut dapat memberikan pengaruh positif terhadap usahaternak sapi di Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur.

(6)

Kupang Regency-East Nusa Tenggara. Supervised by RATNA WINANDI and ANNA FARIYANTI.

Topics of research originated from the development of beef cattle population in Indonesia has increased every year. Contribution to the development of Gross Domestic Product of beef cattle population in Indonesia in 2013 amounted to 16 606 803 tail (BPS 2013) and it can increase the Gross Domestic Product (GDP) 44.04 percent and the contribution to employment by 3.36 times of the ability to increase product Gross Domestic who live in rural areas (BPS 2011). Beef cattle population spread across six provinces in Indonesia, namely: East Java with a total population of 31.89 percent of beef cattle, Central Java with a total population of 12.59 percent of beef cattle, South Sulawesi with less total beef cattle population amounted to 6.63 percent, West Nusa Tenggara with a total population of beef cattle at 6.03 percent, Lampung with a total population of beef cattle at 5.02 percent and East Nusa Tenggara with a total population of 4.92% of beff cattle.

The development of beef cattle population in the province of East Nusa Tenggara spread over 21 regencys/cities. Kupang Regency is a regency that has a beef cattle breeding in East Nusa Tenggara. Beef cattle population in Kupang regency East Nusa Tenggara at 19.42 percent (Ditjennak 2013) can contribute to GDP and employment absorption. But the beef cattle population has not given a high productivity of the farmers. This is due to the dry climate conditions with a long dry season of 7-8 months, fattening system which is simple to utilize feed from pasture and forest land, livestock management are still modest. This can result in decreased cattle productivity.

Ownership beef cattle ranchers in Kupang regency East Nusa Tenggara affect the income of farmers. The average per capita income of Rp 251 080 communities in which 80.53 percent of the poor located in rural areas to give effect to decrease the productivity of beef cattle in Kupang regency NTT (BPS 2013). Decreased productivity can reduce the income of farmers that have implications for the capital reduction breeder that cause poverty in the province of East Nusa Tenggara greater. The need for government policy as supporting subsystems to enhance the level productivity beef cattle fattening. Government policies that lending in the form of cattle to be bred so that productivity increases cows, beef cattle ownership scale expansion and increased income of farmers in the Kupang regency East Nusa Tenggara. The aim of this study were: (1) analyze the factors of production and the effect of credit on the productivity of beef cattle in Kupang regency East Nusa Tenggara; (2) analyze the income levels of farmers and ranchers beef production efficiency in Kupang Regency East Nusa Tenggara.

(7)

and ranchers not credit recipients receiver is the size of the tail credits and 38 head of cattle ranched maintained for 259 days.

Results of the analysis showed that the factors that affect the productivity of beef cattle in feedlot level is the initial weight, feed, vitamins, distilled and level of education, while factors that do not affect the productivity of beef cattle is labor, drugs, long fattening, breeding experience and credits. Scale fattening beef cattle in the Kupang regency East Nusa Tenggara is decreasing returns to scale that each additional increment of production factors can increase the production decreased. Results of the analysis of different test beef cattle productivity and farmer incomes between credit recipients and non-recipients breeder credit indicates that credit has no effect on weight gain of cattle and sale of one cow but affect the income of farmers. This is due to the average weight gain of beef cattle farmers in Amarasi District credit recipients Kupang regency NTT province is relatively similar to the breeder is not the recipient of credit and income of farmers not credit recipients have higher incomes than farmers credit recipients. A review of the level of income for farmers in Kupang regency sales of beef cows with an average length of fattening for 259 days in NTT showed that farmers income is not greater than the credit receiver receiver breeder breeders income credit where credit recipient receives income of Rp 1 910 304 while the farmer income credit recipient receives income of Rp 461 493 to the value of R / C ratio farmer income 1.07 credit recipients and non-recipients farmer income credit of 1.37.

The need for government regulation in setting policy on the provision of credit to farmers in the Kupang Regency that cows given a minimum of two tails with loan repayment period of more than 3 years, the improvement of infrastructure, especially irrigation and roads to improve access of farmers in terms of production and sales of cattle. livestock level government policy is the need to provide information to farmers about the management of beef cattle are right at the farmer level and assistance to groups about the function and role of the group and provide information regarding the selling price at the farmer level. The policy can be a positive influence on cattle in the district livestock Amarasi District Kupang Regency of East Nusa Tenggara.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

PENGARUH KREDIT TERHADAP PRODUKTIVITAS

SAPI POTONG DI KABUPATEN KUPANG

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

MARDIT NIKODEMUS NALLE

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan anugerah-Nya sehingga tesis yang berjudul Pengaruh Kredit terhadap Produktivitas Sapi Potong di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat diselesaikan. Penulisan ini menjadi syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Magister Sains Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang sudah membantu dalam penulisan tesis di Departemen Agribisnis Pascasarjana khususnya kepada :

1. Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku Ketua Pembimbing dan Dr Ir Anna Fariyanti, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi, dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.

2. Dr Ir Burhanuddin, MM selaku Penguji Program Studi dan Dr Ir Suharno, MAdev selaku Penguji luar komisi pada pelaksanaan ujian sidang dan masukan yang dapat menyempurnaan isi dari penulisan tesis tersebut.

3. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis serta seluruh staf dosen dan karyawan Departemen Agribisnis yang sudah memberikan ilmu dalam proses kuliah dan membantu dalam hal pelayanan administrasi sehingga proses pembuatan tesis berlangsung dengan baik. 4. Instansi terkait di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Pemerintah Kabupaten

Kupang dan Kantor Kecamatan Amarasi yang sudah memberikan kemudahan dalam proses pengambilan data di Kecamatan Amarasi.

5. Bagi teman-teman Angkatan II MSA yang sudah memberikan masukan buat penulisan dan pengolahan data Tesis.

6. Ucapan terima kasih juga buat Sponsor Beasiswa Unggulan (BU BPKLN) yang sudah membantu meringankan beban dalam studi di kampus IPB selama dua tahun.

7. Penghargaan yang setinggi-tingginya kepada almarhuma Ibu Mathilda Mailau dan Bapak Z.A.Nalle serta Saudara yang sudah memberikan dukungan moral dan materi sehingga dapat menyelesaikan pendidikan dengan penuh perjuangan. Hanya Yang Maha Kuasa yang mampu membalas atas kebaikan kalian.

(14)

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

TINJAUAN PUSTAKA 8

Penggemukan Sapi di Provinsi Nusa Tenggara Timur 8

Hasil Penelitian terdahulu 12

Teori Produksi 18

Bentuk-Bentuk Fungsi Produksi 22

Skala Usaha dan Efisensi Produksi 25

Pengaruh Kredit terhadap Usahaternak Sapi 27

Konsep Pendapatan Usahatani 31

Kerangka Pemikiran Operasional 33

METODE PENELITIAN 36

Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian 36

Metode Penentuan Sampel 36

Jenis Dan Sumber Data 37

Metode Analisis Data 38

Analisa Pendapatan Sapi Potong 41

Definisi Konsepsional dan Pengukuran Variabel 43

KEADAAN UMUM WILAYAH 44

Keadaan Umum Wilayah Kecamatan Amarasi 44

Jenis Pekerjaan dan PDRB di Kecamatan Amarasi 45

Populasi Sapi Potong di Kecamatan Amarasi 48

Perkembangan Kredit di Kecamatan Amarasi 49

Identifikasi peternak di Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang 51

Sistem Peternakan di Kecamatan Amarasi 53

Bobot Sapi Penggemukan di Kecamatan Amarasi 54

Faktor-Faktor Produksi Fisik Sapi Potong 56

ANALISIS PRODUKTIVITAS SAPI POTONG 67

Fungsi Produksi Cobb Douglas 67

Analisis Skala Usaha 72

Elastisitas Produksi 73

Efisiensi Produksi dan Nilai Produk Marginal 74

Pengaruh Kredit terhadap Produktivitas dan Pendapatan Peternak 76

Analisis Pendapatan Penggemukan Sapi Potong 78

Kebijakan Pemerintah di Kabupaten Kupang 84

KESIMPULAN DAN SARAN 86

Kesimpulan 86

(15)

DAFTAR TABEL

1 Sebaran penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan Amarasi

tahun 2011. 46

2 Sebaran persentase PDRB berdasarkan lapangan usaha di Kecamatan

Amarasi tahun 2009-2011. 47

3 Sebaran luas lahan dan populasi sapi potong di Kecamatan Amarasi

tahun 2009-2011. 48

4 Sebaran nilai pinjaman berdasarkan kelompok ternak di Kecamatan

Amarasi 2011 49

5 Sebaran jumlah peternak berdasarkan karakteristik di Kecamatan

Amarasi tahun 2013 52

6 Sebaran jumlah peternak berdasarkan usaha, luas lahan dan sistem

peternakan di Kecamatan Amarasi tahun 2013 53

7 Sebaran bobot dan lama penggemukan sapi potong di Kecamatan

Amarasi tahun 2013. 55

8 Nilai maksimum dan nilai minimum sapi potong peternak penerima kredit dan peternak bukan penerima kredit di Kecamatan Amarasi 56 9 Sebaran luas lahan dan rata-rata luas lahan di Kecamatan Amarasi tahun

2013 61

10 Sebaran jam kerja terhadap deskripsi pekerjaan di Kecamatan Amarasi

tahun 2013 63

11 Jadual kegiatan penggemukan sapi potong di Kecamatan Amarasi 64 12 Hasil analisis fungsi produksi Cobb-Douglas penggemukan sapi potong

di Kecamatan Amarasi 67

13 Nilai produk marginal (NPM) dan harga faktor Produksi (Pxi) dari

penggemukan sapi potong di Kecamatan Amarasi 75

14 Uji beda produktivitas dan pendapatan peternak sapi potong di

Kecamatan Amarasi 77

15 Rata-rata pendapatan peternak sapi potong penerima kredit di

Kecamatan Amarasi 80

16 Rata-rata pendapatan sapi potong peternak bukan penerima kredit di

Kecamatan Amarasi 83

DAFTAR GAMBAR

1 Populasi sapi potong di Indonesia tahun 2000-2013 2 2 Populasi sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur 3 3 Populasi sapi potong di Kabupaten Kupang Provinsi NTT 3 4 Status penguasaan ternak sapi potong di Kabupaten Kupang-NTT 7 5 Rumah tangga pemelihara sapi berdasarkan tujuan pemeliharaan di

Provinsi Nusa Tenggara Timur. 11

(16)

8 Pengaruh kredit terhadap produksi 30 9 Faktor produksi terhadap produksi sapi potong di Kecamatan Amarasi 34 10 Kebijakan pemerintah terhadap produktivitas sapi potong di Kabupaten

Kupang 35

11 Peta Kecamatan Amarasi 36

12 Kerangka pengambilan sampel peternak di Kecamatan Amarasi 37

13 Wilayah kritis uji Durbin Watson 40

14 Mekanisme penyaluran POKMAS di Kabupaten Kupang. 51 15 Sebaran pertambahan bobot terhadap bobot awal sapi potong di

Kecamatan Amarasi. 57

16 Sebaran pertambahan bobot badan sapi terhadap pakan yang dikonsumsi

di Kecamatan Amarasi 57

17 Sebaran tenaga kerja terhadap pertambahan bobot sapi potong di

Kecamatan Amarasi 58

18 Sebaran vitamin dan obat-obatan di Kecamatan Amarasi 59 19 Pengemukan sapi bakalan di Kecamatan Amarasi 60 20 Konsumsi pakan sapi potong di Kecamatan Amarasi 60

21 Sistem peternakan di Kecamatan Amarasi. 62

22 Penjualan sapi potong peternak penerima kredit dengan peternak bukan

penerima kredit di Kecamatan Amarasi. 65

23 Distribusi normal penggemukan sapi di Kabupaten Kupang 69

DAFTAR LAMPIRAN

1 Analisis pendapatan peternak penerima kredit di Kabupaten Kupang

Provinsi NTT 94

2 Analisis pendapatan peternak bukan penerima kredit di Kabupaten

Kupang Provinsi NTT 95

3 Faktor-faktor produksi sapi potong 96

4 Uji beda kredit terhadap produktivitas dan pendapatan peternak selama

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan ekonomi suatu bangsa merupakan indikator untuk mengukur peningkatan jumlah barang dan jasa yang diproduksi per kapita. Salah satu tujuan dari pembangunan ekonomi adalah pembangunan pertanian yang mengkaitkan antara subsektor hulu, subsektor proses produksi, subsektor hilir, subsektor processing dan marketing serta subsektor penunjang (Saragih 2010a). Kondisi ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah khususnya di sektor pertanian.

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor riil yang dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia. Peranan sektor pertanian memberikan pengaruh antara lain : (1) memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 13.1 persen; (2) menyerap tenaga kerja sebesar 44.04 persen dengan kontribusi tenaga kerja sebesar 3.36 kali dari kemampuan peningkatan Produk Domestik Bruto yang tinggal di daerah pedesaan (BPS 2011). Pengaruh perkembangan sektor pertanian memberikan peluang ekonomi dalam jangka panjang sehingga perkembangan ekonomi dapat mengalami peningkatan setiap tahun terutama berkontribusi terhadap pertumbuhan di sektor ril.

Salah satu kontribusi sektor pertanian terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah adalah subsektor peternakan. Visi pemerintah dalam pembangunan subsektor peternakan adalah : (1) meningkatkan produksi ternak dan produk peternakan serta kesehatan hewan yang berdaya saing; (2) mengendalikan penyakit menular strategis dan penyakit zoonis; (3) menyediakan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH); (4) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak (Ditjennak 2012). Program pembangunan peternakan diharapkan dapat meningkatkan pasokan daging skala nasional dengan meningkatkan produktivitas sapi potong di dalam negeri.

(18)

0 4000000 8000000 12000000 16000000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

ek

or

Tahun

tangga peternak, perusahaan, pemerintah dan lembaga swasta yang memiliki kontribusi terhadap peningkatan produktivitas sapi potong.

Indonesia merupakan negara penghasil sapi potong yang mengalami peningkatan populasi sapi dari tahun 2000-2013. Populasi ternak sapi potong dari tahun 2000-2013 mencapai 16 606 807 dengan persentase populasi sebesar 9.64 persen (Ditjennak 2013). Peningkatan populasi sapi potong ditunjukan dari pola perkembangbiakan ternak sapi potong di tingkat on farm dan memberikan peningkatan terhadap produktivitas, memberikan peluang kesempatan kerja bagi peternak, mengurangi ketergantungan terhadap impor dan memperkuat sistem agribisnis yang kuat di dalam negeri. Populasi sapi potong di Indonesia tahun 2000-2013 dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Populasi sapi potong di Indonesia tahun 2000-2013 Sumber : Ditjennak 2013; Keterangan : (*) Angka sementara

Populasi sapi potong tersebar di tiga puluh empat provinsi di Indonesia. Ada enam provinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong tertinggi yaitu : (1) Provinsi Jawa Timur dengan total populasi sapi potong sebesar 5 058 853 ekor (31.89 persen), (2) Provinsi Jawa Tengah dengan total populasi sapi potong sebesar 2 092 436 ekor (13.07 persen), Provinsi Sulawesi Selatan dengan total populasi sapi potong sebesar 1 152 053 ekor (6.63 persen), (4) Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan populasi sapi potong sebesar 1 002 503 ekor (5.24 persen), (5) Provinsi Lampung sebesar 834 154 ekor (5.02 persen), (6) Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 817 708 ekor (4.92 persen) (Ditjennak 2013). Kenaikan populasi sapi potong diharapkan dapat meningkatkan penerimaan yang tinggi sehingga kesejahteraan peternak meningkat.

(19)

0 60000 120000 180000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

ek

or

Kabupaten/Kota

0 400000 800000 1200000

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

ek

or

Tahun

Gambar 2 Populasi sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur Sumber : Ditjennak 2013; Keterangan :* Angka sementara

Penyebaran populasi sapi potong tersebar di dua puluh satu kabupaten/kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ada empat wilayah populasi sapi potong terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu : (1) Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan total populasi sapi potong sebesar 175 554 ekor (21.55 persen), (2) Kabupaten Kupang dengan total populasi sapi potong sebesar 158 208 ekor (19.42 persen), (3) Kabupaten Belu dengan total populasi sapi potong sebesar 116 294 ekor (14.27 persen), (4) Kabupaten Timor Tengah Utara dengan total populasi sapi potong sebesar 103 168 ekor (12.66 persen). Hal ini disebabkan kondisi wilayah memiliki padang rumput yang sebagai persediaan pakan ternak, iklim dengan rata-rata curah hujan yang rendah dan masyarakat sudah membudidayakan sapi potong untuk kebutuhan pokok keluarga dan tabungan. Populasi sapi potong di dua puluh satu kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Populasi sapi potong di Kabupaten Kupang Provinsi NTT Sumber : BPS 2013

Keterangan ; Kab. Kupang (3); Kab. TTS (4); Kab. belu (6), (5) Kab.TTU.

(20)

miskin pedesaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2012 sebesar 22.41 persen mengalami peningkatan menjadi 22.69 persen pada tahun 2013. Pendapatan perkapita penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur berdasarkan harga berlaku sebesar Rp 7 569 168 lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan perkapita nasional yaitu mencapai Rp 9 798 899.43 dan rata-rata pendapatan perkapita perbulan pada tahun 2013 sebesar 251 080 pe bulan (BPS 2013). Dari total pendapatan perkapita yang diperoleh penduduk miskin maka 80.53 persen penduduk miskin berprofesi sebagai petani tinggal di pedesaan.

Penggambaran rendahnya pendapatan peternak di wilayah Kabupaten Kupang memberikan pengaruh pertumbuhan ekonomi di pedesaan menurun. Menurut Halcrow (1981) penyebab pendapatan dari usahaternak rendah adalah : (1) secara relatif terjadinya penurunan harga produk-produk peternakan akibat kenaikan produktivitas peternakan dimana produktivitas sapi potong tinggi harga sapi menurun di tingkat peternak; (2) perbedaan tingkat kenaikan produktivitas dan akumulasi modal diantara para peternak terjadi pada saat produktivitas sapi meningkat maka pendapatan meningkat namun tambahan biaya yang lebih besar menyebabkan pendapatan yang diterima menurun. Hal ini disebabkan modal yang diperoleh belum memberikan tambahan terhadap produktivitas sapi potong di Kabpaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Menurut Voldes dan Foster (2010) potensi penduduk miskin di wilayah pedesaan disebabkan jumlah anggota keluarga yang ada dalam suatu rumah lebih dari enam orang dalam suatu rumah tangga dengan tingkat pendidikan yang rendah yang menyebabkan pendapatan perkapita rendah.

Pengaruh peningkatan produktivitias sapi potong di tingkat penggemukan memerlukan dukungan dan partisipasi pemerintah dan lembaga keuangan formal maupun informal untuk pembiayaan peternak sapi potong di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal ini disebabkan modal sendiri (equity capital) yang dimiliki peternak mempunyai kekuatan yang lemah dalam mengembangkan usahaternak sapi potong di Kabupaten Kupang. Perlunya bantuan modal sapi memberikan kesempatan bagi peternak untuk mengembangkan kegiatan produktif di tingkat on farm (Mubyarto 1989). Banyaknya peternak di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan skala kepemilikan sapi potong hingga empat ekor menyebabkan mereka belum memberikan tambahan pendapatan. Proses produksi dari penggunaan input yang rendah mengakibatkan pendapatan petani rendah. Program pemerintah menyalurkan kredit dalam bentuk sapi bakalan di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur diharapkan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan di tingkat peternak serta pengembangan skala usaha dalam jangka panjang.

(21)

akses modal peternak untuk meningkatkan pendapatan dan produktivitas ternak sapi potong di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Pentingnya kebijakan pemerintah menyalurkan kredit atau bantuan modal bagi peternak menjadi hal yang penting. Program kredit atau bantuan modal dengan bunga relatif rendah dapat membantu pembiayaan peternak dalam meningkatkan produktivitas dan memperluas skala usaha dalam jangka panjang. Menurut Mubyarto (1989) dan Debertin (1986) petani yang menggunakan kredit dapat meningkatkan faktor-faktor produksinya pada tingkat yang optimal sehingga dapat meningkatkan keuntungan yang maksimal. Menurut Simatupang dan Rachmat (1989); Rini (2004) kredit sangat dibutuhkan dalam meningkatkan input produksi usahatani sehingga produktivitas yang dihasilkan lebih optimal. Kondisi optimal memberikan peluang dalam meningkatkan input per satuan produksi sehingga output yang dihasilkan juga optimal. Penggunaan kredit dalam bentuk bantuan sapi potong perlu dikaji dari segi bentuk penyaluran dan besarnya sapi bakalan yang diberikan. Hal ini memberikan harapan terhadap peternak untuk melakukan kegitan yang produktif meskipun belum bankable namun layak diberikan. Program pemerintah yang tepat sasaran diharapkan memberikan pengaruh peningkatan produktivitas sapi potong sehingga dapat meningkatkan pendapatan peternak di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Perumusan Masalah

Peranan subsektor peternakan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi hal yang penting. Distribusi penyaluran PDRB Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk subsektor peternakan atas dasar harga yang berlaku pada tahun 2012 sebesar 8.34 persen lalu menurun pada tahun 2013 menjadi 5.40 persen dan dilihat berdasarkan harga konstan (2000 sebagai tahun dasar) maka distribusi penyaluran subsektor peternakan terhadap PDRB pada tahun 2012 sebesar 17.09 persen menurun hingga tahun 2013 yang mencapai 16.79 persen (BPS 2014). Pertumbuhan ekonomi subsektor peternakan dan hasil-hasilnya terhadap Produk Domestik Regional Bruto di Kabupaten Kupang Provinsi NTT atas dasar harga konstan mengalami pertumbuhan yang fluktuaktif dari tahun 2011-2013 dimana pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi subsektor peternakan dan hasil-hasilnya mencapai 1.65 persen. Namun pada tahun 2012 pertumbuhan ekonomi subsektor peternakan di Kabupaten Kupang mengalami penurunan sebesar 1.26 persen kemudian meningkat pada tahun 2013 yaitu sebesar 2.82 persen.

(22)

konsentrat dapat berlangsung lebih singkat yaitu antara 3-4 bulan (Sarwono dan Arianto 2002b). Hal ini memberikan pengaruh terhadap rendahnya produktivitas ternak sapi potong di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur terutama di tingkat penggemukan sapi.

Rendahnya usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Kupang mengakibatkan pendapatan peternak di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur rendah. Produktivitas yang rendah mengakibatkan penerimaan dan pendapatan di subsektor peternakan rendah. Perlunya kebijakan pemerintah dan swasta untuk membantu peternak dalam membudidayakan sapi potong di Kabupaten Kupang untuk meningkatkan pendapatan peternak. Bantuan modal kredit dari pemerintah maupun swasta baik dari lembaga keuangan formal mupun lembaga keuangan informal diperlukan untuk meningkatkan bobot badan sapi selama periode penggemukan sapi potong di Kabupaten Kupang.

Sistem penggemukan yang masih sederhana dengan pemanfaatan pakan yang berasal dari lahan penggembalaan menjadi pertimbangan penting terhadap peningkatkan produktivitas sapi potong. Selain itu masyarakat di Kabupaten Kupang sebagian besar berprofesi sebagai peternak mendapat peluang untuk mengembangkan sapi potong dan meningkatkan skala usaha. Program bantuan modal yang diberikan pemerintah kepada peternak diharapkan dapat membantu pembiayaan bagi peternak dalam meningkatkan produktivitas sapi potong di tingkat penggemukan, memberikan kesejahteraan peternak dan membantu program pemerintah dalam upaya membatasi impor daging dari luar negeri.

Penggunaan kredit untuk pembelian peralatan kandang dan biaya vaksin terhadap penggemukan sapi potong di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi hal yang penting. Hasil penelitian Rini (2004) menunjukan bahwa perlunya petani memerlukan tambahan modal untuk kegiatan usahatani sehingga produktivitas padi meningkat. Menurut Mubyarto (1989) dan Taylor et al. (1986) penggunaan kredit dalam bentuk bantuan modal sapi bagi peternak dapat meningkatan output produksi. Modal peternak pada skala kecil dengan kepemilikan sapi kurang dari empat ekor memberikan pengaruh terhadap alokasi penggunaan input produksi sapi potong. Meskipun perluasan skala usaha bagi peternak di Kabupaten Kupang berlangsung lama namun pengembangkan kegiatan produktif di subsektor peternak perlu dilakukan secara berkelanjutan.

Program kredit diharapkan memberikan pengaruh yang besar bagi peternak di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Alokasi program kredit modal kerja bagi peternak di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami tren yang fluktuatif. Penggunaan kredit di Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk sektor riil oleh lembaga perbankan sebesar 8.556 miliar rupiah (Kemenko Ekon 2011). Namun perkembangan kredit modal kerja tersebut diprioritaskan kepada sektor perdagangan daripada subsektor peternakan. Hal ini disebabkan penyaluran kredit peternak memiliki resiko pengembalian tinggi sehingga lembaga keuangan formal seperti perbankan tidak menyalurkan kredit bagi subsektor peternakan khususnya peternak di Kabupaten Kupang.

(23)

0 30000 60000 90000

1 2 3 4

ek

or

Status penguasaan ternak

Tenggara Timur. Status penguasaan ternak sapi potong terbesar di Kabupaten Kupang adalah bagi hasil dengan jumlah bantuan sebanyak 17 780 ekor (68.88%) kemudian diikuti oleh pemerintah dengan jumlah bantuan 3 959 ekor (15.33%), pihak swasta dengan jumlah bantuan sebanyak 2 142 ekor (8.29%) dan pihak lainnya dengan jumlah bantuan sebanyak 1 931 ekor (7.5%) (BPS 2011). Hal ini memberikan harapan bagi peternak di tingkat usahaternak sapi potong skala kecil terhadap peningkatan pendapatan dan modal usaha di tingkat on farm. Dalam jangka pendek peternak yang kekurangan modal menjadi buruh tani namun dalam jangka panjang peternak dapat memperluas skala usaha menjadi bentuk perhatian dari lembaga terkait baik dari pemerintah dan swasta. Status penguasaan ternak sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Kupang dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Status penguasaan ternak sapi potong di Kabupaten Kupang-NTT Sumber : BPS 2011; keterangan : Merah (NTT) dan biru (Kab.Kupang)

Sapi potong sebagai komoditi unggulan di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur diharapkan dapat meningkatkan pendapatan peternak di Kabupaten Kupang Provinsi NTT. Keunggulan komparatif sapi potong di Kabupaten Kupang Provinsi NTT belum memberikan kesejahteraan peternak akibat besarnya biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan produksi. Ukuran pendapatan perkapita bagi penduduk yang tinggal di pedesaan perlu diberikan bantuan modal sapi potong dengan program pembimbingan yang tepat sehingga peternak dapat mengalokasikan kredit untuk kegiatan produktif. Rata-rata pendapatan perkapita peternak di Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya berkisar Rp 300 000-Rp 800 000 perbulan menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan skim kredit yang tepat dalam penggunaan input secara produktif (BPS 2013). Tingkat pendapatan perkapita di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada pada tahun sebesar Rp 251 080 per bulan (BPS 2013). Hal ini menjadi ukuran dalam penggunaan kredit dalam bentuk bantuan modal yang diberikan pemerintah kepada peternak di Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur.

(24)

tingkat penggemukan di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur penting sehingga pendapatan peternak meningkat.

Dari latar belakang masalah di atas didapatkan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah penggunaan faktor-faktor produksi dan kredit berpengaruh terhadap penggemukan sapi potong di Kabupaten Kupang Provinsi NusaTenggara Timur?

2. Bagaimana efisiensi produksi dan pendapatan peternak sapi potong di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur ?

Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah tersebut didapatkan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Menganalisis faktor-faktor produksi dan pengaruh kredit terhadap

produktivitas sapi potong di Kabupaten Kupang-Nusa Tenggara Timur.

2. Untuk menganalisis tingkat pendapatan peternak dan efisiensi produksi sapi potong di Kabupaten Kupang-Nusa Tenggara Timur.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak sebagai berikut:

1. Bagi peneliti, manfaat dari penelitian ini dapat menjadi sumber informasi mengenai produktivitas dan kredit serta menjadi bahan penelitian lanjutan dalam menganalisis permintaan dan penawaran kredit khususnya di tingkat peternak di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur.

2. Bagi pemerintah, pentingnya informasi terhadap kebijakan alokasi modal yang tepat bagi peternak terhadap bantuan modal atau kredit sehingga penggunaan kredit dapat meningkatkan produktivitas sapi potong dan pendapatan peternak di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur.

TINJAUAN PUSTAKA

Penggemukan Sapi di Provinsi Nusa Tenggara Timur

(25)

Sistem peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada umumnya adalah sistem pasture fattening yaitu sapi yang digembalakan di padang penggembalaan sepanjang hari. Namun sesuai dengan perkembangan dan perluasan informasi mengenai manajemen ternak sapi maka sistem penggemukan sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu : (1) sistem dry lot fattening yaitu penggemukan sapi dengan dilakukan melalui proses perkandangan dengan pemberian pakan dan konsentrat dengan perbandingan berkisar 40:60 atau 20:80. Sistem penggemukan tersebut sangat ideal untuk peningkatan bobot sapi dalam periode waktu lebih singkat (2-3 bulan) Sarwono dan Arianto (2001a); (2) sistem Penggembalaan (Pasture Fattening) yaitu sapi yang digembalakan di lahan penggembalaan dengan pemanfaatan pakan yang berasal dari alam seperi rumput-rumputan, kingres (rumput raja), rumput gajah, lamtoro dan tanaman hutan lainnya untuk meningkatkan pertambahan bobot badan. Umumnya sistem penggembalaan kurang efektif dalam peningkatan bobot badan. Menurut Sarwono dan Arianto (2001a) bahwa sistem penggemukan sapi dengan penggembalaan menyebabkan pertambahan bobot sapi berlangsung lama hingga 1-2 tahun daripada pola perkandangan. Hal ini disebabkan sapi yang sering bergerak dapat mengeluarkan energi jauh lebih besar daripada sapi yang dikandangkan; (3) sistem kombinasi dry lot fattening dan pasture fattening yaitu sistem penggemukan dengan pola pemberian pakan di penggembalaan dengan memanfaatkan pakan dari alam dan juga insentif pemberian konsentrat saat sapi dikandangkan. Sistem ini dapat memberikan keuntungan terhadap penggemukan sapi potong yang relatif lebih singkat; (4) sistem Kreman yaitu sistem penggemukan yang sama dengan sistem penggemukan dry lot fattening namun yang membedakan tergantung pada kondisi alam pengelolaan masih sederhana, pemanfaatan lahan hijuan lebih dominan ketika musim hujan, pemberian konsentrat lebih dominan saat musim kemarau dan pengelolaan ternak masih sederhana dengan menggunakan peralatan yang seadanya.

Manajemen peternakan sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih dilakukan secara sederhana tanpa mempertimbangkan pengaruh suhu dan lingkungan untuk mengembangbiakan ternak sapi. Menurut Nulik et al. 2004 bahwa sistem penggemukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur rendah dengan rata-rata pertambahan bobot sapi potong 0.1-0.2 kg/hari sedangkan kondisi normal untuk penggemukan sapi tanpa penggunaan konsentrat dapat menghasilkan rata-rata pertambahan bobot badan 0.3-0.6 kg/hari (Sarwono dan Arianto 2001). Penggunaan peralatan sederhana, kontrol hewan yang kurang efektif, dan pemberian vitamin dan obat-obatan yang kurang tepat memberikan peluang terhadap resiko pemeliharaan ternak sapi.

(26)

yaitu usaha pemeliharaan ternak sapi potong dengan hasil produksi (output) yang diberikan selama periode penggemukan. Penggunaan input produksi ditambah dengan lingkungan yang cocok terhadap kondisi sapi dan mutu genetik dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dalam waktu relatif singkat.

Pemanfaatan sisitem agribisnis di Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat bergerak dari sistem agribisnis hulu hingga hilir dengan dukungan dari supporting system agribisnis baik dari pemerintah (kebijakan penelitian dan pengembangan, pembiayaan dalam permodalan). Pengembangan agribisnis hulu dilakukan untuk pengembangkan pembibitan sapi dengan mencari bibit sapi unggul untuk dibudidayakan di tingkat penggemukan. Ciri-ciri bibit sapi yang unggul adalah unggul dalam hal produksi (bobot akhir meningkat), ketahanan penyakit, adaptasi, pemeliharaan, dan mencerna pakan (Sugeng 2001).

Kegiatan agribisnis on farm jenis sapi potong yang dibudidayakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sapi bali, sapi ongole dan sapi madura. Namun di tingkat rumah tangga ternak maka jenis sapi yang dibudidayakan adalah sapi bali. Perbedaan ciri dari sapi bali jantan dan sapi bali betina dapat dijelaskan sebagai berikut : (a) Sapi jantan memiliki ciri-ciri yaitu pada sapi dewasa berwarna hitam dengan kepala yang lebar, otot di bagian leher terlihat kompak dan kuat, dada lebar dan berdaging tebal, pantat putih berbentuk setengah bulan dan ujung ekor berwarna hitam, bagian lutut ke bawah berwarna putih; (b) sapi betina memiliki ciri-ciri sebagai berikut : berwarna merah, kepala panjang, halis dan sempit, tanduk kecil dan pendek, lehernya ramping, di bagian punggung terdapat garis putih seperti belut, pantat berwarna putih dan berbentuk setengah bulan, bagian lutut ke bawah berwarna putih, ujung ekor berwarna hitam (Sarwono dan Arianto 2002).

Pola pengembangbiakan sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat melibatkan beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang berpengaruh terhadap perkembangbiakan sapi bali adalah potensi genetik, umur, jenis kelamin, lokasi anatomi daging dan kesehatan ternak sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh terhadap perkembangbiakan sapi bali adalah pakan ternak, perlakuan saat sebelum disembelih, kebersihan tempat dan alat-alat penyembelihan, perlakuan mulai pengangkutan sampai ke tempat tujuan. Proses penggemukan sapi bali jantan dapat mencapai bobot hingga 450 kg sedangkan pada sapi bali betina dapat mencapai bobot 250-300 kg dengan persentase karkas mencapai 57 persen (Sarwono dan Arianto 2002)

(27)

0 60000 120000 180000

1 2 3 4

or

an

g

Tujuan pemeliharaan

Rumah tangga ternak memainkan peran yang besar dalam budidaya ternak sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur baik untuk kegiatan pengembangbiakan sapi, penggemukan, pembibitan, perdagangan. Jumlah rumah tangga yang memelihara sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan tujuan untuk pengembangbiakan berjumlah 153 629 rumah tangga, untuk penggemukan berjumlah 60 407 rumah tangga, untuk perdagangan 6 636 rumah tangga dan lainnya 227 rumah tangga. Pada tingkat kabupaten/kota bahwa jumlah rumah tangga yang membudidayakan sapi potong di Kabupaten Kupang untuk tujuan pengembangbiakan berjumlah 19 778 rumah tangga, untuk tujuan penggemukan berjumlah 10 756 rumah tangga, untuk tujuan pembibitan berjumlah 1 778 rumah tangga, untuk tujuan perdagangan berjumlah 19 rumah tangga (BPS 2011). Jumlah sapi potong berdasarkan tujuan pemeliharaan di tingkat rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Rumah tangga pemelihara sapi berdasarkan tujuan pemeliharaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Sumber : BPS 2011; keterangan : Kuning (Provinsi NTT); Biru (Kab.Kupang) Sistem penggemukan sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur dilakukan melalui sistem perkandangan dengan program semi intensif yaitu menggembalakan sapi pada siang hari dan mengikat sapi di kandang untuk tempat perteduhan pada malam hari. Sapi potong yang digemukan untuk dijual adalah sapi jantan sedangkan pada sapi betina dikembangbiakan dengan tujuan menghasilkan bibit sapi. Hasil penelitian Ninu (2006) menunjukan sapi jantan yang digemukan mempunyai karkas yang lebih tinggi sehingga tingkat produktivitas sapi jantan lebih besar daripada sapi betina namun mutu daging sapi jantan dan betina adalah sama.

(28)

yaitu peternak mengusahakan pertanian campuran dengan ternak dan tingkat pendapatan dari peternakan sebesar 30-70%; 3) peternakan sebagai usaha pokok yaitu peternak mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dengan tingkat pendapatan mencapai 70-100%; 4) peternakan sebagai skala industri dengan tingkat pendapatan dari usaha peternakan mencapai 100%.

Penguasaan lahan bagi peternak di Kabupaten Kupang-Nusa Tenggara Timur dapat memberi pengaruh dalam mengembangkan kegiatan ternak sapi di tingkat on farm. Namun penggunaan lahan dengan status pengenaan pajak bumi dan bangunan bagi peternak skala kecil dapat menjadi beban peternak. Menurut Saragih (2010a) bahwa penghapusan kredit diharapkan dapat memberikan harapan dalam mengembangbiakan ternak sapi sehingga beban peternak skala kecil dapat dikurangi. Penambahan bantuan subsidi dan modal dapat memberikan harapan dan pengaruh yang positif untuk kegiatan produktif ternak sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemberian subsidi atau bantuan modal harus melalui proses pendampingan dan penyuluhan sehingga penggunaan modal dapat meningkatkan pendapatan peternak di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Hasil Penelitian terdahulu

Kajian Empiris Usahaternak Sapi

Hasil penelitian Arfa’i (199β) menunjukan bahwa analisis fungsi produksi diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) 0,8091 yaitu pertambahan bobot badan sapi selama pemeliharaan dapat dijelaskan oleh jumlah pemberian konsentrat, jumlah pemberian hijauan dan bangsa sapi yang dipelihara namun penggunaan faktor produksi secara ekonomis belum efisien. Hasil Penelitian Sidauruk et al. (2001) menunjukan bahwa faktor-faktor produksi yang mempengaruhi hasil pokok usahaternak sapi potong di Bekasi Provinsi Jawa Barat (Studi Kasus di PT Lembu Jantan Perkasa) adalah bobot badan awal (X1), pakan hijauan (X2),

konsentrat (X3), dan lama pelihara (X4). Namun dilihat dari efisiensi teknis

penggemukan sapi potong terhadap penggunaan hijau dan konsentrat efisien sedangkan bobot badan awal dan lama pelihara tidak efisien secara teknis. Kondisi ini dapat dilakukan dengan perlakuan input produksi vital terhadap input yang kurang vital untuk mengurangi cost sehingga menghasilkan keuntungan yang maksimal.

Hasil penelitian Manurung (1995) menunjukan bahwa penggunaan ransum dapat meningkatkan bobot badan sapi potong namun jenis ransum yang diberikan pada sapi potong memberikan hasil kenaikan yang berbeda antara ransum glisirilida, lamtoro, urea dan kaliandra. Secara ekonomis penggunaan ransum dapat meningkatkan kadar protein dalam daging yang memberikan harapan besar terhadap pengemukan ternak sapi. Hasil penelitian Ninu (2006) bahwa mutu sapi bali berjenis kelamin jantan dan betina dapat dilihat dari nilai keempukan daging, nilai pH daging, susut masak, daya mengikat air, daya lemak dan warna. Hasil ini menunjukan bahwa mutu daging sapi bali jantan dan betina umumnya sama.

(29)

besar mencapai keuntungan maksimum daripada peternak dengan skala usaha menengah ke bawah. Hasil penelitian Mayer dan Rodriguess (1994) menunjukan faktor penentu terhadap pembangunan domba di dataran tinggi Balochistan pada skala besar adalah faktor biologi, faktor teknis, ekonomi dan sosial. Hal ini dapat berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan peternak di wilayah tersebut. Hasil penelitian dari Mulatish et al. (2001) menunjukan bahwa waktu yang dibutuhkan peternak dalam memelihara induk bibit per hari rata-rata 0,458 HOK dibantu dengan mesin chopper. Dalam penelitian tersebut menunjukan rata-rata pertambahan pendapatan peternak di tingkat pembibitan mencapai Rp 914 533 per bulan dengan modal mencapai Rp 45 799 400 sedangkan di tingkat penggemukan rata-rata pendapatan peternak mencapai Rp 1 271 226 dengan modal awal hanya mencapai Rp 32 622 100. Hal ini menunjukan bahwa usaha penggemukan sapi potong lebih menguntungkan daripada usaha pembibitan sapi perah.

Hasil penelitian Noferdiman dan Novra (2001) menunjukan kontribusi usahaternak sapi di Provinsi Sumatera Selatan dengan pola usahatani keluarga masih dapat ditingkatkan sehingga orientasi usahaternak sapi potong dari skala keluarga dan usaha sambilan menjadi usaha pokok terhadap cabang usaha. Menurut Saragih (2010a) bahwa usahaternak sapi potong menjadi bentuk cabang usahaternak sapi jika usaha tersebut memberikan kontribusi antara 30-70 persen sedangkan untuk skala usaha kecil hanya memberikan kontribusi kurang dari 30 persen. Dampak dari pola usahaternak sapi potong mampu memberikan keuntungan maksimum terhadap penggunaan faktor produksi dan pendapatan peternak yang semakin meningkat.

Pola usahaternak sapi merupakan bagian dari usaha agribisnis untuk jangka panjang. Program pengembangkan melalui pola usaha investasi ternak sapi dengan konsep manajemen dan penggunaan teknologi sebagai indikator dalam usahaternak sapi. Hasil penelitian Nurfitri (2008) menunjukan pola pemeliharaan ternak sapi pada peternak dilakukan melalui sistem perkandangan, pengembangbiakan sapi melalui sistem inseminasi buatan (IB) dan ketersediaan pakan di wilayah penelitian cukup baik namun manajemen peternak kelas madya lebih maju daripada kelas pemula dan lanjut untuk skor jenis sapi yaitu sebesar 353 persen lebih besar dari skala pemula 243 persen dan skala lanjut sebesar 293.5 persen pada semua jenis sapi (sapi PO, lim PO, bra PO).

Faktor produksi pada tingkat manajemen sangat menentukan dalam mengembangkan usahaternak sapi potong. Peran manajemen mengacu pada peran serta peternak sapi terhadap pengaturan budidaya ternak sapi di tingkat penggemukan sehingga berpengaruh terhadap penggemukan sapi potong. Selain itu peran manajemen juga mengontrol faktor eksternal seperti cuaca dan iklim terhadap perkembangbiakan ternak sapi turutama di tingkat penggemukan. Menurut Wadsworth (1985) sistem peternakan sapi potong pada musim kering dapat meningkatkan keuntungan maksimum dalam usaha penggemukan sapi. Kenaikan keuntungan dapat dilihat dari kondisi jangka panjang terhadap pemeliharaan ternak sapi potong seperti biaya pakan, panjang musim kemarau, tingkat pertumbuhan, dan harga daging sapi. Kondisi ini juga melihat rasio imbangan antara penerimaan peternak sapi potong terhadap biaya yang dikeluarkan.

(30)

merupakan hal yang paling penting dalam penggemukan ternak sapi. Proses penggemukan sapi potong berpengaruh terhadap jenis bibit. Bobot badan yang dihasilkan dari masing-masing jenis sapi dapat menentukan perbedaan jenis sapi yang dikelola dalam mengembangkan usahaternak sapi sehingga penggunaan input menjadi efisien (Mubyarto 1989). Penggemukan sapi dapat dilakukan dengan menambahkan unsur nitrogen dan fosfor pada ternak sapi potong terhadap pakan untuk mengurangi jumlah pakan hijauan yang dimakan (Kazato et al. 2011). Hal ini mengakibatkan pertambahan bobot badan dalam waktu singkat dapat mengurangi biaya produksi pakan hijauan.

Menurut Putra (2002) faktor produksi konsentrat berpengaruh nyata terhadap produksi susu sapi skala kecil dan faktor produksi sapi laktasi berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas susu sapi skala besar sedangkan sub aspek pemuliaan ternak, sub aspek makanan ternak, sub aspek pengelolaan serta sub aspek kandang dan peralatan perlu perbaikan di masa yang akan datang. Kondisi ini dapat meningkatkan pertambahan produksi susu secara berkelanjutan dan manajemen peternakan sapi perah. Menurut Putri (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ternak domba di Desa Cibunian Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor yaitu jumlaj kepemilikan induk yang melahirkan, pakan yang dikonsumsi, curahan tenaga kerja, dan pengalaman kerja.

Hasil penelitian Mariyono et al. (1995) untuk mengetahui pengaruh perbaikan tata laksana pemeliharaan ternak sapi perah dara (khususnya aspek pakan) terhadap tampilan produktivitas. Pemberian konsentrat sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan sapi perah dan produktivitas susu. Hasil ini menunjukan bahwa penambahan konsentrat sebanyak 1.5-1.6 kg/ekor/hari dalam kondisi usaha peternakan rakyat secara nyata (pvalue<0,05) dapat meningkatkan pertambahan

berat badan dan mempercepat umur pubertas dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Namun keuntungan ekonomis yang didapatkan dari peternak terhadap perlakuan kontrol dan tanpa perlakuan kontrol tidak berbeda nyata.

Hasil penelitian Yunus (2014) efsiensi usaha penggemukan menunjukan bahwa bobot awal domba bibit, pakan hijauan, luas kandang dan tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pertambahan bobot domba dan secara teknis penggemukan domba efisien baik pada peternak mitra maupun peternak nin mitra di namun secara alokatif bahwa usaha penggemukan domba belum efisien sehingga secara ekonomis juga belum efisien. Pola kemitraan yang terjalin antara CV. Mitra Tani Farm dengan peternak mitra di Desa Bojong Jengkol belum maksimal kinerjanya dengan derajat kemitraan 15 dari skor maksimal 22. Hal ini berpengaruh terhadap manajemen pengelolaaan usahaternak domba di Desa Bojong Jengkol.

(31)

Kajian Pendapatan Petani dan Efisiensi Ternak Sapi

εenurut Arfa’i (199β) dilihat dari rasio penerimaan terhadap biaya bahwa perusahaan peternakan yang dijalankan adalah menguntungkan dimana total R/C rasio perusahaan tersebut mencapai 1.2916 dengan tingkat pengembalian modal usaha sebesar 19.26. Hal ini berarti pendapatan yang diperoleh usaha penggemukan akan dapat membalikan modal sebesar 19.26 persen dan setiap tambahan satu biaya yang dikeluarkan akan memberikan tambahan penerimaan sebesar 1.916. Hasil penelitian Saleh (1991) menunjukan dengan membandingkan tingkat pendapatan petani antara petani yang mengikuti proyek crash program dan petani yang tidak mengikuti proyek crash program di Kabupaten Simalungun Sumatera Utara menunjukan bahwa petani yang mengikuti proyek crash program memiliki pendapatan bersih yang lebih tinggi dibandingkan pada petani yang tidak mengikuti program. Hal ini disebabkan perbedaan pemilikan ternak antara kedua strata, dan dukungan dari pemerintah dalam memberikan subsidi input, serta adanya pelatihan memberikan pengaruh bagi peningkatan pendapatan akibat pertambahan bobot badan ternak sapi.

Hasil penelitian Valdes dan Foster (2010) bahwa pertumbuhan ekonomi sektor pertanian umumnya lebih rendah daripada sektor non pertanian namun pertumbuhan di soktor non pertanian mempunyai pengaruh yang negatif terhadap Produk Domestik Bruto dan pengurangan angka kemiskinan di Negara Amerika Latin dan Karibia. Pengurangan angka kemiskinan bagi negara berkembang dilihat berdasarkan wilayah pedesaan dan jumlah anggota dalam rumah tangga. Hal ini menjadi pertimbangan pemerintah untuk meningkatkan modal sosial dengan membangun infrastruktur dan pendidikan guna meningkatkan modal manusia di wilayah pedesaan.

Hasil penelitian Muhai (1984) menunjukan bahwa pemanfaatan tenaga kerja ternak kurang efisien karena terbukti nilai produk marginal tenaga kerja cukup tinggi dibanding nilai per unit (jam) tenaga ternak tersebut. Namun tingkat pendapatan dari petani penggaduh memberikan tambahan pendapatan daripada pemilik ternak. Pencapaian persentase pendapatan dari petani penggaduh sebesar 50.53 persen sedangkan petani pemilik hanya mencapai 49.47 persen. Hasil penelitian Triwidyaratih (2011) menunjukan bahwa dengan pemberian konsentrat baru akan menentukan peningkatan pendapatan petani namun jika dilihat dari analisis R/C rasio atas biaya total belum mencapai kondisi yang menguntungkan yang mengakibatkan persentase biaya lebih besar dari pendapatan. Hal ini disebabkan setiap tambahan satu unit biaya produksi dapat memberikan tambahan penerimaan yang kurang dari satu mengakibatkan kerugian bagi petani.

Hasil penelitian Mandaka dan Hutagaol (2005) menunjukan hasil yang sama dimana penambahan input tetap (jumlah induk produktif dan pengalaman beternak) menyebabkan kenaikan keuntungan usahaternak yang semakin menurun dalam jangka panjang. Namun pada analisis skala usaha menunjukan usahaternak sapi terhadap peningkatan keuntungan belum mencapai efisiensi ekonomi. Sedangkan skala usaha dari peternakan petani kelas menengah dan besar menunjukan keuntungan usahaternak yang semakin menurun dalam jangka panjang.

(32)

menghasilkan tambahan output satu kilogram daging domba lebih kecil dibandingkan peternak non mitra. Kondisi dapat memberikan keuntungan yang besar bagi peternak mitra daripada peternak non mitra. Hasil penelitian dari Putra (2002) bahwa pendapatan peternak sapi perah anggota koperasi di Bandung Utara dengan skala usaha kecil sebesar Rp 607 454 dan pendapatan peternak usaha skala besar sebesar Rp 1 372 693 hal ini terlihat bahwa penjualan susu dari peternak skala usaha besar leibih besar daripada peternak lebih besar daripada peternak skala ekcil meskipun biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada peternak skala kecil. Menurut Sumarna (2012) bahwa kemitraan berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani terhadap usahatani padi sehat dimana perbedaan total pendapatan total petani mitra dan petani non mitra sebesa 6.06 persen denga nilai R/C petani mitra sebesar 1.79 dan R/C petani non mitra sebesar 1.30. pengaruh penerapan teknologi terhadap dan pengalaman usaha petani dapat meningkatkan penerapan teknologi sebesar 18.44 persen. Hal mengakibatkan bahwa usahatani padi sehat di KecamatanKebon Pedes Kabupaten Sukabumi menunjukan pengaruh yang positif terhadap peningkatan produktivitas padi dan pendapatan peternak.

Kajian Kredit Peternakan Sapi

Hasil penelitian Jasila (2009) mengenai pengaruh kredit ketahanan pangan menunjukan bahwa penggunaan kredit bagi petani belum mencapai efisiensi ekonomis namun secara teknis dan alokatif sudah efisien. Hal ini dikarenakan penggunaan input belum tepat pada tingkat harga yang berlaku sedangkan perilaku petani berpedoman pada peningkatan produktivitas output. Menurut Mandaka dan Hutagaol (2005) bahwa pemberian kredit bagi peternak sapi perah menunjukan hasil yang belum efisien secara ekonomis. Hal ini dikarenakan penggunaan input yang tetap bagi peternak hanya mencapai skala ekonomi yang menurun atau decreasing return to scale.

Menurut Mandaka dan Hutagaol (2005) bahwa skema kredit yang diberikan kepada peternak di Kelurahan Kebon Pedes adalah : (1) ternak sapi dengan jenis agunan (collateral) merupakan syarat utama untuk dijadikan jaminan kredit; (2) jangka waktu pengembalian kredit yang relevan pada usahaternak sapi adalah tujuh tahun dengan suku bunga maksimal kurang dari satu persen; (3) nilai pinjaman yang paling sesuai bagi pengembangan usahaternak skala kecil sebesar Rp 6 000 000 sampai dengan Rp 12 000 000 atau pemberian bantuan modal untuk satu hingga dua ekor sapi. Hal ini akan menambah peluang meningkatkan skala usaha petani dalam upaya mengembangkan usahaternak sapi perah. Dalam jangka penjang peternak dapat meningkatkan skala kepemilikan sapi lebih dari lima ekor.

(33)

Bulte et al.(2002) bahwa dalam konversi hutan menjadi areal pertanian meningkatkan nilai produksi marginal lahan pertanian. Hal ini memberikan peluang investasi yang baik untuk peternakan sapi di wilayah tersebut.

Hasil penelitian dari Walker et al. (2000) menunjukan umumnya peternak sapi berskala besar mempunyai kemampuan modal dan manajerial yang baik daripada petani skala kecil. Namun dalam hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa penggunaan tenaga kerja mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada modal. Tenaga kerja keluarga menjadi perhatian utama dalam mengurangi biaya variabel sehingga penggunaan kredit tidak berpengaruh pada peternakan sapi di Amerika Serikat. Berdasarkan kajian alokasi kredit menunjukan kredit dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia. Menurut Lele (1966) menunjukan kajian kredit di Ethopia bahwa kegiatan kredit memberikan dampak terhadap kegiatan konsumsi daripada kegiatan produksi. Hal ini dapat disebabkan dari 33 000 rumah tangga mendapatkan kegiatan kredit namun hanya 60 persen kredit dilakukan untuk kegiatan konsumsi sedangkan 28 persen alokasi kredit dilakukan untuk kegiatan produksi. Hasil Kajian dari Jabbar et al. (2002) bahwa penggunaan kredit dapat disebabkan oleh kurangnya permodalan namun di tingkat peternak penggunaan kredit diharapkan dapat memberikan dampak terhadap alokasi dan penggunaan input produksi dan pengelolaan sapi perah.

Pemanfaatan kredit dapat memberikan keberlangsungan kegiatan peternakan dalam jangka panjang. Menurut Lubis dan Rachmina (2002) bahwa karakteristik individu tidak mempengaruhi permintaan kredit namun yang mempengaruhi permintaan kredit adalah omset usaha, jenis usaha, jumlah kredit yang diajukan dan nilai agunan berpengaruh terhadap permintaan kredit usaha rakyat (KUR). Hasil kajian Rini (2004) bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan Kredit Usahatani KUD secara simultan adalah suku bunga, nilai produksi usahatani dan biaya usahatani. Menurut Field (2007) bahwa penggunaan kredit harus dilihat sebagai alat finansial dan menggunakanya lebih efektif dimana penggunaan kredit dapat dipandang sebagai kegiatan pertumbuhan sapi dalam waktu singkat daripada penggunaan kredit untuk investasi dan tabungan sepanjang debitur mendapatkan dana lebih besar setiap waktu terhadap pengeluaran.

(34)

pertanian, penelitian dan pengembangan dapat berpengaruh terhadap harga komoditas pakan dan makanan dan berpotensi besar di masa mendatang.

Penggunaan kredit sangat penting terhadap peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan di tingkat peternak. Menurut Mubyarto (1989); Debertin (1986); Coelli (1998) bahwa penggunaan kredit sebagai teknologi dapat menggeser kurva nilai produk bergeser ke atas ketika kurva nilai marginal menurun sehingga haasil produksi dapat mencapai tambahan yang konstan dan meningkat. Menurut Ausdal (2009 bahwqa alih fungsi lahan hutan menjadi areal penggembalaan membuthkan kredit yang besar yang melibatkan agen-agen pembangunan internasional untuk pembangunan peternakan di hutan hujan tropis.

KERANGKA TEORI

Teori Produksi

Menurut Halcrow (1981) produksi didefinisikan sebagai penciptaan barang dan jasa ekonomi dengan menggunakan sumber daya. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1999) produksi adalah perubahan satu atau lebih input (sumberdaya) menjadi satu atau lebih output. Menurut Cramer dan Jensen (1988) produk dikatakan ekonomis jika penggunaan input alternatif secara efisien menghasilkan output yang maksimal. Menurut Taylor (1985) produksi adalah proses mengkombinasikan atau mengkoordinasikan material dan kekuatan (input dan sumberdaya) untuk menghasilkan barang dan jasa. Proses produksi dapat dibedakan atas tiga periode yaitu jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Jangka pendek dicirikan bahwa semua input produksi adalah tetap sedangkan dalam jangka panjang maka semua input berupa variabel. Dengan demikian terdapat hubungan antara produksi dengan input yaitu output yang maksimal yang dihasilkan dengan input tertentu yang disebut fungsi produksi.

(35)

dimana rata-rata produksi mencapai titik maksimum yang berpotongan dengan marginal produksi yang menurun dari titik balik (inflection point).

Menurut Mubyarto (1989) fungsi produksi menggambarkan hubungan antara produksi fisik (output) dan faktor-faktor produksi yang digunakan yang disebut dengan input. Menurut Debertin (1986) fungsi produksi merupakan suatu fungsi yang menunjukan hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan atau yang disebut dengan input (X). Dengan fungsi produksi dapat diketahui hubungan antara variabel yang dijelaskan (dependent variable) dengan variabel penjelas (independent variable).

Menurut Beattie et al. (2009) fungsi produksi menunjukan hubungan antara input dan output secara teknis. Hubungan input dan output dilakukan dengan mengkombinasikan antara satu atau lebih input untuk menghasilkan output. Menurut Cramer dan Jensen (1988) kombinasi dari input dapat dilakukan dengan melakukan substitusi antara satu input dengan input yang lain menghasilkan besar kecilnya produksi yang dihasilkan. Hubungan fisik antara faktor produksi dalam fungsi produksi dapat dirumuskan sebagai berikut :

Y = f (X1/X2,X3...Xn).

Dimana :

Y = Produk atau variabel yang dipengaruhi faktor produksi X. Xi = Faktor produksi atau variabel yang mempengaruhi Y.

i = 1,2,3,...,n.

Penggambaran fungsi produksi dapat menentukan sifat dari fungsi produksi yang digambarkan secara matematika. Penggambaran fungsi produksi tersebut dapat menjadi pertimbangan para petani untuk memutuskan berapa besar input produksi yang digunakan dalam menghasilkan output produksi yang optimal. Menurut Debertin (1986) sifat dari fungsi produksi dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Sifat fungsi produksi

Sumber : Debertin 1986; Keterangan y = output; x = input

Gambar 6 menunjukan tiga bentuk grafik yang menggambarkan sifat dari fungsi produksi. Gambar 6a menunjukan bahwa fungsi produksi memiliki kenaikan yang konstan yaitu jika faktor produksi ditambahkan akan memberikan tambahan produksi yang sama sehingga kenaikan konstan dapat memberikan keuntungan yang optimum terhadap faktor produksi yang ditambahkan. Pada kondisi tersebut dapat merespon keputusan petani untuk melakukan proses produksi secara berkelanjutan. Gambar 6b menunjukan bahwa setiap faktor

X

Y =X1/2

c

Y

X

Y = x2

b

Y Y

X

Y = 2x

(36)

produksi yang ditambahkan akan menghasilkan tambahan produksi yang lebih besar sehingga keputusan petani untuk menambahkan faktor produksi menjadi syarat keharusan. Fungsi pangkat menunjukan bahwa kinerja dan penggunaan input produksi yang ditambahkan lebih besar dapat meningkatkan keuntungan yang optimal dalam proses produksi. Gambar 6C merupakan bentuk akar pangkat dari faktor produksi menggambarkan bahwa setiap penggunaan atau tambahan input produksi akan mengakibatkan tambahan output produksi semakin berkurang sehingga petani memutuskan untuk mengurangi input produksi untuk menghasilkan keuntungan yang optimal.

Dalam fungsi produksi sumbu y menunjukan output yang terletak di sebelah kiri garis vertikal dan semua input yang terletak di sebelah kanan garis horizontal bersifat tetap, dalam tingkat tertentu atau dalam interval tertentu. Hal ini menunjukan bahwa produksi yang dihasilkan dalam jangka panjang bersifat variabel dalam tingkatan tertentu sampai produksi mencapai titik maksimum (Debertin 1986). Menurut Mubyarto (1989) total fisik produk dapat efisien jika fungsi produksi bergerak pada kondisi optimal sampai titik maksimal dengan penggunaan input tertentu. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Fungsi produksi, total fisik produk, produk fisik marginal dan produksi rata-rata

Sumber : Debertin 1986

TPP

III II

I

Ep > 1 0<Ep< 1 Ep < 0

Output Y

Input X

Y/ X * Y/X

Input X

A

(37)

Menurut Mubyarto (1989) dan Debertin (1986) bentuk fungsi produksi dapat memberikan kenaikan hasil yang semakin berkurang terhadap produk fisik total. Kondisi diminishing return terjadi saat produk fisik total bergerak dari titik optimal hingga mencapai titik maksimal. Produksi total mencapai kondisi maksimal mengakibatkan tambahan produksi bernilai nol. Hal ini dalam teori ekonomi produksi berlaku hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang. Hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang mengatakan jika faktor produksi variabel terus-menerus ditambah dalam suatu proses produksi sedangkan faktor lainnya dianggap tetap maka tambahan jumlah produksi per satuan akhirnya menurun. Hukum ini menggambarkan adanya kenaikan hasil yang negatif dalam fungsi produksi. Kondisi yang menurun terhadap faktor produksi menunjukan bahwa nilai produk rata-rata yang maksimum menurun dari titik optimal bersamaan dengan nilai marginal produk yang berisifat efisien.

Menurut Coelli et al. (1998) bahwa dengan adanya fungsi produksi dapat mengetahui hubungan antara produk total, produk rata-rata dan produk marginal. Produk rata-rata merupakan rata-rata jumlah produksi yang dihasilkan untuk setiap satuan produksi yang dipakai. Rumus dari produk rata-rata dapat digambarkan sebagai berikut :

AP = Y/Xi Dimana :

AP = produk rata-rata dari input i Y = output

Xi = input yang digunakan

Konsep dari produk marginal adalah penambahan jumlah produk sebagai akibat penambahan satu satuan faktor produksi atau dengan kata lain jumlah tambahan output yang dihasilkan dari setiap penambahan input yang digunakan. Rumus dari produk marginal adalah sebagai berikut :

MPi = Y/ Xi

Y = Perubahan output

Xi = Perubahan input

Gambar

Gambar 3  Populasi sapi potong di Kabupaten Kupang Provinsi NTT
Gambar 6  Sifat fungsi produksi
Gambar 7  Fungsi produksi, total fisik produk, produk fisik marginal dan produksi
Gambar 8  Pengaruh kredit terhadap produksi
+7

Referensi

Dokumen terkait

PPK masing-masing satker melakukan pengisian capaian output dalam aplikasi SAS dengan berpedoman kepada Manual Modul Capaian Output yang disertakan satu paket dengan

Untuk itu perlu ada upaya untuk mewujudkan sistem pembelajaran dalam kerangka pendidikan inklusif yang memberikan peluang bagi peserta didik yang mengalami hambatan

diagram pareto pada proses mesin giling I dapat terlihat bahwa faktor yang memberikan kontribusi terbesar penyebab rendahnya efektivitas mesin giling I adalah

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh sosialisasi dan konseling tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap waria di

[r]

Output device bisa diartikan sebagai peralatan yang berfungsi untuk mengeluarkan hasil pemrosesan ataupun pengolahan data yang berasal dari CPU kedalam suatu media yang dapat

Tesis Penataan PKL : Antara Kondisi sosial .... Diah Puji

Etika merupakan suatu ilmu yang membahas perbuatan baik dan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.Dan etika profesi terdapat suatu kesadaran