• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rasisme dalam Film Produksi Amerika (Analisis Semiotik dalam Film Freedom Writer Karya Richard LaGravense)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rasisme dalam Film Produksi Amerika (Analisis Semiotik dalam Film Freedom Writer Karya Richard LaGravense)"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

Rasisme dalam Film Produksi Amerika

(Analisis Semiotik dalam Film Freedom Writer Karya Richard

LaGravenese)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S-1)

Oleh : YANITA FITRI

06220225

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Yanita Fitri

NIM : 06220225

Konsentrasi : Audio Visual

Judul Skripsi : Rasisme dalam Film Produksi Amerika

(Analisis Semiotik dalam Film Freedom Writer Karya Richard LaGravenese)

Telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Malang Jurusan Ilmu Komunikasi

Dan dinyatakan LULUS

Pada Hari : Kamis Tanggal : 5 Mei 2011 Tempat : Ruang 609

Mengesahkan, Dekan FISIP UMM

Dr. Wahyudi, M.Si

Dewan Penguji:

1. Muslimin Machmud, Drs., M.si ( )

2. Roziana Febrianita, S.sos ( )

3. Frida Kusumastuti, Dra., M.Si ( )

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil ‘Aalamiin, Puji Syukur kehadirat Allah SWT, yang

senantiasa melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya sampai akhirnya saya dapat menyelesaikan tugas akhir (skripsi). Sholawat serta salam saya haturkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai panutan, atas terselesaikannya kuliah ini.

Selain pers, film juga merupakan media massa yang dapat membentuk persepsi masyarakat melalui cerita yang terdapat di dalamnya karena biasanya cerita dari sebuah film berangkat dari fenomena yang terjadi di kehidupan sehari-hari (film sebagai keoleksi local content). Pengaruh film terhadap jiwa manusia sangat kuat karena penonton tidak hanya terpengaruh dengan pesan yang disampaikan dalam film tersebut, tetapi terus sampai waktu yang lama. Di antara begitu banyak film-film Amerika, terdapat beberapa film yang selalu menggambarkan kepositifan orang kulit putih dibandingkan orang-orang dari ras di luar kulit putih. demikian pula dengan Film Freedom Writer karya Richard LaGravense. Film Freedom Writer adalah sebuah film yang pesanya menyerukan tentang anti rasisme. Namun yang terjadi dari kemunculan tanda-tanda dalam film tersebut, film Freedom Writer justru merupakan film yang menyimpan Ideologi rasis.

Melalui skripsi ini, penulis ingin memaparkan tentang makna rasisme yang terdapat dalam Film Freedom Writer karya Richard LaGravenese. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika Roland Barthes dengan pemaknaan denotatif, konotatif dan menemukan mitos-mitos tentang unsur yang mengandung makna rasisme.

Skripsi ini disusun sebagai sebuah karya ilmiah yang digunakan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana (S-1) pada Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang. Saya berharap hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

(4)

1. Allah SWT, pencipta alam semesta dan Maha Segalanya. Yang telah memberikan banyak Hidayah serta Rahmatnya sehingga skripsi ini lancar dan selesai.

2. Nabi Muhammad SAW. Melalui Beliau Ajaran Islam itu disampaikan sehingga Umat Islam dapat mengikuti kebaikannya.

3. Kedua orang tua tercinta, Pudjiono dan Aniek Aisyah, terima kasih atas semua doa dan dukungannya yang tak pernah henti selama ini.

4. Kakakku Chechep Dhian Wahyudi dan Irwan Dheny Wibowo serta keponakan tercinta Danendra Fawwaz Wibowo. Terima kasih atas semua doa dan dukungannya.

5. Dra.Frida Kusumastuti, M.Si dan Drs. Farid Rusman, M.Si selaku pembimbing dalam menyelesaikan Skripsi ini, serta seluruh dosen Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmunya kepada saya.

6. Teman seperjuangan Creative Thinking Production. Lambang, Salim, Bhekti, Fatekur, Nanang, Wildan, Nurul, Eki Fajar, Rezad, Irvan, Laga terima kasih semuanya.

7. Sahabat-sahabat tercinta Nana, Sofi, Dewi, Lina, Nisa, Ayu, Lady, terima kasih semuanya.

8. Teman-teman seperjuangan dari Desa Bayu, Benny, Adit, Arya, Faiz, Harry, Hasan, Vika terima kasih dan semoga kita semua sukses, Amiin. 9. Dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas

kerjasamanya

Malang, 25 April 2011 Peneliti

(5)

DAFTAR ISI

3.

Film Sebagai Media Representasi Ras ... 10

4.

Hegemoni Ras Kulit Putih dalam Perfilman Amerika ... 11

5.

Politik Identitas Berbasis ras di Amerika ... 15

6.

Neo-Kolonialisme Oleh Ras Kulit Putih ... 16

7.

Semiotika dalam Kajian Film ... 21

B.

APRESIASI TERHADAP FILM FREEDOM WRITER ... 38

C.

TENTANG RICHARD LAGRAVENESE ... 39

D.

SEJARAH PERKEMBANGAN PARAMOUNT PICTURES 40

BAB III RASISME DALAM FILM FREEDOM WRITER ... 43

A.

Perbedaan Karakter pada Tokoh-tokoh Utama ... 45

1. Penempatan Ras Kulit Putih sebagai Tokoh yang Berjiwa Besar ... 45

2. Kedekatan Ras Kulit Hitam dan Ras Hispanik dengan Kejahatan ... 54

B.

Perbedaan Karakter pada Tokoh-tokoh ... 64

(6)

BAB IV PENUTUP ... 87

A. KESIMPULAN ... 87

B. SARAN ... 88

1. Saran Akademis ... 88

2. Saran Kritik Sosial ... 89

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 : Tabel Semiotika Roland Barthes ... 33

Tabel 3.1 : Tabel Unit Analisa Data ... 47

Tabel 3.2 : Tabel Analisa Semiotika Roland Barthes ... 48

Tabel 3.3 : Tabel Unit Analisa Data ... 57

Tabel 3.4 : Tabel Analisa Semiotika Roland Barthes ... 59

Tabel 3.5 : Tabel Unit Analisa Data ... 67

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 : Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes ... 26

Gambar 2.1 : Sutradara Richard LaGravenese ... 39

Gambar 2.2 : Logo Paramount Pictures ... 41

Gambar 3.1 : Jiwa Sosial Seorang Kulit Putih ... 46

Gambar 3.2 : Adegan Kekerasan Oleh Kelompok Ras Hispanik ... 55

Gambar 3.3 : Kekerasan Rasial Oleh Kelompok Ras Hispanik ... 55

Gambar 3.4 : Kedekatan Ras Kulit Hitam dengan Tindak Kriminal ... 56

Gambar 3.5 : Nasionalisme Ras Kulit Putih ... 66

Gambar 3.6 : Pemberontakan Ras Hispanik dengan Media Grafiti ... 66

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Abdilah, Ubed S. 2002. Politik Identitas Etnis. Magelang: Indonesia Tera.

Ahmadi, Abu. 2002. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Arthur Asa Berger (2000). Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Aquarini Priyatna Prabasmoro. 2003. Becoming White: Representasi ras, Kelas, Femininitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Yogyakarta: Jalasutra.

Fredickson, Goerge M. 2005. Rasisme: Sejarah Singkat. Yogyakarta: Bentang.

Fiske, John. 1990. Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Penerjemah Idy Subandi Ibrahim.Yogyakarta: Jalasutra.

Irawanto, Budi. 1999. Film, Ideologi dan Militer. Yogyakarta: Media Presindo.

Kris Budiman 2003. Semiotika Visual. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.

Kurniawan 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera.

Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik. Yogyakarta: LkiS.

Moleong, Lexy.J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya

(10)

Van Zoest, Aart. 1993. Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Penerjemah Ani Soekawati. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

United States Information Agency. 2004. Garis Besar Sejarah Amerika.

Non Buku:

http://asdaru.multiply.com/journal/item/12/holywood_and_genre diakses pada 18-08-2010 pukul 15:10

http://www.ceritafilm.com/paramount-pictures.html/ diakses pada 10-12-2010 pukul 04:45

http://www.exposay.com diakses pada 10-12-2010 pukul 04:52

http://www.filmalloy.de/feed/492/ diakses pada 26-07-2010 pukul 08:12 http://id.wikipedia.org/wiki/Rasisme diakses pada 26-07-2010 pukul 08:46

http://kajianzionisme.multiply.com/journal/item/16 diakses pada 26-07-2010

pukul 07:50

(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rasisme adalah masalah rasial yang mendarah daging di tengah kehidupan masyarakat multikultur di berbagai belahan dunia. Rasisme berkembang pesat di suatu negara seiring berkembangnya teknologi dan perdagangan yang mengakibatkan berkembangnya tingkat kemajemukan dalam negara tersebut. Ketertarikan akan kehidupan yang lebih baik yang ditawarkan oleh negara dengan iklim perdagangan yang baik itulah yang kemudian mengundang kedatangan masyarakat dari berbagai kelompok ras. Mitos-mitos tentang ras unggul dan ras kelas bawah merupakan faktor penyebab semakin peliknya masalah rasisme. Mereka yang dikonstruksikan sebagai ras unggul seringkali melakukan tindakan rasisme terhadap golongan ras kelas bawah. Tindakan-tindakan rasisme tersebut terjadi dalam berbagai bidang dalam kehidupan bermasyarakat seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, hiburan dan lain sebagainya.

(12)

2 merupakan bagian dari ras mongoloid. Usaha nyata yang dilakukan warga kulit putih untuk menguasai Amerika yaitu dengan melakukan pembantaian massal terhadap orang Indian yang berdampak menurunnya jumlah warga suku bangsa Indian sejak Colombus menginjakkan kakinya di Benua Amerika dari 10juta jiwa menjadi 400.000 jiwa. warga kulit putih juga menindas para pendatang watga Africans-Americans yang berasal dari ras Negroid. Warga kulit putih menempatkan warga ras negroid pada posisi terendah dalam strata ras dan etnik berdasarkan derajat dominasi. Warga ras negroid juga dipisahkan dari warga kulit putih dalam fasilitas sosial dan dibatasi ruang geraknya dalam bidang politik.

(13)

3 dapat menilai bahwa dalam media massa Amerika juga terdapat tindakan rasisme terhadap warga kulit hitam.

Selain pers, film juga merupakan media massa yang dapat membentuk persepsi masyarakat melalui cerita yang terdapat di dalamnya karena biasanya cerita dari sebuah film berangkat dari fenomena yang terjadi di kehidupan sehari-hari (film sebagai keoleksi local content). Pengaruh film terhadap jiwa manusia sangat kuat karena penonton tidak ganya terpengaruh dengan pesan yang disampaikan dalam film tersebut, tetapi terus sampai waktu yang lama. Dengan demikian film merupakan bagian dari media massa yang cukup penting dalam menyampaikan pesan kepada khalayak, atau setidaknya untuk mempengaruhi khalayak dalam bertindak maupun menilai sesuatu seperti gaya berpakaian dan gaya berbicara remaja saat ini yang meniru karakter tertentu dalam sebuah film.

Karena berbagai permasalahan tersebut di atas peneliti memiliki ketertarikan untuk meneliti sebuah film yang di dalamnya sarat akan tema

rasisme. Judul film yang dipilih oleh peneliti adalah film ―Freedom Writer‖ karya

(14)

4 mereka digambarkan berbeda-beda. Secara umum Ras kulit putih digambarkan sangat berpendidikan, santun dan selalu menjadi korban tindakan rasis orang-orang diluar kulit putih, warga Hispanic digambarkan sebagai sosok yang diam-diam menghanyutkan, warga Americans-Asians memiliki karakter yang hampir sama dengan ras Hispanic namun terlihat sedikit lebih santai, sedangkan orang-orang kulit hitam digambarkan sangat anarkis, rasis dan sama sekali tidak punya sopan santun.

(15)

5 tidak lagi mempermasalahkan ras. Mereka mulai mengenal dan dekat satu sama lain.

Secara sepintas film ―Freedom Writer‖ seperti menggambarkan betapa

tertindasnya orang-orang ras kulit putih oleh orang-orang di luar kulit putih. Namun peneliti memiliki kecurigaan tertentu yang terdapat dalam film tersebut yang dapat dianalisa menggunakan teknik analisis semiotika, bahwa terdapat makna rasisme dimana film ini sesungguhnya lebih menempatkan posisi ras kulit putih sebagai ras yang paling hebat diantara ras-ras yang lain. Padahal jika melihat respon masyarakat, film ini mendapat banyak sanjungan tentang pesan anti rasisme, baik yang tertulis dalam beberapa media online maupun pendapat langsung dari masyarakat.

Di antara beditu banyak film Holywood, terdapat beberapa film yang selalu menggambarkan kepositifan orang kulit putih dibandingkan orang-orang

dari ras di luar kulit putih antara lain film seri ―Tintin‖ yang diputar pada tahun

1970an, ―Just Cause‖ yang bercerita tentang pembunuhan wanita kulit putih oleh

seorang ras kulit hitam, dan film box office ―Avatar‖ yang berkisah tentang

(16)

6 Dari uraian di atas peneliti dapat merumuskan sebuah judul penelitian yaitu RASISME dalam FILM PRODUKSI AMERIKA (Analisis Semiotik dalam Film Freedom Writer Karya Richard LaGravenese).

B. Rumusan Masalah

Dari penjelasan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana makna rasisme yang terdapat dalam film

―Freedom Writer‖ karya Richard LaGravenese?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui makna rasisme yang digambarkan dalam film

―Freedom Writer‖ karya Richard LaGravenese.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan tambahan keilmuan bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian sejenis, khususnya pada kosentrasi Audio Visual tentang penggunaan media massa film sebagai penyampaian pesan karena film selalu bertautan dengan nilai budaya dalam masyarakat.

E. Tinjauan Pustaka

E.1. Mitos Ras superrior

(17)

7 khayalan. Darwin memiliki sebuah pemikiran bahwa sejumlah ras berevolusi lebih cepat dan, karenanya, lebih maju dari yang lain; sedangkan ras-ras lain dianggapnya masih setingkat dengan kera (Gramsci,1971:128).

Menurut Darwin, ras pilihan adalah ‗bangsa kulit putih Eropa‘,

sedangkan Ras Asia atau Afrika gagal dalam perjuangan mempertahankan hidup. Darwin melangkah lebih jauh, bahkan mengatakan bahwa ras-ras ini akhirnya akan dihapuskan sama sekali. Ia meyakini bangsa kulit putih pertama-tama akan memperbudak, dan kemudian memusnahkan ras-ras kelas rendah. Gagasan Darwin mendapat sambutan baik dari bangsa kulit putih yang sedang mencari teori untuk membenarkan tindakan mereka di masa itu seperti ketika. Sejak abad keenam belas, Eropa mulai menjajah berbagai belahan dunia. Penjajah pertama adalah bangsa Spanyol di bawah pimpinan Christopher Columbus. Dalam waktu singkat, penjajah Spanyol menyerbu Amerika Selatan. Mereka memperbudak penduduk asli, yaitu suku Indian berkulit merah yang termasuk dalam ras mongoloid yang sebelumnya hidup damai.

E.2. Rasisme Dan Media Massa

Menurut George M Fredickson (2005:3) istilah ―rasisme‖ sering

digunakan secara longgar dan tanpa banyak pertimbangan untuk melukiskan

permusuhan dan perasaan negatif suatu kelompok etnis atau ―masyarakat‖

(18)

8 menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya.

Rasisme merupakan salah satu bentuk khusus yang memfokuskan diri pada variasi fisik di antara manusia. Rasisme juga dapat diartikan sebagai suatu kompleks keyakinan bahwa subspecies dari manusia lebih rendah daripada subspecies yang lain. Pembendaan antara yang superior dan inferior tersebut memiliki tujuan tertentu misalnya untuk menciptakan sebuah ideologi budaya.

Media massa merupakan kependekkan dari media komunikasi massa memiliki pengertian sebagai sarana yang digunakan oleh komunikator dalam proses komunikasi massa. Menurut Maletzke (dalam Effendy, 2003: 27-28) ada dua definisi komunikasi massa yaitu:

1. Komunikasi massa diartikan setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan pernyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik yang tersebar 2. Komunikasi massa dibedakan dari jenis komunikasi lainnya dengan

(19)

9 Salah satu fungsi dari media massa adalah mendorong kohesi sosial. Kohesi yang dimaksud disini adalah penyatuan. Artinya, media massa mendorong masyarakat untuk bersatu. Jika media itu mampu meliput informasinya dengan teknik cover both sides (meliput dua sisi yang berbeda secara seimbang), maka media massa tersebut secara tidak langsung berperan dalam mewujudkan kohesi sosial. Namun pada kenyataannya media massa sering kali berpihak dalam menyampaikan pesan-pesan kepada komunikan dalam hal ini publik. hal ini tentu dapat berdampak buruk bagi kelompok masyarakat yang memang saling memiliki prasangka negatif. Misalnya saja penempatan perempuan dalam wilayah domestik pada iklan-iklan televisi, hal ini yang kemudian memunculkan kritik di kalangan feminis.

Mitos tentang keunggulan ras kulit putih tidak hanya menyebar dari mulut ke mulut, tetapi melalui media massa posisi ras kulit putih juga dikonstruksikan sebagai ras yang paling unggul. Iklan yang merupakan produk media massa juga dianggap rasis ketika pada massa Victoria sekitar tahun 1884 muncul sebuah iklan sabun mandi merk Imperial Leather. Iklan sabun mandi pada mulanya merupakan representasi dari kemewahan, sehingga dimaksudkan bagi orang kelas menengah. Iklan sabun juga muncul dan terasialkan bersama keterpesonaan terhadap kulit putih dan ke-putih-an yang juga secara tidak terelakkan berkaitan dengan putih sebagai ras (Aquarini, 2003:37).

(20)

10 dan alam yang terjajah (colonialised nature) sebagai dikotomi hitam/putih. Iklan sabun dianggap mengkomodifikasi rasisme sedemikian rupa sehingga rasisme merangkul setiap produk kebutuhan rumah tangga dengan kedigdayaan yang bersinar atas kemewahan imperial dan potemsi rasial. Sabun sebagaimana dikatakan Mc Clintock adalah rasisme komoditas sedemikian sehingga sabun lebih dari sekedar komoditas sehari-hari merupakan agen ideologis rasisme dan superioritas kulit putih.

E.3. Film Sebagai Media Representasi Ras

Film merupakan salah satu bentuk komunikasi massa modern yang kedua muncul di dunia (Sobur,2004:126). Film adalah bentuk komunikasi massa elektronik yang berupa media audio visual. Dalam banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya, tanpa berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, kemudian memproyeksikannya ke atas layar (Irawanto,1999:13).

(21)

11 memiliki latar ideologi sendiri dalam mengkonstruksikan dan menggambarkan sebuah peristiwa. Seperti yang dikatakan Turner bahwa bagaimanapun film tidak pernah otonom dari ideologi yang melatarinya (Irawanto, 1999:16).

Film yang dibuat oleh seorang komunis tentu akan berbeda dengan film yang dibuat oleh seorang nasionalis, film yang dibuat oleh orang-orang kulit putih di Amerika tentu akan berbeda dengan film-film karya orang-orang kulit hitam karena masing-masing dari mereka memiliki sejarah dan ideologi yang mempengaruhi ruang imajinasinya ketika mengkonstruksikan setiap peristiwa dalam film. Secara ringkas, film sebagai media komunikasi massa membentuk pandangan dunia dari orang - orang di sekelilingnya. Didalamnya termasuk media film yang begitu sarat dengan muatan ideologis dari sang komunikatornya. Dengan demikian film merupakan obyek yang potensial untuk dikaji khususnya dalam kerangka komunikasi massa yang sarat dengan muatan pesan baik yang nampak maupun yang tersembunyi.

Perbedaan kelas antara ras kulit putih dengan lainnya ternyata tidak hanya dipresentasikan dalam iklan, tetapi juga dalam film. Pada tahun 1970an muncul film Tintin yang sangat popular yang menggambarkan kepahlawanan orang kulit putih terhadap orang kulit hitam (Indian), ―Just Cause‖ yang bercerita tentang pembunuhan wanita kulit putih oleh seorang ras kulit hitam,

dan film box office ―Avatar‖ yang berkisah tentang kepahlawanan Marinir AS

(22)

12 E.4. Hegemoni Ras Kulit Putih Dalam Perfilman Amerika

Bagi Gramsci, hegemoni berarti situasi dimana suatu ‗blok historis‘

faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekeuatan,dan terlebih lagi dengan konsensus. Suatu blok hegemoni tidak pernah terdiri dari kategori sosial-ekonomi tunggal, namun dibentuk melalui serangkaian aliansi dimana suatu kelompok berposisi sebagai pemimpin. Ideologi memainkan peran krusial dalam membiarkan aliansi kelompok ini(awalnya dikonsepsikan dalam terminologi kelas)menanggalkan kepentingan sempit usaha-ekonomi

dan mengutamakan kepentingan ‗nasionalis-populer‘. Jadi,‘suatu kesatuan

soaial-budaya‘diperoleh ‗melalui aneka ragam kehendak,yang tujuan heterogennya secara bersama-sama dimasukkan ke dalam satu tujuan tunggal, sebagau basis suatu konsepsi tentang dunia yang adil dan alamiah(Gramsci,1971:349).

Hegemoni secara konstan disesuaikan dan direnegosiasikan.Gramsci mengatakan bahwa hegemoni tidak dapat didapat begitu saja. Pada fase pasca revolusioner (ketika kelas pekerja telah mendapatkan kontrol) fungsi kepemimpinan hegemik tidak hilang tetapi merubah karakternya.Namun, Gramsci menyebutkan dua mode berbeda kontrol sosial:

(23)

13 b.kontrol konsesual : muncul ketika individu secara seukarela berasimilasi dengan pandangan dari kelompok yang mendominasi (kepimimpinan hegemonik)

Peran serta Amerika dalam sejarah perfilman dunia dimulai pada tahun 1894 ketika seoranga warga kulit putih Amerika Woodville Latham beserta dua anaknya Otway dan Gray mengembangkan teknologi kamera dan proyektor. Pada 1905 Amerika memulai industri perfilmannya dengan munculnya teater lokal, di tahun ini pula Nickelodeon mulai menampilkan film-filmnya. Tahun 1905-1907 Nickelodeon berkembang melalui pertunjukkan di bioskop dengan memutar film-film pendek yang berdurasi 15 menit. Nickelodeon mampu menghasilkan 3 program berbeda tiap minggu yang berarti sama dengan 450 judul tiap tahun. Tetapi disaat yang sama Amerika masih tetap megimpor film dari luar negeri. Dalam waktu yang tidak jauh berselang muncul beberapa production house yang kemudian merajai perfilman Amerika seperti MGM Film (Metro Goldwyn Mayer), Paramount Picture, Warner Bross, Miramax, 20th Century Fox, Columbia Picture, Fox Searchlight, dan lain sebagainya (http://www.filmalloy.de/feed/492/)

(24)

14 perfilman Amerika. Film-film Hollywood memiliki ciri khas yaitu tema-tema yang mereka angkat adalah tema-tema kepahlawanan, romantisme dan peperangan dengan setting megah dan endingnya mudah ditebak.

Academy Awards, yang lebih dikenal sebagai Oscar merupakan bukti sejarah yang tidak dapat terelakkan bahwa dalam industri perfilman Hollywood, kulit putihlah yang menguasai segalanya. Ajang penghargaan film di Amerika yang memulai masa kejayaannya sejak tahun 1940an ini mencatat nama-nama sutradara dan karya mereka yang didominasi oleh orang-orang kulit putih. Masa jaya Oscar yang sebenarnya dimulai awal tahun 40an hingga akhir tahun 50an, ketika pemenang piala dipenuhi nama-nama ‗filmmaker‘ tenar seperti Elia Kazan, Billy Wilder, John Ford atau William Wyler. Era 40 dan 50an menyajikan film yang memiliki ciri khas dengan jalan cerita linear, dengan motivasi tokoh utama yang tak tergoyahkan, dipenuhi karakter-karakter kuat (jiwa dan raga) dengan susunan adegan yang menyajikan solidisitas cerita kuat.

Era New Hollywood kemudian dibuka pada tahun 60an oleh para pendatang muda, yang bersama pergantian zaman menamai diri mereka

‗director‘, istilah filmmaker nyaris tidak pernah digunakan lagi dalam industri

(25)

15 itu, mematikan film Golden Age dan musical. Untuk bangkit Hollywood membutuhkan sesuatu yang baru, film seperti The Graduate dan Bonnie and Clyde langsung mendapat penghargaan Oscar. Di tahun 70-80an nama-nama tersebut masih menguasai perfilman Hollywood dengan dengan ciri khasnya yang menyabet penghargaan di ajang Academy Award.

Selain ke-khas-an pada tema-temanya, film produksi Amerika juga cenderung menempatkan orang-orang kulit putih dalam peran-peran protagonis yang memiliki karakter penuh dengan kepositifan, sedangkan orang-orang di luar ras kulit putih ditempatkan dalam peran-peran antagonis atau hanya sekedar sebagai peran pembantu. Film-film tersebut antara lain adalah film seri ―Tintin‖ yang diputar pada tahun 1970an, ―Just Cause‖ yang bercerita tentang pembunuhan wanita kulit putih oleh seorang ras kulit hitam,

dan film box office ―Avatar‖ yang berkisah tentang kepahlawanan Marinir AS

dalam menolong alien ras kulit biru yang lemah.

(26)

16 1. Sandy Krushow, Ketua Fox Entertaiment

2. Barry Meyer, Ketua Warner Bros

3. Sherry Lansing. Presiden Komunikasi Paramount dan Ketua Paramount Pictures Grup Motion

4. Harvey Weinstein, CEO. Miramax Films.

5. Barry Diller, Ketua Amerika Serikat Interaktif, bekas pemilik Universal Entertaiment

6. Terry Semel, CEO, Yahoo dan Warner Bros. 7. Gail Berman, Presiden Fox Entertainment. 8. Stephen Spielberg, co-pemilik Dreamworks. 9. Jeffrey Katzenberg, co-pemilik Dreamworks 10.Jordan Levin, presiden Warner Bros Entertainment 11. Howard Stringer, Kepala Sony Corp of America 12.Amy Pascal, Ketua Columbia Pictures.

Entah memiliki hubungan secara langsung atau tidak mengenai keberadaan orang-orang kulit di balik industri perfilman Amerika dengan kecenderungan tema-tema dan penempatan peran dalam film-filmnya. Data di atas sudah cukup membuktikan bahwa orang-orang kulit purih memang menempati level yang tinggi dalm industri perfilman Amerika.

E.5. Politik Identitas Berbasis Ras Di Amerika

(27)

17 (orisinalitasnya) karena semuanya telah mengalami peristiwa dekonstruksi. Namun sebuah identitas dapat ditelusuri melalui suatu kajian psikologi yang disebut dengan te ori identifikasi. Teori identifikasi tersebut dikembangkan oleh Sigmund Freud dari ajarannya yang disebut dengan Psikoanalisa.

Teori dari Sigmund Freud tentang penelusuran identitas kemudian disempurnakan oleh Erik Homburger Erikson yang juga seorang psikoanalisis. Dalam teorinya Erik lebih berbicara tentang formasi identitas dalam proses perkembangan dari anak-anak menjelang tua. Tulisan-tulisan Erik menggambarkan tentang pertumbuhan konfigurasi perkembangan sosial dan psikologis dengan pembentukan identitas melalui perputaran siklus hidup manusia.

Erikson dalam Abdilah (2002:38) menekankan bahwa identitas itu

merupakan ―proses yang terjadi‖ secara bertahap pada inti individu meskipun

juga dalam inti kebudayaannya pula, sebenarnya merupakan proses pendirian identitas dari kedua identitas ini. Erikson menggambarkan bahwa sebenarnya identitas ego tidak terlepas dari pengaruh hubungan sosial dan sejarah. Sejarah kehidupan pribadi seseorang juga terjalin erat dengan sejarah pada umumnya.

Abdilah (2002:41) menyebutkan pengamanan terhadap identitas individual merupakan bentuk usaha yang inheren dalam setiap individu dan tidak akan membiarkannya dicampuri atau di reduksi orang lain. Dalm konetks inilah terjadinya suatu bentuk pemujaan terhadap identitas dasar

kelompok etnis. Bahwa etnisitas telah menjadi sentimen ―ego‖, ―saya‖ (dalam

(28)

individu-18 individu dan kelompok yang membentuk kesadaran kolektif budaya dan politik Isaac dalam Abdilah (2002:41).

Hellner dalam Abdilah (2002:41) menyebutkan bahwa politik identitas yang sebenarnya merupakan nama lain dari biopolitik yang berbicara tentang satu kelompok yang diidentikam oleh karakteristik biologis atau tujuan-tujuan biologisnya dari suatu titik pandang, sebagai contoh adalah politik ras dan politik jender. Biopolitik merupakan suatu bentuk kritik terhadap konsep sejarah politik dan sosiologi seperti pandangan superioritas dan inferioritas satu ras atas yang lain atau yang disebut sebagai rasisme.

(29)

19 Wattenburg, Amerika Serikat merupakan negara yang disebut sebagai negara universal pertama di dunia dengan penduduk sebanyak hampir 250 juta jiwa yang mewakili nyaris semua kebangsaan dan kelompok etnis di dunia.

Di semua Negara bagian di Amerika Serikat terdapat berbagai macam ras dalam kehidupan masyarakatnya seperti yang tergambar dalam film Freedom Writer yang bersetting di Negara bagian California, Amerika. Namun menurut Thomas Well dalam bukunya Mosaik Amerika, ras terbesar di Amerika Serikat ada 4 macam. Ke empat ras tersebut adalah sebagai berikut:

1. Warga kulit putih atau White Anglo Saxon Protestant (WASPs)

Warga kulit putih atau White Anglo Saxon Protestant (WASPs) adalah sebuah tradisi atau bahkan bisa disebut ideologi tentang siapa yang seharusnya menjadi penguasa Amerika Serikat. Pada awalnya tradisi ini diperkenalkan oleh orang-orang Inggris yang merasa dirinya superior. Karena merekalah yang pertama masuk ke Amerika Serikat dan Membangun Amerika dengan pengetahuan dan ketrampilan tertentu dengan orientasi kerja dalam berbagai bidang ekonomi dan politik. Keyakinan tersebut juga didorong oleh moralitas agama protestan yang diasumsikan sebagai agama yang paling kuat mendorong orang bekerja lebih produktif (Liliweri, 2005:116).

(30)

20 memiliki prasangka buruk kepada warga kulit putih dikarenakan perlakuan warga kulit putih pada jaman perbudakan Amerika Selatan terhadap warga kulit hitam.

2. Warga kulit hitam atau Africans-Americans

Warga kulit hitam adalah kelompok etnik pertama dari benua Afrika yang dijadikan budak oleh orang-orang Spanyol dalam eksplorasi ke dunia baru Amerika, sejak tahun 1619 sampai akhir abad ke-18. Jumlah warga kulit hitam di AS diperkirakan 10 juta orang yang tinggal di bagian barat benua.masalah umum yang dihadapi warga kulit hitam adalah pendapatan mereka yang rendah, kemiskinan, dan diskriminasi oleh orang-orang kulit putih di berbagai sendi kehidupan sosial (Liliweri, 2005:116).

Warga kulit hitam seringkali tidak disukai atau dianggap negatif oleh warga kulit putih karena mereka dulu menjadi budak warga kulit putih. namun seiring dengan kemajuan jaman, keberadaan warga kulit hitam juga terus maju. Hal tersebut dianggap sebagai keaadaan yang mengancam warga kulit putih.

3. Warga Asia yang tinggal di Amerika atau Asian-Americans

(31)

21 samping imigran dari Filipina, Korea, Kamboja dan yang terakhir dari Vietnam (Liliweri, 2005:117).

Warga Amerika-Asia kurang disukai keberadaannya, karena sejak pertama kali datang ke Amerika kedatangan mereka dianggap merusak standar buruh yang ada. Warga dari ras lain sering menganggap warga Amerika-Asia sebagai orang-orang yang serakah. Bahkan di Merika sempat memiliki peraturan yang melarang kedatangan warga Asia ke Amerika

4. Warga Hispanic-Americans

Adalah warga yang mewakili tiga budaya sekaligus yaitu Meksiko, Puerto Rico dan Cuba. Jumlah keturunan Amerika Hispanik diperkirakan mencapai 12% dari penduduk AS. Prosentase ini cenderung meningkat karena imigrasi dan tingkat kelahiran yang tinggi (Liliweri, 2005:118).

Warga Amerika-Hispanik diantipati oleh berbagai ras di Amerika karena keberadaan mereka yang seringkali menyebabkan keresahan karena tindakan anarkis yang mereka lakukan pada masa lalu di Los Angeles.

(32)

22 memiliki keanekaragaman ras terbesar di dalamnya. Dalam presangka, emosi sering kali memaksa seseorang untuk berpikir secara subyektif dan tidak melihat realita serta fakta yang terjadi. Sehingga sekali prasangka sudah mencekam pikiran seseorang, maka orang tersebut tidak akan bisa berfikir obyektif dan segala apa yang dilihatnya selalu akan dinilai secara negatif (Liliweri, 2005:200)

E.6. Neo-Kolonialisme oleh Ras Kulit Putih

Peristiwa kolonialisme akan selalu menyisakan kompleksitas ekses yang berkepanjangan pada masa selepas kolonialisme. Poskolonial atau pascakolonial itu sendiri berarti masa selepas kolonial, dan pada saat yang sama kata post atau pasca selalu berada dalam keterkaitan dengan kolonialisme (Budianta, 2004:61). Sebagai bagian dari wacana kolonial, bangsa, etnis, ras ataupun kelas sosial dalam suatu komunitas masyarakat yang pernah terjajah mempunyai kecenderungan untuk selalu dimarginalkan, dipinggirkan, diasingkan, dibaca, serta dikendalikan, oleh kaum imperialis penjajah dan keturunan anak cucu kolonial. Di saat yang sama kaum yang pernah terjajah berpersepsi bahwa kaum penjajah adalah kaum yang kuat, hebat, makmur, kaya, pintar, dan sebagainya yang dapat menjanjikan kemampuan untuk mengubah keterpurukan-kemiskinan hidup seseorang, dengan syarat apabila Sang Terjajah rela ―dibaca dan dikendalikan,

(33)

23 Dalam pemaknaan tesktual yang dimaksud dengan neo kolonialisme adalah bentuk penjajahan baru. Penjajahan ini berbeda dengan penjajahan model lama, bahwa suatu bangsa menguasai langsung terhadap negara jajahan, seperti Inggeris yang menguasai India dan kawasan Asia lainnya, serta Belanda menguasai Indonesia. Untuk membedakan bagaimana tipologi

jajahan, Sukarno membedakan antara ―finanz capital ― dan ―handelz capital‖.

Untuk tipologi pertama, negara jajahan adalah tempat pengambilan sumber-sumber alam untuk keperluan industri negara penjajah, dan tempat pemasaran hasil industry. Tipologi ini dipraktekan Belanda terhadap negara jajahan

Indonesia. Sedangkan pda ―handelz capital‖ , negara jajahan hanya sebagai

tempat pemasaran hasil industri, hal ini dipraktekan Inggeris dengan negara jajahannya.

Ronald H. Chilote (57:2003) juga berpendapat bahwa neo kolonialisme adalah suatu strategi dalam tahapan imperialism setelah berkhirnya Perang Dunia II. Ciri-cirinya adalah monopoli dan munculnya suatu system internasional korporasi. Korporasi sejagat sedang menghantarkan suatu

perekonomian dunia yang sejati dalam sebuah pusat perbelanjaan dunia‖.

Sejalan dengan pendapat di atas, untuk mendorong adanya perluasan pasar bebas (liberalisasi) atau globalisasi isu yang dikembangkan pun berubah tidak

sekedar ―modernisasi‖ tetapi meluas dalam beragam isu, seperti

(34)

24 kehendak terhadap negara berkembang. Apabila, suatu rezim menentang atau tidak mematuhi, maka tidak segan-segan kekuatan neo kolonialis akan mengganti suatu rezim sebelumnya dengan rezim yang baru, baik langsung ataupun tidak langsung.

Fenomena kolonialisme pada masa sekarang atau yang biasa disebut dengan Neo-Kolonialisme atau Kolonialisme baru memang masih didominasi oleh kelompok Ras Kulit Putih yang notabene merupakan manusia-manusia Barat. Hegemoni di hampir semua bidang masih dikendalikan oleh dunia barat. Hal ini mungkin terjadi karena warisan sejarah dan mitos yang terlanjur melekat pada masyarakat dunia bahwa orang Kulit Putih atau orang-orang barat lah yang memiliki kuasa untuk memonopoli seluruh sendi kehidupan global. Berbagai sector kehidupan saat ini pada kenyataannya memang dikuasai oleh Barat, baik industry tekonologi, perekonomian, hiburan, gaya hidup dan lain sebagainya.

E.7. Semiotika Dalam Kajian Film

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis strukturalis atau semiotik. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri. Kekhususan film adalah mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera, dan pertunjukannya yang menggunakan proyektor dan layar.

Menurut Art Van Zoest (1993:113), ―Semiotika film untuk membuktikan hak

(35)

25 pengertian-pengertian yang dipinjam dari ilmu bahasa dan sastra, tetapi akan merupakan metafor-metafor, jadi dengan pengertian-pengertian yang digunakan sebagai perbandingan-tidak perlu kita tolak.

Istilah semiotik secara etimologis berasal dari kata Yunani semion yang

berarti ‗tanda‘. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar

konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, dalam Alex Sobur, 2002).

(36)

26 dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek–objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi system terstruktur dari tanda.

Analisis semiotika modern dapat dikatakan dipelopori oleh dua orang– Ferdinan de Saussure, ahli linguistik dari Swiss (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce, filosof Amerika (1839-1914). Peirce menyebut sistemnya sebagai semiotika dan telah menjadi istilah dominan yang digunakan untuk ilmu tentang tanda-tanda. Istilah dan konsep semiologi dari Saussure berbeda dengan semiotika dari Peirce dalam beberapa hal, namun keduanya menaruh perhatian kepada tanda-tanda. Saussure membagi tanda menjadi dua komponen: penanda (signifier) atau ―citra suara‖ (sound image) dan penanda (signified) atau ―konsep‖ (concept), serta sarannya bahwa hubungan antara penanda dan petanda adalah sewenang-wenang yang merupakan titik penting dalam perkembangan semiotik. Di pihak lain Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu pada dimensi ikon-indeks dan simbol-nya.

Adapun menurut John Fiske ada tiga kajian utama dalam semiotik, yaitu: a. Tanda itu sendiri. Ini terjadi atas bermacam-macam perbedaan tanda.

(37)

27 b. Kode-kode atau sistem-sistem pada tanda-tanda yang terorganisir. Ini mencakup cara-cara dimana kode-kode dapat berkembang atau untuk menemukan keinginan atau kepentingan masyarakat atau individu atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia.

c. Budaya dimana kode-kode dan tanda-tanda yang beroperasi. Ini tergantunng pada penggunaan untuk masing-masing bentuk dan keberadaan.

Secara substansial, semiotik adalah kajian yang concern dengan dunia simbol, sebab pada dasarnya isi media massa adalah bahasa, sementara bahasa merupakan dunia simbolik. Adapun simbol itu bisa berupa bahasa verbal seperti: ucapan, dan bahasa non verbal yang meliputi: gesture, yang berasal dari indra manusia maupun dari tanda-tanda yang menjadi struktur pesan dalam media yang dapat dimaknakan secara denotatif maupun konotatif.

Pendekatan terhadap tanda-tanda dibagi menjadi:

a. Penanda dan petanda

(38)

28 Tanda (sign) yang kita temui di pada berbagai macam ruang, media, atau karya tidak akan lepas dari dua unsur yang membentuknya, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda merupakan aspek material tanda yang bersifat sensoris atau dapat diindrai (sensible). Substansi penanda senantiasa berwujud material baik berupa bunyi-bunyi, objek-objek, imaji-imaji, dan sebagainya. Sementara itu, petanda merupakan aspek mental dari tanda-tanda, atau seringkali disebut sebagai

―konsep‖, yakni konsep-konsep ideasional yang bercokol di dalam benak

penutur. Keberadaan petanda tidak bersifat fisik, melainkan berupa hasil pikiran tertentu, suatu sosok di dalam mimpi, atau mungkin makhluk khayali, maka petanda adalah semata-mata sebuah representasi mental dari

―apa yang diacunya‖ (Kris Budiman, 2003: 47).

Kedua elemen tanda ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Sehingga kebergantungan antara satu dengan yang lain menjadikan: penanda tidak akan ada tanpa petanda, dan petanda tidak akan ada tanpa penanda. Dan apabila tidak ada penanda atau petanda, maka tidak akan ada tanda.

b. Ikon, Indeks dan Simbol

(39)

29 sebab akibat, simbol untuk asosiasi konvensional. Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objek.

Adapun konsep makna tanda dibagi menjadi: Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, tanda disebut sebuah ikon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaanya berkaitan dengan objek individual, tanda adalah sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai sebagai akibat dari suatu kebiasaan, tanda disebut sebuah simbol (Alex Sobur, 2003).

c. Konotasi, Denotasi dan Mitos

Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi jenis lain yang ia sebut sebagai mitos. Fokus perhatian Roland Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) seperti terlihat pada gambar berikut ini:

Gambar 1.1

Signifikasi Dua Tahap Barthes

Deno tation

(40)

30 Sumber : John Fiske, 1990:122

Barthes menyebut denotasi sebagai makna paling nyata dari tanda. Pada level ini tanda dimaknai sebagimana adanya. Denotasi berarti hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran. Makna denotasi bersifat langsung , yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Denotasi juga merupakan makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu diluar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu secara obyektif (Sobur, 2003:263)

Pada level konotasi, tanda dimaknai menurut makna tambahannya (konotasi). Menurut Barthes konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung pada saat tanda bertemu dengan emosi para penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya (Fiske, 1990:118). Konotasi sebagian besar bersifat arbriter dan spesifik pada kultur tertentu. Konotasi bersifat ekspresif , lebih mengutamakan pengalaman subyektif dari pada unsure obyektif. Konotasi merupakan cara yang penting dimana encoder mentransmisikan emosi, perasaan, atau penilaian mereka mengenai pesan dalam teks.

(41)

31 level mitos. Secara umum, mitos adalah cerita yang digunakan oleh suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas social yang sudah mempunyai suatu redenominasi (Sobur, 2002:128).

Mitos adalah suatu wahana dimana ideologi berwujud. Ideology menunjuk pada realita dimana individu maupun kelompok, secara obyektif maupun subyektif mengorientasikannya dalam dunia mereka masing-masing. Raymond William (dalam Sobur, 2001:64) menanamkan ideology sebagai himpunan ide-ide yang muncul dari seperangkat kepentingan tertentu atau secara lebih luas, dari sebuah kelas atau kelompok tertentu. Ideology diorganisasikan kedalam kesatuan penerimaan social seperti individualisme, patriarki, ras, gender, kelas, materealisme, kapitalisme dan sebagainya.

d. Sintagmatik dan Paradigmatik

(42)

32 Misalkan dalam bahasa, hubungan kata dengan sinonim-sinonimnya atau antonim-antonimnya, atau kata-kata lain yang memiliki kesamaan bentuk dasar, bunyi dan seterusnya (Kris Budiman, 2003: 43).

Menurut Claude Levi-Strauss (1967; Berger, 2000:23) menyatakan bahwa analisis paradigmatik pada teks akan menjelaskan apa yang

―sesungguhnya‖ terjadi. Berbeda dengan analisis sintagmatik yang

mengemukakan makna manifes (nyata-tampak), analisis paradigmatik memperlihatkan makna laten. Analisis paradigmatik sebuah teks melibatkan penyelidikan pola-pola pasangan oposisi berlawanan yang tersembunyi dan menghasilkan makna. Elemen-elemen dikeluarkan dari urutan yang terjadi dan dikelompokkan kembali dalam satu atau lebih skema analitis. Mitos terdiri dari unit dasar dan minimal, ―mythemes‖, yang dengan berbagai cara digunakan untuk menyampaikan pesan.

Paradigmatik pada sebuah teks melibatkan penyelidikan pola-pola pasangan oposisi (berlawanan) yang tersembunyi dan menghasilkan makna. Pasangan berlawanan digunakan oleh kaum strukturalis sebagai dasar berfikir manusia dalam memproduksi makna, seperti penelitian yang dilakukan oleh Budi Irawanto dalam mempertentangkan karakter sipil dan

militer dalam bukunya yang berjudul ―Film, Ideologi dan Militer‖. Claude

(43)

33 e. Metafora dan metonimia

Metonimia mencakup relasi bagian dan keseluruhan, artinya ―bagian‖ dari sesuatu digunakan untuk merujuk keseluruhan dari sesuatu tersebut.

Contohnya pada ―tangan‖ digunakan untuk merujuk kata pekerja keras.

Metonimia menggambarkan tubuh dari pekerja tersebut yaitu tangan yang paling relevan dengan kegiatannya sebagai seorang pekerja. Sedangkan metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan, misalnya kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia. Metonimia adalah pemakaian nama untuk benda lain yang berasosiasi atau menjadi atributnya misalnya si kaca mata digunakan untuk menyebut orang yang sedang memakai kacamata. Perbedaan antara metafora dan metonimia dapat terlihat dari ada tidaknya pengalihan konsep antar ranah. Pada metafora terlihat jelas adanya pengalihan konsep ranah secara keseluruhan. Namun pada metonimia tidak terlihat adanya pengalihan konsep ranah. Oleh sebab itu dalam bidang linguistik metonimia dinyatakan berbeda tetapi terkadang dapat saling melengkapi.

F. Metode Penelitian

F.1. Pendekatan Penelitian

(44)

34

Writer‖. Sedangkan metode yang digunakan mengacu pada teknik analisa

semiotika Roland Barthes.

F.2. Obyek Penelitian

Objek penelitian ini adalah film ―Freedom Writer‖ karya Richard

LaGravenese yang berdurasi 1:58 menit dan difokuskan pada scene-scene yang diduga menyimpan muatan rasisme.

F.3. Unit Analis Data

Unit analisa dalam penelitian ini adalah scene, namun tidak smua scene yang terdapat dalam film ini yang akan diteleti, namun hanya beberapa scene yang diduga menyimpan makna rasisme. Selain scene, unit analisa dalam penelitian ini juga akan diambil dari dialog, setting dan beberapa

karakter penokohan yang terdapat dalam film ―Freedom Writer‖

F.4. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui dua cara: 1. Data Primer, dengan teknik pengumpulan data dan dokumentasi yaitu

memutar dan menyaksikan film ―Freedom Writer‖, kemudian

melakukan pemilihan scene yang sesuai dengan rumusan masalah tersebut diatas.

(45)

35 F.5. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik semiotika yaitu dengan menggunakan teori semiotika dari Roland Barthes. Pertama data dikumpulkan dengan cara mengamati secara keseluruhan obyek

yang akan diteliti dalam hal ini beberapa scene dalam film ―Freedom Writer‖,

dengan cara membaca dan menganalisanya kemudian mengelompokkan makna-makna yang ada baik makna denotasi maupun konotasinya.

Untuk mempermudah mengidentifikasi makna yang tersembunyi dibalik scene-scene tersebut serta mengetahui bagaimana makna konotatifnya dikonstruksi, maka peneliti menggunakan peta tentang bagaimana tanda-tanda tersebut bekerja milik Roland Barthes, yaitu sebagai berikut:

Tabel 1.1

Table semiotika Roland Barthes

1. signifier (penanda) 2.signified (petanda)

3. Denotative sign ( tanda denotatif)

4. connotative signifier (penanda konotatif) 5. connotative signified (petanda konotatif)

6. connotative sign (tanda konotatif)

(46)

36 Peta tentang tanda-tanda tersebut diatas dapat dideskrpsikan secara ringkas sebagai berikut:

1. Mengamati secara keseluruhan obyek penelitian. Kemudian membuat deskripsi secara keseluruhan tentang film.

2. Melakukan pemotongan-pemotongan gambar, pemilihan adegan berdasarkan fokus penelitian dan disimpan dalam format JPEG

3. Melakukan identifikasi penanda dan petanda denotatifnya, serta kemudian menganalisa makna denotatifnya

4. Dari data yang diperoleh pada langkah ke 3, kemudian mencari penanda dan petanda konotatifnya, serta mencari kemungkinan-kemungkinan makna konotatif dari sebuah tanda yang ada pada obyek penelitian.

Gambar

Gambar 1.1 Signifikasi Dua Tahap Barthes
Table semiotika Roland Barthes

Referensi

Dokumen terkait

Dalam film ini menunjukkan beberapa perilaku menyimpang yang diakibatkan karena tekanan psikologis dari seorang gadis yang sejak kecil sudah mendapatkan banyak

Dia bermaksud untuk mengangkat derajat Pan agar sama dengan orang kulit putih dengan mengatakan bahwa Pan adalah seorang kulit putih, tetapi akibatnya adalah

Potongan shot-shot adegan berikut ini gambar guru yang penuh dengan kegigihan dan sikap optimis dalam mendidik anak muridnya, yakni pesan yang terdapat pada

simbol rasisme yang terkandung dalam film tersebut. Menentukan

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya, bahwa skripsi saya yang berjudul: PROPAGANDA DALAM FILM AMERIKA (Studi Analisis Isi Kualitatif Tentang Propaganda Heroisme

Rumah yang digunakan juga digambarkan berbeda antara Kaum kulit hitam dan Kaum kulit putih didalam film Cadillac Record s ini, digambarkan seorang produser Kaum kulit

Pada masa itu, klub-klub baseball raksasa Amerika beranggotakan orang-orang kulit putih.Orang-orang kulit hitam diperbolehkan bermain baseball, tetapi hanya pada

PROPAGANDA AMERIKA SERIKAT TENTANG TERORISME ISLAM MELALUI MEDIA FILM (Analisis Isi pada Film Zero Dark Thirty, Karya Kathryn Bigelow).. Adalah bukan karya tulis ilmiah orang