• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap Penyesuaian Pernikahan Remaja Putri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap Penyesuaian Pernikahan Remaja Putri"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KEMATANGAN EMOSI 1. Definisi Kematangan Emosi

Kematangan emosi dapat dimengerti dengan mengetahui pengertian emosi

dan kematangan, kemudian diakhiri dengan penjelasan kematangan emosi sebagai

satu kesatuan. Istilah kematangan menunjukkan kesiapan yang terbentuk dari

pertumbuhan dan perkembangan (Hurlock, 2004). Emosi merupakan suatu

kondisi keterbangkitan yang muncul dengan perasaan kuat dan biasanya respon

emosi mengarah pada suatu bentuk perilaku tertentu (Lazzarus, 1991). Selain itu,

terdapat juga definisi emosi sebagai suatu keadaan dalam diri individu yang

memperlihatkan reaksi fisiologis, kognitif, dan pelampiasan perilaku. Misalnya

ketika individu sedang mengalami ketakutan, reaksi fisiologis yang dapat muncul

adalah keterbangkitan (jantung berdetak lebih kencang), kemudian individu akan

memikirkan bahwa dirinya sedang dalam bahaya, sedangkan tingkah laku yang

dapat mucul adalah kecenderungan untuk menghindar dari situasi yang membuat

ketakutan (Rathus, 2005). Goleman (2001) menjelaskan jenis-jenis emosi

termasuk didalamnya amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut,

jengkel, dan malu.

Hurlock (2004) berpendapat bahwa kematangan emosi merupakan

individu yang memiliki kontrol diri yang baik, mampu mengekspresikan

(2)

lebih mampu beradaptasi karena dapat menerima beragam orang dan situasi dan

memberikan reaksi yang tepat sesuai dengan tuntutan yang dihadapi.Kematangan

emosi merupakan kemampuan individu untuk dapat bersikap toleran, merasa

nyaman, mempunyai kontrol diri sendiri, perasaan mau menerima dirinya dan

orang lain, selain itu dapat menyatakan emosinya secara konstruktif dan kreatif

(Yusuf ,2011). Kematangan emosi dapat didefinisikan sebagai kemampuan

mengekspresikan perasaan dan keyakinan secara berani dan mempertimbangkan

perasaan dan keyakinan orang lain (Covey, 2001). Dariyo (2006) juga

mendefinisikan kematangan emosi sebagai keadaan atau kondisi mencapai tingkat

kedewasaan dari perkembangan emosi sehingga individu tidak lagi menampilkan

pola emosional yang tidak pantas.

Dalam penelitian ini kematangan emosi adalah kesiapan individu dalam

mengendalikan dan mengarahkan emosi dengan mempertimbangkan situasi dan

kondisi.

2. Faktor Yang Mempengaruhi Kematangan Emosi

Faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi menurut Hurlock

(2004), antara lain:

a.Usia

Semakin bertambah usia inidvidu, diharapkan emosinya akan lebih matang

dan individu akan lebih dapat menguasai dan mengendalikan emosinya. Individu

semakin baik dalam kemampuan memandang suatu masalah, menyalurkan dan

(3)

b.Perubahan fisik dan kelenjar

Perubahan fisik dan kelenjar pada diri individu akan menyebabkan

terjadinya perubahan pada kematangan emosi. Sesuai dengan anggapan bahwa

remaja adalah periode “badai dan tekanan”, emosi remaja meningkat akibat

perubahan fisik dan kelenjar.

c. Jenis Kelamin

Laki-laki dikenal lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan,

mereka memiliki pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga

cenderung kurang mampu mengekspresikan emosi seperti yang dilakukan oleh

perempuan.

Menurut Young (2007) faktor yang mempengaruhi kematangan emosi

antara lain adalah:

a. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan tempat hidup termasuk didalamnya yaitu lingkungan

keluarga dan lingkungan masyarakat. Keadaan keluarga yang tidak harmonis,

terjadi keretakan dalam hubungan keluarga yang tidak ada ketentraman dalam

keluarga dapat menimbulkan persepsi yang negatif pada diri individu. Begitu pula

lingkungan sosial yang tidak memberikan rasa aman dan lingkungan sosial yang

tidak mendukung juga akan menganggu kematangan emosi.

b. Faktor individu

Faktor individu meliputi faktor kepribadian yang dipunyai individu.

(4)

negatif, tidak realistik dan tidak sesuai dengan kenyataan. Kalau individu dapat

membatalkan pikiran-pikiran yang keliru menjadi pikiran-pikiran yang benar,

maka individu dapat menolong dirinya sendiri untuk mengatur emosinya sehingga

dapat mempersepsikan sesuatu hal dengan baik.

c. Faktor pengalaman

Pengalaman yang diperoleh individu selama hidupnya akan mempengaruhi

kematangan emosinya. Pengalaman yang menyenangkan akan memberikan

pengaruh yang positif terhadap individu, akan tetapi pengalaman yang tidak

menyenangkan bila selalu terulang dapat memberi pengaruh negatif terhadap

individu maupun terhadap kematangan emosi individu tersebut.

3. Karakteristik Kematangan Emosi

Hurlock (2004) mengemukakan tiga karakteristik dari kematangan emosi,

antara lain:

a. Kontrol emosi

Individu tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain dan mampu

menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan

cara-cara yang dapat diterima. Individu dapat melakukan kontrol diri yang bisa

diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol

ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari

energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara

(5)

b. Pemahaman diri

Memiliki reaksi emosional yang lebih stabil, tidak berubah-ubah dari satu

emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain. Individu mampu memahami

emosi diri sendiri, memahami hal yang sedang dirasakan, dan mengetahui

penyebab dari emosi yang dihadapi individu tersebut.

c. Pengunaan fungsi kritis mental Individu

Mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi

secara emosional, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap

situasi tersebut, dan individu juga tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya

seperti anak-anak atau individu yang tidak matang.

4. Kematangan Emosi Remaja

Remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi jika individu dapat

mengerti situasi tanpa harus diberikan arahan oleh orang lain serta mengerti

kewajiban dan tanggungjawabnya (Chaube, 2002). Selain itu, Hurlock (2004) juga

menambahkan remaja mencapai kematangan emosi jika pada akhir masa

remajanya tidak sembarangan dalam meluapkan emosinya dihadapan orang lain,

tetapi menempatkannya secara tepat dan dengan cara-cara yang dapat diterima

oleh orang lain. Chaplin (2005) mendefinisikan kematangan emosi sebagai

kondisi atau keadaan dalam mencapai tingkat kedewasaan dalam perkembangan

emosional seseorang.

Kematangan emosi juga dapat ditunjukkan dengan kemampuan remaja

(6)

emosional dan memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari

satu suasana hati ke suasana hati yang lain. Yusuf (2011) menjelaskan tentang

bagaimana perubahan kematangan emosional sebelum masa remaja sampai

memasuki masa remaja, hal ini dapat terlihat dari tabel berikut ini:

Tabel 1 .Perubahan Kematangan Emosi

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan kematangan emosi

remaja merupakan kondisi remaja mampu mengendalikan dan mengarahkan

penyaluran emosi sesuai situasi dan waktu yang tepat dengan cara yang dapat

diterima, mampu menggunakan pemikiran terlebih dahulu terhadap suatu situasi

sebelum menggunakan respon emosional, serta mengambil keputusan yang

didasarkan pada pertimbangan sehingga tidak mudah berubah-ubah.

B. PENYESUAIAN PERNIKAHAN 1. Pengertian Penyesuaian Pernikahan

Hurlock (2000) mendefinisikan penyesuaian perkawinan sebagai proses

adaptasi antara suami dan istri, dimana suami dan istri tersebut dapat mencegah

terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses

No DARI ARAH KE ARAH

1. Tidak toleran dan bersikap superior

Bersikap toleran

2. Kaku dalam bergaul Luwes dalambergaul 3. Peniruan buta terhadap teman

sebaya

Interdependensi dan memiliki harga diri

4. Kontrol orang tua Kontrol diri sendiri 5. Perasaan yang tidak jelas tentang

(7)

penyesuaian diri. Penyesuaian pernikahan juga merupakan suatu proses

memodifikasi, mengadaptasi dan mengubah individu dan pola perilaku pasangan

serta adanya interaksi untuk mencapai kepuasan yang maksimum dalam

pernikahan (DeGenova, 2008).

Menurut Lasswel & Lasswel (1987), penyesuaian perkawinan berarti kedua

individu telah belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan

masing-masing, ini berarti mencapai suatu derajat kebahagiaan dalam hubungan.

Penyesuaian perkawinan bukan suatu keadaan absolut melainkan suatu proses

yang terus menerus terjadi.Sedangkan Duval dan Miller (1985) mengatakan

bahwa penyesuaian perkawinan itu adalah proses membiasakan diri pada kondisi

baru dan berbeda sebagai hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka

akan menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai suami istri.

Penyesuaian perkawinan ini juga dianggap sebagai persoalan utama dalam

hubungan suami istri.

Dalam penelitian ini penyesuaian pernikahan adalahproses membiasakan

diri (beradaptasi) dengan situasi baru sebagai suami istri untuk memenuhi harapan

atau tujuan perkawinan dan memecahkan konflik yang muncul dalam perkawinan.

2. Bentuk-bentuk Penyesuaian Pernikahan

Penyesuaian diri dalam pernikahan memiliki beberapa area yang akan

dilalui, seperti agama, kehidupan sosial, teman yang menguntungkan, hukum,

(8)

1. Penyesuaian dengan pasangan

Penyesuaian yang paling penting yang pertama kali harus dihadapi saat

seseorang memasuki dunia pernikahan adalah penyesuaian dengan pasangan (istri

maupun suaminya).

Semakin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal antara pria dan

wanita yang diperoleh dimasa lalu, makin besar pengertian dan wawasan sosial

mereka sehingga memudahkan dalam penyesuaian dengan pasangan. Hal ini juga

terjadi pada remaja putri yang menikah dini. Hurlock (2000) juga mengemukakan

beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian terhadap pasangan.

Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Konsep pasangan ideal.

Pada saat memilih pasangan, baik pria maupun wanita sampai pada waktu

tertentu dibimbing oleh konsep pasangan ideal yang dibentuk selama masa

dewasa.

b. Pemenuhan kebutuhan

Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus memenuhi

kebutuhan yang berasal dari pengalaman awal. Pasangan harus membantu

pasangan lainnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

c. Kesamaan latar belakang

Semakin sama latar belakang suami dan istri maka semakin mudah untuk

saling menyesuaikan diri. Semakin berbeda pandangan hidup mereka, maka

(9)

d. Minat dan kepentingan bersama

Kepentingan yang sama mengenai suatu hal yang dapat dilakukan

pasangan cenderung membawa penyesuaian yang baik .

e. Konsep peran

Setiap lawan pasangan mempunya konsep mengenai bagaimana

seharusnya peranan seorang suami dan istri, atau setiap individu

mengharapkan pasangannya memainkan perannya. Jika harapan terhadap

peran tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan konflik dan penyesuaian

yang buruk.

f. Perubahan dalam pola hidup

Penyesuaian terhadap pasangannya berarti mengorganisasikan pola

kehidupan, merubah persahabatan dan kegiatan-kegiatan sosial, serta

merubah persyaratan pekerjaan, terutama bagi seorang istri.

Penyesuaian-penyesuaian ini seringkali diikuti oleh konflik emosional.

2. Penyesuaian seksual

Penyesuaian utama yang kedua dalam pernikahan adalah penyesuaian

seksual, ini adalah penyesuaian yang paling sulit dalam pernikahan dan salah satu

penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan dalam

pernikahan. Permasalahan biasanya dikarenakan pasangan belum mempunyai

pengalaman yang cukup dan tidak mampu mengendalikan emosi mereka.

(10)

a. Perilaku terhadap seks

Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara pria dan wanita

menerima informasi seks selama masa anak-anak dan remaja.

b. Pengalaman seks masa lalu

Cara orang dewasa bereaksi terhadap masturbasi, petting, dan

hubungan suami istri sebelum menikah, ketika mereka masih muda dan

cara pria dan wanita merasakan itu sangat mempengaruhi perilakunya

terhadap seks.

c. Dorongan seksual

Dorongan seksual berkembang lebih awal pada pria daripada wanita

dan cenderung tetap demikian, sedangkan wanita muncul secara periodik.

Dengan turun naik selama siklus menstruasi. Variasi ini mempengaruhi

minat dan kenikmatan akan seks, yang kemudian mempengaruhi

penyesuaian seksual.

d. Pengalaman seks marital awal, sikap terhadap penggunaan alat

kontrasepsi, dan pengaruh vasektomi.

3. Penyesuaian keuangan

Penyesuaian keuangan juga merupakan penyesuaian yang sulit dan

memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri dalam pernikahan. Istri yang berusia

muda atau masih remaja cenderung memiliki sedikit pengalaman dalam hal

mengelola keuangan untuk kelangsungan hidup keluarga. Suami juga terkadang

(11)

istrinya bekerja di luar rumah dan berhenti setelah memiliki anak pertama

sehingga mengurangi pendapatan keluarga.

4. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan

Setiap individu yang menikah secara otomatis memperoleh sekelompok

keluarga baru. Mereka itu adalah anggota keluarga pasangan dengan usia yang

berbeda, mulai dari bayi hingga kakek atau nenek dan terkadang dengan latar

belakang yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, budaya dan latar

belakang sosial yang berbeda. Penyesuaian diri dengan pihak keluarga pasangan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

a) Stereotip tradisional mengenai ibu mertua

Stereotip yang secara luas diterima masyarakat ”Ibu mertua yang

representatif” dapat menimbulkan perangkat mental yang tidak

menyenangkan bahkan sebelum perkawinan. Stereotip yang tidak

menyenangkan mengenai orang usia lanjut seperti cenderung ikut campur

tangan dapat masalah bagi keluarga pasangan.

b) Keinginan untuk mandiri

Orang yang menikah muda cenderung menolak berbagai saran dan

petunjukdari orang tua mereka.

c) Keluargaisme

Penyesuaian dan perkawinan akan lebih pelik apabila salah satu

pasangan tersebut menggunakan lebih banyak waktunya terhadap

(12)

keluarga, apabila seseorang anggota keluarga berkunjung dalam waktu

yang lama dan hidup dengan mereka untuk seterusnya.

d) Mobilitas sosial

Individu dewasa muda yang status sosialnya meningkat diatas anggota

keluarga atau diatas status keluarga pasangannya mungkin saja tetap

membawa mereka dalam latar belakangnya. Banyak orangtua dan anggota

keluarga sering bermusuhan dengan pasangan muda.

e) Anggota keluarga berusia lanjut

Merawat anggota keluarga berusia lanjut merupakan faktor yang

sangat sulit dalam penyesuaian pekawinan karena sikap yang tidak

menyenangkan terhadap orangtua dan urusan keluarga khususnya bila dia

juga mempunyai anak-anak.

f) Bantuan keuangan untuk keluarga pasangan

Apabila pasangan muda harus membantu atau memikul tanggung

jawab, bantuan keuangan bagi pihak keluarga pasangan, hal itu sering

membawa hubungan keluarga yang tidak baik. Hal ini dikarenakan

anggota keluarga pasangan dibantu keuangannya, menjadi marah dan

tersinggung dengan tujuan agar diperoleh bantuan tersebut.

3. Kondisi Yang Menyumbang Kesulitan Dalam Penyesuaian Pernikahan

Hurlock (2000) mengemukakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan

(13)

1. Persiapan yang terbatas untuk pernikahan

Penyesuaian seksual saat ini terlihat lebih mudah dilakukan dibandingkan

masa lalu, dikarenakan banyaknya informasi namun kebanyakan pasangan suami

istri hanya menerima sedikit persiapan dibidang keterampilan domestik,

mengasuh anak, dan manajemen uang.

2. Perubahan peran dan status sosial menjadi suami atau istri.

Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria dan

wanita serta konsep yang berbeda tentang peran membuat penyesuaian dalam

pernikahan semakin sulit saat ini dibandingkan pada masa lalu.

3. Pernikahan dini

Pernikahan dini akan lebih banyak memerlukan proses penyesuaian diri

masing masing pasangan karena pada umumnya di usia ini individu belum terlalu

matang dalam hal emosional, ekonomi, dan seksual.

4. Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan.

Orang dewasa yang belajar perguruan tinggi dan pengalaman yang sedikit

cenderung memiliki konsep yang tidak realistis mengenai makna pernikahan.

5. Pernikahan campuran

Penikahan yang dilakukan antara dua adat istiadat yang berbeda.

6. Pacaran yang dipersingkat.

Periode masa pacaran yang singkat pada masa sekarang dibandingkan

masalalu, sehingga pasangan hanya punya sedikit waktu untuk memecahkan

(14)

7. Romantika perkawinan

Harapan yang berlebihan mengenai tujuan dan hasil pernikahan sering

membawa kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan

tanggung jawab pernikahan.

4. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Pernikahan

Kriteria keberhasilan penyesuaian pernikahan dari Hurlock (2000), yaitu:

1. Kebahagiaan suami istri

Suami dan istri yang bahagia memperoleh kebahagiaan bersama akan

membuahkan kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka mainkan bersama.

2. Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat

Perbedaaan pendapat di antara anggota keluarga yang tidak dapat dielakkan,

biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu adanya

ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi perdamaian atau

masing-masing keluarga mencoba untuk saling mengerti pandangan dan pendapat orang

lain. Dalam jangka panjang kemungkinan ketiga yang dapat menimbulkan

kepuasan dalam penyesuaian pernikahan, walaupun kemungkinan pertama dan

kedua dapat mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh perselisihan yang

meningkat.

3. Kebersamaan

Jika penyesuaian pernikahan dapat berhasil, maka keluarga dapat menikmati

waktu yang digunakan untuk berkumpul bersama. Apabila hubungan keluarga

(15)

dapat mengikatkan tali persahabatan lebih erat lagi setelah mereka dewasa,

menikah dan membangun rumah atas usahanya sendiri.

4. Penyesuaiaan yang baik dalam masalah keuangan

Dalam keluarga pada umumnya salah satu sumber perselisihan dan

kejengkelan adalah sekitar masalah keuangan. Bagaimanapun besarnya

pendapatan, keluarga perlu mempelajari cara membelanjakan pendapatannya

sehingga mereka dapat menghindari utang yang selalu melilitnya agar disamping

itu mereka dapat menikmati kepuasan atas usahanya dengan cara yang

sebaik-baiknya, daripada menjadi seorang istri yang selalu mengeluh karena pendapatan

suaminya tidak memadai.

5. Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan

Apabila suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan pihak keluarga

pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan, kecil

kemungkinannya untuk terjadi percekcokan dan ketegangan hubungan dengan

mereka.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan

Banyak faktor sosial dan demografis yang ditemukan memiliki hubungan

dengan penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut ini beberapa hal yang

mempengaruhi penyesuaian pernikahan :

1. Usia

Udry dan Schoen (dalam Dyer, 1983) mengatakan bahwa penyesuaian

(16)

laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka dihadapkan

pada tuntutan dan beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan rasa

kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia. Dalam hal perbedaan usia, ditemukan

tidak terlalu meyakinkan. Ada penelitian menemukan bahwa akan lebih

menguntungkan bagi pasangan yang memiliki usia yang sama (Locke; Blode &

Wolfe, dalam Dyer, 1983), namun pada penelitian lain juga ditemukan bahwa

usia yang berbeda tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyesuaian

pekawinan (Udry, Nelson & Nelson, dalam Dyer, 1983).

2. Agama

Hubungan antara agama dan penyesuaian perkawinan sudah diselidiki

sepanjang tahun. Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-beda dan

selalu tidak konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar

belakang agama dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam kebahagiaan

perkawinan. Pada penelitian pernikahan beda agama (Christensen & Barber;

Glenn, dalam Dyer, 1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama antara

Katolik, Yahudi, dan Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan

dengan agama yang sama di ketiga agama tersebut.

3. Ras

Sejauh ini tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana

perkawinan antar ras sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang

mengatakan bahwa perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya secara statistik

(17)

Penelitian yang dilakukan Monahan (dalam Dyer, 1983) pada perkawinan antar

ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan antar kulit hitam dan putih lebih stabil

daripada perkawinan kulit hitam dan hitam; dia juga menemukan bahwa

perkawinan dengan suami kulit hitam dan istri kulit putih memiliki rata-rata

perceraian yang rendah dibandingkan dengan rata-rata perceraian pada

perkawinan kulit putih dan putih. Dimana perbedaan sosial dan kultur masih tetap

ada dan larangan pada perkawinan antar ras masih kuat, mereka berusaha untuk

tahan menghadapi larangan dan berusaha kuat untuk menghadapi sangsi yang ada

dari kelompok ras mereka masing-masing.

4. Pendidikan

Data dari survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya

menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan Weaver

(dalam Dyer, 1983) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara

lamanya mengecap pendidikan dengan kebahagiaan perkawinan.

Terman; Burgess & Wallin, (dalam Dyer, 1983) mengungkapkan

perbedaan pendidikan pada pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum

sepenuhnya jelas, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan

tingkat pendidikan yang sama akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil

penelitian yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan

(18)

5. Keluarga Pasangan

Salah satu hal yang harus dihadapi oleh pasangan yang baru menikah

adalah bagaimana mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak

saudara setelah menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri atau suami

mengindikasikan bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria

(Duvall; Komorovsky, dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar lebih

cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan

abang ipar. Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran

wanita dalam rumah tangga.

C.REMAJA 1. Definisi Remaja

Istilah remaja dikenal dengan “adolescence” yang berasal dari kata dalam

bahasa latin “adolescere” (kata bendanya adolescentia = remaja), yang berarti

tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Istilah

adolescence merupakan suatu tahap dalam perkembangan yang mencakup dalam

kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja juga merupakan

peralihan antara masa kanak–kanak dan dewasa meliputi perubahan fisik,

kognitif, dan psikososial. Remaja adalah individu yang berusia antara 13 sampai

18 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa

dewasa. dengan pembagian 13 sampai 16 tahun termasuk masa remaja awal dan

16 sampai 18 tahun termasuk masa remaja akhir (Hurlock, 2004). Semua aspek

perkembangan dalam masa remaja secara global berlangsung antara umur 12-21

(19)

adalah masa remaja pertengahan, 18-21 tahun adalah masa remaja akhir (Monks,

2009)

Menurut WHO (badan PBB untuk kesehatan dunia) batas usia remaja

adalah 12 sampai 24 tahun. Sedangkan dari segi pelayanan program pelayanan

definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah mereka yang

berusia 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Sementara itu menurut BKKBN

(Direktorat Remaja dan perlindungan Hak reproduksi) batasan usia remaja adalah

10-21 tahun.

Berdasarkan uraian diatas remaja merupakan masa peralihan dari masa

kanak-kanak ke masa dewasa dengan usia antara 16-18 tahun.

2. Tugas Perkembangan Remaja

Hurlock (2004) mengemukakan beberapa tugas perkembangan di masa

remaja, antara lain:

a. Menerima keadaan fisiknya

b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.

c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang

berlawanan jenis.

d. Mencapai kemandirian emosional

e. Mencapai kemandirian ekonomi

f. Mengembangkan konsep dan keterampilan yang diperlukan untuk

melakukan peran sebagai anggota masyarakat.

g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai dan orang dewasa

(20)

i. Mempersiapkan diri memasuki pernikahan, memahami dan

mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.

j. Memperoleh peranan sosial

k. Menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif

l. Memperoleh kebebasan emosioanal dari orang tua dan dari orang

dewasa lainnya

m. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri

n. Memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan

o. Mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga

p. Membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup.

3. Ciri-ciri Remaja Yang Melakukan Menikah Muda

Hurlock (2000) mengatakan bahwa semua periode perkembangan

memiliki ciri-ciri perkembangan yang membedakan dari satu periode dengan

periode berikutnya. Masa remaja juga mempunyai ciri-ciri tertentu yang

membedakan dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. Remaja yang menikah

baik itu remaja putra maupun remaja putri akan mengalami masa remaja yang

diperpendek, sehingga ciri dan tugas perkembangan mereka juga ikut diperpendek

dan masuk pada masa dewasa (Monks, 2001).

1) Remaja yang telah menikah akan mengalami suatu periode peralihan yang

cukup signifikan. Peralihan yang terjadi adalah beralih dari masa anak-anak

menuju masa dewasa, dimana remaja harus meninggalkan segala sesuatu

yang bersifat kekanak-kanakan dan harus mempelajari pola dan sikap baru

(21)

2) Remaja yang telah menikah akan mengalami periode perubahan, yaitu

meliputi perubahan fisik, emosional, perubahan pola dan minat, perubahan

nilai-nilai yang berlaku, dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

3) Remaja yang telah menikah, mereka diharuskan masuk pada masa dewasa,

tidak lagi pada ambang masa dewasa. Masa remaja mereka menjadi

diperpendek dan mereka harus meninggalkan stereotip belasan tahun dan

menjadi dewasa.

D. Menikah Muda

Pernikahan merupakan peristiwa yang penting dalam kehidupan seseorang.

Hampir setiap individu mempunyai keinginan untuk mengalami hal tersebut.

Dalam Undang-Undang Pernikahan yang dikenal dengan UU No.1 tahun 1974,

pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan

keTuhanan Yang Maha Esa. Dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 1

tahun 1974 mengenai batas umur untuk melangsungkan pernikahan adalah

:”Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan

pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun ”. Hal ini sesuai dengan

rekomendasi “The Eliminatian of All Forms of Discrimination against Women

(CEDAW)” yang menyatakan bahwa usia 18 tahun seharusnya menjadi usia

minimum yang resmi untuk menikah baik pada pria maupun wanita.

Menikah muda (early Married) merupakan pernikahan yang dilakukan

oleh pasangan yang berusia dibawah 19 tahun (WHO, 2006). Menurut BKKBN

(22)

20 tahun. Pernikahan usia muda dapat didefenisikan sebagai ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri di usia yang masih

muda/remaja.

1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Menikah Muda

Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

BKKBN tahun 2011 menemukan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi

median usia pernikahan pertama perempuan adalah faktor sosial, ekonomi,

budaya dan tempat tinggal (desa/kota). Di antara faktor-faktor tersebut, faktor

ekonomi merupakan faktor yang paling dominan terhadap median usia

nikah/kawin pertama perempuan. Hal ini ditengarai disebabkan oleh kemiskinan

yang membelenggu perempuan dan orang tuanya. Karena tidak mampu

membiayai anaknya, maka orang tua menginginkan anaknya tersebut segera

menikah sehingga mereka terlepas dari tanggung jawab dan berharap setelah

anaknya menikah mereka akan mendapatkanbantuan ekonomi (BKKBN).

Menurut beberapa penelitian Pernikahan dini yang masih marak terjadi

pada remaja pedesaan pada umumnya dipengaruhi oleh empat faktor, yakni:

keinginan bebas pada remaja, ekonomi, pendidikan dan budaya.

1. Keinginan bebas pada remaja.

Adanya dorongan rasa kemandirian gadis remaja dan keinginan bebas dari

kekangan orangtua (Landung dkk, 2009). Hal tersebut berkaitan dengan

perubahan psikologi yang terjadi pada diri remaja sebagaimana yang dijelaskan

(23)

menuju kehidupan dengan kedudukan mandiri. Jannah (2012) menjelaskan bahwa

salah satu penyebab pernikahan dini yang terjadi pada masyarakat Desa Pandan

(Madura) ialah adanya kesiapan diri pada remaja. Selain orang tua, pendorong

terjadinya pernikahan dini di Desa Pandan disebabkan adanya kemauan diri

sendiri dari pasangan. Hal ini disebabkan mereka sudah merasa bisa mencari uang

sendiri dan juga pengetahuan anak yang diperoleh dari film atau media-media

yang lain, sehingga bagi mereka yang telah mempunyai pasangan atau kekasih

terpengaruh untuk melakukan pernikahan di bawah batas minimal usia

perkawinan.

2. Faktor Ekonomi

Pernikahan dini yang terjadi disebabkan karena alasan membantu

pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Faktor ini berhubungan dengan

rendahnya tingkat ekonomi keluarga. Orang tua tidak memiliki kemampuan untuk

memenuhi kebutuhan keluarga sehingga orangtua memilih untuk mempercepat

pernikahan anaknya, terlebih bagi anak perempuan sehingga dapat membantu

pemenuhan kebutuhan keluarga (Landung dkk, 2009). Sejalan dengan hal itu,

Jannah (2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa para orang tua yang

menikahkan anaknya pada usia muda mengganggap bahwa dengan menikahkan

anaknya, maka beban ekonomi keluarga akan berkurang satu. Hal ini disebabkan

jika anak sudah menikah, maka akan menjadi tanggung jawab suaminya. Bahkan

para orang tua juga berharap jika anaknya sudah menikah, maka akan dapat

(24)

3. Faktor pendidikan

Dalam konteks pendidikan, penelitian Landung dkk (2009) dan menjelaskan

bahwa rendahnya tingkat pendidikan orang tua, menyebabkan adanya

kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur. Hal tersebut

berkaitan dengan rendahnya tingkat pemahaman dan pengetahuan orangtua terkait

konsep remaja gadis. Pada masyarakat pedesaan umumnya terdapat suatu nilai

dan norma yang menganggap bahwa jika suatu keluarga memiliki seorang remaja

gadis yang sudah dewasa namun belum juga menikah dianggap sebagai aib

keluarga, sehingga orang tua lebih memilih untuk mempercepat pernikahan anak

perempuannya. Jannah (2012) menambahkan bahwa rendahnya pendidikan

merupakan salah satu pendorong terjadinya pernikahan dini. Para orang tua yang

hanya bersekolah hingga tamat SD merasa senang jika anaknya sudah ada yang

menyukai, dan orang tua tidak mengetahui adanya akibat dari pernikahan muda

ini.

4. Faktor Budaya

Keberadaan budaya lokal (Parampo Kampung) memberi pengaruh besar

terhadap pelaksanaan pernikahan dini, sehingga masyarakat tidak memberikan

pandangan negatif terhadap pasangan yang melangsungkan pernikahan meskipun

pada usia yang masih remaja. Hal ini yang menyebabkan kaum pemuka adat tidak

memiliki kemampuan untuk dapat mengatur sistem budaya yang mengikat bagi

warganya dalam melangsungkan perkawinan karena batasan tentang seseorang

(25)

Sejalan dengan Landung dkk (2009), Syafiq Hasyim dalamJannah (2012)

menyebutkan bahwa dalam konteks Indonesia pernikahan lebih condong diartikan

sebagai kewajiban sosial dari pada manifestasi kehendak bebas setiap individu.

Secara umum, dalam masyarakat yang pola hubungannya bersifat tradisional,

pernikahan dipersepsikan sebagai suatu “keharusan sosial” yang merupakan

bagian dari warisan tradisi dan dianggap sakral. Sedangkan dalam masyarakat

rasional modern, perkawinan lebih dianggap sebagai kontrak sosial, dan

karenanya pernikahan sering merupakan sebuah pilihan. Cara pandang tradisional

terhadap perkawinan sebagai kewajiban sosial ini, tampaknya memiliki kontribusi

yang cukup besar terhadap fenomena kawin muda yang terjadi di Indonesia.

Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong

terjadinya pernikahan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat

kita yaitu faktor ekonomi, pendidikan, keluarga, kemauan sendiri, media masa dan

hamil diluar nikah .

a. Faktor Ekonomi

Mencher (dalam Siagian, 2012) mengemukakan kemiskinan adalah gejala

penurunan kemampuan seseorang atau sekelompok orang atau wilayah sehingga

mempengaruhi daya dukung hidup seseorang atau sekelompok orang, dimana

pada suatu titik waktu secara nyata mereka tidak mampu mencapai kehidupan

yang layak, sehingga dapat kita katakan bahwa salah satu faktor yang

mempengaruhi pernikahan usia muda adalah tingkat ekonomi keluarga.

Rendahnya tingkat ekonomi keluarga mendorong si anak untuk menikah diusia

(26)

menikah sehingga bukan lagi menjadi tanggungan orang tuanya ( terutama untuk

anak perempuan), belum lagi suami anaknya akan bekerja atau membantu

perekonomian keluarga maka anak wanitanya dinikahkan dengan orang yang

dianggap mampu.

b. Faktor Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan cenderung melakukan aktivitas sosial

ekonomi yang turun temurun tanpa kreasi dan inovasi. Akibat lanjutnya

produktivitas kerjanyapun sangat rendah sehingga tidak mampu memenuhi

kebutuhan hidupnya secara memadai. Karena terkadang seorang anak perempuan

memutuskan untuka menikah diusia yang tergolong muda. Pendidikan dapat

mempengaruhi seorang wanita untuk menunda usia untuk menikah. Makin lama

seorang wanita mengikuti pendidikan sekolah, maka secara teoritis makin tinggi

pula usia kawin pertamanya. Seorang wanita yang tamat sekolah lanjutan tingkat

pertamanya berarti sekurang-kurangnya ia menikah pada usia di atas 16 tahun ke

atas, bila menikah diusia lanjutan tingkat atas berarti sekurang-kurangnya berusia

19 tahun dan selanjutnya bila menikah setelah mengikuti pendidikan di perguruan

tinggi berarti sekurang-kurangnya berusia diatas 22 tahun (Siagian,2012)

c. Faktor Keluarga/ Orang tua

Biasanya orang tua bahkan keluarga menyuruh anaknya untuk menikah

secepatnya padahal umur mereka belum matang untuk melangsungkan

pernikahan, karena orang tua dan keluarga khawatir anaknya melakukan hal-hal

yang tidak di inginkan karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki

(27)

yang sudah biasa atau turun-temurun. Sebuah keluarga yang mempunyai anak

gadis tidak akan merasa tenang sebelum anak gadisnya menikah.(Landung

dkk,2009)

d. Faktor kemauan sendiri

Hal ini disebabkan karena keduanya merasa sudah saling mencintai

danadanya pengetahuan anak yang diperoleh dari film atau media-media yang

lain, sehingga bagi mereka yang telah mempunyai pasangan atau kekasih

terpengaruh untuk melakukan pernikahan di usia muda.

e. Faktor Media massa

Media cetak maupun elektronik merupakan media massa yang

palingbanyak digunakan oleh masyarakat kota maupun desa. Oleh karena itu,

media masa sering digunakan sebagai alat menstransformasikan informasi dari

dua arah, yaitu dari media massa ke arah masyarakat atau menstransformasi

diantara masyarakat itu sendiri. Cepatnya arus informasi dan semakin majunya

tehnologi sekarang ini yang dikenal dengan era globalisasi memberikan

bermacam-macam dampak bagi setiap kalangan masyarakat di Indonesia, tidak

terkecuali remaja. Teknologi seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat

dipisahkan satu sama lain, disatu sisi berdampak positif tetapi di sisi lain juga

berdampak negatif. Dampak positifnya, munculnya imajinasi dan kreatifitas yang

tinggi. Sementara pengaruh negatifnya, masuknya pengaruh budaya asing seperti

pergaualan bebas dan pornografi. Masuknya pengaruh budaya asing

(28)

Menurut Rohmahwati (2008) paparan media massa, baik cetak (koran,

majalah, buku-buku porno) maupun elektronik (TV, VCD, Internet), mempunyai

pengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada remaja untuk melakukan

hubungan seksual pranikah.

f. Faktor MBA ( Marriage By Acident)

Kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja, dengan mudah bisa

disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kota-kota besar. Pernikahan

pada usia remaja pada akhirnya menimbulkan masalah tidak kalah peliknya. Jadi

dalam situasi apapun tingkah laku seksual pada remaja tidak pernah

menguntungkan, pada hal masa remaja adalah periode peralihan ke masa dewasa.

Selain itu, pasangan yang menikah karena “kecelakaan” atau hamil sebelum

menikah mempunyai motivasi untuk melakukan pernikahan usia muda karena ada

suatu paksaan yaitu untuk menutupi aib yang terlanjur terjadi bukan atas dasar

pentingnya pernikahan.

E. Dinamika Pengaruh Kematangan Emosi dengan Penyesuaian Diri Remaja Putri Yang Menikah Muda.

Masa remaja ditandai oleh perubahan fisik dan psikologis, pencarian

identitas danmembentuk hubungan baru termasukmengekspresikan perasaan

seksual (Santrock,2003). Pada masa ini banyak remaja yang tertarik secara

seksual pada lawan jenisnya khusunya remaja putri,mereka memiliki keinginan

lebih kuat untuk penjajakan dan kepribadian dalam berkencan daripada remaja

laki-laki (Duck, dalam Santrock,2003). Hal inilah yang membuat munculnya

(29)

perkembangan mereka . Menikah muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh

pasangan yang berusia dibawah 19 tahun (WHO,2006). Pernikahan muda sering

terjadi karena seseorang berpikir secara emosional untuk melakukan pernikahan,

mereka berpikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah (Sanderwitz dan

Paxman dalam Sarwono, 2007), tetapi sebenarnya hidup berumah tangga

membutuhkan kematangan emosi dan pemikiran untuk menghadapi dan

mengendalikan hakekat perkawinan dan peran orang tua yang akan disandang

(Adhim, 2002). Hurlock (2004) berpendapat bahwa kematangan emosi merupakan

individu yang memiliki kontrol diri yang baik, mampu mengekspresikan

emosinya dengan tepat atau sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga

lebih mampu beradaptasi karena dapat menerima beragam orang dan situasi dan

memberikan reaksi yang tepat sesuai dengan tuntutan yang dihadapi. Kematangan

emosi memiliki karakteristik yaitu; kontrol emosi yaitu mampu mengontrol emosi

saat emosi sedang memuncak, pemahaman diri yaitu mencari cara mengatasi

emosi dengan mengetahui penyebab emosi, dan pengunaan fungsi kritis mental

Individu yaitu mampu membuat keputusan dengan mempertimbangkan

dampaknya (Hurlock, 2004).

Pada saat remaja melakukan pernikahan diusia muda, remaja tersebut akan

mengalami periode perubahan yaitu, perubahan fisik, emosional, perubahan pola

dan minat, perubahan nilai-nilai yang berlaku, dan sikap ambivalen terhadap

setiap perubahan (Hurlock,2000). Salah satu faktor yang mempengaruhi

kematangan emosi adalah usia (Hurlock,2004). Diharapkan semakin matang usia

(30)

remaja putri, dimana menurut penelitianKhairani, R., & Putri, D. E. (2008)

seorang wanita akan mencapai kematangan emosi nya pada usia 24 tahun

sehingga sebelum usia tersebut individu tersebut masih sering tidak stabil

emosinya, perubahan suasana hati itu nantinya akan mempengaruhi hubungannya

dengan pasangannya.Individu yang memiliki kematangan emosi berarti individu

tersebut dapat menempatkan potensi yang dikembangkan dirinya dalam kondisi

pertumbuhan, dimana tuntutan yang nyata dari kehidupan individu dewasa dapat

diatasi dengan cara yang efektif dan sehat (Schneiders dalam Kurniawan 1995).

Remaja dikatakan sudah mencapai kematanan emosi jika individu dapat mengerti

situasi tanpa harus diberikan arahan oleh orang lain serta mengerti kewajiban dan

tanggung jawabnnya (Chaube,2002).

Sejalan dengan Munandar, 2011 remaja putri yang menikah masih

membawa sifat anak-anak nya sehingga masing-masing individu perlu

menyesuaikan diri dengan pasangannya agar kebutuhan masing-masing pasangan

dapat terpenuhi.Menurut (Hurlock,2000) cara seseorang remaja agar dapat

menyesuaikan diri dengan pasangan dan kehidupan pernikahannya remaja

tersebut membutuhkan penyesuaian pernikahan . Yang mana dalam halnya

pernikahan usia muda tentunya masing-masing pasangan membawa niai-nilai,

sikap, keyakinan dan gaya masing-masing dalam pernikahan (DeGenova,2008).

Sehingga untuk mengatasi segala perbedaan yang ada pada masing-masing

pasangan, mereka membutuhkan penyesuaian dalam pernikahannya.

(31)

terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses

penyesuaian diri. Boykin & Stith (2004) mengemukakan bahwa kecenderungan

pernikahan diusia remaja memunculkan distress dan banyak yang berakhir pada

perpisahan, dimana yang menjadi penyebab utamanya adalah sedikitnya

pengalaman dan faktor-faktor kurangnya kesiapan dalam menghadapi pernikahan.

Penyesuaian pernikahan sangat dibutuhkan oleh setiap pasangan yang telah

menikah, terlebih pada pasangan remaja yang menikah karena di usia remaja

emosinya masih sangat labil sehingga perlu adanya saling pengertian antar

pasangannya (Hurlock,2000). Emosi mewarnai cara berfikir manusia dalam

menghadapi konflik (Lazarus,1991).

Selain itu, salah satu kondisi yang menyumbang kesulitan dalam

melakukan penyesuaian pernikahan adalah pernikahan usia muda, dimana

pernikahan usia muda lebih banyak memerlukan proses penyesuaian diri pada

masing-masing pasangan karena umumnya di usia tersebut individu yang belum

terlalu matang dalam hal ekonomi, seksualdan emosional (Hurlock,2000). Sejalan

dengan hal tersebut, dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa penyesuaian

pernikahan dapat berjalan baik jika masing-masing pasangan memiliki

kematangan psikologis (Walgito,2004). Kematangan psikologis diantaranya

(32)

F. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian teoritis di atas maka hipotesa yang diajukan peneliti

dalam penelitian ini adalah “Terdapat Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap

(33)

G. Paradigma Berpikir

Remaja

Ciri perkembangan : Mencari identitas diri, Timbulnya keinginan untuk kencan, mempunyai rasa cinta yang mendalam, mengembangkan kemampuan

berpikir abstrak, berkhayal tentang aktivitas seks

Menikah Tidak Menikah

Menikah Muda (early marriage)

adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu

pasangannya yang masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia dibawah 19

tahun. (WHO, 2006)

Membutuhkan Kematangan Emosi

(Hurlock,2004)

Mengalami Konflik – Konflik Pernikahan.

Melakukan Penyesuaian Pernikahan (Hurlock, 2000) :

1. Penyesuaian dengan Pasangan

2. Penyesuaian Seksual 3. Penyesuaian Keuangan 4. Penyesuaian dengan

Referensi

Dokumen terkait

Surveilans reduksi campak merupakan salah satu kegiatan surveilans khusus dan global, sehingga semua pihak harus dapat berperan untuk mensukseskan komitmen global yang telah

a Cases with a missing value in any variable are excluded from the analysis. Variable

Buku register atau file khusus dalam bentuk softcopy tentang registrasi pengajuan keberatan pelayanan informasi Berkas pengajuan keberatan pelayanan informasi yang telah diisi

ASP atau Active Server Pages merupakan suatu bahasa yang bersifat server-side yang memiliki kemampuan untuk dikombinasikan dengan teks, HTML dan komponen-komponen lain untuk

Mewujudkan Kota Padang sebagai pusat kegiatan perdagangan untuk wilayah Pantai Barat Sumatera.. Mewujudkan Kota Padang sebagai Pusat

1) Pelayanan kesehatan bayi baru lahir sesuai standar adalah pelayanan yang diberikan pada bayi usia 0-28 hari dan mengacu kepada Pelayanan Neonatal Esensial sesuai yang

Informasi dan hiburan yang mudah diakses menggunakan komputer memberikan ide kepada penulis untuk membuat aplikasi yang berisikan profil pemain sepak bola, disamping karena

Berdasarkan tinjauan kebijakan moneter maret 2017, Perekonomian Indonesia pada triwulan I 2017 dibandingkan triwulan sebelumnya diperkirakan tumbuh relatif tetap kuat didorong