• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Retinal Nerve Fiber Layer Thickness Dengan Optical Coherence Tomography Pada Pasien Tuberkulosis Sebelum Dan Susudah Mendapat Etambutol Di RSUP.H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Retinal Nerve Fiber Layer Thickness Dengan Optical Coherence Tomography Pada Pasien Tuberkulosis Sebelum Dan Susudah Mendapat Etambutol Di RSUP.H. Adam Malik Medan"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN RETINAL NERVE FIBER LAYER THICKNESS DENGAN OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY PADA PASIEN

TUBERKULOSIS SEBELUM DAN SUSUDAH MENDAPAT ETAMBUTOL DI RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN

T E S I S

Oleh

SYARIFAH YUSRIANI

NIM : 087110002

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERAUTARA M E D A N

(2)

PERBEDAAN RETINAL NERVE FIBER LAYER THICKNESS DENGAN OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY PADA PASIEN

TUBERKULOSIS SEBELUM DAN SUSUDAH MENDAPAT ETAMBUTOL DI RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Spesialis Mata

dalam Program Studi Ilmu Kesehatan Mata pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYARIFAH YUSRIANI

NIM :

087110002

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERAUTARA M E D A N

(3)

Judul Tesis : PERBEDAAN RETINAL NERVE FIBER LAYER THICKNESS DENGAN OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY PADA PASIEN TUBERKULOSIS SEBELUM DAN SUSUDAH MENDAPAT

ETAMBUTOL DI RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN

Nama : Syarifah Yusriani Nomor induk : 087110002

Program Studi : Ilmu Kesehatan Mata

Telah disetujui :

Dr. Delfi, SpM (K) , M.Ked (Oph) Pembimbing

___________________________________________________________

Prof. Dr. H. Aslim D Sihotang, SpM (KVR) Pembimbing

___________________________________________________________

Dr. Parluhutan Siagian ,SpP Pembimbing

___________________________________________________________

Dr. Aryani Atiyatul Amra, SpM, M.Ked (Oph) Ketua Program Studi

__________________________________________________________

Dr. Delfi, SpM (K), M.Ked (Oph) Ketua Departemen

(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang

dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama : SYARIFAH YUSRIANI

NIM : 087110002

(5)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang

bertanda tangan di bawah ini :

Nama : SYARIFAH YUSRIANI

NIM : 087110002

Program Studi : Ilmu Kesehatan Mata

Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan

kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-ekslusif

(Non Exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul :

“PERBEDAAN RETINAL NERVE FIBER LAYER THICKNESS DENGAN

OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY PADA PASIEN

TUBERKULOSIS SEBELUM DAN SUSUDAH MENDAPAT

ETAMBUTOL DI RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN“

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan,

mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat

dan mempublikasikan tesis saya tanpa izin dari saya selama tetap

mencantumkan nama saya sebagai penulis hak cipta.

Demikian penyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal : Februari 2013

Yang Menyatakan

(6)

ABSTRAK

Latar Belakang :Tuberkulosis paru adalah penyakit menular kronis yang

disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis. Etambutol

hidroklorida merupakan salah satu obat anti tuberkulosis dimana organ

yang dapat terkena toksisitas adalah mata .

Tujuan : Penelitian ini untuk mengetahui perbedaan Retinal Nerve Fiber

Layer sebelum dan sesudah pemakaian etambutol di RSUP. H. Adam

Malik Medan

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental dengan

rancangan perlakuan tungal one group pre and post test design. Kuasi

experimental di maksudkan adalah terhadap subjek yang di teliti tidak

dilakukan random tetapi berdasarkan kriteria klinis.

Hasil Penelitian : Dari penelitian ini di dapatkan penurunan penglihatan

pada 8 mata(5/6;5/8;5/10) dan perubahan penglihatan warna dijumpai 3

mata(tritanomali). ketebalan RNFL kuadran superior sebelum terapi

129.26±19.719 dan setelah terapi 125.43±17.032. Kuadran inferior

sebelum terapi 131.13±28.946 dan setelah terapi 125.52±25.968. Kuadran

temporal sebelum terapi 76.09±24.070 dan sesudah terapi 77.78±25.232

dan rata-rata sebelum terapi 108.43±12.940 dan sesudah terapi

104.70±12.629

Kesimpulan : Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penurunan retinal

nerve fiber layer pada kuadran superior ,inferior dan nasal dan sedikit

peningkatan pada kuadran temporal walaupun secara statistik tidak

signifikan

Kata Kunci : Tuberkulosis, Etambutol,Optical Coherence Tomography,

(7)

ABSTRACT

Background : Pulmonary tuberculoses is a chronic inefectious disease

cased by mycobacterium tuberculoses. Etambutol hidroclorida is one of

antituberculosis drugs in which toxicity that affected the eye

Purpose :To evaluate the difference Retinal Nerve Fiber Layer thickness

before and after taking etambutol at Adam Malik hospital

Methode : The design was quasi experimental .The comparison group

pre-test /post test design in Tuberculosa patient of 23 subject (46 eyes).

All patient underwent an examination including visual acquity, color vision

and RNFL thickness. Stratus OCT was performed on both eyes of each

patient using the Retinal Nerve Fibre Layer analysis protocol.

Result :In this study found decrease visual aquity was 8 eyes

(5/6;5/8;5/10) and the difference color vision finding was 3 eyes

(tritanomali). The RNFL thickness before/after taking etambutol was

superior quadrant 129.26±19.719/125.43±17.032, inferior quadrant

131,13±28.946/125.52±25.968, temporal quadrant 76.09±24.070/77.

78±25.232, nasal qudrant 97.9637±37.085/ 90.26±37.456 and average

108.43±12.940/104.70±12.629

Conclusion : A decrease in RNFL thickness is observed in superior

,inferior and nasal quadrant and slight increase in the temporal quadrant.

Althought not statistically significant in temporal quadrant.

Keyword : Tuberculosis, Etambutol,Optical Coherence Tomography,

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrohim,

Puji syukur yang tak terhingga penulis panjatkan ke hadirat Allah

SWT atas segala rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan penulisan tesis ini untuk memenuhi salah satu kewajiban

dalam menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis pada Ilmu

Kesehatan Mata di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih serta

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah

membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa

hormat, penghargaan dan ucapan terimakasih sebesar-besarnya penulis

sampaikan kepada:

1. Dr. Delfi, SpM (K), M. Ked (Oph), selaku Ketua Departemen Ilmu

Kesehatan Mata FK USU yang telah memberikan kesempatan

pada penulis mengikuti pendidikan dan keahlian dalam Program

Pendidikan Dokter Spesialis.

2. Dr. Hj. Aryani Atiyatul Amra, SpM, Mked (Oph) dan Dr. Bobby R

Erguna Sitepu, SpM, M.Ked (Oph) selaku Ketua dan Sekretaris

Program Studi Ilmu Kesehatan Mata FK USU yang telah sangat

banyak membantu, membimbing dan mengarahkan penulis menjadi

dokter Spesialis Mata yang siap mengamalkan spesialisasi tersebut

kepada masyarakat.

3. Prof. Dr. H. Aslim D Sihotang, SpM (KVR) , Dr. Delfi, SpM,

(9)

pembimbing yang senantiasa memberikan dorongan dan

bimbingan, serta telah meluangkan waktu untuk berdiskusi

sehingga memberikan kemudahan dan kelancaran dalam

pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

4. Para Guru-guru, Dr. H. Mohd. Dien Mahmud, SpM, Dr. H. Chairul

Bahri AD, SpM, Dr. H. Azman Tanjung, SpM, Prof. Dr. H. Aslim

D Sihotang, SpM (KVR), Dr. Masang Sitepu, SpM, Dr. Suratmin,

SpM (K), Dr. H.Bachtiar, SpM (K), (Alm) Dr. H. Abdul Gani, SpM,

Dr. Hj. Adelina Hasibuan SpM, Dr. Hj. Nurhaida Djamil, SpM, Dr.

Beby Parwis, SpM, Dr. Syaiful Bahri, SpM, Dr. Riza Fatmi SpM,

Dr. Pinto Y Pulungan, SpM (K), Dr. Hj.Heriyanti Harahap, SpM,

Dr. Hj. Aryani Atiyatul Amra,SpM, M.Ked (Oph), Dr. Delfi, SpM

(K), M.Ked (Oph), Dr. Nurchaliza H Siregar, SpM, M.Ked (Oph),

Dr. Masitha Dewi Sari, SpM, M.Ked (Oph) Dr, Rodiah

Rahmawaty Lubis, SpM, M.Ked (Oph), Dr. Bobby Ramses

Erguna Sitepu, SpM, M.Ked (Oph), Dr. T. Siti Harilza Zubaidah,

SpM, M.Ked (Oph), Dr. Vanda Virgayanti, SpM, M.Ked (Oph), Dr.

Ruly Hidayat SpM, M.Ked (Oph), Dr. Fithria Aldy SpM, M.Ked

(Oph), Dr. Marina Albar, SpM, M.Ked (Oph), penulis haturkan

hormat dan terimakasih yang tak terhingga atas perhatian,

kesabaran, bimbingan, dan kesediaan berbagi pengalaman selama

mendidik penulis di bagian Ilmu Kesehatan Mata.

5. Drs. Abdul Djalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik

yang telah banyak meluangkan waktu dalam diskusi dan

(10)

6. Keluarga besar Perdami Sumatera Utara, yang telah memberikan

kesempatan pada penulis menjadi bagian dari keluarga besar

Perdami dan membantu penulis dalam meningkatkan keahlian di

bidang kesehatan mata.

7. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi

Medan, yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan yang

seluas-luasnya kepada penulis dalam menjalani pendidikan.

8. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan dan Ketua TKP

PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang

telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program

Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

9. PPDS Ilmu Kesehatan Mata (Teman-teman dan adik-adik

semua) yang telah memberikan bantuan dan dorongan semangat,

sekaligus mengisi hari-hari penulis dengan persahabatan,

kerjasama, keceriaan dan kekompakan dalam menjalani kehidupan

sebagai residen.

10. Seluruh perawat/paramedik di RSUP H. Adam Malik dan RSU Dr.

Pirngadi Medan dan di berbagai tempat di mana penulis pernah

bertugas selama pendidikan, dan seluruh pegawai administrasi

Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU, terimakasih atas

bantuan dan kerjasama yang telah diberikan selama ini.

11. Para pasien yang pernah penulis lakukan pemeriksaan selama

pendidikan dan juga pasien yang telah bersedia ikut dalam

(11)

Rasa hormat dan terimakasih tak terhingga kepada kedua orangtua

penulis tercinta, ayahanda DR.H.Maratua Simanjuntak dan ibunda

(Almh) Hj.Rosmawaty Pulungan, tak terbalaskan segala doa,

kebaikan,kasih sayang dan pengorbanan , hanya doa tulus dari ananda

agar Allah SWT membalas kebaikan ayah dan ibunda dengan Ridha Nya.

Terimakasih penulis haturkan pula kepada kedua mertua tercinta,

ayahanda Prof.dr.H.Munar Lubis SpA(K) dan ibunda dr.Rini Ekayati

Medyastuti, juga kepada Abang, kakak, adik.

Kepada suami tercinta, dr.Andriamuri Primaputra Lubis

SpAn,M.ked(An), juga ananda tersayang Atthiyah Farah Khansa Lubis,

terimakasih tak terhingga atas pengertian, kesabaran, kasih sayang, doa

dan motivasi yang menjadi semangat ibunda dalam menyelesaikan

pendidikan ini.

Akhirnya kepada semua yang telah berpartisipasi tiada kata yang

dapat penulis ucapkan selain ucapan terimakasih setulus-tulusnya,

semoga Allah SWT membalas dengan kebaikan. Amin

Harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita

semua, khususnya bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran

USU.

Medan, Januari 2013

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitiaan ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

1.5. Hipotesis Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 6

2.1 Tuberkulosis ... 6

2.2 Etambutol ... 9

2.3 Patogenesis Toksisitas Etambutol ... 11

2.4 Manifestasi Klinis ... 13

2.5 Optical Coherence Tomography (OCT) ... 15

2.6 Tuberkulosis Okull ... 16

2.7 Penatalaksanaan ... 17

2.8 Pencegahan ... 18

2.9 Kerangka Konsep ... 22

(13)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 24

3.1 Desain Penelitian ... 24

3.2 Tempat dan Waktu ... 24

3.3 Populasi dan Sampel ... 24

3.4 Besar Sampel ... 25

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 25

3.6 Identifikasi Variabel ... 26

3.7 Cara Kerja ... 26

3.8 Alat dan Bahan ... 29

3.9 Analisa Data ... 29

3.10 Pertimbangan Etika ... 30

3.11 Lama Penelitian ... 30

3.12 Personal Penelitian ... 30

3.13 Biaya Penelitian ... 30

BAB IV Hasil Penelitian ... 31

BAB V Pembahasan ... 36

BAB VI Kesimpulan dan Saran ... 39

6.1.Kesimpulan ... 39

6.2 Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 41

LAMPIRAN

1. Lembaran Penjelasan kepada Calon Subyek Penelitian

2. Surat Pernyataan Persetujuan ( Informed Consent)

3. Master Data Penelitian

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 1 ...

Tabel 2.2 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2 ... 8

Tabel 4.1. Karakteristik jenis kelamin subjek penelitian ... 31

Tabel 4.2. Karakteristik kelompok umur subjek penelitian ... 31

Tabel 4.3. Karakteristik suku bangsa subjek penelitian ... 32

Tabel 4.4. Karakteristik pendidikan terakhir subjek penelitian ... 32

Tabel 4.5. Karakteristik kategori tuberkulosis ... 33

Tabel 4.6. Hasil Uji Beda Proporsi visus sebelum dan sesudah diberikan terapi etambutol ... 33

Tabel 4.7. Hasil Uji Beda Proporsi persepsi warna sebelum dan sesudah diberikan terapi etambutol ... 34

(15)

DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Nama Penulisan

Pertama kali

Pada halaman

TB Tuberkulosis paru 1

MTB Mycobacterium Tuberculosis 1

OAT Obat anti tuberculosis 2

WHO World Health Organization 3

HCL Hydrocloride 4

KDT Kombinasi dosis tetap 7

VEP Visual Evoked Potensial 5

Cu Cuprum 10

Zn Zinkum 10

OCT Optical Coherence Tomography 13

EMB Etambutol 16

(16)

ABSTRAK

Latar Belakang :Tuberkulosis paru adalah penyakit menular kronis yang

disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis. Etambutol

hidroklorida merupakan salah satu obat anti tuberkulosis dimana organ

yang dapat terkena toksisitas adalah mata .

Tujuan : Penelitian ini untuk mengetahui perbedaan Retinal Nerve Fiber

Layer sebelum dan sesudah pemakaian etambutol di RSUP. H. Adam

Malik Medan

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental dengan

rancangan perlakuan tungal one group pre and post test design. Kuasi

experimental di maksudkan adalah terhadap subjek yang di teliti tidak

dilakukan random tetapi berdasarkan kriteria klinis.

Hasil Penelitian : Dari penelitian ini di dapatkan penurunan penglihatan

pada 8 mata(5/6;5/8;5/10) dan perubahan penglihatan warna dijumpai 3

mata(tritanomali). ketebalan RNFL kuadran superior sebelum terapi

129.26±19.719 dan setelah terapi 125.43±17.032. Kuadran inferior

sebelum terapi 131.13±28.946 dan setelah terapi 125.52±25.968. Kuadran

temporal sebelum terapi 76.09±24.070 dan sesudah terapi 77.78±25.232

dan rata-rata sebelum terapi 108.43±12.940 dan sesudah terapi

104.70±12.629

Kesimpulan : Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penurunan retinal

nerve fiber layer pada kuadran superior ,inferior dan nasal dan sedikit

peningkatan pada kuadran temporal walaupun secara statistik tidak

signifikan

Kata Kunci : Tuberkulosis, Etambutol,Optical Coherence Tomography,

(17)

ABSTRACT

Background : Pulmonary tuberculoses is a chronic inefectious disease

cased by mycobacterium tuberculoses. Etambutol hidroclorida is one of

antituberculosis drugs in which toxicity that affected the eye

Purpose :To evaluate the difference Retinal Nerve Fiber Layer thickness

before and after taking etambutol at Adam Malik hospital

Methode : The design was quasi experimental .The comparison group

pre-test /post test design in Tuberculosa patient of 23 subject (46 eyes).

All patient underwent an examination including visual acquity, color vision

and RNFL thickness. Stratus OCT was performed on both eyes of each

patient using the Retinal Nerve Fibre Layer analysis protocol.

Result :In this study found decrease visual aquity was 8 eyes

(5/6;5/8;5/10) and the difference color vision finding was 3 eyes

(tritanomali). The RNFL thickness before/after taking etambutol was

superior quadrant 129.26±19.719/125.43±17.032, inferior quadrant

131,13±28.946/125.52±25.968, temporal quadrant 76.09±24.070/77.

78±25.232, nasal qudrant 97.9637±37.085/ 90.26±37.456 and average

108.43±12.940/104.70±12.629

Conclusion : A decrease in RNFL thickness is observed in superior

,inferior and nasal quadrant and slight increase in the temporal quadrant.

Althought not statistically significant in temporal quadrant.

Keyword : Tuberculosis, Etambutol,Optical Coherence Tomography,

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis paru (TB) adalah penyakit menular kronis yang di

sebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis (M.TB). Bakteri TB

paru menyebar melalui percikan dahak yang dibatukkan (droplet nuclei).

Walaupun dapat mengenai berbagai organ tubuh, namun bagian terbesar

(80-90%) mengenai organ paru. (American Thoracic Society, 2000

;Depkes RI,2005; Direktorat Bina farmasi Komunitas dan klinik Depkes RI.

2005).

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang menginfeksi jutaan orang

di dunia. Pada tahun 2003 ,terdapat 1997 kasus baru dilaporkan di

singapura. Insidensi di asia tenggara sama bahkan lebih tinggi dari

singapura dan menjadi salah satu masalah kesehatan.TB menjadi

penyebab kematian utama sampai tahun 1946 ketika streptomisin di

temukan. Sejak saat itu banyak obat yang digunakan untuk mengobati TB

( Su-Ann lim,2006). Etambutol telah di gunakan untuk mengobati TB sejak

tahun 1960. Gangguan penglihatan yang potensial mulai di perlihatkan

semenjak obat ini diperkenalkan. (Su-Ann lim,2006;Choi SY,Hwang

JM1997).

TB merupakan ancaman bagi penduduk Indonesia,pada tahun

2004, sebanyak seperempat juta orang bertambah sebagai penderita baru

(19)

TB adalah penduduk yang berusia produktif antara 15-55 tahun, dan

penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit

jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia

(Direktorat Bina farmasi Komunitas dan klinik Depkes RI. 2005).

Program nasional penangulangan TB paru di Indonesia sesuai

dengan rekomendasi internasional mengunakan obat anti TB paru (OAT),

berupa kombinasi Etambutol 15-20 mg/kgBB/hari, Isoniasid 5-10

mg/kgBB/hari, Rifampisin10-20 mg/kgBB/hari. Obat-obat itu diberikan

selama 6-8 bulan. Dalam kurun waktu tersebut ,obat-obata dapat

memberikan efek samping yang bervariasi di berbagai organ tubuh

termasuk mata (Depkes 2005; Direktorat Bina farmasi Komunitas dan

klinik Departement kesehatan RI. 2005). Berdasarkan penelitian Sutton

dan Beattie

Etambutol hidroklorida adalah salah satu dari agen lini pertama

pengobatan tuberkulosis. Organ yang dapat terkena toksisitas dari

etambutol adalah mata. Efek pada mata yang paling serius adalah optik

neuritis dan demielinisasi dari saraf optik. Manifestasi yang paling awal

dari keterlibatan mata adalah gangguan pada penglihatan warna terutama

warna merah dan hijau.(protanop dan deuteranopi).( Katzung Betram

G,1997)

melaporkan bahwa penderita TB yang diberikan terapi

kombinasi memperlihatkan efek samping neuropati optik setelah

pemberian etambutol sedangkan isoniasid hanya memberikan efek

(20)

Etambutol merupakan satu obat yang sering berhubungan dengan

neuropati optik toksik. Neuropati optik yang terjadi adalah tergantung pada

dosis dan lamanya pemakaian. Kehilangan penglihatan tidak langsung

terjadi sampai pasien telah memakai obat sedikitnya 2 bulan, tapi gejala

umumnya nampak antara 4 bulan sampai satu tahun,onset ini bisa lebih

cepat jika pasien mempunyai penyakit ginjal karena hal ini akan

mengakibatkan penurunan ekskresi obat sehingga level serum meningkat.

Pasien yang menerima dosis 25 mg/kg/hr atau lebih sangat rentan

terhadap kehilangan penglihatan (Zafar,Aftab, 2008).Kumar, melaporkan

toksisitas etambutol, sebesar 42,2 % mengalami pebaikan tajam

penglihatan 6/60 dalam kurun waktu 10-12 bulan setelah pemberian

etambutol dihentikan dan terjadi progresivitas neuropati optik dengan

kerusakan tajam penglihatan permanen sebesar 42,2%.

Dari 822 dilaporkan secara langsung reaksi dari etambutol pada

mata oleh the National Registry of Drug-Induced Ocular Side Effect

(Portland, Oregon) dan WHO (World Health Organization) (Uppsala,

Sweden), dimana ditemukan 55 kasus neuropati optik ( 24 pria,31 wanita).

Dosis rata-rata 1032 mg/hari (berat subjek tidak diperoleh,tapi dalam Robert

melaporkan bahwa pemberian etambutol 15 mg/kgBB/hari menyebabkan

nuropati optik sebesar 1,6% kasus. Bila diberikan dengan dosis 25

mg/kgBB/hari menyebabkan neuropati optik pada 2,48 % kasus.

(Chatterjee VKK dkk, 1986). Roussos melaporkan, bila etambutol

diberikan dengan dosis 15 mg/kgBB/hari selama 4-8 bulan terapi dapat

(21)

penelitian ini kisaran terapeutik 15 mg/kgBB/hari, diperkirakan 70 kg atau

sekitar 155 lbs) dengan durasi terjadinya neuropati optik dalam kurun

waktu 235 hari. Dilaporkan insidensi neuritis retrobulbar berhubungan

dengan etambutol 50% dari pasien dengan dosis 60-100 mg/kgBB/hari,

18% dengan pemberian > 35 m/kgBB/hari, 5-6 % dengan 25 mg/kgBB/hari

dan < 1% dengan 15 m/kgBB/hari dari etambutol HCL untuk pemakian

lebih dari 2 bulan. Tidak ada “dosis aman” untuk pemberian ethambutol

yang telah dilaporkan. Pemberian dengan dosis kecil dari 12,3

mg/kgBB/hari di observasi toksisitasnya. (Su-Ann lim,2006; Kwok A,2006;

TB end Chest service,

Neuropati optik akibat etambutol memberikan keluhan gangguan

tajam penglihatan, gangguan lapang pandangan antara lain skotoma

sentral, perifer dan defek bitemporal serta buta warna merah-hijau

(red-green dyschromatopsia). Pemeriksaan tajam penglihatan, buta warna dan

lapang pandangan merupakan pemeriksaan fungsi penglihatan secara

subjektif. Pemeriksaan fungsi penglihatan secara objektif dilakukan

dengan pemeriksaan visual evoked potensial (VEP).( Su-Ann

lim,2006;Carrs RE,Henkind P,1962;Yiannikas C dkk,1983) 2006;Rick FW, 2009)

1.2. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan retinal nerve fiber layer thickness sebelum

dan sesudah pemakaian etambutol pada pasien tuberkulosisdi

(22)

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan retinal nerve fiber layer thickness

sebelum dan sesudah pemberian etambutol pada pasien tuberkulosis di

RS.H.Adam Malik Medan

1.3.2. Tujuan Khusus

• Untuk mendeteksi sedini mungkin pengaruh pemakaian etambutol

pada mata dan pada retinal nerve fiber layer thickness untuk

mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut seperti neuritis optik

pada pasien tuberkulosis di RS. H.Adam Malik Medan

• Memberikan penjelasan pada pasien bahwa penggunaan

etambutol dalam terapi tuberkulosis dapat menimbulkan gangguan

penglihatan.

1.4. Manfaat Penelitian

• Dengan penelitian ini di harapkan adanya kerjasama dari bagian

paru dan mata untuk skrining kelainan mata akibat terapi

etambutol

• Penelitian ini di harapkan dapat digunakan sebagai informasi

untuk penelitian selanjutnya

1.5. Hipotesis Penelitian

Ada perbedaan retinal nerve fiber layer thickness disebabkan

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

Penyakit TB secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma

dan nekrosis pada jaringan. Sebagian besar kuman TB menyerang paru

karena perjalanan kuman TB paru melalui saluran pernafasan, tetapi

dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang

,tahan asam dan dapat bertahan pada tempat lembab. Dalam jaringan

tubuh kuman ini dapat sebagai dormant. (American Thoracic Society,

2000; Depkes, 2005)

Gejala klinis TB paru di bagi menjadi gejala sistemik dan gejala

respirasi. Gejala sistemik meliputi demam yang biasanya timbul pada sore

dan malam hari , disertai dengan malaise, nafsu makan berkurang,

penurunan berat badan dan kadang-kadang pada perempuan ditemukan

gangguan siklus haid. Gejala respirasi meliputi batuk terus menerus dan

berdahak selama 3 minggu atau lebih, sesak nafas disertai nyeri dada

apabila telah mengenai jaringan pleura. (American Thoracic Society, 2000;

Depkes, 2005)

Patogenesis TB paru di bagi menjadi 4 fase. Penularan TB adalah

melalui droplet berukuran 1-5µm tersebut akan menembus sistem

mukosilier saluran nafas dan akhirnya sampai di bronchioles (fase1).

(24)

hidup di dalam makrofag maka kuman ini akan mengalami repikasi setiap

25-32 jam. Kuman TB akan menyebar melalui kelenjar getah bening hilus

atau melalui monosit darah tepi menyebar melalui pembuluh darah kapiler

(fase 2). Mycobacterium tuberculosis tidak memiliki endotoksin maupun

eksotoksin sehingga tidak ada respon segera terhadap infeksi kuman ini.

Kelainan patologis akibat infeksi kuman tuberculosis bukan di sebabkan

endotoksin ataupun eksotoksin seperti bakteri pathogen lain tetapi

merupakan akibat respon imun terhadap kuman itu. Respon imun selular

dapat dideteksi dengan reaksi positif terhadap uji tuberkulin apabila jumlah

kuman mencapai 102 -104

Panduan obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan oleh

Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia disediakan

dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT).

Besarnya dosis yang diberikan tergantung dari berat badan.(Aditama

TY,2007)

(setelah 2-12 minggu). Proliferasi kuman akan

terhenti setelah terbentuk respon imun selular atau bila respon imun yang

terbentuk tidak cukup maka akan bekembang menjadi penyakit (fase 3).

Pada beberapa orang terjadi reaktivasi dari infeksi laten sehingga terjadi

nekrosis jaringan, pembentukan kavitas dan proliferasi jaringan (fase

4).(American Thoracic Society,2000;Depkes,2005)

Pemberian OAT dibagi menjadi 2 kategori yaitu :

• Kategori 1

- Fase intensif (2 bulan) : Rifampisin/ Isoniazid/ Pirazinamid/

(25)

- Fase lanjutan (4 bulan) : RH (150/150 mg) – pemberian

intermiten 3 x seminggu.

Tabel 2.1 Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 1

Berat

(3 kali seminggu selama

4 bulan)

Tabel 2.2 Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 2

Berat

(26)

harian fase lanjutan x hari berobat fase lanjutan)} / total hari berobat / BB

subjek.

2.2 Etambutol

Etambutol merupakan suatu senyawa sintetik, larut dalam air,

senyawa yang stabil dalam keadaan panas, dijual sebagai garam

hidroklorid, struktur dextro-isomer dari ethylene di-imino di-butanol.

(Katzung Betram G,1997; Noche RR.Nicolas MG dkk,1987)

Gambar 1 :Struktur Kimia Etambutol (Katzung Betram G, 1997)

Secara in vitro,banyak strain M Tuberculosis dan mikrobakteria lain

dihambat oleh etambutol dengan konsentrasi 1-5 μg/ml. Mekanisme kerja

obat ini tidak diketahui. Etambutol diabsorbsi dengan baik dari usus.

Setelah menelan obat ini 25mg/kg, kadar obat puncak dalam darah

berkisar 2-5 μg/ml yang dicapai dalam waktu 2-4 jam. Dosis tunggal 15

m/kgBB menghasilkan kadar dalam plasma sekitar 5 µg/ml pada 2-4 jam.

Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol di dalam eritrosit 1-2

kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit dapat berperan sebagai

(27)

dalam plasma.

Resistensi terhadap etambutol timbul segera dengan cepat

diantara mikrobakterium bila obat ini digunakan secara tunggal. Efektivitas

pada hewan coba sama dengan isoniazid. In vivo ,sukar menciptakan

resistensi terhadap etambutol dan timbulnyapun lambat tetapi resistensi ini

timbul bila etambutol digunakan tunggal. Karena itu, etambutol selalu

diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat antituberkulosis lain.

Etambutol hidroklorid 15 mg/kg, biasanya diberikan sebagai dosis tunggal

harian yang dikombinasikan dengan INH atau rifampisin. Dosis obat ini

sebanyak 25 mg/kg mungkin dapat digunakan. Hipersensitivitas terhadap

etambutol jarang terjadi (Katzung,1997), ;Zubaidi,1995).

Lebih kurang 20% dari obat ini diekskresikan dalam tinja

dan 50% di urin dalam bentuk utuh, 10 % sebagai metabolit,berupa

derivate aldehid dan asam karboksilat. Ekskresi obat ini diperlambat pada

penyakit gagal ginjal. Etambutol tidak dapat menembus sawar darah otak.

Etambutol dapat menembus sawar darah otak bila inflamasi

meningen,pada meningitis tuberkulosa, etambutol dalam cairan

serebrospinalis lebih dari 10-40% dari kadarnya di serum (Katzung Betram

G,1997;Zubaidi Y,1995).

Efek samping yang sering terjadi yaitu ganguan penglihatan

biasanya bilateral yang merupakan neuritis retrobular yaitu penurunan

ketajaman penglihatan,hilangnya kemampuan membedakan warna

merah-hijau terjadi pada beberapa penderita yang diberikan etambutol 25

mg/kg selama beberapa bulan. Kebanyakan perubahan-perubahan

(28)

ketajaman mata secara periodik sebaiknya dilakukan selama pengobatan.

Bila ada keluhan penglihatan kabur, sebaiknya dilakukan pemeriksaan

lengkap. Bila pasien sudah menderita kelainan mata sebelum

menggunakan etambutol , perlu dilakukan pemeriksaan cermat sebelum

terapi dengan etambutol dimulai. Dengan dosis 15 mg/kg atau kurang,

gangguan visual sangat jarang terjadi (Katzung,1997).

2.3 Patogenesis Toksisitas Etambutol

Efek toksik etambutol telah dibuktikan secara in vivo dan in vitro

pada tikus, dimana terjadi kematian sel-sel ganglion retina akibat jalur

eksotoksik glutamate yang diinduksi etambutol .Etambutol dapat mengikat

Cu dan Zn di sel-sel ganglion retina dan serabut-serabut saraf optik.

Metabolit etambutol ,asam ethylenediiminodibutyric adalah pengikat Cu

dan Zn yang kuat. Cuprum dan Zn diperlukan sebagai kofaktor sitokrom c

oksidase, enzim utama untuk rantai transport dan untuk metabolism

oksidase selular di dalam mitokondria. Selain mengurangi kadar Cu dan

Zn yang berguna untuk sitokrom oksidase, etambutol juga mengurangi

energy yang diperlukan untuk transport aksonal di sekitar saraf optik.

Insufisiensi mitokondria di serabut nervus optikus dapat menyebabkan

kerusakan transport di dalam nervus optikus sehingga terjadi neuropati

optik.

Etambutol bersifat toksik pada saraf retina terutama akson sel

ganglion retina. Toksisitas akan akan lebih tampak dan makin memberat

(29)

karena kemampuan Etambutol dalam mengikat ion Zinc intraseluer

menyebabkan konsentrasi ion tersebut di serum menurun. Penelitian

Hence ,penurunan konsentrasi ion Zinc menimbulkan terjadinya atrofi

optik toksik yang selektif . Sebaliknya, Heng melakukan penelitian pada

kultur retina tikus didapatkan glutamate neurotoksik sebagai mekanisme

selular dari etambutol yang menyebabkan kematian saraf ganglion

( Schield HS,Fox BC,1991)

Gambaran hilangnya sel (khususnya sel ganglion retina) akibat

toksisitas etambutol menyerupai kerusakan yang diperantarai glumat.

Penelitian pada sistem saraf pusat menemukan bahwa kerusakan saraf

akibat iskemik atau traumatik diperantarai oleh kadar eksitatory asam

amino yang berlebihan, khususnya glutamat. Lucas dan Newhouse

melaporkan efek toksik glutamat pada mata golongan mamalia ,dengan

melakukan injeksi glutamat sehingga menyebabkan kerusakan yang berat

pada lapisan dalam retina . Penelitian Lipton menyatakan bahwa bentuk

predominan eksitotoksisk dari sel ganglion retina di perantarai oleh

stimulasi yang berlebihan reseptor glutamat yang dapat menimbulkan

(30)

Gambar 2: Skema Patogenesis Toksisitas Etambutol

(Kahana LM, 1990)

2.4 Manifestasi Klinis

Onset dari timbulnya gejala pada mata biasanya terlambat dan

mungkin terjadi dalam beberapa bulan setelah terapi dimulai. Meskipun

jarang, kasus toksisitas beberapa hari setelah terapi inisiasi pernah

dilaporkan, satu pasien diresepkan dengan standar dosis 15 mg/kg per

hari, dan pasien lain diresepkan 25 mg/kg per hari. Tidak ada penelitian

yang melaporkan onset timbul setelah penghentian penggunaan

etambutol ( Su-Ann lim,2006; Zafar,Aftab,2008).

Gejala klinis pada mata bervariasi pada setiap individu. Pasien

mungkin mengeluhkan pandangan kabur yang progresif pada kedua mata

atau menurunnya persepsi warna. Penglihatan sentral merupakan

merupakan gangguan yang paling sering terkena. Beberapa individu

asimtomatik dengan abnormalitas dan terdeteksi hanya saat tes

(31)

Diskromatopsia (abnormalitas persepsi warna) biasanya menjadi

tanda toksisitas yang paling awal, secara klasik ditunjukkan dengan

penurunan persepsi warna merah-hijau yang dinilai dengan kartu ishiara.

Berlawanan dengan ini, polak dkk melaporkan bahwa defek biru-kuning

adalah defek awal yang paling umum pada pasien tanpa gejala gangguan

peglihatan. Namun defek biru kuning hanya dapat dideteksi menggunakan

panel desaturasi Lantony yang jarang tersedia, bukan menggunakan

ishiara. Pada pemeriksaan funduskopi biasanya tidak ditemukan

kelainan.Untuk melihat perubahan nerve fiber layer menggunakan OCT

(Optical Coherence Tomografy). ( Zafar,Aftab,2008)

Gangguan penglihatan jarang terjadi sampai pasien berobat

selama 2 bulan. Umumnya gejala timbul antara 4 bulan sampai 1 tahun

setelah pengobatan. Efek samping dapat lebih cepat jika pasien

menderita penyakit ginjal karena berkurangnya ekskresi obat sehingga

level serum obat meningkat. Oleh karena itu dosis yang tepat pada pasien

dengan kerusakan ginjal sangatlah penting. Toksisitas obat ini tergantung

pada dosis, pasien yang menerima dosis 25 mg/kgBB/hari atau lebih

paling rentan terhadap kehilangan penglihatan. Namun, kasus gangguan

penglihatan dengan dosis yang jauh lebih rendah telah dilaporkan.

Perbaikan tajam penglihatan pada pengguna etambutol umumnya

terjadi pada periode beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah

obat dihentikan. Beberapa pasien dapat menerima etambutol hidroklorida

(32)

penglihatan. Follow up tajam penglihatan berkala tetap diperlukan pada

setiap pengguna etambutol ( Schield HS,Fox BC,1991).

2.5 Optical Coherence Tomography (OCT)

OCT adalah pemeriksaan dengan modalitas gambar resolusi tinggi

yang pada awalnya dirancang untuk menilai retina dan ketebalan RNFL

tapi dengan software yang baru dapat meningkatkan analisis terhadap

ONH. Secara umum telah dikenal mesin OCT yang dikelompokkan

menjadi 2 tipe yaitu OCT tipe Stratus (2D atau disebut Time Domain OCT)

dan OCT tipe Cirrus (3D atau Spectral/Fourier Domain OCT). (Dennis

S.L.,Yasuo T., Robert R., Srinivas K., 2008; Agustiawan R. 2011 )

Gambar 3. Stratus OCT™ Scanning time = 1.97 Sec (Dennis Yasuo

T., Robert R., Srinivas K., Glaucoma Diagnostic, 2008)

OCT dapat digunakan untuk melihat perubahan nerve fiber layer

pada pasien neuropati optik seperti pada neuropati akibat etambutol. Oleh

karena itu OCT dapat digunakan sebagai tambahan pemeriksaan objektif

(33)

2.6 Tuberkulosis Okuli

Beberapa jenis kelainan choroidal yang disebabkan oleh

tuberkolosis seperti koroiditis,abses subretina,tuberkel dan tuberkulomas.

Yellowish subretinal abses dapat terjadi nekrosis dalam granuloma

tubercular. Vitritis dan perdarahan retina sering di jumpai berhubungan

dengan abses. Progresifitas terjadi sejalan dengan waktu dimana abses

dapat rupture masuk ke vitreous dan menyebabkan endophtalmitis.

Pemberian terapi antituberkulosis yang sesuai dapat mereabsorbsi abses

dan meninggalkan skar. Tuberkel koroidal adalah putih keabuan kecil

sampai nodul kuning lebih kecil dari keempat diameter disk dan berbatas

tidak tegas. Beberapa nodul dapat dijumpai pada satu atau kedua mata.

Tuberkel dapat tumbuh lebih besar seperti massa tumor sampai 14 mm

disebut tuberkuloma khoroidal. (Shirodkar A,Albini T,Miami,2010)

Gambar 4. Fundus photography (A dan B) dan fluorescein

angiography (C dan D) pada pasien dengan riwayat

(34)

2.7 Penatalaksanaan

Pemeriksaan mata dianjurkan setiap bulan untuk pemberian

etambutol dosis 15 mg/kgBB/hari. Belum ada aturan perawatan yang

standar berapa kali pasien harus di kontrol dan di periksa pada pasien

dengan dosis besar dari 15 mg/kgBB/hari, maka di rekomendasikan

( Rick FW,Fritz FT,2009) :

1. Berikan inform consent pada pasien bahwa pemberian etambutol

dapat menyebabkan neuropati optik walaupun telah dilakukan

pemeriksaan mata regular dan hilangnya penglihatan dapat

memberat dan irreversible.

2. Lakukan pemeriksaan dasar termasuk pemeriksaan lapang

pandangan, ,penglihatan warna dan fundus dengan pupil dilatasi

untuk pemeriksaan nervus optikus dan tajam penglihatan.

3. Jika gejala penglihatan terjadi dan pasien putus obat maka harus

dilihat oleh ahli oftalmologi.

4. Dilakukan pemeriksaan setiap bulan untuk dosis lebih dari 15

mg/kgBB/hari. Meskipun demikian, pemeriksaan setiap bulan

pada pasien yang mendapat terapi dosis rendah menjadi penting

apabila mempunyai resiko tini terjadinya toksisitas :

 Diabetes mellitus

 Gagal ginjal kronik

 Peminum alkohol

 Orang tua

(35)

 Gangguan mata lain

Ethambutol -induced peripheral neuropathy

 Dosis besar dari 15 mg/kgBB/hari

Etambutol dihentikan setelah dijumpai tanda-tanda hilangnya tajam

penglihatan, penglihatan warna atau defek lapang pandangan. (Rick

FW,Fritz FT,2009)

Etambutol harus segera dihentikan ketika toksisitas okuler yang

diinduksi etambutol mulai diketahui dan pasien langsung dirujuk ke

oftalmologis untuk evaluasi lebih lanjut. Penghentian terapi merupakan

manajemen yang paling efektif yang dapat mencegah kehilangan

penglihatan yang progresif dan sekaligus untuk proses penyembuhan.

Ketika terjadi toksisitas okuler yang berat, dipertimbangkan pemberian

agen antituberkulosis lain ( Rick FW,Fritz FT,2009).

2.8 Pencegahan

Rekomendasi dari “Preventive measure against drug induced

ocular toxicity during antituberculosis treatment” [dari Annual Report

(suppl) 2002, pelayanan tuberkulosis dan paru,Departemen kesehatan

,Hongkong]

Berdasarkan informasi klinis yang berlaku ,panduan internasional

dan pengalaman dari ahli setempat ,standart berikut di rekomendasikan

untuk pencegahan dari toksisitas okular selama pengobatan anti TB :

(36)

a) Selama pelaksanaan pengobatan anti TB, pasien harus

dipertimbangkan untuk kemungkinan dan kontraindikasi dalam

penggunaan EMB. Pada keadaan tertentu dimana terjadi peningkatan

resiko toksisitas okular. Keuntungan pemakaian EMB harus

diseimbangkan dengan resikonya secara hati-hati. Ketersediaan,

kegunaan dan toksisitas dari obat-obatan alternatif perlu

diperhitungkan dalam memilih regimen pengobatan yang efektif. EMB

dapat menjadi kontraindikasi ataupun penurunan dosis menjadi

indikasi dalam beberapa keadaan:

(i) Gangguan penglihatan dasar dapat membuat pengawasan

terhadap tajam penglihatan menjadi sulit. Bagaimanapun,pada

keadaan seperti kelainan refraksi dan katarak ringan yang tidak

mempengaruhi perubahan penglihatan dengan cepa,harus

diawasi visusnya selama pengobatan EMB. EMB sebaiknya

dihindari pada pasien dengan visus yang sudah menurun dengan

signifikan.

(ii) Pasien yang sulit mengatakan atau melaporkan gejala pada

penglihatan dan perubahan dalam penglihatan, seperti pada

anak-anak atau pasien yang sulit berbicara akan mempersulit

pengawasan tajam penglihatan.

(iii) Gangguan fungsi ginjal bisa memicu perkembangan dari

toksisitas okular yang berhubungan dengan EMB. Oleh karena

itu,fungsi ginjal harus diperiksa terlebih dahulu dan selama

(37)

gangguan fungsi ginjal seperti ini telah ada pada panduan

pengobatan TB masing-masing daerah.

b) Untuk pasien yang sedang menjalankan pengobatan anti TB termasuk

EMB,pendidikan kesehatan harus diberikan pada mereka yaitu

mengenai efek samping obat dan harus sangat berhati-hati terhadap

efek samping yang potensial yang dapat terjadi selama pengobatan.

Pasien harus diingatkan apabila gejala penglihatan bertambah,obat

harus dihentikan dan mereka harus segera melaporkannya pada staf

kesehatan. Anjuran pada pasien seharusnaya dicatat pada laporan

medis pasien tersebut. Pada kasus dimana perlu diberikannya EMB

pada anak-anak atau pasien yang kesulitan berbicara, peringatan yang

sama juga harus diberitahukan pada orangtua atau anggota keluarga

yang lain. Instruksi yang tertulis akan berguna di kemudian hari.

c) Pemeriksaan visus dasar yaitu tajam penglihatan dan persepsi warna

merah hijau (menggunakan snellen chart & kartu ishihara) harus

dilakukan sebelum terapi pengobatan dimulai. Ada kontroversial

tentang pemeriksaan visus apakah perlu diberikan hanya untuk pasien

yang memiliki faktor resiko, terutama pada pasien yang menggunakan

dosis tinggi (25 mg/kgBB/hari) atau pada pasien yang pengobatan

diperpanjang.

d) Pasien dengan fungsi ginjal yang normal, dosis EMB yang dianjurkan

adalah 15 mg/kgBB/hari diluar dari pengobatan TB. Bagaimanapun

,dosis yang lebih tinggi dari 25 mg/kgBB/hari dipertimbangkan pada

(38)

resisten terhadap obat TB dan pasien dengan pengobatan berulang.

Dosis yang tinggi ini tidak boleh diberikan lebih dari 2 bulan . Berat

badan ideal harus dihitung pada pasien obesitas.

e) Selama konsultasi medikal pada pasien yang menjalani pengobatan

anti TB termasuk EMB, mereka harus menjelaskan gangguan

penglihatan yang mereka alami, dianjurkan dilakukan setiap bulannya.

f) Directly Observed Treatment (DOT) memungkinkan staf kesehatan

bisa mengawasi perkembangan gejala pasien.

g) Pasien yang menjalani dugaan toksisitas okular oleh karena obat

harus diperiksa dengan pemeriksaan tajam penglihatan (menggunakan

kartu snellen atau kartu ishihara). Pada penderita yang toksik, EMB

harus dihentikan dan pasien dirujuk pada ahli mata untuk pengobatan

lebih lanjut. Pemeriksaan ophtalmologi lebih lanjut seperti pemeriksaan

funduskopi, tajam penglihatan, pemeriksaan lapang pandangan

(perimetri) dan persepsi warna. Bila gangguan visus terjadi oleh karena

alasan lain seperti katarak. EMB dapat dilanjutkan dengan

mempertimbangkan kegunaan dan prokontra obat alternatif. Bila

gangguan penglihatan terjadi karena berhubungan dengan

pengobatan anti TB maka EMB harus dipertimbangkan. Pada kasus

demikian, perencanaan pengobatan yang baru perlu dibuat lagi untuk

menghilangkan faktor resiko misalnya pemeriksaan fungsi ginjal untuk

(39)

h) Jika terjadi neuritis optikus ,maka harus dihentikan. Piridoxine dosis

tinggi (50-100 mg/hari) dipertimbangkan terutama untuk pasien dengan

faktor resiko seperti malnutrisi ,alkoholik dan pasien usia lanjut.

2.9 Kerangka Konsep

2.10 Defenisi Operasional

• Tuberkulosis paru (TB) adalah penyakit menular kronis yang di

sebabkan oleh kuman mycobacterium tuberkulosis.

• Etambutol adalah obat anti tuberkulosis

• Snellen Chart adalah alat pemeriksa tajam penglihatan

• Kartu Ishiara adalah alat pemeriksa buta warna.

(40)

• Fansworth munsell test adalah alat pemeriksa gangguan persepsi

warna.

• Tajam penglihatan adalah fungsi penglihatan setiap mata

• Gangguan persepsi warna adalah tidak bisa membedakan warna

pada pembacaan kartu ishiara dan Farnsworth munsell 28 hue test

(merah ,hijau, biru).

Rnfl thickness adalah ketebalan dari lapisan saraf retina

• Optik Neuritis adalah peradangan pada saraf optic

(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian adalah kuasi experimental dengan rancangan

perlakuan tunggal one group pre and post test design.Kuasi experimental

dimaksudkan adalah terhadap subjek yang di teliti tidak dilakukan random

tetapi berdasarkan kriteria klinis.

3.2 Tempat dan Waktu

3.2.1 Tempat

Penelitian ini dilakukan di poliklinik mata dan paru RSUP.H.Adam

Malik Medan.

3.2.2 Waktu

Waktu penelitian dimulai bulan april 2012 sampai sampel terpenuhi

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah semua pasien yang berobat ke poliklinik

mata dan paru di RS.H. Adam Malik Medan.

Sampel penelitian adalah semua pasien tuberkulosis yang akan

(42)

3.4 Besar Sampel

� ≥ (�������+�������)2

(�� − ��)2

Dimana :

n : jumlah sampel

Zα : deviat baku alfa untuk α =0,05,Zα=1,96

Zβ : deviat baku beta untuk β=0,10, Zβ= 1,282

Po : proporsi kelainan mata akibat etambutol = 0,1

Qo : 1-Po = 0,99

(10)

Po-Pa : besar proporsi yang bermakna,ditetapkan sebesar

0,10

Pa : perkiraan proporsi kelainan mata karena etambutol

yang diteliti 0,11

Jadi :

� ≥(1,96�(0,01)(0,99) + 1,282(0,10)2 √(0,11)(0,89)2

� ≥20,67→21 �����

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.5.1 Kriteria Inklusi

• Semua pasien tuberkulosis yang akan mendapat terapi etambutol.

• Pasien yang bersedia di lakukan pemeriksaan

3.5.2 Kriteria Eksklusi

(43)

• Pasien dengan buta warna.

• Pasien tuberkulosis dengan keadaan umum lemah

• Pasien tuberkulosis yang tidak bersedia di lakukan pemeriksaan

3.6 Identifikasi Variabel

• Variabel dependent

- Pasien TB yang mengunakan etambutol

• Variabel Independent

- Gangguan Visus

- Gangguan persepsi warna

- Retinal nerve fiber layer thickness

3.7 Cara Kerja

Sebelum pemeriksaan dilakukan pengisian data pasien yang berisi

data demografik, data keluhan subjektif, konsumsi tablet perhari dan

durasi penggunaan etambutol. Dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan,

tonometri nonkontak, segmen anterior dengan slitlamp dan posterior

dengan oftalmoskop direk. Pemeriksaan persepsi warna dengan ishiara

dan Farnsworth munsell 28 hue test dan retinal nerve fiber layer dengan

OCT

Farnsworth Munsell 28 hue test

Pemeriksaan persepsi warna dilakukan dengan Ishihara dan

Farnsworth Munsell 28 hue test, dengan menggunakan alat Farnsworth

(44)

pemeriksaan Ishihara subjek diminta membaca tiap plate dan setiap

kesalahan dicatat dan dinilai apakah ada kelainan persepsi warna

kongenital. Subjek yang dinilai menderita kelainan persepsi warna

kongenital langsung dieksklusi dan tidak dilakukan pemeriksaan FM 28

hue test.

Prosedur pemeriksaan Farnsworth munsell roth 28 hue test dimulai

dengan subjek diperlihatkan susunan cap warna yang normal di kotak

pemeriksaan. Peneliti mengacak susunan cap tersebut diluar kotak,

kemudian subjek diminta menyusun kembali 28 cap warna secara

berurutan yang dimulai dari reference cap di dalam kotak. Setelah selesai,

cap-cap tersebut dibalik dan urutan cap dicatat berdasarkan angka yang

ada dibawah cap. Bila terdapat kesalahan pemeriksaan diulang sampai 3

kali untuk masing-masing mata.

Optical Coherence Tomografy (OCT)

Untuk pemeriksaan nerve fiber layer dilakukan pemeriksaan stratus

OCT (Optical Coherence Tomografy)

Tehnik pemeriksaan di lakukan dengan cara:

• Posisikan tubuh pasien dengan tinggi mejanya sehinga pasien merasa

nyaman,kemudian instruksikan pasien untuk meletakkan dagu di salah

satu bagian kanan atau kiri,pastikan bahu dagu pasien menempel

pada 2 sensor (berwarna hitam) dan dahi pasien menempel pada chin

rest. Komputer akan otomatis mengenali mata kanan atau kiri yang

(45)

• Setelah pasien merasa nyaman instruksikan untuk melihat ke tengah

dan posisikan pupil mata supaya berada di tengah dengan menekan

tombol mouse sehingga pupil tepat berada di tengah layar. Kemudian

instruksikan pasien untuk melihat ke dalam dan fokus di tengah melihat

tanda silang hijau.

• Setelah pupil tepat berada di tengah tekan tombol chinrest ke kiri atau

ke kanan sehingga gambar pupil terlihat fokus.

• Setelah semua parameter pemeriksaan tepat maka pastikan pasien

tetap fokus pada titik fiksasi.

Gambar 4. Hasil Cetakan Fast Retinal Nerve Fiber Layer (RNFL)

dengan Meggunakan Stratus OCT

Pemeriksaan dilakukan sebelum pemakaian etambutol dan setelah

(46)

snellen chart,slit lamp,kartu ishiara,Farnsworth munsell 28 hue

test,funduskopi dan OCT. Lalu dicatat perubahan tajam penglihatan,

penglihatan warna dan perubahan rnfl thickness akibat pengaruh

pemakaian etambutol. Kemudian hasil di catat sebagai data penelitian

untuk diolah sebagai hasil penelitian.

3.8 Alat dan Bahan

• Kertas

• Pulpen

• Snellen chart

• Trial lens

• Slit lamp

• Kartu Ishiara

• Farnsworth munsell 28 hue test

• Funduskopi direk

• OCT

• Tropicamide 1%

3.9 Analisa Data

Analisa data di sajikan dalam bentuk tabulasi data. Analisis statistik

dilakukan dengan menggunakan program komputer dengan program

SPSS versi 17. Untuk pembandingan data parametrik dilakukan uji T dan

(47)

3.10 Pertimbangan Etika

Usulan penelitian ini terlebih dahulu disetujui oleh rapat bagian Ilmu

Kesehatan Mata FK-USU/RSUP.H. Adam Malik Medan.Penelitian ini

kemudian diajukan untuk di setujui oleh rapat komite etika PPKRM

Fakultas Kedokteran USU.

3.11 Lama Penelitian

Bulan/minggu April

2012

Mei-November

2012 Januari 2013

1 2 1 2 3 4 1 2 3 4

Usulan Penelitian

Penelitian

Penyusunan

Laporan

Presentasi

3.12 Personal Penelitian

Penelitian : dr. Syarifah Yusriani

3.13 Biaya Penelitian

(48)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di RSUP H.Adam Malik Medan dalam kurun

waktu Mei sampai desember 2012. Dari 23 subjek penelitian di dapatkan

46 mata. Data yang ditampilkan dalam tulisan ini merupakan data dari 23

subjek dan 46 mata. Berdasarkan subjek penelitian diperoleh data dasar

yang ditampilkan dalam bentuk tabulasi.

Tabel 4.1. Karakteristik Jenis Kelamin Subjek Penelitian

Jenis Kelamin Frekuensi %

Laki-laki 12 52,2

Perempuan 11 47,8

Total 23 100,0

Dari subjek penelitian didapatkan jumlah laki-laki sebanyak 12(52,2%) dan

perempuan 11 (47,8%).

Tabel 4.2. Karakteristik Kelompok Umur Subjek Penelitian

Umur (tahun) Frekuensi %

≤ 20 2 8,7 21 - 40 13 56,5

>40 8 34,8

Total 23 100,0

Data mengenai umur pasien menunjukkan bahwa pasien yang berumur

21-40 (56,5 %) berjumlah relatif lebih banyak dibandingkan kelompok

(49)

tahun mempunyai jumlah 8 (34,8%)subjek, diikuti oleh kelompok umur ≤

20 tahun berjumlah 2 (8,7%) subjek.

Tabel 4.3. Karakteristik Suku Bangsa Subjek Penelitian

Suku Frekuensi %

Melayu 1 4,3

Jawa 7 30,4

Mandailing 3 13,1

Batak 9 39,1

Karo 3 13,1

Total 23 100,0

Subjek penelitian berasal dari berbagai suku bangsa dimana dari 23

subjek tersebut suku yang relatif lebih banyak adalah suku Batak 9

(39,1%) subjek, diikuti suku Jawa 7 (30,4%) subjek, pada suku mandailing

dan Karo dijumpai jumlah yang sama masing-masing 3 (14,0%) subjek,

suku Melayu 1 (4,3%) subjek.

Tabel 4.4. Karakteristik Pendidikan Terakhir Subjek Penelitian

Pendidikan Frekuensi %

SLTP 3 13,1

SLTA 13 56,5

Sarjana 7 30,4

Total 23 100,0

Data mengenai tingkat pendidikan subjek penelitian menunjukkan bahwa

rata-rata berpendidikan SLTA 13 (56,5%) subjek. Diikuti tingkat sarjana 7

(50)

Tabel 4.5. Karakteristik Kategori Tuberkulosis

Kategori Frekuensi %

Kategori 1 20 87,0 Kategori 2 3 13,0

Total 23 100

Dari data penelitian berdasarkan kategori dari tuberkulosis dijumpai pada

kategori 1 dengan jumlah 20 (87,0%) subjek dan pada kategori 2

berjumlah 3 (13,0%) subjek.

Tabel 4.6. Hasil Uji Beda Proporsi Visus Sebelum dan Sesudah

Diberikan Terapi Etambutol

- Ranking Negatif adalah visus sebelumnya (5/5)

menjadi (5/4), dalam penelitian ini (5/4) tidak

disertakan.

- Ranking Positif adalah visus sebelumya (5/5) berubah

menjadi (5/6); (5/8) dan (5/10).

- Ties artinya tidak terjadi perubahan sebelum (5/5) dan

(51)

Tabel 4.7. Hasil Uji Beda Proporsi Persepsi Warna Sebelum dan

- Ranking Negatif adalah persepsi warna normal .

- Ranking Positif adalah persepsi warna normal dan

berubah menjadi tritanomali.

- Ties artinya tidak terjadi perubahan sebelum normal

(52)

Tabel 4.8. Hasil Uji Beda RNFL Thickness dengan OCT Sebelum

dan Sesudah Diberikan Terapi Etambutol

OCT

(kuadrant)

Etambutol P

Sebelum Sesudah

Mean ±SD Mean ±SD

Superior 129.26 ±19,719 125.43±17.032 0.119

Inferior 131.13±28.946 125.52±25.968 0.010

Temporal 76.09±24.070 77.78±25.232 0.014

Nasal 97.96±37.085 90.26±37.456 0.229

Average 108.43±12.940 104.70±12.629 0.000

Dari pemeriksaan RNFL thickness dengan stratus OCT didapat penurunan

pada 3 kuadran superior (129.26±19.719 menjadi 125.43±17.032), inferior

(131.13±28.946 menjadi 125.52±25.968) dan nasal (97.9637±37.085

menjadi 90.26±37.456) dan sedikit peningkatan pada kuadran temporal

(76.09±24.070 menjadi 77.78±25.232). Uji yang di gunakan untuk melihat

perubahan RNFL thickness sebelum dan sesudah pemakaian etambutol

(53)

BAB V

PEMBAHASAN

Pada tabel 5.1 didapatkan subjek penelitian yang berjumlah 23

pasien tuberkulosis hampir sama antara pasien laki-laki dan perempuan

dimana jumlah laki-laki sebanyak 12 (52,2%) dan perempuan 11 (47,8%).

Pada tabel 5.2 didapatkan jumlah frekuensi data dari

masing-masing umur subjek menunjukkan bahwa pasien yang berumur 21-40

(56,5%) berjumlah relatif lebih banyak yaitu 13 (56,5%) subjek. Kelompok

umur >40 tahun mempunyai jumlah 8 (34,8%) subjek, diikuti oleh

kelompok umur ≤ 20 tahun berjumlah 2 (8,7%) subjek.

Terdapat variasi suku dari subjek penelitian yang diperiksa juga

berbagai tingkat pendidikan. Dari tabel 5.3 dijumpai suku terbanyak suku

Batak 9 (39,1%) subjek, diikuti suku Jawa 7 (30,4%) subjek, suku

mandailing dan Karo d masing-masing 3 (14,0%) subjek, suku Melayu 1

(4,3%) subjek.

Dari tabel 5.4 di dapatkan pendidikan terakhir SLTA 13 (56,5%)

subjek. Diikuti sarjana 7 (30,4%) subjek, dan SLTP 3(13,1%) subjek. Data

ini dapat digunakan untuk menggambarkan variasi subjek yang mengikuti

penelitian dan menunjukkan heterogenitas populasi penelitian.

Dari data penelitian pada tabel 5.5 berdasarkan kategori dari

tuberkulosis dijumpai pada kategori 1 dengan jumlah 20 (87,0%) subjek

(54)

Pada tabel 5.6 didapatkan perbedaan visus sebelum dan setelah

mendapat terapi etambutol secara statistik signifikan.Dimana sebelum

terapi visus 46 mata adalah 5/5 dan setelah mendapat etambutol 8 mata

mempunyai visus 5/6,5/8 dan 5/10. Himal K melaporkan visus sebelum

terapi 0.00±0.08 Log-MAR dan setelah terapi 0.08±0.18 Log-MAR

(Himal K,2007).

Penelitian-penelitian sebelumnya melaporkan diskromatopsia dapat

menjadi tanda awal toksisitas etambutol .Pada tabel 5.7 di jumpai hasil

penelitian ini, dari 23 subjek 46 mata didapatkan 4 mata yang mengalami

perubahan sebelum dan sesudah pemakaian etambutol. Choi melaporkan

gejala awal diskromatopsia pada 2 dari 13 pasien neuropati optic

etambutol ( Choy SY,Hwang JM, 2007).

Diskromatopsia yang ditemukan pada penelitian ini adalah efek biru

kuning (tritanomali) dan secara statistik tidak signifikan dijumpai adanya

perbedaan sebelum dan sesudah terapi etambutol . Kaimbo melaporkan

hasil penelitian tes persepsi warna pada pengguna etambutol dengan FM

15 didapat 3 (7%) dari 42 subjek yang mengalami tritanomali (Kaimbo

KW,Bifuko ZA,2002).

Dari penelitian ini pada tabel 5.8 didapatkan hasil pemeriksaan

RNFL thickness menggunakan OCT menunjukkan penurunan pada RNFL

pada 3 kuadran,dan sedikit peningkatan pada kuadran temporal.Pada

kuadran superior sebelum terapi 129.26±19,719 dan setelah terapi

125.43±17.032.Pada kuadran inferior sebelum 131.13±28.946 dan setelah

(55)

setelah terapi 90.26±37.456. Sedangkan pada kuadran temporal

didapatkan sebelum terapi 76.09±24.070 dan setelah terapi 90.26±37.456.

Pada penelitian terhadap pasien normal didapatkan pada kuadran

superior 133,46±16,71,kuadran inferior 143,59±19,89,nasal 87,57±16,85

dan temporal 79,79±13,03.

Walaupun tidak signifikan secara statistik,pasien dengan penebalan

RNFL temporal yang berhubungan ditunjukkan dengan adanya

pembengkakan ringan dari “bundle papilomakular”. Jika pada stadium

akhir dari neuropati optik etambutol bundle papilomakular mengalami

kerusakan secara primer. Penemuan ini dapat dijelaskan melalui efek dari

etambutol dimana meningkatkan level glutamate pada sel, selain

menurunkan level kalsium di sitoplasma dan peningkatan kalsium di

mitokondria dimana terjadi ketidakseimbangan kerusakan potensial

(56)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Dijumpai penurunan visus sebelum dan sesudah terapi etambutol.

2. Pada pemeriksaan segmen anterior dan pemeriksaan funduskopi tidak

dijumpai adanya perubahan sebelum dan sesudah mendapat terapi

etambutol.

3. Tidak dijumpai adanya perbedaan dari pemeriksaan persepsi warna

sebelum dan sesudah terapi etambutol .

4. Pengukuran objektif dari penebalan RNFL menunjukkan perbedaan

pada kuadran superior,inferior dan nasal terjadi penurunan dan

sedikit peningkatan pada kuadrann temporal antara pasien sebelum

dan sesudah mendapat terapi etambutol pada pasien tuberkulosis.

5. Penelitian dengan jumlah subjek yang lebih besar dan dalam kurun

waktu yang lebih lama diperlukan untuk memastikan hasil penelitian

ini.

6.2 Saran

1. Diharapkan setiap pasien tuberkulosis mendapatkan penjelasan dari

dokter mengenai kemungkinan kelainan mata yang dapat terjadi akibat

(57)

2. Pemeriksaan “follow up” berkelanjutan dari OCT dapat membantu

melihat perubahan ketebalan RNFL setelah melakukan pemeriksaan

visus,funduskopi dan persepsi warna.

3. Perlu penelitian lebih lanjut secara prospektif dan uji klinis untuk

(58)

DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society .2000. Diagnostic Standarts and Classification

of tuberculosis in adults and children.Am J.Respir Care Med

;161;1376–95

Aditama TY, Kamso S, Basri C, Surya A. Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis. 2 ed. Jakarta: Departemen

Kesehatan Republik Indonesia; 2007

Carrs RE,Henkind P.1962.Ocular manifestasi of ethambutol:toxic

ambliopia after administration of an experimental antituberculous

drug .Arch Ophtalmol :67:50-5

Chai SJ,Foroozan R,2007,Decrease retinal nerve fibre layer thickness

detected by optical coherence tomography in patient with

etambutol-induced optic neuropathy,Br J Ophtalmol;91;895-7

Choi SY,Hwang JM.1997. Optic neuropathy associated with ethambutol in

Korean. Korean J Ophtalmol:vol 11:106-110

Chatterjee VKK,Buchanon DR,Friedman AL,Green M.1986. Ocular

Toxicity Following Ethambutol in standart dosage.Br J Dis Chest

:80;280-91

Chung et all,2009.Ethambutol- Induced Toxicity is mediated by zinc and

lysosomal membrane permeabilization in cultured retinal cells;235

(2):163-70

Dennis Yasuo T., Robert R., Srinivas K., Glaucoma Diagnostic, 2008

Donald L et all,2007.Determinant of normal retinal nerve fiber layer

thickness measured by stratus OCT.American academy of

ophthalmology,Elsevier inc.1046-52.

Himal K,2007,Visual function in patients on etambutol therapy for

tuberculosis.

Kaimbo KW,Bifuko ZA,Longo MB,Draslans L,Missoten.2002 L.Color

visison 42 Colongese Patient with tuberculosis Receiving Etambutol

(59)

Katzung Betram G.1997.Obat-obatan anti mikrobal. In : Farmakologi

Dasar dan Klinik .6th

Kwok A.2006.Ocular Toxicity of Ethambutol..The Hongkong Medical

Diary;2(vol 11.no11):27-29.

ed,.EGC.Jakarta

Noche RR.Nicolas MG et all.1987.A study of the evaluation of optic

neuritis caused of ethambutol in rabbit.PJMID:17(2):42-6.

Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis . Department Kesehatan

Republik Indonesia ; Jakarta ;2005;13-53

Pharmaceuical care untuk penyakit tuberculosis ,2005, Direktorat Bina

farmasi Komunitas dan klinik Departement kesehatan RI.

Peng KS.2005.The effect of anty tuberculosis drugs on the visual function

of patient in quenn Elizabeth hospital kotu

kinabalu,Sabah.Dissertation Faculty of medicine university

kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur.

Preventive Measure Against drug –induced Ocular toxicity during anti –

tuberculosis treatment,TB end Chest service.Department of

halth,Hongkong,2002.

Rick FW,Fritz FT.2009.Drug –Related adverse effect of clinical importance

to the ophthalmologist,American Academy of Ophtalmology.Available

from.

Su-Ann lim.2006. Ethambutol associated optic neuropathy. Ann Acad

Med. Singapore:35:274-8

Schield HS,Fox BC.1991.Rapid-onset reversible ocular toxicity from

ethambutol therapy.Am J Med ;90:404-6

Sivakumaran P.Harrison AC,Marschener J,MartinP;1998 Ocular toxicity

from ethambutol; a review of 4 cases and recommended precaution

,NZ Med J ;111:428-30

Shirodkar A,Albini T,Miami,2010,Tuberculosis: Intraocular

involvement,2010, Bascom Palmer Eye Institute.

Yiannikas C,Walsh JC.Mcleod JG.1983.Visual evoked potential in the

detection of subclinical optic toxic effects secondary to

(60)

Zafar,Aftab.Toxic/Nutritional optic neuropathy.2008.Available from

Zoumalan CI,Agarwal M,sadun AA,2005,Optical coherence

etambutol-induced optic neuropty,Graefes Arch Clin Exp Ophtalmol;243;410-6

Zubaidi Y,1995.Tuberkulostic & Leprostatik.in Farmakologi &

(61)

44

Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Selamat pagi/siang Bapak/Ibu, pada hari ini, saya dr. Syarifah

Yusriani akan melakukan penelitian yang berjudul “Perbedaan retinal

nerve fiber layer thickness sebelum dan sesudah pemakaian etambutol

pada pasien tuberkulosis di RS.H.Adam Malik Medan”. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan retinal nerve fiber

layer thickness sebelum dan sesudah pemakaian etambutol pada pasien

tuberkulosis di RS.H.Adam Malik Medan. Adapun manfaat penelitian ini

diharapkan adanya kerjasama dari bagian paru dan mata untuk skrining

kelainan mata akibat pemakaian etambutol sehingga dapat mencegah

terjadinya komplikasi lebih lanjut.

Pada Bapak/Ibu yang bersedia mengikuti penelitian ini secara suka rela

nantinya akan diharuskan mengisi surat persetujuan ikut dalam penelitian,

mengikuti wawancara, dan bersedia untuk diperiksa matanya. Pemerikasaan

yang dilakukan adalah pemeriksaan tajam penglihatan, pemeriksaan buta warna,

funduskopi dan OCT ( untuk melihat kelainan saraf mata). Sebelum dilakukan

pemeriksaan funduskopi dan OCT ,anak mata (pupil) pasien dilebarkan dengan

tetes mata akibatnya penglihatan menjadi kabur dan silau untuk sementara

sekitar 4 jam setelah ditetes dan normal kembali. Pemeriksaan ini dilakukan ± 3

jam.

Segala biaya pemeriksaan dan penyediaaan obat menjadi tanggung

jawab peneliti. Bila masih terdapat pertanyaan, maka Bapak/Ibu dapat

menghubungi saya :

Nama : dr. Syarifah Yusriani

Alamat : TASBI blok I ni 66 Medan.

Telepon/ HP : 08126505087

Gambar

Tabel 2.2 Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 2
Gambar 1 :Struktur Kimia Etambutol (Katzung Betram G, 1997)
Gambar 2: Skema Patogenesis Toksisitas Etambutol
Gambar 3.  Stratus OCT™ Scanning time = 1.97 Sec (Dennis Yasuo T., Robert R., Srinivas K., Glaucoma Diagnostic, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karena tidak bisa dilihat oleh

Pedoman angket merupakan suatu alat untuk membantu dan memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data. Alat bantu yang dimaksud adalah pernyataan maupun pertanyaan yang

I Gusti Putu Sudiarta, Pengaruh Model Pembelajaran Ikrar Berorientasi Kearifan Lokal Dan Kecerdasan Logis Matematis Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika, jurnal,

Hasil Analisis Hubungan Antara Sikap Petani terhadap Program Bantuan Sarana Produksi Padi dengan Produktivitas dan Pendapatan

1. Ada pengaruh yang signifikan antara kecerdasan logis matematis dengan hasil belajar matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Bakung Blitar. Ada pengaruh yang

Jadi guest disediakan untuk user yang ingin melihat- lihat course yang tersedia pada suatu situs sehingga dapat menentukan apakah course tersebut sesuai

Gambar Alat – alat yang digunakan selama Proses Penetapan Kadar Logam Kadmium (Cd) Secara Spektrofotometri Serapan Atom..

Pengaruh Kecerdasan Logis Matematis dan Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar Matematika .... Materi Bangun Ruang Sisi Datar