TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh :
090200224
MARIO BORNEO TARIGAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
090200224
MARIO BORNEO TARIGAN
DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM KHUSUS HUKUM PERBURUHAN
Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara
NIP. 196002141987032002
SURIA NINGSIH, SH., M.Hum
Pembimbing I Pembimbing II
Suria Ningsih, SH., M.Hum
NIP. 196002141987032002 197608162002122002
Dr. Agusmidah, SH.M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ABSTRAK
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)
Keberadaan pekerja rumah tangga atau yang lebih dikenal sebagai pembantu rumah tangga sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia baik di kota-kota maupun di desa-desa.
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :Bagaimana Kedudukan Hukum Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam Hukum Kerja di Indonesia? Bagaimana Penyelesaian Kasus-kasus yang dialami pekerja Rumah Tangga (PRT)?Bagaimana perlunya Pengaturan khusus pekerja rumah tangga (PRT) dalam undang-undang.
Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya
Kedudukan Hukum Pekerja Rumah Tangga (Prt) Dalam Hukum Kerja di Indonesia. PRT secara definitif adalah diakui kedudukan hukumnya sebagai Pekerja yang disebut dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut Pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dikatakan, bahwa: “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungn atas (a) keselamatan dan kesehatan kerja, (b) moral dan kesusilaan; dan (c) perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.“Penyelesaian Kasus-Kasus Yang Dialami Pekerja Rumah Tangga (PRT) Dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat dan melalui proses mediasi. Proses musyawarah mufakat dilakukan antara PRT dengan pemberi kerja dan/atau penyedia jasa PRT sebagai langkah yang paling sederhana untuk menyelesaikan perselisihan. Musyawarah diambil pertama kali tanpa perlu melibatkan aparat Pemerintah setempat. Namun jika diperlukan, maka aparat Pemerintah setempat dapat dijadikan sebagai saksi dalam musyawarah tersebut. Dalam pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk dicapainya kata mufakat ini dibatasi oleh waktu agar tidak berlarut-larut dan terpenuhi rasa keadilan dalam upaya memberikan kepastian hukum bagi para pihak Perlunya Pengaturan Khusus Pekerja Rumah sebagai pekerja rumah tangga (PRT) merupakan sumber penting mata pencaharian bagi perempuan dan laki-laki di Asia Tenggara. Karena pekerjaan tersebut dilakukan di dalam rumah tangga dan dianggap sebagai pekerjaan informal, tidak ada peraturan yang mengaturnya, dan akibatnya sering tidak diperhatikan. Ini adalah sebuah kategori pekerjaan yang sangat membutuhkan perlindungan hukum dan sosial, karena pekerjanya rentan atas pelecehan dan eksploitasi selama rekrutmen dan penempatan kerja, selama bekerja, dan setelah kembali ke daerah asal. Makalah ini merangkum masalah utama yang dihadapi PRT, begitu pula hambatan-hambatan yang dialami untuk mendapatkan hak-hak mereka
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
berjudul TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)
Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak M. Husni, SH, MH selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Suria Ningsih, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Administrasi Negara dan sekaligus Dosen Pembimbing I penulis yang
6. Ibu Dr. Agusmidah, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis
yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.
7. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.
8. Kedua orang tua penulis Ayahanda Ir. Pujin Tarigan dan Ibunda Rosa Rita
br. Sebayang, yang selalu memberikan dukungan baik secara moril
maupun material sehingga terselesaikanya skripsi ini.
9. Abangda Irja Breba Tarigan, SE dan kedua adik penulis Yessi Giovanni
Tarigan dan Paul Ramon Tarigan yang memberikan dukungan baik secara
moril maupun material sehingga terselesaikanya skripsi ini.
10.Bapak TR. Arif Faisal, SH selaku Koordinator Eksekutif LSM SAHDAR
dalam memberikan data-data kepada penulis hingga terselesaikannya
skripsi ini
11.Teman-Teman stambuk 2009 yang telah mendukung dan memberikan
motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya
penulisan skripsi ini.
12.Buat Ikatan Mahasiswa Karo Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(IMKA Erkaliaga) yang telah menjadi wadah penulis dalam berorganisasi
selama menjadi mahasiswa Fakultas Hukum USU.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.
keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan.
Medan, Oktober 2013 Hormat Saya
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Keaslian Penulisan ... 6
E. Tinjauan Kepustakaan ... 7
F. Metode Penelitian ... 12
G. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II KEDUDUKAN HUKUM PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) DALAM HUKUM KERJA DI INDONESIA ... 16
A. Sejarah Perkembangan Pekerja Rumah Tangga (PRT) Di Indonesia ... 16
B. Pekerja Rumah Tangga (PRT) Wajib Dilindungi Berdasarkan Kajian Hak Asasi Manusia (HAM) dan Negara Hukum ... 19
C. Peraturan tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang pernah Ada di Indonesia ... 20
BAB III MEKANISME PENYELESAIAN TERHADAP KASUS- KASUS YANG DIALAMI PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) ... 29
A. Penyelesaian Secara Hukum ... 29
B. Penyelesaian Secara Kekeluargaan melalui Lembaga Kepolisian atau Swadaya Masyarakat (LSM) ... 37
BAB IV PERLU ADANYA PENGATURAN KHUSUS PEKERJA
RUMAH TANGGA (PRT) DALAM UNDANG-UNDANG ... 55
A. Perlunya Pengaturan Khusus Mengenai Pekerja Rumah Tangga (PRT) ... 55
B. Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga Versi DPR ... 55
C. Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga Versi LSM ... 67
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 75
A. Kesimpulan ... 75
B. Saran ... 76
ABSTRAK
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)
Keberadaan pekerja rumah tangga atau yang lebih dikenal sebagai pembantu rumah tangga sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia baik di kota-kota maupun di desa-desa.
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :Bagaimana Kedudukan Hukum Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam Hukum Kerja di Indonesia? Bagaimana Penyelesaian Kasus-kasus yang dialami pekerja Rumah Tangga (PRT)?Bagaimana perlunya Pengaturan khusus pekerja rumah tangga (PRT) dalam undang-undang.
Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya
Kedudukan Hukum Pekerja Rumah Tangga (Prt) Dalam Hukum Kerja di Indonesia. PRT secara definitif adalah diakui kedudukan hukumnya sebagai Pekerja yang disebut dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut Pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dikatakan, bahwa: “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungn atas (a) keselamatan dan kesehatan kerja, (b) moral dan kesusilaan; dan (c) perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.“Penyelesaian Kasus-Kasus Yang Dialami Pekerja Rumah Tangga (PRT) Dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat dan melalui proses mediasi. Proses musyawarah mufakat dilakukan antara PRT dengan pemberi kerja dan/atau penyedia jasa PRT sebagai langkah yang paling sederhana untuk menyelesaikan perselisihan. Musyawarah diambil pertama kali tanpa perlu melibatkan aparat Pemerintah setempat. Namun jika diperlukan, maka aparat Pemerintah setempat dapat dijadikan sebagai saksi dalam musyawarah tersebut. Dalam pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk dicapainya kata mufakat ini dibatasi oleh waktu agar tidak berlarut-larut dan terpenuhi rasa keadilan dalam upaya memberikan kepastian hukum bagi para pihak Perlunya Pengaturan Khusus Pekerja Rumah sebagai pekerja rumah tangga (PRT) merupakan sumber penting mata pencaharian bagi perempuan dan laki-laki di Asia Tenggara. Karena pekerjaan tersebut dilakukan di dalam rumah tangga dan dianggap sebagai pekerjaan informal, tidak ada peraturan yang mengaturnya, dan akibatnya sering tidak diperhatikan. Ini adalah sebuah kategori pekerjaan yang sangat membutuhkan perlindungan hukum dan sosial, karena pekerjanya rentan atas pelecehan dan eksploitasi selama rekrutmen dan penempatan kerja, selama bekerja, dan setelah kembali ke daerah asal. Makalah ini merangkum masalah utama yang dihadapi PRT, begitu pula hambatan-hambatan yang dialami untuk mendapatkan hak-hak mereka
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan pekerja rumah tangga atau yang lebih dikenal sebagai
pembantu rumah tangga sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat
Indonesia baik di kota-kota maupun di desa-desa. Banyak keluarga mempunyai
pekerja rumah tangga (PRT). Menurut SUSENAS BPS 1999 di Jakarta terdapat
168.319 orang PRT.1 Jumlah tersebut mencakup baik PRT dewasa dan juga yang
masih tergolong anak-anak (PRT Anak) yang berusia antara 10-18 tahun. Jumlah
PRTA sebesar 29,9% dari seluruh PRT di Jakarta.2
PRT melaksanakan tugas-tugas rumah tangga seperti mencuci, memasak,
membersihkan rumah, mengasuh anak majikan dan berbagai tugas lain yang
diberikan oleh majikan. Dengan perkataan lain, pekerjaan yang harus dilakukan
oleh PRT sangatlah banyak dan bervariasi tergantung dari kehidupan rumah
tangga majikan.
Besarnya jumlah pekerja
tersebut memperlihatkan bahwa sebenarnya keberadaan PRT di Jakarta harus
mendapatkan perhatian yang serius.
3
Sebagai imbalan atas pekerjaannya PRT menerima upah dari majikan.
Besarnya upah tergantung dari perjanjian antara PRT dengan majikan yang
seringkali didasarkan pada harga pasaran di suatu wilayah tertentu. Dalam
1
Dhevy Setya Wibawa & Laurike Moelino, Laporan Penelitian: Profil Pekerja Rumah Tangga Anak di Dua Wilayah Jakarta Selatan: Studi untuk Peningkatan Kesadaran Masyarakat.
Jakarta: PKPM Unika Atma Jaya, 2002, hlm 5
2 Ibid. 3
beberapa kasus, upah didasarkan pula pada kondisi keuangan majikan.4 Di
samping upah, PRT juga menerima berbagai fasilitas lain seperti kamar, sabun,
sikat gigi dan pasta gigi, dan bentuk-bentuk fasilitas lain yang disediakan oleh
majikan berdasarkan kesepakatan mereka.5
Melihat fenomena tersebut di atas, muncul pertanyaan apakah PRT
termasuk pekerja yang pantas mendapat kedudukan yang sama dengan pekerja
yang lain. Sebutan dan penerimaan PRT sebagai pekerja tentunya akan
memberikan status yang baru kepada PRT sebagai pekerja formal. Status baru
tersebut memungkinkan PRT untuk memperjuangkan haknya secara lebih
terbuka.6 Pengalaman di beberapa negara tetangga memperlihatkan hal ini.
Malaysia, Thailand dan Singapura telah memiliki suatu ketentuan
perundang-undangan yang mengakui keberadaan PRT dan memberikan perlindungan hukum
sebagaimana mestinya walaupun terbatas terhadap PRT warga negara mereka
sendiri.7
Memang harus diakui bahwa sampai saat ini keberadaan PRT sebagai
pekerja tidak diterima oleh semua pihak. PRT tidak diakui sebagai tenaga kerja
yang sama dengan tenaga kerja lainnya seperti pekerja pabrik, perusahaan, dll.
Bahkan harus diakui bahwa dewasa ini sebutan sebagai “pekerja” pun belum
diterima oleh masyarakat. Pada umumnya masyarakat lebih menerima untuk
menyebut PRT sebagai “pembantu”. Oleh karena itu, PRT dimasukkan dalam
4
Dwi Astuti, et al. Jejak Seribu Tangan, Yogyakarta: 1999.
5
Wibawa & Moeliono, Op. Cit hlm. 8
6
Astuti, Op.Cit. hlm xiii
7
lingkup pekerjaan sektor informal.8
Penyebutan PRT sebagai pekerja sebenarnya sudah tercakup dalam
pengertian buruh atau pekerja yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan.Undang-undang terbaru tentang ketenagakerjaan (UU No 13 Tahun
2003) mendefinisikan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 butir 3). Berdasarkan
pengertian tersebut nampak bahwa seharusnya PRT termasuk dalam pekerja
sektor formal yang dilindungi oleh ketentuan undang-undang. Akan tetapi,
pandangan tentang PRT sebagai bukan pekerja formal sudah tertanam dalam
pandangan masyarakat.
Dengan memasukkan PRT dalam lingkup
sektor informal, perjuangan untuk mendapatkan hak-hak pekerja terbatas. Hal ini
karena persoalan-persoalan PRT tidak tercakup dalam ketentuan
perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan yang berlaku. PRT tidak mendapatkan
perlindungan hukum yang menjamin pekerjaan mereka sama seperti rekan-rekan
mereka yang bekerja di pabrik, perusahaan, dll.
9
Kelemahan atau kekurangan acuan yuridis ini memberikan dampak bahwa
PRT kurang mendapatkan perlindungan hukum. Seperti telah dilihat di atas,
pengakuan PRT sebagai pekerja yang sama derajatnya dengan sektor formal pun
masih kurang. Pengakuan keberadaan PRT sebagai pekerja merupakan langkah Di samping itu, tidak disebutnya secara langsung istilah
PRT sebagai pekerja dalam ketentuan undang-undang telah memperkuat
pandangan masyarakat dan selanjutnya dalam praktek PRT tetap tidak
dimasukkan dalam lingkup hukum perburuhan.
8
Syarief Darmoyo & Rianto Adi, Trafiking Anak untuk Pekerja Rumah Tangga: Kasus Jakarta, Jakarta: PKPM Unika Atma Jaya 2000. hlm 6
9
awal untuk mendapatkan pengakuan secara sosial dan secara hukum.10
Keberadaan peraturan perundang-undangan sangat penting untuk
memberikan jaminan kepastian hukum kepada para PRT dalam memperoleh
hak-hak mereka dan melaksanakan kewajiban mereka. Tentunya hal ini berlaku juga
bagi para pengguna jasa yang mempekerjakan PRT. Kedua belah pihak dapat
terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan dalam hubungan kerja di antara PRT
dan pengguna jasanya.
Adanya
pengakuan secara sosial dan hukum tentunya akan memudahkan dalam membuat
peraturan perundang-undangan yang secara langsung memberikan perlindungan
kepada para PRT. Maka, acuan yuridis pun menjadi jelas bagi PRT dan pengguna
jasa PRT serta masyarakat.
11
Berdasarakan uraian di atas penulis merasa tertarik untuk lebih menulis
skripsi berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pekerja
Rumah Tangga(PRT).
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana Kedudukan Hukum Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam
Hukum Kerja di Indonesia
2. Bagaimana Penyelesaian Kasus-kasus yang dialami pekerja Rumah
Tangga (PRT)
10
Komnas Perempuan & Solidaritas Perempuan/CARAM, “Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga Indonesia (TKW-PRT): Kerentanan dan Inisiatif-inisiatif baru untuk Perlindungan Hak Asasi TKW-PRT” dalam Laporan Indonesia kepada Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Migran, Jakarta 2003.
11
3. Bagaimana perlunya Pengaturan khusus pekerja rumah tangga (PRT)
dalam undang-undang
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain :
a. Untuk mengetahui Kedudukan Hukum Pekerja Rumah Tangga (PRT)
dalam Hukum Kerja di Indonesia
b. Untuk mengetahui Penyelesaian Kasus-kasus yang dialami pekerja
Rumah Tangga (PRT)
c. Untuk mengetahui perlunya Pengaturan khusus pekerja rumah tangga
(PRT) dalam undang-undang
2. Manfaat Penulisan
Setiap penelitian pasti mendatangkan manfaat sebagai tindak lanjut dari
apa yang telah dirumuskan dalam tujuan penelitian. Penulis mengharapkan
dengan adanya penelitian ini membawa manfaat positif bagi penulis atau pembaca
secara langsung maupun secara tidak langsung. Penelitian ini juga sangat
berpengaruh bagi perkembangan individu atau objek dari penelitian ini. Oleh
karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini merupakan hasil dari studi ilmiah yang dapat
ilmu hukum pada umumnya dan ilmu Hukum Ketenagakerjaan pada
khususnya.
b. Manfaat praktis
Sebagai suatu informasi dan referensi bagi individu atau instansi yang
menjadi atau yang terkait dari objek yang diteliti.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelursan dan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh
penulis baik di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis
menemukan judul skripsi antara lain :
1. Theresia Septria Tobing (030200037) perlindungan hukum terhadap
pekerja anak berdasarkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
di Indonesi (Studi Pekerja anak pada PT. Bakrie Sumatera Plantation, Tbk
Asahan.
2. Iwan Ginting (980200075) Eksistensi Serikat Pekerja dalam Pembuatan
Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) antara Buruh dan Majikan di PT.
(Persero) Pelabuhan Indonesia.
3. Soraya Fadilah (060200173) Perlindungan hukum terhadap pekerja dalam
Perjanjian Kerja dengan Sistem Outsoursing di Indonesia.
4. Rico Rinaldi Tarigan (070200221) Perlindungan hukum terhadap hak-hak
pekerja / buruh yang terkena PHK akibat efisiensi dalam suatu perusahaan
(Tinjauan terhadap Keputusan MA No. 37 K /PHI/2006 antara PT.
Dalam penelitian skripsi ini penulis mengambil judul tentang Tinjauan
Yuridis terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Jadi
penelitian ini belum diteliti oleh peneliti yang lain. Kajian pada penelitian ini
berbeda dari penelitian sebelumnya. Penulis mengkaji dan mengambil perumusan
masalah tentang kedudukan Hukum Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam Hukum
Kerja di Indonesia, Penyelesaian Kasus-kasus yang dialami pekerja Rumah
Tangga (PRT) dan perlunya Pengaturan khusus pekerja rumah tangga (PRT)
dalam undang-undang Perumusan masalah di atas berbeda dari penulisan skripsi
sebelumnya, maka penulis tertarik mengambil judul ini sebagai judul skripsi.
Dengan demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Perlindungan Hukum
Secara umum dapat dijelaskan bahwa pengertian Perlindungan hukum
adalah tindakan melindungi atau memberikan pertolongan dalambidang hukum.12
12
WJS. Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1959), hlm. 224.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud Perlindungan
adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Menurut Pasal 1 ayat (4)
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, yang dimaksud perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk
advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pelaksana lainnya
baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan
hukum adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah atau adapt yang berlaku
bagi semua orang dalam masyarakat (negara). Sedangkan, hukum dasarnya
merupakan perlengkapan masyarakat untuk menjamin agar kebutuhan-kebutuhan
dalam masyarakat dapat dipenuhi secara teratur agar tujuan-tujuan kebijaksanaan
publik dapat terwujud di dalam masyarakat. Berbicara perlindungan hukum
berarti membahas tentang hak dan kewajiban tenaga kerja. Perlindungan hukum
terhadap tenaga kerja di kapal merupakan salah satu bagian yang sangat penting
dalam pelaksanaan hak bekerja dalam perusahaan, apalagi mengingat resiko
bahayanya, maka pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kerja haruslah sesuai
dengan harkat dan martabat manusia itu sendiri.
Untuk menjamin hak-hak tenaga kerja tersebut, maka perlu dilakukan
upaya pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja tanpa terkecuali.
Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja dituangkan dalam Pasal 28 D ayat (2)
UUD 1945, yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”
Dalam hal ini pengusaha/ perusahaan harus memberikan perlindungan
hukum kepada tenaga kerja sesuai dengan jenis pekerjaannya. Meskipun hanya
seorang pelayan akan tetapi juga harus tetap diperhatikan. Mengingat peranan
memperoleh hak-hak mereka secara penuh, begitu juga sebaliknya tenaga kerja
juga harus memenuhi kewajibannya dengan baik pula. Sehingga, akan tercipta
hubungan kerja yang dinamis antara perusahaan dengan pihak tenaga kerja. Jadi
perlindungan hukum tidak hanya semata-mata memberikan perlindungan
2. Ruang lingkup hukum ketenagakerjaan
Hukum perburuhan (ketenagakerjaan) merupakan spesies dari genus
hukum umumnya. Berbicara tentang batasan pengertian hukum, hingga saat ini
para ahli belum menemukan batasan yang baku serta memuaskan semua pihak
tentang hukum, disebabkan karena hukum itu sendiri mempunyai bentuk serta
segi yang sangat beragam. Ahli hukum berkebangsaan Belanda, J. van Kan,
sebagaimana dikutip oleh Lalu Gusni, mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan
ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi
kepentingan orang dalam masyarakat.13 Pendapat lainnya menyatakan bahwa
hukum adalah serangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai
anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan hukum adalah menjamin
kebahagiaan dan ketertiban dalam masyarakat. Selain itu, menyebutkan 9
(sembilan) arti hukum yakni:14
a. Ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang secara sistematis atas dasar
kekuatan pemikiran,
b. Disiplin, yakni sebagai sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala- gejala
yang dihadapi,
13
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 13.
14
c. Norma, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang
pantas atau diharapkan,
d. Tata hukum, yakni struktur dan perangkat norma-norma yang berlaku pada
suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis,
e. Petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang
berhubungan erat dengan penegakan hukum (law inforcement officer),
f. Keputusan penguasa, yakni hasil-hasil proses diskripsi,
g. Proses pemerintahan, yakni proses hubungan timbal balik antara unsur-
unsur pokok dari sistem kenegaraan,
h. Sikap tindak yang ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan
yang diulang-ulang dengan cara yang sama yang bertujuan untuk
mencapai kedamaian dan
i. Jalinan nilai, yakni jalinan dari konsepsi tentang apa yang dianggap baik
dan buruk.
Pendapat di atas menunjukkan bahwa hukum itu mempunyai makna yang
sangat luas, namun demikian secara umum, hukum dapat dilihat sebagai norma
yang mengandung nilai tertentu. Jika hukum dalam kajian ini dibatasi sebagai
norma, tidak berarti hukum identik dengan norma, sebab norma merupakan
pedoman manusia dalam bertingkah laku. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa norma hukum merupakan salah satu dari sekian banyak pedoman tingkah
3. Tujuan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja
Tujuan Perlindungan hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 4
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah
memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan
dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Mengingat
pentingnya peran tenaga kerja atau pekerja dalam sebuah perusahaan, maka tujuan
perlindungan hukum terhadap tenaga kerja harus dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Tanpa harus membedakan satu dengan yang lain karena pada dasarnya
setiap tenaga kerja berhak memperoleh perlindungan. Selain itu, dengan
mengingat tenaga kerja memiliki resiko, dengan begitu jika adanya keseimbangan
antara hak dan kewajiban makahubungan kerja dapat berjalan dengan lancar.
Pada dasarnya dalam hubungan antara tenaga kerja danpengusaha, secara
yuridis pekerja dipandang sebagai orang yang bebas karena prinsip negara
Indonesia, tidak seorangpun boleh diperbudak. Secarasosiologis, pekerja itu tidak
bebas sebagai orang yang terpaksa untuk menerima hubungan kerja dengan
pengusaha meskipun memberatkan bagi pekerja itu sendiri, lebih-lebih saat
sekarang ini dengan banyaknyajumlah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan
lapangan yangtersedia. Akibatnya tenaga kerja sering kali diperas oleh pengusaha
dengan upah yang relatif kecil dan tidak ada jaminan yang diberikan. Selain itu,
tenaga kerja memiliki resiko dalam pekerjaannya. Mengingat hal tersebut
Dengan adanya kejelasan tujuan perlindungan hukum terhadap tenaga
kerja dapat memberikan kepastian hukum yang jelas dalam pelaksanaannya
sehingga tenaga kerja tidak dirugikan.
F. Metode Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian dimulai ketika seseorang berusaha
untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara sistematis dengan metode dan
teknik tertentu yang bersifat ilmiah, artinya bahwa metode atau teknik yang
digunakan tersebut bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan
menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap
fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
masalah-masalah yang ditimbulkan faktor tersebut.15
1. Jenis penelitian
Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang
merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.16
Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap
sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan,
dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku tentang Perlindungan Hukum terhadap tenaga
kerja Indonesia.
Logika keilmuan yang juga dalam
penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara
kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.
15
Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004, hlm 1.
16
2. Sumber data
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak yang berwenang.17
b. Bahan Hukum Sekunder
Dalam penelitian ini bahan
hukum primer diperoleh melalui Undang-undang Dasar 1945 Pasca
amandemen, khususnya Pasal 27 yang mengatur tentang hak setiap
warga Negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, dan peraturan perundang-undangan lain yang
terkait.
Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang
berkaitan dengan penelitian ini, yaitu seminar-seminar, jurnal-jurnal
hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan
beberapa sumber dari internet.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik
koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari
17
media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk
peraturan perundang-undangan.
4. Analisis data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa
dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan
dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif
dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan
topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan
penelitian yang telah dirumuskan.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan membahas tentang latar belakang, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan
kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan
BAB II KEDUDUKAN HUKUM PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)
DALAM HUKUM KERJA DI INDONESIA
Bagian ini akan membahas sejarah perkembangan pekerja rumah tangga
(PRT) di Indonesia, Pekerja rumah tangga (PRT) wajib dilindungi
berdasarkan kajian hak asasi manusia (HAM) dan Negara Hukum serta
Peraturan tentang pekerja rumah tangga (PRT) yang pernah ada di
BAB III PENYELESAIAN KASUS-KASUS YANG DIALAMI PEKERJA
RUMAH TANGGA (PRT)
Pada bab ini akan membahas tentang penyelesaian secara hukum,
penyelesaian secara kekeluargaan melalui mediasi lembaga kepolisian
atau swadaya masyarakat (LSM) dan beberapa kasus yang menyangkut
pekerja rumah tangga.
BAB IV PERLUNYA PENGATURAN KHUSUS PEKERJA RUMAH
TANGGA (PRT) DALAM UNDANG-UNDANG
Bagian ini akan membahas perlunya pengaturan khusus mengenai
pekerja rumah tangga (PRT), rancangan Undang-Undang Pekerja
Rumah Tangga Versi DPR dan Rancangan Undang-Undang Pekerja
Rumah Tangga Versi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bagian akhir ini akan membahas tentang kesimpulan dan saran
BAB II
KEDUDUKAN HUKUM PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) DALAM HUKUM KERJA DI INDONESIA
A. Sejarah perkembangan pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia
Pembantu rumah tangga adalah suatu posisi dalam kehidupan yang bersifat
temporer dalam artian kehadiran pembantu rumah tangga bukan suatu hal yang
mutlak dalam suatu keluarga, namun kehadiran pembantu rumah tangga pada satu
sisi dapat dikatakan penting karena bagi sebahagian keluarga, dimana ibu dan
ayah masing-masing memiliki pekerjaan dan perlu bantuan pihak lain untuk
membantu dalam pekerjaan rumah tangga.
Pada awalnya pembantu rumah tangga dapat dilihat sekilas dari proses
perkembangan kebudayaan di Indonesia pada umumnya, seperti dalam
kebudayaan Kraton Jawa, di mana dalam suatu keluarga yang terdiri ayah, ibu dan
anak memiliki seorang pengasuh yang bekerja tidak hanya sekedar mengasuh dan
menjaga anak selama kedua orang tua bekerja, melainkan juga memiliki pekerjaan
memasak, mencuci dan lain sebagainya pada kebudayaan lainnya posisi pengasuh
juga memiliki arti penting dalam keluarga.18
Seiring perkembangan zaman, secara harfiah kata pengasuh tidak relevan
lagi karena terbatas pada artian mengasuh sehingga perkataan pengasuh bergeser
pada penggunaan kata pembantu yang berkonotasi sebagai individu yang memiliki
18
pekerjaan membantu dalam suatu keluarga dengan jenis pekerjaan yang
berbeda-beda.
Pekerjaan pembantu rumah tangga pada awal perkembangannya
merupakan suatu posisi pekerjaan yang diisi individu yang memiliki hubungan
kekerabatan dengan keluarga yang menggunakan jasanya dengan harapan agar
timbul rasa kepercayaan yang tinggi karena posisi kerja pembantu rumah tangga
adalah posisi kerja yang memerlukan tingkat kepercayaan tinggi.
Pembantu rumah tangga juga mengalami stagniantasi karena posisi
pembantu rumah tangga dalam paradigm masyarakat bagaikan hal penting namun
cepat terlupakan, hal ini terlihat dari sedikitnya literature mengenai
pembantu rumah tangga
Pada saat sekarang ini pembantu rumah tangga tidak hanya terbatas pada
suatu kemampuan dalam tingkat bekerja secara sederhana, seperti mencuci,
memasak dan menjaga rumah, melainkan sudah menjadi kompleks dengan
munculnya kebutuhan-kebutuhan dalam keluarga. Permintaan terhadap pembantu
rumah tangga juga meningkat tajam seiring kehidupan masyarakat perkotaan yang
kompleks dan membutuhkan ketepatan waktu yang tinggi, untuk menyiasati hal
tersebut diperlukan individu yang dapat membantu dalam hal pekerjaan rumah
tangga, hal ini ditandai dengan munculnya agen-agen penyalur pembantu rumah
tangga hingga pada pengiriman pembantu rumah tangga dengan label tenaga kerja
keluar negeri.
Pekerjaan pembantu rumah tangga pada saat sekarang ini sudah
privat keluarga menjadi ruang publik dengan artian individu yang menjadi
pembantu rumah tangga tidak lagi diisi oleh individu yang memiliki hubungan
kekerabatan melainkan individu yang memiliki keahlian khusus dalam pekerjaan
rumah tangga.
Menurut dari beberapa pengertian yang sudah di sampaikan dapat
disimpulkan bahwa pekerja rumah tangga adalah seseorang pekerja yang menjual
jasanya melalui pekerjaan rumah tangga dengan mendapatkan imbalan. Menurut
dari pengertian pekerja rumah tangga dapat disimpulkan bahwa pekerja rumah
tangga adalah orang selain anggota keluarga yang bekerja pada seseorang atau
beberapa orang dalam rumah tangga atau suatu keluarga untuk melakukan
pekerjaan rumah tangga dengan mendapatkan imbalan.
Pembantu rumah tangga dapat dibagi atas dua bagian, yaitu individu yang
memiliki pekerjaan membantu dalam rumah tangga dan individu yang memiliki
keahlian khusus dalam bekerja/membantu suatu pekerjaan rumah tangga.
Berdasarkan dua bagian tersebut maka muncul jenis-jenis pembantu rumah tangga
berdasarkan keahlian khusus, seperti :
1. Supir, yang bertugas mengemudikan mobil majikan
2. Tukang cuci, yang memiliki pekerjaan mencuci pakaian
3. Tukang masak, adalah yang bertugas untuk memasak makanan bagi
suatu keluarga, bahkan pada saat sekarang ini, hal ini mengalami
perkembangan dimana suatu keluarga mengambil keputusan untuk
berlangganan makanan pada suatu pihak yang biasa dikenal dengan
4. Tukang jaga rumah, bertugas untuk menjaga rumah beserta isinya.
5. Tukang potong rumput, yang bertugas merapihkan di halaman rumah
B. Pekerja rumah tangga (PRT) wajib dilindungi berdasarkan kajian hak asasi manusia (HAM) dan Negara Hukum
Perlindungan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) mutlak harus
diberikan. Berdasarkan Sasaran Kerja Nasional Badan Pusat Statistik (Sakernas
BPS) 2008, data dari Migrant Care dan estimasi Organisasi Buruh Sedunia (ILO)
tahun 2009, saat ini terdapat lebih dari 3 juta PRT di Indonesia dan lebih dari 6
juta PRT Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Bahkan, pekerjaan sebagai PRT menempati posisi teratas sebagai tujuan
tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Namun sayangnya, mereka rentan
terhadap kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan sosial sehingga hidup dalam situasi
pekerjaaan yang tidak layak. Oleh sebab itulah diperlukan perlindungan bagi PRT
dan anggota keluarganya.
Kejanggalan kebijakan di Indonesia justru terjadi di kalangan pengambil
keputusan, dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans),
yang menolak adanya konvensi perlindungan PRT. Padahal, Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
mendukung lahirnya konvensi ILO tentang perlindungan PRT.19
Dalam rapat koordinasi Kementerian Kesejahteraan Rakyat pada 11
Agustus lalu, salah satu hasil yang disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang
19
Yudhoyono adalah mendukung dan membangun konsultasi untuk lahirnya
konvensi ILO tentang perlindungan PRT.20
Alasan yuridis mengenai perlindungan PRT sebenarnya sudah tertuang
dalam Pasal 27 UUD 1945, dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, UU No 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 point 12 UU No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan Hak Anak adalah bagian dari HAM yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara, serta Pasal 4 UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga yaitu: mencegah segala bentuk kekerasan dalam
rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan memelihara keutuhan rumah tangga
yang harmonis dan sejahtera.
21
C. Peraturan tentang pekerja rumah tangga (PRT) yang pernah ada di Indonesia.
Tidak ada undang-undang khusus di Indonesia tentang PRT, tetapi
beberapa undang-undang lain memberikan perlindungan. Akan tetapi, sikap
budaya menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia enggan membuat peraturan
formal tentang pekerjaan rumah tangga dan, apabila ada, mereka enggan untuk
menggunakan peraturan tersebut sebagai dasar untuk menyelesaikan perselisihan
yang melibatkan para PRT. Kenyataannya, para pekerja rumah tangga jarang
20 Ibid 21
sekali disebut sebagai pekerja (workers), melainkan hanya sebagai pembantu
(helper).
Praktik menyebut para pekerja rumah tangga sebagai pembantu
memperkuat keengganan budaya untuk memformalkan hubungan antara para
pekerja rumah tangga dengan para majikannya, yang banyak di antaranya berasal
dari keluarga jauh atau desa seasal. Sebagai gantinya, para majikan memandang
peranan mereka sebagai peranan paternalistik, di mana mereka melindungi,
member makan, tempat tinggal, pendidikan dan memberikan uang saku kepada
pekerja rumah tangga sebagai imbalan atas tenaga yang diberikan. (Di Jawa,
praktik ini disebut ngenger.22
Aspek paternal dari hubungan kerja ini, yang dipadukan dengan fakta
bahwa kebanyakan tugas dilaksanakan di dalam rumah keluarga dan tidak
dianggap produktif secara ekonomi,
23
berarti bahwa budaya Indonesia secara
umum memandang hubungan ini sebagai hubungan yang bersifat pribadi.24
22
Human Rights Watch, Always On Call: Abuse and Exploitation of Child Domestic Workers in Indonesia, Vol 17.7(C), 2005 , hlm 4.
Di
satu sisi masyarakat Indonesia mendukung tingkat keterlibatan pemerintah yang
cukup besar diberbagai aspek perekonomian dan kehidupan, namun, disisi lain,
rumah dinilai bersifat personal dan berada di luar batas jangkauan intervensi
negara.
23
Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesian (LBH APIK), Kertas Posisi Usulan Revisi Perda DKI Jakarta No 6 Thn 1993 tentang Pramuwisma
[Position Paper and Recommendations for the Revision of Jakarta City Local Ordinance No 6 of 1993 on Domestic Workers] (LBH APIK Jakarta, 2002), hlm 3.
24
Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesian (LBH APIK), Kertas Posisi Usulan Revisi Perda DKI Jakarta No 6 Thn 1993 tentang Pramuwisma
Karena sifat hubungan yang informal, kekeluargaan dan paternalistik
antara PRT dan majikan, penyelesaian perselisihan yang menyangkut hak dan
kewajibanpun biasanya dilakukan secara informal. Ini artinya PRT tidak memiliki
akses terhadap mekanisme-mekanisme seperti pengadilan industri, yang saat ini
sedang dibentuk untuk menyelesaikan perselisihan yang melibatkan para pekerja
di sektor formal.25
Sebagai gantinya, PRT mungkin mencari bantuan untuk menyelesaikan
perselisihan dari seorang anggota keluarga, rukun tetangga, rukun warga, atau
kepala desa/lurah. Di Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Perempuan (LBH APIK)
telah mulai menerima kasus-kasus yang melibatkan pelecehan serius,
pemerkosaan dan pembunuhan.
26
Faktor-faktor budaya yang diuraikan di atas mengurangi kapasitas
masyarakat Indonesia untuk membuat undang-undang bagi perlindungan PRT
maupun untuk menegakkan undang-undang yang sudah ada. Sebagai contoh,
ketika seseorang melapor ke kepolisian, ia seringkali dituduh tidak mengambil Akan tetapi, PRT umumnya akan
menyandarkan diri pada kemurahan hati sang majikan dan berusaha membangun
hubungan yang diatur berdasarkan saling mempercayai.
25
Diskusi dengan Dr Irma Alamsyah Djaya Putra, Wakil Kepala Bagian Perlindungan Perempuan di Departemen Pemberdayaan Perempuan, 3 Oktober 2005.
26
langkah-langkah yang memadai untuk menghindari kekerasan atau eksploitasi,
atau bahkan memancing terjadinya hal tersebut.27
Interpretasi pemerintah saat ini dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun
2003 tentang ketenagakerjaan tidak menjangkau para PRT ke dalam sistem
perundangan umum mengenai hubungan kerja. Kendati “pekerja” didefinisikan
pada Pasal 1 sebagai “seseorang yang bekerja untuk mendapatkan upah atau
bentuk imbalan lain”, masalah penafsiran berasal dari fakta bahwa dua istilah
untuk majikan digunakan di dalam UU tersebut. “Pengusaha” (badan usaha)
tunduk pada semua kewajiban standar usaha berdasarkan UU, sedangkan
“pemberi kerja” hanya menanggung sebuah kewajiban umum untuk memberikan
“perlindungan bagi kesejahteraan para pekerjanya, keselamatan dan kesehatan,
baik mental maupun fisik” (Pasal 35).
Pemerintah menyatakan, majikan pekerja rumah tangga bisa tergolong
“pemberi kerja”, ia bukan badan usaha dan dengan demikian bukan “pengusaha”
di dalam artian UU tersebut. Hal ini sebagai imbalan atas kontribusi ekonomi
yang diberikan para PRT terhadap para majikannya dengan memberikan mereka
kebebasan untuk terlibat di dalam kegiatan-kegiatan yang lebih menguntungkan.
Karena PRT dianggap tidak dipekerjakan oleh “pengusaha”, mereka tidak
diberikan perlindungan yang diberikan oleh UU terhadap pekerja lainnya.
Disamping itu, mereka tidak diberi akses terhadap mekanisme penyelesaian
27
perselisihan kerja, seperti pengadilan industrial yang dibentuk menurut UU No. 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Interpretasi yang diberikan oleh pemerintah sebagian berlandaskan pada
keputusan Panita Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) di tahun
1959, yang menyatakan bahwa perselisihan yang melibatkan para PRT berada di
luar yurisdiksi sistem penyelesaian perselisihan kerja formal. Namun keputusan
ini tidak lagi menjadi yurisdiksi yang berlaku karena:28
1. P4P tidak lagi memiliki dasar hukum dan sedang dalam proses penggantian
dengan pengadilan Industrial, seiring pemberlakuan UU No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
2. UU yang digunakan sebagai dasar oleh P4P dalam mencapai keputusan (UU
No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)
dicabut dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dengan
demikian tidak lagi bisa menjadi dasar bagi yurisprudensi yang mengikat.
3. Penjelasan bagian 10 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja secara
khusus menyebutkan para PRT memiliki hak untuk berserikat, sehingga
dengan demikian memberikan bukti persuasive tentang niat parlemen
menjangkau para PRT dalam mengupayakan tersedianya UU
Ketenagakerjaan.
4. Kondisi sosial-ekonomi sudah banyak berubah sejak tahun 1959.
28
Pada 2005, setelah adanya sebuah laporan tentang PRT anak yang
disinyalir oleh Human Rights Watch,29 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Fahmi Idris menegaskan bahwa departemennya akan mengusulkan sebuah UU
tentang PRT untuk mendapat persetujuan DPR. Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi turut mendukung, termasuk penyebutan para pekerja domestik di
dalam UU Ketenagakerjaan, meski sekadar menyebutkan bahwa para PRT akan
diatur berdasarkan keputusan menteri yang akan dirumuskan kemudian. Namun,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) cenderung mendesak perlunya UU
nasional terpisah tentang PRT.30
Sementara sistem UU Ketenagakerjaan tidak menjangkau para PRT,
sejumlah UU nasional lainnya memberikan perlindungan di bidang-bidang
tertentu, meski dengan masih secara terpisah dan terbatas. UU ini meliputi:
Praktik terbaik menunjukkan bahwa hal ini dapat
menjadi cara paling efektif memberikan perlindungan bagi PRT (lihat di bawah).
1. Pasal 27 UUD 1945, dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
2. Pasal 4 UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga yaitu: mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku
kekerasan dalam rumah tangga, dan memelihara keutuhan rumah tangga yang
harmonis dan sejahtera dan Pasal 9 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang
KDRT bahwa Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
29
Human Rights Watch, Always On Call: Abuse and Exploitation of Child Domestic Workers in Indonesia, Vol 17.7(C), 2005.
30
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut.
3. Pasal 1 point 12 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyebutkan Hak Anak adalah bagian dari HAM yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan
Negara.
4. Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan National (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. (2)
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh
sampai dengan lima belas tahun.
5. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan
berkembang secara layak.
Selain UU ini, Indonesia juga telah mengeluarkan perundang-undangan
untuk mengesahkan beberapa norma hukum internasional terkait , termasuk:
1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Righ
2. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International
3. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR)
4. Kovenant tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Convenants on the Elimination of All Forms of Discrimination
against Women/CEDAW)
5. Konvensi tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
6. Konvensi untuk menekan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi
Lain
7. Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Hak untuk Berorganisasi,
1948 (Konvensi ILO No. 87)
8. Konvensi ILO tentang Hak Berorganisasi dan Perundingan Bersama, 1949,
(Konvensi ILO No. 98)
9. Konvensi ILO tentang Kerja Paksa, 1930 (Konvensi ILO No. 29)
10.Konvensi ILO tentang Penghapusan Kerja Paksa,1957 (Konvensi ILO No.
105)
11.Konvensi ILO tentang Usia Minimum, 1973 (Konvensi ILO No. 138)
12.Konvensi ILO tentang Bentuk-bentuk Terburuk Perburuhan Anak, 1999
(Konvensi ILO No. 182)
13.Konvensi ILO tentang Kesetaraan Pendapatan, 1951 (Konvensi ILO No. 100)
14.Konvensi ILO tentang Diskriminasi (pekerjaan dan jabatan), 1958 (Konvensi
ILO No. 111)
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan
(Kotamadya/Kabupaten) untuk membuat peraturan tentang semua sektor di luar
dari pertahanan dan keamanan, kebijakan luar negeri, masalah moneter dan fiskal,
kehakiman dan keagamaan. Hal ini berarti, meskipun tidak ada ketidaksesuaian
dengan UU nasional, pemerintah daerah saat ini dapat secara independen
mengeluarkan undang-undang tentang masalah-masalah seperti hubungan
industrial, perdagangan manusia, hak asasi manusia, kesetaraan jender, dan
masalah lain bagi para PRT. Sejumlah pemerintah daerah saat ini memiliki UU
BAB III
MEKANISME PENYELESAIAN TERHADAP KASUS-KASUS YANG DIALAMI PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)
A. Masalah-Masalah Hukum Pembantu Rumah Tangga
PRT semula adalah singkatan dari Pembantu Rumah Tangga, kini telah
digeser menjadi Pekerja Rumah Tangga. Istilah ini ingin menguatkan dan
memberi pengakuan terhadap orang yang berkerja pada suatu rumah tangga.
Istilah ini dimunculkan mengganti istilah pembantu, pelayan, pramuwisma, atau
babu.
Masalah yang satu ini, harus diakui masih kurang mendapat perhatian,
baik dalam konteks PRT yang menjadi TKW/migran, PRT anak, maupun
persoalan PRT di dalam negeri. Di daerah perkotaan di Indonesia terjadi
permintaan yang tinggi akan pekerja rumah tangga (PRT). Kehadiran dan
permintaan yang tinggi ini terhadap PRT telah memunculkan persoalan hak asasi
manusia. Pertama, jumlah PRT cukup besar sehingga potensi pelanggaran
hak-haknya sebagai pekerja juga besar. Hal ini terjadi karena sampai saat ini belum
ada peraturan jelas yang mengatur tentang hubungan kerja dan perlindungan
hukum bagi para PRT tersebut. Menurut survei Organisasi Buruh Internasional,
ILO-IPEC, yang dilaksanakan pada tahun 2003 di Bekasi dan Jakarta Timur, yang
kemudian dihitung hasilnya untuk mendapatkan jumlah PRT yang ada di
Indonesia, menunjukkan bahwa jumlah seluruh PRT di Indonesia adalah sebanyak
688.132 anak. Kedua, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa PRT sangat
rentan mendapatkan perlakukan yang tidak adil seperti ketidakpastian dalam hal
upah, perlakuan yang tidak manusiawi, dan jam kerja yang tidak menentu. Ketiga,
bahwa sebagian besar PRT adalah perempuan dan banyak di antara PRT
perempuan yang juga mendapatkan perlakukan kekerasan, baik kekerasan fisik
maupun kekerasan seksual, seperti pelecehan seksual sampai pada perkosaan.31
Kasus-kasus kekerasan terhadap PRT sering dilaporkan dalam media
massa. Pada banyak kasus, PRT tidak mampu melarikan diri dari siksaan majikan
karena mereka tidak memiliki uang dan mereka tidak mengenal lingkungan
tempat tinggal mereka. Karena sampai saat ini tidak ada ketentuan hukum yang
mengatur proses penerimaan, standar lingkungan kerja, beban kerja dan kondisi
kerja untuk PRT, maka PRT rentan mengalami tindak kekerasan.
Masalah PRT memang cukup rumit. Masalah ini semakin rumit karena
tidak ada perangkat hukum yang mengaturnya. Masalah ini tidak berhenti pada
agen-agen penyalur tenaga kerja yang tidak mengikuti peraturan resmi, namun
meluas ke sistem ekonomi, sosial, budaya, dan hukum. Oleh karena itu, masalah
PRT adalah masalah struktural dan kondisi kerja yang sangat berkaitan dengan
kemiskinan dan pemiskinan.
Pekerjaan PRT berkaitan erat dengan fenomena feminisasi kemiskinan.
Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh perempuan miskin, terutama dari perdesaan
dan diberi upah rendah. Pekerjaan ini juga tidak memiliki jenjang karir serta tidak
dilindungi hukum. Oleh karena itu, situasi yang dihadapi PRT bersifat struktural,
yakni berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, budaya, dan hukum.
Untuk menanggulangi masalah struktural ini, diperlukan perubahan mendasar,
terutama di bidang sosial dan ekonomi pada tingkat nasional. Ada dua masalah
struktural utama yang dihadapi oleh PRT :32
(1) Kemiskinan. Kemiskinan yang dialami oleh keluarga PRT telah
menyebabkan mereka kehilangan kesempatan bersekolah, yang juga
menyebabkan mereka tidak mampu memperoleh keterampilan yang
diperlukan untuk terjun ke pasar kerja dan mendapatkan pekerjaan yang
layak. Akibatnya, mereka terjebak ke dalam kondisi kerja yang tidak
layak, yang dapat menjadi kerja paksa. Upah yang rendah menyebabkan
mereka pun kelak tidak bisa menyekolahkan anaknya pada tingkat yang
lebih tinggi, sehingga anaknya pun tidak akan jauh kondisinya dengan
orang tuanya. Mengurangi kemiskinan akan membantu mengurangi
kondisi kerja dan hidup PRT yang tidak layak.
(2) Diskriminasi. Diskriminasi yang dialami PRT perempuan dilandasi oleh
konstruksi gender dan kelas sosial. Sebagai perempuan miskin yang
menawarkan jasa yang dianggap tidak membutuhkan keahlian khusus,
menyebabkan PRT tidak mempunyai kekuatan tawarmenawar ketika
berhadapan dengan majikan mereka. Konstruksi gender dan kelas sosial
juga membuat mereka pasif dan menerima keadaan begitu saja, dan
konstruksi gender juga membuat mereka dibayar lebih rendah dari
pekerjaan rumah lainnya, misalnya supir. Mengorganisasi PRT agar dapat
32
menumbuhkan kekuatan mereka untuk menolak diskriminasi gender dan
kelas sosial akan membantu mengurangi posisi PRT yang lemah.
Masalah struktural di atas telah menyebabkan PRT berhadapan dengan
kondisi kerja yang buruk dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tidak seperti
masalah struktural lain yang memerlukan solusi jangka panjang dan perubahan
yang lebih luas di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum, masalah
kondisi kerja ini dapat antara lain ditanggulangi dengan solusi jangka menengah
melalui advokasi perlindungan hukum PRT. Masalah-masalah kondisi kerja yang
dihadapi oleh PRT adalah sebagai berikut:33
1. Dipekerjakan pada usia muda; kemiskinan menyebabkan mereka
meninggalkan rumah pada usia muda karena orang tua tidak mampu lagi
menanggung biaya hidupnya.
2. Tidak adanya penghargaan dan pengakuan terhadap PRT sebagai pekerja; jam
kerja yang panjang, upah yang rendah, tidak adanya tunjangan sosial dan
kesehatan, serta bentuk eksploitasi lainnya yang dilakukan oleh majikan.
3. Keluarga dianggap sebagai lingkup pribadi yang tidak dapat diganggu oleh
pihak luar, sehingga setiap perlakukan kekerasan yang dialami oleh PR
tersebut selalu dianggap sebagai persoalan dalam lingkup keluarga dan orang
luar enggan terlibat.
4. Eksploitasi oleh agen penyalur PRT; agen selalu menarik uang dari hasil jerih
payah PRT setiap bulannya. Penarikan tersebut bervariasi antara satu agen
dengan agen lainnya.
5. Kekerasan seksual; banyak kasus menunjukkan bahwa PRT sering menjadi
korban pelecehan seksual atau kekerasaan seksual lainnya oleh majikannya
atau keluarga majikannya.
6. Rendahnya atau tidak adanya akses untuk mendapatkan informasi; PRT
dilarang atau diberi kesempatan sedikit untuk bergaul di luar rumah sehingga
tidak mempunyai kerabat yang bisa dihubungi apabila terjadi masalah.
Berikut adalah masalah yang dihadapi PRT secara lebih rinci:
a. Upah Rendah
Upah yang diterima PRT jauh di bawah standar upah yang layak
dibandingkan dengan jam kerja dan bentuk pekerjaan. Sebenarnya, pemerintah
telah menetapkan standar upah minimum untuk buruh perempuan di sektor
formal, namun standar itu tidak mencakup PRT karena mereka dianggap sebagai
pekerja domestik di sektor informal. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan
upah pekerja lain dan standar hidup secara regional, upah yang diterima PRT
paling rendah dengan waktu kerja yang paling panjang. Lebih dari itu, mereka
seringkali menerima upah yang lebih rendah daripada yang disepakati
sebelumnya. Seharusnya, ada upah standar untuk PRT yang dihitung berdasarkan
pengalaman kerja, jenis dan beban kerja, jumlah orang dalam keluarga yang
dilayaninya, dan standar hidup regional. Sebenarnya, upah yang layak bukanlah
upah minimum, namun harus disesuaikan dengan jam kerja, bentuk pekerjaan, dan
b. Ketiadaan Standar Jam Kerja
Tidak adanya batas yang ditetapkan untuk beban kerja PRT membuat
mereka bekerja lebih lama dari masa kerja yang diatur dalam UU
Ketenagakerjaan, yaitu selama delapan jam dalam satu hari. Dalam diskusi yang
dilakukan bersama-sama dengan para PRT di kantor LSM Rumpun Tjut Nyak
Dien (TND), di Yogjakarta, PRT mengemukakan perlunya standar jam kerja
untuk menghindari jam kerja yang sangat panjang, yaitu antara 10-16 jam sehari,
mulai jam 05.00 pagi sampai sekitar jam 08.00 hingga 10.00 malam. Standar jam
kerja seharusnya mengikuti ketentuan yang lazim, yaitu delapan jam per hari.
Terlebih lagi, PRT sulit memperoleh waktu istirahat rutin seperti istirahat
mingguan, cuti haid, cuti tahunan, dan cuti melahirkan.
c. Ketiadaan Jaminan Sosial, Asuransi Kesehatan, dan Tunjangan Lainnya
PRT tidak mendapatkan jaminan sosial karena mereka tidak dianggap
sebagai pekerja “formal”. Dengan demikian, mereka juga tidak menerima
tunjangan kesehatan dan tunjangan lain yang seharusnya diterima oleh pekerja.
Jaminan sosial dan tunjangan kesehatan merupakan prasyarat bagi lingkungan
kerja yang layak. Karenanya, PRT yang sakit sangat tergantung pada kebaikan
majikannya, apakah akan membawanya ke dokter atau hanya mau
membelikannya obat di warung. Kalau mendapatkan majikan yang baik, PRT
yang sakit juga akan mendapatkan biaya perawatan. Karena hal ini tidak
dibakukan, maka semua ini sangat bergantung pada budi baik sang majikan.
Berkaitan dengan hal di atas, perawatan kesehatan PRT membutuhkan perhatian
TND memperlihatkan bahwa banyak masalah yang dihadapi PRT berkaitan
dengan kesehatan, baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental atau psikologis.
Oleh karena itu, hak untuk memperoleh perlindungan dan perawatan kesehatan,
selain hak untuk memperoleh informasi, harus menjadi prioritas di dalam agenda
advokasi PRT. Dalam hal ini, kesehatan reproduksi PRT memerlukan perhatian
khusus karena sebagian besar PRT adalah perempuan tetapi mereka tidak berhak
mendapatkan cuti haid dan ada juga yang mengalami perkosaan.
d. Kekerasan Fisik dan Seksual yang dialami oleh PRT
Penelitian lapangan yang dilakukan oleh LSM TND (2003)
memperlihatkan bahwa PRT mudah mendapatkan perlakuan kekerasan seksual
disebabkan beberapa hal berikut:
1. Hubungan antara PRT dengan majikan didasarkan pada kekuasaan dan
dominasi, yang dapat diwujudkan dalam bentuk kekerasan fisik atau
intimidasi, ancaman, perintah, dan penghinaan yang dilandasi oleh perbedaan
kelas sosial dan gender.
2. Majikan melihat PRT sebagai orang yang sangat membutuhkan uang tetapi
tidak memiliki keterampilan dan pendidikan, sehingga posisi tawar mereka
rendah.
3. Ketiadaan kontrol sosial dan anggota keluarga lain yang dapat mencegah
terjadinya kekerasan seksual terhadap PRT. Jika seorang PRT hamil akibat
hubungan seksual yang dilakukan oleh majikannya, ia akan diminta
meninggalkan rumah dan dipandang rendah oleh masyarakat. Sanksi sosial itu
lagi, PRT korban kekerasan seksual harus menanggung rasa bersalah sebagai
perempuan yang hamil di luar nikah. Selain masalah psikologis, PRT
perempuan menderita sakit fisik akibat kekerasan seksual, termasuk
kemungkinan terjangkit virus penyakit kelamin. Untuk mengurangi
kerentanan PRT, harus dilakukan usaha-usaha yang sekaligus akan
menanggulangi masalah struktural dan masalah kondisi kerja PRT. Namun
demikian, hingga saat ini tidak ada perlindungan hukum atas hak-hak PRT,
sementara upaya mengorganisasi PRT ternyata lebih sulit jika dibandingkan
dengan mengorganisasi pekerja di sektor formal. Adanya kendala-kendala ini
telah berkontribusi pada meningkatnya kekerasan fisik dan seksual terhadap
PRT.
4. Pembatasan Kebebasan dan Akses untuk Mendapatkan Informasi
Akses PRT untuk mendapatkan informasi, komunikasi, pendidikan, dan
hubungan sosial lainnya sangat terbatas. Perlakuan tidak layak dimulai dengan
dirampasnya kebebasan PRT oleh majikan mereka, yang menyebabkan mereka
tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain di luar rumah. Situasi semakin parah
dengan adanya nilai sosial yang beranggapan bahwa kehidupan keluarga tidak
boleh dicampuri, sehingga semakin sulit untuk menawarkan bantuan kepada PRT
yang mengalami kekerasan.
5. Ketiadaan Organisasi Pekerja Rumah Tangga
Dengan keterbatasan akses untuk memperoleh informasi, sangat sulit bagi
PRT untuk mendapatkan keterangan tentang pembentukan organisasi yang dapat
Perlindungan hukum terhadap PRT seharusnya menjadi agenda yang paling
penting bagi organisasi semacam itu. Masalah ini telah menjadi lingkaran setan.
Tanpa perlindungan hukum, hak-hak PRT untuk dapat berkumpul, bersatu, dan
membentuk organisasi sangat terbatas. Sebaliknya, ketidakmampuan mereka
untuk membentuk organisasi menjadikan mereka sulit untuk memperoleh bantuan
untuk melindungi hak, keinginan, dan kebutuhan mereka. Pada masyarakat yang
menganggap bahwa pekerjaan PRT itu rendah, PRT mengalami tekanan dari
majikan dan juga dari PRT lain ketika mereka ingin membicarakan masalah,
kebutuhan, dan minat mereka, serta tidak digubris ketika membicarakan
pembentukan organisasi yang dapat mewadahi minat mereka.34
B. Penyelesaian Secara Kekeluargaan Melalui Mediasi Lembaga Kepolisian atau Swadaya Masyarakat (LSM)
Kasus kekerasan yang dialami oleh PRT di Kota Medan hingga saat ini
belum mendapat perhatian yang serius dari aparat Pemerintah setempat. Hal ini
disebabkan belum ada pedoman yang secara jelas dalam peraturan
perundang-undangan yang khusus mengatur tentang Perlindungan PRT, sehingga respon
Pemda dalam hal ini SKPD yang menangani bidang ketenagakerjaan terhadap
pengaduan kasus PRT masih sangat rendah. Termasuk di sini adalah Peraturan
Daerah yang belum mengatur tentang Perlindungan terhadap PRT. Selama ini
Pemerintah daerah hanya menerima pengaduan PRT korban trafficking.
34
Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap PRT, sepenuhnya diserahkan kepada
pihak kepolisian.
Masyarakat selama ini telah berperan serta secara langsung dalam
penanganan terhadap PRT yang menjadi korban kekerasan oleh Pemberi Kerja.
Hal ini terlihat dari kasus yang dialami oleh PRT bernama Yani (PRT tuna
runggu-wicara) yang sudah bekerja sejak 4 November 2007, yang sering
mendapat perlakuan kasar dari Pemberi Kerja. Ketika masyarakat sekitar
mengetahui adanya penyiksaan yang dilakukan oleh Pemberia Kerja, mereka
berusaha melindunginya dengan melaporkan kepada kepala lingkungan setempat.
Namun tidak ada koordinasi antar-aparat Pemerintah terhadap penyelesaian kasus
PRT tersebut, mulai dari tahap pelaporan sampai ke tahap penyelesaian
perselisihan.35
Proses pelaporan kasus PRT dirasakan masih terlalu berbelit-belit. Hal ini
disebabkan karena belum adanya undang-undang yang mengatur Perlindungan
bagi PRT, sehingga masyarakat dan aparat Pemerintah tidak mengetahui jelas
mekanisme prosedur pelaporan atau pengaduan terkait kasus penyiksaan atau
pelanggaran terhadap PRT. Penyelesaian kasus PRT di Kota Medan baru beberapa
kasus saja yang masuk ke tingkat pengadilan. Sampai saat ini, baru kasus PRT
Mariani Sambas yang telah diputus oleh pengadilan dimana pelaku (Pemberi
Kerja) dihukum percobaan selama 1 (satu) bulan.
Sebagian besar kasus diselesaikan dengan cara damai. Hal ini disebabkan
ketidakjelasan mekanisme penyelesaian kasus PRT, sehingga ditempuh upaya
35
secara damai oleh kepolisian yang diketahui oleh masyarakat dan pengurus
RT/RW. Dengan demikian kasus tersebut berhenti di tengah jalan, mengingat cara
damai tersebut tidak menyentuh hak-hak yang seharusnya diterima oleh PRT.
Hampir seluruh kasus PRT yang ditangani oleh LSM Sahdar gagal dibawa ke
proses sengketa mediasi dan peradilan PPHI, karena pihak kepolisian yang
menangani kasus PRT tanpa melihat konteks sengketa keperdataan,
menyelesaikannya melalui jalan damai.
Terkait dengan data tentang PRT dan yayasan Penyedia Jasa PRT di Kota
Medan, hingga saat ini LSM Sahdar tidak memiliki data tersebut. Bahkan aparat
setempat pun tidak pernah menerima laporan adanya PRT dan yayasan di
wilayahnya. Selain itu, tidak ada prosedur yang jelas di kelurahan mengenai
pendataan keberadaan PRT yang tinggal di rumah Pemberi Kerja. Hal ini
menimbulkan kesulitan bagi LSM untuk mendata PRT yang bekerja pada Pemberi
Kerja, jika tidak ada surat pengantar dari kantor kelurahan setempat seperti yang
diinginkan oleh majikan.
Selama ini PRT dianggap sebagai pekerja informal, sehingga tidak ada
mekanisme pendataan yang jelas dari aparat setempat. Tidak ada inisiatif dari
aparat untuk mendata keberadaan PRT yang bekerja di wilayahnya. Terkait
PRTA, masih ada PRTA yang dipekerjakan tanpa sepengetahuan aparat setempat.
Keberadaan PRTA baru diketahui setelah terjadi permasalahan dengan Pemberi
pemotongan Upah yang disalurkan kepada Pemberi Jasa. Beberapa masukan atau
rekomendasi bagi pembuatan NA dan draft RUU PRT, yaitu: 36
1. Organisasi PRT perlu mendapat porsi yang layak dalam Undang-undang,
karena selain dapat memfasilitasi PRT untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kepada Pemberi Kerja, juga sangat membantu Pemerintah dalam hal
pengawasan pelaksanaan kesepakatan antara Pemberi Kerja dengan PRT;
2. Ada kewajiban untuk melapor bagi penduduk setempat terhadap setiap
kedatangan tamu di rumahnya kepada RT/RW setempat;
3. Setiap kedatangan atau keberadaan PRT yang bekerja di wilayahnya perlu
dilaporkan oleh yayasan melalui surat pemberitahuan kepada aparat setempat
sampai pada tingkat yang lebih rendah, untuk didata oleh kepala RT/RW, dan
diketahui oleh Lurah atau Camat. Pendataan tersebut harus bekerjasama
dengan kepala lingkungan;
4. Kelurahan membentuk kelompok yang diketuai oleh kepala lingkungan dalam
hal pendataan PRT di wilayahnya.
5. Terhadap penyiksaan dan tindakan semena-mena yang dialami oleh PRT,
perlu adanya upaya perlindungan bagi PRT dari semua pihak yang dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan.
6. Perlu melibatkan peran Pemerintah daerah dalam mengawasi proses
pemulihan korban kekerasan PRT.
7. Dalam hal tidak dibayarnya Upah PRT oleh Pemberi Kerja, perlu ada
perjanjian secara tertulis antara majikan dan PRT mengenai hak dan
36
kewajiban masing-masing pihak dalam suatu perjanjian kerja yang diketahui
dan disepakati oleh kedua belah pihak, sehingga dapat mengikat dan
memberikan sanksi bagi pihak yang tidak melaksanakan;
8. Bagi Pemberi Kerja yang mempekerjakan PRT cacat atau disable, harus
menyediakan alat bantu untuk berkomunikasi atau wajib memberikan sekolah
khusus sehingga PRT tersebut dapat berkomunikasi, atau menyediakan alat
bantu lain yang dibutuhkan karena ketidakfungsian anggota tubuhnya;
9. Perlu ada keterampilan bagi PRT yang akan disalurkan oleh yayasan. Jika
belum memungkinkan untuk bekerja, yayasan dilarang mempekerjakan PRT
tersebut. Hal ini untuk menghindari terjadinya penganiayaan terhadap PRT
yang tidak mengetahui tugas dan kewajibannya;
10.Perlu diberikan penyuluhan kepada yayasan sebagai Penyedia Jasa PRT
sehingga dapat menempatkan PRT sesuai dengan hobi dan kemampuan yang
dimiliki PRT;
11.Yayasan yang menyalurkan PRT dan organisasi PRT wajib terdaftar di dinas
ketenagakerjaan setempat;
12.Ijin pembentukan yayasan harus memenuhi beberapa syarat, antara lain
pembinaan kepada yayasan yang akan dibentuk, tata cara penerimaan PRT
yang benar, dan ijin yayas