• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan Usia Dini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan Usia Dini"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh :

Shella Lyana Wilza Cumentas

201210230311006

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

PENGARUH KEMATANGAN EMOSI TERHADAP

PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA PASANGAN USIA DINI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Univeristas Muhammadiyah Malang sebagai salah satu persyaratan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Psikologi

Oleh :

Shella Lyana Wilza Cumentas 201210230311006

FAKULTAS PSIKOLOGI

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Skripsi : Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan Usia Dini

2. Nama Peneliti : Shella Lyana Wilza Cumentas

3. NIM : 201210230311006

4. Fakultas : Psikologi

5. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang 6. Waktu Penelitian : 4 Desember 2015 – 20 Desember 2015

Skripsi ini telah diuji oleh dewan penguji pada tanggal 2 februari 2016 Dewan Penguji

Ketua Penguji : Dr. Iswinarti, M.Si ( )

Anggota Penguji : 1. Siti Maimunah, S.Psi, MM, MA ( ) 2. Yudi Suharsono, M.Psi, M.Si ( )

3. Tri Muji Ingarianti, M.Psi ( )

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Iswinarti, M.Si Siti Maimunah, S.Psi, MM, MA

Malang, Februari 2016 Mengesahkan

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

(4)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Shella Lyana Wilza Cumentas

Nim : 201210230311006

Fakultas / Jurusan : Psikologi/ Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang

Menyatakan bahwa skripsi/ karya ilmiah yang berjudul :

Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan Usia Dini 1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk

kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya.

2. Hasil tulisan karya ilmiah / skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan Hak bebas Royalti non eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Malang, Januari 2016 Mengetahui,

Ketua Program Studi Yang menyatakan

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, rahmat, dan hidayatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan Usia Dini., skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memiliki kelemahan dan keterbatasan, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan karena ada bimbingan, dorongan, serta bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih sebesar- besarnya atas segala bantuan yang telah diberikan terutama kepada:

1. Dra. Tri Dayakisni, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Yuni Nurhamida, M.Psi selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

3. Dr. Iswinarti, M.Si selaku pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu, kesabaran dan ketelatenan untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berharga, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Siti Maimunah, S.Psi., MM, MA selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, kesabaran dan ketelatenan untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berharga, serta selalu member semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

5. Diana Savitri Hidayati,S.Psi selaku dosen wali yang telah memberikan motivasi, arahan dan dukungan sejak awal perkuliahan sampai selesainya skripsi ini.

6. Kepada seluruh subjek yang sudah berkontribusi dan menyempatkan waktunya untuk mengisi skala.

7. Kepada seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama perkuliahan ini.

8. Laboratorium Fakultas Psikologi beserta rekan-rekan asisten, untuk setiap dukungan dan bantuan selama ini.

(6)

10.Ibnu Munfaridz, seseorang yang selalu ada dan memberi motivasi dalam perkuliahan. Dan Anakku Maryam Qonita Salsabila yang memberikan motivasi dalam perkuliahan dan bisa menyelesaikan skripsi.

11. Teman-teman dan sahabat tercinta: Desi, Nurul, Rena, Elle, Riri, Diena, Icha, Septian, Reza, Mukhlis, Tyo, Didik, Ical, Mito

12. Teman – teman seperjuangan Psikologi kelas A angkatan 2012 yang selalu memberikan dukungan dan semangat dan mengalami suka duka bersama selama kuliah.

13. Teman – teman satu dosen Pembimbing : Kiki, Ayu, Dewi, Astri, Andin, Mirza, Lovi, Muti, Syfa, Manda, Alfi yang selalu menemaniku dikala suka maupun duka, dan selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis yang selalu memberikan semangat, tempat sharing dan memberi dukungan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. 14. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak

memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga kritik dan saran demi perbaikan karya skripsi ini sangat penulis harapkan. Meski demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya.

Malang, Februari 2016 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... i

Surat Pernyataan ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vi

Daftar Lampiran ... vii

ABSTRAK ... 1

PENDAHULUAN ... 2

Penyesuaian Perkawinan ... 6

Kematangan Emosi ... 7

Penyesuaian Perkawinan dan Kematangan Emosi ... 9

METODE PENELITIAN ... 11

Rancangan Penelitian ... 11

Subjek Penelitian ... 11

Variabel dan Instrumen Penelitian ... 11

Prosedur dan Analisa Data Penelitian ... 12

HASIL PENELITIAN ... 13

DISKUSI ... 16

SIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 19

REFERENSI ... 20

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Deskripsi subjek kategori usia saat menikah ... 13

Tabel 2.Kategorisasi deskripsi lama menikah ... 13

Tabel 3.Mean berdasarkan usia ... 14

Tabel 4.Mean berdasarkan lama pernikahan ... 14

Tabel 5. Deskripsi norma penyesuaian perkawinan ... 14

Tabel 6. Deskirpsi norma Kematangan emosi ... 15

Tabel 7. Deskripsi statistik……… .... 15

Tabel 8. Hasil analisis statistik anova……… ... 16

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Validitas dan Reabilitas ... 26

Lampiran II Hasil Uji Regresi Liner Sederhana ... 32

Lampiran III Blue Print Skala ... 42

(10)

Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap Penyesuaian Perkawinan Pada

Pasangan Usia Dini

Shella Lyana Wilza Cumentas

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang

shellacumentas@gmail.com

Perceraian semakin tahun semakin meningkat di Indonesia. Perceraian yang paling tinggi terjadi pada pasangan yang menikah usia dini. Penyesuaian perkawinan merupakan suatu proses yang penting dalam suatu bahtera rumah tangga dan menentukan apakah rumah tangga tersebut dapat utuh selamanya atau berakhir dengan jalan perceraian. Dalam proses penyesuaian perkawinan dibutuhkan matangnya emosi agar tidak salah dalam mengambil keputusan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan subjek sebanyak 34 pasangan yang menikahusia dini dengan pengambilan populasi menggunakan teknik sampling kluster. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan dua skala yaitu skala penyesuaian perkawinan dan skala kematangan emosi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan dilihat dari nilai(F = 28,714 P = 0,000<0,01). AdapunR Square sebesar 0,303.

Keyword: Kematangan emosi, penyesuaian perkawinan, pasangan usia dini

Divorce is getting in on the rise in Indonesia. The highest divorce occurred in couples who marry early age. Marital adjustment is a process that is important in an ark household and determine whether a household can intact forever or end with the divorce. In the process of adjustment needed marriage matures emotions that are not wrong in taking decisions. The purpose of this study was to determine the effect of emotional maturity for marital adjustment. This research is a quantitative research with the subject of as many as 34 couples who married early age by making the population using cluster sampling technique. Instruments in this study using two scales that marital adjustment scale and the scale of emotional maturity. The results showed that there was a significant effect of emotional maturity to marital adjustment seen from the value (F = 28,714, P = 0.000 <0.01). The R Square of 0,303.

(11)

Fenomena pernikahan di usia muda masih sangat tinggi. Hal tersebut terlihat dari maraknya pernikahan usia muda pada kalangan remaja, yang kini tidak hanya terjadi di kalangan adat tetapi telah merambah pelajar sekolah yang semestinya fokus menuntut ilmu dan mengembangkan bakat. Selain itu, fenomena menikah di usia muda ini akan beruntut pada masalah sosial lainnya seperti tindak kriminal aborsi, risiko penyakit menular seks (PMS), serta perilaku a-sosial lainnya dan juga tidak menutup kemungkinan pekerja seksual juga muncul dari “budaya kebablasan”ini (Berita RRI,2014).

Pernikahan usia anak atau lebih dikenal dengan istilah pernikahan di bawah umur merupakan salah satu fenomena sosial yang banyak terjadi diberbagai tempat di tanah air, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Menurut berita RRI (2014), baik kalangan menengah keatas maupun menengah kebawah.Di daerah perkotaan sebanyak 21,75% anak-anak dibawah usia 16 tahun sudah dinikahkan. Di pedesaan, angkanya jauh lebih besar yaitu 47,79%, yang menampakkan kesederhanaan pola pikir masyarakatnya sehingga mengabaikan banyak aspek yang seharusnya menjadi syarat dari suatu perkawinan. Setelah menikah seorang gadis di desa sudah harus meninggalkan semua aktivitasnya dan hanya mengurusi rumah tangganya, begitu pula suaminya di tuntut lebih memiliki tanggung jawab karena harus mencari nafkah.

Pernikahan usia dini masih menjadi masalah serius di negeri ini, dan semakin hari makin banyak remaja perempuan yang menikah di bawah umur. Perkawinan merupakan tempat bersatunya pribadi yang berbeda yaitu, antara pria dan wanita sebagai suami istri yang mempunyai tujuan untuk membentuk sebuah mahligai keluarga yang kekal, bahagia dan sejahtera baik lahir maupun batin. Menurut UU. No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Walgito 2004).Menurut Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia menikah bagi perempuan ialah 16 tahun dan pria 19 tahun.

Indonesia menempati urutan ke 37 diantara negara-negara yang memiliki jumlah pernikahan usia muda tertinggi di dunia. Bahkan Indonesia menempati urutan ke dua tertinggi di ASEAN, setelah Kamboja. (Berita RRI, 2014). Lebih dari 22.000 orang anak perempuan usia 10-14 tahun atau setara dengan 0,2% perempuan muda telah menikah. Selanjutnya, jumlah perempuan muda berusia 15-19 tahun yang menikah juga sangat tinggi, yaitu mencapai 11,7%, sementara laki-laki di usia yang sama yaitu 15-19 tahun yang telah menikah hanya 1,6%. (BKKBN dalam Riset kesehatan Dasar 2010). Sebanyak 50% perempuan muda di Indonesia menikah di bawah usia 19 tahun. Secara nasional, median usia pernikahan adalah 19 tahun. Padahal diharapkan usia minimal untuk menikah bagi perempuan adalah 20 tahun dan laki-laki 25 tahun.

Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia yang dilakukan oleh BKKBN tahun 2012 jumlah kelahiran dari pasangan remaja di perkotaan meningkat. Sementara di pedesaan memang menurun, tapi jumlahnya justru meningkat 2 kali lipat dibanding kasus di perkotaan, alasannya karena tingginya jumlah pernikahan usia dini, serta tingginya hubungan seks pranikah yang semuanya bermuara pada Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD).

(12)

motivasi untuk meningkatkan derajat dengan mencarikan pasangan dari keluarga yang lebih kaya atau lebih tinggi kedudukan sosialnya.

Sering kali juga dengan alasan karena orang tua ingin segera lepas dari tanggung jawabnya, karena dengan menikahkan anak mereka menganggap bahwa tanggung jawab dialihkan kepada suami anaknya. Selain itu ada juga orang tua yang beralasan bahwa menikah dini dilakukan untuk menghindari fitnah atau gunjingan tetangga. Sering kali juga pernikahan dini terjadi pihak perempuan telah telanjur dihamili sebelum terjadi pernikahan yang sah. Tingginya jumlah remaja laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan seks di usia sekolah atau sebelum menikah pasti membuat tingginya jumlah remaja yang melakukan pernikahan usia muda.

Akibat dari perkawinan usia muda mempunyai dua dampak, yaitu dampak positif dan negatif. Dampak positif nikah usia muda adalah meringankan beban salah satu pihak dari keluarga walaupun tidak sepenuhnya, karena dengan perkawinan tersebut beban keluarganya akan sedikit terkurangi. Sedangkan dampak negatifnya adalah banyak keluarga yang menikah muda yang berahir dengan penceraian (Rohmat,2009).

Menurut berita RRI (2014) terjadinya pernikahan dini juga mempengaruhi tingginya angka perceraian dan mayoritas kaum perempuan yang mengajukan permohonan untuk bercerai.Perceraian merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-suami-istri.

Perceraian bisa terjadi dikarenakan masalah dalam penyesuaian perkawinan yang biasanya dialami oleh keluarga baru atau pada pasangan yang menikah dini.Hal ini dibuktikan dengan penelitian Tilson dan Larren (2000) bahwa hasil analisis ini menunjukkan bahwa kedua variabel antara pernikahanusia dinidan pasangan yang mempunyai anak memilikidampak yang signifikan terhadap risiko perceraian. Tetapi dengan memiliki anak dalam pernikahan pertama secara signifikan mengurangi risiko perceraian.

Berbeda dengan penelitian diatas, penelitian yang dilakukan oleh Glenn dan Kramer (1987) hasil dari penelitiannya mengemukakan bahwa ada efek dari perceraian orang tua kepada keturunanya. Analisis dilakukan untukpenjelasan umum dan masuk akal untuk transmisi antargenerasi perceraian di wilayah rawan menghasilkan dukungan langsung untuk “komitmen yang lebih rendah untuk pernikahan” dan penjelasanmengungkapkan bahwa sebagian kecil dari efek transmisi cenderung diperkirakan dapat membuat perceraian pada anak-anak yang menikah pada usia dini.

Sarkar (2009) dari penelitiannya di Bangladesh menunjukkan hasil bahwa perempuan di Bangladesh terlibat dalam kegiatan seksual pada usia dini sebelum 20 tahun yang menyebabkan banyak terjadinya pernikahan dini. Pernikahan dini memiliki dampak yang signifikan terhadap perceraian dan pernikahan kembali dan akhir dari pernikahan.

(13)

bisa menyebabkan berakhir dengan keputusan yang buruk yaitu perceraian. Dagum (2012) menyatakan semestinya perceraian merupakan alternatif terakhir yang diambil oleh pasangan suami-istri, ketika permasalahan tidak lagi dapat diselesaikan dengan alternatif yang lain.

Antar pasangan tidak sama persis dalam penyesuaian perkawinannya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Anjani dan Suryanto (2006) ada lima pola penyesuaian perkawinanan pasangan suami istri pada periode awal yaitu : 1). Fase bulan madu, merupakan fase paling indah karena masing-masing pihak berupaya membahagiakan pasangannya. Pada fase ini pasangan tidak berupaya untuk saling menonjolkan kekurangan melainkan saling menutupi kelemahan masing-masing pasangan. 2). Fase pengenalan kenyataan, merupakan fase yang memerlukan adaptasi seperti kebiasaan pasangan. Kebiasaan pasangan yang paling sering muncul dalam penelitian ini adalah perubahan sikap yang terjadi pada pasangan istri maupun suami. 3). Fase kritis perkawinan, merupakan fase paling rawan yang mungkin akan mengancam kehidupan rumah tangga setelah mengenal kenyataan yang sebenarnya. Tingginya suatu pendidikan tidak menjamin bahwa pasangan dapat beradaptasi dengan baik dan dapat menyelesaikan masalah. 4). Fase menerima kenyataan, dimana suami istri menjalankan perkawinan dengan cara-caranya sendiri atau kembali pada diri masing-masing dan tahu perannya dalam rumah tangga. Sehingga kehidupan rumah tangga dapat berjalan dengan baik walaupun prbedaan ditengah-tengah mereka. 5). Fase kebahagian sejati, kebahagiaan merupakan salah satu tujuan perkawinan. Perbedaan bukanlah penghalang bagi pasangan untuk meniti tujuan jangka panjang dan mendapatkan kebahagiaan dalam perkawinan.

Dari kelima fase tersebut, perceraian paling banyak terjadi pada fase ke dua dan ketiga yaitu, pada fase pengenalan kenyataan dan fase kritis perkawinan karena pada fase pengenalan kenyataan dimana pasangan mulai mengetahui kebiasaan dan perubahan sikap seperti pasangan suami istri belum terbiasa dengan kekurangan pasangannya di awal pernikahan, salah satu pasangan ingin merubah kebiasaan pasangannya, salah satu pasangan menginginkan pasangannya masuk dalam kehidupannya (kebiasaannya), salah satu pasangan ingin agar pasangannya menerima kebiasaannya serta menerima keadaan dirinya apa adanya, namun kenyataannya banyak yang sulit dalam menyesuaikan perkawinannya sehingga yang awalnya menunjukan hal-hal yang baik kenyataannya tidak sesuai dengan yang diinginkan sehingga yang diimpikan tidak berjalan secara mulus. Dan pada fase kritis perkawinan ini banyak yang menyerah dengan penyesuaian perkawinannya, dimana setiap orang ingin memiliki rumah tangga yang ideal atau sesuai yang diimpikan faktanya malah tidak sesuai dengan yang dibayangkan. Pada fase kritis akan semakin meruncing ketika ada keterlibatan keluarga dari salah satu pasangan. Hal itu berdampak karena salah satu pasangan dihadapkan pada kebimbangan secara emosi antara keluarga suami/istri.

(14)

besar. Itulah mengapa banyaknya perceraian terjadi pada kalangan pasangan yang menikah dini karena dengan memiliki emosi yang cenderung meledak-ledak sulit untuk menyesuiakan perkawinannya.

Menurut De Genova dan Rice (2005) penyesuaian perkawinan adalah proses modifikasi, adaptasi dan mengubah pola tingkah laku individu maupun pasangan serta interaksi untuk mencapai kepuasan maksimum dalam suatu hubungan. Sebagian besar pasangan suami istri harus membuat penyesuaian diri dalam 12 area. Area tersebut yakni: pemenuhan kebutuhan emosional dan dukungan, penyesuaian seksual, kebiasaan-kebiasaan individu, peran gender, pertimbangan-pertimbangan materi dan keuangan, pekerjaan, kehidupan sosial; teman dan rekreasi, komunikasi, kekuasaan dan pengambilan keputusan, konflik dan pemecahan masalah, serta moral, nilai-nilai dan ideologi.

Permasalahan dapat terjadi karena pasangan suami-istri tidak dapat melakukan penyesuaian secara efektif.Menurut Wilson & Filsinger (1986)pasangan dianggap memiliki kualitas penyesuaian pernikahan yang baik bila minimnya derajat perbedaan yang menimbulkan ketegangan antarpribadi,memiliki rasa kedekatan yang kuat dan berbagi kebersamaan, dapat mengungkapkan afeksi yang saling disetujui pasangan, serta merasa puas dan berkomitmen terhadap hubungan pernikahan.

Penyesuian perkawinan dapat didukung dengan kematangan emosi sehingga ketika dihadapkan masalah dapat mengambil keputusan yang tepat.Kematangan emosi ini banyak berpengaruh terhadap kehidupan sosial, misalnya saja seperti yang di kemukakan oleh Adhim (2002) menyebutkan bahwa kematangan emosi merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan perkawinan di usia muda.De Genova dan Rice (2005) disinilah dibutuhkan kematangan emosional dari pasangan suami-istri. Hal ini akan sangat sulit didapati pada pernikahan remaja terutama masa permulaan yakni tahun pertama. Kesulitan ini disebabkan karena remaja masih memiliki emosi labil.

Chaplin (1999) mengungkapakan bahwa kematangan emosi adalah satu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedawasaan dari perkembangan emosional dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilan pola emosional yang pantas bagi anak-anak.Menurut Hurlock (2002) emosi pada masa remaja cenderung tinggi. Remaja adalah masa yang sangat indah apabila untuk dilewatkan, dengan hal-hal yang positif. Masa muda adalah waktu untuk membangun emosi, kecerdasan dan fisik. Ketiganya merupakan syarat dalam menjalani kehidupan yang lebih layak pada masa depan.

Pendapat tersebut diperkuat oleh De Genova dan Rice (2005), yang menyatakan bahwa remaja memiliki emosional yang kurang matang dan sulit untuk dapat mencapai kesepakatan dengan masalah serta rentan terhadap stres. Kekurangmatangan secara emosional membuat pasangan suami istri remaja sulit untuk menampilkan performa terbaik dalam memenuhi tugas sebagai seorang istri. Bahkan dalam tekanan yang berat, mereka cenderung memperburuk keadaan dengan emosi yang meluap-luap.

(15)

terhadap masa depan keluarga. Kewajiban peran gender tersebut menyebabkan suami-istri remaja harus berkonsentrasi dengan peran masing-masing dan saling menyesuaikan diri. Padahal sesuai dengan tugas perkembangan remaja, pasangan suami istri remaja masih harus melakukan pencarian identitas dengan melakukan eksplorasi dan bereksperimen dengan berbagai peran (Santrock, 2007). Hal ini disebabkan karena menurut Erikson (dalam Santrock, 2007) remaja berada pada tahap identity versus identity confusion. Dimana pada tahap tersebut, remaja sedang berusaha untuk menemukan siapakah mereka sebenarnya, apa saja yang ada dalam diri mereka dan mencari arah dalam menjalani hidup.

Menurut Rice & Dolgin (2008) suami istri yang masih berusia remaja, belum bisa bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri. Dengan adanya perkawinan, mereka dituntut untuk bertanggung jawab tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga terhadap perkawinan, pasangan dan anak-anaknya. Akibat minimnya tanggung jawab dari pasangan suami istri remajatersebut adalah campur tangan pihak keluarga dalam pengambilan keputusan yang menyangkut perkawinan mereka.

Masalah besar yang juga dihadapi oleh pasangan suami istri remaja adalah terlalu cepatnya mereka harus mengemban tugas sebagai orang tua menjadikan hilangnya kebebasan mereka untukkeluarg bergaul dengan teman sebaya. Dari sisi perkembangan dimana tugas-tugas remaja harus berlangsung saat itu pula tidak akan terpenuhi. Banyak dari pasangan suami-istri muda yang memiliki anak setelah setahun melalui usia perkawinan, kendati mereka belum siap dalam menghadapi tugas untuk merawat anak-anak.

Berdasarkan uraianyang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa 50% perceraian terjadi pada pasangan yang menikah usia dini. Dengan semakin tingginya angka pernikahan dini baik yang berada dikota maupun pedesaaan, akan membuat angka perceraian yang tinggi. Alasan mengapa pasangan dini melakukan perceraian adalah karena kurangnya penyesuaian perkawinan. Remaja sulit untuk menyesuaikan diri dalam pernikahan karena kurang matangnya emosi sehingga membuat pasangan dini sulit untuk menyesuaiakan perkawinan mereka. Peneliti ingin melakukan penelitian apakah ada Pengaruh Kematangan Emosi terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah muda. Tujuan dari penelitian ini adalah: Mengetahui apakah ada pengaruh Kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah muda. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: Mencegah banyaknya perceraian yang dilakukan pasangan dini.

Penyesuaian Perkawinan

Penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi seseorang yang kontinu dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia anda (Calhoun &Acocella, 1995). Penyesuaian merupakan suatu proses psikologis dimana seseorang mengatur atau memenuhikeinginan dan tantangan dan kehidupan sehari-hari, salah satu bentuk penyesuaian diri adalah penyesuaian terhadap pernikahan (Weiten & Lloyd, 2006).

(16)

kematangan dan tumbuh serta berkembangnya pengertian diantara pasangan (Hashmi, Khurshid, Hassan, 2006).

Penyesuaian perkawinan merupakan proses modifikasi, adaptasi, mengubah individu dan pola pasangan dalam berperilaku dan berinteraksi untuk mencapai kepuasan maksimal dalam hubungan perkawinan (De Genova dan Rice, 2005). Tahun pertama dan kedua perkawinan merupakan masa penyesuaian perkawinan (Hurlock, 1990). Clinebell (dalam Anjani & Suryanto, 2006) mengatakan bahwa krisis muncul saat pertama kali memasuki pernikahan karena tahun-tahun pertama perkawinan merupakan masa rawan.

Laswell dan Laswell (1987) mengatakan konsep dari penyesuaian pernikahan adalah dua individu belajar untuk saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan. Penyesuaian pernikahan juga sebuah proses yang panjang karena setiap orang dapat berubah sehingga setiap waktu masing-masing pasangan harus melakukan penyesuaian pernikahan.

Berdasarkan beberapa pengertian penyesuaian pernikahan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyesuaian pernikahan merupakan poses interaksi dan sejumlah perasaan suami dan istri terhadap pernikahan mereka, menyesuaikan diri, dan mengembangkan serta menumbuhkan interaksi dan pencapaian kepuasan yang maksimum terhadap hubungan yang mereka bentuk.

Menurut Anjani & Suryanto (2006), ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan yaitu adafaktor pendukung dan faktor Penghambat. Faktor pendukungyaitu keinginan untuk membahagiakan pasangan, memberikan perhatian perhatian kecil, meluangkan waktu untuk keluarga, memiliki panggilan khusus atau membantu mengerjakan tugas rumah tangga, toleransi, keterbukaan, kepercayaan. Faktor penghambat, yaitu tidak bisa menerima perubahan sifat dan kebiasaan pasangan, tidak berinisiatif, tidak saling menerima tugas-tugas yang telah disepakati, campur tangan keluarga yang sangat kuat, serta bersikukuh pada pendapat dan pemikiran masing-masing.

Kematangan Emosi

Walgito (2004) menyebutkan bahwa agar penyesuaian diri dalam kehidupan perkawinan dapat berjalan secara baik, maka pasangan suami istri harus telah matang secara psikologis. Istri diharapkan memiliki kematangan emosi yang tinggi yaitu memiliki emosi yang stabil, mandiri, menyadari tanggung jawab, terintegrasi segenap komponen kejiwaan, mempunyai tujuan dan arah hidup yang jelas, produktif-kreatif dan etis-religius. Hurlock (2002) berpendapat bahwa individu yang matang emosinya memiliki kontrol diri yang baik, mampu mengekspresikan emosinya dengan tepat atau sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga lebih mampu beradaptasi karena dapat menerima beragam orang dan situasi dan memberikan reaksi yang tepat sesuai dengan tuntutan yang dihadapi.

(17)

adalah suatu keadaan atau kondisi untuk mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional seperti anak - anak, kematangan emosi seringkali berhubungan dengan kontrol emosi.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), definisi kematangan emosi sebagai berikut : 1) luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat; 2) keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi sebagai keadaan dimana suatu individu dapat menerima suatu keadaan atau kondisi dengan memunculkan emosi yang sesuai dengan apa yang terjadi padanya tanpa berlebihan atau meledak-ledak. Semakin bertambah usia individu diharapkan dapat melihat segala sesuatunya secara obyektif, mampu membedakan perasaan dan kenyataan, serta bertindak atas dasar fakta daripada perasaan.

Menurut Hurlock (1990), individu yang dikatakan matang emosinya yaitu:

1. Dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial

2. Pemahaman diri. Individu yang matang, belajar memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkannya untuk memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat. 3. Menggunakan kemampuan kritis mental. Individu yang matang berusaha menilai situasi

secara kritis sebelum meresponnya, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap situasi tersebut.

Menurut Katkovsky dan Gorlow (1976), ada tujuh aspek kematangan emosi, yaitu : 1. Kemandirian

Mampu memutuskan apa yang dikehendaki dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambilnya.

2. Kemampuan menerima kenyataan

Mampu menerima kenyataan bahwa dirinya tidak selalu sama dengan orang lain, mempunyai kesempatan, kemampuan, serta tingkat intelegensi yang berbeda dengan orang lain.

3. Kemampuan beradaptasi

Orang yang matang emosinya mampu beradaptasi dan mampu menerima beragam karakteristik orang serta mampu menghadapi situasi apapun.

4. Kemampuan merespon dengan tepat Individu yang matang emosinya memiliki kepekaan untuk merespon terhadap kebutuhan emosi orang lain, baik yang diekspresikan maupun yang tidak diekspresikan.

5. Merasa aman

Individu yang memiliki tingkat kematangan emosi tinggi menyadari bahwa sebagai mahluk sosial ia memiliki ketergantungan pada orang lain.

6. Kemampuan berempati

(18)

7. Kemampuan amarah

Individu yang matang emosinya dapat mengetahui hal-hal apa saja yang dapat membuatnya marah, maka ia dapat mengendalikan perasaan marahnya

Menurut Hurlock (1990), faktor yang mempengaruhi kematangan emosi yaitu: 1. USIA

Semakin bertambah usia inidvidu, diharapkan emosinya akan lebih matang dan individu akan lebih dapat menguasai dan mengendalikan emosinya. Individu semakin baik dalam kemampuan memandang suatu masalah, menyalurkan dan mengontrol emosinyasecara lebih stabil dan matang secara emosi.

2. Perubahan fisik dan kelenjar

Perubahan fisik dan kelenjar pada diri individu akan menyebabkan terjadinya perubahan pada kematangan emosi. Sesuai dengan anggapan remaja adalah periode “badai dan tekanan”, emosi remaja meningkat akibat perubahan fisik dan kelenjar.

Beberapa ahli juga berpendapat faktor yang mempengaruhi kematangan emosi yaitu: 1. Pola asuh orang tua

Dari pengalamannya berinteraksi dengan keluarga menentukan pula polaa perilaku anak terhadap orang lain dalam lingkungannya.

2. Lingkungan

Kebebasan dan control yang mutlak dapat menjadikan penghalang dalam pencapaian kematangan emosi remaja.

3. Jenis Kelamin

Laki-laki dikenal lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan, mereka memiliki pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga cenderung kurang mampu mengeksperesikan emosi seperti perempuan.

Pada saat peralihan dari masa anak-anak ke masa remaja, tidak hanya secara fisik dan kognitif tetapi emosi juga semakin berkembang. Adapun tahap perkembangan emosi pada remaja ada dua baik yang positif maupun negatif. Perasaan positif yaitu: Cinta, rindu, keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis.Perasaan negatif yaitu: memiliki sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial. Cenderung berarah negatif dan temperamental (mudah tersinggung/marah, mudah sedih/murung)

Hubungan antara Pengaruh Kematangan Emosi terhadap Penyesuaian Perkawinan

Yusuf (2011) mengungkapkan kematangan emosi merupakan kemampuan individu untuk dapat bersikap toleran, merasa nyaman, mempunyai kontrol diri sendiri, perasaan mau menerima dirinya dan orang lain, selain itu mampu menyatakan emosinya secara konstruktif dan kreatif.Dalam penyesuaianperkawinan yang baik adalah kesanggupandan kemampuan suami istri untukberhubungan mesra, saling memberi danmenerima cinta (Hurlock, 2002).

(19)

bertambahnya peran karena perkawinan maka akan bertambah besar pula suatu kewajiban. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari munculnya status dan peran baru sebagai seorang suami/istri.

Dari teori-teori yang telah dipaparkan dapat dibuktikan bahwa seseorang yang belum matang emosinya tentu sulit untuk menyesuaikan diri bila mana dihadapkan dengan situasi yang mempengaruhi bahtera rumah tangga mereka sehingga berdampaklah kepada keutuhan rumah tangga.

Oleh karena itu dalam perkawinan masing-masing individu yang terikat perkawinan tersebut perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian. Kematangan emosi disini sangatlah penting karena untuk menggabungkan dua karakter kepribadian yang berbeda dan kekurangan-kekurangan dari pasangan satu sama lain sangatlah susah apabila pada pasangan baru menikah, dapat dikatakan pada tahun-tahun pertama mengalami kriris dalam rumah tangga karena pada masa ini mereka pasangan suami istri bisa jadi mengalami kekecewaan yang mendalam karena rumah tangga mereka jauh dari apa yang mereka harapkan atau mereka impikan selama ini sehingga menimbulkan perbedaan pendapat yang tidak pernah tampak sebelumnya. Disinilah bentuk peran penyesuaian diri pada perkawinan, apabila seseorang belum mencapai kematangan emosi, dimana ketika mereka dihapkan dengan suatu permasalahn yang sulit maka kemampuan penyesuaian diri inilah yang nantinya akan membawa mereka mencari solusi yang baik atau bahkan solusi yang berdampak buruk.

Salah satu hal yang mempengaruhi kemampuan pasangan dalam menyesuaikan diri dalam perkawinan adalah kematangan emosi. Kematangan emosi akan menentukan apakah orang tersebut mampu melakukan penyesuaian terhadap permasalahan - permasalahan yang terjadi di dalam perkawinan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kematangan emosi dengan penyesuaian perkawinan pada pasangan dini.

Hipotesa

(20)

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif, metode kuantitatif dinamakan metode traditional karena metode ini sudah cukup lama digunakan sehingga sudah mentradisi sebagai metode untuk penelitian (dalam Sugiyono, 2011). Metode ini disebut metode kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik, dimana peneliti akan melihat pengaruh kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan pada rumah tangga usia dini.

Subjek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berada di daerah kota Banjarbaru provinsi Kalimantan Selatan. Pemilihan populasi tersebut menggunakan teknik sampling secara kluster, karena peneliti tidak tahu persis karakteristik populasi yang ingin dijadikan subjek penelitian karena populasi tersebar di wilayah yang amat luas. Untuk itu peneliti hanya dapat menentukan sampel wilayah, berupa kelompok kluster yang ditentukan secara bersyarat. Teknik pengambilan sampel semacam ini sering disebut kluster sampling atau multi-stage sampling.

Oleh karena itu, subjek penelitian yang dipilih sebagai partisipan adalah 1). Pasangan suami-istri berjumlah 34 pasangan yang menikah usia dini. 2). Berusia minimal 14 tahun sampai 20 tahun pada saat menikah.

Variabel dan Instrumen Penelitian

Variabel yang dikaji dalam penelitian ini adalah pengaruh kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan pada rumah tangga usia dini. Variabel terikat adalah penyesuaian perkawinan, dimana penyesuaian perkawinan merupakan poses interaksi dan sejumlah perasaan suami dan istri terhadap pernikahan mereka, menyesuaikan diri, dan mengembangkan serta menumbuhkan interaksi dan pencapaian kepuasan yang maksimum terhadap hubungan yang mereka bentuk.Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kematangan emosi, dimana kematangan emosi merupakan kemampuan seseorang dalam mengontrol emosi nya dan kemampuan seseorang dalam beradaptasi ketika dihadapkan dengan suatu masalah yang sulit.

Dalam penelitian Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap Penyesuaia Perkawinan, peneliti menggunakan dua skala untuk mengambil data. Skala yang digunakan yaitu; 1). Skala kematangan emosi, 2). Skala penyesuaian perkawinan.

Skala kematangan emosi diadaptasi dengan nilai reabilitas dalam skala ini adalah 0,938. Aspek yang digunakan merupakan rangkuman beberapa pendapat ahli (Amas, 2006) yaitu stabilitas emosi, identifikasi dan ekspresi emosi, pengendalian emosi, aspek sosial dan aspek interest.

Skala penyesuaian perkawinan diadaptasi dengan nilai reabilitas dalam skala ini adalah 0,837

(21)

Hasil try out uji validitas dan reliabilitas menggunakan program SPSS for windows versi 21. Adapun untuk masing – masing indeks validitas dan reliabilitas pada kedua variabel di atas terdapat pada tabel 1.

Tabel 1. Indeks Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian

Alat Ukur Jumlah Valid Indeks Validitas Indeks Reliabilitas

Penyesuaian Perkawinan 32 0,318– 0,808 0,931

Kematangan Emosi 21 0,326 – 0,791 0,904

Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas skala penyesuaian perkawinan dengan menggunakan standar validitas r = 0,3 dari 40 item diperoleh item valid sebanyak 32 item dan item yang gugur sebanyak 8 item. Setelah diuji kembali dengan membuang item yang gugur sehingga diperoleh tingat reliabilitas sebesar 0.931 maka skala ini termasuk dalam reliabel. Dari 32 item yang valid dapat mewakili aspek – aspek yang ada. Sehingga skala ini dapat digunakan dalam penelitiankarena telah memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang baik.

Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas skala kematangan emosi dengan menggunakan standar validitas r = 0,3 dari 31 item diperoleh item valid sebanyak 21 item dan item yang gugur sebanyak 10 item. Setelah diuji kembali dengan membuang item yang gugur sehingga diperoleh tingat reliabilitas sebesar 0.94 maka skala ini termasuk dalam reliabel. Dari 21 item yang valid dapat mewakili aspek – aspek yang ada. Sehingga skala ini dapat digunakan dalam penelitiankarena telah memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang baik.

Prosedur

Prosedur dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan analisis.Tahap persiapan terdiri dari mempersiapkan instrumen berupa skala kematangan emosi dan penyesuaian perkawinan. Kemudian peneliti melakukan uji coba atau try outpada tanggal 9 november 2015 sampai 23 november 2015 . Untuk sampel try out peneliti mengambil di daerah sekitar malang dengan mencari 15 pasangan usia dini untuk mengetahui validitas dan reabilitas alat ukur yang digunakan, setelah alat ukur disetujui dan dapat dipakai selanjutnya peneliti menentukan sampel untuk diteliti.

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 34 pasangan usia dini yang berada di daerah banjarbaruprovinsi Kalimantan selatan. Peneliti mengambil sampel ini dengan mempertimbangkan beberapa pertimbangan yaitu peneliti berasal dari daerah banjarbaru provinsi Kalimantan selatan dan pada daerah banjarbaru tersebut memiliki tingkat pernikahan dini yang tinggi dibanding daerah lain (BKKBN, 2013).

(22)

skala, peneliti terlebih dahulu memberikan pengantar yang bertujuan untuk memastikan bahwa subjek tidak salah dalam proses pengerjaan.

Analisis data

Setelah mengambil data maka selanjutnya adalah entry data, validasi alat ukur, mengukur reabilitas alat ukur, dan proses analisa data dalam proses ini peneliti menggunakan software

perhitungan statistik SPSS for windows versi 2.1 dengan analisis statistic parametrik. Teknik statistik yang digunakan dalam uji hipotesis pada penelitian adalah analisis regresi liner sederhana, karena peneliti ini menguji pengaruh antara satu variabel independen dengan satu variabel dependen.

HASIL PENELITIAN Deskripsi Subjek

Responden dalam penelitian ini berjumlah 34 pasang yang berarti 68 subjek yang berada pada daerah banjarbaru dan cempaka provinsi Kalimantan selatan. Hasil penelitian mengenai pengaruh kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan. Dengan jumlah subjek penelitian 34 pasangan usia dini secara keseluruhan dapat dideskripsikan bahwa dari 68 subjek diketahui bahwa jenis kelamin perempuan sebanyak 34 (50%) dan laki-laki sebanyak 34 (50%).

Tabel 1. Deskripsi Usia saat Menikah

Usia Menikah Frekuesi Persentase

14 – 17 21 30%

18 – 20 47 70%

Total 68 100%

Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui dari 68 responden yang diteliti, responden yang berada pada rentang usia saat menikah 14-17 tahun berjumlah 21 orang (30%). Responden yang berada pada rentang usia saat menikah 18-20 tahun berjumlah 47 orang (70%).

Tabel 2. Deskripsi Lama Pernikahan

Lama Pernikahan Frekuensi Persentase

0 – 5 Tahun 42 62%

6 – 10 Tahun 17 25%

>10 Tahun 9 13%

Total 68 100%

(23)

Tabel 3. Mean Variabel Kematangan Emosi & Penyesuaian Perkawinan Berdasarkan Usia Usia Jumlah Penyesuaian Perkawinan Kematangan Emosi

(Mean) (Mean) 14-17 21 orang 106,88 65,47 18-20 47 orang 109,06 69,32

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata (Mean) penyesuaian perkawinanyang paling tinggi berada pada umur antara 18-20 sebanyak 47 orang dengan nilai rata-rata 109,06 dan nilai rata-rata (Mean) kematangan Emosi yang paling tinggi juga berada pada umur antara 18-20 dengan rata-rata (Mean) 69,32. Dan yang paling rendah berada pada usia 14-17 sebanyak 21 orang diketahui bahwa nilai rata-rata (Mean) untuk penyesuaian perkawinan 106,88 dan kematangan emosi dengan nilai rata-rata (Mean) 65,47.

Tabel 4. Mean Variabel Kematangan Emosi & Penyesuaian Perkawinan Berdasarkan Lama Pernikahan

Lama Jumlah Penyesuaian Perkawinan Kematangan Emosi

Menikah (Mean) (Mean)

0 – 5 tahun 42 orang 110,2 67,67 6 – 10 tahun 17 orang 112,9 73,5 >10 tahun 9 orang 107,6 66,8

Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa 17 orang berada pada kategori tinggi dengan lama pernikahan antara 6-10 tahun dengan nilai rata-rata (Mean) penyesuaian perkawinan 112,9 dan nilai rata-rata (Mean) kematangan Emosi 73,5. Dan 42 orang berada pada kategori sedang dengan lama pernikahan antara 0-5 tahun dengan nilai rata-rata (Mean) penyesuaian perkawinan 110,2 dan nilai rata-rata (Mean) kematangan Emosi 67,67. Lalu 9 orang berada pada kategori rendah dengan lama pernikahan 10 tahun ke atas dengan nilai rata-rata (Mean) penyesuaian perkawinan 107,6 dan nilai rata-rata (Mean) kematangan Emosi 66,8.

DeskripsiData

Berikut akan diuraikan norma Penyesuaian Perkawinan dan norma Kematangan Emosi yang dibantu dengan penyajian dalam bentuk tabel berikut ini :

Tabel 5. Deskripsi Norma Penyesuaian Perkawinan

Kategori Norma Frekuensi Persentase Sangat tinggi 100- 128 57 83% Tinggi 71 - 99 11 17%

Rendah 51 - 70 0 0%

Sangat rendah 32 - 50 0 0%

(24)

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui subjek yang memiliki penyesuaian perkawinan berdasarka n norma dari 68 subjek tidak terdapat subjek yang masuk dalam kategori rendah dan sangat rendah. Berdasarkan tabel tersebut, 68 subjek masuk kedalam kategori sangat tinggi dan tinggi. Pada tabel 3 penyesuaian perkawinan dengan kategori sangat tinggi sebanyak 57 responden (83%), dan kategori tinggi kematangan emosi sebanyak 11 responden (17%).

Tabel 6. Deskripsi Norma Kematangan Emosi

Kategori Norma Frekuensi Persentase Sangat tinggi 71 - 84 20 29% Tinggi 55 - 70 47 70%

Rendah 38 - 54 1 1%

Sangat rendah 21 - 37 0 0%

total 68 100%

Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui subjek yang memiliki kematangan emosi berdasarkan norma dari 68 subjek tidak terdapat subjek yang masuk dalam kategori sangat rendah .Berdasarkan hal tersebut dari 68 subjek masuk kedalam kategori sangat tinggi, tinggi dan rendah. Pada tabel 6 kematangan emosi dengan kategori sangat tinggi sebanyak 20 responden (29%), dan kategori tinggi kematangan emosi sebanyak 47responden (70%) dan kategori rendah kematangan emosi sebanyak 1 responden (1%).

Deskripsi Statistik

Berikut akan diuraikan hasil perhitungan statistic skor subjek penelitian yang dibantu dengan penyajian dalam bentuk tabel berikut ini :

Tabel 7. Deskripsi statistic

Skala N Mean Standar Deviation

Penyesuaian

Perkawinan 68 107.485 6.7082

Kematangan Emosi 68 66.99 5.324

Valid N (listwise) 68

Dari tabel 7 diketahui bahwa jumlah subjek penelitian 34 pasangan atau 68 orang. Adapun nilai rata-rata (mean) untuk penyesuaian perkawinan adalah 107.485 dan penyesuaian perkawinan memiliki nilai standar deviasi sebesar 6.7082.Tabel diatas juga menjelaskan bahwa nilai rata-rata

(25)

Uji Hipotesis

Hasil penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa adanya pengaruh kematangan emosi dalam penyesuaian perkawinan, seperti pada tabel berikut ini :

Tabel 8. Hasil analisis statistik ANOVA

Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa nilai probabilitas yang didapatkan yaitu 0,000 dimana nilai probabilitas tersebut kurang dari 0,01. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh antara kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan.

Tabel 9. Hasil Analisi Koefisien Variabel Bebas

Model B Beta Rsquare Sig.

Constan 22.470 - 0.303 0,000

Kematangan 0,551 0,551 - 0,000

Emosi

Berdasarkan tabel 9 dapat dilihat dari rumus regresi liner sederhana Y= a+bX pengaruh kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan merupakan pengaruh yang signifikan karena nilai yang positif dan nilai probabilitasnya kurang dari 0,01. Dari hasil analisis yang dilakukan didapatkan besar konstribusi dari kematangan emosi adalah 0,303 sama dengan 30,3%. Sehingga dari data tersebut dapat diketahui bahwa pengaruh kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan hanya sebesar 30,3% dan sisanya 69,7% dipengaruhi oleh faktor lainnya yang tidak diteliti.

DISKUSI

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh nilai F sebesar 28.714 dengan signifikan 0,000. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan antara kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan. Kematangan emosi merupakan aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan perkawinan. Keberhasilan rumah tangga sangat banyak di tentukan oleh kematangan emosi, baik suami maupun istri. Artinya, pasangan yang sudah matang emosinya, maka semakin mudah dalam penyesuaian perkawinan namun apabila kematangan emosi yang kurang matang/tidak baik maka akan sulit dalam menyesuaiakan perkawinan mereka.

(26)

yang memberi dan istri yang menerima atau sebaliknya. Toleransi dengan cara tolong menolong, saling mengerti dan menerima kekurangan satu sama lain dapat mendukung penyesuaian perkawinan menjadi lebih mudah.

Ketika menikah diharapkan suami-istri memiliki emosi yang matang dan pola pikir yang matang sehingga mudah dalam penyesuaian perkawinan. Menurut penelitian Cole &Dean (1980) menyatakan adanya korelasi antara pasangan suami-istri dan diri sendiri dinilai dari kematangan emosi dan penyesuaian perkawinan dari kedua pasangan. Hasil penelitian Ulbana (2008) menyatakan adanya hubungan positif dan sangat signifikan antara kematangan emosi dengan penyesuaian perkawinan, hal ini berarti semakin tinggi kematangan emosi suami istri maka semakin baik pula penyesuaian perkawinannya, dan sebaliknya semakin rendah kematangan emosi suami istri, maka semakin buruk pula penyesuaian perkawinannya.

Kematangan emosi memiliki pengaruh terhadap kepuasan perkawinan. Hasil penelitian Rismawati (1992) mengenai kematangan emosi dan kepuasan perkawinan studi pada istri bekerja dan istri tidak bekerja. Hasilnya menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kepuasan perkawinan dengan kematangan emosi. Hal ini berarti bawa semakin matang secara emosional maka kepuasan perkawinan akan semakin meningkat. Penelitian kematangan emosi oleh Khairani dan Putri (2009) mengenai perbedaan kematangan emosi pada pria dan wanita yang menikah muda. Hasilnya penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kematangan emosi yang sangat signifikan pada pria dan wanita yang menikah muda, dimana ditemukan bahwa pria memiliki kematangan emosi lebih tinggi dibandingkan wanita.

Dengan demikian hipotesis yang diajukan oleh peneliti diterima. Dalam penelitian ini, pengaruh kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan usia dini yang tinggal di wilayah banjarbaru dan cempaka provinsi Kalimantan selatan menunjukkan pengaruh yang positif. Menurut Blood (dalam Nurpratiwi, 2010) salah satu karakteristik orang yang memiliki kematangan emosi yang positi/baik ialah seseorang yang memiliki nilai-nilai yang stabil dalam emosinya, sehingga mereka lebih mampu untuk berpikir secara dewasa dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam pernikahannya.

Setiap pasangan yang sudah menikah pasti menginginkan keharmonisan secara terus-menerus dengan begitu kebahagian dan kepuasan pada pernikahan dapat tercapai. Adhim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu aspek yang cukup peting dalam menjaga keharmonisan pernikahan adalah kematangan emosi yang baik. Seseorang yang memiliki kematangan emosi yang baik/positif akan lebih mampu menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang baik/buruk yang terjadi pada mereka. Selain itu, dengan adanya kematangan emosi yang baik maka dapat menumbuhkan keharmonisan dalam pernikahan sehingga akan mudah dalam penyesuaian perkawinan yang nantinya akan mendapatkan kepuasan dalam menikah. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Karney & Bradbury (2000) mengenai kepribadian dan kepuasan pernikahan yang menunjukkan kematangan emosi berpengaruh terhadap kepuasan dalam menikah.

(27)

untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri dan sifat egois dari pasangan suami-istri. Perkawinan yang sukses sering ditandai dengan kesiapan memikul tanggung-jawab, dan dapat beradaptasi di dalam masyarakat. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nurpratiwi (2010) yang juga menyatakan adanya pengaruh yang signifikan kearah positif antara kematangan emosi dan usia saat menikah terhadap kepuasan pernikahan.

Usia dini pada pasangan yang menikah juga memiliki pengaruh terhadap penyesuaian perkawinan. Anjani & Suryanto (2006) mengatakan bahwaresistorfaktor yang memproses penyesuaian pernikahan yang merupakan salah satu pasangan tidak dapatmenerimadenaturasi dan kebiasaan dalam pernikahan dini, suami dan juga istri inisiatif tidak menyelesaikanmasalah, perbedaan budaya dan agama di antara suami dan istri. Udry & Schoen (dalam Rismawati,1992) mengatakan bahwa penyesuaian pekawinan rendah apabila pasangan menikah pada usia yang sangat muda, yaitu laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka dihadapkan pada tuntutan dan beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan rasa kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia, juga mengatakan bahwa dalam ketidakmatangan, cenderung untuk melihat perkawinan dari segi romantismenya dan kurang persiapan untuk menerima tanggung jawab dari perkawinan tersebut. Grover (dalam Donna, 2009) menyatakan ada pengaruh yang sangat tinggi antara lamanya waktu pacaran dengan kepuasan perkawinan yang merupakan indicator dari penyesuaian perkawinan yang baik.

Usia yang matang pada saat menikah dapat menjadikan individu tersebut memiliki pola pikir yang positif, memilki rasa tanggung jawab yang tinggi, serta mampu mengambil keputusan-keputusan yang baik dan tepat dalam setiap masalah baik dalam hidup maupun dalam keluarga. Hal senada juga diungkapkan oleh Davidoff (dalam Nurpratiwi 2010) bahwa orang yang telah dewasa biasanya tidak terlalu gegabah dalam megambil keputusan pasa suatu permasalahan. Sumbangan efektif yang diberikan kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan dalam penelitian ini adalah sebesar 30.3% yang artinya masih ada 69.7% yang dipengaruhi oleh variabel faktor lain yang tidak diteliti. Terkait dengan sumber-sumber lain yang mempengaruhi penyesuaian pernikahan yaitu taraf agama, ekonomi, budaya, pendidikan, keintiman dan komitmen.

Nurpratiwi (2010) mengatakan bahwausia saat menikah memberikan kontribusi yang kecil dibandingkan dengan kematangan emosi. Menurutnya, faktor yang cukup penting dalam memberikan andil yang cukup besar dalam kepuasan pernikahan adalah kematangan emosi. Namun dalam penelitian ini kematangan emosi hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap penyesuaian perkawinan. Individu yang sudah cukup matang dalam segi emosi meskipun usianya pada saat mereka menikah masih terbilang terlalu muda maka akan mudah dalam proses penyesuaian perkawinannya. Selain dari menyesuaikan perkawinan yang mudah, akan tercipta juga keharmonisan keluarga yang nantinya akan berdampak terhadap kepuasan pernikahan mereka. Oleh karena itu, untuk menciptakan keharmonisan keluarga yang utuh dan kepuasan terhadap pernikahan maka dibutuhkan adanya kematangan emosi yang baik sebagai tujuan agar penyesuaian perkawinan lebih mudah untuk dilakukan.

(28)

antar variabel dan sumbangan yang diberikan tetapi tidak dapat mengetahui dinamika dan mengapa terdapat pengaruh dan sumbangan antar variabel kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan usia dini.

Penelitian ini penting dilakukan karena penyesuaian perkawinan merupakan suatu proses yang harus dilewati bagi setiap pasangan yang telah menikah baik dalam usia dini maupun dalam usia dewasa. Dengan terciptanya penyesuaian perkawinan yang baik dalam setiap pasangan maka akan menciptakan keharmonisan dalam keluarga dan menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah dan berkurangnya angka. Selain itu, dengan penyesuaian perkawinan yang baik yang menciptakan keharmonisan keluarga dan rasa kepuasan dalam pernikahan maka akan mengurangi angka perceraian pada usia dini ataupun dewasa yang ada di Indonesia.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan hasil analisis data serta pengujian hipotesis yang telah ditemukan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini berdasarkan hasil yang diperoleh adalah:

1. Terdapat pengaruh yang signifikan antara kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan usia dini di wilayah Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Hal ini berarti penyesuaian perkawinan pada pasangan usia dini dapat dilalui disesuaikan dengan baik melalui kematangan emosi yang matang/baik.

2. Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa kematangan emosi memberikan pengaruh kepada penyesuaian perkawinan sebesar 30,3%dan sisanya 69,7% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Implikasi dalam penelitianini secara teoritis yaitu dalam penelitian selanjutnya diharapkan untuk melakukan analisis mengenai faktor-faktor lainnya selain faktor kematangan emosi yang dapat mempengaruhi penyesuaian perkawinan pada pasangan usia dini, seperti taraf ekonomi, komitmen,budayadan pendidikan. Pada peneliti selanjutnya juga disarankan untuk memperluas wilayah penelitian agar hasil penelitian lebih menggambarkan populasi yang lebih luas.

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Adhim, M. F. (2002). Indahnya pernikahan dini. Jakarta: Gema Insani Press

Amas, A.( 2006). Hubungan antara penerimaan diri dan kematangan emosi. Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Anjani, C., & Suryanto. (2006). Pola penyesuaian perkawinan pada periode awal. Insan Media Psikologi, 8 (3),198-210.

Anjani, C.,& Suryanto. (2006). Pola penyesuaian perkawinan pada periode awal. . Diakses pada 30 desember 2015 dari http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-05%20-%20Pola%20Penyesuaian%20Perkawinan%20pada%20Periode%20Awal.pdf

Al qar’ali., Abdullah., & Mahfudz, Waznin (Eds). (2015). Nasihat dan pelajaran calon pengantin. (hal.20). Surabaya : Sukses Publishing

Berita RRI. (2014). Tingginya pernikahan dini. Diakses pada Oktober 27, 2015 dari

http://www.rri.co.id/surabaya/post/berita/172215/sosial/pemerintah_perlu_segera_tuntaskan _persoalan_pernikahan_dini.htmlS

BKKBN Info. (2012). Survey demografi dan kesehatan indonesia. Diakses pada oktober 26,2015 dari Bkkbn.go.id

BKKBN Info. (2013). BKKBN menetapkan provinsi kalimantan selatan sebagai daerah tertinggi angka pernikahan usia dini.Diakses pada Februari 10, 2016 dari http://bpad.kalselprov.go.id/2013/06/27/bkkbn-menetapkan-provinsi-kalimantan-selatan-sebagai-daerah-tertinggi-angka-pernikahan-usia-dini.html

Calhoun, J.,& Acocella, J. (1995). Psikologi tentang penyesuaian dan hubungan kemanusiaan (Edisi ketiga). Semarang: PT IKIP Semarang Press.

Chaplin, J. P. (1999). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Cole, C., Dean, C.,& Dwight.(1980). Emotional maturity and marital adjusment: A Decade replication. Journal of Marriage and Family. Diakses pada 30 Desember 2015 dari

http://www.jstor.org/stable/351897?seq=1#page_scan_tab_contents

Dagum, S.M. (2002). Psikologi keluarga.Rineka Cipta Jakarta.

Degenova, M. K., & Rice, F. P. (2005). Intimate, relationship, marriages and family (6th Ed).

USA: McGraw Hill.

(30)

Fitriyah, I. (2010). Perceraian pasangan keluarga muda (Studi terhadap putusan pengadilan agama Bantul tahun 2010). Di akses tanggal 24 juni 2015 dari

http://digilib.uin-suka.ac.id/6641/1/BAB%20I,V%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf

Glenn, N. D,.& Kramer, K. B.(1987). The marriages and divorces of the children of divorce.

Journal of Marriage & the Family, 49:811–825.

Hashmi, H. A., Khurshid, M., & Hassan, I.(2007). Marital adjustment, stress and depression among working and non-working married women. Journal of medical. Diakses tanggal 28 April 2015 dari :http://www.geocities.com/agnihotrimed/peper02jan-jun2007.html

Hermawan, H.(2008-2010). Pengaruh pernikahan dini terhadap perceraian dini (Studi kasus di pengadilan agama Klaten). Diakses tanggal 28 April 2015 dari http://digilib.uin-suka.ac.id/5643/1/BAB%20I%2C%20V%2C%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf

Hurlock. E.B. (1980). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Hurlock. E.B. (1990).Psikologi perkembangan edisi 5.Jakarta:Erlangga

Hurlock, E.B. (2000). Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (5th Ed). Jakarta: Erlangga

Katkovsky, W.& Gorlow, L. (1976). The psychology of adjusment; Currentconcept and aplication. McGraw-Hill Book Company, New York

Khairani, R., & Putri, D. E. (2009). Perbedaan kematangan emosi pria dan wanita yang menikah muda. Jurnal ISSN : 1858-2556 vol.3 edisi oktober

Khui,C. (2014). Kematangan emosi dalam hubungan suami istri. Di akses tanggal 17 Januari 2016 dari http://www.perhimpunankharis.com/front/artikel/107-kematangan-emosi-dalam-hubungan-suami-isteri.

Laswell, E., & Laswell, F. (1987). Marriage and the family. 2nd ed. California: Wadsworth

Publishing.

Maskur, F. (2014). Angka perceraian lewati angka 10%. Di akses tanggal 28 April 2015 dari

http://kabar24.bisnis.com/read/20140814/79/249942/angka-perceraian-lewati-angka-10

Nurpratiwi, A. (2010). Pengaruh kematangan emosi dan usia saat menikah terhadap kepuasan pernikahan pada dewasa awal.Diakses pada 30 desember 2015 dari

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2557/1/AULIA%20NURPRATI WI-FPS.PDF

(31)

Rismawati, D. (1992). Kematangan emosi dan kepuasan perkawinan (Suatu studi deskriptif pada kelompok istri bekerja dan kelompok istri tidak bekerja). Diakses pada 30 desember 2015 dari http://lib.ui.ac.id/opac/themes/green/detail.jsp?id=20286613&lokasi=lokal

Rohmat. (2009). Pernikahan dini dan dampaknya terhadap keutuhan rumah tangga (Studi kasus di desa Cikadu kecamatan cijambe kabupaten Subang). Diakses pada Oktober 27,2015 dari http://digilib.uin-suka.ac.id/4035/1/BAB%20I,V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf

Santrock, W.J. (2007). Adolescence, eleventh edition. Jakarta: Erlangga.

Sarkar, P. (2009). Determinants and effect of early marriage in Bangladesh, 2007. Diakses pada Oktober 2 dari http://www.medwelljournals.com/fulltext/?doi=rjasci .2009.178.184

Sugiyono. (2011). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta Tadjuddin, A. K. (2010). Hubungan penyesuaian kematangan emosi dengan penyesuaian diri

pada masa pernikahan awal. Skripsi (tidak diterbitkan). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, Fakultas Psikologi.

Tilson, D.,& Larsen, U. (2000). Divorce in ethiopia: The impact of early marriage and childlessness. Diakses pada oktober 27, 2015 dari

http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&aid=53067&fileId= S0021932000003552

Ulbana, W. (2008). Hubungan antara kematangan emosi dengan penyesuaian perkawinan.Diakses pada desember 30 dari

http://eprints.umm.ac.id/2585/1/HUBUNGAN_ANTARA

KEMATANGANEMOSI_DENGAN_PENYESUAIAN_PERKAWINAN.pdf

Walgito, B. (2004). Bimbingan dan konseling perkawinan. Yogyakarta: ANDI

Weiten, W., Lloyd, M.A., & Dunn, D.S. (2006). Psychology applied to modern life: Adjustment in the 21st Century. Belmont: Guilford Press

Wilson, M.R. & Filsinger, E.E. (1986). Religiosity and marital adjustment: Multi dimensional interrelationships. Journal of Marriage and Family, Vol. 48, No. 1, 147-151. Diakses pada 10 februari 2016 dari http://www.jstor.org/stable/352238.

Yuniarti, Y. (2009). Hubungan persepsi efektivitas komunikasi interpersonal orang tua dan kematangan emosi dengan penyeseuaian diri pada remaja siswa SMAN 1 Polanharjo.

Diakses pada Oktober 25, 2015 dari 110050802201009551.PDF

Yunita, S. (2008). Hubungan religius dengan penyesuaian perkawinan pada dewasa dini muslim.

Diakses pada Oktober 25, 2015 dari LAMPIRANA_1._SKALARELIGIUSITAS_ 2._SKALAP

(32)
(33)
(34)

Reliability

a. Listwise deletion based on all variables in the

(35)

item 19 108.27 92.064 .805 .925

item 20 108.10 94.921 .808 .926

item 21 108.00 95.655 .628 .927

item 22 108.07 95.651 .721 .927

item 23 107.97 96.930 .583 .928

item 25 108.00 96.552 .621 .928

item 26 107.93 96.478 .635 .928

item 27 107.90 97.128 .502 .929

item 28 107.93 97.030 .577 .928

item 29 108.20 98.924 .358 .931

item 31 108.13 97.292 .494 .929

item 32 108.17 96.420 .676 .927

item 33 108.03 96.378 .461 .930

item 34 107.93 97.099 .570 .928

item 35 107.93 97.789 .499 .929

(36)

Skala Kematangan Emosi

a. Listwise deletion based on all variables in the

(37)

item18 68.50 39.017 .409 .903

item20 68.50 37.845 .619 .898

item21 68.33 37.264 .661 .897

item22 68.37 37.137 .687 .896

item25 68.43 38.875 .409 .903

item27 68.33 38.644 .430 .902

(38)
(39)

Skala Penyesuaian Perkawinan

Sub- jek

item To-

tal

(40)
(41)
(42)
(43)
(44)

Descriptives

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

skala1 68 91.0 126.0 107.485 6.7082

skala2 68 49 80 66.99 5.324

Valid N (listwise) 68

Regression

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

T_Skala1 50.0000 10.00000 68

T_Skala2 50.0000 10.00000 68

Correlations

T_Skala1 T_Skala2

Pearson Correlation T_Skala1 1.000 .551

T_Skala2 .551 1.000

Sig. (1-tailed) T_Skala1 . .000

T_Skala2 .000 .

N T_Skala1 68 68

T_Skala2 68 68

Variables Entered/Removeda

Model Variables

Entered

Variables

Removed

Method

1 T_Skala2b . Enter

a. Dependent Variable: T_Skala1

b. All requested variables entered.

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the

(45)

1 .551a .303 .293 8.41064

Predicted Value 31.3990 63.4603 50.0000 5.50608 68

(46)

Asymp. Sig. (2-tailed) .778

a. Test distribution is Normal.

(47)
(48)

Dalam penelitian Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap Penyesuaia Perkawinan, peneliti menggunakan dua skala untuk mengambil data. Skala yang digunakan yaitu; 1). Skala kematangan emosi, 2). Skala penyesuaian perkawinan.

Skala kematangan emosi diadaptasi dari skripsi Yuyuk Neni Yuniarti (2009) Hubungan Persepsi Efektivitas Komunikasi Interpersonal Orang Tua dan Kematangan Emosi dengan Penyesuaia Diri pada Remaja Siswa SMAN 1 POLANHARJO. Reabilitas dalam skala ini adalah 0.938. Dalam skala ini ada 5 aspek yang digunakan yaitu;

NO ASPEK INDIKATOR FAVORABLE UNFAVORABLE JUMLAH

1 Stabilitas

(49)

cemburu, dan

Skala penyesuaian perkawinan diadaptasi dari skripsi Fitri Yunita Sari (2008) Hubungan

Religiusitas dengan Penyesuaian Perkawinan pada Dewasa DiniMuslim. Reabilitas dalam skala ini adalah 0.837. Dalam skala ini ada 5 aspek yang digunakan yaitu;

NO ASPEK INDIKATOR FAVORABLE UNFAVORABLE JUMLAH

(50)
(51)
(52)

SKALA 1 Penyesuaian Perkawinan

No. PERNYATAAN STS ST S SS

1 Saya merasa senang karena telah menjadi suami/istri dari pasangan saya

2 Saya lebih suka menghabiskan akhir pekan, tanpa pasangan saya

3 Saya dekat dengan ipar‐ipar saya

4 Saya merasa pasangan saya tidak mengerti apa yang saya inginkan

5 Pasangan sayaselalu ada waktu untuk saya 6 Masalah keuangan sering menjadi pemicu

pertengkaran dalam rumah tangga kami 7 Kami selalu berusaha menjaga silaturahmi dan

komunikasi dengan pihak keluarga pasangan 8 Pasangan saya dapat menerima saya apa adanya 9 Saya merasa tidak bahagia hidup bersama

pasangan saya

10 Sesibuk apapun,saya dan pasangan selalu menghabiskan hari libur bersama

11 Saya dan pasangan selalu menyisakan sedikit penghasilan untuk ditabung

12 Sebisa mungkin kami menyelesaikan permasalahan diantara kami dengan “kepala dingin”

13 Pengeluaran kami lebih besar dari pemasukan 14 Saya sering terlibat konflik dengan ipar-ipar saya 15 Keluarga saya menyukai pasangan saya

16 Kesibukan dari pasangan saya membuat kami jarang menghabiskan waktu bersama 17 Pasangan saya suka membesar-besarkan masalah 18 Saya tidak mengalami kesulitan dalam mengatur

masalah keuangan

19 Saya merasa bahwa kami bukan pasangan yang cocok

20 Hanya pendapat dari pasangan saya saja yang harus saya dengarkan

21 Pasangan saya lebih suka menghabiskan akhir pekannya dengan menekuni hobbinya bersama teman‐temannya

22 Kami sering berbeda pendapat, namun kami tidak menjadikan hal itu sebagai bahan pertengkaran 23 Saya merasa keluarga pasangan saya kurang

menyukai saya

(53)

yang tepat bagi saya

25 Kami sering berdebat karena pasangan saya suka mengungkit masa lalu

26 Kami selalu menghadiri acara-acara pesta bersama‐sama

27 Kami memanfaatkan penghasilan kami untuk hal‐hal yang penting

28 Saya dan mertua saya sering berselisih faham 29 Kami selalumenyelesaikan masalah dengan

membicarakannya bersama

30 Pada saat saya berulang tahun, biasanya kami merayakannnya bersama

31 Pasangan saya kurang suka menghadiri acara‐acara keluarga

Gambar

Tabel 9. Hasil analisis Variabel bebas……………………………………………. . 16
Tabel 1. Deskripsi Usia saat Menikah
Tabel 3. Mean Variabel Kematangan Emosi & Penyesuaian Perkawinan Berdasarkan Usia
Tabel 6. Deskripsi Norma Kematangan Emosi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sejalan dengan penelitian Long dan Andrews (1990) pada sejumlah pasangan suami istri berkaitan dengan kecerdasan emosi dan penyesuaian perkawinan, menunjukkan bahwa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan positif yang signifikan antara kematangan emosi dengan penyesuaian perkawinan beda etnis Tionghoa-Dayak di

Instrument yang digunakan untuk mengambil data adalah dengan menggunakan dua skala, yaitu skala kematangan emosi yang berjumlah 36 item dan skala penyesuaian sosial yang berjumlah

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman mengenai penyesuaian perkawinan pada pasangan pernikahan dimana usia suami lebih muda dibanding dengan istri,

Hubungan Religiusitas dengan Penyesuaian Perkawinan pada Dewasa Dini Muslim.. Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah psikologi perkembangan yang berkaitan dengan kematangan emosi dan penyesuaian pernikahan terutama pada

Dinamika Pengaruh Kematangan Emosi dengan Penyesuaian Diri Remaja Putri Yang Menikah Muda. Masa remaja ditandai oleh perubahan fisik dan psikologis,

Kematangan emosi adalah aspek penting untuk menjaga pernikahan, karena dalam pernikahan yang harmonis sedikit banyak dipengaruhi oleh kematangan emosi kedua belah