• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Tiosianat dalam Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus Kekurangan Iodin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Tiosianat dalam Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus Kekurangan Iodin"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN TIOSIANAT DALAM DINAMIKA IODIN

DALAM TUBUH TIKUS KEKURANGAN IODIN

INTJE PICAULY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peranan Tiosianat dalam Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus yang Kekurangan Iodin adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 26 Juli 2006

(3)

Tikus yang Kekurangan Iodin. Dibimbing oleh Hidayat Syarief, Rimbawan, AR. Thaha, dan Wasmen Manalu.

Gangguan akibat kekurangan iodin (GAKI) merupakan masalah kesehatan yang belum tertanggulangi dengan baik. Semakin tinggi tingkat kekurangan iodin maka makin banyak komplikasi GAKI. Penelitian ini bertujuan untuk (1). Mengetahui peranan tiosianat dalam dinamika iodin dalam tubuh tikus, (2). Mengetahui pengaruh dosis KCN yang diberikan pada tikus terhadap kecepatan terjadinya perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus , (3). Mengetahui peranan fortifikan KIO3 dalam dinamika iodin dalam tubuh tikus , (4). Mengetahui hubungan antara dosis KCN dalam ransum dan perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus, dan (5). Mengidentifikasi dampak fisiologis kekurangan iodin akibat peranan tiosianat (KCN) pada tubuh tikus.

Desain penelitian adalah Pure Experimental study dengan rancangan

randomized block design dan menggunakan tikus putih strain Wistar sebanyak 72 ekor dengan umur 21 hari. Penelitian dilaksanakan dalam empat (4) tahap percobaan yaitu 1. Tahap Pra-Penelitian untuk menentukan nilai kandungan iodin dalam urin tikus. 2. Tahap pengelompokan tikus menjadi dua (2) yaitu KI (Kurang iodin) dan TKI (Tidak Kurang Iodin). 3. Tahap perlakuan dimana tikus dibagi menjadi empat (4) kelompok perlakuan yaitu KI -TF (Kurang Iodin yang tidak difortifikasi KIO3), KI-F (Kurang Iodin yang difortifikasi KIO3), TKI-TF (Tidak Kurang Iodin yang difortifikasi KIO3), da n TKI-F (Tidak Kurang Iodin yang difortifikasi KIO3) dan 4. Tahap pembedahan, analisis hormon tiroid dan radionuklida.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa pemberian tiosianat, persentase pengambilan 131I oleh kelenjar tiroid lebih rendah pada kelompok tikus KI -TF (1.5%) dan TKI-F (8.6%) dibanding kelompok KI-F (19.1%) dan TKI-TF (12.8%). Pengambilan 131I pada kelompok KI-TF dan TKI-F lebih banyak di ginjal, jantung dan kelenjar saliva. Untuk pemberian tiosianat dosis 0.06 mgKCN, penurunan persentase pengambilan 131I oleh kelenjar tiroid terjadi pada semua kelompok tikus perlakuan yaitu 1.2% (KI-TF), 4.0% (TKI -F), 5.1% (KI-F), dan 8.6% (TKI-TF). Persentase pengambilan 131I secara umum terjadi di kulit, ginjal, hati, jantung dan kelenjar saliva. Sedangkan pemberian tiosianat dosis 0.6 mgKCN menyebabkan persentase pengambilan 131I oleh kelenjar tiroid jauh lebih kecil dibanding pemberian dosis 0 atau 0.06 mgKCN. Hal ini terjadi pada semua kelompok yaitu 0.7% (KI-TF), 2.5% (TKI-F), 2.7% (KI-F), dan 2.6% (TKI-TF). Pengambilan 131I lebih banyak di kulit, hati, ginjal, jantung, dan kelenjar saliva.

Nilai UIE, konsentrasi T3 danT4 serta persentase pengambilan 131

I oleh kelenjar tiroid menunjukkan bahwa pemberian fortifikasi belum efektif bagi kelompok tikus KI-F dan TKI-F. Ada hubungan (p<0.01) antara pemberian dosis tiosianat (KCN) dengan persentase pengambilan 131I oleh kelenjar tiroid. Kelompok tikus KI-TF dan TKI-F sampai minggu terakhir pengamatan mempunyai perubahan fisiologis tubuh yang relatif sama.

(4)

Which is Lack of Iodine. Under the direction of Hidayat Syarief, Rimbawan, AR. Thaha, and Wasmen Manalu.

Iodine Deficiency Disorders (IDD) is a health problem that is not well overcome yet. The higher the level of IDD the more complex the IDD is. This research aims : 1) to study the role of thyociante in iodine dynamic in rat’s body, 2) to study the effect of potassium cyanide (KCN) dosages towards the velocity change of iodine dynamic in rat’s body, 3) to study the role of potassium iodate (KIO3) in iodine dynamic in rat’s body, 4) to study the relationship between KCN dosages in rat’s feed with the change of iodine dynamic in rat’s body, and 5) to identify the physiological impact of iodine deficiency as a result of thyocianate in rat’s body.

The study was categorized as “pure experimental study”, using animal as treatment objects in laboratory. Randomise block design with two factors those were KCN dosage and periods of observation used in the study. Were 72 (seventy two) white female Wistar rats, 21 (twenty one) days old (after weaning) used in the study were conducted. Four stages of the study. First stage was pre-research to determine iodine concentration in rat’s urine. Second stage was rat’s grouping. Rats were grouped into two groups namely, rats that is lack of iodine (KIO3) and rats that is not lack of iodine (TKI). Third stage was rat’s sub grouped. Rats were grouped into subgroup, those were rat’s subgroup that was lack of iodine without potassium iodate fortification (KI-TF), rat’s subgroup that was lack of iodine with potassium iodate fortification (KI-F), rat’s subgroup that was not lack of iodine without potassium iodate fortification (TKI-TF), and rat’s subgroup that was not lack of iodine with potassium iodate fortification (TKI-F). Fourth stage was conducting surgery, hormonal thyroid and radio nuclide analyses

The result of the study showed that without giving thyocianate, the percentage of 131I uptake by thyroid gland for KI-TF (1.5%) and TKI-F (8.6%) were lower compared with KI -F (19.1%) and TKI-TF (12.8%). The uptake of 131I for KI-TF and TKI-F is higher at kidney, liver and saliva gland. Using thyocianate 0.06 mgKCN, decreasing of 131I uptake by thyroid gland were found at all rat’s subgroup namely, KI -TF (1.2%), TKI-F (4,0%), KI-F (5.1%) and TKI-TF (8.6%). Generally, the uptake of 131I were found at skin, kidney, heart, liver and saliva gland. While, using 0.6 mgKCN, the percentage uptake of 131I by thyroid gland was lower compared with 0 mgKCN and 0.06mgKCN. These were found at all subgroups namely KI-TF (0.7%), TKI -F (2.5%), KI-F (2.7%) and TKI -TF (2.6%). The uptake of 131I were higher at skin, liver, kidney, heart, and saliva gland.

The value of Urinary Iodine Excretion (UIE), T3 and T4 concentrations and also 131I uptake by thyroid gland showed that KIO3 fortification was not effective yet for KI-F and TKI-F subgroups. There was significant relationship (p<0.01) between doses of KCN with the percentage of 131I uptake by thyroid gland. From the beginning up to the last week of observation, KI-TF and TKI-F subgroups had the relatively similar physiological changes.

(5)

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

(6)

PERANAN TIOSIANAT DALAM DINAMIKA IODIN

DALAM TUBUH TIKUS KEKURANGAN IODIN

INTJE PICAULY

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Nama : Intje Picauly

NIM : A561020071

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS Dr. Rimbawan Ketua Anggota

Prof. Dr. dr. AR. Thaha, M.Sc Prof. Dr. Wasmen Manalu Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Gizi Masyarakat Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karuniaNya sehingga penulisan disertasi ini telah dapat diselesaikan dengan baik. Penulisan disertasi yang berjudul : Peranan Tiosianat dalam Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus yang Kekurangan Iodin, telah dilaksanakan sejak bulan April sampai Oktober 2006 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doctor di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Program Pascasarjana IPB.

Pada kesempatan ini, ijinkanlah penulis menghaturkan terimakasih yang mendalam disertai penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS selaku ketua komisi pembimbing, atas segala saran-saran dan bimbingannya selama pendidikan sampai penyelesaian studi ini. Demikian pula kepada anggota komisi pembimbing, yaitu Bapak Dr. Rimbawan, Bapak Prof. Dr. dr. AR. Thaha, M.Sc, dan Bapak Prof. Dr. Wasmen Manalu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus atas semua saran-saran dan bimbingannya, baik selama penelitian dilaboratorium maupun selama penulisan disertasi ini.

Disampaikan pula rasa terima kasih kepada Rektor Universitas Pattimura, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Ketua Jurusan Teknologi Hasil Perikanan (THP) Faperikan UNPATTI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB, serta kepada rekan-rekan sejawat atas bantuan serta dukungannya.

(9)

Terima kasih kepada Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Dikti atas dukungan pembiayaan selama studi dan juga kepada Bapak Gubernur Propinsi Maluku melalui Kepala Biro Kesra Pemerintah Daerah Maluku, Pimpinan Yayasan Dana Beasiswa Maluku (YDBM), dan Pimpinan Yayasan Satyabhakti Widya atas bantuannya membiayai sebagian dari penelitian ini.

Rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada keluarga tercinta, papa dan mama serta ketiga adik (Sulastry, Adeltje dan Jujun Picauly), tak terlupakan juga Keluarga Om Rony dan tante Ade Hursepuny beserta ketiga adik (Yulen, Eric dan Endro Hursepuny) yang terkasih di Tobelo Maluku Utara atas semua kasih sayang, pengertian dan perhatian teristimewa dukungan doanya yang begitu berarti dalam perjalanan studi penulis selama studi program S2 sampai S3 sampai terselesaikan dengan segala baik.

Terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada suami dan anak kami tercinta (Blessty Serenity Pellokila), yang dengan penuh perhatian dan kesabaran serta banyak sumbangsi akademika yang sangat membantu penulis dalam melancarkan penelitian dan penulisan disertasi ini, serta anak kami “Tyty” yang secara sadar kehadirannya memberikan semangat juang yang tinggi serta inspirasi yang cukup unik sampai penulisan disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari sungguh bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga segala masukan berupa kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis hargai. Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi pembangunan nusa dan bangsa Indonesia serta ikut memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Amin

Bogor, 26 Juli 2006

(10)

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Juli 1972 di Ambon, Propinsi Maluku, merupakan anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Samuel Picauly dan Elsyeba Picauly-Hursepuny.

Penulis menyelesaikan pendid ikan sekolah dasar di SD Kristen Rehoboth 2 Ambon pada tahun 1985, sekolah menengah pertama di SMP Negeri 3 Ambon pada tahun 1988, dan sekolah menengah atas di SMA Pertiwi Ambon pada tahun 1991. Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan Universitas Pattimura Ambon, lulus pada tahun 1995. Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) pada Program Studi Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dikti) Jakarta.

(11)

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah... 2

Tujuan Penelitian... 4

Hipotesis ... 5

Manfaat Penelitian... 6

TINJAUAN PUSTAKA... 7

Sifat dan Keberadaan Iodin ... 7

Peranan Iodin dalam Tubuh ... 8

Sintesis Hormon Tiroid dan Peranannya dalam Tubuh ... 9

Stimulasi Hormon Tiroid pada Sintesis Protein... 11

Proses Metabolisme Iodin dalam Tubuh... 13

Sumber Iodin ... 14

Kebutuhan dan Kecukupan Iodin ... 16

Penilaian Status Iodin... 17

Dampak Kekurangan Iodin ... 20

Pentingnya Radionuklida dalam Mempelajari Struktur dan Fungsi Tiroid ... 21

Goiterogen... 23

Sianida... 25

Metabolisme Sianida dan Tiosianat ... 27

Tiosianat dan Stabilitas Iodin dalam Tubuh... 29

KERANGKA PEMIKIRAN DAN DEFINISI OPERASIONAL... 34

Kerangka Pemikiran... 34

Definisi Operasional... 36

BAHAN DAN METODE ... 37

Disain Penelitian ... 37

Lokasi dan Waktu Penelitian... 37

Bahan Penelitian... 37

Metode Pe nelitian... 40

Rancangan Penelitian... 47

Jenis dan Analisis Data ... 48

HASIL DAN PEMBAHASAN... 49

Status Iodin Hewan Percobaan... 49

A. Tahap Pra-Penelitian ... 50

B. Tahap Penentuan Kelompok Perlakuan... 51

Peranan Tiosianat dalam Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus... 53

(12)

Dampak Fisiologis Kurang Iodin pada Tubuh Tikus... 69

KESIMPULAN... 75

Kesimpulan... 75

Saran... 76

DAFTAR PUSTAKA... 77

(13)

Halaman

1. Gambaran Prevalensi GAKI Tingkat Nasional Periode 1982-2003 ... 2

2. Kandungan Iodin Rerata pada Berbagai Jenis Pangan... 15

3. Angka Kecukupan Gizi untuk Indonesia dan RDA... 16

4. Konsentrasi Hormon Tiroid dalam Serum Manusia yang Diukur dengan Metode Radioimmunoassay (RIA)... 19

5. Kriteria Epidemiologi untuk Menilai Status Iodin Berdasarkan Konsentrasi Iodin pada Anak Sekolah Dasar ... 20

6. Penggunaan Isotop Iodin secara Biomedis... 22

7. Dosis Tetap Radiasi dan Jumlah (%) yang Dijumpai secara Umum dalam Organ Tubuh... 22

8. Daftar Bahan Pangan Goiterogen... 24

9. Sianogenik Glikosida yang Terdapat pada Bagian yang dapat Dimakan dalam Tumbuhan... 25

10. Konsentrasi Sianida dalam Bahan Pangan... 26

11. Bentuk Fisik dan Kimia Sianida... 27

12. Tingkat Penggunaan Dosis dalam Diet dan Jumlah Konsumsi Zat Goiterogen yang Bersifat Racun pada Beberapa Hasil Riset ... 32

13. Komposisi 12 Jenis Ransum Tikus Percobaan... 39

14. Kandungan Iodin dalam Urin Tikus (µg/L) Tahap Pra Penelitian... 50

15. Persentase pengambilan 131I (%) oleh Kelenjar Tiroid Kelompok Tikus Perlakuan... 54

16. Kandungan UIE pada Kelompok Tikus Percobaan selama Lima Minggu Pengamatan ... 58

17. Konsentrasi T3 (ng/dL) dan T4 (µg/dL) Kelompok Tikus Percobaan selama Lima Minggu Pengamatan... 61

18. Peranan Kalium Iodat (KIO3) Terhadap Status Iodin Tikus Percobaan... 64

19. Indikator Neonatal Hypothyorid Indeks (NHI) pada Anak-anak... 69

(14)

1. Proses Sintesis dan Pelepasan Hormon Tiroid ... 10

2. Kerja Hormon Tiroid pada Sel Target ... 11

3. Proses Metabolisme Iodin dalam Tubuh... 14

4. Metabolisme Sianida ... 29

5. Jenis Inhibitor yang Berperan Aktif pada Tahap Pembebasan dan Biosisntesis Hormon Tiroid ... 30

6. Kerangka Pemikiran Munculnya Masalah GAKI ... 35

7. Kandang Tikus Percobaan... 39

8. Penentuan Kandungan Iodin dalam Urin Tikus ... 41

9. Penentuan Kelompok Tikus ... 43

10. Tahap Perlakuan... 44

11. Pengambilan Darah, Penyuntikan Isotop, Pembedahan, Analisis Hormon Tiroid dan Radionuklida ... 46

12. Beberapa Kesamaan Organ Tubuh antara Manusia dan Tikus ... 49

13. Kandungan Iodin dalam Urin Masa Penentuan Kelompok Tikus Kurang Iodin (KI) dan Tidak Kurang Iodin (TKI)... 52

14. Bobot Badan (g) selama Masa Penentuan Kelompok Tikus Percobaan... 53

15. Persentase Pengambilan I131 dalam Kelenjar Tiroid Tikus Percobaan ... 56

16. Rerata Pool Iodin selain Kelenjar Tiroid dalam Tubuh Tikus Percobaan... 57

17. Kandungan Iodin dalam Urin Tikus Percobaa n ... 60

18. Konsentrasi T3 Tikus Percobaa n ... 62

19. Konsentrasi T4 Tikus Percobaa n... 62

20. Konsentrasi Iodin dalam Feses Tikus Percobaa n... 63

21. Kelompok Tikus TKI-TF ... 71

22. Kelompok Tikus TKI-F... 71

23. Kelompok Tikus KI-TF... 71

24. Kelompok Tikus KI-F ... 71

25. Bobot Badan (g) Tikus Percobaan ... 73

(15)

1. Prosedur Analisis Kandungan Iodin dalam Urin (UIE)... 87 2. Prosedur Analisis Kandungan Iodin dalam Feses... 87 3. Pembuatan Kurva Standar ... 88 4. Prosedur Analisis Kandungan Iodin dalam Feses

(Metode Spektrofotometer) ... 89 5. Proses Pembuatan Kurva Standar ... 90 6. Perubahan Dampak Fisiologi Tubuh Tikus Percobaan... 91 7. Hasil Analisis Distribusi 131I dalam Organ Tubuh Tikus

per Minggu Pengamatan... 92 8. Hasil Analisis Kandungan Iodin dalam Urin; Feses;

Konsentrasi T3 dan T4 dalam Tubuh Tikus per Minggu Pengamatan

(16)
(17)

Latar Belakang

Tubuh membutuhkan iodin untuk pembentukan hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Kedua hormon ini sangat berperan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia maupun hewan. Dalam proses tumbuh da n kembang, hormon tiroid berfungsi sebagai katalisator reaksi-reaksi oksidatif dan pengaturan kecepatan metabolisme di dalam tubuh dan sasarannya untuk sintesis protein. Kekurangan iodin dapat menimbulkan permasalahan kesehatan yang cukup serius seperti penurunan IQ (intelektual), bisu tuli, gangguan pertumbuhan fisik yang paling parah (kerdil atau cebol), peningkatan kematian bayi dan neonatal, hipotiroidisme, berkurangnya kemampuan reproduksi, dan gondok. Semakin tinggi tingkat kekurangan iodin maka makin banyak komplikasi atau gangguan yang ditimbulkan akibat kekurangan iodin (GAKI).

Gangguan akibat kekurangan iodin (GAKI) sampai saat ini masih merupakan masalah gizi utama yang dijumpai pada berbagai wilayah di dunia , termasuk Indonesia. Dalam kurun wa ktu lebih dari 20 tahun, pemerintah Indonesia telah melakukan program intervensi seperti suplementasi dan fortifikasi guna menanggulangi masalah yang dimaksud. Berdasarkan hasil monitoring melalui survei nasional gondok sejak tahun 1982 sampai tahun 2003 diperoleh informasi penurunan prevale nsi GAKI yang sangat signifikan, walaupun kenyataannya angka ini kembali meningkat dari 9.8% pada tahun 1998 menjadi 11.1% (Tabel 1).

Berdasarkan daerah pemukiman ditemukan bahwa lebih dari 50% daerah pegunungan sepe rti daerah Sumatera, Kalimantan, Jawa , dan Papua cenderung mengalami penurunan prevalensi yang sangat signifikan sampai pada tahun 2003 (DepKes dan Bappenas RI. 2003).

(18)

Gambaran penurunan prevalensi ini sejalan dengan penurunan total goiter rate (TGR) secara nasional, tetapi bertolak belakang dengan gambaran prevalensi TGR di Provinsi Maluku yang justru meningkat dari 11.3% (1982) menjadi 28.2% (1990) dan 33.3% (1998) kemudian pada tahun 2003 turun menjadi 31.6% (DepKes RI, 2003).

Tabel 1 Gambaran Prevalensi GAKI Tingkat Nasional Periode 1982-2003

No Tahun Evaluasi Prevalensi (%)

1 1980 37.7

2 1982 37.2

3 1990 27.7

4 1998 9.8

5 2003 11.1

Sumber : Departemen Kesehatan RI dan Bappenas RI (2003).

Secara teoretis, tingkat prevalensi yang cukup tinggi tersebut seharusnya tidak perlu terjadi mengingat daerah Maluku sangat kaya dengan hasil laut sebagai sumber iodin alamiah, dan konsumsi iodin pada masyarakat tersebut diperkirakan dapat mencukupi atau sesuai dengan kebutuhan yang dianjurkan. Kenyataan tersebut berimplikasi pada suatu pertanyaan mengapa daerah Maluku mempunyai prevalensi GAKI yang cenderung meningkat setiap tahun.

Zat goiterogenik merupakan salah satu kelompok zat makanan yang bersifat antitiroid. Dachlan dkk. (1997) menemukan bahwa penduduk di Pulau Seram (Provinsi Maluku) cukup banyak mengkonsumsi bahan pangan yang merupakan sumber goiterogenik kelompok tiourea. Sedangkan Picauly (1999) juga menemukan bahwa di Pulau Nusalaut (Provinsi Maluku) penduduknya cukup sering dan banyak mengkonsumsi bahan pangan sumber goiterogenik kelompok tiosianat seperti daun + umbi singkong, rebung, terung, dan daun pepaya.

Berdasarkan ur aian di atas, penelitian ini dilakukan untuk membuktikan secara langsung peranan tiosianat dalam mengganggu fungsi iodin dalam tubuh melalui binatang percobaan tikus putih.

Perumusan Masalah

(19)

daerah endemik (Standburry dan Hetzel, 1980). Faktor lingkungan yang terpenting adalah agen-agen yang menimbulkan gondok atau goiterogenik.

Temuan dari beberapa hasil observasi epidemiologi di daerah endemik GAKI Provinsi Maluku menyebutkan bahwa pola konsumsi masyarakat ternyata sangat bervariasi pada jenis dan jumlah pangan baik sumber tiosianat maupun sumber iodin. Di samping itu, kebiasaan dan perilaku masyarakat dalam mengolah bahan pangan yang juga diketahui dapat mempengaruhi jumlah kandungan zat iodin dan tiosianat dalam bahan pangan. Faktor -faktor inilah yang kemudian dapat mempengaruhi jumlah masukan iodin atau tiosianat ke dalam tubuh.

Thaha dkk . (1997) dalam penelitian epidemiologi di Provinsi Maluku menemukan beberapa kasus menarik untuk dikaji. Sebagian besar responden (83.4%) di Pulau Seram Utara (daerah non-endemik GAKI) mempunyai urinary iodine excretion (UIE) relatif rendah (< 99.9 ì g/l) yaitu 90 ì g/l dan urinary thyocyanate excretion (UTE) sebesar 27.8 ìg/l. Pada daerah endemik GAKI (Pulau Seram Barat) ditemukan nilai UIE sangat rendah (< 50 ì g/l ), yaitu 49.2 ì g/l dengan nilai UTE sebesar 23.2 ìg/l.

Kasus di Pulau Seram Barat sama seperti yang dialami oleh masyarakat di Wilayah Sudan, Belgia , dan Malawi, yang mempunyai nilai UIE sangat rendah dan nilai UTE yang tinggi (Elnour et al., 2000 dan Hector et al., 1993). Kasus yang terjadi di Pulau Seram Barat merupakan suatu fenomena yang sudah sangat lazim dijumpai di daerah-daerah endemik GAKI, te tapi sangat tidak lazim terjadi di daerah non-endemik GAKI.

Fenomena yang kontroversial terjadi di Pulau Banda (endemik GAKI) dan Pulau Buru (non-endemik GAKI) di Provinsi Maluku. Kedua daerah tersebut mempunyai tingkat endemisitas yang berbeda namun mempunyai nilai UIE yang rendah dan nilai UTE tinggi, masing-masing sebesar 66.4 ìg/l dan 41.3 ì g/l (Pulau Banda) dan sebesar 59 ìg/l dan 46.1 ì g/l (Pulau Buru).

(20)

Pulau Banda (daerah endemik GAKI). Delange et al. (1994) mengatakan bahwa makin kecil (< 3) nilai rasio ini semakin tinggi tingkat endemisitas suatu daerah. Taurog et al. (1947) dan Salter et al. (1945) mengatakan bahwa tiosianat yang diperoleh dari bahan makanan dapat berperan antagonis dengan iodin dalam tubuh, di antaranya dalam menghambat proses transport aktif iodin menuju kelenjar tiroid dan mempengaruhi konsentrasi iodin eksratiroidal dalam jaringan serta proses sintesis hormon tiroid.

Hal serupa disampaikan juga oleh Lang (1933) yang menyebutkan bahwa tiosianat dapat menghambat penyerapan iodin oleh kelenjar tiroid dan mengikat iodin organik (monoiodotironine / MIT dan diiodotironine / DIT) yang berada pada setiap sel sehingga menyebabkan persaingan yang berat antara tiosianat dan tiroksin serum yang terikat pada protein.

Berdasarkan paparan di atas beberapa permasalahan utama yang dapat disimpulkan untuk mengetahui secara jelas peranan tiosianat dalam dinamika iodin adalah :

1. Adakah perubahan dinamika iodin akibat keberadaan tiosianat (yang diberikan dalam bentuk KCN) dalam tubuh tikus ?

2. Berapakah jumlah masukan tiosianat (KCN) yang dianggap berpengaruh pada dinamika iodin dalam tubuh tikus ?

3. Adakah pengaruh tiosianat (KCN) pada dinamika iodin dalam tubuh tikus yang diberikan pada ransum yang difortifikasi KIO3 ?

4. Adakah hubungan antara pemberian dosis KCN dan perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus ?

5. Bagaimanakah dampak fisiologis kekurangan iodin yang timbul akibat pemberian tiosianat (KCN) pada tubuh tikus ?

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

(21)

Tujuan Khusus

Secara khusus beberapa tujuan yang akan dicapai adalah :

1. Mengetahui peranan tiosianat (KCN) dalam dinamika iodin dalam tubuh tikus yang kekurangan iodin.

2. Mengetahui pengaruh dosis KCN yang diberikan pada tikus terhadap kecepatan terjadinya perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus yang kekurangan iodin.

3. Mengetahui peranan fortifikan KIO3 dalam dinamika iodin dalam tubuh tikus yang kekurangan iodin.

4. Mengetahui hubungan antara dosis KCN dalam ransum dan perubahan

dinamika iodin dalam tubuh tikus.

5. Mengidentifikasi dampak fisiologis kekurangan iodin akibat peranan tiosianat pada tubuh t ikus.

Hipotesis Penelitian

Secara umum hipotesis penelitian adalah tiosianat berperan dalam perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus yang kekurangan iodin. Secara khusus beberapa hal yang dihipotesiskan antara lain :

1. Asupan KCN yang lebih tinggi dari pada asupan iodin akan menyebabkan perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus.

2. Jumlah asupan KCN tinggi te tapi diikuti dengan pemberian ransum yang difortifikasi iodin (KIO3) dapat mengembalikan dinamika iodin dalam tubuh tikus pada kondisi normal.

3. Pemberian KCN dan fortifikasi KIO3 dalam ransum tikus dapat

mempengaruhi dinamika iodin dalam tubuh tikus.

(22)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam bentuk :

1. Menjelaskan peranan zat goiterogenik kelompok tiosianat (KCN) dalam menghambat mekanisme distribusi atau dinamika iodin dalam tubuh tikus yang kekurangan iodin dan tidak kekurangan iodin.

2. Membuktikan hipotesis bahwa faktor yang diduga turut berperan dalam tingginya tingkat prevalensi GAKI di Maluku adalah faktor lingkungan yang salah satunya adalah zat goiterogenik kelompok tiosianat (KCN).

(23)

Sifat dan Keberadaan Iodin

Pada tahun 1811 iodin ditemukan dalam ganggang laut oleh Berna rd Courtois. Selanjutnya iodin terdapat di tanah dan laut dalam bentuk iodida. Iodida berasal dari kata iode yang dalam bahasa Yunani artinya berwarna ungu (Olson et al., 1984 dan Hetzel, 1996). Ciri umum iodin yang dapat dijumpai adalah berbentuk kristal dengan bobot atom 127 dan bobot molekul 254, dapat menyublim dan bersifat racun serta korosif (Elizar, 1989). Selain itu, iodin juga dapat larut dalam alkohol, karbon disulfida, kloroform, eter, karbon tetraklorida, gliserol, larutan iodida basa , dan tidak larut dalam air.

Konsentrasi iodida dalam air laut berkisar antara 50 dan 60 µg/L dan di udara sekitar 0.7 ìg/m3 (Tezic, 1998). Hetzel dan Clugston (1996) menerangkan bahwa zat iodin yang berasal dari hasil oksidasi ion iodida dapat menguap oleh sinar matahari sehingga setiap tahun sekitar 400 000 ton iodin menghilang dari permukaan laut. Iodin di udara dikembalikan lagi ke tanah oleh air hujan dengan proses yang sangat lambat dan konsentrasinya terbatas, yaitu sekitar 1.8 sampai 8.5 µg/L, lebih kecil dibanding dengan jumlah iodin asli yang hilang dari tanah oleh karena banjir dan erosi.

Wilayah yang paling memungkinkan untuk melepaskan io din di permukaan bumi adalah wilayah pegunungan. Semua tanaman hasil panen yang tumbuh di lahan ini akan mempunyai kandungan iodin yang rendah. Oleh karena itu, defisiensi iodin lebih banyak terjadi pada daerah ketinggian (pegunungan) dan mempunyai curah hujan yang lebih tinggi karena iodin akan terikut bersama aliran air menuju ke muara terakhir yaitu laut (Hetzel et al., 1996).

(24)

Peranan Iodin dalam Tubuh

Iodin termasuk kelompok gizi mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang sangat sedikit yaitu sekitar 10-20 mg per 70 kg rata -rata berat badan manusia . Iodin merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh manusia dalam proses pertumbuhan, perkembangan, dan kecerdasan otak manusia maupun hewa n (Linder, 1992, Dunn, 2001, dan Astawan, 2003).

Apabila jumlah iodin yang tersedia tidak mencukupi, produksi tiroksin dan triiodotironin menurun dan sekresi TSH meningkat. Akibatnya , sintesis tiroglobulin oleh sel tiroid meningkat yang menyebabkan kelenjar membesar dan terjadi hiperplasia yang disebut gondok. Selain itu, kekurangan iodin dapat juga mengakibatkan kretinisme (kerdil), penuruna n kecerdasan, dan untuk tingkat yang lebih berat dapat mengakibatkan gangguan pada otak dan pendengaran serta kematian pada bayi.

Sehubungan dengan fungsi iodin dalam proses pertumbuhan, perkembangan, dan kecerdasan otak, susunan saraf yang terdiri atas sel-sel neuron yang mulai dibentuk pada fase embriologis sangat bergantung pada kecukupan kandungan iodin. Jumlah sel neuron dalam otak umumnya mencapai sekitar 10 milya r. Kekurangan iodin pada masa kehamila n dan awal masa kehidupan anak dapat menurunkan jumlah sel neuron yang ada di otak sehingga dapat menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan otak anak (IQ di bawah normal).

(25)

Sintesis Hormon Tiroid dan Peranannya dalam Tubuh

Kelenjar tiroid adalah salah satu kelenjar endokrin yang tumbuh pada masa perkembangan suatu individu dan berasal dari evaginasi farinks (endodermal). Dickson (1984) mengatakan bahwa berat kelenjar tiroid sekitar 0.2% dari berat badan atau sekitar 15 sampai 25 g dan sangat banyak menyerap iodin yang beredar dalam darah.

Kelenjar ini terdiri atas dua lobus yang melekat rapat dengan trakea dan dihubungkan satu sama lainnya dengan sebuah isthmus dengan panjang sekitar 2 cm. Kelenjar tiroid terdiri atas dua lobuli yang mengandung sekitar 20 sampai 40 folikel setiap lobulus. Folikel ini merupakan unit kerja kelenjar tiroid yang bentuknya bervariasi, yaitu bulat, agak lonjong, atau memanjang. Folikel tiroid dibentuk oleh sel folikel di sekelilingnya.

Di sebelah luar, sel folikel dibatasi oleh membran basal. Di dalam folikel terdapat koloid hormon tiroid yang bersifat asidofilik (merah), kadang terlihat mengkerut apabila kelenjar dalam keadaan aktif. Pada tikus, sel folikel berbentuk kuboid rendah. Di samping sel folikel, terdapat sel parafolikel atau disebut pula sel C yang bentuknya lebih besar, berwarna pucat dan terletak di antara membran basal dan sel folikel. Sel C ini dikenal sebagai sel penghasil kalsitonin, yaitu hormon yang bekerja dalam metabolisme kalsium (Ham, 1974). Turner dan Bagnara (1976) dan Dickson (1984) mengatakan bahwa kelenjar tiroid berfungsi membuat hormon tiroid, yaitu hasil ikatan antara iodin dan asam amino tirosin dalam beberapa be ntuk.

Djojosoebagio (1990) mengatakan bahwa pembentukan hormon tiroid dimulai dari perubahan bentuk ikatan iodin menjadi ion iodida. Ion iodida diperoleh dari kerja hidrogen peroksida (H2O2) yang melakukan oksidasi pada iodin sehingga terjadi ion iodin aktif. Iodin aktif ini akan berubah menjadi hipoiodid yang dapat melakukan iodinasi pada asam amino tirosin sehingga terbentuk monoiodothyronine atau MIT (T1) dan diiodothyronine atau DIT (T2).

(26)

akan membentuk T3 (triiodotironin) yang memiliki 3 buah atom iodin. Penggabungan molekul-molekul ini dibantu oleh coupling enzime yaitu thyroid peroxidase dan berlangsung dalam sel follikel (Gambar 1).

Molekul asam amino tirosin dalam kelenjar tiroid merupakan residu penyusun molekul protein tiroglobulin. Hormon T4 dan T3 berada di permukaan koloid yang berada di dalam folikel tiroid. Hormon T4dan T3 disekresikan melalui proses endositosis di dalam sel folikel tiroid. Hormon T4 dan T3 disekresikan dalam darah, sedangkan MIT dan DIT akan mengalami deiodinasi oleh enzim deiodinase di dalam tiroid. Siklus ini dimaksudkan untuk memanfaatkan iodin dari tiroksin menjadi iodin yang lebih aktif. Konsentrasi T4 dalam darah lebih banyak dibandingkan T3. Konsentrasi T3 biasanya hanya 10% atau kurang dari hormon-hormon tiroid (Djojosoebagio, 1990). Querido (1979) mengatakan bahwa hormon tiroid bekerja di bawah pengawasan hormon tirotropik yang dihasilkan oleh hipofisa anterior , yaitu TSH.

Di dalam saluran pencernaan, hormon tiroid ikut mengatur kerja peristaltik usus dan penyerapan ion Fe. Selain itu, hormon tiroid juga dapat mengatur deposisi bahan-bahan di bawah kulit dan, pada alat reproduksi, hormon tiroid

I

-Tirosin

T

4

& T

3

Transport Iodin

Organifikasi

I

+

+

T

1

Pembentukan

T

1

&T

2

T

4

& T

3

Sekresi

(27)

mengatur pertumbuhan alat kelamin dan kelenjar susu (Turner da n Bagnara, 1976 dan Dickson, 1984).

Stimulasi Hormon Tiroid pada Sintesis Protein

Bagian penting yang menjadi sentral aktivitas hormon tiroid adalah sel, mitokondria, ribosom, dan nukleus (Gambar 2). Hormon tiroid dapat berperan langsung dalam proses transpor asam amino dan transpor cairan elektrolit dari lingkungan ekstraseluler ke interiol sel, aktivitas khusus enzim protein dalam se l dan proses peningkatan ukuran, nomor , dan fungsi sel.

Gambar 2 Kerja hormon Tiroid pada Sel Target (Sterling, 1979).

(28)

dalam inti sel (Gambar 2). Oleh karena itu, hormon tiroid berfungsi sebagai pengatur laju metabolisme di dalam sel dan berfungsi sebagai katalisator reaksi metabolisme oksidatif di mitokondria. Jika kondisi kekurangan dan kelebihan hormon tiroid terjadi dapat menyebabkan dampak kekurangan yang permanent dalam nomor dan fungsi sel.

Dalam sintesis protein, hormon tiroid membantu memproduksi ATP yang sangat dibutuhkan dalam semua proses pertumbuhan. Pada kelompok orang dewasa dampak produksi hormon tiroid banyak berbeda pada setiap jaringan, seperti peningkatan aktivitas lipolitik dalam jaringan adiposa, modulasi sekresi gonadotropin oleh pituitary, dan perbaikan sel proliveratif seperti sel pertumbuhan dan perawatan rambut.

Hormon tiroid juga dapat me mbantu dalam proses glikolisis lewat jalur pathway untuk proses kalorigenesis bersamaan dengan proses oksidatif fosforilasi di hati, ginjal, dan otot. Sedangkan pada otak, hormon tiroid tidak memberikan dampak kalorigenik tapi dapat merubah konsentrasi neurotransmitter dan semua reseptor.

Walaupun pada umumnya enzim protein yang dibutuhkan dalam sintesis protein pada sel orang dewasa, konsentrasi fisiologis hormon tiroid juga dibutuhkan untuk pertumbuhan normal termasuk kulit dan rambut dan pelaksanaan dua fungsi struktur protein. Pada pasien hipotiroid, pertumbuhan anak rambut (rambut baru) berkurang disertai dengan peningkatan jumlah rambut yang rontok atau gugur. Keadaan yang tidak normal ini diikuti dengan proses pemulihan pada kondisi eutiroid. Diasumsikan bahwa konsentrasi fisiologi hormon tiroid mungkin tidak hanya merangsang pertumbuhan rambut baru tapi selalu dibutuhkan untuk perawatan normal.

(29)

Proses Metabolisme Iodin dalam Tubuh

Iodin yang masuk ke dalam tubuh akan melewati tahap pencernaan sampai tahap ekskresi. Dalam saluran pencernaan, iodin dalam bahan makanan dikonversi menjadi iodid (I-) yang mudah diserap. Selanjutnya , iodin itu di angkut ke dalam plasma darah dan bergabung dengan pool iodida intraseluler dan ekstraseluler. Iodin yang ada dalam pembuluh darah masuk ke kelenjar tiroid melalui pengangkutan yang difasilitasi oleh Na-I. Pengangkutan ini memfasilitasi pasangan natrium dan ioda masuk ke dalam sel (Linder. 1992) .

Sekitar 90% iodin yang masuk ke dalam sel akan disimpan dalam kelenjar tiroid, dan setelah mengalami peroksidasi akan melekat pada residu tirosin dan tiroglobulin membentuk protein yang besar dengan berat 670 000 dalton dan mengandung 120 residu tirosin (Gaitan, 1986). Dalam keadaan seimbang, iodin yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan iodin yang diekskresikan melalui urin. Oleh karena itu, urin dapat menjadi indikator status iodin dalam tubuh seseorang ( Brody, 1999).

Ganong (1989) mengilustrasikan bahwa jika mengkonsumsi iodin sebesar 500 µg/hari, hanya sekitar 120 ìg yang masuk ke dalam kelenjar tiroid, dan dari kelenjar tiroid dis ekresikan sekitar 80 µg iodin dalam bentuk T3 dan T4. Sisa iodin yang tidak diserap oleh kelenjar tiroid akan masuk ke dalam jaringan baik dalam ikatan organik maupun anorganik dan dikenal sebagai pool iodin.

(30)

Gambar 3 Proses Metabolisme Iodin dalam Tubuh (Ganong, 1989).

Pembuangan iodin sebagian besar terjadi melalui ginjal, sedangkan dalam jumlah yang lebih kecil dikeluarkan juga melalui usus dan keringat (Winarno, 1997 dan Brody, 1999). Iodin yang tidak dapat diserap atau yang berasal dari empedu akan dikeluarkan bersama feses (Gambar 3).

Ekskresi iodin melalui urin dapat dijadikan sebagai indikator penentuan status iodin dalam tubuh seseorang. Hal ini disebabkan karena ginjal tidak mempunyai kemampuan untuk menyimpan mineral ini sehingga dalam keadaan seimbang (normal) iodin yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan iodin yang diekskresikan melalui urine (Brody, 1999). Selain itu, Freake (1998) mengatakan bahwa bentuk kehilangan iodin yang lain bisa terjadi melalui keringat dan air susu ibu yang terbuang atau tidak terpakai pada wanita menyusui.

Sumber Iodin

(31)

dapat dibuktikan dengan hasil penelitian dari Gibson (1990) seperti yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan Iodin Rerata pada Berbagai Jenis Pangan

Jenis Pangan Rer ata Kandungan Iodin (ìg/100g)

Selang Kandungan Iodin (ìg/l00g)

Ikan Tawar 30 17-40

Ikan Laut 832 163-3180

Kerang 798 308-1300

Daging 50 27-97

Susu 47 35-56

Telur 93 -

Gandum 47 22-72

Buah-buahan 18 10-29

Kacang-kacangan 30 23-36

Sayuran 29 12-201

Sumber: Gibson (1990)

Djokomoeljanto (1993) mengatakan bahwa seafood merupakan pangan sumber iodin alamiah yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena iodin dalam tanah dapat terbawa pada saat banjir menuju sungai dan pada akhirnya ke laut sehingga bahan pangan seperti rumput laut, berbagai jenis ikan laut, kepiting, udang, dan sampai pada tanaman lain yang kebetulan tumbuh dan hidup pada daerah sekitar pantai, termasuk sumber air minum yang dimiliki, mempunyai kandungan iodin yang tinggi.

Sumber iodin lain adalah garam dan air yang difortifikasi. Garam termasuk dalam sembilan bahan pangan pokok yang diperlukan masyarakat dan oleh karenanya merupakan bahan makanan yang penting. Jenis garam yang diproduksi berbeda tiap daerah dalam kandungan iodin dan bentuknya Hal ini tentunya berhubungan dengan kesukaan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan garam beriodin untuk dikonsumsi dengan kandungan iodin (KIO3) sebesar 30 – 80 ppm, dengan Keputusan Presiden RI No. 69 tahun 1994.

(32)

Switzerland, dan sebagian besar wilayah Afrika , telah menggunakan program konsumsi garam beriodin untuk semua (USI : Universal salt iodization).

Pada wilayah Afrika dan Mediterania , bahkan di Guatemala, sejak pelaksanaan program iodisasi garam terjadi penurunan prevalensi gondok. Akan tetapi, pada saat pemasokan garam iodin terganggu (pada masa perang) maka prevalensi GAKI kembali meningkat. Setelah situasi normal kembali dan pemasokan garam beriodin lancar, prevalensi GAKI kembali menurun secara drastis.

Kebutuhan dan Kecukupan iodin

Konsumsi iodin sangat bervariasi di semua belahan dunia, namun di Amerika Serikat diperkirakan rata -rata sekitar 500 ìg/hari (lima kali kebutuhan asupan iodin yang dianjurkan). Menurut Hetzel (1989) dalam keadaan normal asupan harian untuk orang dewasa berkisar mulai dari 100 sampai 150 µg per hari. Jumlah asupan tersebut dianggap cukup untuk mempertahankan fungsi tiroid normal yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal. Bertolak dari besar kebutuhan iodin yang ada , RDA dari UNICEF/WHO/ICCIDD (1989) dan WKNPG/LIPI (2004) menganjurkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan menyesuaikan pada angka kec ukupan masing - masing orang berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin.

Tabel 3 Angka Kecukupan Gizi untuk Indonesia dan RDA

No Kelompok

Usia Kecukupan Indonesia

RDA (µg)

(UNICEF/WHO/ICCIDD)

1 0-9 tahun 90 - 120 90 – 120

2 10-59 tahun 120 - 150 120 - 150

3 Wanita Hamil 150 (+50) 220

4 Ibu Menyusui 150 (+50) 290

Sumber: WKNPG (2004) dan Food and Nutrition Board (FNB) Institute of Medicine (2001).

(33)

lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, khususnya untuk pembentukan sel-sel dan jaringan baru serta perkembangan otak.

Penilaian Status Iodin

Ada tidaknya masalah kekurangan iodin harus dapat ditentukan dengan baik melalui cara pe ngukuran yang digunakan. Pengukuran gangguan kekurangan iodin di dalam suatu populasi akan menunjukkan tingkat keparahan masalah tersebut. Berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh pihak WHO (2001), cara pengukuran ada tidaknya permasalahan gangguan akibat kekurangan iodin dalam suatu populasi masyarakat antara lain adalah ukuran gondok dengan metode palpasi, ultrasonografi (USG) , ka ndungan iodin dalam urine (UIE), konsentrasi TSH dalam darah, kretin endemik, hormon Tiroid, dan pengambilan Radioiodin.

Secara tradisional metode yang biasa dipakai dalam suatu kelompok populasi untuk menilai tingkat endemik GAKI adalah metode palpasi. Kelompok contoh yang dipakai dalam mewakili populasi pada umumnya adalah anak-anak sekolah. Ketelitian teknik ini masih rendah sehingga digantikan oleh metode lain, seperti ultrasonografi, UIE, dan TSH. Metode pengukuran UIE dianggap sangat bermanfaat dan metode ini dapat dipercaya. Keparahan endemik dapat dinilai dari hasil survei, terutama yang menggunakan metode UIE.

Walaupun demikian, penggunaan ke -6 cara tersebut di atas masih sangat terbatas. Hal ini tentunya disesuaikan dengan kondisi suatu negara dan kelengkapan alat yang diperlukan. Bagi Indonesia khususnya, cara yang selama ini digunakan antara lain A. Pemeriksaan Klinis seperti 1). Metode Palpasi, 2). Ultrasonografi (USG), dan 3). Kretin Endemik. B Pemeriksaan Biokimia seperti 1). Kandungan iodin dalam urine (UIE), 2). Hormon Tiroid dan TSH dalam darah.

Palpasi dan USG

(34)

bawah jakun dan menekan serta memutar ibu jarinya secara perlahan-lahan pada kelenjar tiroid yang lekat dengan jakun. Target populasi adalah anak sekolah dasar umur 8-10 tahun atau 6-12 tahun. Derajat besarnya gondok yang disepakati oleh WHO ( 2001) antara lain :

Grade 0: Tidak Jelas atau tidak kelihatan gondok Grade 1: Jelas tapi tidak kelihatan gondok Grade 2: Jelas dan Kelihatan gondok

Palpasi termasuk indikator yang pelaksanaannya relatif lebih cepat dan lebih murah, namun akurasi dan reliabilitas hasil yang diperoleh lebih rendah bila dibandingkan dengan metode ultrasonografi (USG). USG dapat digunakan untuk menilai subjek dalam jumlah besar dan dapat terhindar dari kesalahan pengamat, namun membutuhkan waktu yang banyak, biaya yang tinggi, dan tenaga yang dilatih secara khusus.

Pengukuran Hormon Tiroid dalam Serum

Pengukuran hormon tiroid dapat dilakukan pada berbagai kelompok umur terutama pada bayi, anak-anak, orang dewasa, dan wanita hamil karena kelompok usia ini sangat penting untuk mengetahui fungsi tiroid selama perkembangan otak dini. Larsen et al. (1987), Vanderpass dan Thily (1994) , dan Wilber (1996) menyatakan bahwa kadar T4 yang normal dalam darah adalah 8 µg/dL, sementara yang rendah adalah kurang dari 8 µg/dL, dan yang tinggi adalah lebih dari 8 µg/dL. Se mentara menurut ICCIDD (2003) kadar T4 yang normal dalam darah adalah sekitar 4 sampai 12 µg/dL.

Ingbar dan Braverman (1986) mengatakan bahwa kecenderungan perubahan fisiologi yang muncul pada seseorang yang mengalami gangguan fungsi tiroid dan yang disertai dengan kadar hormon tiroid (T3 dan T4) yang rendah adalah perubahan nafsu makan bervariasi (kada ng berkurang, kadang bertambah), gangguan kesehatan (sakit), agresif, dan gangguan ginjal dan hati selama pengamatan.

(35)

Tabel 4 Konsentrasi Hormon Tiroid dalam Serum Manusia yang Diukur dengan Metode Radioimmunoassay (RIA)

T4 (ìg/d L) T3 (ng/dL)

Indikator

(Metode RIA) Rerata Interval Rerata Interval

Eutiroid Anak-anak Sumber : Ingbar dan Braverman, 1986

Kaplan (1982) mengatakan bahwa selang normal untuk T4 adalah 5 sampai 10.7 ìg/dL dan T3 adalah 75 sampai 222 ng/dL. Kadar hormon tiroid yang dijumpai pada orang sakit adalah sebesar 3.9 sampai 8.1 ì g/dL untuk T4 dan sebesar 38 sampai 87 ng/dL untuk T3.

Pengukuran Konsentrasi Iodin dalam Urin

Pengukuran konsentrasi iodin yang keluar melalui urin termasuk indikator

outcome secara biokimia, yang dapat dilakukan terhadap sampel urin yang dikumpulkan selama 24 jam. Kelebihan asupan iodin juga dapat dimonitor dengan menent ukan konsentrasi iodin urin. Pardede et al. (1998) dan Dunn dan Haar (1990) mengatakan bahwa konsentrasi iodin urin sangat sahih dalam menentukan asupan iodin dalam suatu populasi. Hasil pengukuran konsentrasi iodin urin tidak mempunyai perbedaan yang berarti dengan hasil pengukuran volume tiroid menggunakan ultrasonografi.

Sauberlich (2000) mengatakan bahwa untuk mengukur besar ekskresi iodin lewat urin sebaiknya menggunakan urin selama 1 kali 24 jam (sehari). Hal ini disebabkan karena jumlah ekskresi iodin dalam urin selama periode 24 jam dapat mencerminkan ketepatan besaran asupan konsumsi iodin (Brody, 1999).

(36)

Tabel 5 Kriteria Epidemiologi untuk Menilai Status Iodin Berdasarkan Konsentrasi Iodin pada Anak Sekolah Dasar

Konsentrasi Iodin dalam urin

(ìg/L)

Status Asupan

Iodin Status Gizi Iodin

< 20 Tidak cukup Defisiensi iodin berat

20 – 49 Tidak cukup Defisiensi iodin sedang

50 – 99 Tidak cukup Defisiensi iodin ringan

100 – 199 Cukup Optimal

200 – 299 Lebih dari

cukup

Risiko terjadinya hipertiroid dalam waktu 5-10 tahun setelah pemberian garam

beriodin pada kelompok rentan

> 300 Berlebihan Risiko terjadinya hipertiroid dan

autoimmune tiroid Sumber : WHO (2001).

Dampak Kekurangan Iodin

Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodin (GAKI) merupakan masalah yang serius mengingat dampaknya secara langsung mempengaruhi kelangsungan hidup dan kua litas manusia. Dampak kekurangan iodin secara umum adalah defisiensi iodum tingkat berat akan berdampak seperti gondok (Delange, 1994 dan Thilly et al., 1977) dan kretin, penurunan IQ (intelektual), bisu tuli dan gangguan pertumbuhan fisik yang paling parah (Boyages, 1993), peningkatan kematian bayi dan hipotiroidisme neonatal (Delong et al., 1985) serta berkurangnya kemampuan reproduksi (Dillon dan Milliez, 2000).

Masalah GAKI sangat erat pengaruhnya pada perkembangan mental yang diwujudkan dengan terjadinya defisit IQ, yaitu setiap penderita kretin akan mengalami defisit IQ sebesar 50 poin di bawah normal. GAKI yang bukan kretin akan berdampak pada penurunan IQ sebesar 10 poin di bawah normal, sedangkan gondok akan berdampak pada penurunan IQ sebesar 5 poin di bawah normal. Dengan demikian, jumlah seluruh defisit mental di Indonesia yang disebabkan karena GAKI adalah antara 122.5 juta sampai 140 juta poin IQ (Jalal, 1998).

(37)

Pembengkakan kelenjar tiroid (gondok) dikenal dengan istilah penyakit hipotiroidisme. Tanda-tanda lain akibat hipotiroidisme kelopak mata tampak lebih cembung, wajah kelihatan suram, lesu, rambut kasar, lidah bengkak dan suara parau (Lee, 2001). Hipotiroidisme berimplikasi sama dengan rendahnya tingkat energi, kulit kering atau bersisik atau juga kulit kekuning-kuningan, perasaan geli dan mati rasa pada kaki dan tangan, pertambahan berat, suka pelupa, tidak tetap pendirian atau selalu berubah, depresi, dan anemia. Selain itu hipotiroidisme juga dapat berperan penting dalam peningkatan kadar kolesterol dan homosistein dalam darah (Lee, 2001).

Hipertiroid adalah salah satu dampak yang terjadi pada kelompok orang tua dengan manifestasi pada kelenjar tiroid yang membesar (gondok), gangguan jantung atau serangan jantung, gemetaran, sering berkeringat, sering merasa jantung berdebar, ketakutan dan peningkatan aktivitas dan mata yang tidak sempurna (Lee, 2001).

Jalal (1998) melaporkan bahwa kelompok masyarakat yang sangat rawan terhadap dampak defisiensi iodin (GA KI) menurut tingkat pertumbuhan dan perkembangan adalah wanita usia subur (WUS), ibu hamil dan menyusui, bayi, dan anak usia sekolah.

Pentingnya Radionuklida dalam Mempelajari Struktur dan Fungsi Tiroid

Radionuklida lebih banyak digunakan dalam mempelajari fisiologi tiroid, menganalisa fungsi tiroid dan digunakan dalam perlakuan pengobatan kepada pasien hipertiroid atau tiroid carcinoma. Kesatuan dari aktivitas bahan radioaktif adalah curie (Ci). Curie menandakan jumlah disintegrasi yang sebenarnya dalam suatu contoh. Unsur radionulkida ini dapat digunakan dengan mudah untuk mengikuti jejak dan gerakan-gerakan dari suatu unsur. Oleh karena itu radionuklida sering disebut sebagai Traser atau perunut atau penanda.

(38)

iodin lebih banyak digunakan dalam bentuk uji in vitro dan isotop iodin serta isotop technetium dalam bentuk uji in vivo dalam penelitian.

Tabel 6 Penggunaan Isotop Iodin secara Biomedis

No .

Atom Waktu Paruh

Peluruhan : persen kelimpahan, Modus peluruhan, Energi

128 25.0 menit 7.4% penangkapan elektron,

93.6% β - (2.1) 28.441 (14%), lainnya

Sumber : Data Dasar dari Radiological Health Handbook, Washington, DC. US (1970).

Isotop 125I dan 131I pada umumnya digunakan untuk menguji tiroid secara

in vitro. Cara ini lebih efektif untuk terapi hipertiroid atau untuk menilai asupan iodin. Penelitian jarang menggunakan 125I secara in vivo karena menggunakan sinar gama yang berenergi rendah.

Jenis isotop 123I, 131I, dan 99mTechnetium, walaupun mempunyai waktu paruh yang berbeda, mempunyai tujuan penelitian yang sama, yaitu untuk mendiagnosa atau terapi gangguan fungsi tiroid. Penelitian yang dijalankan dapat menggunakan cara in vitro dan in vivo dengan menggunakan sinar gamma. Tabel 7 menunjukkan penggunaan dosis berbagai jenis isotop iodin untuk menganalisa persentase pengambilan iodin oleh berbagai organ tubuh.

Tabel 7 Dosis Tetap Radiasi (mCi) dan Jumlah (%) yang Dijumpai secara Umum dalam Organ Tubuh

Saliva Ovarium Testes

Sumsum

(39)

Goiterogen

Bentuk kekurangan iodin tingkat kronis adalah terjadinya pembesaran kelenjar tiroid yang dikenal dengan sebutan gondok. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor lain juga ikut berperan. Salah satu faktor adalah bahan pangan yang dapat menimbulkan gejala gondok atau bersifat goiterogenik. Goiterogen adalah zat yang dapat menghambat pengambilan zat iodin oleh kelenjar tiroid sehingga konsentrasi iodin dalam kelenjar menjadi rendah. Selain itu zat goiterogenik dapat menghambat perubahan iodin dari bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga pembentukan hormon tiroksin terhambat (Linder, 1992).

Williams (1974) mengatakan bahwa zat goiterogenik dalam bahan makanan yang dimakan setiap hari akan menyebabkan zat iodin dalam tubuh tidak berguna karena zat goiterogenik tersebut menghambat absorbsi dan metabolisme mineral iodin yang telah masuk ke dalam tubuh.

Gaitan (1980) mengatakan bahwa goiterogen dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan cara kerjanya pada metabolisme iodin dalam pembentukan hormon tiroid. Kelompok pertama adalah tiosianat atau senyawa yang mirip tiosianat yang secara primer menghambat mekanisme transpor aktif iodin ke dalam kelenjar tiroid. Hambatan senyawa ini efektif hanya bila konsentrasi iodin dalam darah normal atau lebih rendah (Wilson dan Foster, 1992). Oleh sebab itu, hambatan oleh senyawa ini hanya dapat diatasi dengan suplementasi iodin yang cukup dan teratur (Gaitan, 1980).

Brody (1999) mengatakan bahwa singkong mengandung sianogenik-glikosida yang merupakan sumber sianida. Singkong yang dijadikan makanan hewan terlebih dahulu dihilangkan sianidanya dengan cara memanaskan singkong yang sudah dipotong-potong dan dijemur di bawah sinar matahari. Untuk konsumsi manusia, kandungan sianida singkong dapat dihilangkan dengan cara merebus di dalam air. Jika tidak dihilangkan dengan baik, sianida akan terlepas dari goiterogen tapi dalam tubuh akan berubah menjadi tiosianat, dan zat inilah yang akan menghambat penyerapan iodin dan akan mengakibatka n gondok.

(40)

gaplek, gadung, rebung, daun ketela, kecipir, dan terung), kelompok mimosin (dalam peta i cina dan lamtoro), kelompok isothiosianat (dalam daun pepaya), dan kelompok asam (dalam jeruk nipis, belimbing wuluh dan cuka) (Chapman, 1982).

Tabel 8 Daftar Bahan Pangan Goiterogenik

Nama Bahan

Pangan Kelompok Famili Nama Latin

Zat Goiterogen

1. Singkong Eupharbiaceae Manihot sp Sianida

2. Gaplek Eupharbiaceae Manihot sp Sianida

3. Gadung Dioscoreaceae Dioscorea sp Sianida

4. Daun Singkong Eupharbiaceae Manihot sp Sianida

5. Kool & Sawi Crucifera Cabbage &

Brascia Sianida

6. Petecina/Lamtoro Leguminoceae Leucaena Mimosin

7. Daun Pepaya Carica Carica Papaya Isothiosianat

8. Rebung Gramineae Bambosa Bamboo Sianida

9. Daun Ketela Cenvolvulaceae Ipomea Batatas Sianida

10. Kecipir Leguminoceae Psophocarpus sp Sianida

11. Terung Solanaceae Solanum sp Sianida

12. Pete Leguminoceae Parkia Belum

diketahui

13. Jengkol Leguminoceae Pithecolobium Belum

diketahui

14. Bawang Allium Allium sp Disulfida

Alifatik

15. Asam Leguminoceae Tamarindus

Indica

Zat asam

16. Jeruk Nipis Rutaceae Citrus Aurintfolia Zat asam

17. Blimbing Wuluh Averrhoaceae Averhoa Bilimbi Asam

18. Cuka - - Zat asam

Sumber : Chapman (1982)

Kelompok goiterogen yang kedua adalah kelompok tiourea, tionamide, tioglikosida, bioflavonoid, dan disulfida alifatik. Kelompok ini berkerja menghambat proses orga nifikasi iodin dan kopling iodotirosin dalam pembentukan hormon tiroid aktif. Hambatan kelompok ini tidak dapat diatasi dengan pemberian iodin. Kelompok ini banyak ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam berbagai bahan makanan pokok di daerah tropis seperti sorgum, kacang-kacangan, kacang tanah, bawang merah, dan bawang putih.

(41)

kelompok ini adalah iodid. Asupan rumput laut secara terus menerus dapat menyebabkan terjadinya pembesaran gondok dan hipertiroidisme sebagaimana yang dilaporkan pada pantai Hokaido Jepang yang dikenal sebagai daerah “endemic coastal goiter” (Gaitan, 1980).

Sulfur adalah bentuk zat organik yang terkandung dalam zat goiterogen yang dijumpai dari lingkungan dan bersifat antitiroid. Bentuk dari kelompok tiosianat ini adalah disulfides dan polysulfides dengan jenis 3 sampai 8 atom. Sulfur lebih banyak dijumpai pada daerah sumber air panas dan di wilayah volcanic di beberapa bagian dunia khususnya di wilayah kumpulan panas Pasifik. Sumber sulfur ini kemudian lebih banyak dieksploitasikan ke Indonesia, Chili dan Jepang. Di lingkungan tidak terdapat dalam bahan makanan tetapi lebih banyak terdapat di sumber air minum (air tanah atau daerah aliran sungai) dan daerah yang banyak bebatuan sediman yang banyak mengandung zat organik termasuk surfur (Gaitan et al., 1974).

Sianida

Agency for Toxic Substances and Disease Registry (1989) menjelaskan bahwa sianida biasa ditemukan dalam bentuk sederhana seperti hidrogen sianida (HCN), natrium sianida (NaCN) , dan kalium sianida (KCN).

Tabel 9 Sianogenik Glikosida yang Terdapat pada Bagian yang dapat Dimakan dalam Tumbuhan

Jenis Tumbuhan No Jenis Sianogenik

Glikosida Nama Umum Nama Latin

1 Amygdalin Almonds Prunus amygdalus

Sorghum album

2 Dhurrin Sorghum

Sorghum bicolor Manihot esculenta

Cassava

Manihot carthaginensis

3 Linamarin

Lima beans Phaseolus lunatus

Cassava Manihot carthaginensis

4 Lotaustralin

Lima beans Phaseolus lunatus

5 Prunasin Stone fruits Prunus species : P. avium; P. padus; P.

persica dan P. macrophylla.

6 Taxiphyllin Bamboo shoots Bambusa vulgaris

(42)

Tabel 9 dan 10 menjunjukkan kandungan alami sianida yang terdapat dalam makanan lebih dari 2.000 spesies termasuk buah dan umbi-umbian dalam bentuk sianogenik glikosida dan dapat melepaskan sianida pada saat hidrolisis (Nartey, 1980, Venesland et al., 1982, dan Rosling, 1987).Dijelaskan pula bahwa sumber sianogenik pada tumbuhan sangat bergantung pada jumlah konsentrasi hidrogen sianida (HCN) dan potasium sianida (KCN) yang dapat meracuni manusia dan hewan.

Tabel 10 Konsentrasi Sianida dalam Bahan Pangan

Bentuk Produk Konsentrasi Sianida (mg/kg atau

mg/L)

Padi-padian dan produk lainnya 0.001-0.45

Protein kedele dan produknya 0.07-0.3

Kulit kedele 1.24

Aprikot 89-2170

Jus Cherry 100% 23

Jus Buah Komersial

Cherry 4.6

Aprikot 2.2

Prem 1.9

Bahan Makanan Tropika

Ubi Pahit / kulit umbi 2450

Ubi Pahit / Daun 310

Ubi Pahit / Seluruh bagian umbi 395

Ubi Manis / Daun 468

Ubi Manis / Seluruh bagian ubi 462

Gandum 2500

Rebung 8000

Buncis (Jawa) 3120

Buncis (Puerto Rico) 3000

Buncis (Burma) 2100

Sumber : Nartey (1980), Venesland et al., 1982, dan Rosling, 1987

(43)

Tabel 11 Bentuk Fisik dan Kimia Sianida

No Kelompok Sianida Sifat Fisik dan kimia

1 Hidrogen Sianida (HCN)

1. Tidak berwarna atau cairan biru muda

2. Pada umumnya sama dengan asam hidrosianik dan asam prussat.

3. Berbentuk asam lemah dengan nilai pKa 9.22 pada 25oC.

4. Dapat larut dalam air dan alkohol. 5. Berbentuk gas.

6. BM 27.04, Titik cair -13 oC, Titik didih 26 oC dan Berat Jenis 0.94.

2 Sodium Sianida

(NaCN)

1. Berbentuk bubuk kristal putih higroskopik dengan wangi kacang almond.

2. Pada umumnya sama dengan asam

hidrosianik.

3. Dapat larut dalam larutan alkalin yang kuat dan cepat berubah atau membusuk.

4. Dapat berbentuk larutan.

5. BM 49.01, Titik cair 564oC dan Titik didih 1496 oC.

3 Potasium Sianida (KCN)

1. Berbentuk bubuk putih dengan wangi

menyerupai HCN.

2. Pada umumnya sama dengan asam hidrosianik dan garam kalium.

3. Dapat larut dalam air.

4. Berat molekul 65.12; dan Titik cair 635 oC. Sumber : ATSDR (1997), ACGIH (2001), dan DECOS (2002)

Metabolisme Sianida dan Tiosianat

Sianida cepa t diserap masuk ke usus lewat sistem pencernaan dan sistem pernapasan. Ketika garam sianida sederhana seperti kalium sianida dan natrium sianida diserap, ion sianida bebas dapat mengikat ion hidrogen sianida di dalam lambung dengan jumlah yang besar. Penyerapan sianida akan efektif dalam bentuk hidrogen sianida dan cepat diserap oleh usus (ECETOC, 2004).

(44)

Jumlah sianida dalam plasma darah manusia normal adalah < 140 µg/L dan dalam jaringan lain adalah < 0.5 mg Sianida/kg (Feldstein dan Klendshoj, 1954).

Pada umumnya proses metabolisme sianida terjadi dalam jaringan. Pada mamalia, sistem metabolisme sianida terjadi melalui jalur utama dan beberapa jalur kecil. Pada jalur utama, hidrogen sianida diubah menjadi tiosianat dengan bantuan enzim Rhodanese, yaitu thiosulfate sulphurtransferase atau

3-mercaptopyruvate sulphurtransferase (Oaks dan Johnson, 1972). Kedua enzim ini didistribusi ke mana -mana dalam tubuh.

Lang (1933) telah membuktikan bahwa agar tubuh dapat mempertahankan diri dari tingkat keracunan, sianida harus diubah menjadi tiosianat dengan bantuan enzim rhodanase. Namun hal ini tidak dapat terjadi tanpa kehadiran tiosulfat yang berperan dalam mengurangi racun sianida. Tingkat keracunan yang akut dapat terjadi jika penyerapan sianida melebihi jumlah yang dibutuhkan tubuh dalam proses metabolisme. Keadaan ini sangat bergantung pada status gizi atau tingkat kecukupan gizi tubuh.

Selain itu, tiosianat organik dapat juga dibentuk dari sianida oleh enzim glutathione S-transferase yang pada umumnya digunakan sebagai insektisida atau obat pembunuh serangga (Okhawa dan Casida, 1971). Perubahan sianida menjadi tiosianat yang tidak beracun dengan bantuan enzim rhodanase dapat dilakukan dengan pemberian sulfur (sodium tiosulfat) dalam intravenous (ATSDR, 1989 dan Westley, 1980). Keracunan tiosianat sangat nyata lebih rendah dari sianida, tetapi telah lama diketahui bahwa tingkat tiosianat dalam darah dapat menghambat tingkat penyerapan iodin oleh kelenjar tiroid, yang dengan demikian akan mengubah bentuk tiroksin (Hartung, 1982).

Agency for Toxic Substances and Disease Registry (1989) menjelaskan lebih lanjut bahwa beberapa jalur minor yang terjadi dalam metabolisme sianida adalah pengubahan sianida menjadi 2-aminothiazoline-4-carboxylic acid,

penggabungan menjadi 1-carbon metabolic pool, digabung dengan

(45)

Gambar 4 Metabolisme Sianida (Okhawa dan Casida, 1971) .

Jalur umum yang digunakan untuk mengeluarkan sianida pada manusia dan hewan adalah melalui urin dalam bentuk tiosianat. Pengeluaran tiosianat melalui paru-paru dan feses jumlah sangat kecil (EPA, 1985). Beberapa HCN bebas dikeluarkan tanpa mengalami perubahan, yaitu dalam pernapasan, air liur (ludah), dan keringat (Hartung, 1982).

Tiosianat dan Stabilitas Iodin dalam Tubuh

(46)

Taurog et al. (1947) dan Salter et al. (1945) mengatakan bahwa tiosianat dapat berperan antagonis dengan iodin, di antaranya da lam hambatan proses transpor aktif iodin menuju kelenjar tiroid dan mempengaruhi konsentrasi iodin

eksratiroidal dalam jaringan serta proses sintesis hormon tiroid (Gambar 5).

Gambar 5 Jenis Inhibitor yang Berperan Aktif pada Tahap Pembebasan dan Biosintesis Hormon Tiroid (Ingbar dan Braverman, 1986) .

Pada Gambar 5 terlihat bahwa tiosianat (SCN-) dan per khlorate (ClO4-) berperan penting sebagai inhibitor dalam proses transpor iodin. ECETOC (2004) mengatakan bahwa pada tikus yang diberi makan bubur bubuk singkong akan

mengalami pembesaran kelenjar tiroid dan penurunan kadar MIT

(monoiodotirosin) dan DIT (diiodotirosin) dalam darah.

(47)

Kreutler et al. (1978) menunjukkan bahwa tiosianat dapat berdampak pada pertumbuhan dan fungsi ke lenjar tiroid pada anak tikus. Sianida dan tiosianat dapat mengakibatkan pembentukan gondok dan peningkatan sekresi TSH pada hewan yang kekurangan iodin, tetapi tidak pada hewan yang kecukupan iodin. Dengan demikian, diyakini bahwa tiosianat dapat menjadi faktor etiologi dalam wilayah gondok endemik dan kretinisme. Di wilayah tersebut asupan iodin sangat rendah dan tiosianat dominan dalam diet. Konsentrasi tiosianat dapat menghambat pengambilan iodin sebesar 50% (Greer et al., 1966).

Dijelaskan pula bahwa tiosianat juga mampu mengeluarkan atau melepaskan iodin dari kelenjar tiroid dengan cara menghambat pengambilan iodin oleh kelenjar tiroid (Vanderland dan vanderland (1974). Hal ini terjadi karena adanya peran antagonis dari tiosianat tersebut.

World Health Organization (1965) menyatakan bahwa asupan sampai batas 10 mg/kg HCN dalam tepung ubi kayu tidak menyebabkan keracunan akut atau kronis. Selanjutnya pada Tabel 12 akan terlihat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan tingkat penggunaan dosis dalam diet dan jumlah konsumsi zat goiterogen yang bersifat toksik.

(48)

Tahun KCN NaCN HCN [KAg(CN)2] SilCN SCN (Ca(CN)2) CN

Subjek pingsan (fisik lemah & gangguan pernafasan)

2 US. Air Force, 1989 - - 8,5 - - - Tikus (O) Tidak dijelaskan

Peningkatan berat tiroid, hati dan spleen dibanding dengan anak sapi yang induknya diberi diet 31 mg CN/kg diet dengan waktu periode yang sama.

7 Tewe dan Maner,

1981b 500 - 21 - - - Tikus (D)

Serum Tiosianat secara nyata meningkat pada tikus yang menyusui dan pada anak yang sementara di sapih serta pada tahap pertumbuhan sesudah di sapih.

8 Ballantyne, 1983 7,87 5,05 1,09 - - - Kelinci (I) Tanda-tanda keracunan dan kematian setelah 3 – 12 menit sesudah diberi diet tersebut.

- - - 0,61

1,31 9 Lessel, 1971

1,72

Tikus (I) Hasil yang diperoleh adalah tingkat kematian meningkat pada semua dosis suntikan.

- - 3,7 - - - Tikus (O)

10 Conn, 1979 4,0 Anjing

(O)

Tidak dijelaskan

11 Osuntokun, 1981 - - 50 - - - Manusia (D)

Intake HCN setiap hari dari Cassava di atas 50 mg merupakan jumlah yang sangat berbahaya di daerah endemic GAKI Nigeria

12 Barrett et al., 1977 Pemberian Linamarin sebanyak 50 mg dan 30 mg dalam 0,5 ml Tikus (D) Hasilnya sesudah 4 hari 7 ekor tikus yang mendapat pemberian linamarin sebanyak 50 mg “mati”

(49)

Sambungan :

Kand. Goiterogenik (Sianida) ….mg/kg diet

No Nama Peneliti /

Tahun KCN NaCN HCN [KAg(CN)2] SilCN SCN- (Ca(CN)2) CN- Objek Hasil

14 Dahlberg et al., 1984 - - - 8 - - Manusia

(D)

Peningkatan nilai ETU sebanyak 20,2 mg/l sedangkan parameter lain mengalami perubahan tidak bermakna.

15 Dahlberg et al, 1985 - - - 3,9-19 - - Manusia

(D)

Pada kandungan tiosianat sebanyak 19 mg/l, ditandai dengan adanya peningkatan nilai ETU menjadi 3,5 mg/l. Sedangkan parameter lain berubah tetapi masih tetap berada dalam batasan normal.

16 Contempre et al., 2003 - 20 - - - Tikus (D) Meningkatkan berat tiroid pada kelompok tikus I-SE+

Indikator wilayah endemic GAKI. (nilai ETU 5,9 – 6,4 mg/l).

18 Philbrick et al., 1979 1500 - - - Tikus (D) Terjadi penurunan sekresi dua hormon tiroid (T4 dan T3) akibat penurunan fungsi tiroid.

19 Umoh et al., 1986 - - 30 - - - Tikus (D) Total intake sianida 0, HCN 24 dan Tiosianat 48 mg/kg.

20 Frakes et al., 1985 - - 10;12;14 - - - Hamster (O)

• Sesudah 1 hari pemberian dosis ditemukan kasus Dyspnoea, Ataxia, Tremors dan Hypothermia.

• Sesudah 2 hari pemberian dosis dua ekor hamster mati dengan dosis 12 mg dan satu ekor mati degan dosis 14 mg.

21 Olusi et al., 1979 5 dan

10 - - - Tikus (D)

Sesudah 3 minggu pemberian dosis terjadi perkembangan pembengkakan kelenjar thyrois dan kanker usus besar.

• 37, 2 mg HCN dari almonds berbahaya untuk orang dewasa.

• 6,2 mg HCN dari almonds berba haya untuk anak-anak.

23 Picauly, 1999 - - 56 - - - Manusia

(D)

• Nilai EYU rendah dengan kategori endemic sedang.

Keterangan :

KCN : Potasium Sianida NaCN : Sodium Sianida HCN : Hidrogen Cianide [[KAg(CN)2]]: Potasium Silver Sianida

SilCN : Silver Sianida SCN- : Tiosianat (Ca(CN)2) : Calcium Sianida CN- : Sianida

(50)
(51)

Kerangka Pemikiran

Baik buruknya tingkat konsumsi dan penyerapan iodin merupakan salah satu faktor etiologi munculnya permasalahan GAKI pada suatu daerah. Studi epidemiologi menyimpulkan bahwa jika asupan iodin cukup maka seseorang dapat terhindar dari masalah gangguan akibat kekurangan iodin. Meskipun demikian masalah GAKI dapat pula timbul pada seseorang yang mengkonsumsi iodin dalam jumlah cukup tetapi disertai dengan konsumsi zat goiterogen (tiosianat) dalam jumlah yang tinggi.

Selanjutnya studi epidemiologi telah menemukan suatu kenyataan bahwa pada daerah endemik GAKI, tingkat konsumsi goiterogenik lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah non-endemik. Namun, hasil penelitian epidemiologi yang lain menunjukkan bahwa pada daerah non-endemik dan endemik sama -sama mempunyai nilai kandungan iodin dalam urin yang relatif rendah (< 100 ìg/L) dan kandungan tiosianat dalam urin yang tinggi (41 – 46 ìg/L). Keadaan ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa kedua daerah tersebut sama-sama mempunyai tingkat konsumsi bahan pangan sumber goiterogenik yang tinggi dibanding bahan pangan sumber iodin.

(52)

Keterangan :

adalah Garis Intervensi (Langkah Pemecahan Masalah GAKI) adalah Garis Permasalahan

adalah Garis Hubungan Antarvariabel adalah Variabel yang tidak diteliti adalah Variabel yang diteliti

Gambar 6 Kerangka Pemikiran Munculnya Masalah GAKI. Konsumsi pangan mengandung

iodin (µg/g)

Asupan Iodium Asupan

Iodin Rendah Defisiensi

Iodin

Asupan Iodin Cukup

Bebas GAKI

Asupan

Goit erogenik tinggi

Konsumsi Goiterogenik ( ì g/g )

Asupan Iodin tinggi

Intervensi GAKI : Fortifikasi Garam beriodin GAKI

GAKI Asupan

(53)

DEFINISI OPERASIONAL

1. Dinamika iodin adalah persentase (%) penyerapan I131 dalam organ tubuh tikus seperti kulit, ginjal, hati, jantung, otak, kelenjar tiroid, dan kelenjar saliva.

2. Zat goiterogen adalah zat yang dapat menghambat penyerapan dan metabolisme iodin dalam tubuh. Zat ini terbagi dalam 3 kelompok, yaitu kelompok tiosianat, kelompok tiourea, dan kelompok kelebihan iodin.

3. Nilai urinary iodine excretion (UIE) atau ekskresi iodin melalui urin tikus adalah kandungan iodin yang terdapat dalam urin tikus.

4. Tikus yang kurang iodin adalah tikus percobaan yang kandungan iodin dalam urinnya lebih rendah 1154 ì gI/L.

5. Tikus yang tidak kurang iodin (normal) adalah tikus yang kandungan iodin dalam urinnya lebih besar dari 1155 ì gI/L.

6. Ransum yang kurang kandungan iodin adalah ransum tikus percobaan yang dibuat dengan komposisi kurang iodin.

7. Ransum yang cukup kandungan iodin adalah makanan tikus percobaan yang dibuat dengan komposisi cukup kandungan iodin berdasarkan standar AOAC (1984) . 8. Ransum kelompok tikus fortifikasi dibuat dengan penambahan KIO3 sebanyak 30

ppm/g ransum sebagai sumber iodin.

(54)

Gambar

Gambar 3  Proses Metabolisme Iodin dalam Tubuh (Ganong, 1989).
Tabel 3  Angka Kecukupan Gizi untuk Indonesia dan RDA
Tabel 4  Konsentrasi  Hormon Tiroid dalam Serum Manusia yang Diukur dengan  Metode Radioimmunoassay (RIA)
Tabel 5 Kriteria Epidemiologi untuk Menilai Status Iodin Berdasarkan Konsentrasi Iodin pada Anak Sekolah Dasar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Pemberian bahan organik pemberian bahan organik kompos sampah kota terhadap sifat Kimia tanah Pengaruh pemberian bahan organik pemberian bahan organik kompos

Laporan tugas akhir ini hanya membahas tentang bagaimana prinsip kerja alat untuk menciptakan gelombang air pada kolam ikan air tenang mulai dari sumber energi

(1987) updated the work of Ryan and Harleman (1971) and Helfrich et al (1982) to derive an empirical model of the wind speed function for heated waters that accounts for the

Analisis kelayakan adalah suatu studi yang akan digunakan untuk. menentukan kemungkinan apakah pengembangan proyek sistem multimedia

Material karbon dengan dengan menggunakan 5% PVA ini dengan pensinteran pada temperatur 1500 o C masih menunjukkan kandungan unsur yang lain yang merupakan unsur

Tingkat pertumbuhan klon-klon jati di plot uji klon Wonogiri sampai dengan umur 10 tahun secara umum adalah sebagai berikut: tinggi pohon total rata-rata 12,38 m,

Pentingnya dilakukan penelitian ini karena peneliti ingin menganalisis beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan asli daerah, faktor-faktor tersebut meliputi pengeluaran

Prinsip zuhud adalah prinsip yang harus dimiliki para sufi, yang harus ditanamkan dalam jiwa agar dapat mencapai apa yang diinginkan, adapun tujuan para sufi ingin