PERBEDAAN RETINAL NERVE FIBER LAYER THICKNESS DENGAN OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY PADA PASIEN
TUBERKULOSIS SEBELUM DAN SUSUDAH MENDAPAT ETAMBUTOL DI RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN
T E S I S
Oleh
SYARIFAH YUSRIANI
NIM : 087110002
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERAUTARA M E D A N
PERBEDAAN RETINAL NERVE FIBER LAYER THICKNESS DENGAN OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY PADA PASIEN
TUBERKULOSIS SEBELUM DAN SUSUDAH MENDAPAT ETAMBUTOL DI RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Spesialis Mata
dalam Program Studi Ilmu Kesehatan Mata pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Oleh
SYARIFAH YUSRIANI
NIM :
087110002DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERAUTARA M E D A N
Judul Tesis : PERBEDAAN RETINAL NERVE FIBER LAYER THICKNESS DENGAN OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY PADA PASIEN TUBERKULOSIS SEBELUM DAN SUSUDAH MENDAPAT
ETAMBUTOL DI RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN
Nama : Syarifah Yusriani Nomor induk : 087110002
Program Studi : Ilmu Kesehatan Mata
Telah disetujui :
Dr. Delfi, SpM (K) , M.Ked (Oph) Pembimbing
___________________________________________________________
Prof. Dr. H. Aslim D Sihotang, SpM (KVR) Pembimbing
___________________________________________________________
Dr. Parluhutan Siagian ,SpP Pembimbing
___________________________________________________________
Dr. Aryani Atiyatul Amra, SpM, M.Ked (Oph) Ketua Program Studi
__________________________________________________________
Dr. Delfi, SpM (K), M.Ked (Oph) Ketua Departemen
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang
dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.
Nama : SYARIFAH YUSRIANI
NIM : 087110002
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang
bertanda tangan di bawah ini :
Nama : SYARIFAH YUSRIANI
NIM : 087110002
Program Studi : Ilmu Kesehatan Mata
Jenis Karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan
kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-ekslusif
(Non Exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul :
“PERBEDAAN RETINAL NERVE FIBER LAYER THICKNESS DENGAN
OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY PADA PASIEN
TUBERKULOSIS SEBELUM DAN SUSUDAH MENDAPAT
ETAMBUTOL DI RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN“
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan,
mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat
dan mempublikasikan tesis saya tanpa izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis hak cipta.
Demikian penyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan
Pada Tanggal : Februari 2013
Yang Menyatakan
ABSTRAK
Latar Belakang :Tuberkulosis paru adalah penyakit menular kronis yang
disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis. Etambutol
hidroklorida merupakan salah satu obat anti tuberkulosis dimana organ
yang dapat terkena toksisitas adalah mata .
Tujuan : Penelitian ini untuk mengetahui perbedaan Retinal Nerve Fiber
Layer sebelum dan sesudah pemakaian etambutol di RSUP. H. Adam
Malik Medan
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental dengan
rancangan perlakuan tungal one group pre and post test design. Kuasi
experimental di maksudkan adalah terhadap subjek yang di teliti tidak
dilakukan random tetapi berdasarkan kriteria klinis.
Hasil Penelitian : Dari penelitian ini di dapatkan penurunan penglihatan
pada 8 mata(5/6;5/8;5/10) dan perubahan penglihatan warna dijumpai 3
mata(tritanomali). ketebalan RNFL kuadran superior sebelum terapi
129.26±19.719 dan setelah terapi 125.43±17.032. Kuadran inferior
sebelum terapi 131.13±28.946 dan setelah terapi 125.52±25.968. Kuadran
temporal sebelum terapi 76.09±24.070 dan sesudah terapi 77.78±25.232
dan rata-rata sebelum terapi 108.43±12.940 dan sesudah terapi
104.70±12.629
Kesimpulan : Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penurunan retinal
nerve fiber layer pada kuadran superior ,inferior dan nasal dan sedikit
peningkatan pada kuadran temporal walaupun secara statistik tidak
signifikan
Kata Kunci : Tuberkulosis, Etambutol,Optical Coherence Tomography,
ABSTRACT
Background : Pulmonary tuberculoses is a chronic inefectious disease
cased by mycobacterium tuberculoses. Etambutol hidroclorida is one of
antituberculosis drugs in which toxicity that affected the eye
Purpose :To evaluate the difference Retinal Nerve Fiber Layer thickness
before and after taking etambutol at Adam Malik hospital
Methode : The design was quasi experimental .The comparison group
pre-test /post test design in Tuberculosa patient of 23 subject (46 eyes).
All patient underwent an examination including visual acquity, color vision
and RNFL thickness. Stratus OCT was performed on both eyes of each
patient using the Retinal Nerve Fibre Layer analysis protocol.
Result :In this study found decrease visual aquity was 8 eyes
(5/6;5/8;5/10) and the difference color vision finding was 3 eyes
(tritanomali). The RNFL thickness before/after taking etambutol was
superior quadrant 129.26±19.719/125.43±17.032, inferior quadrant
131,13±28.946/125.52±25.968, temporal quadrant 76.09±24.070/77.
78±25.232, nasal qudrant 97.9637±37.085/ 90.26±37.456 and average
108.43±12.940/104.70±12.629
Conclusion : A decrease in RNFL thickness is observed in superior
,inferior and nasal quadrant and slight increase in the temporal quadrant.
Althought not statistically significant in temporal quadrant.
Keyword : Tuberculosis, Etambutol,Optical Coherence Tomography,
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrohim,
Puji syukur yang tak terhingga penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT atas segala rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan tesis ini untuk memenuhi salah satu kewajiban
dalam menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis pada Ilmu
Kesehatan Mata di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih serta
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah
membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa
hormat, penghargaan dan ucapan terimakasih sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada:
1. Dr. Delfi, SpM (K), M. Ked (Oph), selaku Ketua Departemen Ilmu
Kesehatan Mata FK USU yang telah memberikan kesempatan
pada penulis mengikuti pendidikan dan keahlian dalam Program
Pendidikan Dokter Spesialis.
2. Dr. Hj. Aryani Atiyatul Amra, SpM, Mked (Oph) dan Dr. Bobby R
Erguna Sitepu, SpM, M.Ked (Oph) selaku Ketua dan Sekretaris
Program Studi Ilmu Kesehatan Mata FK USU yang telah sangat
banyak membantu, membimbing dan mengarahkan penulis menjadi
dokter Spesialis Mata yang siap mengamalkan spesialisasi tersebut
kepada masyarakat.
3. Prof. Dr. H. Aslim D Sihotang, SpM (KVR) , Dr. Delfi, SpM,
pembimbing yang senantiasa memberikan dorongan dan
bimbingan, serta telah meluangkan waktu untuk berdiskusi
sehingga memberikan kemudahan dan kelancaran dalam
pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.
4. Para Guru-guru, Dr. H. Mohd. Dien Mahmud, SpM, Dr. H. Chairul
Bahri AD, SpM, Dr. H. Azman Tanjung, SpM, Prof. Dr. H. Aslim
D Sihotang, SpM (KVR), Dr. Masang Sitepu, SpM, Dr. Suratmin,
SpM (K), Dr. H.Bachtiar, SpM (K), (Alm) Dr. H. Abdul Gani, SpM,
Dr. Hj. Adelina Hasibuan SpM, Dr. Hj. Nurhaida Djamil, SpM, Dr.
Beby Parwis, SpM, Dr. Syaiful Bahri, SpM, Dr. Riza Fatmi SpM,
Dr. Pinto Y Pulungan, SpM (K), Dr. Hj.Heriyanti Harahap, SpM,
Dr. Hj. Aryani Atiyatul Amra,SpM, M.Ked (Oph), Dr. Delfi, SpM
(K), M.Ked (Oph), Dr. Nurchaliza H Siregar, SpM, M.Ked (Oph),
Dr. Masitha Dewi Sari, SpM, M.Ked (Oph) Dr, Rodiah
Rahmawaty Lubis, SpM, M.Ked (Oph), Dr. Bobby Ramses
Erguna Sitepu, SpM, M.Ked (Oph), Dr. T. Siti Harilza Zubaidah,
SpM, M.Ked (Oph), Dr. Vanda Virgayanti, SpM, M.Ked (Oph), Dr.
Ruly Hidayat SpM, M.Ked (Oph), Dr. Fithria Aldy SpM, M.Ked
(Oph), Dr. Marina Albar, SpM, M.Ked (Oph), penulis haturkan
hormat dan terimakasih yang tak terhingga atas perhatian,
kesabaran, bimbingan, dan kesediaan berbagi pengalaman selama
mendidik penulis di bagian Ilmu Kesehatan Mata.
5. Drs. Abdul Djalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik
yang telah banyak meluangkan waktu dalam diskusi dan
6. Keluarga besar Perdami Sumatera Utara, yang telah memberikan
kesempatan pada penulis menjadi bagian dari keluarga besar
Perdami dan membantu penulis dalam meningkatkan keahlian di
bidang kesehatan mata.
7. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi
Medan, yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada penulis dalam menjalani pendidikan.
8. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan dan Ketua TKP
PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program
Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
9. PPDS Ilmu Kesehatan Mata (Teman-teman dan adik-adik
semua) yang telah memberikan bantuan dan dorongan semangat,
sekaligus mengisi hari-hari penulis dengan persahabatan,
kerjasama, keceriaan dan kekompakan dalam menjalani kehidupan
sebagai residen.
10. Seluruh perawat/paramedik di RSUP H. Adam Malik dan RSU Dr.
Pirngadi Medan dan di berbagai tempat di mana penulis pernah
bertugas selama pendidikan, dan seluruh pegawai administrasi
Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU, terimakasih atas
bantuan dan kerjasama yang telah diberikan selama ini.
11. Para pasien yang pernah penulis lakukan pemeriksaan selama
pendidikan dan juga pasien yang telah bersedia ikut dalam
Rasa hormat dan terimakasih tak terhingga kepada kedua orangtua
penulis tercinta, ayahanda DR.H.Maratua Simanjuntak dan ibunda
(Almh) Hj.Rosmawaty Pulungan, tak terbalaskan segala doa,
kebaikan,kasih sayang dan pengorbanan , hanya doa tulus dari ananda
agar Allah SWT membalas kebaikan ayah dan ibunda dengan Ridha Nya.
Terimakasih penulis haturkan pula kepada kedua mertua tercinta,
ayahanda Prof.dr.H.Munar Lubis SpA(K) dan ibunda dr.Rini Ekayati
Medyastuti, juga kepada Abang, kakak, adik.
Kepada suami tercinta, dr.Andriamuri Primaputra Lubis
SpAn,M.ked(An), juga ananda tersayang Atthiyah Farah Khansa Lubis,
terimakasih tak terhingga atas pengertian, kesabaran, kasih sayang, doa
dan motivasi yang menjadi semangat ibunda dalam menyelesaikan
pendidikan ini.
Akhirnya kepada semua yang telah berpartisipasi tiada kata yang
dapat penulis ucapkan selain ucapan terimakasih setulus-tulusnya,
semoga Allah SWT membalas dengan kebaikan. Amin
Harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, khususnya bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
USU.
Medan, Januari 2013
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR SINGKATAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitiaan ... 5
1.4. Manfaat Penelitian ... 5
1.5. Hipotesis Penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 6
2.1 Tuberkulosis ... 6
2.2 Etambutol ... 9
2.3 Patogenesis Toksisitas Etambutol ... 11
2.4 Manifestasi Klinis ... 13
2.5 Optical Coherence Tomography (OCT) ... 15
2.6 Tuberkulosis Okull ... 16
2.7 Penatalaksanaan ... 17
2.8 Pencegahan ... 18
2.9 Kerangka Konsep ... 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 24
3.1 Desain Penelitian ... 24
3.2 Tempat dan Waktu ... 24
3.3 Populasi dan Sampel ... 24
3.4 Besar Sampel ... 25
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 25
3.6 Identifikasi Variabel ... 26
3.7 Cara Kerja ... 26
3.8 Alat dan Bahan ... 29
3.9 Analisa Data ... 29
3.10 Pertimbangan Etika ... 30
3.11 Lama Penelitian ... 30
3.12 Personal Penelitian ... 30
3.13 Biaya Penelitian ... 30
BAB IV Hasil Penelitian ... 31
BAB V Pembahasan ... 36
BAB VI Kesimpulan dan Saran ... 39
6.1.Kesimpulan ... 39
6.2 Saran ... 39
DAFTAR PUSTAKA ... 41
LAMPIRAN
1. Lembaran Penjelasan kepada Calon Subyek Penelitian
2. Surat Pernyataan Persetujuan ( Informed Consent)
3. Master Data Penelitian
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 1 ...
Tabel 2.2 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2 ... 8
Tabel 4.1. Karakteristik jenis kelamin subjek penelitian ... 31
Tabel 4.2. Karakteristik kelompok umur subjek penelitian ... 31
Tabel 4.3. Karakteristik suku bangsa subjek penelitian ... 32
Tabel 4.4. Karakteristik pendidikan terakhir subjek penelitian ... 32
Tabel 4.5. Karakteristik kategori tuberkulosis ... 33
Tabel 4.6. Hasil Uji Beda Proporsi visus sebelum dan sesudah diberikan terapi etambutol ... 33
Tabel 4.7. Hasil Uji Beda Proporsi persepsi warna sebelum dan sesudah diberikan terapi etambutol ... 34
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan Nama Penulisan
Pertama kali
Pada halaman
TB Tuberkulosis paru 1
MTB Mycobacterium Tuberculosis 1
OAT Obat anti tuberculosis 2
WHO World Health Organization 3
HCL Hydrocloride 4
KDT Kombinasi dosis tetap 7
VEP Visual Evoked Potensial 5
Cu Cuprum 10
Zn Zinkum 10
OCT Optical Coherence Tomography 13
EMB Etambutol 16
ABSTRAK
Latar Belakang :Tuberkulosis paru adalah penyakit menular kronis yang
disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis. Etambutol
hidroklorida merupakan salah satu obat anti tuberkulosis dimana organ
yang dapat terkena toksisitas adalah mata .
Tujuan : Penelitian ini untuk mengetahui perbedaan Retinal Nerve Fiber
Layer sebelum dan sesudah pemakaian etambutol di RSUP. H. Adam
Malik Medan
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental dengan
rancangan perlakuan tungal one group pre and post test design. Kuasi
experimental di maksudkan adalah terhadap subjek yang di teliti tidak
dilakukan random tetapi berdasarkan kriteria klinis.
Hasil Penelitian : Dari penelitian ini di dapatkan penurunan penglihatan
pada 8 mata(5/6;5/8;5/10) dan perubahan penglihatan warna dijumpai 3
mata(tritanomali). ketebalan RNFL kuadran superior sebelum terapi
129.26±19.719 dan setelah terapi 125.43±17.032. Kuadran inferior
sebelum terapi 131.13±28.946 dan setelah terapi 125.52±25.968. Kuadran
temporal sebelum terapi 76.09±24.070 dan sesudah terapi 77.78±25.232
dan rata-rata sebelum terapi 108.43±12.940 dan sesudah terapi
104.70±12.629
Kesimpulan : Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penurunan retinal
nerve fiber layer pada kuadran superior ,inferior dan nasal dan sedikit
peningkatan pada kuadran temporal walaupun secara statistik tidak
signifikan
Kata Kunci : Tuberkulosis, Etambutol,Optical Coherence Tomography,
ABSTRACT
Background : Pulmonary tuberculoses is a chronic inefectious disease
cased by mycobacterium tuberculoses. Etambutol hidroclorida is one of
antituberculosis drugs in which toxicity that affected the eye
Purpose :To evaluate the difference Retinal Nerve Fiber Layer thickness
before and after taking etambutol at Adam Malik hospital
Methode : The design was quasi experimental .The comparison group
pre-test /post test design in Tuberculosa patient of 23 subject (46 eyes).
All patient underwent an examination including visual acquity, color vision
and RNFL thickness. Stratus OCT was performed on both eyes of each
patient using the Retinal Nerve Fibre Layer analysis protocol.
Result :In this study found decrease visual aquity was 8 eyes
(5/6;5/8;5/10) and the difference color vision finding was 3 eyes
(tritanomali). The RNFL thickness before/after taking etambutol was
superior quadrant 129.26±19.719/125.43±17.032, inferior quadrant
131,13±28.946/125.52±25.968, temporal quadrant 76.09±24.070/77.
78±25.232, nasal qudrant 97.9637±37.085/ 90.26±37.456 and average
108.43±12.940/104.70±12.629
Conclusion : A decrease in RNFL thickness is observed in superior
,inferior and nasal quadrant and slight increase in the temporal quadrant.
Althought not statistically significant in temporal quadrant.
Keyword : Tuberculosis, Etambutol,Optical Coherence Tomography,
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB) adalah penyakit menular kronis yang di
sebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis (M.TB). Bakteri TB
paru menyebar melalui percikan dahak yang dibatukkan (droplet nuclei).
Walaupun dapat mengenai berbagai organ tubuh, namun bagian terbesar
(80-90%) mengenai organ paru. (American Thoracic Society, 2000
;Depkes RI,2005; Direktorat Bina farmasi Komunitas dan klinik Depkes RI.
2005).
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang menginfeksi jutaan orang
di dunia. Pada tahun 2003 ,terdapat 1997 kasus baru dilaporkan di
singapura. Insidensi di asia tenggara sama bahkan lebih tinggi dari
singapura dan menjadi salah satu masalah kesehatan.TB menjadi
penyebab kematian utama sampai tahun 1946 ketika streptomisin di
temukan. Sejak saat itu banyak obat yang digunakan untuk mengobati TB
( Su-Ann lim,2006). Etambutol telah di gunakan untuk mengobati TB sejak
tahun 1960. Gangguan penglihatan yang potensial mulai di perlihatkan
semenjak obat ini diperkenalkan. (Su-Ann lim,2006;Choi SY,Hwang
JM1997).
TB merupakan ancaman bagi penduduk Indonesia,pada tahun
2004, sebanyak seperempat juta orang bertambah sebagai penderita baru
TB adalah penduduk yang berusia produktif antara 15-55 tahun, dan
penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia
(Direktorat Bina farmasi Komunitas dan klinik Depkes RI. 2005).
Program nasional penangulangan TB paru di Indonesia sesuai
dengan rekomendasi internasional mengunakan obat anti TB paru (OAT),
berupa kombinasi Etambutol 15-20 mg/kgBB/hari, Isoniasid 5-10
mg/kgBB/hari, Rifampisin10-20 mg/kgBB/hari. Obat-obat itu diberikan
selama 6-8 bulan. Dalam kurun waktu tersebut ,obat-obata dapat
memberikan efek samping yang bervariasi di berbagai organ tubuh
termasuk mata (Depkes 2005; Direktorat Bina farmasi Komunitas dan
klinik Departement kesehatan RI. 2005). Berdasarkan penelitian Sutton
dan Beattie
Etambutol hidroklorida adalah salah satu dari agen lini pertama
pengobatan tuberkulosis. Organ yang dapat terkena toksisitas dari
etambutol adalah mata. Efek pada mata yang paling serius adalah optik
neuritis dan demielinisasi dari saraf optik. Manifestasi yang paling awal
dari keterlibatan mata adalah gangguan pada penglihatan warna terutama
warna merah dan hijau.(protanop dan deuteranopi).( Katzung Betram
G,1997)
melaporkan bahwa penderita TB yang diberikan terapi
kombinasi memperlihatkan efek samping neuropati optik setelah
pemberian etambutol sedangkan isoniasid hanya memberikan efek
Etambutol merupakan satu obat yang sering berhubungan dengan
neuropati optik toksik. Neuropati optik yang terjadi adalah tergantung pada
dosis dan lamanya pemakaian. Kehilangan penglihatan tidak langsung
terjadi sampai pasien telah memakai obat sedikitnya 2 bulan, tapi gejala
umumnya nampak antara 4 bulan sampai satu tahun,onset ini bisa lebih
cepat jika pasien mempunyai penyakit ginjal karena hal ini akan
mengakibatkan penurunan ekskresi obat sehingga level serum meningkat.
Pasien yang menerima dosis 25 mg/kg/hr atau lebih sangat rentan
terhadap kehilangan penglihatan (Zafar,Aftab, 2008).Kumar, melaporkan
toksisitas etambutol, sebesar 42,2 % mengalami pebaikan tajam
penglihatan 6/60 dalam kurun waktu 10-12 bulan setelah pemberian
etambutol dihentikan dan terjadi progresivitas neuropati optik dengan
kerusakan tajam penglihatan permanen sebesar 42,2%.
Dari 822 dilaporkan secara langsung reaksi dari etambutol pada
mata oleh the National Registry of Drug-Induced Ocular Side Effect
(Portland, Oregon) dan WHO (World Health Organization) (Uppsala,
Sweden), dimana ditemukan 55 kasus neuropati optik ( 24 pria,31 wanita).
Dosis rata-rata 1032 mg/hari (berat subjek tidak diperoleh,tapi dalam Robert
melaporkan bahwa pemberian etambutol 15 mg/kgBB/hari menyebabkan
nuropati optik sebesar 1,6% kasus. Bila diberikan dengan dosis 25
mg/kgBB/hari menyebabkan neuropati optik pada 2,48 % kasus.
(Chatterjee VKK dkk, 1986). Roussos melaporkan, bila etambutol
diberikan dengan dosis 15 mg/kgBB/hari selama 4-8 bulan terapi dapat
penelitian ini kisaran terapeutik 15 mg/kgBB/hari, diperkirakan 70 kg atau
sekitar 155 lbs) dengan durasi terjadinya neuropati optik dalam kurun
waktu 235 hari. Dilaporkan insidensi neuritis retrobulbar berhubungan
dengan etambutol 50% dari pasien dengan dosis 60-100 mg/kgBB/hari,
18% dengan pemberian > 35 m/kgBB/hari, 5-6 % dengan 25 mg/kgBB/hari
dan < 1% dengan 15 m/kgBB/hari dari etambutol HCL untuk pemakian
lebih dari 2 bulan. Tidak ada “dosis aman” untuk pemberian ethambutol
yang telah dilaporkan. Pemberian dengan dosis kecil dari 12,3
mg/kgBB/hari di observasi toksisitasnya. (Su-Ann lim,2006; Kwok A,2006;
TB end Chest service,
Neuropati optik akibat etambutol memberikan keluhan gangguan
tajam penglihatan, gangguan lapang pandangan antara lain skotoma
sentral, perifer dan defek bitemporal serta buta warna merah-hijau
(red-green dyschromatopsia). Pemeriksaan tajam penglihatan, buta warna dan
lapang pandangan merupakan pemeriksaan fungsi penglihatan secara
subjektif. Pemeriksaan fungsi penglihatan secara objektif dilakukan
dengan pemeriksaan visual evoked potensial (VEP).( Su-Ann
lim,2006;Carrs RE,Henkind P,1962;Yiannikas C dkk,1983) 2006;Rick FW, 2009)
1.2. Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan retinal nerve fiber layer thickness sebelum
dan sesudah pemakaian etambutol pada pasien tuberkulosisdi
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan retinal nerve fiber layer thickness
sebelum dan sesudah pemberian etambutol pada pasien tuberkulosis di
RS.H.Adam Malik Medan
1.3.2. Tujuan Khusus
• Untuk mendeteksi sedini mungkin pengaruh pemakaian etambutol
pada mata dan pada retinal nerve fiber layer thickness untuk
mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut seperti neuritis optik
pada pasien tuberkulosis di RS. H.Adam Malik Medan
• Memberikan penjelasan pada pasien bahwa penggunaan
etambutol dalam terapi tuberkulosis dapat menimbulkan gangguan
penglihatan.
1.4. Manfaat Penelitian
• Dengan penelitian ini di harapkan adanya kerjasama dari bagian
paru dan mata untuk skrining kelainan mata akibat terapi
etambutol
• Penelitian ini di harapkan dapat digunakan sebagai informasi
untuk penelitian selanjutnya
1.5. Hipotesis Penelitian
Ada perbedaan retinal nerve fiber layer thickness disebabkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
Penyakit TB secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma
dan nekrosis pada jaringan. Sebagian besar kuman TB menyerang paru
karena perjalanan kuman TB paru melalui saluran pernafasan, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang
,tahan asam dan dapat bertahan pada tempat lembab. Dalam jaringan
tubuh kuman ini dapat sebagai dormant. (American Thoracic Society,
2000; Depkes, 2005)
Gejala klinis TB paru di bagi menjadi gejala sistemik dan gejala
respirasi. Gejala sistemik meliputi demam yang biasanya timbul pada sore
dan malam hari , disertai dengan malaise, nafsu makan berkurang,
penurunan berat badan dan kadang-kadang pada perempuan ditemukan
gangguan siklus haid. Gejala respirasi meliputi batuk terus menerus dan
berdahak selama 3 minggu atau lebih, sesak nafas disertai nyeri dada
apabila telah mengenai jaringan pleura. (American Thoracic Society, 2000;
Depkes, 2005)
Patogenesis TB paru di bagi menjadi 4 fase. Penularan TB adalah
melalui droplet berukuran 1-5µm tersebut akan menembus sistem
mukosilier saluran nafas dan akhirnya sampai di bronchioles (fase1).
hidup di dalam makrofag maka kuman ini akan mengalami repikasi setiap
25-32 jam. Kuman TB akan menyebar melalui kelenjar getah bening hilus
atau melalui monosit darah tepi menyebar melalui pembuluh darah kapiler
(fase 2). Mycobacterium tuberculosis tidak memiliki endotoksin maupun
eksotoksin sehingga tidak ada respon segera terhadap infeksi kuman ini.
Kelainan patologis akibat infeksi kuman tuberculosis bukan di sebabkan
endotoksin ataupun eksotoksin seperti bakteri pathogen lain tetapi
merupakan akibat respon imun terhadap kuman itu. Respon imun selular
dapat dideteksi dengan reaksi positif terhadap uji tuberkulin apabila jumlah
kuman mencapai 102 -104
Panduan obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan oleh
Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia disediakan
dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT).
Besarnya dosis yang diberikan tergantung dari berat badan.(Aditama
TY,2007)
(setelah 2-12 minggu). Proliferasi kuman akan
terhenti setelah terbentuk respon imun selular atau bila respon imun yang
terbentuk tidak cukup maka akan bekembang menjadi penyakit (fase 3).
Pada beberapa orang terjadi reaktivasi dari infeksi laten sehingga terjadi
nekrosis jaringan, pembentukan kavitas dan proliferasi jaringan (fase
4).(American Thoracic Society,2000;Depkes,2005)
Pemberian OAT dibagi menjadi 2 kategori yaitu :
• Kategori 1
- Fase intensif (2 bulan) : Rifampisin/ Isoniazid/ Pirazinamid/
- Fase lanjutan (4 bulan) : RH (150/150 mg) – pemberian
intermiten 3 x seminggu.
Tabel 2.1 Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 1
Berat
(3 kali seminggu selama
4 bulan)
Tabel 2.2 Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 2
Berat
harian fase lanjutan x hari berobat fase lanjutan)} / total hari berobat / BB
subjek.
2.2 Etambutol
Etambutol merupakan suatu senyawa sintetik, larut dalam air,
senyawa yang stabil dalam keadaan panas, dijual sebagai garam
hidroklorid, struktur dextro-isomer dari ethylene di-imino di-butanol.
(Katzung Betram G,1997; Noche RR.Nicolas MG dkk,1987)
Gambar 1 :Struktur Kimia Etambutol (Katzung Betram G, 1997)
Secara in vitro,banyak strain M Tuberculosis dan mikrobakteria lain
dihambat oleh etambutol dengan konsentrasi 1-5 μg/ml. Mekanisme kerja
obat ini tidak diketahui. Etambutol diabsorbsi dengan baik dari usus.
Setelah menelan obat ini 25mg/kg, kadar obat puncak dalam darah
berkisar 2-5 μg/ml yang dicapai dalam waktu 2-4 jam. Dosis tunggal 15
m/kgBB menghasilkan kadar dalam plasma sekitar 5 µg/ml pada 2-4 jam.
Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol di dalam eritrosit 1-2
kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit dapat berperan sebagai
dalam plasma.
Resistensi terhadap etambutol timbul segera dengan cepat
diantara mikrobakterium bila obat ini digunakan secara tunggal. Efektivitas
pada hewan coba sama dengan isoniazid. In vivo ,sukar menciptakan
resistensi terhadap etambutol dan timbulnyapun lambat tetapi resistensi ini
timbul bila etambutol digunakan tunggal. Karena itu, etambutol selalu
diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat antituberkulosis lain.
Etambutol hidroklorid 15 mg/kg, biasanya diberikan sebagai dosis tunggal
harian yang dikombinasikan dengan INH atau rifampisin. Dosis obat ini
sebanyak 25 mg/kg mungkin dapat digunakan. Hipersensitivitas terhadap
etambutol jarang terjadi (Katzung,1997), ;Zubaidi,1995).
Lebih kurang 20% dari obat ini diekskresikan dalam tinja
dan 50% di urin dalam bentuk utuh, 10 % sebagai metabolit,berupa
derivate aldehid dan asam karboksilat. Ekskresi obat ini diperlambat pada
penyakit gagal ginjal. Etambutol tidak dapat menembus sawar darah otak.
Etambutol dapat menembus sawar darah otak bila inflamasi
meningen,pada meningitis tuberkulosa, etambutol dalam cairan
serebrospinalis lebih dari 10-40% dari kadarnya di serum (Katzung Betram
G,1997;Zubaidi Y,1995).
Efek samping yang sering terjadi yaitu ganguan penglihatan
biasanya bilateral yang merupakan neuritis retrobular yaitu penurunan
ketajaman penglihatan,hilangnya kemampuan membedakan warna
merah-hijau terjadi pada beberapa penderita yang diberikan etambutol 25
mg/kg selama beberapa bulan. Kebanyakan perubahan-perubahan
ketajaman mata secara periodik sebaiknya dilakukan selama pengobatan.
Bila ada keluhan penglihatan kabur, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
lengkap. Bila pasien sudah menderita kelainan mata sebelum
menggunakan etambutol , perlu dilakukan pemeriksaan cermat sebelum
terapi dengan etambutol dimulai. Dengan dosis 15 mg/kg atau kurang,
gangguan visual sangat jarang terjadi (Katzung,1997).
2.3 Patogenesis Toksisitas Etambutol
Efek toksik etambutol telah dibuktikan secara in vivo dan in vitro
pada tikus, dimana terjadi kematian sel-sel ganglion retina akibat jalur
eksotoksik glutamate yang diinduksi etambutol .Etambutol dapat mengikat
Cu dan Zn di sel-sel ganglion retina dan serabut-serabut saraf optik.
Metabolit etambutol ,asam ethylenediiminodibutyric adalah pengikat Cu
dan Zn yang kuat. Cuprum dan Zn diperlukan sebagai kofaktor sitokrom c
oksidase, enzim utama untuk rantai transport dan untuk metabolism
oksidase selular di dalam mitokondria. Selain mengurangi kadar Cu dan
Zn yang berguna untuk sitokrom oksidase, etambutol juga mengurangi
energy yang diperlukan untuk transport aksonal di sekitar saraf optik.
Insufisiensi mitokondria di serabut nervus optikus dapat menyebabkan
kerusakan transport di dalam nervus optikus sehingga terjadi neuropati
optik.
Etambutol bersifat toksik pada saraf retina terutama akson sel
ganglion retina. Toksisitas akan akan lebih tampak dan makin memberat
karena kemampuan Etambutol dalam mengikat ion Zinc intraseluer
menyebabkan konsentrasi ion tersebut di serum menurun. Penelitian
Hence ,penurunan konsentrasi ion Zinc menimbulkan terjadinya atrofi
optik toksik yang selektif . Sebaliknya, Heng melakukan penelitian pada
kultur retina tikus didapatkan glutamate neurotoksik sebagai mekanisme
selular dari etambutol yang menyebabkan kematian saraf ganglion
( Schield HS,Fox BC,1991)
Gambaran hilangnya sel (khususnya sel ganglion retina) akibat
toksisitas etambutol menyerupai kerusakan yang diperantarai glumat.
Penelitian pada sistem saraf pusat menemukan bahwa kerusakan saraf
akibat iskemik atau traumatik diperantarai oleh kadar eksitatory asam
amino yang berlebihan, khususnya glutamat. Lucas dan Newhouse
melaporkan efek toksik glutamat pada mata golongan mamalia ,dengan
melakukan injeksi glutamat sehingga menyebabkan kerusakan yang berat
pada lapisan dalam retina . Penelitian Lipton menyatakan bahwa bentuk
predominan eksitotoksisk dari sel ganglion retina di perantarai oleh
stimulasi yang berlebihan reseptor glutamat yang dapat menimbulkan
Gambar 2: Skema Patogenesis Toksisitas Etambutol
(Kahana LM, 1990)
2.4 Manifestasi Klinis
Onset dari timbulnya gejala pada mata biasanya terlambat dan
mungkin terjadi dalam beberapa bulan setelah terapi dimulai. Meskipun
jarang, kasus toksisitas beberapa hari setelah terapi inisiasi pernah
dilaporkan, satu pasien diresepkan dengan standar dosis 15 mg/kg per
hari, dan pasien lain diresepkan 25 mg/kg per hari. Tidak ada penelitian
yang melaporkan onset timbul setelah penghentian penggunaan
etambutol ( Su-Ann lim,2006; Zafar,Aftab,2008).
Gejala klinis pada mata bervariasi pada setiap individu. Pasien
mungkin mengeluhkan pandangan kabur yang progresif pada kedua mata
atau menurunnya persepsi warna. Penglihatan sentral merupakan
merupakan gangguan yang paling sering terkena. Beberapa individu
asimtomatik dengan abnormalitas dan terdeteksi hanya saat tes
Diskromatopsia (abnormalitas persepsi warna) biasanya menjadi
tanda toksisitas yang paling awal, secara klasik ditunjukkan dengan
penurunan persepsi warna merah-hijau yang dinilai dengan kartu ishiara.
Berlawanan dengan ini, polak dkk melaporkan bahwa defek biru-kuning
adalah defek awal yang paling umum pada pasien tanpa gejala gangguan
peglihatan. Namun defek biru kuning hanya dapat dideteksi menggunakan
panel desaturasi Lantony yang jarang tersedia, bukan menggunakan
ishiara. Pada pemeriksaan funduskopi biasanya tidak ditemukan
kelainan.Untuk melihat perubahan nerve fiber layer menggunakan OCT
(Optical Coherence Tomografy). ( Zafar,Aftab,2008)
Gangguan penglihatan jarang terjadi sampai pasien berobat
selama 2 bulan. Umumnya gejala timbul antara 4 bulan sampai 1 tahun
setelah pengobatan. Efek samping dapat lebih cepat jika pasien
menderita penyakit ginjal karena berkurangnya ekskresi obat sehingga
level serum obat meningkat. Oleh karena itu dosis yang tepat pada pasien
dengan kerusakan ginjal sangatlah penting. Toksisitas obat ini tergantung
pada dosis, pasien yang menerima dosis 25 mg/kgBB/hari atau lebih
paling rentan terhadap kehilangan penglihatan. Namun, kasus gangguan
penglihatan dengan dosis yang jauh lebih rendah telah dilaporkan.
Perbaikan tajam penglihatan pada pengguna etambutol umumnya
terjadi pada periode beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah
obat dihentikan. Beberapa pasien dapat menerima etambutol hidroklorida
penglihatan. Follow up tajam penglihatan berkala tetap diperlukan pada
setiap pengguna etambutol ( Schield HS,Fox BC,1991).
2.5 Optical Coherence Tomography (OCT)
OCT adalah pemeriksaan dengan modalitas gambar resolusi tinggi
yang pada awalnya dirancang untuk menilai retina dan ketebalan RNFL
tapi dengan software yang baru dapat meningkatkan analisis terhadap
ONH. Secara umum telah dikenal mesin OCT yang dikelompokkan
menjadi 2 tipe yaitu OCT tipe Stratus (2D atau disebut Time Domain OCT)
dan OCT tipe Cirrus (3D atau Spectral/Fourier Domain OCT). (Dennis
S.L.,Yasuo T., Robert R., Srinivas K., 2008; Agustiawan R. 2011 )
Gambar 3. Stratus OCT™ Scanning time = 1.97 Sec (Dennis Yasuo
T., Robert R., Srinivas K., Glaucoma Diagnostic, 2008)
OCT dapat digunakan untuk melihat perubahan nerve fiber layer
pada pasien neuropati optik seperti pada neuropati akibat etambutol. Oleh
karena itu OCT dapat digunakan sebagai tambahan pemeriksaan objektif
2.6 Tuberkulosis Okuli
Beberapa jenis kelainan choroidal yang disebabkan oleh
tuberkolosis seperti koroiditis,abses subretina,tuberkel dan tuberkulomas.
Yellowish subretinal abses dapat terjadi nekrosis dalam granuloma
tubercular. Vitritis dan perdarahan retina sering di jumpai berhubungan
dengan abses. Progresifitas terjadi sejalan dengan waktu dimana abses
dapat rupture masuk ke vitreous dan menyebabkan endophtalmitis.
Pemberian terapi antituberkulosis yang sesuai dapat mereabsorbsi abses
dan meninggalkan skar. Tuberkel koroidal adalah putih keabuan kecil
sampai nodul kuning lebih kecil dari keempat diameter disk dan berbatas
tidak tegas. Beberapa nodul dapat dijumpai pada satu atau kedua mata.
Tuberkel dapat tumbuh lebih besar seperti massa tumor sampai 14 mm
disebut tuberkuloma khoroidal. (Shirodkar A,Albini T,Miami,2010)
Gambar 4. Fundus photography (A dan B) dan fluorescein
angiography (C dan D) pada pasien dengan riwayat
2.7 Penatalaksanaan
Pemeriksaan mata dianjurkan setiap bulan untuk pemberian
etambutol dosis 15 mg/kgBB/hari. Belum ada aturan perawatan yang
standar berapa kali pasien harus di kontrol dan di periksa pada pasien
dengan dosis besar dari 15 mg/kgBB/hari, maka di rekomendasikan
( Rick FW,Fritz FT,2009) :
1. Berikan inform consent pada pasien bahwa pemberian etambutol
dapat menyebabkan neuropati optik walaupun telah dilakukan
pemeriksaan mata regular dan hilangnya penglihatan dapat
memberat dan irreversible.
2. Lakukan pemeriksaan dasar termasuk pemeriksaan lapang
pandangan, ,penglihatan warna dan fundus dengan pupil dilatasi
untuk pemeriksaan nervus optikus dan tajam penglihatan.
3. Jika gejala penglihatan terjadi dan pasien putus obat maka harus
dilihat oleh ahli oftalmologi.
4. Dilakukan pemeriksaan setiap bulan untuk dosis lebih dari 15
mg/kgBB/hari. Meskipun demikian, pemeriksaan setiap bulan
pada pasien yang mendapat terapi dosis rendah menjadi penting
apabila mempunyai resiko tini terjadinya toksisitas :
Diabetes mellitus
Gagal ginjal kronik
Peminum alkohol
Orang tua
Gangguan mata lain
Ethambutol -induced peripheral neuropathy
Dosis besar dari 15 mg/kgBB/hari
Etambutol dihentikan setelah dijumpai tanda-tanda hilangnya tajam
penglihatan, penglihatan warna atau defek lapang pandangan. (Rick
FW,Fritz FT,2009)
Etambutol harus segera dihentikan ketika toksisitas okuler yang
diinduksi etambutol mulai diketahui dan pasien langsung dirujuk ke
oftalmologis untuk evaluasi lebih lanjut. Penghentian terapi merupakan
manajemen yang paling efektif yang dapat mencegah kehilangan
penglihatan yang progresif dan sekaligus untuk proses penyembuhan.
Ketika terjadi toksisitas okuler yang berat, dipertimbangkan pemberian
agen antituberkulosis lain ( Rick FW,Fritz FT,2009).
2.8 Pencegahan
Rekomendasi dari “Preventive measure against drug induced
ocular toxicity during antituberculosis treatment” [dari Annual Report
(suppl) 2002, pelayanan tuberkulosis dan paru,Departemen kesehatan
,Hongkong]
Berdasarkan informasi klinis yang berlaku ,panduan internasional
dan pengalaman dari ahli setempat ,standart berikut di rekomendasikan
untuk pencegahan dari toksisitas okular selama pengobatan anti TB :
a) Selama pelaksanaan pengobatan anti TB, pasien harus
dipertimbangkan untuk kemungkinan dan kontraindikasi dalam
penggunaan EMB. Pada keadaan tertentu dimana terjadi peningkatan
resiko toksisitas okular. Keuntungan pemakaian EMB harus
diseimbangkan dengan resikonya secara hati-hati. Ketersediaan,
kegunaan dan toksisitas dari obat-obatan alternatif perlu
diperhitungkan dalam memilih regimen pengobatan yang efektif. EMB
dapat menjadi kontraindikasi ataupun penurunan dosis menjadi
indikasi dalam beberapa keadaan:
(i) Gangguan penglihatan dasar dapat membuat pengawasan
terhadap tajam penglihatan menjadi sulit. Bagaimanapun,pada
keadaan seperti kelainan refraksi dan katarak ringan yang tidak
mempengaruhi perubahan penglihatan dengan cepa,harus
diawasi visusnya selama pengobatan EMB. EMB sebaiknya
dihindari pada pasien dengan visus yang sudah menurun dengan
signifikan.
(ii) Pasien yang sulit mengatakan atau melaporkan gejala pada
penglihatan dan perubahan dalam penglihatan, seperti pada
anak-anak atau pasien yang sulit berbicara akan mempersulit
pengawasan tajam penglihatan.
(iii) Gangguan fungsi ginjal bisa memicu perkembangan dari
toksisitas okular yang berhubungan dengan EMB. Oleh karena
itu,fungsi ginjal harus diperiksa terlebih dahulu dan selama
gangguan fungsi ginjal seperti ini telah ada pada panduan
pengobatan TB masing-masing daerah.
b) Untuk pasien yang sedang menjalankan pengobatan anti TB termasuk
EMB,pendidikan kesehatan harus diberikan pada mereka yaitu
mengenai efek samping obat dan harus sangat berhati-hati terhadap
efek samping yang potensial yang dapat terjadi selama pengobatan.
Pasien harus diingatkan apabila gejala penglihatan bertambah,obat
harus dihentikan dan mereka harus segera melaporkannya pada staf
kesehatan. Anjuran pada pasien seharusnaya dicatat pada laporan
medis pasien tersebut. Pada kasus dimana perlu diberikannya EMB
pada anak-anak atau pasien yang kesulitan berbicara, peringatan yang
sama juga harus diberitahukan pada orangtua atau anggota keluarga
yang lain. Instruksi yang tertulis akan berguna di kemudian hari.
c) Pemeriksaan visus dasar yaitu tajam penglihatan dan persepsi warna
merah hijau (menggunakan snellen chart & kartu ishihara) harus
dilakukan sebelum terapi pengobatan dimulai. Ada kontroversial
tentang pemeriksaan visus apakah perlu diberikan hanya untuk pasien
yang memiliki faktor resiko, terutama pada pasien yang menggunakan
dosis tinggi (25 mg/kgBB/hari) atau pada pasien yang pengobatan
diperpanjang.
d) Pasien dengan fungsi ginjal yang normal, dosis EMB yang dianjurkan
adalah 15 mg/kgBB/hari diluar dari pengobatan TB. Bagaimanapun
,dosis yang lebih tinggi dari 25 mg/kgBB/hari dipertimbangkan pada
resisten terhadap obat TB dan pasien dengan pengobatan berulang.
Dosis yang tinggi ini tidak boleh diberikan lebih dari 2 bulan . Berat
badan ideal harus dihitung pada pasien obesitas.
e) Selama konsultasi medikal pada pasien yang menjalani pengobatan
anti TB termasuk EMB, mereka harus menjelaskan gangguan
penglihatan yang mereka alami, dianjurkan dilakukan setiap bulannya.
f) Directly Observed Treatment (DOT) memungkinkan staf kesehatan
bisa mengawasi perkembangan gejala pasien.
g) Pasien yang menjalani dugaan toksisitas okular oleh karena obat
harus diperiksa dengan pemeriksaan tajam penglihatan (menggunakan
kartu snellen atau kartu ishihara). Pada penderita yang toksik, EMB
harus dihentikan dan pasien dirujuk pada ahli mata untuk pengobatan
lebih lanjut. Pemeriksaan ophtalmologi lebih lanjut seperti pemeriksaan
funduskopi, tajam penglihatan, pemeriksaan lapang pandangan
(perimetri) dan persepsi warna. Bila gangguan visus terjadi oleh karena
alasan lain seperti katarak. EMB dapat dilanjutkan dengan
mempertimbangkan kegunaan dan prokontra obat alternatif. Bila
gangguan penglihatan terjadi karena berhubungan dengan
pengobatan anti TB maka EMB harus dipertimbangkan. Pada kasus
demikian, perencanaan pengobatan yang baru perlu dibuat lagi untuk
menghilangkan faktor resiko misalnya pemeriksaan fungsi ginjal untuk
h) Jika terjadi neuritis optikus ,maka harus dihentikan. Piridoxine dosis
tinggi (50-100 mg/hari) dipertimbangkan terutama untuk pasien dengan
faktor resiko seperti malnutrisi ,alkoholik dan pasien usia lanjut.
2.9 Kerangka Konsep
2.10 Defenisi Operasional
• Tuberkulosis paru (TB) adalah penyakit menular kronis yang di
sebabkan oleh kuman mycobacterium tuberkulosis.
• Etambutol adalah obat anti tuberkulosis
• Snellen Chart adalah alat pemeriksa tajam penglihatan
• Kartu Ishiara adalah alat pemeriksa buta warna.
• Fansworth munsell test adalah alat pemeriksa gangguan persepsi
warna.
• Tajam penglihatan adalah fungsi penglihatan setiap mata
• Gangguan persepsi warna adalah tidak bisa membedakan warna
pada pembacaan kartu ishiara dan Farnsworth munsell 28 hue test
(merah ,hijau, biru).
• Rnfl thickness adalah ketebalan dari lapisan saraf retina
• Optik Neuritis adalah peradangan pada saraf optic
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian adalah kuasi experimental dengan rancangan
perlakuan tunggal one group pre and post test design.Kuasi experimental
dimaksudkan adalah terhadap subjek yang di teliti tidak dilakukan random
tetapi berdasarkan kriteria klinis.
3.2 Tempat dan Waktu
3.2.1 Tempat
Penelitian ini dilakukan di poliklinik mata dan paru RSUP.H.Adam
Malik Medan.
3.2.2 Waktu
Waktu penelitian dimulai bulan april 2012 sampai sampel terpenuhi
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah semua pasien yang berobat ke poliklinik
mata dan paru di RS.H. Adam Malik Medan.
Sampel penelitian adalah semua pasien tuberkulosis yang akan
3.4 Besar Sampel
� ≥ (�������+�������)2
(�� − ��)2
Dimana :
n : jumlah sampel
Zα : deviat baku alfa untuk α =0,05,Zα=1,96
Zβ : deviat baku beta untuk β=0,10, Zβ= 1,282
Po : proporsi kelainan mata akibat etambutol = 0,1
Qo : 1-Po = 0,99
(10)
Po-Pa : besar proporsi yang bermakna,ditetapkan sebesar
0,10
Pa : perkiraan proporsi kelainan mata karena etambutol
yang diteliti 0,11
Jadi :
� ≥(1,96�(0,01)(0,99) + 1,282(0,10)2 √(0,11)(0,89)2
� ≥20,67→21 �����
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.5.1 Kriteria Inklusi
• Semua pasien tuberkulosis yang akan mendapat terapi etambutol.
• Pasien yang bersedia di lakukan pemeriksaan
3.5.2 Kriteria Eksklusi
• Pasien dengan buta warna.
• Pasien tuberkulosis dengan keadaan umum lemah
• Pasien tuberkulosis yang tidak bersedia di lakukan pemeriksaan
3.6 Identifikasi Variabel
• Variabel dependent
- Pasien TB yang mengunakan etambutol
• Variabel Independent
- Gangguan Visus
- Gangguan persepsi warna
- Retinal nerve fiber layer thickness
3.7 Cara Kerja
Sebelum pemeriksaan dilakukan pengisian data pasien yang berisi
data demografik, data keluhan subjektif, konsumsi tablet perhari dan
durasi penggunaan etambutol. Dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan,
tonometri nonkontak, segmen anterior dengan slitlamp dan posterior
dengan oftalmoskop direk. Pemeriksaan persepsi warna dengan ishiara
dan Farnsworth munsell 28 hue test dan retinal nerve fiber layer dengan
OCT
Farnsworth Munsell 28 hue test
Pemeriksaan persepsi warna dilakukan dengan Ishihara dan
Farnsworth Munsell 28 hue test, dengan menggunakan alat Farnsworth
pemeriksaan Ishihara subjek diminta membaca tiap plate dan setiap
kesalahan dicatat dan dinilai apakah ada kelainan persepsi warna
kongenital. Subjek yang dinilai menderita kelainan persepsi warna
kongenital langsung dieksklusi dan tidak dilakukan pemeriksaan FM 28
hue test.
Prosedur pemeriksaan Farnsworth munsell roth 28 hue test dimulai
dengan subjek diperlihatkan susunan cap warna yang normal di kotak
pemeriksaan. Peneliti mengacak susunan cap tersebut diluar kotak,
kemudian subjek diminta menyusun kembali 28 cap warna secara
berurutan yang dimulai dari reference cap di dalam kotak. Setelah selesai,
cap-cap tersebut dibalik dan urutan cap dicatat berdasarkan angka yang
ada dibawah cap. Bila terdapat kesalahan pemeriksaan diulang sampai 3
kali untuk masing-masing mata.
Optical Coherence Tomografy (OCT)
Untuk pemeriksaan nerve fiber layer dilakukan pemeriksaan stratus
OCT (Optical Coherence Tomografy)
Tehnik pemeriksaan di lakukan dengan cara:
• Posisikan tubuh pasien dengan tinggi mejanya sehinga pasien merasa
nyaman,kemudian instruksikan pasien untuk meletakkan dagu di salah
satu bagian kanan atau kiri,pastikan bahu dagu pasien menempel
pada 2 sensor (berwarna hitam) dan dahi pasien menempel pada chin
rest. Komputer akan otomatis mengenali mata kanan atau kiri yang
• Setelah pasien merasa nyaman instruksikan untuk melihat ke tengah
dan posisikan pupil mata supaya berada di tengah dengan menekan
tombol mouse sehingga pupil tepat berada di tengah layar. Kemudian
instruksikan pasien untuk melihat ke dalam dan fokus di tengah melihat
tanda silang hijau.
• Setelah pupil tepat berada di tengah tekan tombol chinrest ke kiri atau
ke kanan sehingga gambar pupil terlihat fokus.
• Setelah semua parameter pemeriksaan tepat maka pastikan pasien
tetap fokus pada titik fiksasi.
Gambar 4. Hasil Cetakan Fast Retinal Nerve Fiber Layer (RNFL)
dengan Meggunakan Stratus OCT
Pemeriksaan dilakukan sebelum pemakaian etambutol dan setelah
snellen chart,slit lamp,kartu ishiara,Farnsworth munsell 28 hue
test,funduskopi dan OCT. Lalu dicatat perubahan tajam penglihatan,
penglihatan warna dan perubahan rnfl thickness akibat pengaruh
pemakaian etambutol. Kemudian hasil di catat sebagai data penelitian
untuk diolah sebagai hasil penelitian.
3.8 Alat dan Bahan
• Kertas
• Pulpen
• Snellen chart
• Trial lens
• Slit lamp
• Kartu Ishiara
• Farnsworth munsell 28 hue test
• Funduskopi direk
• OCT
• Tropicamide 1%
3.9 Analisa Data
Analisa data di sajikan dalam bentuk tabulasi data. Analisis statistik
dilakukan dengan menggunakan program komputer dengan program
SPSS versi 17. Untuk pembandingan data parametrik dilakukan uji T dan
3.10 Pertimbangan Etika
Usulan penelitian ini terlebih dahulu disetujui oleh rapat bagian Ilmu
Kesehatan Mata FK-USU/RSUP.H. Adam Malik Medan.Penelitian ini
kemudian diajukan untuk di setujui oleh rapat komite etika PPKRM
Fakultas Kedokteran USU.
3.11 Lama Penelitian
Bulan/minggu April
2012
Mei-November
2012 Januari 2013
1 2 1 2 3 4 1 2 3 4
Usulan Penelitian
Penelitian
Penyusunan
Laporan
Presentasi
3.12 Personal Penelitian
Penelitian : dr. Syarifah Yusriani
3.13 Biaya Penelitian
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di RSUP H.Adam Malik Medan dalam kurun
waktu Mei sampai desember 2012. Dari 23 subjek penelitian di dapatkan
46 mata. Data yang ditampilkan dalam tulisan ini merupakan data dari 23
subjek dan 46 mata. Berdasarkan subjek penelitian diperoleh data dasar
yang ditampilkan dalam bentuk tabulasi.
Tabel 4.1. Karakteristik Jenis Kelamin Subjek Penelitian
Jenis Kelamin Frekuensi %
Laki-laki 12 52,2
Perempuan 11 47,8
Total 23 100,0
Dari subjek penelitian didapatkan jumlah laki-laki sebanyak 12(52,2%) dan
perempuan 11 (47,8%).
Tabel 4.2. Karakteristik Kelompok Umur Subjek Penelitian
Umur (tahun) Frekuensi %
≤ 20 2 8,7 21 - 40 13 56,5
>40 8 34,8
Total 23 100,0
Data mengenai umur pasien menunjukkan bahwa pasien yang berumur
21-40 (56,5 %) berjumlah relatif lebih banyak dibandingkan kelompok
tahun mempunyai jumlah 8 (34,8%)subjek, diikuti oleh kelompok umur ≤
20 tahun berjumlah 2 (8,7%) subjek.
Tabel 4.3. Karakteristik Suku Bangsa Subjek Penelitian
Suku Frekuensi %
Melayu 1 4,3
Jawa 7 30,4
Mandailing 3 13,1
Batak 9 39,1
Karo 3 13,1
Total 23 100,0
Subjek penelitian berasal dari berbagai suku bangsa dimana dari 23
subjek tersebut suku yang relatif lebih banyak adalah suku Batak 9
(39,1%) subjek, diikuti suku Jawa 7 (30,4%) subjek, pada suku mandailing
dan Karo dijumpai jumlah yang sama masing-masing 3 (14,0%) subjek,
suku Melayu 1 (4,3%) subjek.
Tabel 4.4. Karakteristik Pendidikan Terakhir Subjek Penelitian
Pendidikan Frekuensi %
SLTP 3 13,1
SLTA 13 56,5
Sarjana 7 30,4
Total 23 100,0
Data mengenai tingkat pendidikan subjek penelitian menunjukkan bahwa
rata-rata berpendidikan SLTA 13 (56,5%) subjek. Diikuti tingkat sarjana 7
Tabel 4.5. Karakteristik Kategori Tuberkulosis
Kategori Frekuensi %
Kategori 1 20 87,0 Kategori 2 3 13,0
Total 23 100
Dari data penelitian berdasarkan kategori dari tuberkulosis dijumpai pada
kategori 1 dengan jumlah 20 (87,0%) subjek dan pada kategori 2
berjumlah 3 (13,0%) subjek.
Tabel 4.6. Hasil Uji Beda Proporsi Visus Sebelum dan Sesudah
Diberikan Terapi Etambutol
- Ranking Negatif adalah visus sebelumnya (5/5)
menjadi (5/4), dalam penelitian ini (5/4) tidak
disertakan.
- Ranking Positif adalah visus sebelumya (5/5) berubah
menjadi (5/6); (5/8) dan (5/10).
- Ties artinya tidak terjadi perubahan sebelum (5/5) dan
Tabel 4.7. Hasil Uji Beda Proporsi Persepsi Warna Sebelum dan
- Ranking Negatif adalah persepsi warna normal .
- Ranking Positif adalah persepsi warna normal dan
berubah menjadi tritanomali.
- Ties artinya tidak terjadi perubahan sebelum normal
Tabel 4.8. Hasil Uji Beda RNFL Thickness dengan OCT Sebelum
dan Sesudah Diberikan Terapi Etambutol
OCT
(kuadrant)
Etambutol P
Sebelum Sesudah
Mean ±SD Mean ±SD
Superior 129.26 ±19,719 125.43±17.032 0.119
Inferior 131.13±28.946 125.52±25.968 0.010
Temporal 76.09±24.070 77.78±25.232 0.014
Nasal 97.96±37.085 90.26±37.456 0.229
Average 108.43±12.940 104.70±12.629 0.000
Dari pemeriksaan RNFL thickness dengan stratus OCT didapat penurunan
pada 3 kuadran superior (129.26±19.719 menjadi 125.43±17.032), inferior
(131.13±28.946 menjadi 125.52±25.968) dan nasal (97.9637±37.085
menjadi 90.26±37.456) dan sedikit peningkatan pada kuadran temporal
(76.09±24.070 menjadi 77.78±25.232). Uji yang di gunakan untuk melihat
perubahan RNFL thickness sebelum dan sesudah pemakaian etambutol
BAB V
PEMBAHASAN
Pada tabel 5.1 didapatkan subjek penelitian yang berjumlah 23
pasien tuberkulosis hampir sama antara pasien laki-laki dan perempuan
dimana jumlah laki-laki sebanyak 12 (52,2%) dan perempuan 11 (47,8%).
Pada tabel 5.2 didapatkan jumlah frekuensi data dari
masing-masing umur subjek menunjukkan bahwa pasien yang berumur 21-40
(56,5%) berjumlah relatif lebih banyak yaitu 13 (56,5%) subjek. Kelompok
umur >40 tahun mempunyai jumlah 8 (34,8%) subjek, diikuti oleh
kelompok umur ≤ 20 tahun berjumlah 2 (8,7%) subjek.
Terdapat variasi suku dari subjek penelitian yang diperiksa juga
berbagai tingkat pendidikan. Dari tabel 5.3 dijumpai suku terbanyak suku
Batak 9 (39,1%) subjek, diikuti suku Jawa 7 (30,4%) subjek, suku
mandailing dan Karo d masing-masing 3 (14,0%) subjek, suku Melayu 1
(4,3%) subjek.
Dari tabel 5.4 di dapatkan pendidikan terakhir SLTA 13 (56,5%)
subjek. Diikuti sarjana 7 (30,4%) subjek, dan SLTP 3(13,1%) subjek. Data
ini dapat digunakan untuk menggambarkan variasi subjek yang mengikuti
penelitian dan menunjukkan heterogenitas populasi penelitian.
Dari data penelitian pada tabel 5.5 berdasarkan kategori dari
tuberkulosis dijumpai pada kategori 1 dengan jumlah 20 (87,0%) subjek
Pada tabel 5.6 didapatkan perbedaan visus sebelum dan setelah
mendapat terapi etambutol secara statistik signifikan.Dimana sebelum
terapi visus 46 mata adalah 5/5 dan setelah mendapat etambutol 8 mata
mempunyai visus 5/6,5/8 dan 5/10. Himal K melaporkan visus sebelum
terapi 0.00±0.08 Log-MAR dan setelah terapi 0.08±0.18 Log-MAR
(Himal K,2007).
Penelitian-penelitian sebelumnya melaporkan diskromatopsia dapat
menjadi tanda awal toksisitas etambutol .Pada tabel 5.7 di jumpai hasil
penelitian ini, dari 23 subjek 46 mata didapatkan 4 mata yang mengalami
perubahan sebelum dan sesudah pemakaian etambutol. Choi melaporkan
gejala awal diskromatopsia pada 2 dari 13 pasien neuropati optic
etambutol ( Choy SY,Hwang JM, 2007).
Diskromatopsia yang ditemukan pada penelitian ini adalah efek biru
kuning (tritanomali) dan secara statistik tidak signifikan dijumpai adanya
perbedaan sebelum dan sesudah terapi etambutol . Kaimbo melaporkan
hasil penelitian tes persepsi warna pada pengguna etambutol dengan FM
15 didapat 3 (7%) dari 42 subjek yang mengalami tritanomali (Kaimbo
KW,Bifuko ZA,2002).
Dari penelitian ini pada tabel 5.8 didapatkan hasil pemeriksaan
RNFL thickness menggunakan OCT menunjukkan penurunan pada RNFL
pada 3 kuadran,dan sedikit peningkatan pada kuadran temporal.Pada
kuadran superior sebelum terapi 129.26±19,719 dan setelah terapi
125.43±17.032.Pada kuadran inferior sebelum 131.13±28.946 dan setelah
setelah terapi 90.26±37.456. Sedangkan pada kuadran temporal
didapatkan sebelum terapi 76.09±24.070 dan setelah terapi 90.26±37.456.
Pada penelitian terhadap pasien normal didapatkan pada kuadran
superior 133,46±16,71,kuadran inferior 143,59±19,89,nasal 87,57±16,85
dan temporal 79,79±13,03.
Walaupun tidak signifikan secara statistik,pasien dengan penebalan
RNFL temporal yang berhubungan ditunjukkan dengan adanya
pembengkakan ringan dari “bundle papilomakular”. Jika pada stadium
akhir dari neuropati optik etambutol bundle papilomakular mengalami
kerusakan secara primer. Penemuan ini dapat dijelaskan melalui efek dari
etambutol dimana meningkatkan level glutamate pada sel, selain
menurunkan level kalsium di sitoplasma dan peningkatan kalsium di
mitokondria dimana terjadi ketidakseimbangan kerusakan potensial
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Dijumpai penurunan visus sebelum dan sesudah terapi etambutol.
2. Pada pemeriksaan segmen anterior dan pemeriksaan funduskopi tidak
dijumpai adanya perubahan sebelum dan sesudah mendapat terapi
etambutol.
3. Tidak dijumpai adanya perbedaan dari pemeriksaan persepsi warna
sebelum dan sesudah terapi etambutol .
4. Pengukuran objektif dari penebalan RNFL menunjukkan perbedaan
pada kuadran superior,inferior dan nasal terjadi penurunan dan
sedikit peningkatan pada kuadrann temporal antara pasien sebelum
dan sesudah mendapat terapi etambutol pada pasien tuberkulosis.
5. Penelitian dengan jumlah subjek yang lebih besar dan dalam kurun
waktu yang lebih lama diperlukan untuk memastikan hasil penelitian
ini.
6.2 Saran
1. Diharapkan setiap pasien tuberkulosis mendapatkan penjelasan dari
dokter mengenai kemungkinan kelainan mata yang dapat terjadi akibat
2. Pemeriksaan “follow up” berkelanjutan dari OCT dapat membantu
melihat perubahan ketebalan RNFL setelah melakukan pemeriksaan
visus,funduskopi dan persepsi warna.
3. Perlu penelitian lebih lanjut secara prospektif dan uji klinis untuk
DAFTAR PUSTAKA
American Thoracic Society .2000. Diagnostic Standarts and Classification
of tuberculosis in adults and children.Am J.Respir Care Med
;161;1376–95
Aditama TY, Kamso S, Basri C, Surya A. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. 2 ed. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2007
Carrs RE,Henkind P.1962.Ocular manifestasi of ethambutol:toxic
ambliopia after administration of an experimental antituberculous
drug .Arch Ophtalmol :67:50-5
Chai SJ,Foroozan R,2007,Decrease retinal nerve fibre layer thickness
detected by optical coherence tomography in patient with
etambutol-induced optic neuropathy,Br J Ophtalmol;91;895-7
Choi SY,Hwang JM.1997. Optic neuropathy associated with ethambutol in
Korean. Korean J Ophtalmol:vol 11:106-110
Chatterjee VKK,Buchanon DR,Friedman AL,Green M.1986. Ocular
Toxicity Following Ethambutol in standart dosage.Br J Dis Chest
:80;280-91
Chung et all,2009.Ethambutol- Induced Toxicity is mediated by zinc and
lysosomal membrane permeabilization in cultured retinal cells;235
(2):163-70
Dennis Yasuo T., Robert R., Srinivas K., Glaucoma Diagnostic, 2008
Donald L et all,2007.Determinant of normal retinal nerve fiber layer
thickness measured by stratus OCT.American academy of
ophthalmology,Elsevier inc.1046-52.
Himal K,2007,Visual function in patients on etambutol therapy for
tuberculosis.
Kaimbo KW,Bifuko ZA,Longo MB,Draslans L,Missoten.2002 L.Color
visison 42 Colongese Patient with tuberculosis Receiving Etambutol
Katzung Betram G.1997.Obat-obatan anti mikrobal. In : Farmakologi
Dasar dan Klinik .6th
Kwok A.2006.Ocular Toxicity of Ethambutol..The Hongkong Medical
Diary;2(vol 11.no11):27-29.
ed,.EGC.Jakarta
Noche RR.Nicolas MG et all.1987.A study of the evaluation of optic
neuritis caused of ethambutol in rabbit.PJMID:17(2):42-6.
Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis . Department Kesehatan
Republik Indonesia ; Jakarta ;2005;13-53
Pharmaceuical care untuk penyakit tuberculosis ,2005, Direktorat Bina
farmasi Komunitas dan klinik Departement kesehatan RI.
Peng KS.2005.The effect of anty tuberculosis drugs on the visual function
of patient in quenn Elizabeth hospital kotu
kinabalu,Sabah.Dissertation Faculty of medicine university
kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur.
Preventive Measure Against drug –induced Ocular toxicity during anti –
tuberculosis treatment,TB end Chest service.Department of
halth,Hongkong,2002.
Rick FW,Fritz FT.2009.Drug –Related adverse effect of clinical importance
to the ophthalmologist,American Academy of Ophtalmology.Available
from.
Su-Ann lim.2006. Ethambutol associated optic neuropathy. Ann Acad
Med. Singapore:35:274-8
Schield HS,Fox BC.1991.Rapid-onset reversible ocular toxicity from
ethambutol therapy.Am J Med ;90:404-6
Sivakumaran P.Harrison AC,Marschener J,MartinP;1998 Ocular toxicity
from ethambutol; a review of 4 cases and recommended precaution
,NZ Med J ;111:428-30
Shirodkar A,Albini T,Miami,2010,Tuberculosis: Intraocular
involvement,2010, Bascom Palmer Eye Institute.
Yiannikas C,Walsh JC.Mcleod JG.1983.Visual evoked potential in the
detection of subclinical optic toxic effects secondary to
Zafar,Aftab.Toxic/Nutritional optic neuropathy.2008.Available from
Zoumalan CI,Agarwal M,sadun AA,2005,Optical coherence
etambutol-induced optic neuropty,Graefes Arch Clin Exp Ophtalmol;243;410-6
Zubaidi Y,1995.Tuberkulostic & Leprostatik.in Farmakologi &
44
Lampiran 1
LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN
Selamat pagi/siang Bapak/Ibu, pada hari ini, saya dr. Syarifah
Yusriani akan melakukan penelitian yang berjudul “Perbedaan retinal
nerve fiber layer thickness sebelum dan sesudah pemakaian etambutol
pada pasien tuberkulosis di RS.H.Adam Malik Medan”. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan retinal nerve fiber
layer thickness sebelum dan sesudah pemakaian etambutol pada pasien
tuberkulosis di RS.H.Adam Malik Medan. Adapun manfaat penelitian ini
diharapkan adanya kerjasama dari bagian paru dan mata untuk skrining
kelainan mata akibat pemakaian etambutol sehingga dapat mencegah
terjadinya komplikasi lebih lanjut.
Pada Bapak/Ibu yang bersedia mengikuti penelitian ini secara suka rela
nantinya akan diharuskan mengisi surat persetujuan ikut dalam penelitian,
mengikuti wawancara, dan bersedia untuk diperiksa matanya. Pemerikasaan
yang dilakukan adalah pemeriksaan tajam penglihatan, pemeriksaan buta warna,
funduskopi dan OCT ( untuk melihat kelainan saraf mata). Sebelum dilakukan
pemeriksaan funduskopi dan OCT ,anak mata (pupil) pasien dilebarkan dengan
tetes mata akibatnya penglihatan menjadi kabur dan silau untuk sementara
sekitar 4 jam setelah ditetes dan normal kembali. Pemeriksaan ini dilakukan ± 3
jam.
Segala biaya pemeriksaan dan penyediaaan obat menjadi tanggung
jawab peneliti. Bila masih terdapat pertanyaan, maka Bapak/Ibu dapat
menghubungi saya :
Nama : dr. Syarifah Yusriani
Alamat : TASBI blok I ni 66 Medan.
Telepon/ HP : 08126505087