• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Penambahan Midazolam 1 Mg Dan Midazolam 2 Mg Pada Bupivakain 15 Mg Hiperbarik Terhadap Lama Kerja Blokade Sensorik Anestesi Spinal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Penambahan Midazolam 1 Mg Dan Midazolam 2 Mg Pada Bupivakain 15 Mg Hiperbarik Terhadap Lama Kerja Blokade Sensorik Anestesi Spinal"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN PENAMBAHAN MIDAZOLAM 1 MG DAN MIDAZOLAM 2 MG PADA

BUPIVAKAIN 15 MG HIPERBARIK TERHADAP LAMA KERJA BLOKADE SENSORIK ANESTESI SPINAL

TESIS

Oleh

dr. FREDDY T.M. NAIBORHU

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK

MEDAN

(2)

PERBANDINGAN PENAMBAHAN MIDAZOLAM 1 MG DAN MIDAZOLAM 2 MG PADA BUPIVAKAIN 15 MG HIPERBARIK TERHADAP LAMA KERJA BLOKADE

SENSORIK ANESTESI SPINAL

TESIS

FREDDY T.M. NAIBORHU

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Asmin Lubis, DAF SpAn Dr. Yutu Solihat, SpAn KAKV

NIP. 130 701 881 NIP. 140 202 538

Ketua Penguji Sekretaris Penguji

Dr. A.Sani P. Nasution SpAn KIC Dr. Nazaruddin Umar SpAn KNA

NIP. 130 702 290 NIP. 130 905 364

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ketua Departemen

Anestesiologi dan Reanimasi Anestesiologi dan Reanimasi

FK USU/ RSUP HAM Medan FK USU/RSUP HAM Medan

Dr. Hasanul Arifin, SpAn Prof.Dr Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC

(3)

PERBANDINGAN PENAMBAHAN

MIDAZOLAM 1 MG DAN MIDAZOLAM 2 MG PADA BUPIVAKAIN 15 MG HIPERBARIK TERHADAP LAMA KERJA BLOKADE SENSORIK ANESTESI

SPINAL

TESIS

Oleh

dr. FREDDY T.M. NAIBORHU

Pembimbing I : Dr. Asmin Lubis, DAF SpAn Pembimbing II : Dr. Yutu Solihat, SpAn KAKV

Tesis Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Spesialis Anestesiologi Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Reanimasi

Departemen / SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

RSUP. H. Adam Malik Medan

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya sampaikan kepada Tuhan karena atas karunia-Nya saya

berkesempatan mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Reanimasi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara serta menyusun dan menyelesaikan penelitian

ini sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan keahlian di bidang Anestesiologi.

Semoga karya tulis ini merupakan sumbangsih bagi perkembangan Anestesiologi di Indonesia.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang

sebesar-besarnya kepada:

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada

saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas ini.

Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan

kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Fakultas ini.

Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, Rumah Sakit Umum

Pirngadi Medan, Rumah Sakit Haji Mina Medan yang telah memberikan kesempatan kepada

saya untuk belajar dan bekerja di lingkungan Rumah Sakit ini.

Dengan penuh rasa hormat, saya sampaikan terima kasih kepada dr. Asmin Lubis, DAF

SpAn dan dr. Yutu Solihat, SpAn KAKV sebagai pembimbing penelitian saya, dimana atas

bimbingan, pengarahan dan sumbang saran yang telah diberikan, saya dapat menyelesaikan

penelitian ini tepat pada waktunya.

Juga dengan penuh rasa hormat, saya sampaikan terima kasih kepada Prof. dr.

Achsanuddin Hanafie SpAn KIC, ketua Departemen Anestesiologi dan Reanimasi, dr. Hasanul

Arifin SpAn, sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Reanimasi, dr. Nazaruddin Umar,

SpAn KNA sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Reanimasi, dr. Akhyar H.

Nasution SpAn KAKV sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Reanimasi atas

nasehat, kesabaran dan keikhlasan telah mendidik dan memberikan bimbingan kepada saya

selama saya menjalani program pendidikan ini.

Rasa hormat dan terimakasih saya sampaikan kepada guru-guru saya: Dr A. Sani P.

Nasution SpAn KIC, Dr. Chairul Mursin, SpAn, Dr. Nadi Zaini Bakri, SpAn, Dr. Soejat Harto,

(5)

SpAn, Dr. Syamsul Bahri Siregar, SpAn, Dr Walman Sitohang SpAn, Dr Tumbur SpAn, Dr

Dadik W.Wijaya SpAn, Dr M. Ihsan SpAn, Dr Guido M Solihin SpAn, dan guru-guru saya

sewaktu saya menjalani program pendidikan di Fakultas Kedokteran Airlangga Surabaya Prof.

dr. Karjadi Wirjoatmojo, SpAn KIC, Prof. dr. Herlien H Megawe, SpAn KIC, Prof. dr Siti

Chasnak Saleh, SpAn KIC, KNA, Prof. DR. dr. Eddy Rahardjo, SpAn KIC, Prof. dr. Sri

Wahjoeningsih, SpAn KIC, Prof. dr. Koeshartono. SpAn KIC PallMed (ECU), Dr. Bambang

Wahjuprajitno, SpAn KIC, dr. Tommy Sunartomo, SpAn KIC, dr. Teguh Sylvaranto, SpAn KIC,

Prof. DR. dr. Nancy Margarita Rehatta, SpAn KNA, dr. Hardiono, SpAn. KIC, dr. Herdy

Sulistyono, SpAn. KIC, dr. Elizeus Hanindito, SpAn. KIC, dr. Hari Anggono D, SpAn. KIC, Dr.

Puger Rahardjo, SpAn, KIC dan lain-lain baik di Fakultas Kedokteran USU Medan maupun di

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya yang tidak dapat saya sebutkan satu

persatu yang dengan keikhlasan dan ketulusannya telah mendidik dan memberikan bimbingan

kepada saya selama mengikuti program pendidikan ini.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M,Kes yang

telah meluangkan sebagai pembimbing metode penelitian dan analisa statistik pada penelitian ini

yang banyak memberikan masukan, arahan, kritikan yang bersifat membangun demi

kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.

Kepada seluruh pasien dan keluarganya di RSUP.H. Adam Malik Medan, RS Haji Medan ,RS

Pirngadi Medan dan RSU Dr. Soetomo Surabaya yang besar perannya sebagai “guru” kedua saya

dalam menempuh pendidikan spesialis. Khususnya yang berperan serta dalam penelitian ini, rasa

sakit mereka telah memotivasi saya untuk dapat memberikan yang terbaik dari ilmu yang saya

dapatkan dan pelajari, saya ucapkan terima kasih dan mohon maaf bila pelayanan saya kurang

berkenan di hati.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh teman-teman Program

Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Reanimasi, karyawan, paramedis Anestesiologi

dan Reanimasi FK USU dan FK Unair yang telah banyak membantu dan memberi semangat

dalam penyelesaian program pendidikan dan penelitian ini.

Sembah sujud, rasa syukur dan terima kasih yang tak terhingga saya persembahkan

kepada orang tua saya tercinta, Bapak dr A. Naiborhu MSc (alm), dan ibu saya A. br Marpaung

atas segala jeri payah, pengorbanan, doa, dan kasih sayang beliau berdua dalam mengasuh,

(6)

Dari hati yang tulus saya mengucapkan terimakasih yang tak terkira kepada isteriku

tercinta dra Merly Samosir dan anakku tersayang Jeremias Almendo Naiborhu atas pengertian,

doa, dorongan semangat, kesabaran, dan kesetiaan yang tulus dalam suka dan duka mendampingi

saya selama pendidikan yang panjang dan cukup melelahkan.

Akhirnya hanya kepada Tuhan segala pujian dan ucapan syukur, semoga kita semua

senantiasa diberi karuniaNya.

Medan, Mei 2009

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………..i

DAFTAR ISI……….. iv

DAFTAR TABEL……….. ix

DAFTAR GAMBAR………... x

DAFTAR LAMPIRAN…...………... xi

DAFTAR SINGKATAN……….……... xii

ABSTRAK………...………..………. xiii

ABSTRACT………... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN………..………1

1.1 Latar Belakang Masalah………..………. 1

1.2 Rumusan Masalah………..………... 3

1.3 Hipotesis………..………. 3

1.4 Tujuan Penelitian………. 3

1.4.1Tujuan Umum………... 3

1.4.2Tujuan Khusus………...…………...… 3

1.5 Manfaat Penelitian……… 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………... 5

2.1 Anestesi Spinal………..5

2.2 Anatomi Kolumna Vertebra………... 6

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Obat Anestesi Lokal ...7

2.4. Kontraindikasi………...……… 9

(8)

2.5.1. Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal...………... 10

2.5.2. Sifat Fisikokimia Obat Anestesi Lokal ………...……….. 10

2.6. Bupivakain...……… .. 11

2.7. Midazolam...………... 13

2.8. Kerangka Konsep...………... 16

BAB 3 METODE PENELITIAN……… 17

3.1 Desain……….. 17

3.2 Tempat dan Waktu………... 17

3.2.1 Tempat……….. 17

3.2.2 Waktu……… 17

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian………... 17

3.3.1Populasi …...……… 17

3.3.2 Sampel ...………..…. 17

3.4 Estimasi Besar Sampel………...……... 18

3.5 Kriteria Inkusi dan Eklusi………..…………... 18

3.5.1 Inklusi………... 18

3.5.2 Eklusi……….………... 18

3.6 Inform Consent……….………... 18

3.7 Cara Kerja……….………... 19

3.8 Alur Penelitian……….……….... 21

3.9 Identifikasi Variabel………...………... 21

3.9.1 Variabel Bebas………..………... 21

3.9.2 Variable Tergantung………..………... 21

3.10 Rencana Pengolahan dan Analisa Data………..………... 22

3.11 Definisi Operasional………... 22

(9)

BAB 4

HASIL PENELITIAN……….………. 26

4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian pada Kedua Kelompok………... 26

4.2 Jenis operasi pada kedua kelompok penelitian……….…………... 27

4.3. Lama Kerja Blokade Sensorik...………... 28

4.4. Derajat Sedasi………...……... 29

BAB 5 PEMBAHASAN………... 31

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN………...……….…... 33

6.1 Kesimpulan………...…... 33

6.2 Saran………..…... 33

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Penampang posterior dan lateral kolumna spinalis ... 5

Gambar 2 Rumus bangun Bupivakain ... 12

Gambar 3 Rumus bangun Midazolam ... 13

Gambar 4 GABAa reseptor ... 14

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian ... 26

Table 4.2 Jenis Operasi Pada Kedua Kelompok Penelitian ... 27

Table 4.3 Lama Kerja Blokade Sensorik ... 28

(12)

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Grafik 4.1 Lama kerja Blokade Sensorik pada kedua kelompok... 29

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Riwayat Hidup Peneliti ... 33

Lampiran 2. Lembaran Penjelasan Kepada Sabjek Penelitian ... 38

Lampiran 3. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ... 41

Lampiran 4. Lembaran Observasi Perioperatif Pasien ... 42

Lampiran 5. Persetujuan Komisi Etik... 44

Lampiran 6 Daftar Pasien ... 45

Lampiran 7 Randomisasi Blok Sampel Dan Daftar Sampel ... 46

Lampiran 8. Sebaran Data Hasil Penelitian ... 47

(14)

DAFTAR SINGKATAN

ASA = American Society of Anesthesiologists

BB = Berat Badan

BMI = Body Mass Index

BW = Body Weight

Cm = Concentration Minimum

GABA = Gamma Amino Butyric Acid

IV = Intra Vena

Kg = kilogram

PS = Physical State

SD = Standard Deviasi

(15)

ABSTRAK

Latar belakang dan tujuan : Penggunaan midazolam intratekal telah dilaporkan mempunyai kerja antinosisepsi dan sebagai obat analgetik yang efektif pada binatang percobaaan dan manusia. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan lama kerja blokade sensoris dan efek sedasi dari 2 dosis midazolam intratekal yang diberikan sebagai adjuvan pada anestesi spinal dengan Bupivakain.

Metode : Setelah mendapat persetujuan dari komite etik FK USU Medan, dikumpulkan sebanyak 50 sampel penelitian, umur 18-60 tahun, status fisik ASA I-II, yang menjalani operasi elektif di Rumah Sakit Umum Pusat H Adam Malik dan Rumah Sakit Umum Dr Pirngadi Medan. Sampel dibagi menjadi dua kelompok secara random masing-masing 25 subjek. Kelompok I menggunakan Bupivakain 15 mg ditambah Midazolam 1 mg + 0,2 ml NaCl 0,9 % sedangkan kelompok II menggunakan Bupivakain 15 mg ditambah Midazolam 2 mg. Seluruh subjek diberikan infus cairan Ringer Laktat 15 ml/kgBB 30 menit sebelum dilakukan anestesi spinal dan tidak mendapat premedikasi. Dicatat lama kerja blokade sensorik dan derajat sedasi. Data hasil penelitian diuji dengan uji-t, uji Mann-Whitney, dan Chi-kuadrat.

Hasil : Dari hasil perhitungan statistik, lama kerja blokade sensorik tidak terdapat perbedaan bermakna pada kelompok Bupivakain 15 mg + Midazolam 1 mg yaitu regresi 2 segmen pada kelompok Bupivakain 15 mg + Midazolam 1 mg (160,4± 31,4 menit) dibandingkan dengan kelompok Bupivakain 15 mg + Midazolam 2 mg (198,1± 22,5 menit), melalui uji Mann-Whitney tidak terdapat perbedaan dengan nilai p = 0,992. Pasien mulai merasakan nyeri ringan VAS 3 pada kelompok Bupivakain 15 mg + Midazolam 1 mg tidak berbeda bermakna dibanding kelompok Bupivakain 15 mg + Midazolam 2 mg. Derajat sedasi pada kedua kelompok tidak dijumpai perbedaan bermakna.

Kesimpulan : Lama kerja blokade sensorik dan derajat sedasi pada kelompok Bupivakain 15 mg + Midazolam 1 mg dan kelompok Bupivakain 15 mg + Midazolam 2 mg tidak ada perbedaan bermakna.

(16)

ABSTRACT

Background and objective : Intrathecal administration of midazolam has been reported to have antinociceptive action, and to be an effective analgesic agent. In this study, we investigated the duration of sensory blockade and sedation effect of 2 doses of intrathecal midazolam as an adjunct to bupivacaine for spinal anesthesia.

Methods : After getting the approval from the ethic committee, fifty patients, ASA physical state 1- 2, aged 18 – 60 years old, undergoing elective surgery with spinal anesthesia in OR of Adam Malik General Hospital and Dr Pirngadi General Hospital Medan. The sample then divided randomly to two groups with 25 samples each group. Group I by adding 1 mg of midazolam into 15 mg 0,5 % hyperbaric bupivacaine + 0,2 ml saline whereas group II 2 mg midazolam into 15 mg 0,5 % hyperbaric bupivacaine. All patients received equal preloading with 15 ml/kg BW Lactate Ringer infusion a half an hour before spinal anesthesia. No premedication given. The duration of sensory block and sedation level were recorded. The results were analized statistically by using t-test, Mann-Whitney and chi square test.

Result : The statistically calculation showed that the duration of sensory block was not different among the groups. The 2 segment regression in 15 mg 0,5 % hyperbaric Bupivacain + Midazolam 1 mg group and 15 mg 0,5 % hyperbaric Bupivacaine + Midazolam 2 mg group were equal, (160 ± 31,4 min) versus (198,1 ± 22,5min) (p>0,05) . Patients began complaining of mild pain or VAS 3 pain was equal in Midazolam 1 mg group (240±69,6 min) compared to Midazolam 2 mg group (256±48,7 min)(p>0,05). There were no differences in sedation scale in both groups, p> 0,05.

Conclusion : The duration of sensory block and sedation scale were not different among the groups.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Anestesi regional secara intratekal merupakan suatu alternatif yang dapat diberikan untuk

analgesia selama tindakan operasi dan untuk memberikan analgesia pada periode dini pasca

operasi. (1) Spinal anestesi telah digunakan secara luas dan aman selama kurang lebih 100 tahun,

terutama untuk operasi – operasi pada daerah abdomen bawah, perineum dan ekstremitas bawah.

Teknik anestesi regional dan obat anestesi lokal yang baik sangat penting untuk mendapatkan

hasil yang memuaskan dan aman.(1)

Obat-obat anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus memenuhi syarat-syarat

yaitu blokade sensorik dan motorik yang adekuat, mula kerja yang cepat, tidak neurotoksik, dan

pemulihan blokade motorik yang cepat pascaoperasi sehingga mobilisasi lebih cepat dapat

dilakukan dan resiko toksisitas sistemik yang rendah.(2,3)

Bupivakain adalah anestesi lokal golongan amino amida yang telah lama dan banyak

digunakan untuk anestesi regional. Konsentrasi bupivakain 0,5% hiperbarik adalah obat anestesi

lokal yang paling banyak digunakan untuk anestesi spinal. Bupivakain dapat menyebabkan

toksisitas sistemik karena kecelakaan penyuntikan intravena anestetika lokal atau absorbsi

sistemik dari rongga epidural pada teknik anestesi epidural. Manifestasi yang pertama kali

muncul adalah toksisitas terhadap sistem saraf pusat seperti kejang tonik klonik. Sedangkan

kejadian kardiotoksisitas membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi di dalam plasma, yaitu 4-7

kali dosis yang dapat menyebabkan kejang tonik klonik.(3)

Berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan memperpanjang durasi

anestesi spinal. Salah satunya dengan menambahkan obat-obat adjuvan pada anestesi lokal.

Adjuvan intrathecal seperti opioid (4), ketamine (5), klonidin (6), dan neostigmin (7), sering

ditambahkan untuk memperpanjang durasi dari anestesi spinal. Penambahan opioid

memperpanjang lama kerja anestesi spinal tanpa menunda pulih kembali, dan klonidin

meningkatkan kualitas analgesia, dan mengurangi kebutuhan obat analgesia postoperasi.

(18)

terpenting diantaranya pruritus, retensio urinae, depresi pernafasan, gangguan hemodinamik,

nistagmus, nausea, dan vomitus. (4-7)

Sejak awal tahun 1980-an telah dilaporkan oleh beberapa peneliti bahwa penggunaan

midazolam spinal mempunyai kerja antinosisepsi(8) dan sebagai obat analgetik yang efektif pada

binatang percobaan dan manusia.(9) Midazolam adalah suatu derivat GABAa agonis yang

mempunyai efek analgesia pada medula spinalis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa

pemberian midazolam secara anestesi spinal tidak terbukti menyebabkan neurotoksik atau

inflamasi pada medula spinalis dan meningen. Tucker et al. melaporkan suatu penelitian

observasional prospektif dengan 1100 pasien yang menjalani berbagai prosedur bedah dengan

anestesi spinal dengan atau tanpa penambahan midazolam 2 mg intratekal. Pemberian

midazolam intratekal tidak berhubungan dengan peningkatan resiko kelainan neurologis seperti

perubahan fungsi motoris dan sensoris atau gangguan fungsi kandung kemih dan saluran cerna.

Secara klinis, tidak ada efek samping yang dilaporkan setelah penggunaan midazolam pada

anestesi spinal dan epidural pada manusia. (10,11,12,13)

Bharti, Madan, Mohanty, dan Kaul telah melakukan penelitian penambahan midazolam

1 mg terhadap 15 mg bupivakain hiperbarik 0,5% diberikan secara anestesi spinal pada operasi

abdomen bagian bawah melaporkan penambahan midazolam dapat memperpanjang analgesia

sampai 93% dan meningkatkan kualitas dari anestesi spinal dibandingkan kelompok 15 mg

bupivakain 0,5% hiperbarik.(11) Juliana, Nawawi, dan Husaeni, melaporkan penambahan

midazolam 2 mg terhadap 12,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik secara anestesi spinal

memperpanjang lama kerja blokade sensorik dibandingkan penambahan 25 µg fentanil.(12)

Penelitian lain oleh Borg, penambahan midazolam 1 – 6 mg intratekal kontinu efektif mengatasi

nyeri muskuloskletal dan neurogenik yang refrakter. (9-11) Penelitian yang dilakukan Agrawal,

Usmani, Sehgal, Kumar, dan Bhadoria menunjukkan bahwa penambahan midazolam pada

bupivakain intratekal memperpanjang lama kerja/durasi analgesia postoperasi secara signifikan.

Waktu untuk mendapat obat analgesik postoperasi pertama kali lebih dari 17 jam pada kelompok

yang mendapat bupivakain + midazolam, dibandingkan hanya 4 jam pada grup bupivakain.(13)

Saat ini dengan perkembangan ilmu di masyarakat, tuntutan akan pelayanan kesehatan

terus meningkat. Pelayanan kesehatan tidak hanya bertujuan menurunkan kesakitan (morbiditas)

dan kematian (mortalitas), namun juga ditujukan untuk meningkatkan pelayanan yang mengacu

pada masalah efisiensi dan kenyamanan. Dalam konteks pelayanan pembiusan, seorang ahli

(19)

memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan. Penelitian Agrawal dkk mengenai penambahan

midazolam pada bupivakain hiperbarik anestesi spinal memberikan hasil yang lebih baik untuk

mengatasi nyeri paska operasi.

Penelitian Bharti dkk dengan menggunakan penambahan midazolam 1 mg pada

bupivakain 15 mg hiperbarik mendapatkan pamanjangan lama blokade sensorik; yang dinilai

dengan penurunan blok 2 segmen ( sampai 158 menit), dan lama analgesia (sampai 199 menit).

Pada penelitian Juliana dkk, penambahan midazolam 2 mg pada bupivakain 12,5 mg hiperbarik

anestesi spinal juga memperpanjang lama blokade sensorik ( penurunan blok 2 segmen sampai

192 menit), dan lama analgesia (337 menit). Melihat data dari 2 penelitian diatas apakah tidak

faktor penambahan midazolam yang lebih dominan memperpanjang lama blokade sensorik

dibanding bupivakain. Karena itu peneliti tertarik untuk mengkaji perbandingan penambahan

midazolam dosis 1 mg dan 2 mg pada bupivakain 15 mg terhadap lama kerja blokade sensorik

anestesi spinal.

1.2. RUMUSAN MASALAH(14)

Dari latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Apakah penambahan Midazolam 2 mg akan memperpanjang lama kerja blokade sensorik

dan meningkatkan derajat sedasi dibandingkan dengan 1 mg Midazolam pada anestesi spinal

dengan Bupivakain hiperbarik?

1.3. HIPOTESA

Tidak ada perbedaan lama kerja blokade sensorik dan derajat sedasi pada penambahan

Midazolam 1 mg dan 2 mg terhadap anestesi spinal dengan Bupivakain hiperbarik.

1.4. TUJUAN PENELITIAN

1.4.1 Tujuan umum : Mendapatkan alternatif (pilihan) kombinasi obat untuk

(20)

1.4.2 Tujuan khusus :

1. Untuk mengetahui lama kerja blokade sensorik anestesi spinal setelah penambahan

Midazolam dosis 1 mg dan 2 mg pada 15 mg Bupivakain hiperbarik 0,5 %.

2. Untuk mengetahui kejadian sedasi yang timbul setelah penambahan Midazolam dosis 1

mg dan 2 mg pada anestesi spinal dengan bupivakain hiperbarik 0,5%.

1.5. MANFAAT

1.5.1. Mendapatkan dosis obat adjuvan pada anestesi lokal yang akan memberi efek

memperpanjang masa kerja anestesi spinal.

1.5.2. Dengan penelitian ini diharapkan penanganan nyeri perioperatif pada operasi yang

menggunakan anestesi spinal menjadi lebih baik.

1.5.3. Dapat digunakan sebagai pedoman untuk penelitian selanjutnya dengan

membandingkan obat-obat adjuvan lainnya dengan midazolam.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anestesi Spinal

Anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan anestesia umum,

khususnya untuk tindakan operasi abdomen bagian bawah, perineum dan ekstremitas bawah.

Anestesi spinal dan epidural dapat menumpulkan respons stress terhadap pembedahan,

menurunkan perdarahan intraoperatif, menurunkan kejadian tromboemboli postoperasi, dan

menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien pasien bedah dengan resiko tinggi.(3)

Anestesi spinal menimbulkan hambatan sementara transmisi saraf ruang subarakhnoid

sebagai hasil penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam cairan serebrospinal. Beberapa nama

anestesia spinal telah diperkenalkan diantaranya analgesia spinal, analgesia subarakhnoid, blok

spinal, blok arakhnoid, anestesi subarakhnoid dan anestesia lumbal.(1)

Anestesi spinal digunakan secara luas, aman dan berhasil sekitar 100 tahun terakhir ini.(2)

Sejak ditemukannya analgesia spinal oleh Corning tahun 1885 hingga sekarang, anestesia spinal

telah banyak berkembang, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik

mengenai teknik, peralatan/jarum spinal dan analgetika lokal. Berbagai penelitian telah

dilakukan untuk mendapatkan efek anestesi spinal yang optimal, terutama obat anestesi lokal

dengan masa kerja panjang dan efek samping minimal, diantaranya bupivakain.(15,16,17)

Bupivakain merupakan anestesi lokal tipe amida yang disintesis oleh Ekenstamp dkk,

pada tahun 1957 dan digunakan secara klinis oleh Telivuo tahun 1963. Ekblom dan Widman

tahun 1966, menggunakan pemakaian secara intratekal dalam larutan hiperbarik. Penelitian

dilanjutkan dengan menggunakan larutan isobarik (bebas glukosa) oleh Nolte dkk, tahun 1977,

Larc dkk, tahun 1979 dan Cameron tahun 1981.

Stientra dkk, dan Beardsworth dkk, mulai melakukan penelitian bupivakain 0,5% dengan

berbagai perubahan suhu, yang mendapatkan hasil ketinggian level analgesia lebih baik dan lama

kerja yang lebih panjang. Pada awalnya diperkirakan oleh karena sifat barisitasnya (hipobarik)

(22)

2.2 Anatomi Kolumna Vertebra

Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis adalah merupakan salah satu

faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu, pengetahuan tentang penyebaran

analgetika lokal dalam cairan serebrospinal dan level analgesia diperlukan untuk menjaga

keamanan/keselamatan tindakan anestesi spinal. (1,2,3)

Gambar 1. Penampang posterior (A), dan Lateral (C) kolumna spinalis manusia

(B) Menunjukkan variasi dari ujung korda spinalis

Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis: 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5

sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai 4 lekukan, yaitu lordosis servikalis,

kifosis torakalis, lordosis lumbalis dan kifosis sakralis.

Lekukan kolumna vertebralis berpengaruh terhadap penyebaran obat analgetika lokal

dalam ruang subarakhnoid. Pada posisi terlentang titik tertinggi pada vertebra lumbal 3 dan

terendah pada torakal 5.

Segmen medula spinal terdiri dari 31 segmen: 8 segmen servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5

sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya kelompok-kelompok saraf.

(23)

segmen servikal atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran yang berhubungan dengan saraf

servikal atas dan bawah. Pelebaran servikal merupakan asal serabut-serabut saraf dalam pleksus

brakhialis. Pelebaran lumbal sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus lumbosakralis.

Hubungan antara segmen-segmen medula spinalis dan korpus vertebralis serta tulang belakang

penting artinya dalam klinik untuk menentukan tinggi lesi pada medula spinalis dan juga untuk

mencapainya pada pembedahan.

Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang sub arakhnoid dari luar yaitu kulit,

sub kutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater. Arakhnoid terletak

antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai medula spinalis dan melekat pada

duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid.

Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga

dibawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub arakhnoid merupakan

sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak,

pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medula spinalis. Pada orang dewasa

medula spinalis berakhir pada sisi vertebra lumbal 2. dengan fleksi tulang belakang medula

spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal.(1,2,3)

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Obat Anestesi Lokal dalam Cairan Serebrospinal(1,14,15,16,17)

2.3.1 Umur

Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi spinal. Ruang arakhnoid dan epidural menjadi

lebih kecil dengan bertambahnya umur yang membuat penyebaran obat analgetika lokal lebih

besar/luas, dengan hasil penyebaran obat analgetika lokal ke sefalad lebih banyak sehingga level

analgesia lebih tinggi dengan dosis sama dan tinggi badan sama. Sehingga dosis hendaknya

dikurangi pada umur tua. Cameron dkk telah melakukan penelitian pengaruh umur pada

penyebaran obat analgetika lokal, ternyata ada korelasi yang bermakna antara umur dan level

analgesia.

2.3.2 Tinggi Badan

Makin tinggi penderita makin panjang medula spinalisnya, sehingga penderita yang tinggi

(24)

2.3.3 Berat Badan

Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga epidural yang akan

mengurangi volume cairan serebrospinal. Pengalaman klinis mengindikasikan bahwa kegemukan

berpengaruh sedikit terhadap penyebaran obat analgetika lokal dalam cairan serebrospinal.

Kegemukan secara tak langsung mempengaruhi penyebaran obat analgetika lokal dari berat jenis

obat tersebut. Larutan hiperbarik mempengaruhi penyebaran sefalad bila pasien berbaring

horisontal karena posisi kepala agak sedikit lebih rendah.

2.3.4 Jenis Kelamin

Jenis kelamin pasien tidak berpengaruh langsung terhadap penyebaran obat analgetika lokal

dalam cairan serebrospinal. Hanya bila dalam posisi miring lateral akan tampak kepala sedikit

lebih rendah daripada pinggul oleh karena lebar pinggul relatif lebih lebar daripada lebar bahu

pada wanita dan sebaliknya pada laki-laki.

2.3.5 Tekanan intra abdomen

Tekanan intra abdomen yang meninggi menyebabkan tekanan vena dan isi darah vertebral

meningkat yang menyebabkan berkurangnya isi cairan otak. Akibatnya hasil analgesia yang

dicapai lebih tinggi. Contoh: wanita hamil aterm memerlukan dosis yang lebih kecil.

2.3.6 Anatomi Kolumna Vertebralis

Lekukan kolumna vertebralis akan mempengaruhi penyebaran obat analgetika lokal dalam cairan

serebrospinal. Ini akan tampak pada cairan yang bersifat hiperbarik atau hipobarik pada posisi

terlentang horisontal.

2.3.7 Posisi

Posisi pasien, barisitas dan berat jenis obat analgetika lokal yang disuntikkan berpengaruh

terhadap penyebaran obat dalam cairan serebrospinal.

2.3.8 Teknik Penyuntikan

Kecepatan penyuntikan yang lambat menyebabkan difusi lambat dan tingkat analgesia yang

dicapai rendah

(25)

Kurang berperan terhadap tingginya analgesia. Tusukan pada lumbal 2-3 atau lumbal 3-4

memudahkan penyebaran obat ke arah torakal, sedangkan tusukan pada lumbal 4-5 karena

bentuk vertebral memudahkan obat berkumpul di daerah sakral.

2.3.10 Barbotase

Penyuntikan dan aspirasi larutan akan meninggikan tingkat analgesia.

2.3.11 Jumlah Larutan

Makin banyak jumlahnya penyebaran obat makin luas dan makin tinggi analgesia yang dicapai.

2.3.12 Kadar Larutan

Pada umumnya tinggi analgesia bertambah dengan peningkatan kadar larutan analgetika lokal.

2.3.13 Berat Jenis

Larutan hiperbarik, isobarik atau hipobarik yaitu larutan yang lebih berat, sama atau lebih ringan

daripada cairan otak (berat jenis cairan otak 1,0003). Larutan hiperbarik biasanya menghasilkan

tingkat hambatan yang lebih tinggi.

2.4. KONTRAINDIKASI

Pada umumnya kontraindikasi untuk tindakan anestesi spinal meliputi:

1. Infeksi pada daerah tusukan

2. Sepsis atau bakteremia.

3. Syok atau hipovolemia berat.

4. Penyakit neurologis sebelumnya pada korda spinalis.

5. Peningkatan tekanan intrakranial.

6. Gangguan mekanisme pembekuan darah.

(26)

2.5. ANESTESI LOKAL

Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik. Pada pemakaian sehari hari,

obat ini dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan amino amida. Rumus bangun

terdiri dari bagian aromatik, rantai penghubung dan bagian amino. Bagian aromatik

mempengaruhi kelarutan dalam air dan rantai penghubung menentukan jalur metabolisme obat

anestesi lokal.(15,16,17)

Ikatan ester mempunyai sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan oleh plasma esterase, mula

kerja lambat, lama kerja pendek dan hanya sedikit menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida

mudah menjadi tidak aktif oleh hepatik amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama dan

lebih banyak menembus jaringan. Kelompok ester antara lain Prokain, Khlorprokain, Tetrakain.

Kelompok amida antara lain lidokain, mepivakain, bupivakain, dan etidokain.

Struktur umum dari obat anestesi lokal tersebut mencerminkan orientasi dari tempat

bekerjanya yaitu membran sel saraf. Jika dilihat susunan dari membran sel saraf yang terdiri dari

dua lapisan lemak dan satu lapisan protein di luar dan didalamnya, maka struktur obat anestesi

lokal gugus hidrofilik berguna untuk transpor ke sel saraf sedangkan gugus lipofilik berguna

untuk migrasi ke dalam sel saraf.

2.5.1. Mekanisme kerja obat anestesi lokal

Obat anestesi lokal mencegah transmisi impuls pada serat saraf (blokade konduksi)

dengan menginhibisi pasase ion natrium melalui terowongan yang selektif terhadap natrium pada

membran saraf.(15) Hambatan terhadap pembukaan saluran ion natrium oleh obat anestesi lokal

mencegah masuknya ion natrium.Kegagalan peningkatan permabilitas saluran ion natrium

menimbulkan hambatan depolarisasi pada sel saraf.

2.5.2. Sifat fisikokimia obat anestesi lokal

Aksi farmakologik dari obat anestesi lokal dipengaruhi oleh kelarutannya dalam lemak,

ikatan plasma, dan konstanta disosiasi. Potensi obat anestesi lokal berhubungan dengan

(27)

membran yang hidrofobik. Secara umum, potensi dan kelarutan obat anestesi lokal dalam lemak

akan meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah atom karbon pada molekul obat (besar

molekul obat).(17)

Cm adalah konsentrasi minimum obat anestesi lokal yang dapat menghambat

penghantaran impuls saraf. Ukuran potensi relatif ini dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk

ukuran serabut saraf, tipe dan mielinisasi serabut saraf, pH (pH asam antagonis terhadap blok),

dan konsentrasi elektrolit (hipokalemia dan hiperkalsemia antagonis terhadap blok).(17)

Mula kerja obat anestesi lokal dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk kelarutan obat

dalam lemak, kecepatan obat anestesi lokal berdifusi menembus selubung saraf (epineurium),

dan konsentrasi relatif dari bentuk non ion yang larut dalam lemak dan bentuk ion yang larut

dalam air, yang dinyatakan dengan pKa. pKa adalah pH suatu senyawa dimana jumlah bentuk

ion dan bentuk non ion adalah sama. Obat anestesi lokal yang lebih kecil kelarutannya dalam

lemak mempunyai mula kerja yang lebih cepat.

Obat anestesi lokal dengan pKa mendekati pH fisiologis akan mempunyai konsentrasi

bentuk non ion yang lebih tinggi sehingga dapat melewati membran saraf dan mengakibatkan

mula kerja yang lebih cepat. Bentuk kation bermuatan, lebih cepat mengikat saluran natrium

didalam sel; juga karena bentuk ini mudah larut dalam lemak (lipid soluble) maka akan lebih

cepat berdifusi melewati selubung saraf (epineuron) dan membran saraf. Setelah berada di dalam

sel, bentuk non ion akan mencapai kesetimbangan (equilibrium) dengan bentuk ion. Mula kerja

obat anestesi lokal pada serabut saraf yang telah diisolasi berhubungan langsung dengan pKa.

Bagaimanapun, mula kerja obat anestesi lokal dengan pKa yang sama secara klinis tidak selalu

sama. Faktor-faktor lain seperti difusi obat melalui jaringan ikat sekitar saraf (perineurium) dapat

mempengaruhi mula kerja invivo.

Kepentingan bentuk ion dan non ion mempunyai beberapa implikasi klinis. Larutan obat

anestesi lokal pada sediaan komersialnya dibuat dalam bentuk garam hidroklorida yang larut

dalam air (pH 6-7). Karena epinefrin tidak stabil pada lingkungan alkalin, sediaan obat anestesi

lokal yang mengandung epinefrin dibuat dalam bentuk yang lebih asam (pH 4-5). Sebagai

akibatnya, sediaan ini akan mempunyai konsentrasi basa bebas yang lebih rendah dan onset yang

lebih lambat dibandingkan jika epinefrin ditambahkan pada saat akan digunakan. Sebaliknya,

jika larutan berkarbonat obat anestesi lokal yang dipakai dibandingkan dengan bentuk garam

hidroklorida, maka mula kerja obat anestesi lokal menjadi lebih pendek. Walau masih

(28)

preparat komersial yang mengandung epinefrin) dengan penambahan natrium bikarbonat (misal

1 ml 8,4% natrium bikarbonat per 10 ml lidokain 1%) mempercepat mula kerja, meningkatkan

kualitas blok dan memperpanjang lama blok dengan meningkatkan jumlah basa bebas yang

tersedia.

Lama kerja (durasi) obat anestesi lokal berhubungan dengan kelarutannya dalam lemak.

Obat anestesi lokal dengan kelarutan dalam lemak yang tinggi, akan memiliki lama kerja lebih

panjang sebab lebih lambat dikeluarkan dari sirkulasi darah. Selain itu, obat anestesi lokal yang

kelarutannya dalam lemak tinggi juga mempunyai ikatan protein plasma yang tinggi, terutama

terhadap alfa-1 asam glikoprotein dan sedikit terhadap albumin; sebagai konsekuensinya

eliminasinya memanjang. Sistem lepas lambat (sustained release) dengan menggunakan

enkapsulasi liposomal untuk elimiasi obat anestesi lokal dapat memperpanjang lama kerja.(17)

2.6. BUPIVAKAIN

Bupivakain merupakan obat anestesi lokal golongan amida dengan masa kerja yang

panjang. Struktur kimia mirip dengan mepivakain. Disintesa pertama kali pada tahun 1957 oleh

Ekenstam dkk. Pemanjangan pada gugus methil dari cincin piperidin mepivakain dengan

menambahkan rantai butyl 4 atom karbon menyebabkan pemanjangan durasi kerja dan

peningkatan potensi, yang disertai dengan peningkatan toksisitas. Efek analgesia bupivakain

lebih panjang dua sampai tiga kali lebih panjang dari lidokain dan mepivakain.(16)

Dengan segala kelebihannya tersebut, bupivakain telah digunakan secara luas sebagai

obat anestesi lokal sampai suatu ketika dilaporkan berhubungan dengan kejadian henti jantung

pada regional anestesia. Lebih buruk lagi, kebanyakan kejadian efek samping ini terjadi pada

wanita dengan kehamilan aterm. Karena itu, bupivakain 0,75% tidak digunakan lagi pada kasus

kasus obstetri (bedah sesar). Sediaan bupivakain 0,75% masih disediakan untuk penggunaan

non-obstetri; merupakan obat anestesi lokal yang disukai pada blok oftalmik karena selain

(29)

NHC   CH3 

 N 

CH2CH2CH2CH3  O 

 CH3

Gbr 2. Rumus bangun Bupivakain

Bupivakain larutan 0,25% dan 0,5% adalah yang paling sering digunakan pada anestesia

regional. Kadar 0,5% digunakan bila diperlukan relaksasi otot selain dari dan analgesia (misal

pada kasus blok pleksus brakialis untuk operasi repair fraktur bahu); larutan bupivakain 0,25%

digunakan untuk analgesia rutin lainnya dan pada pasien lanjut usia. Namun konsentrasi

bupivakain berapapun yang digunakan, total massa (mg) bupivakain yang digunakan yang

menentukan batas dosis: perusahaan pembuatnya menganjurkan dosis 2-3 mg/kg BB.

Walaupun bupivakain diserap dengan baik dari tempat injeksinya, ikatan bupivakain

yang kuat dengan jaringan menyebabkan tidak segera tercapainya kadar puncak dalam darah dan

durasi kerja yang panjang. Durasi kerja pada ruang epidural kira-kira 2 sampai 3 jam.(16,17,18)

2.7. MIDAZOLAM

Midazolam disintesis pertama kali pada tahun 1976 oleh Fryer dan Walser, merupakan

golongan benzodiazepin.(15) Merupakan obat yang sering digunakan untuk menimbulkan sedasi

preoperasi dan memiliki efek hipnosis, ansiolitik, dan amnesia. Midazolam adalah suatu

imidazobenzodiazepine yang larut dalam air, berbeda struktur dari benzodiazepin lain dengan

adanya cincin imidazole. Dengan struktur bangunnya yang tertutup pada pH fisiologis, cincin ini

akan meningkatkan kelarutan midazolam dalam lemak, sehingga berakibat meningkatnya

penetrasi ke jaringan. Karakteristik ini menyebabkan midazolam menjadi benzodiazepin yang

(30)
[image:30.595.115.477.94.343.2]

Gambar 3. Rumus bangun Midazolam

Penelitian awal pada Gamma Aminobutyric Acid (GABA) menunjukkan bahwa GABA

memiliki peran penting dalam pengaturan saraf aferen primer pada tanduk motoris (motor horn)

dan tanduk dorsalis (dorsal horn). Blok dari aktifitas reseptor GABAa akan menimbulkan kejang.

Hal ini menunjukkan peran inhibisi dari neurotransmitter ini atau sistem reseptornya. Rasional

dari penggunaan midazolam intrathecal berfokus pada midazolam sebagai agonis reseptor

GABAa pada lokasi ikatan sub unit benzodiazepine. Ikatan ini meningkatkan aktifitas GABA

pada GABAa reseptor.

Dilaporkan pada awal dekade tahun 1980 bahwa benzodiazepin yang diberikan secara

spinal dapat mempengaruhi sistem nosiseptif melalui interaksi benzodiazepin dengan sistem

GABA. Menurut penelitian Edwards dan Serrao, efek antinosisepsi dari benzodiazepin

diperkirakan timbul terutama melalui reseptor benzodiazepin-aminobutirat pada korda spinalis.

Pada penelitian mempergunakan autoradiografi invitro, dapat diperlihatkan bahwa terdapat

densitas yang tinggi dari reseptor benzodiazepin (reseptor GABAa) di lamina II tanduk dorsalis

(31)

Gbr.4. GABAa reseptor

Midazolam mempunyai khasiat analgesia bila diberikan melalui intratekal pada penelitian

binatang dan manusia namun tidak menunjukkan khasiat analgesia pada pemberian melalui

injeksi sistemik.(19) Sebagai obat tunggal yang diberikan secara bolus intratekal pada manusia,

midazolam dengan dosis sampai 2 mg perhari telah efektif mengatasi nyeri punggung kronis non

maligna (penelitian Serrao, Mark) dan nyeri somatik (penelitian Goodchild, Nobel). Pada

binatang pengerat (rodent), anjing, dan domba, midazolam intratekal obat tunggal telah

menunjukkan efek blokade sensorik dan antinosisepsi serta peningkatan yang bermakna pada

ambang nyeri mekanik. Goodchild dan Serrao menunjukkan bahwa pemberian midazolam

intratekal akan meningkatkan ambang rangsang pada percobaan tikus dan efek ini dapat

dihambat oleh pemberian antagonis benzodiazepin flumazenil. Demikian juga, Kohno et al. telah

menunjukkan bahwa midazolam meningkatkan respon yang diperantarai GABA pada neuron di

substansia gelatinosa korda spinalis; efek ini akan meningkatkan aktifitas neurotransmiter

inhibisi. Mekanisme timbulnya analgesia pada pemberian midazolam intratekal belum

sepenuhnya dimengerti. Rattan et al. menunjukkan bahwa efek antinosisepsi in vivo dari

pemberian midazolam intratekal dapat dihambat oleh antagonis opioid naloxon yang

menunjukkan keterlibatan dari reseptor opioid. Penelitian lainnya dengan menggunakan

antagonis opioid selektif mendukung dugaan adanya aktivasi dari reseptor delta opioid pada

korda spinalis yang menyebabkan timbulnya analgesia setelah pemberian midazolam intratekal.

Mekanisme timbulnya analgesia pada pemberian midazolam intratekal belum sepenuhnya

(32)
[image:32.595.123.439.116.484.2]

Gambar 5. GABA a Reseptor

Efek analgesia sinergis dapat ditemukan pada kombinasi midazolam intratekal dengan

klonidin, anestesi umum dan anestesi lokal, dan opioid. Penambahan midazolam pada larutan

anestetika lokal mempunyai efek antinosisepsi melalui reseptor GABAa, reseptor opioid kappa,

dan delta di medulla spinalis sehingga dapat memperpanjang efek analgesia dari anestetika lokal

yang diberikan secara anestesia spinal. Efek analgesia inipun dapat dinetralkan oleh antagonis

opiat (nalokson), antagonis benzodiazepin (flumazenil) dan antagonis GABAa (bicuculine).(11,23)

(33)

2.8. KERANGKA KONSEP

Bupivakain 

Depolarisasi 

Reseptor 

Reseptor 

Aktifitas 

Hemodinamik  Blokade  Sedasi 

Midazolam 

(34)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1 DESAIN

Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol secara random tersamar ganda

untuk mengetahui efektivitas penambahan midazolam dosis 1 mg dan 2 mg pada anestesi

spinal dengan bupivakain hiperbarik 0,5%. Random dilakukan dengan memakai cara

randomisasi blok.

3.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Tempat : Ruang operasi RSU(P) Haji Adam Malik Medan dan RS Dr Pirngadi Medan

Waktu : Februari 2009 s/d Maret 2009

3.3 POPULASI DAN SAMPEL 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang mengalami pembedahan dengan spinal

anestesi di RSU(P) H.Adam Malik dan RS Dr Pirngadi.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah pasien dengan PS ASA 1 – 2 yang akan menjalani pembedahan

dengan spinal anestesi untuk operasi abdominal bagian bawah.

Setelah dihitung secara statistik, seluruh sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok.

Kelompok A mendapat Midazolam 1 mg + Bupivakain 0,5% 15 mg hiperbarik dan

Kelompok B mendapat Midazolam 2 mg + Bupivakain 0,5% 15 mg hiperbarik.

(35)

a. Bersedia ikut dalam penelitian

b. Usia 18 – 60 tahun

c. Berat badan ideal (sesuai BMI)

d. Pasien dengan status fisik ASA 1 - 2

3.4.2 Kriteria Eksklusi

a. Pasien dengan kontraindikasi spinal anestesi

b. Alergi terhadap obat yang diteliti (Midazolam, Bupivakain hiperbarik)

c. Mendapat pengobatan analgesik kronik

d. Tinggi blok spinal Thoracal 10

3.5 ESTIMASI BESAR SAMPEL

Data independent (tidak berpasangan)

2σ2 (Z1-α/2 + Z1-β ) 2 n1=n2 = ---

(μ0- μa) 2

Keterangan:

n = besar sampel minimum

Z1-α/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu

Z1-β = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada β tertentu

σ2 = harga varians di populasi (literatur)

μ0-μa = perkiraan selisih nilai mean yang diteliti dengan mean di

(36)

Untuk menentukan nilai σ2 (diambil dari literatur) pada data dependen dipakai rumus ini:

(n1 – 1)S 1 2+ (n2 -1) S2 2

σ2

/Sp2 = ---

(n 1 + n 2) -2

n1 = jumlah sampel kelompok 1

n2 = jumlah sampel kelompok 2

S12 = varian kelompok 1

S22 = varian kelompok 2

Pada penelitian ini,

2σ2 (Z1-α/2 + Z1-β ) 2 n1=n2 = ---

(μ0- μa) 2

Keterangan:

n = besar sampel minimum

Z1-α/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α = 5% = 1,96

Z1-β = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada β =10% jadi power 90% nilai

=1,282

σ2 = harga varians di populasi (literatur) = 32.16 (Nidi, 2005)

μ0-μa = perkiraan selisih nilai mean yang diteliti dengan mean di

Populasi = 30

(37)

3.6. CARA KERJA

Persiapan pasien dan obat :

a. Setelah disetujui komite etik dan mendapat penjelasan (informed consent), semua sampel yang akan menjalani operasi dimasukkan dalam kriteria inklusi dan eksklusi.

b. Sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok dan dilakukan randomisasi tersamar

ganda oleh relawan yang sudah dilatih. Random dilakukan dengan memakai cara randomisasi

blok sebagai berikut: dilakukan oleh relawan yang telah dilatih sebelumnya. Dengan

memakai tabel angka random, pena dijatuhkan di atas tabel angka random, angka yang

terkena merupakan urutan untuk memulai penelitian. Kelompok A adalah Midazolam 1 mg +

Bupivakain 0,5% 15 mg hiperbarik dan Kelompok B adalah Midazolam 2 mg + Bupivakain

0,5% 15 mg hiperbarik.

Untuk kelompok AB adalah angka 0 sampai 4 dan untuk kelompok BA adalah angka 5

sampai 9. Randomisasi dilakukan satu kali, urutan AB atau BA dibuat dan disimpan

daftarnya oleh relawan yang melakukan randomisasi yang telah dilatih (desain daftar pasien

terlampir).

Obat disiapkan oleh relawan yang melakukan randomisasi (peneliti dan pasien tidak

mengetahui komposisi obat dalam spuit). Setelah melakukan randomisasi dan menyiapkan

obat oleh relawan yang melakukan randomisasi, obat tersebut diberikan ke peneliti di dalam

amplop putih.

c. Kedua kelompok menjalani prosedur persiapan operasi elektif. Prosedur persiapan dimaksud

adalah pasien dipusakan 6 jam sebelum dilakukan pembiusan. Pasien dari kedua kelompok

tidak mendapatkan premedikasi.

Pada hari penelitian :

a. Obat disiapkan oleh relawan yang melakukan randomisasi pada saat akan dilakukan

penelitian. Persiapan dengan cara :

• Kelompok A : Midazolam (Dormicum) 1 mg = 0,2 cc Dormicum 5 mg/cc diambil dengan spuit 1ml =1 cc. Selanjutnya diambil Bupivakain 15 mg = 3 cc

(38)

dalam Bupivacain 15 mg dan diberi tambahan 0,2 cc NaCl 0,9 % dengan

memakai spuit 1cc (spuit insulin).

• Kelompok B : Midazolam (Dormicum) 2 mg = 0,4 cc Dormicum 5 mg/cc diambil dengan menggunakan spuit 1ml. selanjutnya diambil Bupivacain 15 mg = 3cc

dengan menggunakan spuit 5 cc. kemudian Midazolam 0,4 cc = 2 mg

dicampurkan ke Bupivacain 15 mg.

b. Sebelum pasien memasuki kamar operasi, disiapkan mesin anestesi yang dihubungkan

dengan sumber oksigen. Juga disiapkan set alat intubasi, tube endotrachea (ETT), dan

obat obat gawat darurat seperti Epinefrin injeksi, Sulfas Atropin, Efedrin injeksi dan

Dexametason. Kemudian pasien dibawa memasuki kamar operasi, dipasang alat pantau

(monitoring) pada tubuh pasien dan dicatat data mengenai tekanan darah, laju nadi dan

laju nafas.

c. Kemudian pasien dipasangi infus dengan jarum no 18G dan kedua kelompok diberikan

infus preload cairan Ringer Laktat sebanyak 15 ml/kg BB, 30 menit sebelum dilakukan

anestesi spinal.

d. Pasien diposisikan pada posisi duduk untuk dilakukan anestesi spinal. Setelah dilakukan

anestesi, pasien diposisikan supine kembali dan diberikan oksigen 2-3 liter/menit dengan

nasal prong. Tindakan anestesi spinal dilakukan oleh PPDS anestesi semester 2 ke atas.

e. Dilakukan pengamatan dan pencatatan terhadap :

• Lama kerja blokade sensorik

• Tekanan darah

• Frekuensi nadi

• Frekuensi nafas

• Derajat sedasi

f. Setelah semua sampel terkumpul relawan memberikan daftar identitas pasien dan jenis

obat yang diberikan kepada pasien selama operasi.

g. Derajat sedasi dinilai dengan menggunakan skala sedasi modifikasi Ramsay

Skala sedasi Ramsay (Modified) :

1) Cemas, agitasi, tidak dapat tenang

2) Koperatif, orientasi baik, tenang

3) Diam, hanya berespons terhadap perintah verbal

4) Tidur, respon yang cepat terhadap ketukan pada glabella atau rangsangan verbal yang

(39)

5) Tidur, respons lambat terhadap ketukan pada glabella atau rangsang verbal yang keras

6) Tak ada respons terhadap rangsang

h. Hasil pengamatan pada kedua kelompok dibandingkan secara statistik.

i. Penelitian dihentikan bila subjek menolak berpartisipasi, terjadi blok total spinal,

kegawatan jalan nafas, jantung, paru dan otak yang mengancam jiwa.

3.7. IDENTIFIKASI VARIABEL a. Variable independen :

1. midazolam 1 mg

2. midazolam 2 mg

b. Variable dependen

1. lama kerja blokade sensorik

2. derajat sedasi

3.8. RENCANA MANAJEMEN DAN ANALISA DATA

a. Data yang akan terkumpul dianalisa dengan program software SPSS versi 15

b. Pengujian kenormalan dilakukan dengan Kolmogorov-Siminov.

c. Analisa data mula kerja blokade sensorik, mula kerja blokade motorik, lama kerja

blokade sensorik, lama kerja blokade motorik dan derajat sedasi bila distribusinya normal

dengan uji t -tidak berpasangan, sedangkan bila distribusinya tidak normal dengan uji

chi-square.

d. Batas kemaknaan yang ditetapkan 5 %.

e. Interval kepercayaan yang dipakai 95 %

3.9. DEFINISI OPERASIONAL

Pada penelitian ini variabel yang diteliti adalah lama kerja blokade sensorik dan derajat

sedasi.

• Anestesi spinal : tindakan anestesi dengan cara memberikan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Tehnik ini cukup efektif dan mudah dikerjakan. Obat anestesi lokal

(40)

blokade sensorik ditentukan sampai level setinggi Thorakal 10. Penilaian tinggi blokade

sensorik dilakukan dengan tes pinprick, memakai jarum no.23.

• Lama kerja blokade sensorik adalah penurunan level analgesia dan hilangnya efek analgesia obat anestetika lokal sehingga pasien mulai merasakan nyeri pada luka operasi.

Dinilai dari regresi 2 segmen dan penilaian Visual Analog Scale (VAS) 3.

• Regresi 2 segmen adalah penurunan tinggi level analgesia sebanyak 2 segmen (dalam penelitian ini sampai Th 12). Dinilai pada linea mid clavicularis kiri dan kanan

setiap 15 menit sampai penurunan tinggi blokade sensorik sebanyak 2 segmen tercapai.

• Penilaian VAS 3 yaitu hilangnya blokade sensoris dan pasien pertama kali mulai merasakan nyeri ringan (nyeri mencapai nilai VAS ≥ 3) pada tempat incisi atau daerah

operasi. Dinilai setiap 30 menit, dimulai dari akhir penyuntikan obat anestesi spinal. Bila

telah tercapai, kemudian pasien diberi analgetika intravena.

• Lama kerja blokade motorik : waktu yang diperlukan untuk pemulihan pergerakan tungkai yaitu tungkai dapat mengangkat lutut dan telapak kaki (skala Bromage 3)

• Derajat blokade motorik menurut Bromage:

Bromage 0 = Dapat mengangkat lutut dan telapak kaki

Bromage 1 = Hanya mampu untuk fleksi lutut dan fleksi telapak kaki

Bromage 2 = Tidak mampu fleksi lutut, masih mampu fleksi telapak kaki

Bromage 3 = Tidak mampu menggerakkan kaki atau telapak kaki. (3,12,18)

• Tekanan darah : hasil kali cardiac output dan tahanan perifer sistemik. Nilai normal untuk tekanan sistolik 90 – 120 mmHg dan tekanan diastolik 60 – 90 mmHg. Diukur dengan

menggunakan alat ukur tekanan darah standar non invasif otomatis merek Omron yang

telah ditera. Tekanan darah diukur setiap 3 menit setelah suntikan selama 30 menit

pertama, tiap 5 menit sampai berakhirnya operasi bedah, selanjutnya setiap 30 menit

sampai blok spinal turun 2 segmen. Bila terjadi hipotensi, pasien diberi 10 mg efedrin

intravena dan cairan kristaloid 300 – 500 ml titrasi.

• Laju nadi : jumlah pulsasi yang dirasakan pada suatu arteri permenit. Normalnya 60-100 x permenit. Laju nadi diukur tiap 3 menit setelah suntikan selama 30 menit pertama, tiap

5 menit sampai berakhirnya operasi bedah, selanjutnya tiap 30 menit sampai blok spinal

(41)

• Laju nafas : jumlah satu siklus inspirasi dan ekspirasi dalam satu menit. Normalnya 12-20 x permenit.

Derajat sedasi pada penelitian ini menggunakan skala modifikasi Ramsay.

Skala sedasi modifikasi Ramsay:

1. Cemas, agitasi, tidak dapat tenang

2. Koperatif, orientasi baik dan tenang

3. Diam, hanya berespons terhadap perintah verbal

4. Tidur, respon yang cepat terhadap ketukan pada glabella atau rangsangan verbal

yang keras

5. Tidur, respon lambat terhadap ketukan pada glabella atau rangsang verbal yang

keras

6. Tidak ada respon terhadap rangsang.(12)

,3.10. MASALAH ETIKA

Dalam penelitian ini dilakukan spinal anestesi. Pada spinal anestesi bisa terjadi beberapa

kemungkinan:

a. Total blok spinal anestesi. Hal ini bisa terjadi ketika dilakukan anastesi spinal, dimana

obat anastesi lokal menyebar sampai memblok seluruh korda spinalis.(3) Penanganannya

adalah dengan :

o menjaga jalan nafas dengan melakukan intubasi

o memberikan nafas buatan dan pemberian oksigen 100%

o lakukan support sistem kardiovaskuler dengan penanganan hipotensi dan

bradikardia . Penanganan hipotensi dengan :

• memberi cairan kristaloid dan koloid secara cepat

• posisikan pasien head down

• penggunaan obat vasopressor seperti pemberian efedrin 10 mg IV. Epinefrin dapat diberikan bila pemberian efedrin tidak membantu.

Penanganan bradikardia :

(42)

b. Terjadi Postdural Puncture Headache (PDPH). Hal ini terjadi karena kebocoran cairan

serebrospinal ketika penusukan (spinal puncture) dengan menggunakan jarum spinocan

nomor besar ( ≥ nomor 23 G ). Insiden kejadian PDPH di RS H. Adam Malik Medan dan

RS Dr Pirngadi Medan sangat jarang karena menggunakan spinocan nomor 25 G. Namun

bila terjadi juga dapat diatasi dengan:

o posisi pasien tetap berbaring terlentang selama minimal 24 jam

o diberikan rehidrasi yang adekuat melalui jalur intravena dan oral.

o Pemberian obat analgesia seperti paracetamol dan NSAID (2,3,26)

o Pemberian kafein dapat mengurangi PDPH dengan menyebabkan vasokontriksi

pembuluh darah intra kranial. Kafein diberikan dalam bentuk kafein sodium

benzoat 500 mg IV atau dalam bentuk minuman yang mengandung kafein seperti

teh, kopi, atau coca-cola. (2,3,26,27)

o Bila gejala belum berkurang dilakukan epidural blood patch.(27,28,30)

c. Pada anestesi spinal juga bisa terjadi hipotensi akibat blok simpatis. Dikatakan hipotensi

bila terjadi penurunan tekanan darah sampai 20% dari tekanan darah basal dan biasanya

masih dapat ditolerir oleh pasien-pasien dewasa muda yang sehat. Untuk mengantisipasi

terjadinya hipotensi sudah disiapkan obat efedrin dan cairan kristaloid. Bila terjadi

hipotensi diberikan efedrin 10 mg, dan ektra cairan kristaloid sebanyak 250 ml. Bila perlu

dapat diulangi pemberian efedrin 10 mg dan pemberian cairan kristaloid sampai 20

ml/kg.(26,27,28,29)

d. Bila pasien menggigil akan diberikan selimut, cairan infus yang dipakai dihangatkan, dan

(43)

3.11. PROSEDUR KERJA

 

Populasi

Sampel  Kriteria inklusi

  Kriteria eksklusi 

d d

Bupivakain 15 mg +

Mida olam2m

Bupivakain 15 mg +

Midazolam 1 mg + 

 

• Lama kerja  blokade sensorik  • Derajad sedasi   

• Mula kerja  blokade sensorik  • Mula kerja 

blokade motorik  • Lama kerja 

blokade sensorik  • Lama kerja 

blokade motorik • Lama kerja 

blokade sensorik  • Derajad sedasi   

(44)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan selama 2 bulan dari awal Februari 2009 s/d Maret 2009, dan

diperoleh 50 pasien yang bersedia mengikuti penelitian dengan status fisik ASA 1 dan 2 yang

menjalani operasi dengan anestesi spinal sesuai dengan prosedur penelitian. Dari 50 pasien yang

menjadi subjek penelitian dibagi dalam 2 kelompok perioperatif masing- masing 25 pasien

dalam kelompok Bupivakain 15mg + Midazolam 1mg dan 25 pasien pada kelompok Bupivakain

15 mg + Midazolam 2 mg.

4.1. Karakteristik Umum Subjek Penelitian

Karakteristik umum subjek penelitian berupa umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi

[image:44.595.65.541.372.752.2]

badan, dan indeks massa tubuh. Sebaran data karakteristik umum tersebut dapat dilihat pada

tabel 4.1

Tabel 4.1. Perbandingan Rerata dan Simpang Baku Karakteristik umum sampel

penelitian pada kedua kelompok

Variabel Kel. Bupivakain 15mg

+ Midazolam 1mg

Kel. Bupivakain 15mg + Midazolam 2mg

P

Umur (thn) 35 (SD 13,68) 36 (SD 12,20) 0,712 (NS)*

Jenis kelamin L

P

17 (68%)

8 (32%)

19 (76%)

6 (24%)

(45)

Berat badan (kg) 56 (SD 9,93) 56,4 (SD 10,11) 0,866 (NS)**

Tinggi badan (cm) 161,9 (SD 9,12) 162,1 (SD 7,82) 0,934 (NS)**

Indeks Massa Tubuh 21,2 (SD 2,57) 21,3 (SD 2,34) 0,911 (NS)**

Lama operasi (mnt) 82,1 (SD 42,2) 65,3 (SD 39,1) 0,151 (NS)**

*Uji Mann-Whitney

** Uji t

Umur pasien yang menjadi subjek penelitian pada kedua kelompok berkisar dari yang

paling muda berusia 18 tahun dan yang tertua 58 tahun, dengan rerata 35,0 tahun (SD 13,68)

pada kelompok Bupivakain 15 mg + Midazolam 1 mg dan rerata 36,36 tahun (SD 12,20) pada

kelompok Bupivakain 15 mg + Midazolam 2 mg dengan uji Mann-Whitney didapat nilai 0,712

(p > 0,05) berarti tidak ada perbedaan umur yang bermakna antara kedua kelompok.

Jenis kelamin (L/P) pada kelompok Bupivakain 15mg + Midazolam 1mg 17/8

(68%/32%) dan pada kelompok Bupivakain 15mg + Midazolam 2mg 19/6 (76%/24%) dengan

uji chi square didapat nilai p = 0,427 berarti tidak ada perbedaan.

Berat badan subjek penelitian berkisar antara 40 – 74 kg dengan rerata 56,0 (SD 9,9) kg

pada kelompok Bupivakain 15mg + Midazolam 1mg dan berkisar antara 43 – 73 kg dengan

rerata 56,4 (SD 10,1) kg pada kelompok Bupivakain 15mg + Midazolam 2mg dengan uji t –

independen didapat nilai p = 0,866 berarti tidak ada perbedaan berat badan yang bermakna antara kedua kelompok.

Tinggi badan subjek penelitian berkisar antara 148 – 180 cm dengan rerata 161,9 (SD

9,12) cm pada kelompok Bupivakain 15mg + Midazolam 1mg dan berkisar antara 145 – 178 cm

dengan rerata 162,1 (SD 7,8) cm pada kelompok Bupivakain 15mg + Midazolam 2mg dengan uji

(46)

Indeks massa tubuh subjek penelitian berkisar antara 15,9 – 25,0 dengan rerata 21,2 (SD

2,5) pada kelompok Bupivakain 15mg + Midazolam 1mg dan berkisar antara 17,01 – 24,74

dengan rerata 21,3 (SD 2,3) pada kelompok Bupivakain 15mg + Midazolam 2mg dengan uji t –

independen didapat nilai p = 0,911 berarti tidak ada perbedaan indeks massa tubuh yang bermakna antara kedua kelompok

Lamanya operasi berkisar 23 – 152 menit dengan rerata 82,1(SD 42,2) untuk kelompok

Bupivakain 15mg + Midazolam 1mg dan berkisar 20 – 170 menit dengan rerata 65,3 (SD 39,1)

untuk kelompok Bupivakain 15mg + Midazolam 2 mg dengan uji t – independen didapat nilai p

= 0,151 berarti tidak ada perbedaan lamanya operasi yang bermakna diantara kedua kelompok.

4.2 Jenis operasi pada kedua kelompok penelitian

Karakteristik jenis operasi yang dilaksanakan pada subjek penelitian yaitu bedah

ortopedi, bedah urologi, bedah digestif, dan bedah plastik. Hasil penelitian terlihat pada tabel

[image:46.595.69.486.331.723.2]

dibawah ini (tabel 4.2).

Tabel 4.2 Jenis operasi pada kedua kelompok penelitian

Jenis operasi Kel. Bupivakain 15mg

+ Midazolam 1mg

Kel. Bupivakain 15mg

+ Midazolam 2mg

P

Bedah ortopedi 17 (68,0%) 15 (60,0%) 0,627

(NS)*

Bedah urologi 6 (24%) 8 (32%)

Bedah digestif 1 (4%) 2 (8%)

(47)

Total 25 (100%) 25 (100%)

* Uji Chi-square

Jenis operasi terbanyak dalam penelitian ini adalah bedah ortopedi pada kelompok

Bupivakain 15 mg + Midazolam 1 mg (68 %) dan pada kelompok Bupivakain 15 mg +

Midazolam 2 mg (60 %). Jenis operasi dianalisis dengan uji chi square untuk menilai perbedaan

proporsi antara kedua kelompok penelitian dan didapatkan nilai p = 0,627 berarti tidak ada

perbedaan jenis operasi diantara kedua kelompok.

4.3. Lama Kerja Blokade Sensorik

Lama kerja blokade sensorik dinilai dengan regresi blok sensorik 2 segmen dan mulai

timbul nyeri pada daerah operasi (VAS 3). Regresi 2 segmen kelompokBupivakain 15 mg +

Midazolam 1 mg berkisar antara 90 – 215 menit dengan rerata 160,4 (SD 31,4) dan berkisar

antara 120 – 210 menit dengan rerata 198,1 (SD 22,5) untuk kelompokBupivakain 15 mg +

Midazolam 1 mg. Diperoleh nilai p = 0,992 dengan uji Mann- Whitney berarti tidak ada

perbedaan lamanya regresi 2 segmen diantara kedua kelompok.

Mulai timbul nyeri pada daerah operasi (VAS 3) pada kelompok Bupivakain 15 mg +

Midazolam 1 mg berkisar antara 180 – 280 menit dengan rerata 260,0 (SD 69,6) dan berkisar

antara 190 – 290 menit dengan rerata 256,7 (SD 48,7) untuk kelompok Bupivakain 15 mg +

Midazolam 2 mg. Dengan uji Mann- Whitney diperoleh nilai p = 0,676, berarti tidak ada

(48)
[image:48.595.75.511.121.593.2]

Tabel 4.3 Lama Kerja Blokade sensorik pada kedua kelompok

Variabel Kel. Bupivakain 15mg

+ Midazolam 1mg

Kel. Bupivakain 15mg

+ Midazolam 2mg

P

Regresi 2 segmen

(mnt)

160,4 (SD 31,4) 198,1 (SD 22,5) 0,992 (NS)

VAS 3 240,0 (SD 69,6) 256,7 (SD 48,7) 0,676 (NS)

0 50 100 150 200 250 300

Regresi 2 Segmen Vas 3

Bupivakain 15 mg + Midazolam 1 mg Bupivakain 15 mg + Midazolam 2 mg

(49)

4.4. Derajad sedasi

Pada kelompok Bupivakain 15 mg + Midazolam 1 mg dijumpai 14 subjek penelitian

(56%) dengan skala sedasi Ramsay 2 dan 11 subjek dengan skala sedasi Ramsay 3 (44 %).

Sedangkan pada kelompok Bupivakain 15 mg + Midazolam 2 mg didapatkan 15 subjek

penelitian (60 %) dengan skala sedasi Ramsay 2 dan 10 subjek dengan skala sedasi Ramsay 3

(40 %). Dengan uji Pearson Chi-Square diperoleh nilai p = 0,774 untuk derajad sedasi Ramsay 2

dan nilai p = 0,777 untuk derajad sedasi Ramsay 3 berarti tidak ada perbedan derajad sedasi pada

[image:49.595.66.486.300.563.2]

kedua kelompok.

Tabel 4.4 Derajad sedasi pada kedua kelompok penelitian

Variabel Kel. Bupivakain 15mg

+ Midazolam 1mg

Kel. Bupivakain 15mg

+ Midazolam 2mg

P

Derajad sedasi

Ramsay 2

Ramsay 3

14

11

15

10

0,774

(50)

1 3 5 7 9 11 13 15

Ramsay 2 Ramsay 3

Kelompok Bupivakain 15 mg +Midazolam 1 mg

[image:50.595.149.476.86.565.2]

Kelompok Bupivakain 15 mg + Midazolam 2 mg

(51)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Umum

Dari data karakteristik umum subjek penelitian terlihat bahwa umur, jenis kelamin, berat

badan, tinggi badan, dan indeks massa tubuh (tabel 4.1), pada kedua kelompok tidak terdapat

perbedaan yang bermakna secara statistik yang berarti subjek penelitian adalah homogen dan

layak untuk dibandingkan. Juga tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara

kedua kelompok pada lamanya operasi (tabel 4.1) dan jenis tindakan operasi (tabel 4.2)

5.2 Lama kerja blokade sensorik

Lama kerja blokade sensorik adalah penurunan level analgesia anestetika lokal sehingga

pasien mulai merasakan nyeri pada luka operasi. Hal yang mempengaruhi lama kerja obat

anestetika lokal adalah jenis anestetika lokal, dosis obat, penambahan vasokonstriktor dan

penambahan adjuvan pada anestetika lokal.

Pemilihan obat anestetika lokal akan menentukan lamanya blokade anestesi spinal.

Peningkatan dosis anestetika lokal memperpanjang lamanya blokade anestesi spinal. Pada dosis

obat anestetika lokal yang sama, dengan blokade sensorik yang lebih tinggi cenderung memiliki

penurunan blok (regresi) yang lebih cepat daripada blokade yang lebih rendah. Hal ini dapat

diterangkan bahwa penyebaran obat yang lebih ke cefalad akan menghasilkan konsentrasi obat

yang lebih rendah pada cairan serebrospinal dan saraf spinal, sehingga konsentrasi obat

anestetika lokal akan berkurang lebih cepat di bawah konsentrasi efektif minimal.

Pada penelitian ini, penilaian lama kerja blokade sensorik dengan mengukur waktu

regresi 2 segmen dan waktu pasien pertama kali mulai merasakan nyeri ringan pada tempat insisi

(VAS 3). Perbedaan regresi 2 segmen pada kedua kelompok secara statistik tidak bermakna (p>

0,05). Pada penilaian VAS 3 didapatkan hasil, pada kelompok Bupivakain 15 mg + 2 mg

Midazolam 256,7 (SD 48,7) menit, lebih lama dari kelompok Bupivakain 15 mg + 1 mg

Midazolam, meskipun setelah dilakukan uji statistik dengan uji Mann- Whitney didapatkan hasil

(52)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Lee (2001) pada pasien yang menjalani

operasi anal (hemorrhoidectomy) dikemukakan bahwa pada kelompok Bupivakain +

Midazolam 2 mg didapatkan peningkatan efek analgesia paska bedah secara bermakna dibanding

dengan kelompok Bupivakain + Midazolam 1 mg. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang

kami peroleh. Perbedaannya dengan penelitian yang kami lakukan adalah pada penelitian ini

teknik anestesi spinal dengan saddle block dimana dilakukan anestesi spinal pada pasien posisi duduk dan setelah obat dimasukkan pasien tetap dipertahankan pada posisi duduk selama 5

menit. Dengan anestesi spinal saddle block ini hanya saraf daerah lumbal bawah dan saraf sakral yang diblok. Penyebaran obat anestesi lokal yang terlokalisir pada derah sakral menyebabkan

konsentrasi obat anestesi lokal yang relatif lebih tinggi pada cairan serebro spinal dan saraf-saraf

spinal di daerah sakral tersebut.(3) Hal ini akan menyebabkan waktu yang lebih panjang dari

konsentrasi obat anestesi lokal untuk turun di bawah konsentrasi efektif minimalnya. Dengan

demikian lama kerja blokade sensoris menjadi lebih panjang.

5.3. Derajat Sedasi

Timbulnya sedasi pada pemberian Midazolam secara intratekal (anestesi spinal) karena

kerja midazolam pada korteks serebri. Midazolam dapat menyebar sampai ke korteks serebri

melalui cairan serebro spinal atau melalui absorpsi midazolam ke sirkulasi sistemik.(31,32)

Nishiyama dkk menyatakan bahwa penyebaran midazolam ke korteks serebri lebih mungkin

melalui cairan serebro spinal daripada melalui absorpsi midazolam ke sirkulasi sistemik. Efek

sedasi pada pemberian midazolam intravena (sistemik) baru akan terjadi pada konsentrasi serum

200 ng/ml, sedangkan pada penelitian Nishiyama ditemukan pasien telah tertidur pada

konsentrasi serum midazolam ≤ 200 ng/ml.(32)

Efek sedasi intraoperatif pada pemberian midazolam intratekal masih kontroversial.

Yegin dkk melaporkan bahwa derajad sedasi yang lebih tinggi pada kelompok bupivakain + 2

mg midazolam dibandingkan kelompok bupivakain saja. Gupta dkk melaporkan tidak dijumpai

sedasi pada kelompok penelitian yang mendapatkan bupivakain + 2,5 mg midazolam maupun

pada kelompok yang mendapat bupivakain saja.(34) Bharti dkk melaporkan derajat sedasi yang

tidak berbeda pada kedua kelompok penelitian mereka. Pada penelitian ini tidak ditemukan

perbedaan bermakna pada derajat sedasi yang timbul pada kedua kelompok. Derajat sedasi

(53)

yang ditimbulkan oleh midazolam yang diberikan secara anestesi spinal, sangat menguntungkan

(54)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

1. Lama kerja blokade se

Gambar

Gambar 5    GABAa reseptor .......................................................................................................
Table 4.4   Derajat Sedasi Pada Kedua Kelompok ..................................................................
Grafik 4.2 Derajat sedasi pada kedua kelompok......................................................................
Gambar 1.  Penampang posterior (A), dan Lateral (C) kolumna spinalis manusia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selama ini, anestesi lokal yang dipakai adalah bupivacaine dan efek samping anestesi spinal adalah penurunan tekanan darah untuk itu penelitian ini bertujuan mendapatkan

Tujuan: Menganalisis perbandingan efek penambahan MgSO4 dan Fentanyl terhadap lidokain 5%, terhadap mula kerja dan lama kerja blokade sensorik dan motorik pada anestesi spinal serta

Perbedaan lama kerja ini disebabkan oleh perbedaan ketinggian blokade sensoris yang cenderung lebih tinggi pada bupivakain hiperbarik sehingga mengakibatkan regresi

Penggunaan kombinasi bupivakain dosis rendah 0,125% dan tramadol 1 mg/kgBB yang diberikan melalui blokade kaudal pada operasi hipospadia, memberikan efek aditif dan

dilakukan anestesi spinal dapat terjadi efek pada sistem pembuluh darah,.. paru, sistem pencernaan, saluran kemih serta endokrin

Selama ini, anestesi lokal yang dipakai adalah bupivacaine dan efek samping anestesi spinal adalah penurunan tekanan darah untuk itu penelitian ini bertujuan mendapatkan

Penambahan 20 mg ketamin terhadap 12,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik menghasilkan mula kerja blokade sensorik dan motorik yang lebih cepat, lama kerja blokade sensorik

Pada penelitian anestesi spinal pada seksio sesarea ini tidak terdapat perbedaan signifikan pada perubahan hemodinamik, ketinggian blok, efek samping antara dosis