• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Antara Komunikasi Orangtua-Remaja dan Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Putri di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang Riau Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Antara Komunikasi Orangtua-Remaja dan Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Putri di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang Riau Tahun 2013"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH ANTARA KOMUNIKASI ORANGTUA - REMAJA DAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SEKS PRANIKAH

PADA REMAJA PUTRI DI SMPN DAN MTSN KECAMATAN TAMBANG RIAU

TAHUN 2013 TESIS

Oleh:

RINI HARIANI RATIH 117032235/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KSEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ABSTRAK

Perilaku berpacaran remaja saat ini telah mengalami pergeseran dari cara berpacaran pada zaman dahulu. Remaja sekarang dalam berpacaran lebih permisif dan menganggap apa yang dahulu dianggap tidak boleh dilakukan sekarang dianggap sesuatu yang wajar. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya perilaku seks pranikah, faktor keluarga terutama komunikasi orangtua–remaja dan pengaruh teman sebaya, telah diidentifikasi sebagai pengaruh yang sangat penting dalam membentuk sikap dan perilaku seks pranikah pada remaja.

Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan desain cross sectional yang bertujuan menjelaskan faktor pendukung yang mempengaruhi perilaku seks pranikah pada remaja putri yaitu komunikasi orangtua-remaja dan teman sebaya. Penelitian dilaksanakan di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang dengan populasi 295 orang dan sampel 192 orang.

Uji regresi logistik ganda menunjukkan bahwa hanya 4 variabel yang signifikan yaitu aspek keterbukaan (p=0,002), aspek kepositifan (p=0,001), aspek empati (p=0,001), dan konformitas (p=0,001). Hasil penelitian kualitatif terhadap 2 remaja yang mengaku pernah berhubungan seksual dengan pacarnya ternyata komunikasi orangtua dan teman sebaya terhadap perilaku seksual pranikah dikategorikan tidak baik.

Diharapkan kepada Institusi pendidikan, yaitu para pendidik di sekolah, hendaknya mengadakan pertemuan dengan komite sekolah atau kerjasama lintas sektoral dengan pihak dinas pendidikan untuk mendiskusikan masalah seksualitas dan keterampilan komunikasi orangtua-remaja, konseling kesehatan reproduksi remaja untuk orangtua remaja.

(3)

ABSTRACT

Current dating behavior of teenagers has changed from that previously practiced. At present, the teenagers are more permissive in dating and think that what was taboo and must not do before is something common now. There are many factors causing the premarital sexual behavior. Family factor especially the teenager-parents communication and the influence of peers have been identified as the most important influence in forming the premarital sexual behavior and attitude in the teenagers.

The purpose of this analytical survey study with cross-sectional design was to explain the supporting factor such as the teenager-parents communication and the influence of peers influencing the forming of premarital sexual behavior in the female teenagers. The population of this study conducted at SMPN (State Junior High School) and MTSN (State Religious Junior High School) in Tambang Subdistrict was 295 female teenagers and 192.

The result of multiple logistic regression tests showed that only 4 (four) variables such as aspect of transparency (p = 0.002), aspect of positiveness (p = 0.001), aspect of emphaty (p = 0.001), and conformity (p = 0.001) had significant influence. The result of qualitative study on 2 (two) teenagers who admitted that they have had sexual intercourse with their boyfriends showed that their communication with their parents and peers in terms of premarital sexual behavior is in poor category.

Educational institution in terms of its teachers are expected to have a meeting with the school committee or to implement inter-sectoral cooperation with the officials of local educational service to discuss the sexual problems and praktice teenager-parents Comunication, adolescent reproductive health counseling for teenager parents.

(4)

KATA PENGANTAR

Puju dan syukur panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala Rahmat dan KaruniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “ Pengaruh Antara Komunikasi Orangtua-Remaja dan Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Putri di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang Riau Tahun 2013.”

Penulis menyadari ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih yang tidak terhingga kepada Pembimbing yaitu: Drs. Heru Santosa, MS, PhD, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Drs. Tukiman, MKM, selaku Pembimbing kedua, yang penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, hingga selesainya Tesis ini, kemudian penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DMT&H, M.Sc, (CTM), Sp. A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(5)

5. Seluruh staf pengajar Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.

6. Keluarga tercinta yang selalu memberikan motivasi, dukungan dan do’a pada penulis dalam penyusunan tesis ini.

7. Seluruh teman-teman satu angkatan yang telah menyumbangkan masukan dan saran serta kritikan untuk kesempurnaan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang mendukung sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis menyerahkan semua kepada Allah SWT untuk memohon Ridho-Nya, semoga tesis penelitian ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan kesehatan.

Medan, 08 Juli 2013 Penulis

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Rini Hariani Ratih dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 18 Juli 1987 dan anak dari pasangan Ramli dan Nurhayati S.Pd.

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I . PENDAHULUAN ... 1

2.1.4. Jaringan Lingkungan yang Memengaruhi Perkembangan Remaja ... 18

2.2. Perilaku Seks Pranikah ... 19

2.2.1. Defenisi Perilaku ... 19

2.2.2. Faktor yang Memengaruhi Perilaku ... 20

2.2.3. Bentuk Perilaku ... 21

2.2.4. Domain Perilaku ... 22

2.2.5. Defenisi Perilaku Seks Pranikah ... 26

2.2.6. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Seks Pranikah .. 29

2.2.7. Alasan Remaja Berilaku Seks Pranikah ... 31

2.2.8. Dampak Perilaku Seksual Pranikah ... 35

2.3. Komunikasi Orangtua-Remaja ... 38

2.3.1. Defenisi Komunikasi ... 38

2.3.2. Tujuan Komunikasi ... 41

2.3.3. Unsur-unsur Komunikasi ... 41

2.3.4. Manfaat Komunikasi ... 43

2.3.5. Aspek-aspek Komunikasi ... 44

(8)

2.3.7. Keterampilan (skills) dalam Berkomunikasi dengan

Remaja ... 46

2.3.8. Hambatan terhadap Komunikasi Seksualitas Orangtua- Remaja ... 51

2.4. Teman Sebaya ... 52

2.4.1. Defenisi Teman Sebaya ... 52

2.4.2. Perubahan Perkembangan di Masa Berteman ... 54

2.4.3. Pengaruh Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Pranikah 56

2.5. Landasan Teori ... 60

2.6. Kerangka Konsep ... 62

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ... 63

3.1. Jenis Penelitian ... 63

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 63

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 63

3.2.2. Waktu Penelitian ... 64

3.3. Populasi dan Sampel ... 64

3.3.1. Populasi ... 64

3.3.2. Sampel ... 64

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 66

3.4.1. Data Primer ... 66

3.4.2. Data Sekunder ... 66

3.5. Variabel dan Defenisi Operasional ... 67

3.5.1. Variabel ... 67

3.5.2. Defenisi Operasional ... 67

3.6. Skala Pengukuran ... 69

3.6.1. Pengukuran Variabel Bebas (Independen) ... 69

3.6.2. Pengukuran Variabel Terikat (Dependen) ... 71

3.7. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 72

3.8. Metode Analisis Data ... 73

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 75

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 75

4.1.1. Data Geografi Wilayah Penelitian ... 75

4.1.2. Data Demografi Wilayah Penelitian ... 76

4.1.3. Budaya Kecamatan Tambang yang Memengaruhi Seks Pranikah ... 77

4.1.4. Geografi Kecamatan Tambang yang Memengaruhi Seks Pranikah ... 78

4.1.5. Pendidikan Orangtua Remaja Putri yang Memengaruhi Seks Pranikah ... 79

(9)

4.2.1. Latar Belakang Responden ... 80

4.3.1. Pengaruh Komunikasi Orangtua-Remaja terhadap Perilaku Seks Pranikah ... 95

4.3.2. Pengaruh Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Pranikah .. 97

4.4. Analisis Multivariat ... 99

BAB 5. PEMBAHASAN ... 101

5.1. Perilaku Seks Pranikah Remaja Putri ... 101

5.2. Pengaruh Komunikasi Orangtua-Remaja terhadap Perilaku Seks Pranikah Remaja Putri ... 106

5.3. Pengaruh Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Pranikah Remaja Putri ... 121

5.3.1. Pengaruh Konformitas terhadap Perilaku Seks Pranikah Remaja Putri di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang .... 122

(10)

5.4. Pembahasan Tentang Budaya, Geografi, dan Pendidikan Orangtua

di Kecamatan Tambang Mengenai Perilaku Seks Pranikah ... 127

5.5. Keterbatasan Penelitian ... 129

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 131

6.1. Kesimpulan ... 131

6.2. Saran ... 132

(11)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman 3.1. Jumlah Sampel di Setiap Sekolah ... 65 3.2. Kisi-kisi Pernyataan Komunikasi Orangtua – Remaja ... 70 3.3. Kisi-kisi Pernyataan Teman Sebaya ... 70 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Latar Belakang di SMPN dan MTSN

Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 81 4.2. Distrubusi Jawaban Responden tentang Aspek Keterbukaan di SMPN

dan MTSN Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 83 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Aspek Keterbukaan di SMPN

dan MTSN Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 84 4.4. Distrubusi Jawaban Responden tentang Aspek Dukungan di SMPN

dan MTSN Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 84 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Aspek Dukungan di SMPN

dan MTSN Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 85 4.6. Distrubusi Jawaban Responden tentang Aspek Kepositifan di SMPN

dan MTSN Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 85 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Aspek Kepositifan di SMPN

dan MTSN Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 86 4.8. Distrubusi Jawaban Responden tentang Aspek Empati di SMPN

dan MTSN Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 86 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Aspek Empati di SMPN

dan MTSN Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 87 4.10. Distrubusi Jawaban Responden tentang Aspek Kesamaan di SMPN

dan MTSN Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 87 4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Aspek Kesamaan di SMPN

(12)

4.12. Distribusi Jawaban Responden tentang Konformitas di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 89 4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Konformitas di SMPN dan

MTSN Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 89 4.14. Distribusi Jawaban Responden tentang Adaptasi di SMPN dan MTSN

Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 91 4.15. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Adaptasi di SMPN dan

MTSN Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 91 4.16. Distribusi Jawaban Responden tentang Perilaku Seks Pranikah di SMPN

Dan MTSN Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 93 4.17. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Perilaku Seks Pranikah di

SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang Tahun 2013 ... 94 4.18. Tabulasi Silang Pengaruh Komunikasi Orangtua-Remaja terhadap

Perilaku Seks Pranikah Remaja Putri di SMPN dan MTSN Kecamatan

Tambang Tahun 2013 ... 97 4.19. Tabulasi Silang Pengaruh Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks

(13)

DAFTAR GAMBAR

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 139

2. Output Uji Validitas Dan Reliabilitas Kuesioner ... 146

3. Output SPSS uji Chi-square ... 150

4. Output SPSS uji Regresi Logistik Ganda ... 157

(15)

ABSTRAK

Perilaku berpacaran remaja saat ini telah mengalami pergeseran dari cara berpacaran pada zaman dahulu. Remaja sekarang dalam berpacaran lebih permisif dan menganggap apa yang dahulu dianggap tidak boleh dilakukan sekarang dianggap sesuatu yang wajar. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya perilaku seks pranikah, faktor keluarga terutama komunikasi orangtua–remaja dan pengaruh teman sebaya, telah diidentifikasi sebagai pengaruh yang sangat penting dalam membentuk sikap dan perilaku seks pranikah pada remaja.

Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan desain cross sectional yang bertujuan menjelaskan faktor pendukung yang mempengaruhi perilaku seks pranikah pada remaja putri yaitu komunikasi orangtua-remaja dan teman sebaya. Penelitian dilaksanakan di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang dengan populasi 295 orang dan sampel 192 orang.

Uji regresi logistik ganda menunjukkan bahwa hanya 4 variabel yang signifikan yaitu aspek keterbukaan (p=0,002), aspek kepositifan (p=0,001), aspek empati (p=0,001), dan konformitas (p=0,001). Hasil penelitian kualitatif terhadap 2 remaja yang mengaku pernah berhubungan seksual dengan pacarnya ternyata komunikasi orangtua dan teman sebaya terhadap perilaku seksual pranikah dikategorikan tidak baik.

Diharapkan kepada Institusi pendidikan, yaitu para pendidik di sekolah, hendaknya mengadakan pertemuan dengan komite sekolah atau kerjasama lintas sektoral dengan pihak dinas pendidikan untuk mendiskusikan masalah seksualitas dan keterampilan komunikasi orangtua-remaja, konseling kesehatan reproduksi remaja untuk orangtua remaja.

(16)

ABSTRACT

Current dating behavior of teenagers has changed from that previously practiced. At present, the teenagers are more permissive in dating and think that what was taboo and must not do before is something common now. There are many factors causing the premarital sexual behavior. Family factor especially the teenager-parents communication and the influence of peers have been identified as the most important influence in forming the premarital sexual behavior and attitude in the teenagers.

The purpose of this analytical survey study with cross-sectional design was to explain the supporting factor such as the teenager-parents communication and the influence of peers influencing the forming of premarital sexual behavior in the female teenagers. The population of this study conducted at SMPN (State Junior High School) and MTSN (State Religious Junior High School) in Tambang Subdistrict was 295 female teenagers and 192.

The result of multiple logistic regression tests showed that only 4 (four) variables such as aspect of transparency (p = 0.002), aspect of positiveness (p = 0.001), aspect of emphaty (p = 0.001), and conformity (p = 0.001) had significant influence. The result of qualitative study on 2 (two) teenagers who admitted that they have had sexual intercourse with their boyfriends showed that their communication with their parents and peers in terms of premarital sexual behavior is in poor category.

Educational institution in terms of its teachers are expected to have a meeting with the school committee or to implement inter-sectoral cooperation with the officials of local educational service to discuss the sexual problems and praktice teenager-parents Comunication, adolescent reproductive health counseling for teenager parents.

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perilaku seksual remaja saat ini sudah menjadi masalah dunia. Tidak dapat dipungkiri kenyataan bahwa remaja sekarang sudah berperilaku seksual secara bebas. Perilaku seksual menurut Sarwono (2006) adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk perilaku seksual dapat berupa perasaan tertarik, berkencan, bercumbu, masturbasi dan bersenggama. Sebagian dari perilaku seksual remaja mempunyai dampak yang serius yang dapat mengakibatkan terjadinya perasaan bersalah, depresi, marah, kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit kelamin, penyakit menular dan HIV/AIDS serta aborsi.

(18)

(Singh et al., 1999), serta pada tahun 2001 ditemukan 45,6% pelajar sekolah menengah telah melakukan hubungan seksual aktif (Irwin et al., 2002). Jones (2005) mengungkapkan data bahwa dalam 20 tahun terakhir, terdapat peningkatan besar jumlah remaja putri yang berhubungan kelamin seperti di Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Sekitar 17% remaja putri berhubungan kelamin sebelum usia 16 tahun, dan ketika mencapai usia 19 tahun, ¾ remaja putri pernah sekurang-kuranganya satu kali berhubungan kelamin.

Perilaku seksual remaja Indonesia dipengaruhi oleh informasi teknologi seperti internet, televisi, multimedia, gaya hidup glamour dan sebagainya. Remaja mengadopsi gaya hidup, sikap dan perilaku yang liberal terutama tentang seksualitas melalui media tersebut sementara pengetahuan tentang kesehatan reproduksi masih kurang. Meningkatnya dorongan seksual menyebabkan remaja mencari informasi seksual secara sembunyi-sembunyi karena dianggap bertentangan dengan norma sehingga terjerumus dalam persoalan seksualitas yang kompleks seperti hamil diluar nikah dan penyakit menular seksual (Novita, 2006).

Kondisi serupa terjadi di negara berkembang, remaja memiliki risiko tinggi terpapar PMS, HIV dan KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan). Setengah dari pengidap HIV di negara berkembang adalah perempuan yang berusia kurang dari 25 tahun. Selain itu, lebih dari 13 juta remaja perempuan di negara berkembang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan setiap tahunnya (Speizer etal., 2003).

(19)

berfungsinya organ reproduksi dan segala konsekuensinya (Sawyer & Roberts, 1999). Perkembangan seksual masa remaja ditandai dengan menstruasi pada wanita dan mimpi basah pada pria (Hurlock,1994). Salah satu isu penting yang dihadapi remaja sehubungan dimulainya kematangan seksual dan berfungsinya alat reproduksi adalah risiko terjadinya hubungan seksual menyimpang dan tidak aman, karena remaja tidak tahu tentang kesehatan reproduksi dari sumber yang benar dan cara yang tepat (Suzuki et al., 2006).

Berdasarkan Data Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI, 2007) menunjukkan bahwa remaja (15-24 tahun) pernah melakukan hubungan seksual pranikah (perempuan 2,7% dan laki-laki 14,2%). SKRRI pun melanjutkan analisanya dengan memetakan beberapa faktor yang mempengaruhi remaja melakukan seks pranikah yaitu pengaruh teman sebaya atau punya pacar, punya teman yang setuju dengan hubungan seks pranikah dan punya teman yang mendorong untuk melakukan seks pranikah.

Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 tercatat 4,2% dari remaja telah melakukan hubungan seks sebelum mereka menikah dan data menunjukkan bahwa para remaja melakukan seks untuk pertama kali dalam usia relatif muda. Sebagian besar atau 70,2% dilakukan oleh remaja berusia antara 15-19 tahun dan 24,4%, remaja usia 20-24 tahun. Meskipun demikian, 5,4% remaja yang berusia 10-14 tahun juga ada dalam kelompok dimaksud.

(20)

temuan kunci perilaku kelompok berisiko. Temuan kunci pertama, masih rendahnya pengetahuan komprehensif di kalangan remaja, hanya 22.30% responden yang memiliki pengetahuan komprehensif. 7,23% responden pernah berhubungan seks dan 51,18% diantaranya menggunakan kondom, 0,4% responden pernah menggunakan napza suntik. Temuan kedua bahwa sebanyak 7% remaja mengaku pernah berhubungan seksual. Dari remaja tersebut, 51% menjawab menggunakan kondom pada hubungan seks terakhir, dan 100% menggunakan kondom secara konsisten dalam hubungan seks setahun terakhir. Temuan ketiga, dari remaja yang pernah menggunakan napza, 11% diantaranya pernah menggunakan napza suntik (Kandun, 2011).

Hasil penelitian Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) tahun 2004 di Yogyakarta menunjukkan perilaku seksual remaja dalam berpacaran antara lain meraba-raba payudara (45,5%), pernah melakukan hubungan seksual (12,1%) dan 75% mengaku sudah melakukan hubungan seksual 2-3 kali.

(21)

penyebab dari perilaku tersebut antara lain, lanjutnya, yaitu semakin panjangnya usia remaja, informasi tentang seks yang terbatas, melemahnya nilai-nilai keyakinan serta lemahnya hubungan dengan orang tua(Yuwono,2001)(Riaupos, 2011).

Penelitian Nursal (2007) di SMU Negeri di Padang menunjukkan sebanyak 58 orang (16.6%) murid SMU Negeri di Padang berperilaku seksual berisiko,diantaranya 15 orang (4,3%) telah melakukan hubungan seksual. Alasan terbanyak yang dikemukakan adalah untuk mengungkapkan kasih sayang (80%), tempat tersering adalah rekreasi (53,3%)dan rumah (46,7%). Semua responden melakukan hubungan seksual dengan pacarnya (100%). Hampir setengah responden menyatakan hubungan seksual dimulai oleh keduanya (46,7%).

Sementara itu hasil penelitian yang dilakukan oleh Harmaini tahun 2010 pada siswa-siswa SMA-SMK di Kota Pekanbaru dari 329 subyek penelitian di antara hasil penelitian adalah 68 persen sumber informasi tentang seks tidak didapatkan dari orang tua dan guru tapi dari buku porno, VCD/DVD, teman sebaya, internet dan novel. Ini menunjukkan bahwa akan terjadi penyimpangan informasi tentang seks pada remaja. Selanjutnya sudah sejauh mana perilaku seks remaja dalam berpacaran, hasil yang didapatkan adalah pelukan sebanyak 175 subyek (53 persen), berciuman 183 subyek (55 persen), meraba payudara sebanyak 65 subyek (19 persen) memegang alat kelamin sebanyak 40 subyek (12 persen) dan yang sudah melakukan hubungan badan atau intim sebanyak 28 orang (8 persen)(Riaupos,2011).

(22)

risiko seksual pada remaja. Pertama, suatu kecenderungan remaja mengalami kematangan seksual lebih awal karena pergaulan sosial yang sangat permisif dan usia pernikahannya semakin lama tertunda karena lamanya masa sekolah, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi (Gubhaju, 2002). Kedua, banyak remaja tidak tahu bagaimana cara mencari informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi, baik di sekolah (teman sebaya) maupun di rumah (orang tua). Peluang diskusi mengenai kesehatan reproduksi sangat terbatas, bahkan banyak orangtua dan guru menganggap bicara mengenai seks itu tabu (Aras et al., 2007). Ketiga, semakin meningkatnya arus globalisasi teknologi informasi membuat akses remaja terhadap sumber informasi seksual dari media yang keliru, baik cetak maupun elektronik, semakin meningkat terutama dari internet (Ajuwon, 2006). Tiga faktor di atas jelas mempengaruhi tendensi perilaku seksual remaja pranikah.

(23)

Perilaku seks bebas pada remaja tidak terjadi secara tiba-tiba. Hal ini terjadi akibat atau merupakan penumpukan perilaku interaksi keseharian remaja dengan keluarga. Oleh karena itu orangtua wajib untuk selalu berkomunikasi dan memperhatikan perkembangan putra-putrinya. Sulit remaja berkomunikasi, khususnya dengan orangtua, pada akhirnya akan menyebabkan perilaku seksual yang tidak diharapkan. Semakin jelek taraf komunikasi antara anak dan orangtua, maka semakin besar kemungkinan remaja untuk melakukan tindakan seksual (Sarwono,2006).

Komunikasi efektif orangtua - remaja telah diidentifikasi sebagai strategi utama dalam meningkatkan perilaku seksual bertanggung jawab dan pengalaman seksual yang minim pada remaja (Burgess et al., 2005). Melalui komunikasi, orangtua seharusnya menjadi sumber informasi dan pendidik utama tentang seksualitas bagi remajanya. Namun demikian, orangtua sering menghadapi kesulitan untuk membicarakan masalah seksual kepada remajanya, begitu pun sebaliknya (Kirby & Miller, 2002). Diskusi terbuka tentang seksualitas menjadi sulit bagi orangtua maupun remaja oleh karena pantangan sosial budaya di sekitarnya (Miller & Whitaker, 2001).

(24)

tua terhadap kesehatan reproduksi. Sehingga remaja lebih banyak mendapat informasi dari luar seperti teman sebaya, media elektronik dan lain-lain. Berkaitan dengan hal tersebut, orangtualah yang dianggap mempunyai peran penting dalam membentuk sikap remaja. Pembentukan sikap dapat dilakukan oleh orangtua melalui pendidikan seks untuk meningkatkan pengetahuan remaja tentang seksualitas. Mohammadi et al. (2006) mengemukakan bahwa remaja yang memiliki kesulitan berkomunikasi dengan orangtuanya tentang masalah seksualitas, mereka cenderung memiliki sikap permisif (serba boleh) terhadap hubungan seksual.

Perkembangan remaja tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor, tetapi banyak faktor di dalam kehidupan mereka. Kehadiran teman sebaya (peer group) menjadi pusat informasi utama bagi mereka untuk mencari tahu akses agar dapat memperoleh informasi tentang seks. Karena remaja lebih banyak berada diluar rumah bersama-sama teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar pengaruhnya. Misalnya sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang populer, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba merokok, minum alkohol, obat –obat terlarang, seks bebas, maka remja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan akibat dari perilakunya tersebut (Hurlock, 2003).

(25)

bagi remaja dalam memperoleh informasi kesehatan reproduksi. Sebanyak 45,2% remaja perempuan dan 56,5% remaja laki-laki usia 15-24 tahun menerima informasi mengenai perubahan fisik pada anak laki-laki atau anak perempuan saat pubertas dari teman sebayanya, sedangkan yang bersumber dari orangtuanya hanya sebesar 33,5% remaja perempuan dan 14,6% remaja laki-laki (BPS et al., 2003). Survei yang dilakukan oleh LDFE-UI(Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi-Unuversitas Indonesia), dan BKKBN tahun 2002, memberikan gambaran bahwa persentase remaja yang mendapatkan informasi tentang isu kesehatan reproduksi oleh keluarga (orangtua atau anggota keluarga lain) relatif sedikit; sebanyak 42,2% remaja menerima informasi tentang haid, yang mendapatkan penjelasan tentang penyakit menular seksual sebanyak 16,9% dan hanya 15,5% remaja yang menerima informasi tentang hubungan suami istri. Data tersebut di atas mengindikasikan bahwa orangtua belum dijadikan sumber utama bagi remaja dalam memperoleh informasi kesehatan reproduksi.

(26)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi orangtua-remaja merupakan salah satu bentuk proses pola asuh yang memiliki pengaruh penting terhadap pembentukan sikap dan perilaku seksual remaja. Orangtua memegang peranan penting untuk mencegah hubungan seksual pranikah pada remaja melalui komunikasi antara orangtua dengan remaja tentang isu seksualitas.

Selain itu kehadiran teman sebaya (peer group) menjadi pusat informasi utama bagi mereka untuk mencari tahu akses agar dapat memperoleh informasi tentang seks. Karena itu, media sangat berperan dalam membentuk perspektif seorang remaja dalam memahami masalah seks. Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga (Hurlock, 2003).

(27)

Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar tahun 2012 tercatat sebanyak 632 perkawinan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 201 orang perempuan (31,8%) melakukan perkawinan dibawah usia 20 tahun di 17 desa Kecamatan Tambang dari jumlah tersebut ada beberapa kasus remaja putri tersebut telah hamil diluar nikah, dari data tersebut tidak semua yang tercatat di BP4 karena beberapa dari pasangan yang hamil diluar nikah tidak melakukan pernikahan di kantor BP4.

Sehingga penulis tertarik untuk meneliti perilaku remaja terhadap seks pranikah dengan memilih judul “ Pengaruh Antara Komunikasi Orangtua-Remaja dan Teman Sebaya Terhadap Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Putri di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang Riau Tahun 2013”

1.2. Permasalahan

(28)

akan diteliti yaitu Apakah ada pengaruh Antara Komunikasi Orangtua - Remaja dan Teman Sebaya Terhadap Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Putri di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang Riau Tahun 2013”

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis pengaruh komunikasi orangtua-remaja dan teman sebaya terhadap perilaku seks pranikah pada Remaja Putri di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang Riau tahun 2013.

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh komunikasi orangtua-remaja dan teman sebaya terhadap perilaku seks pranikah pada Remaja Putri di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang Riau tahun 2013.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan dilingkungan Depertemen Pendidikan Nasional untuk menambah kurikulum pendidikan, tentang Pendidikan Kesehatan Reproduksi di SMPN dan MTSN.

(29)

3. Sebagai bahan informasi bagi aparat pemerintah di Kecamatan Tambang dalam menyikapi maraknya pergaulan bebas agar dapat dilakukan pengendalian dan pencegahan perilaku seks pranikah pada remaja.

4. Penelitian ini secara fundamental bermanfaat bagi perubahan perilaku remaja, khususnya remaja putri dari perilaku seks pranikah menjadi perilaku sehat dalam berhubungan dengan lawan jenis

(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Remaja 2.1.1. Definisi Remaja

Menurut Hurlock (2003), istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yangberarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “ tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, seperti yang digunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pandangan tersebut diungkapkan Pieget dengan mengatakan : secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

Masa remaja, merupakan masa di mana seorang anak terlihat adanya perubahan-perubahan pada bentuk tubuh yang disertai dengan perubahan struktur dan fungsi fisiologis. Secara anatomis berarti alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuknya yang sempurna. Secara faali, alat-alat kelamin tersebut sudah berfungsi secara sempurna pula yang ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki (Sarwono, 2006).

(31)

anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir.

Remaja adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan individu yang berada diantara masa anak-anak dan masa dewasa. Batasan remaja yang ada selama ini bervariasi atau selalu mengacu pada kronologis. Batasan usia remaja adalah antara 11 tahun sampai dengan 20 tahun (Sarwono, 2003). Pada tahun 1970-an

World Health Organization (WHO) menetapkan batasan usia remaja adalah 10-19 tahun, tetapi pada tahun 1980-an, batasan itu bergeser menjadi 10-24 tahun, karena situasi yang berbeda. Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) menggunakanbatasan umur remaja 15-24 tahun, sedangkan pandangan umum di Indonesiatentang remaja adalah individu yang berusia antara 11-24 tahun(Kuswardani et al., 2000). Umur pada masa remaja ditetapkan pada usia 10-20 tahun, dengan membagi menjadi 2 bagian, remaja awal pada usia 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun (Sarlito, 2001).

(32)

pertumbuhan organ reproduksi sehingga berfungsi sesuai dengan tugas masing-masing. Hormon ini la yang membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan (Dianawati, 2006).

2.1.2. Tahapan Masa Remaja

Dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkankematangan psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati tahapan sebagai berikut:

1. Masa remaja awal umur 11–13 tahun, remaja berada pada masa pertumbuhan yang sangat cepat dan merupakan awal dari kematangan seksual.Remaja awal sudah mulai berpikir secara abstrak. pada tahap ini pada remaja telah tampak perubahan fisik, yaitu fisik mulai matang dan berkembang. Pada masa ini remaja mulai melakukan onani karena terangsang secara seksual akibat pematangan alami.

2. Masa remaja pertengahan umur 14–16 tahun, remaja pada tahap ini telah mengalami pematangan fisik penuh, yaitu anak laki-laki telah mengalami mimpi basah, sedangkan anak perempuan telah mengalami haid. Remaja dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis dan sebagainya. Pada saat ini gairah seksual remaja sudah mencapai puncak, sehingga mereka mempunyai kecenderungan mempergunakan kesempatan untuk melakukan sentuhan fisik. 3. Masa remaja lanjut umur 17–20 tahun, pada masa ini remaja sudah mengalami

(33)

Fungsi intelektualitas semakin mantap, identitas seksual semakin mantap, memperhatikan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain (Pangkahila, 2007).

2.1.3. Ciri-ciri Masa Remaja

Agar dapat memahami fase transisi di masa remaja, Hurlock (1994) menyebutkan sejumlah ciri masa remaja sebagai berikut:

1. Masa remaja merupakan periode penting, di periode ini orang cenderung mengalami perubahan penting, baik fisik maupun psikologis.

2. Masa remaja adalah masa peralihan remaja yang memiliki waktu untuk bisa mengalami perubahan melalui pembentukan nilai, sikap, dan perilaku, serta pola hidup dengan sifat-sifat sesuai yang diinginkan.

3. Masa remaja adalah periode perubahan yang bersifat universal: meningkatnya emosi, perubahan tubuh, minat, dan kelompok sosial di masyarakat, berubahnya minat dan perilaku, sehingga nilai-nilai juga berubah, dan bagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap tiap perubahan karena menuntut kebebasan, namun pada waktu yang sama juga sering takut bertanggungjawab atas akibatnya.

4. Masa remaja adalah usia bermasalah, kebanyakan remaja mengalami ketidakmampuan dan kegagalan mengatasi masalah mereka sendiri sesuai dengan cara yang diyakininya.

(34)

6. Masa remaja adalah usia yang tidak realistik dimana banyak remaja cenderung melihat kehidupan dengan kacamatanya sendiri dan bila menginginkan sesuatu tapi tidak sesuai harapannya, remaja mudah sekali naik emosinya.

7. Masa remaja adalah usia yang menimbulkan ketakutan, karena tumbuh dan berkembang sikap negatif dan stereotip bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak bisa dipercaya, cenderung melakukan perilaku merusak yang membuat orangtua harus bisa membimbing sekaligus mengawasi kehidupan remaja. 8. Masa remaja adalah ambang masa dewasa, yang terkesan dari perubahan

mendasar model kehidupan dan pergaulan di kalangan remaja, termasuk dalam bertindak, berperilaku, dan berpakaian.

2.1.4. Jaringan Lingkungan yang Memengaruhi Perkembangan Remaja

(35)

memperhatikan isi dan waktu yang tepat. Harapannya adalah komunikasi efektif antara remaja orang tuanya akan mengarahkan remaja pada perilaku yang sehat, terutama yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan seksual(Kumi-Kyereme et al., 2007).

Lingkaran selanjutnya adalah sekolah, teman sebaya, tetangga, tokoh agama dan organisasi remaja. Kumi-Kyereme et al. (2007) mengemukakan bahwa semakin besar keterikatan remaja dengan lingkungan sekitar (teman sebaya, organisasi keagamaan dan organisasi sosial), semakin kecil kemungkinan remaja terlibat perilaku hubungan seksual. Selain itu, lingkungan tempat tinggal (neighbourhood) dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja. Lingkaran terluar (terdiri dari norma-norma, media, kondisi perekonomian dan politik) merupakan pengaruh tidak langsung terhadap kehidupan remaja. Meskipun demikian, mulai dari lingkaran terdalam hingga lingkaran terluar dari kerangka konsep Bronfenbrenner’s Ecological System tetap memiliki pengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan remaja (Kumi-Kyereme et al., 2007).

2.2. Perilaku Seks Pranikah 2.2.1. Definisi Perilaku

(36)

Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan perilaku manusia hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya. Dengan kata lain, perilaku merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar mauapun dari dalam tubuhnya. Respon ini bersifat pasif (tanpa tindakan; pengetahuan dan sikap) maupun aktif (tindakan yang nyata atau praktek).

2.2.2. Faktor yang Memengaruhi Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2007), semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan mengacu kepada bloom. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang sudah maju. Bloom menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap staus kesehatan, kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil no dua, pelayanan kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap suatu status kesehatan. Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatar belakangi atau di pengaruhi oleh tiga faktor yaitu:

1. Faktor predisposisi (predisposing factor)

(37)

2. Faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor ini mencakup lingkungan fisik/sosial, terpaan media, ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan masyarakat.

3. Faktor penguat (reinforcing factors)

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini Undang-Undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.

2.2.3. Bentuk Perilaku

Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon ini berbentuk dua macam yaitu:

1. Bentuk pasif

Adalah respon internal, yaitu yang terjadi didalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat dari orang lain. Misalnya : seorang ibu hamil tahu bahwa pemerikaaan antenatal itu sangat penting baginya salah satunya untuk mencegah komplikasi pada saat kehamilan, namun ibu tidak memeriksakan kehamilannya. Maka perilaku ibu tersebut masih terselubung atau tertutup.

2. Bentuk aktif

(38)

sudah melakukan bentuk tindakan nyata dan disebut perilaku terbuka (Notoatmodjo, 2007).

2.2.4. Domain Perilaku

Notoatmodjo (2007), berpendapat bahwa perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku itu kedalam tiga domain yaitu:

1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) karena itu dari pengalaman dan penelitian terbyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan. Tingkat pengetahuan didalam domain kognitif mempunyai ena tingkatan yaitu:

1.) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatau materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) suatu yang spesifik dariseluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

2.) Memahami (comprehension)

(39)

3.) Aplikasi (application)

Aplikasi diartikansebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya (real). Aplikasi ini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4.) Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sma lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambar, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5.) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6.) Evaluasi (evaluation)

(40)

2. Sikap (Attitude)

Sikap memiliki arti penting dalam kehidupan manusia, karena sikap yang terbentuk dalam diri manusia dapat menentukan perilaku dalam menghadapi suatu objek sikap atau masalah yang muncul. Thurstone (1946, cit. Ahmadi, 2002) menyatakan bahwa sikap adalah tingkat kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan objek psikologi. Objek psikologi di sini meliputi simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya. Orang dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek psikologi apabila ia suka atau memiliki sikap yang favorable. Sebaliknya, orang yang dikatakan memiliki sikap negatif terhadap objek psikologi bila ia tidak suka atau sikapnya

unfavorable terhadap objek psikologi.

Menurut Notoadmodjo (2007) sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu: 1.) Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (objek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan.

2.) Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dalam sikap.

3.) Menghargai (valiung)

(41)

4.) Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

3. Praktek atau Tindakan (Practice)

Menurut Notoatmodjo (2007) yaitu suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas.

Tingkat-tingkat praktek adalah persepsi (perception), respon terpimpin (guided respons) , mekanisme (mechanisme), dan adopsi (adoption).

1.) Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

2.) Respon terpimpin (guided respons)

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh yang telah diketahui.

3.) Mekanisme (mechanisme)

(42)

4.) Adopsi (adoption)

Adalah sesuatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.2.5. Definisi Perilaku Seks Pranikah

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual ,baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentukbentuk tingkah laku bermacam-macam mulai perasaan tertarik sampai dengan tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Objek seksual bisa berupa orang lain, orang dalam hayalan atau diri sendiri. Sebagian tingkah laku itu memang tidak berdampak apa-apa terutama jika ada akibat fisik atau sosial yang dapat ditimbulkan. Tetapi pada sebagian perilaku seksual yang lain dampak bisa cukup serius seperti perasaan bersalah, depresi, marah dan lain-lain (Sarwono, 2002).

Sedangkan menurut Tim sahabat remaja Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY (2007) yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah perilaku yang muncul karena adanya dorongan seks. Seks pranikah adalah melakukan hubungan seks sebelum adanya ikatan perkawinan yang sah, baik berhubungan seks yang penetrative (penis dimasukan dalam vagina, anus atau mulut) maupun yang non penetratif (penis tidak dimasukan dalam vagina), oral dan anal seks termasuk dalam hubungan seks yang penetratif.

(43)

payudara, menyentuh atau saling menyentuhkan alat kelamin, oral seks dan intercourse (Collin et al., 2004). Perilaku seksual dipengaruhi faktor perilaku teman sebaya dilingkungannya. Speizer et al. (2001) mengatakan bahwa remaja usia 15-19 tahun di Afrika perempuan 44% dan laki-laki 48% sudah melakukan hubungan seksual karena remaja hanya memperoleh informasi pendidikan seks dari ibu yang pengetahuannya kurang.

Menurut Sarwanto & Ajik (2001) remaja di Indonesia sejumlah 37% penduduk, pendidikan mereka semakin tinggi tetapi fase meningkatnya dorongan seksual menyebabkan remaja mulai melakukan masturbasi, bercumbu dan berhubungan seksual. Remaja tersebut 68,5% tidak pernah membicarakan seks tetapi 33,8% melakukan pacaran dan 1,3% sudah berhubungan seksual. Perilaku seks remaja cenderung meningkat dengan melakukan hubungan seksual pada umur 17-18 tahun sehingga menyebabkan kehamilan dan kawin muda, hal itu berisiko terjadi penyakit menular seksual.

Menurut L’Engle, et al. (2006) perilaku seksual terbagi atas dua aktivitas yaitu aktivitas seksual ringan dan berat yang dimulai dari menaksir seseorang, sesekali pergi berkencan, pergi ketempat yang bersifat pribadi, berciuman ringan,

french kiss, sampai melakukan aktivitas seksual berat seperti, meraba payudara, meraba vagina atau penis, oral seks, dan melakukan hubungan seksual.

(44)

and female premarital sexual permisiveness scale dalam buku Davis et al. (1998)

(45)

2.2.6. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Sek Pranikah

Menurut Soetjiningsih (2004) faktor-faktor yang mempengruhi perilaku seks pranikah antara lain:

1. Perspektif biologis, perubahan yang terjadi masa pubertas dan pengaktifan hormonal dapat menimbulkan perilaku seksual. Perubahan hormonal tidak selalu diiringi kematangan organ tubuh dan pola pikir remaja.

2. Pengaruh orang tua, kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua dan remaja seputar masalah seksual memperkuat munculnya penyimpangan perilaku sekual.

3. Pengaruh teman sebaya dapat memacu penyimpangan seksual dikaitkan dengan norma pada kelompok sebaya. Perspektif akademis, remaja dengan prestasi rendah dan tahap aspirasi rendah cenderung lebih memunculkan aktivitas seksual dibanding dengan remaja dengan prestasi baik di sekolah.

Menurut Koentjoro (2007) beberapa faktor penyebab perilaku seksual remaja yaitu faktor internal, eksternal dan campuran keduanya. Faktor internal atau yang berasal dari dalam individu, adalah faktor asupan gizi yang makin membaik. Gizi yang semakin baik mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan memacu percepatan kemasakan hormon. Faktor eksternal yang diduga mempengaruhi perilaku seksual adalah dampak globalisasi dan budaya materialisme. Kemajuan telekomunikasi (dalam hal ini media) akan berpengaruh pada pola hidup materialisme.

(46)

1. Perubahan hormonal yang meningkat hasrat seksual remaja. Peningkatan hormonan ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu.

2. Penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin lama semakin menuntut persyaratan untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain).

3. Norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut.

4. Kecenderungan pelanggaran akan meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan media massa yang dengan teknologi yang canggih. Remaja dalam periode ini ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari media massa, karena pada umunya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual yang lengkap dari orang tuanya.

(47)

6. Adanya kecenderungan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita, hingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria.

Remaja memiliki emosi yang luar biasa besar, seseorang cenderung menginginkan perhatian yang lebih. Jika dalam keluarga seorang remaja tidak memperoleh perhatian yang diinginkan, mereka cenderung mencarinya diluar lingkungan keluarga. Cukup tidaknya kasih sayang dan perhatian yang diperoleh sang anak dari keluarganya, cukup tidaknya keteladan dan komunikasi yang baik yang di terima sang anak dari orang tuanya, dan sebagainya yang menjadi hak anak dari oarang tuanya. Jika tidak, maka anak akan mencari tempat pelarian di jalan-jalan serta ditempat-tempat tidak mendidik mereka. Anak akan dibesarkan dilingkungan yang tidak sehat bagi pertumbuhan jiwanya. Anak akan tumbuh dilingkungan pergaulan bebas. Sebaliknya mereka yang tidak mengetahui dan tidak tertarik dengan hal yang mengarah kepada hal negatif akan dinilai sebagi remaja yang tidak gaul dan kampungan. Akibatnya, remaja akan merasa dirinya terkucilkan dan akan mengikuti teman sebayanya. Sehingga anak gaul inilah yang biasanya menjadi korban dari pergaulan bebas, diantaranya terjebak dalam perilaku seks bebas (Damayanti, 2012). 2.2.7. Alasan Remaja Berperilaku Seks Pranikah

(48)

sehingga informan perempuan yang awalnya menolak, pada saat itu sudah terangsang sehingga tidak mampu menolak, dengan itu alasan menuruti keinginan pacar untuk berhubungan seksual cukup banyak (Sarwono, 2006).

Dilihat dari beberapa hal yang menjadi dasar remaja melakukan hubungan seksual, remaja pria dan wanita memiliki alasan-alasan yang berbeda, pada remaja puteri kebanyakan memberi alasan seperti ingin menunjukkan rasa cinta, takut ditinggalkan, dipaksa oleh pacar, agar dicintai, tidak mau dianggap tidak laku karena masih perawan dan lain-lain. Keputusan untuk melakukan hubungan seks tersebut tidak dengan konsekuensi yang kecil, remaja yang telah melakukan hubungan seks harus juga memikirkan risiko yang dihadapi nanti setelah hamil diluar nikah dan terkena penyakit kelamin (Sarwono,2011).

Pendapat ini didukung pula oleh Santrock, dalam Sarwono (2011), alasan-alasan mengapa remaja berhubungan seks antara lain: di paksa (wanita 61% dan pria 23%), merasa sudah siap (wanita 51% dan pria 59%), butuh dicintai (wanita 45% dan pria 23%) dan takut diejek teman karena masih gadis atau perjaka (waniat 38% dan pria 43%).

(49)

perempuan. Bagi perempuan, seks merupakan pengalaman yang dianggap suci dan melibatkan seluruh perasaannya yang terdalam. Bagi laki-laki, seks hanya merupakan hubungan badaniahyang dianggap tidak terlalu serius, tanpa perasaan. Namun dalam hal tertentu, sering juga terjadi perasaan cinta yang dimiliki seorang perempuan terlalu jauh dan berharap dapat menjalin hubungan hingga pernikahan. Perasaan dan harapan tersebut meninabobokkannya untuk mau melakukan seks di luar nikah (Dianawati, 2006).

Menurut para ahli, alasan seorang remaja melakukan hubungan seks diluar nikah ini terbagi dalam beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:

1. Tekanan yang datang dari teman pergaulannya.

Lingkungan pergaulan yang telah dimasuki oleh seorang remaja dapat juag berpengaruh untuk menekan temannya yang belum melakukan hubungan seks, bagi remaj tersebut tekanan dari teman-temannya itu dirasakan lebih kuat dari pada tekananyang didapatkan dar pacarnya sendiri. Keinginan untuk dapat diterima oleh lingkungan pergaulannya begitu besar, sehingga dapat mengalahkan semua nilai yang didapat, baik dari orang tua maupun dari sekolahnya. Pada umumnya, remaja tersebut melakukannya hanya sebatas ingin membuktikan bahwa dirinya sama dengan teman-temannya, sehingga dapat diterima menjadi bagian dar anggota kelompoknya seperti yang diingikan.

2. Adanya tekanan dari pacar

(50)

dihadapinya. Dalam hal ini yang berperan bukan saja nafsu seksual mereka, melainkan juga karena sikap memberontak terhadap orang tuanya. Remaja lebih membutuhkan suatu bentuk hubungan, penerimaan, rasa aman, dan harga diri sebagai layaknya manusia dewasa. Adanya perhatian dan cinta yang cukup dari orang tua dan anggota keluarga terdekatnya memudahkan ramaja tersebut memasuki masa pubertas. Dengan demikian, dia dapat melawan tekananyang datang dari lingkungan pergaulan dan pasanganya. Selain itu, kemampuan dan kepercayaan diri untuk tetap memegang teguh prinsip hidupnya sangat penting. Pandangan ini tidak terbatas masalah seksual, tetapi dalam segala hal, baik tentang apa yang seharusnya dilakukan maupun tentang apa yang tidak seharusnya dilakukan.

3. Adanya kebutuhan badaniah

Seks menurut beberapa ahli merupakan kebutuhan dasar yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang. Jadi, wajar saja jika semua orang tidak terkecuali remaja menginginkan hubungan seks ini, sekalipun akibat dari perbuatannya tersebut tiadak sepadan dibandingkan dengan risiko yang akan mereka hadapi.

4. Rasa penasaran

(51)

mendorong mereka untuk lebih jauh lagi melakukan berbagai macam percobaan sesuai dengan yang diharapkannya.

5. Pelampiasan diri

Faktor ini tidak hanya datang dari diri sendiri. Misalnya karena terlanjur berbuat, seoarang remaja perempuan biasanya berpendapat bahwa sudah tiadak ada lagi yang dapat dibanggakan dalam dirinya. Maka, dengan pikirannya tersebut, ia akan merasa putus asa lalu mencari pelampiasan yang akan semakin menjerumuskannya kedalam pergaulan bebas (Dianawati, 2006).

2.2.8. Dampak Perilaku Seksual Pranikah

(52)

Masalah ekonomi juga akan membuat permasalahan ini menjadi semakin rumit dan kompleks (Damayanti, 2012).

Menurut dr. Boyke Dian Nugraha, jika hubungan seks tersebut dilakukan sebelum usia 17 tahun, risiko terkena penyakit menular seksual bisa mencapai empat hingga lima kali lipat. Selain itu, seks pranikah akan meningkatkan kasus penyakit menular seksual, seperti sipilis, ghonorhoe (GO), hingga HIV/AIDS. Untuk GO yang sudah parah dapat menyebabkan hilangkan kesuburan, baik pada pria maupun wanita. Saluran sperma atau indung telur menjadi tersumbat oleh kuman GO. Disisi lain, Boyke menambahkan, perilaku seks bebas ini bisa berlanjut hingga usia perkawinan. Tercatat sekitar 90 dar 121 masalah seks yang masuk ke Klinik Pasutri (pasangan suami istri) tahun 2000 lalu, dialami orang-orang yang pernah melakukan hubungan pranikah (pre marital). Hamil diluar nikah merupakan masalah yang bisa juga ditimbulkan dari perilaku seks bebas. Banyak dari remaja melakukan aborsi untuk menutupi kehamilannya, biasanya aborsi dilakukan ketika janin berusia 1-3 minggu. Setelah itu janin akan lebih susah diaborsi. Yang lebih parah jika aborsi yang dilakukan ketika janin telah berusia lebih dari 3 minggu dan terdapat sisa anggota tubuh janin yang tidak bisa keluar hal itu akan menyebabkan kanker bagi sang ibu (Damayanti, 2012).

(53)

maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila ditambah dengan tekanan stress psikologis, sosial, ekonomi, sehingga memudahkan terjadinya :

1. Keguguran

Keguguran sebagian dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan kehamilan remaja yang tidak dikehendaki. Keguguran sengaja yang dilakukan oleh tenaga non profesional dapat menimbulkan akibat samping yang serius seperti tingginya angka kematian dan infeksi alat reproduksi yang pada akhirnya dapat menimbulkan kemandulan.

2. Persalinan prematur, BBLR dan kelainan bawaan

Kekurangan berbagai zat yang diperlukan saat pertumbuhan dapat mengakibatkan makin tingginya kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, dan cacat bawaan.

3. Mudah terjadi infeksi

Keadaan gizi yang buruk, tingkat sosial ekonomi rendah, dan stress memudahkan terjadi infeksi saat hamil, terlebih pada kala nifas.

4. Anemia kehamilan

(54)

5. Keracunan kehamilan

Kombinasi keadaan alat reproduksi yang belum siap hamil dan anemia makin meningkatkan terjadinya keracunan kehamilan, dalam bentuk preeklampsia atau eklamsia. Preeklampsia dan eklamsia memerlukan perhatian yang serius karena dapat menyebabkan kematian.

6. Kematian ibu yang tinggi

Remaja puteri yang stress akibat kehamilannya sering mengambil jalan pintas untuk melakukan aborsi oleh tenaga dukun. Angka kematian karena aborsi yang dilakukan dukun cukup tinggi, tetapi angka pasti tidak diketahui. Kematian ibu terutama karena perdarahan dan infeksi.

2.3. Komunikasi Orangtua-Remaja 2.3.1. Definisi Komunikasi

Komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan dan perasaan. Proses ini meliputi informasi yang disampaikan baik secara lisan maupun tertulis dengan kata-kata, atau yang disampaikan dengan bahasa tubuh, gaya maupun penampilan diri, menggunakan alat bantu disekeliling kita sehingga sebuah pesan menjadi lebih kaya (Liliweri, 2009).

(55)

tertentu dan solusinya, mempengaruhi persepsi, keyakinan dan sikap seseorang, mempengaruhi seseorang untuk cepat bertindak dan menyangkal mitos-mitos dan persepsi yang salah di masyarakat tentang isu tertentu (Windahl et al., 2004).

Menurut Liliweri (2009), komunikasi dikatakan efektif jika dapat memberikan informasi, mendidik, menginstruksikan, mengajak dan menghibur audience. Yang dimaksud dengan memberikan informasi adalah menyampaikan atau menyebarluaskan pesan (informasi) kepada orang lain. Mendidik adalah pesan (informasi) yang disampaikan bersifat mendidik, sehingga dapat menambah pengetahuan tentang informasi yang disampaikan. Menginstruksi artinya memberikan instruksi (mewajibkan atau melarang) penerima utuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang diperintahkan. Mengajak (persuasif) adalah pesan yang disampaikan dapat menimbulkan efek pada komunikan, sehingga dapat mempengaruhi (mengubah) pendapat, sikap dan perilaku orang yang diajak berkomunikasi. Komunikasi dapat menghibur artinya mengirimkan pesan-pesan yang mengandung hiburan kepada penerimanya, sehingga dapat menimbulkan perasaan senang kepada komunikan.

(56)

berikutnya yang dilakukan Davidson dan Cardemil (2009) menemukan hal yang selaras. Tingkat komunikasi orangtua-remaja yang tinggi berkolerasi dengan sedikitnya simtom eksternalisasi pada remaja (Lestari, 2012).

Fitzpatrick dan Badzinski (1996) menyebutkan dua karakteristik yang menjadi fokus penelitian komunikasi keluarga dalam relasi orang tua-remaja. Pertama, komunikasi yang mengontrol yakni tindakan komunikasi yang mempertegas otoritas orang tua-remaja. Kedua, komunikasi yang mendukung yang mencakup persetujuan, membesarkan hati, ekspresi afeksi, pemberian bantuan, dan kerja sama. Komunikasi orang tua-remaja sangat penting bagi orang tua dalam upaya melakukan kontrol, pemantauan, dan dukungan pada remaja. Tindakan orang tua untuk mengontrol, memantau, dan memberikan dukungan dapat dipersepsi positif atau negatif oleh anak diantaranya dipengaruhi oleh cara orang tua berkomunikasi (Lestari, 2012).

(57)

Berdasarkan beberapa definisi komunikasi, maka dalam penelitian ini komunikasi orangtua-remaja didefinisikan sebagai informasi atau pesan tentang seksualitas yang disampaikan oleh komunikator (orangtua) kepada komunikan (remaja).

2.3.2. Tujuan Komunikasi

Tujuan dilakukannya komunikasi efektif orangtua dengan remaja, antara lain: 1. Membangun hubungan yang harmonis dengan remaja

2. Membentuk suasana keterbukaan

3. Membuat orangtua mau mendengar remaja saat mereka berbicara 4. Membuat remaja mau bicara pada saat mereka menghadapi masalah

5. Membuat remaja mau menghormati orangtua atau orang dewasa saat mereka berbicara

6. Membantu remaja menyelesaikan masalahnya (BKKBN, 2012). 2.3.3. Unsur-unsur Komunikasi

Dalam komunikasi efektif antara kelompok satu dengan kelompok lain atau seseorang dengan orang lain, diperlukan keterlibatan beberapa unsur komunikasi, yaitu komunikator, komunikan, pesan dan saluran.

(58)

1) Dapat dipercaya. Semakin dipercaya pemberi pesan, maka semakin besar tingkat kepercayaan penerima.

2) Menarik. Komunikator yang menarik dapat lebih dipercaya untuk mempengaruhi seseorang dibandingkan komunikator yang kurang menarik. 3) Kekuasaan. Semakin besar kekuasaan komunikator, semakin besar tingkat

kepercayaan komunikan terhadap pesan yang disampaikan.

2. Komunikan adalah pihak yang menerima dan memberikan respon terhadap rangsangan dari komunikator, tanggapan dapat bersifat pasif, yaitu memahami maksud yang disampaikan oleh komunikan atau tanggapan aktif, yaitu berupa ungkapan lisan, tulisan atau berupa simbol. Terdapat beberapa faktor komunikan yang harus diperhatikan, antara lain:

1) Demografi, antara lain: umur, jenis kelamin, ras dan karakteristik audience

termasuk remaja.

2) Faktor psikologis, antara lain: pengetahuan, keyakinan, sikap, kemampuan, keterampilan dan harapan audience termasuk remaja.

3. Pesan adalah rangsangan yang dikeluarkan oleh komunikator kepada komunikan. Isi pesan atau informasi diharapkan dapat dimengerti oleh komunikan dan ditanggapi secara pasif ataupun aktif. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat pesan antara lain:

(59)

2) Isi pesan. Sangat penting untuk memperhatikan apa yang termasuk dan tidak termasuk dalam pesan. Selain itu, tata urut pesan juga harus diperhatikan, karena tata urut yang baik, dapat mempengaruhi logika dan emosi audience, termasuk remaja, sehingga akan membentuk kesan pada pesan yang disampaikan.

3) Kesesuaian. Pesan dapat dikembangkan menjadi lebih sederhana agar sesuai dengan latar belakang komunikan, sehingga dapat cepat menimbulkan pemahaman.

4) Saluran (media) dapat berupa komunikasi antar pribadi dan komunikasi massa.

Komunikasi antar pribadi adalah komunikasi langsung, tatap muka antara satu orang dengan orang lain baik perorangan maupun kelompok. Komunikasi interpersonal, misalnya komunikasi antara konselor dengan klien, dokter dengan pasien, orangtua dengan remaja. Komunikasi massa, misalnya TV, radio, koran, spanduk (BKKBN, 2012).

2.3.4. Manfaat Komunikasi

Komunikasi memiliki beberapa manfaat, antara lain:

1. Meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kewaspadaan seseorang terhadap isu tertentu, sehingga bijak dalam mengupayakan solusinya

2. Mempengaruhi persepsi, keyakinan dan sikap seseorang 3. Mempengaruhi seseorang untuk cepat bertindak

(60)

2.3.5. Aspek-aspek Komunikasi

Dalam komunikasi interpersonal, terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh komunikator agar komunikasi menjadi efektif (DeVito, 1995), yaitu:

1. Keterbukaan (openness). Pengertian keterbukaan adalah adanya keinginan untuk membuka diri dengan orang lain untuk berinterkasi dan keinginan untuk memberikan tanggapan sejujurnya terhadap stimulus yang diterima. Dalam keterbukaan, memerlukan adanya pengakuan dan sikap bertanggung jawab terhadap segala pikiran dan perasaan yang telah diungkapnya.

2. Empati (emphaty). Adanya usaha masing-masing pihak untuk merasakan yang sedang dirasakan oleh orang lain, dalam upaya untuk memahami orang lain. Berempati juga membutuhkan sensitivitas agar dapat merasakan perasaan orang lain ketika komunikasi berlangsung. Adapun langkah-langkah untuk mengembangkan empati, antara lain:

1) Lebih banyak memahami keinginan, pengalaman, kemampuan dan kecemasan yang dirasakan orang lain.

2) Menghindari penilaian baik-buruk atau benar-salah terhadap perilaku atau sikap orang lain.

3) Mencoba untuk melihat masalah dari cara pandang (persepsi) orang lain. 3. Dukungan (supportiveness). Dukungan dapat berupa ungkapan verbal dan non

(61)

mata, tersenyum atau tepukan tangan. Ungkapan non verbal, seperti memahami dan berpikir secara terbuka (mampu menerima pandangan oranglain).

4. Kepositifan (positiveness). Dapat dilakukan dengan memberikan sikap positif dan menghargai orang lain, sehingga seseorang mampu menghargai dirinya sendiri secara positif. Komunikasi interpersonal akan terpelihara dengan baik apabila suatu persaan positif terhadap orang lain itu dikomunikasikan sehingga membuat orang lain merasa lebih baik dan lebih berpartisipasi. Salah satu contohnya mendengarkan lawan bicara dalam berkomunikasi.

5. Kesamaan (equality). Adanya kesamaan pengalaman dan kesamaan dalam percakapan antara para pelaku komunikasi. Tujuannya agar mencegah terjadinya kesalahpahaman atau konflik.

Komunikasi interpersonal dikatakan efektif jika memperhatikan beberapa aspek komunikasi, yaitu: keterbukaan, berempati, adanya dukungan, sikap positif dan kesamaan antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Hal tersebut dapat terwujud jika seseorang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, sehingga dapat memberi kesempatan kepada orang lain untuk memberikan umpan balik.

2.3.6. Gaya Berkomunikasi Orangtua dengan Remajanya

(62)

memberikan penilaian, serta tidak terkesan menggurui. Dengan gaya komunikasi seperti ini membuat remaja merasa lebih aman dan nyaman dalam mendengarkan orang tua, karena orang tua dianggap mampu mengerti posisi serta keinginan diri remaja (BKKBN, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian Nuranti, (2009) kepada beberapa orangtua dan remaja di Yogyakarata, menunjukkan sebagian besar orangtua tidak mendiskusikan secara langsung mengenai hubungan seksual, melainkan lebih pada fungsi dan proses organ reproduksi, seperti menstruasi dan mimpi basah. Orangtua memberikan keterampilan tentang cara menjaga kebersihan organ reproduksi, terutama pada saat remaja putri sedang menstruasi. Selain itu, orangtua menyampaikan nilai-nilai agama dan budaya yang harus dipatuhi remaja setelah memasuki akhil balig. Dari sisi nilai agama, misalnya bagi remaja muslim harus menjalankan shalat 5 waktu dan cara mandi besar setelah menstruasi atau mimpi basah. Dari sisi budaya, jika remaja sudah memasuki akhil balig diadakan syukuran dengan memasak beras merah dan beras putih sebagai tanda memasuki usia balig. Selain itu juga beberapa larangan dan anjuran bagi remaja yang sudah memasuki akhil balig, seperti tidak berduaan dengan lawan jenis di tempat sepi dan menjaga tubuhnya dari sentuhan oleh lawan jenis (terutama bagi remaja putri) (Nuranti, 2009).

2.3.7. Keterampilan (skills) dalam Berkomunikasi dengan Remaja

Terdapat beberapa keterampilan komunikasi yang perlu dikembangkan oleh orangtua dengan remaja, antara lain :

(63)

Dalam berkomunikasi terutama dengan remaja penting bagi orang tua harus mengenal: Kemampuan dan kelebihan yang dimilikinya, kelemahan atau kekurangan yang dirasa mengganggu, cara memanfaatkan kelebihan dan mengatasi kekurangan diri.

Dengan pengenalan diri, orang tua bisa menerima diri apa adanya, sehingga tahu apa yang harus dirubah. Selain itu sebagai orang tua akan lebih percaya diri dan mudah menerima remajanya dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Ada beberapa cara agar orang tua dapat mengenal diri mereka sendiri yaitu melalui:

1) Menghargai diri sendiri. Biasakan tidak membandingkan diri dengan orang lain, karena setiap orang itu unik. Kita dan orang lain pasti memiliki perbedaan.

2) Menghargai upaya yang sudah kita lakukan. Walaupun mungkin belum berhasil, tetapi tetap berusaha menghargai niat dan upaya yang telah kita lakukan.

3) Menentukan tujuan hidup kita

Sebagai orang tua tentukan tujuan dalam mendidik anak, ingin menjadi ibu yang menjadi panutan bagi anak-anaknya atau ingin menjadi ayah yang sukses dalam mendidik anak.

(64)

5) Mengembangkan minat dan kemampuan diri Bersedia menghabiskan waktu dan tenaga untuk belajar dan melakukan tugas sampai tujuan tercapai.

6) Mengendalikan perasaan Tidak mudah marah, menghadapi kesedihan secara wajar tidak berlebihan. Tidak mudah terpengaruh keadaan sesaat, dan bisa menerima penjelasan remaja dengan tenang.

2. Mengenal Diri Remaja

Penting bagi orang tua memahami perasaan remaja. Banyak terjadi masalah dalam berkomunikasi dengan remaja, yang disebabkan karena orang tua kurang dapat memahami perasaan remaja yang diajak bicara. Agar komunikasi dapat lebih efektif, orang tua perlu meningkatkan kemampuannya dan mencoba memahami perasaan remaja sebagai lawan bicara. Pada dasarnya kebutuhan manusia yang paling dalam adalah keinginan agar perasaannya dimengerti, didengar, dihargai, dan dirinya dapat diterima oleh orang lain. Dengan bersedia menerima perasaan remaja, menunjukkan bahwa kita menghargai remaja dan hal tersebut membuat mereka merasa berharga. Mereka akan belajar bahwa bukan hanya perasaan mereka saja yang penting, tetapi juga perasaan orang lain sama pentingnya.

Perasaan yang sering dialami remaja. Dua perasaan yang sering dialami remaja adalah :

(65)

2) Perasaan positif, antara lain berupa perasaan berani, puas, yakin pada kemampuan diri, senang, berminat, bangga, hebat, dan sebagainya.

Perasaan memegang peranan yang sangat penting dalam berkomunikasi. Seseorang yang sedang dalam perasaan senang akan mudah berkomunikasi atau menyampaikan pikiran, pendapat, bahkan perasaan hatinya.

Cara memahami perasaan remaja. Untuk memahami perasaan remaja, orang tua harus menerima terlebih dahulu perasaan dan ungkapan remaja, terutama ketika ia sedang mengalami masalah. Ini sangat penting agar mereka merasa nyaman dan mau melanjutkan pembicaraan dengan lawan bicara. Banyak perasaan yang dialami orang termasuk remaja tidak akan muncul dalam ungkapan atau kata-kata namun muncul dalam bahasa tubuh seperti tersenyum, menangis, gugup dan lain sebagainya. Melalui bahasa tubuh dapat menunjukkan bagaimana perasaan yang sebenarnya. Bahasa tubuh mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam segala bentuk komunikasi dan umumnya terjadi tanpa kita sadari. Ungkapan wajah dan mata, gerakan anggota badan dan tubuh, posisi tubuh remaja, bisa memberi isyarat yang banyak kepada orang tua agar memahami perasaan remaja. Demikian pula nada dan tempo suara. Oleh karena itu penting bagi setiap orang untuk mengenal bahasa tubuh.

3. Mendengar Aktif

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Jumlah Sampel di Setiap Sekolah
Tabel 4.1. Distribusi  Responden Berdasarkan Latar Belakang di SMPN dan
Tabel 4.1 (Lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dengan menggunakan teorema Pythagoras pada gambar di samping, kalian akan menemukan bahwa panjang sisi miring segitiga siku-siku di samping adalah 50?. Perhatikan bahwa 50

pada siswa tunagrahita dapat menambah inovasi dalam dunia pendidikan serta dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pendidik ataupun peneliti lain, khususnya dalam

Apabila diperinci ketentuan-ketentuan mengenai proses pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang secara khusus ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 26 tahun

(2012) menggambarkan kompleksnya hubungan berbagai jenis hambatan perilaku. Hingga sekarang kegiatan studi dan publikasi analisis dan perhitungan atas hambatan perilaku secanl

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan keaktifan lansia dalam mengikuti kegitan posyandu.Desain penelitian ini menggunakan desain

Pengelolan data Administrasi Sistem Peminjaman VCD Pada Rental Disk Tara mempunyai peranan penting untuk menghasilkan Informasi pelayanan yang akan dilaporkan untuk setiap

telah dilaksanakan tidak sekedar menilai, mencari aspek dari salesman atau sales counter tentang yang kurang atau lebih, tetapi lebih luas lagi yaitu membantu salesman