1
Blueprint BPH Migas 2005-2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia, 2005 1.1 Latar Belakang
Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas penentu kelangsungan
perekonomian suatu negara. Hal ini disebabkan oleh berbagai sektor dan kegiatan
ekonomi di Indonesia mengandalkan BBM sebagai sumber energi dalam
beraktivitas. Setiap aktivitas yang dilakukan oleh entitas ekonomi tidak lepas dari
penggunaan BBM, mulai dari kegiatan yang dilakukan oleh rumah tangga hingga
perusahaan yang memproduksi barang dan jasa. Ditinjau dari segi transportasi,
keberadaan BBM sangat penting adanya karena kemajuan suatu bangsa
ditentukan oleh kemudahan dan akses transportasi yang baik. Oleh karena itu,
BBM berkaitan erat dengan sistem transportasi sebagai sumber tenaga penggerak.
Sejak tahun 2002, Indonesia telah melakukan impor minyak mentah terkait
dengan penurunan produksi minyak dalam negeri. Di samping itu, Indonesia juga
menerapkan kebijakan subsidi BBM untuk menekan beban masyarakat akan
tingginya harga minyak dunia. Besarnya jumlah pemberian subsidi ini akan
mengalami fluktuasi selaras dengan perubahan harga minyak dunia. Secara
tentatif dan tertuang dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025,
Indonesia memberikan subsidi BBM dalam beberapa jenis, yakni subsidi untuk
minyak tanah, premium dan solar. Subsidi yang paling besar memakan dana
adalah subsidi BBM jenis premium.1
Subsidi BBM jenis premium diberikan pada angkutan pribadi, angkutan
umum, angkutan khusus, TNI/Polri. Hingga kini pemerintah masih mempelajari
dan mempertimbangkan dampak kebijakan harga BBM terutama terhadap
kelompok masyarakat menengah ke bawah. Hal ini memperlihatkan bahwa
kebijakan di sektor energi masih sangat responsif.
Suparmoko (2002) menjelaskan bahwa rendahnya harga BBM merupakan
salah satu sumber defisit APBN yang sangat dominan. Ia mengemukakan bahwa
hal ini memaksa pemerintah menaikkan harga BBM dengan rata-rata 30 persen
pada tahun 2001. Jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM sebesar 30 persen,
subsidi BBM akan melonjak menjadi Rp 66 triliun pada tahun tersebut. BBM
kehidupan, maka kenaikan harga BBM yang sangat drastis akan menaikkan harga
barang dan jasa termasuk harga kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat walaupun
pada kenyataannya biaya BBM hanya mencakup sekitar 6 persen dari rata-rata
biaya produksi industri pengolahan. Sementara itu bagi rumah tangga,
pengeluaran untuk BBM hanya meliputi sekitar 1,07 persen untuk kelompok
miskin dan 0,15 persen untuk rumah tangga kelompok tidak miskin, atau total
0,21 persen dari anggaran belanja keluarga. Namun untuk pengeluaran
transportasi rata-rata rumah tangga miskin dan tidak miskin mengeluarkan sekitar
2,60 persen dari seluruh anggaran belanja rumah tangga. Oleh karena itu,
kelompok rumah tangga miskinlah yang paling terbebani oleh kenaikan harga
BBM, karena di samping kebutuhan bahan bakar dan transportasi,
kebutuhan-kebutuhan lainnya pasti naik juga harganya, sedangkan penghasilan mereka relatif
kecil.
Tabel 1. Produksi, Konsumsi dan Impor BBM di Indonesia Tahun 2005-2010 (Ribu Barel)
Tahun Produksi BBM Konsumsi BBM Impor BBM Rasio Impor/Produksi (%)
2005 268.529 397.802 164.842 61
Dari data pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa produksi BBM Indonesia
berada di bawah jumlah kebutuhan untuk konsumsi nasional. Hal ini
menyebabkan pemerintah harus mengimpor BBM dari luar negeri untuk menutupi
defisit kebutuhan nasional tersebut. Produksi BBM dalam negeri menurun dari
tahun ke tahun, pada tahun 2005 Indonesia memproduksi 268.529.000 barel BBM
dan menurun hingga 241.156.000 barel BBM pada tahun 2010. Dilihat dari rasio
antara jumlah impor BBM dengan produksi nasional, jumlah impor BBM selalu di
atas 50 persen. Berarti Indonesia tidak dapat mencukupi setengah dari kebutuhan
BBM nasional. Impor BBM yang semakin banyak dengan harga minyak dunia
yang berfluktuatif menyebabkan ketidakpastian dalam jumlah subsidi yang harus
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk yang mengiringi
pertumbuhan ekonomi, eksploitasi sumber energi fosil akan terjadi, terutama
eksploitasi minyak. Hal ini merupakan lampu kuning bagi Indonesia yang
diprediksi akan menjadi negeri pengimpor minyak secara menyeluruh pada tahun
2030, di mana akan terjadi defisit hingga 650 juta barel (Kementerian Komunikasi
dan informasi Republik Indonesia, 2011). Hal ini membuat pemerintah harus lebih
menggalakkan program-program penghematan BBM di dalam negeri agar
Indonesia tidak semakin terpuruk dalam konsumsi BBM berlebih.
Tabel 2. Pengeluaran dan Subsidi Pemerintah di Indonesia Tahun 2005-2011 (Triliun Rupiah)
Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2012)
Dari data pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa subsidi bahan bakar
berfluktuatif dari tahun ke tahun. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor,
terutama oleh harga minyak dunia. Subsidi paling tinggi terjadi pada tahun 2008,
sebesar Rp 139 triliun. Pada tahun 2011 subsidi untuk bahan bakar dalam APBN
sebesar Rp 96 triliun. Pada tahun 2012, APBN yang dianggarkan pemerintah
untuk membiayai subsidi BBM sebesar Rp 137,4 triliun. Tetapi seiring dengan
peningkatan konsumsi BBM di Indonesia, diperkirakan anggaran tersebut akan
melonjak hingga Rp 234,2 triliun. Jika subsidi terhadap bahan bakar dapat ditekan
maka anggaran pemerintah dapat dialokasikan untuk subsidi di bidang lain seperti
pendidikan, pertahanan, kesehatan dan untuk jaminan sosial.
Menurut Kementerian Keuangan Republik Indonesia, eksplorasi minyak
mentah di Indonesia merupakan kerjasama antara pemerintah dengan kontraktor
asing. Jumlah minyak mentah yang merupakan hak pemerintah adalah 80 persen
sektor transportasi. Bagi sektor transportasi sendiri, BBM adalah bahan bakar
utama (nyaris 100 persen) yang sulit digantikan dengan bahan bakar lain.
Penggunaan BBM yang tidak efisien dapat kita lihat akibatnya pada kemacetan,
terutama di kota-kota besar. Mobil-mobil tua dengan mesin yang boros
penggunaan BBM kerap ditemukan di jalan raya. Laju pertumbuhan kendaraan
yang sangat cepat belum didukung oleh pertambahan infrastrukturnya.
Tabel 3. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan di Indonesia Tahun 2008-2010 (Unit)
Jenis Kendaraan 2008 2009 2010
Unit % Unit % Unit %
Mobil Penumpang 7.695.500 12,39 8.111.508 12,04 8.828.114 11.45 Bus 2.138.439 3,44 2.238.790 3,32 2.351.297 3.05 Truk 4.569.519 7,36 4.610.400 6,84 4.818.280 6.25 Sepeda Motor 47.683.681 76,80 57.433.132 77,80 61.133.032 79.26 Total 62.087.139 100,00 67.393.139 100,00 77.130.723 100,00 Sumber: Statistik Indonesia (BPS, 2011), diolah
Dari data pada Tabel 3, mobil penumpang yang di dalamnya termasuk
mobil pribadi dari tiga tahun terakhir menempati posisi kedua yang mendominasi
keberadaan kendaraan bermotor di Indonesia. Jumlah kendaraan mobil
penumpang selalu memiliki penambahan jumlah dari tahun ke tahun walaupun
persentasenya menurun sedikit demi sedikit.
Dari data pada Tabel 3 juga dapat dilihat bahwa sepeda motor memiliki
persentase terbesar dari jumlah kendaraan bermotor di Indonesia. Dengan mobil
penumpang di urutan kedua, diprediksi bahwa pengguna BBM jenis premium
mayoritas adalah masyarakat menengah ke atas yang memiliki
kendaraan-kendaraan tersebut.
Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Republik Indonesia, sektor transportasi menguras dana yang cukup banyak, yakni
Rp 113 triliun rupiah dari anggaran total APBN 2005. Perubahan jumlah
kendaraan pribadi yang meningkat drastis tidak lepas dari akibat kebijakan
pemerintah yang tidak memprioritaskan pengembangan angkutan umum massal,
padahal kendaraan pribadi yang menyumbang 88 persen dari total populasi
kendaraan hanya menyumbang 44 persen pengguna jalan sementara 53 persen
populasi kendaraan. Hal ini menunjukkan secara langsung bahwa subsidi BBM
justru dinikmati oleh pengendara privat baik mobil maupun motor pribadi dan
bukan angkutan umum. Kebijakan subsidi BBM yang diberlakukan oleh
pemerintah ini menjadi tidak tepat sasaran.
Berdasarkan kajian Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas, ketidaktepatan
sasaran dari subsidi BBM dikarenakan oleh ketiadaan pengawasan dalam
pendistribusian, baik BBM bersubsidi maupun BBM tidak bersubsidi. Lemahnya
pengawasan ini terjadi karena tidak adanya koordinasi lintas sektoral antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kurang efektifnya komunikasi ini
menyebabkan kelangkaan BBM dan penyalahgunaan BBM bersubsidi. Jika
masalah ini terus berlanjut maka masalah-masalah di sektor BBM dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi lintas sektoral.
Peranan pemerintah dalam bidang alokasi adalah untuk menjamin
tercapainya penggunaan sumber ekonomi yang efisien, yang tidak dapat dicapai
melalui mekanisme pasar bebas. Ekonom membedakan efisiensi menjadi dua,
yaitu efisiensi alokasi dan x-efficiency. Efisiensi alokasi adalah alokasi
sumber-sumber ekonomi sesuai dengan kendala anggaran konsumen barang dan jasa.
X-efficiency menunjukkan kondisi pada sisi penawaran, yaitu apakah penyediaan
suatu barang dan jasa sudah dilaksanakan dengan biaya minimum. Selain
berperan dalam bidang alokasi sumber daya, pemerintah juga berperan dalam
distribusi. Pemerintah dapat memengaruhi distribusi pendapatan secara tidak
langsung dengan kebijaksanaan pengeluaran pemerintah misalnya dengan subsidi
BBM jenis premium (Mangkoesoebroto, 2000).
Besarnya subsidi BBM yang dikeluarkan oleh pemerintah bergantung pada
harga minyak dunia yang sering tidak stabil. Semakin tinggi harga minyak dunia
maka pemerintah akan menganggarkan dana yang makin banyak untuk dana
subsidi. Alternatif untuk menekan pengeluaran pemerintah adalah dengan
menaikkan harga BBM, khususnya jenis premium yang merupakan konsumsi
energi tertinggi.
Jika pemerintah menaikkan harga dasar BBM jenis premium, hal ini akan
berimbas pada konsumen, yakni masyarakat Indonesia. Menurut Walter
jenis premium. Perubahan pertama terjadi pada efek substitusi, meskipun
konsumen mempertahankan tingkat kepuasan yang sama, pola konsumsi akan
dialokasikan ulang untuk menyamakan MRS dengan rasio harga yang baru.
Pengaruh yang kedua adalah efek pendapatan yang timbul karena perubahan
harga pasti mengubah pendapatan “riil” seseorang.
Secara implisit dapat ditarik kesimpulan bahwa kenaikan harga
(pengurangan subsidi) BBM akan berdampak negatif terhadap tingkat
kesejahteraan pengendara mobil. Dalam penelitian ini, akan dilihat bagaimana
respon pengendara mobil pribadi jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium
dan kesediaan membayar mereka terhadap satu liter BBM jenis premium. Penting
juga untuk dikemukakan bahwa konsumsi BBM dapat dipengaruhi oleh beberapa
variabel seperti jenis kelamin, usia, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan responden, tingkat pendapatan anggota keluarga lainnya,
kesediaan membayar terhadap satu liter BBM jenis premium, perilaku menghemat
jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium, CC mobil dan tingkat konsumsi
BBM jenis premium per bulan.
1.2 Permasalahan
Dapat diprediksi bahwa sektor transportasi akan mendapatkan pengaruh
yang nyata jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium. Tetapi, tidak hanya
sektor transportasi yang akan berdampak. Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2012
tentang Harga Jual Eceran dari Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Tertentu
menyebutkan bahwa ada beberapa kategori pengguna BBM bersubsidi selain
untuk sektor transportasi, antara lain: usaha perikanan yang terdiri dari nelayan
dan pembudi daya ikan skala kecil; usaha pertanian kecil dengan luas maksimal
dua hektar; usaha mikro; dan berbagai pelayanan umum lainnya. Semua pihak
yang berada dalam sektor tersebut akan terkena dampak dari kenaikan harga BBM
jenis premium.
Untuk mengendalikan konsumsi BBM, pemerintah memaparkan dan
mencanangkan lima program. Program-program tersebut adalah konversi BBM
ke bahan bakar gas; melarang kendaraan pelat merah, pertambangan dan
(PLN) membangun pembangkit listrik berbahan bakar BBM; melakukan
penghematan di semua kantor pemerintah dan badan usaha milik negara.
Tabel 4. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan di Jawa Barat Tahun 2006-2010 (Unit)
Tahun Mobil Penumpang Bus Truk Sepeda Motor Total 2006 466.117 129.547 373.703 1.481.789 2.451.156 2007 495.295 150.242 451.372 1.991.862 3.088.771 2008 507.552 162.705 451.495 2.126.612 3.248.364 2009 526.508 171.000 451.987 2.378.188 3.248.364 2010 548.641 177.578 451.372 2.615.527 3.811.158 Sumber: Statistik Indonesia (BPS, 2011)
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa dari tahun 2006 sampai tahun 2010
jumlah mobil penumpang di Jawa Barat memiliki tren yang selalu meningkat.
Peningkatan jumlah mobil penumpang di Jawa Barat berimplikasi kepada
peningkatan volume konsumsi BBM jenis premium di Indonesia. Tingginya
jumlah kendaraan di Jawa Barat menyebabkan kepadatan jalan yang jika tidak
diantisipasi oleh pemerintah dapat mengakibatkan kemacetan dan masalah lainnya
di masa yang akan datang.
Tabel 5. Jumlah Tanda No. Kendaraan Bermotor yang Dikeluarkan SAMSAT Polres Kota Bogor Tahun 2004, 2005 dan 2010 (Unit) Tahun Mobil Penumpang Mobil Barang Bus Motor Total
2004 195.657 113.969 188.790 719.276 1.217.692 2005 200.218 123.352 212.500 970.572 1.506.642
2010 12.957 2.283 158 53.113 68.511
Sumber: Kota Bogor dalam Angka (BPS, 2011)
Data pada Tabel 5 menunjukkan data tahun 2004, 2005 dan 2010
mengenaik jumlah tanda nomor kendaraan yang dikeluarkan aparat negara yang
berwenang. Volume kendaraan di atas menunjukkan bahwa setiap tahun Polres
Kota Bogor mengeluarkan surat kendaraan bermotor yang berarti penambahan
jumlah kendaraan bermotor secara agregat di Kota Bogor. Jumlah kendaraan
bermotor yang diurus tanda nomor kendaraannya oleh Polres Kota Bogor
dapat terjadi mungkin karena kuantitas dan kualitas jalan yang sudah cukup padat
dan tidak memadai jika terjadi penambahan kendaraan yang lebih tinggi.
Tabel 6. Konsumsi BBM Jenis Premium di Indonesia Tahun 2005-2010 (Barel/Orang)
Tahun Jumlah Konsumsi BBM Jenis Premium (Ribu Barel)
Sumber: Kementerian ESDM (2011), diolah
Dari data pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa masing-masing orang
mengkonsumsi lebih dari satu barel BBM jenis premium per tahunnya. Tingginya
konsumsi ini mengindikasikan tingginya mobilitas masyarakat Indonesia yang
berhubungan dengan produktivitas masyarakat Indonesia.
Berdasarkan latar belakang tersebut, perumusan masalah yang diangkat
dalam penelitian ini adalah:
1. Berapakah nilai willingness to pay (kesediaan membayar) pengendara mobil
pribadi terhadap BBM jenis premium per liter?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi respon masyarakat terutama
pengendara mobil pribadi di Bogor terhadap rencana kenaikan harga BBM
jenis premium ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada perumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Menghitung nilai willingness to pay (kesediaan membayar) pengguna mobil
pribadi terhadap BBM jenis premium per liter.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi respon masyarakat terutama
pengendara mobil pribadi di Bogor terhadap rencana kenaikan harga BBM
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi akademisi dan peneliti khususnya di dalam pengembangan Model
Regresi Logistik dan Crosstabs dengan SPSS yang terkait dengan respon
masyarakat.
2. Bagi pemerintah, agar turut memperhatikan respon masyarakat tentang harga
BBM jenis premium dan sebagai bahan pertimbangan kebijakan untuk
menentukan harga BBM jenis premium yang sampai saat ini masih disubsidi
oleh pemerintah.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah: (1) Wilayah penelitian dibatasi pada
daerah Bogor; (2) Objek penelitian adalah pengendara mobil pribadi yang tinggal
di sekitar wilayah penelitian sebagai responden; (3) Responden adalah mereka
yang memiliki dan menggunakan mobil pribadi dengan BBM jenis premium
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Teori Kebijakan Publik-Subsidi
Mahzab neoklasik ekonomi modern mendasarkan perekonomian seperti
pasar persaingan sempurna, yakni terjadi efisiensi paling optimal dalam
perekonomian dengan efisiensi penggunaan sumber daya juga terciptanya harga
dan kuantitas produksi dalam keseimbangan sehingga intervensi pemerintah tidak
diperlukan. Namun kenyataannya hal tersebut tidak terjadi. Perekonomian di
negara manapun tidak selalu dalam kondisi keseimbangan yang mengakibatkan
terjadinya kegagalan pasar. Maka diperlukan intervensi dari pemerintah dalam
menanggulangi kegagalan pasar tersebut.
Salah satu cara untuk menanggulangi kegagalan pasar tersebut adalah
dengan keberadaan subsidi. Subsidi adalah salah satu kebijakan pemerintah dalam
rangka membantu suatu usaha atau untuk menjaga stabilitas harga bagi
kepentingan masyarakat. Menurut Suparmoko (2003), subsidi dapat bersifat
langsung (dalam bentuk tunai, pinjaman bebas bunga, dan lain-lain) atau tidak
langsung (pembebasan penyusutan, potongan sewa, dan lain-lain). Subsidi
diantaranya dapat berupa: subsidi produksi, pemerintah menutup sebagian biaya
produksi untuk mendorong peningkatan output produk tertentu dan untuk
menekan harga; subsidi pendapatan, diberikan pemerintah melalui transfer
pemerintah untuk meningkatkan standar hidup minimum sebagian kelompok
tertentu. Menurut Kamaludin (2003), meskipun subsidi ini memiliki kebaikan
bagi usaha-usaha dan kepentingan masyarakat, tetapi subsidi juga memiliki
beberapa kelemahan, diantaranya:
a. Subsidi dapat mengakibatkan hubungan persaingan yang tidak adil antara
berbagai kegiatan usaha, karena pendistribusiannya tidak dapat dilakukan
secara adil dan merata.
b. Subsidi dapat menyebabkan pemborosan baik dalam investasi modal
maupun fasilitas yang berlebihan.
c. Subsidi dapat menyebabkan ketidakadilan antara pemakai jasa dan
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, pemerintah harus bisa
melihat usaha atau kegiatan mana yang pantas untuk mendapatkan subsidi yang
lebih besar dan usaha atau kegiatan mana yang harus dikurangi subsidinya.
Contoh pemberian subsidi di Indonesia adalah subsidi pupuk bagi petani, subsidi
pendidikan dan kesehatan, serta subsidi bahan bakar minyak bagi nelayan dan
masyarakat.
2.1.1.1 Subsidi dan Elastisitas
Subsidi akan menggeser kurva permintaan ke atas untuk konsumsi
bersubsidi (subsidized consumption) atau kurva penawaran ke bawah untuk
produksi bersubsidi (subsidized production) Pengaruh kedua jenis subsidi ini pada
kurva permintaan dan penawaran dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
P
S
D D’
Sumber: Spencer dan Amos (1993) Q
Gambar 1. Pengaruh Konsumsi Bersubsidi
Pada Gambar 1 konsumsi bersubsidi menggeser kurva permintaan D ke
atas menjadi kurva permintaan D’. Di mana semakin banyak barang atau jasa
dijual dengan harga subsidi akan semakin banyak jumlah permintaan konsumen
terhadap barang atau jasa tersebut. Permintaan akan barang bersubsidi bergeser ke
kanan atas karena daya beli masyarakat akan barang tersebut menjadi menguat.
Harga barang tersebut menjadi lebih murah jika dibandingkan dengan harga tanpa
disubsidi. Kecenderungan masyarakat untuk membeli barang tersebut juga
meningkat karena harganya yang lebih terjangkau dan ketersediaan barang
P
S
S’
D Q
Sumber: Spencer dan Amos (1993)
Gambar 2. Pengaruh Produksi Bersubsidi
di mana:
P = harga
Q = permintaan untuk produk tertentu
S = kurva penawaran awal
S’ = kurva penawaran akhir
D = kurva permintaan awal
D’ = kurva permintaan akhir
Pada Gambar 2, produksi bersubsidi menggeser kurva penawaran S ke
bawah menjadi kurva penawaran S’. Di mana semakin banyak barang atau jasa
bersubsidi semakin banyak jumlah barang atau jasa tersebut yang ditawarkan.
Jika kedua Gambar tersebut digabung menjadi kurva baru, akan
menghasilkan ekuilibrium baru yang lebih besar.
2.1.2 Pemerintah Sebagai Penyedia Barang Publik
Menurut Stiglitz (1999), suatu barang dikategorikan sebagai barang publik
jika memenuhi salah satu atau kedua karakteristik sebagai berikut:
a. Non rival consumption, yaitu barang yang dapat dikonsumsi oleh individu
tanpa mengurangi kesempatan bagi individu lain untuk mengonsumsinya,
atau dapat dikonsumsi secara bersama-sama.
b. Non exclusion, yaitu tidak ada yang dapat menghalangi seseorang untuk
mengonsumsi barang tersebut.
Jika kedua karakteristik tersebut ada pada sebuah barang, maka barang
tersebut merupakan barang publik murni (pure public goods). Sedangkan barang
atau properti lain (dapat dikonsumsi bersama atau tidak dapat dikecualikan) pada
tingkat tertentu, maka barang tersebut merupakan barang publik tidak murni
(impure public goods).
Secara faktual pemerintah menyediakan sarana dan prasarana di sektor
pendidikan dan di sektor kesehatan, karena kedua sektor ini memenuhi kriteria
barang swasta yang disediakan secara publik (Stiglitz, 1999). Kekurangan
penyediaan saran dan prasarana di sektor pendidikan dan di sektor kesehatan
biasanya dipenuhi oleh pihak swasta. Namun untuk menghindari adanya free rider
yang dapat menyebabkan tidak efisiennya penyediaan barang di sektor tersebut,
maka penyediaan sarana dan prasarana oleh pihak swasta tidak lagi menganut
prinsip barang publik, tetapi menganut prinsip barang swasta.
Penyediaan barang publik dapat dilakukan secara publik maupun oleh
pemerintah. Namun penyediaan barang publik yang dilakukan secara pribadi akan
menimbulkan free rider, yang dapat menyebabkan penyediaan barang tersebut
menjadi tidak efisien. Timbulnya free rider disebabkan karena sifat dari barang
publik yang memberikan eksternalitas positif bagi orang lain, namun mereka
enggan untuk berpartisipasi dalam penyediaan barang publik tersebut. Oleh sebab
itu, pemerintah dianggap pihak yang paling tepat untuk menyediakan barang
publik bagi masyarakat.
Manusia akan berupaya untuk memenuhi tingkat tertinggi dari utilitasnya,
sehingga akan memilih barang publik atau barang swasta berdasarkan marginal
rate of substitution (MRS) yang merupakan slope dari kurva indiferennya. Namun
setiap individu memiliki keterbatasan anggaran, yang besarnya adalah:
Y= C + PG
Di mana T adalah pendapatan, C adalah konsumsi barang swasta dan P adalah
harga yang harus dibayarkan untuk mengonsumsi setiap unit barang publik. G
Sumber: Stiglitz (1999)
Gambar 3. Ilustrasi Kurva Indiferen Barang Publik dan Barang Swasta
Gambar 3 adalah ilustrasi kurva indiferen barang publik dan barang
swasta. Secara grafis, utilitas maksimum yang dapat dicapai dari setiap individu
adalah di titik E pada gambar yang atas, yaitu titik perpotongan antara kurva
indiferen dengan batas anggaran. Tetapi ketika harga (P) turun, sementara batas
anggaran tetap, makajumlah barang publik (G) yang diminta bertambah, sehingga
perpotongan antara kurva indiferen dengan batas anggaran di titik E’. Kurva ini
juga menunjukkan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk membelanjakan
Secara makro, kita dapat melihat kurva permintaan agregat sebagai
berikut:
Sumber: Mankiw (2007)
Gambar 4. Kurva Permintaan Agregat
Kurva permintaan agregat dapat naik atau turun mengikuti fakta di
lapangan. Permintaan agregat dapat naik (kurva AD bergeser ke kanan) antara lain
jika terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan gaji pegawai negeri,
turunnya pajak perseorangan, panen raya, dan lain-lain.
2.1.3 Willingness to Pay (Kesediaan Membayar)
Menurut Smith dan Nagle (2002), Willingness to Pay (WTP) adalah
kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya.
Pendekatan yang digunakan dalam analisis willingness to pay didasarkan pada
persepsi pengguna terhadap tarif dari jasa pelayanan dan kebutuhan mereka
terhadap BBM jenis premium. Permasalahan-permasalahan transportasi yang
terjadi sering berhubungan dengan tingkat willingness to pay, dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain (Dardela, 2009):
a. Produk yang ditawarkan oleh operator jasa pelayanan transportasi
b. Kualitas dan kuantitas pelayanan yang disediakan
c. Utilitas pengguna terhadapa produk tersebut
d. Selera pengguna
WTPi dapat diduga dengan nilai tengah dari kelas atau interval WTP
responden ke-i. Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui WTP yang benar
adalah berada antara jawaban yang dipilih (batas bawah kelas WTP) dengan WTP
berikutnya (batas atas kelas WTP). Pada tahap ini, biasanya diabaikan penawaran
ingin mereka bayarkan karena mereka tidak ingin mengikuti program pemerintah
untuk membenahi masalah kemacetan (Nursusandhari dalam Agustya, 2011).
2.1.4 Regresi Logistik
Regresi Logistik atau yang lebih dikenal dengan metode logit merupakan
bagian dari analisis regresi. Analisis ini mengaji hubungan pengaruh
peubah-peubah penjelas (X) terhadap peubah-peubah respon (Y) melalui model persamaan
matematis tertentu. Secara umum, apabila peubah respon dalam analisis regresi
adalah peubah kategorik, maka analisis regresi yang dapat digunakan antara lain
analisis regresi logistik. Analisis regresi logistik dapat dibagi menjadi regresi
logistik biner, regresi logistik nominal dan regresi logistik ordinal.
Secara umum, analisis regresi logistik menggunakan peubah penjelasnya,
yang dapat berupa peubah kategorik ataupun peubah numerik, untuk menduga
besarnya peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon. Dalam analisis
regresi logistik, pemodelan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon
dilakukan melalui transformasi dari regresi linier ke logit. Formulasi transformasi
logit tersebut adalah:
Logit(pi) = logϱ� −���� �...(2.1) Pi adalah peluang munculnya kejadian kategori sukses dari peubah respon untuk
orang ke-i dan logϱ adalah logaritma dengan basis bilangan �. Kategori sukses
secara umum menjadi perhatian dalam penelitian.
Salah satu ukuran asosiasi yang dapat diperoleh melalui analisis regresi
logistik adalah odd ratio. Nilai odd ratio yang didapat dapat mengindikasikan
seberapa lebih mungkin (dalam kaitannya dengan odd ratio) munculnya kejadian
sukses pada suatu kelompok dibandingkan dengan kelompok lainnya.
2.1.5 Analisis Crosstabs – Chi Square
Menurut Trihendradi (2009), analisis crosstabs merupakan analisis dasar
untuk hubungan antar variabel kategori (nominal-ordinal). Penambahan variabel
kontrol untuk mempertajam analisis sangat mungkin terjadi. Crosstabs data
digunakan untuk mengetahui hubungan atau distribusi respons antara variabel
data dalam bentuk baris dan kolom. Sedangkan analisis crosstabs – chi square
2.1.6 Metode Regresi Linier Berganda
Analisis regresi merupakan suatu alat analisis untuk mengetahui pengaruh
variabel bebas terhadap variabel tak bebas yang dinyatakan dalam koefisien
regresi. Variabel bebas adalah variabel yang nilainya dapat ditentukan dan bersifat
menerangkan variabel tak bebas yang nilainya tergantung kepada variabel bebas.
Menurut Gujarati (2006), dalam analisis regresi diketahui dua bentuk model yaitu
model persamaan tunggal dan model persamaan simultan. Pada model persamaan
tunggal ada satu variabel tak bebas (Y) yang diterangkan oleh satu atau beberapa
variabel X. Sementara dalam persamaan simultan, suatu variabel Y tidak hanya
ditentukan oleh variabel X tetapi beberapa variabel X juga ditentukan oleh
variabel Y atau ada dua variabel Y1 dan Y2 yang dipengaruhi secara
bersama-sama oleh suatu variabel x. Adapun penelitian ini menggunakan analisis regresi
dengan model persamaan tunggal yaitu analisis regresi linier berganda.
Ordinary Least Square (OLS) merupakan salah satu metode yang sering
digunakan karena kemudahannya dalam mengolah data. Gujarati (1993)
menyebutkan bahwa ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi dalam model ini,
antara lain:
a. Semua penaksir tak bias linier atau penaksir OLS memiliki varians
minimum.
b. Varians tiap unsur disturbance e1 tergantung (conditional) pada nilai yang
dipilih dari variabel yang menjelaskan adalah suatu angka konstan yang
sama dengan σ2
yang merupakan asumsi homoskedastisitas yaitu varians
yang sama.
c. Tidak ada autokorelasi artinya tidak ada korelasi antara anggota
serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu atau seperti dalam
data cross sectional.
d. Variabel yang menjelaskan adalah non stokastik yaitu terdiri dari
angka-angka yang tetap dan e1 didistribusikan secara normal.
2.2 Konsep dan Definisi
2.2.1 Kenaikan Harga BBM dan Subsidi BBM
Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah satu kekayaan alam yang
dimiliki oleh Indonesia, pengolahan dan penyalurannya dikuasai oleh negara. Hal
ini sesuai dengan pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara.
BBM adalah sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui, yang berasal
dari endapan sisa-sisa jasad hidup yang halus dan mengandung minyak. BBM
merupakan energi sekunder yang dihasilkan dari proses transformasi minyak
bumi. Menurut pasal 3 Undang-Undang No.4 tahun 1960, bahan galian minyak
dan gas bumi adalah kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara, sementara
usaha pertambangan dilaksanakan oleh perusahaan negara. Pasal tersebut
menjelaskan bahwa pengolahan minyak mentah dan BBM dikuasai sepenuhnya
oleh negara yang penguasaannya diwakili oleh pemerintah. Menurut Undang-
Undang No.22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi dinyatakan bahwa migas
merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan pemerintah yang
ditetapkan sebagai pemegang kuasa pertambangan.
Menurut naskah RAPBN dan Nota Keuangan setiap tahun, subsidi BBM
adalah pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada PT.
Pertamina (pemegang monopoli pendistribusian BBM di Indonesia) dalam situasi
di mana pendapatan yang diperoleh PT. Pertamina dari kewajiban untuk
menyediakan BBM di tanah air adalah lebih rendah jika dibandingkan dengan
biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan BBM tersebut.
Subsidi BBM merupakan salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk
meringankan beban konsumen, terutama untuk masyarakat menengah ke bawah.
Tujuan pemberian subsidi BBM untuk membantu masyarakat menengah ke
bawah ternyata kurang tepat sasaran. Pada kenyataannya penikmat terbesar
subsidi BBM yang diberikan pemerintah adalah kelompok orang mampu karena
pemberian subsidi BBM tidak membeda-bedakan golongan masyarakat. Alasan
keadilan terhadap masyarakat miskin dan defisit anggaran membuat pemerintah
subsidi bidang lain (bantuan langsung tunai, beras miskin, kartu sehat, beasiswa,
dan lain-lain).
2.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Harga Premium
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 55 tahun 2005 telah diatur bahwa
harga ekonomis BBM didasarkan pada Mean of Platts Singapore (MOPS) atau
harga rata-rata yang digunakan oleh negara Singapura. Selain itu, ada
penambahan biaya distribusi dan margin yang akan diterima PT. Pertamina, yang
disebut dengan faktor alpha. Selain kedua faktor tersebut, dalam perhitungan
BBM ditambahkan pula pajak.
2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Subsidi BBM merupakan salah satu yang menarik perhatian masyarakat
luas karena berhubungan dengan pengeluaran riil mereka. Subari pada tahun 2008
menganalisis tentang dampak kebijakan penurunan subsidi BBM terhadap
indikator makroekonomi. Penelitian ini difokuskan pada indikator-indikator
makroekonomi seperti inflasi, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, nilai
tukar rupiah dan neraca pembayaran. Hasilnya, jika pemerintah menurunkan
jumlah subsidi BBM atau menaikkan harga BBM akan berdampak pada terjadinya
inflasi (namum tidak terlalu signifikan), terjadinya penurunan pertumbuhan
nasional, terjadinya peningkatan pengangguran, menurunnya nilai tukar rupiah
relatif terhadap mata uang asing dan terjadinya defisit neraca pembayaran.
Pada tahun 1998, terjadi guncangan ekonomi politik di dalam negeri. Hal
ini memengaruhi kebijakan pemerintah pada tahun 2000 untuk mengurangi
jumlah subsidi BBM. Nikensari dan Trianoso pada tahun 2003 menganalisis
dampak penurunan subsidi BBM terhadap perekonomian Indonesia dengan model
analisa komputasi keseimbangan umum. Data yang digunakan adalah data yang
dibangun pada tahun 2000 dengan menggunakan tahun dasar data tahun 1998.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah
menyebabkan harga beberapa komoditas meningkat. Tetapi untuk jangka pendek,
kenaikan harga BBM masih berdampak positif pada variabel PDB dan variabel
tidak lebih baik dari kondisi perekonomian pada tahun 1998, maka akan
menyebabkan penurunan persentase PDB dan variabel ekonomi lainnya.
Subsidi non-BBM memiliki peran yang penting juga dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Patriadi dan Handoko pada tahun 2005 melakukan
analisis evaluasi kebijakan subsidi non BBM (subsidi pupuk, beras, suku bunga,
kredit, obligasi publik, raskin). Analisis ini menggunakan penghitungan beban
fiskal subsidi non-BBM terhadap APBN dan membandingkannya selama
beberapa tahun dengan anggaran yang berbeda di Indonesia. Mereka menemukan
bahwa beban subsidi non-BBM terhadap APBN ternyata relatif lebih ringan
daripada beban subsidi BBM. Meskipun subsidi BBM memiliki porsi yang besar
dalam APBN, subsidi non-BBM perlu dipertahankan untuk membantu masyarakat
yang memiliki daya beli rendah.
Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, memiliki
kebijakan subsidi BBM yang responsif dengan tingkat konsumsi BBM. Granado,
Coady dan Gillingham (2010) menganalisis ketidakseimbangan manfaat dari
subsidi BBM terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Penelitian
mereka memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang mereka observasi.
Mereka menganalisis dampak langsungnya berdasarkan data pengeluaran BBM
untuk memasak, listrik dan transportasi. Hasilnya, peningkatan harga BBM pada
tahun 2003 hingga tahun 2008 memiliki dampak yang signifikan pada tingkat
kesejahteraan rumah tangga. Beberapa negara dengan kebijakan harga jual BBM
yang cukup tinggi mencerminkan tingkat pendapatan negara tersebut yang cukup
tinggi juga. Hal ini membuat subsidi BBM menjadi salah satu instrumen
kebijakan yang sangat penting dalam melindungi rumah tangga miskin dalam
menghadapi tingginya harga minyak dunia. Transparansi dalam memberikan
informasi tentang subsidi BBM kepada publik dapat mendukung reformasi dalam
subsidi BBM.
2.4 Kerangka Pemikiran
Transportasi merupakan faktor yang penting dalam memengaruhi tingkat
produktivitas seseorang. Transportasi berperan penting dalam pencapaian efisiensi
efisien menyebabkan masyarakat cenderung untuk menggunakan kendaraan mobil
pribadi (pada kondisi tertentu). Maraknya kendaraan pribadi dewasa ini
menyebabkan melonjaknya penggunaan BBM terutama jenis premium.
Keterbatasan produksi minyak dalam negeri dari tahun ke tahun menyebabkan
pemerintah melakukan impor minyak mentah dan memberikan subsidi terhadap
harga jual BBM jenis premium yang disesuaikan dengan harga dunia dan
kemampuan masyarakat dalam negeri.
Dengan pembengkakan dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah
untuk membayar subsidi BBM jenis premium, pemerintah berencana untuk
menaikkan harga jual BBM jenis premium untuk masyarakat dan mengurangi
jumlah subsidi. Subsidi diproyeksikan untuk dialihkan kepada subsidi lainnya,
seperti pada bidang pendidikan, kesehatan, pupuk, dll.
Pertimbangan-pertimbangan yang sedang dipikirkan oleh pemerintah
untuk menaikkan harga jual BBM jenis premium menjadi polemik bagi
masyarakat karena akan mempengaruhi pengeluaran riil total. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon masyarakat jika terjadi
Subsidi BBM jenis premium merupakan cara pemerintah untuk membantu
masyarakat agar dapat mengakses ketersediaan BBM jenis premium dengan lebih
mudah. Tingginya harga minyak dunia dewasa ini dan tingkat konsumsi
masyarakat akan BBM jenis premium yang juga meningkat menyebabkan
peningkatan pengeluaran pemerintah secara agregat. Karena pemerintah mulai
merasa terbebani dengan subsidi BBM jenis premium, pemerintah berencana
untuk meningkatkan harga jual BBM jenis premium di masyarakat. Penelitian ini
menganalisis bagaimana respon masyarakat, terutama pengendara mobil pribadi
di Bogor terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium dan menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi respon asyarakat tersebut. Pada akhirnya, akan
diketahui berapa kesediaan membayar masyarakat terhadap satu liter BBM jenis
premium.
Subsidi BBM
Tingginya Harga Minyak Dunia
Pengeluaran Pemerintah
Tingginya Konsumsi BBM
Kebijakan Kenaikan Harga BBM
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respon
Setuju Respon Tidak Setuju
WTP
2.5 Hipotesis Penelitian
a. Jenis kelamin tidak memengaruhi respon masyarakat terhadap kenaikan harga
BBM jenis premium.
b. Usia seseorang memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana kenaikan
harga BBM jenis premium.
c. Jumlah tanggungan responden berpengaruh negatif terhadap rencana respon
masyarakat terhadap kenaikan harga BBM jenis premium.
d. Tingkat pendidikan memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana
kenaikan harga BBM jenis premium
e. Tingkat pendapatan responden memengaruhi respon masyarakat rencana
terhadap kenaikan harga BBM jenis premium.
f. Tingkat pendapatan anggota keluarga lain memengaruhi respon masyarakat
rencana terhadap kenaikan harga BBM jenis premium.
g. Kesediaan membayar terhadap satu liter BBM jenis premium memengaruhi
respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga satu liter BBM jenis
premium.
h. Perilaku menghemat memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana
kenaikan harga BBM jenis premium.
i. Tingkat konsumsi BBM jenis premium memengaruhi respon masyarakat
terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium.
j. CC mobil memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian yang berjudul Analisis Respon Masyarakat terhadap Rencana
Kenaikan Harga BBM Jenis Premium (Kasus: Pengendara Mobil Pribadi di
Bogor) ini dilakukan selama bulan Maret sampai dengan Juli 2012. Dalam jangka
waktu tersebut dilakukan pengambilan informasi dan data dari pengguna mobil
pribadi yang mengonsumsi BBM jenis premium. Lokasi yang menjadi tempat
pengambilan data tersebut adalah di beberapa tempat aksidental di Bogor.
3.2 Sumber dan Jenis Data
Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan menggunakan kuisioner
terhadap minimal 60 responden yang ada. Sementara data sekunder diperoleh dari
berbagai sumber, antara lain dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga dari Badan Pusat Statistik.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan angket (kuisioner). Menurut Soeratno (1995), angket
adalah daftar pertanyaan yang diberikan untuk diisi oleh responden. Tujuan
penggunaan angket adalah untuk memperoleh informasi yang relevan dengan
penelitian juga untuk memperoleh kesahihan yang cukup tinggi. Pertanyaan dalam
angket ini mencakup tentang fakta (data diri responden), sikap dan pendapat,
informasi (sejauh mana responden mengethaui sesuatu), dan respon diri (penilaian
responden atas perilakunya sendiri).
Pemilihan responden dalam penelitian ini adalah dengan memakai metode
non-probability sampling. Non-probability sampling merupakan teknik penarikan
sampel yang memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap unsur
atau anggota populasi untuk terpilih menjadi sampel. Metode yang dipilih adalah
accidental sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, pada
3.4 Metode Analisis
3.4.1 Analisis Nilai WTP Pengendara Mobil Pribadi terhadap Satu Liter BBM Jenis Premium
Tahap-tahap dalam melakukan penelitian untuk menentukan WTP ini
meliputi (Hanley dan Spash, 1993):
1. Membangun Pasar Hipotesis
Pasa hipotetis dibentuk atas dasar tingginya pengeluaran pemerintah yang
dikeluarkan untuk membiayai subsidi BBM jenis premium. Dengan harga
jual BBM jenis premium yang relatif rendah, terjadi peningkatan konsumsi
BBM jenis premium dan masalah-masalah baru muncul sebagai akibatnya,
seperti kemacetan, polusi udara yang makin tinggi, dll. Selanjutnya pasar
hipotetis dibentuk dalam skenario sebagai berikut:
“Jika pemerintah Indonesia memberlakukan harga jual baru terhadap satu
liter BBM jenis premium untuk menekan pengeluaran pemerintah dan
untuk meningkatkan efektivitas mobilitas dengan mengurangi frekuensi
penggunaan mobil pribadi dan meningkatkan frekuensi penggunaan
kendaraan umum massal.”
Pertanyaan yang menyangkut skenario adalah:
“ Setujukah bapak/ibu/saudara/saudari dengan kebijakan rencana kenaikan
harga BBM jenis premium? Berapa besarnya biaya yang mampu
bapak/ibu/saudara/saudari untuk satu liter BBM jenis premium?
2. WTPi dapat diduga dengan nilai tengah dari kelas atau interval WTP
responden ke-i. Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui WTP
yang benar adalah berada di antara jawaban yang dipilih (batas bawah
kelas WTP) dengan WTP berikutnya (batas atas kelas WTP). Perhitungan
dari dugaan nilai WTP pengendara mobil pribadi ditentukan dengan
rumus:
WTP = ∑�=� Wi, Pfi ... (3.1)
Di mana:
WTP = dugaan WTP (Rp)
Pfi = frekuensi relatif kelas ke-i
n = jumlah kelas
i = sampel (1,2,3,...,n)
3.4.2 Model Regresi Logistik
Metode analisis data yang digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang
memengaruhi persepsi individu adalah logistic regression model. Regresi logistik
merupakan analisis yang mengkaji hubungan pengaruh peubah-peubah penjelas
(X) terhadap peubah respon (Y) melalui model persamaan matematis tertentu.
Analisis regresi logistik merupakan suatu teknik untuk menerangkan peluang
kejadian tertentu dari kategori peubah respon (Firdaus, 2008). Model regresi
logistik ini dianggap sebagai alat yang tepat untuk menganalisis data dalam
penelitian ini karena variabel dependen dalam penelitian ini yaitu respon terhadap
kenaikan harga BBM jenis premium yang bersifat dikotomi. Model regresi
logistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi logistik dengan
dua pilihan (binnary logistic regression) yaitu regresi logistik dengan dua kategori
atau binomial pada variabel dependennya “1” jika setuju terhadap kenaikan harga
BBM jenis premium, “0” jika tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM jenis
premium
Kelebihan model regresi logistik adalah lebih fleksibel dibanding teknik
lainnya, antara lain (Ghozali, 2006):
a. Regresi logistik tidak memiliki asumsi normalitas atas variabel bebas yang
digunakan dalam model. Artinya variabel penjelas tidak harus memiliki
distribusi normal linier maupun memiliki varian yang sama setiap grup.
b. Variabel bebas dalam regresi logistik bisa merupakan campuran dari
variabel kontinyu, diskrit dan dikotomis.
Regresi logistik digunakan apabila distribusi respon atas variabel terikat
diharapkan non linier dengan satu atau lebih variabel bebas.
3.4.2.1 Spesifikasi Model Logit untuk Respon terhadap Rencana Kenaikan Harga BBM Jenis Premium
Perumusan model secara lengkap dapat dinotasikan dalam persamaan
= Y = β0 + β1JK+ β2U + β3JT + β4P + β5I + β6IL + β7W+ β8H+ β9KP+
β10CC+µi...(3.2)
di mana:
Y = respon terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium
JK = jenis kelamin
U = usia (tahun)
JT = jumlah tanggungan responden (orang)
P = tingkat pendidikan
I = tingkat pendapatan responden (juta rupiah)
IL = tingkat pendapatan anggota keluarga lain (juta rupiah)
W = kesediaan membayar terhadap satu liter BBM jenis premium (rupiah)
H = perilaku menghemat jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium
KP = konsumsi BBM jenis premium per bulan ( ratus ribu rupiah)
CC = CC mobil
β = parameter
µ = error terms
3.4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Penelitian
Variabel tak bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah respon
terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium (PP), sementara variabel
bebas yang digunakan adalah jenis kelamin (JK), usia (U), tingkat pendidikan (P),
jumlah tanggungan responden(JT), tingkat pendapatan responden (I), tingkat
pendapatan anggota keluarga lain (IL), kesediaan membayar terhadap satu liter
BBM jenis premium (W), perilaku menghemat jika terjadi kenaikan harga BBM
jenis premium (H), tingkat konsumsi BBM jenis premium per bulan (KP), CC
mobil (CC). Variabel-variabel ini didapat dari hasil data primer dengan
menggunakan kuisioner. Berikut adalah definisi operasional pada penelitian ini:
a. Respon terhadap Rencana Kenaikan Harga BBM Jenis Premium (Y)
Variabel ini adalah respon yang dipilih oleh responden tentang kenaikan
harga BBM jenis premium. Pengukuran variabel ini menggunakan ukuran
• 1 = jika responden setuju terhadap kenaikan BBM jenis premium
• 0 = jika responden tidak setuju terhadap kenaikan BBM jenis premium
b. Jenis Kelamin (JK)
Variabel ini mencerminkan jenis kelamin responden. Variabel ini terdiri
dari dua kategori, yaitu jenis kelamin pria dan jenis kelamin perempuan.
Pengukuran variabel ini menggunakan ukuran nomial, di mana:
• 1 = pria
• 0 = wanita c. Usia (U)
Variabel ini adalah variabel yang mencerminkan usia responden. Variabel
ini berupa data metrik dan diukur dengan ukuran rasio dengan satuan
tahun.
d. Jumlah Tanggungan Responden (JT)
Variabel ini mencerminkan jumlah anggota keluarga yang ditanggung oleh
responden. Variabel ini diukur dengan menggunakan ukuran rasio dengan
satuan orang.
e. Tingkat Pendidikan (P)
Variabel ini merepresentasikan latar belakang pendidikan responden.
Variabel ini berupa variabel politom yang terdiri dari empat kategori.
Variabel ini diukur dengan menggunakan ukuran ordinal, di mana:
• 1 = Sekolah Dasar (SD)
• 2 = Sekolah Menengah Pertama (SMP)
• 3 = Sekolah Menengah Atas (SMA)
• 4 = Perguruan Tinggi (Diploma, S1, S2, S3) f. Tingkat Pendapatan Responden (I)
Variabel ini mencerminkan pendapatan yang diterima responden. Variabel
ini diukur dengan menggunakan ukuran rasio dengan satuan juta rupiah.
g. Tingkat Pendapatan Anggota Keluarga Lain (IL)
Variabel ini mencerminkan pendapatan yang diterima oleh anggota
keluarga lain dari masing-masing responden. Variabel ini diukur dengan
h. Kesediaan Membayar terhadap Satu Liter BBM Jenis Premium (W)
Kesediaan Membayar (WTP) yang diberikan oleh responden
menggunakan ukuran rasio dengan satuan rupiah.
i. Perilaku Menghemat Jika Terjadi Kenaikan Harga BBM Jenis Premium
(H)
Variabel ini merupakan pilihan yang diberikan kepada konsumen apabila
terjadi kenaikan harga BBM jenis premium. Variabel ini menggunakan
ukuran ordinal di mana:
• 1 = menghemat konsumsi BBM jenis premium jika terjadi
kenaikan harga
• 0 = tidak menghemat konsumsi BBM jenis premium jika terjadi kenaikan harga
j. Tingkat Konsumsi BBM Jenis Premium per Bulan (KP)
Variabel ini mencerminkan jumlah premium yang dikonsumsi oleh
responden tiap bulan. Variabel ini diukur dengan menggunakan ukuran
rasio dengan satuan ribu rupiah.
k. CC Mobil (CC)
Variabel ini merupakan CC mobil yang dimiliki oleh responden dan
menggunakan ukuran nominal.
3.4.4 Model Analisis Regresi Linier Berganda
Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan dalam menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi kesediaan membayar pengendara mobil pribadi
terhadap satu liter BBM jenis premium adalah jenis kelamin, usia, jumlah
tanggungan responden, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan responden, tingkat
pendapatan anggota keluarga lain, perilaku menghemat jika terjadi kenaikan harga
BBM jenis premium, tingkat konsumsi BBM jenis premium per bulan dan CC
mobil. Berikut model persamaannya:
Y = β0 + β1JK+ β2U + β3JT + β4P + β5I + β6IL + β7H+ β8KP+
β9CC+µi...(3.3)
di mana:
Y = kesediaan membayar terhadap satu liter BBM jenis premium
U = usia (tahun)
JT = jumlah tanggungan responden (orang)
P = tingkat pendidikan
I = tingkat pendapatan responden (juta rupiah)
IL = tingkat pendapatan anggota keluarga lain (juta rupiah)
H = perilaku menghemat jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium
KP = konsumsi BBM jenis premium per bulan ( ratus ribu rupiah)
CC = CC mobil
β = parameter
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Responden
Lokasi penelitian dilakukan di sekitar Bogor, bagi pemilik dan pengendara
mobil pribadi. Lokasi yang aksidental berada di sekitar kampus IPB, Indraprasta
(perumahan di Bogor Utara) dan di pusat perbelanjaan (Botani Square) yang
berada di Jalan Pajajaran. Karakteristik umum responden ini berdasarkan mobil
pribadi yang dimiliki sejak tahun 2000 ke atas. Selain itu, responden dinilai dari
berbagai variabel, antara lain: jenis kelamin (JK), usia (U), jumlah tanggungan
responden (JT), tingkat pendidikan (P), tingkat pendapatan responden (I), tingkat
pendapatan anggota keluarga lain (IL), kesediaan membayar terhadap satu liter
BBM jenis premium (W), perilaku menghemat jika terjadi kenaikan harga BBM
jenis premium (H), tingkat konsumsi BBM jenis premium per bulan (KP) dan CC
mobil (CC). Faktor-faktor yang berhubungan dengan respon pengendara mobil
pribadi terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Respon Pengendara Mobil Pribadi terhadap Rencana Kenaikan Harga BBM Jenis
4.1.1 Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor pembeda dasar dari responden yang
ditemui. Dari 60 responden yang ditemui, terdapat perbedaan rasio jenis kelamin
yang telah diolah dalam Gambar 5
Gambar 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Jenis Kelamin di Bogor (2012)
Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa rasio pria lebih besar dibandingkan
dengan rasio wanita. 65 persen responden berjenis kelamin pria dan sisanya
sebesar 35 persen berjenis kelamin wanita. Dari hasil di atas dapat disimpulkan
bahwa pria cenderung memiliki dan mengendarai mobil pribadi daripada wanita.
Tabel 8. Deskripsi Respon Berdasarkan Jenis Kelamin di Bogor (2012)
Jenis Kelamin
Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa ada variasi respon antara pria dan wanita.
Rasio respon wanita untuk setuju terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis
premium adalah dua kali lebih besar dibandingkan rasio respon pria untuk setuju
terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium. Sebanyak 14 pria setuju
jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium, sementara 25 pria lainnya tidak
setuju. Lalu, sebanyak 11 wanita setuju jika terjadi kenaikan harga BBM jenis
premium, sementara 10 wanita lainnya tidak setuju.
Pengujian dua variabel dilakukan untuk melihat apakah terdapat pengaruh
atau terdapat hubungan nyata antara faktor pribadi dengan respon masyarakat
terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium (Tabel 7).
35%
65%
W
Hubungan antara jenis kelamin dengan respon yang diperoleh dari Chi
Square Test menyatakan bahwa tidak adanya hubungan antara jenis kelamin
dengan respon pengendara mobil pribadi terhadap rencana kenaikan harga BBM
jenis premium. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Asymp. Sig (2-sided) Pearson Chi
Square adalah 0,233 yang nilainya lebih besar daripada alpha (α=0,05) dan nilai
Chi Squarehitung sebesar 1,425 (df=1) atau lebih kecil dari Chi-Squaretabel sebesar
3,841. Nilai tersebut menyatakan bahwa keputusan pengujian variabel tersebut
adalah jenis kelamin tidak berhubungan terhadap respon pengendara mobil
pribadi pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Dengan kata lain jenis kelamin seseorang tidak memiliki hubungan nyata
terhadap respon, hal ini mungkin terjadi karena pengendara mobil pribadi dengan
jenis kelamin apapun tetap peduli dengan rencana kenaikan harga BBM jenis
premium dan respon mereka tidak dibatasi oleh jenis kelamin.
4.1.2 Usia
Tingkat umur responden cukup bervariasi, mulai dari 20 tahun ke bawah
sampai dengan di atas 50 tahun. Distribusi tingkat umur responden tersebut dapat
dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Usia (Tahun) di Bogor (2012)
Dari Gambar 6 terlihat bahwa responden terbanyak berada pada rentang
umur 21-30 tahun yaitu sejumlah 21 orang atau 35 persen dari keseluruhan
responden, dan pada rentang umur 41-50 tahun sebanyak 20 orang atau 33 persen
dari keseluruhan responden. Responden yang berada pada rentang umur 31-40
tahun berjumlah sembilan orang dengan persentasi 15 persen dari keseluruhan
responden, responden yang berusia lebih dari 50 tahun juga memiliki persentasi
sebesar 15 persen atau sembilan orang. Responden yang berusia kurang dari 20
tahun yaitu satu orang atau dua persen dari keseluruhan responden. Kesimpulan
dari data di atas adalah pengendara mobil pribadi pada usia dewasa (di atas 20
tahun) hingga usia 50 tahun merupakan mayoritas pemilik dan pengguna mobil
pribadi.
Tabel 9. Deskripsi Respon Berdasarkan Usia di Bogor (2012)
Usia Respon (Jumlah) Rasio Setuju/Tidak Setuju Setuju Tidak Setuju
tahun hingga 30 tahun memiliki nilai rasio (setuju/tidak setuju terhadap rencana
kenaikan harga BBM jenis premium) yang paling besar. Pada rentang usia 31-40
tahun nilai rasionya paling kecil, berarti pada rentang usia ini responden paling
tidak setuju terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium.
Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan alat analisis Chi Square
Test pada Tabel 7, terlihat bahwa ada hubungan yang signifikan antara respon
pengendara mobil pribadi dengan usia mereka. Chi Square Test yang dilakukan
menghasilkan nilai signifikan 0,041 lebih kecil dari alpha (α=0,05) dan nilai Chi
Squarehitung sebesar 39,777 (df=26) lebih besar dari nilai Chi Squaretabel sebesar
38,885. Nilai korelasi Rank Spearman yang diperoleh adalah -0,382 yang lebih
besar daripada alpha(α=0,05). Artinya, variabel usia memiliki hubungan dengan
respon pengendara mobil pribadi terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis
premium, tetapi tidak ada pengaruh di antara keduanya.
4.1.3 Jumlah Tanggungan Responden
Jumlah tanggungan responden merupakan jumlah anak yang dimiliki oleh
responden.
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa sebesar 30 persen dari total responden
tidak memiliki anak atau sebanyak 18 responden dari total 60 responden.
dua anak berjumlah 12 responden atau 20 persen dari keseluruhan responden,
responden yang memiliki tiga anak berjumlah 11 responden dengan persentasi 18
persen dari keseluruhan responden. Responden yang memiliki satu anak
berjumlah delapan responden atau 13 persen dari keseluruhan responden. Lalu
responden yang memiliki empat anak berjumlah enam responden atau 10 persen
dari keseluruhan responden. Responden yang memiliki lima anak berjumlah
empat responden atau dengan persentasi sebesar tujuh persen dari keseluruhan
responden. Terakhir, responden yang memiliki enam anak berjumlah satu
responden dengan persentasi dua persen dari total keseluruhan responden.
Tabel 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan di Bogor (2012)
Jumlah Tanggungan (Orang) Frekuensi Rasio (%)
0 18 60
1 8 13
2 12 20
3 11 18
4 6 10
5 4 7
6 1 2
Respon dari responden terhadap rasio setuju atau tidak setuju terhadap
kenaikan harga BBM memiliki nilai yang berbeda-beda. Tetapi dapat dilihat pada
Tabel 11, untuk responden yang memiliki jumlah tanggungan sebanyak satu orang
memiliki nilai rasio sebesar nol yang berarti responden yang memiliki jumlah
tanggungan sebanyak satu orang tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM jenis
premium. Hal tersebut juga terjadi untuk responden yang memiliki jumlah
Tabel 11. Deskripsi Respon Berdasarkan Jumlah Tanggungan di Bogor (2012)
Jumlah Tanggungan (Orang) Respon Rasio Setuju/Tidak Setuju Setuju Tidak Setuju
Terlihat pada Tabel 7, responden yang berada di Bogor memiliki nilai
Chi-Squarehitung 33,975 yang lebih besar dari nilai Chi-Squaretabel 12,592 dengan df=6.
Signifikansi dari uji ini adalah 0,000 yang lebih kecil dari alpha(α=0,05). Dengan
demikian, jumlah tanggungan yang dimiliki responden berhubungan nyata dengan
respon pengendara mobil pribadi terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis
premium pada tingkat kepercayaan 95 persen. Koefisien korelasi Rank Spearman
menunjukkan nilai -0,434 lebih besar dari alpha(α=0,05) sehingga ada hubungan antara jumlah tanggungan responden dengan respon pengendara mobil pribadi terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium, akan tetapi tidak ada pengaruh antara keduanya.
4.1.4 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masing-masing responden bervariasi. Sebaran tingkat
pendidikan masing-masing responden dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini.
Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa mayoritas responden
umumnya merupakan lulusan perguruan tinggi. Sebanyak 57 persen responden
atau sebanyak 34 responden dari total keseluruhan responden merupakan lulusan
dari perguruan tinggi. Responden yang memiliki pendidikan terakhir SMA atau
sederajat sejumlah 24 orang atau sebesar 40 persen dari keseluruhan responden.
Sedangkan responden dengan tingkat pendidikan SD sejumlah dua responden atau
tiga persen dari total responden. Kesimpulan dari data di atas adalah, semakin
tinggi pendidikan seseorang maka kecenderungan mereka untuk memiliki dan
menggunakan mobil pribadi menjadi semakin besar pula.
Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa mayoritas dari responden adalah lulusan
perguruan tinggi. Sebanyak dua orang yang pendidikan terakhirnya SD, tidak
setuju terhadap kenaikan harga BBM jenis premium. Sebanyak 15 orang lulusan
SMA setuju terhadap kenaikan harga BBM jenis premium, sementara 11 orang
lainnya tidak setuju. Lalu sebanyak 10 orang lulusan perguruan tinggi setuju
terhadap kenaikan harga BBM jenis premium, sementara 22 orang lainnya tidak.
Tabel 12. Deskripsi Respon Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Bogor (2012)
Tingkat Pendidikan Respon (Jumlah) Rasio Setuju/Tidak Setuju Setuju Tidak Setuju
SD 1 1 1,00
SMA 11 13 0,85
PT 16 18 0,89
Sebagian besar responden telah menyadari pentingnya manfaat dari BBM
jenis premium sehingga mereka peduli terhadap rencana tentang kenaikan BBM
jenis premium. Berdasarkan uji dua variabel (respon dengan tingkat pendidikan)
pada Tabel 7, terlihat bahwa nilai Chi-Squarehitung sebesar 0,018 (df=2) lebih kecil
dari Chi-Squaretabel sebesar 5,991 dan memiliki signifikansi sebesar 0,991 yang
lebih besar dari nilai selang kepercayaan sebesar 95 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara respon
pengendara mobil pribadi dengan tingkat pendidikan.
4.1.5 Tingkat Pendapatan Responden
Tingkat pendapatan responden bervariasi mulai dari kurang dari Rp
masih merupakan mahasiswa dan ada yang berwirausaha. Variasi tingkat
pendapatan responden dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Tingkat Pendapatan (Rupiah) di Bogor (2012)
Responden yang memiliki pendapatan masing-masing (per bulan) sebesar
kurang dari Rp 1.000.000 hingga Rp 5.000.000 berjumlah 24 responden dan
memiliki persentasi terbesar yakni 40 persen dari keseluruhan responden. Lalu
responden yang memiliki pendapatan dengan rentang antara Rp 5.100.000 – Rp
10.000.000 berjumlah 23 responden atau 38 persen dari keseluruhan responden.
Terakhir, responden yang memiliki pendapatan lebih dari Rp 10.000.000
berjumlah 13 responden atau 22 persen dari keseluruhan responden. Dari data di
atas dapat disimpulkan bahwa walaupun pendapatan mereka termasuk rendah dari
kategori di atas, tapi itu tidak menjadi alasan untuk tidak menggunakan mobil
pribadi. Berarti, menggunakan kendaraan pribadi merupakan salah satu kebutuhan
(dengan jenis dan merk mobil yang berbeda-beda).
Tabel 13. Deskripsi Respon Berdasarkan Tingkat Pendapatan di Bogor (2012)
Tingkat Pendapatan Respon Rasio Setuju/Tidak Setuju Setuju Tidak Setuju
≤1juta-5juta 13 11 1.18
5,1juta-10juta 10 16 0.63
>10juta 8 5 1.60
Pengendara mobil pribadi dengan tingkat pendapatan lebih dari Rp
10.000.000 memiliki rasio respon setuju/tidak setuju terhadap kenaikan harga
BBM jenis premium yang paling besar, yakni 1,60. Berarti pengendara mobil
40%
38% 22%
≤1jt-5jt 5,1jt-10jt
pribadi dengan tingkat pendapatan yang lebih dari Rp 10.000.000 cenderung
setuju terhadap kenaikan harga BBM jenis premium.
Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan analisis Chi Square Test
pada Tabel 7, terlihat bahwa pada pendapatan berapapun, responden memiliki
respon masing-masing terhadap kenaikan harga BBM jenis premium. Chi Square
Test yang dilakukan menghasilkan nilai Chi-Squarehitung sebesar 37,634 (df=25)
yang lebih kecil dari nilai Chi-Squaretabel sebesar 37,652. Uji ini juga
menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan antara tingkat pendapatan responden dengan respon pengendara
mobil pribadi terhadap kenaikan harga BBM jenis premium pada tingkat
kepercayaan 95 persen.
4.1.6 Tingkat Pendapatan Anggota Keluarga Lain
Besarnya pendapatan anggota keluarga lain memengaruhi besarnya jumlah
pendapatan keluarga secara total. Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa mayoritas
anggota keluarga lain memiliki pendapatan total (per bulan) sebesar Rp 1.000.000
hingga Rp5.000.000 dengan persentasi sebesar 62 persen atau 37 responden dari
keseluruhan responden.
Gambar 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Tingkat Pendapatan Anggota Keluarga Lain (Rupiah) di Bogor (2012)
Lalu sebanyak 15 responden atau 25 persen dari keseluruhan responden
memiliki pendapatan anggota keluarga lain total (per bulan) sebesar Rp 5.100.000
hingga Rp 10.000.000. Selanjutnya, 13 persen atau sebanyak delapan responden
mengatakan bahwa pendapatan anggota keluarga lainnya sebesar lebih dari
Rp 10.000.000.
62% 25%
13%
0-5jt
5,1jt-10jt
Tabel 14. Deskripsi Respon Berdasarkan Tingkat Pendapatan Anggota Keluarga Lain di Bogor (2012)
Tingkat Pendapatan Anggota Keluarga
Rp 10.000.000 memiliki nilai rasio setuju/tidak setuju yang paling besar dengan
nilai 7,00. Hal ini membuktikan bahwa seseorang yang anggota keluarga lainnya
memiliki pendapatan lebih dari Rp 10.000.000 cenderung setuju terhadap
kenaikan harga BBM jenis premium.
Berdasarkan hasil wawancara maupun dengan menggunakan penyebaran
kuisioner, sebagian besar responden memiliki anggota keluarga lainnya yang
memiliki pendapatannya sendiri. Selain itu, secara statistik melalui alat analisis
Chi Square Test pada Tabel 7, diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,054 yang
lebih besar dari taraf nyata 0,05. Dengan derajat bebas sebesar 18, diperoleh nilai
Chi-Squarehitung sebesar 28,536 yang lebih kecil dari nilai Chi-Squaretabel sebesar
28,869. Artinya, tidak ada hubungan nyata antara tingkat pendapatan anggota
keluarga lain dengan respon pengendara mobil pribadi terhadap rencana kenaikan
harga BBM jenis premium pada tingkat kepercayaan 95 persen.
4.1.7 Kesediaan Membayar terhadap Satu Liter BBM Jenis Premium
Variabel ini merupakan variabel independen kesediaan membayar
responden terhadap satu liter BBM jenis premium jika terjadi kenaikan harga
BBM jenis premium menurut persepsi mereka masing-masing. Hasilnya dapat
dilihat pada Tabel 15 berikut ini.
Tabel 15. Karakteristik Responden Berdasarkan Kesediaan Membayar terhadap Satu Liter BBM Jenis Premium di Bogor (2012) Kesediaan Membayar (Rupiah) Frekuensi Rasio (%)
5000 31 52
5500 7 11
6000 22 37
Dari hasil pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa mayoritas responden, yakni