• Tidak ada hasil yang ditemukan

Training Needs Analysis Farmers Group Combined in Integrated Village Sheep Cinyurup Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Training Needs Analysis Farmers Group Combined in Integrated Village Sheep Cinyurup Banten"

Copied!
210
0
0

Teks penuh

(1)

DI KAMPUNG DOMBA TERPADU CINYURUP BANTEN

DIDU WAHYUDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebutuhan Pelatihan Gabungan Kelompok Tani di Kampung Domba Terpadu Cinyurup Banten adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dari bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

Didu Wahyudi

(3)

DI KAMPUNG DOMBA TERPADU CINYURUP BANTEN

ABSTRACT

DIDU WAHYUDI. Training Needs Analysis Farmers Group Combined in Integrated Village Sheep Cinyurup Banten. Under direction of M.SYAMSUL MA’ARIF and ANGGRAINI SUKMAWATI.

Habits of the people who cultivate crops in forest areas by opening new land, contribute to the deforestation of protected forests. Integrated Village Sheep (IVS) is one of the strategies to implement community empowerment through strengthening farmer organizations with an integrated agribusiness pattern between lamb and vegetable business. Farmers do not have the actual competence adequately for their optimal roles. Training needed to reduce the performance gap indicated at this time. The aims of this study were to analyze training needs of the farmer group combined in integrated village sheep Cinyurup Banten. The study population is farmers who are members of the Joint breeders Farmers Juhut Mandiri Cinyurup Banten. Training Needs Analysis was done by individuals’ analysis approach through gap analyzed between the Position Work Ability (PtWA) and Personal Work Ability (PnWA). The data collected by questionnaire, focus group discussion (FGD), and direct interview. The data then was analyzed by using method of Training Needs Assessment Tools (TNA-T). The results showed that the training needs in the field of management (organization),

correlated very significantly with factors of gender (ρ = 0.002), frequency of group meetings (ρ = 0.004), understanding purpose of the meeting (ρ = 0.003), and benefits achieved from the group meetings (ρ = 0.003). In the technical area

(the ability of farmers), training needs correlated very significantly with lack of

understanding of the material presented in the meeting of the group (ρ = 0.019).

Based o FGD, development of productivity of rancher was supported by KDT institution, i.e.: leadership, asset self collectiveness, local roles, and integrity organization.

(4)

Kampung Domba Terpadu Cinyurup Banten. Dibimbing oleh M. SYAMSUL MA’ARIF dan ANGGRAINI SUKMAWATI.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi kehidupan petani sayuran yang kegiatan usahataninya merambah ke lahan hutan lindung Kampung Cinyurup, Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang Tanjung, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten yang selain tingkat pendidikannya masih rendah, juga tidak memiliki mata pencaharian tetap (mencari kayu bakar). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kebutuhan pelatihan petani peternak dalam mengadopsi program

solving problem yang dikemudian dikenal dengan nama program Kampung Domba Terpadu. Program ini dibentuk sebagai Buffer Zone(kawasan penyangga) yang dapat menyediakan ketersediaan rumput lapangan danleguminosasepanjang tahun dengan kualitas yang baik. Pola pikir yang dikembangkan adalah melakukan pemberdayaan masyarakat melalui penguatan organisasi petani (gapoktan) dengan pola usaha agribisnis terpadu antara usahaternak domba dan sayuran.

Metode untuk menentukan kebutuhan pelatihan gapoktan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis individu dengan metodeTraining Needs Assessment Tools (TNA-T) yaitu menganalisis gap Kemampuan Kerja Jabatan (KKJ) dengan Kemampuan Kerja Pribadi (KKP). Jika gap KKJ dengan KKP disebabkan oleh rendahnya pengetahuan, ketrampilan dan sikap, maka solusinya adalah dengan pelatihan. Akan tetapi jika bukan gap bukan disebabkan oleh faktor tersebut, maka solusinya bukan pelatihan tetapi dengan solusi lain sesuai dengan faktor-faktor penyebabnya. Selisih antara KKJ dan KKP merupakan kekurangan kemampuan yang perlu dilatih. Penetapan kebutuhan pelatihan ditentukan berdasarkan lokasi titik potong antara nilai KKJ dan KKP dengan menggunakan Diagram Peringkat Kebutuhan Pelatihan. Kemudian untuk memahaminya diinterpretasikan melalui suatu matrik interpretasi. Sehingga refleksi mengenai kondisi pekerjaan dan kompensi diketahui. Hubungan faktor karateristik petani peternak yang dominan (ρ < 0,05) terhadap kebutuhan pelatihan dianalisis dengan menggunakan crosstab analysis. Hal ini dimaksudkan untuk menganalisis sejauhmana bentuk kecenderungan hubungan antara karateristik petani peternak dengan kebutuhan pelatihan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kebutuhan pelatihan di bidang manajemen (organisasi), mempunyai kecenderungan hubungan sangat nyata dengan faktor-faktor: jenis kelamin (ρ = 0,002), frekuensi pertemuan kelompok (ρ = 0,004), memahami tujuan pertemuan (ρ = 0,003), dan merasakan manfaat dari pertemuan kelompok (ρ = 0,003). Di bidang teknis (kemampuan petani), kebutuhan pelatihan mempunyai kecenderungan hubungan sangat nyata dengan faktor ketidakpahaman terhadap materi yang disampaikan dalam pertemuan kelompok (ρ = 0,019). Berdasarkan FGD, pengembangan produktivitas petani peternak didukung pula oleh kelembagaan KDT, antara lain : kepemimpinan, swadaya permodalan, aturan main lokalita, dan kerjasama lintas organisasi.

(5)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

DI KAMPUNG DOMBA TERPADU CINYURUP BANTEN

DIDU WAHYUDI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Manajemen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Tesis : Analisis Kebutuhan Pelatihan Gabungan Kelompok Tani di Kampung Domba Terpadu Cinyurup Banten

Nama : Didu Wahyudi

NRP : H251100211

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. M.Syamsul Ma’arif, M.Eng.,Dipl.Ing.,D.E.A. Dr.Ir. Anggraini Sukmawati, MM.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Manajemen

Dr. Ir. Abdul Kohar Irwanto, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 sampai bulan Juni 2012 ini adalah kebutuhan pelatihan, dengan judul Analisis Kebutuhan Pelatihan Gabungan Kelompok Tani di Kampung Domba Terpadu Cinyurup Banten.

Terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Ir. M.Syamsul Ma’arif, M.Eng.,Dipl.Ing.,D.E.A. dan Ibu Dr.Ir. Anggraini Sukmawati, MM. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan arahan dalam penyelesaian studi.

2. Bapak Dr.Ir. Haryono, M.Sc. selaku Kepala Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi lanjutan program magister melalui program beasiswa. 3. Bapak Dr.Ir. Abdul Kohar Irwanto, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Ilmu

Manajemen Sekolah Pascasarjana IPB dan Bapak Dr.Drs. Sukiswo Dirdjosuparto selaku penguji luar komisi pada ujian tesis.

3. Guru Besar dan Dosen Program Studi Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana IPB yang banyak memberikan wawasan ilmu pengetahuan, serta teman-teman staf akademik yang memberikan pelayanan prima selama penyelesaian studi. 5. Petani Gapoktan Juhut Mandiri, Penyuluh Kabupaten Pandeglang, Pimpinan

dan staf BPTP Banten yang telah memberikan dukungan dan membantu kelancaran pelaksanaan penelitian di lapang. Teman-teman MAN angkatan 2010 dan 2011 atas kebersamaan dan dukungannya.

6. Kedua orangtua, semoga ilmu yang didapatkan penulis menjadi ladang amal shaleh yang pahalanya diteruskan kepada almarhum dan almarhumah. Isteriku, Leily Amalia, S.TP.,M.Si. atas kesabaran dan pengertiannya. Kakak, adik, dan ponakan atas doa dan kasih sayangnya serta pihak terkait yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, Semoga Allah membalas semua kebaikan yang dilakukan.

Bogor, Oktober 2012

(10)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 Maret 1973 dari ayah Drs. Anda S.A. Bc.Ak. (Alm) dan Ibu R.Euis Romlah (Almh). Penulis merupakan putra ke empat dari tujuh bersaudara.

Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun 1994 penulis melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Triguna Bogor dengan pilihan mayor Manajemen dan lulus pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian.

Penulis bekerja sebagai staf di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (P/SE) sejak tahun 1993 sampai tahun 2004. Kemudian pada tahun 2005-sekarang penulis ditugaskan sebagai staf di Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP), dimana kedua satuan kerja tersebut di bawah koordinasi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian.

Bogor, Oktober 2012

(11)

x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN...xv

1 PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Perumusan Masalah ...4

1.3 Tujuan Penelitian ...6

1.4 Manfaat Penelitian ...6

1.5 Batasan Penelitian ...6

2 TINJAUAN PUSTAKA...8

2.1 Definisi Manajemen Sumberdaya Manusia ...8

2.1.1 Pentingnya Manajemen Sumberdaya Manusia...8

2.1.2 Manajemen Sumberdaya Manusia dan Organisasi ...9

2.1.3 Perilaku Individu, Kelompok, dan Organisasi...9

2.2 Teori Kelembagaan dan Organisasi ...11

2.2.1 Teori Kelembagaan...12

2.2.2 Teori Organisasi...12

2.2.3 Teori Kelembagaan Baru ...13

2.3 Organisasi Petani...14

2.3.1 Intervensi Negara dan Pasar dalam Organisasi Petani...14

2.3.2 Organisasi Petani dalam Teori Kelembagaan Baru ...15

2.4 Gabungan Kelompok Tani ...16

2.4.1 Konsep Pengembangan Gapoktan ...17

2.5 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis ...18

2.5.1 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis Sebagai Usaha Ekonomi/ Perusahaan ...19

(12)

xi

2.6.3 Jenis Pelatihan...23

2.7 Analisis Kebutuhan Pelatihan (Training Needs Assessment)...24

2.8 MetodeTraining Needs Assessment Tool...26

2.9 Penelitian Terdahulu ...26

3 METODE PENELITIAN ...29

3.1 Kerangka Pemikiran ...29

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian...32

3.3 Populasi, Sampel Data, dan Pengambilan Data Penelitian ...32

3.3.1 Populasi Penelitian...32

3.3.2 Sampel Data Penelitian ...32

3.3.3 Pengumpulan Data Penelitian...33

3.4 Instrumen Penelitian...33

3.4.1 Uji Validitas Instrumen...34

3.4.2 Uji Reliabilitas Instrumen...35

3.5 Analisis Data ...35

3.5.1 MetodeTraining Needs Assessment Tool...35

3.5.2 Analisis Deskriptif ...38

4 GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN ...39

4.1 Demografi Objek Penelitian...39

4.2 Penetapan Kampung Domba Terpadu...39

4.3 Rancangan Usaha di Kampung Domba Terpadu ...40

4.4 Upaya Menjadikan Sumber Pendapatan Bulanan Petani ...41

4.5 Struktur Organisasi Gapoktan Juhut Mandiri...42

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ...47

5.1 Analisis Deskriptif...47

5.1.1 Sebaran Petani Berdasarkan Jenis Kelamin...47

(13)

xii

5.2 Analisis Kemampuan Kerja Jabatan dan Kemampuan Kerja Pribadi ...50

5.2.1 Kemampuan Kerja Jabatan ...50

5.2.2 Kemampuan Kerja Pribadi...52

5.2.3 AnalisisGapKemampuan Kerja Jabatan dan Kemampuan Kerja Pribadi ...53

5.3 Analisis Fungsi dan Hubungan Karateristik Petani Terhadap Kebutuhan Pelatihan ...55

5.4 Karateristik Kurikulum (Materi) Pelatihan ...66

5.5 Karateristik Petani yang Membutuhkan Pelatihan dan Faktor Penyebab GapKompetensi...67

5.6 Kelembagaan Kampung Domba Terpadu Cinyurup Banten...72

5.7 OutcomeKegiatan Kampung Domba Terpadu ...75

5.8 Implikasi Manajerial ...76

6 SIMPULAN DAN SARAN ...79

6.1 Simpulan...79

6.2 Saran...80

(14)

xiii

1 Keragaman Jenis Bantuan Kurun Waktu Tahun 2007 s/d 2011 ...3

2 Rekonseptualisasi Terminologi Lembaga dan Organisasi ...12

3 Matrik Fungsi Agribisnis dan Organisasi yang Menjalankan ...17

4 Penelitian Terdahulu tentang Analisis Kebutuhan Pelatihan ...26

5 Jumlah Populasi dan Petani Penelitian...32

6 Instrumen Penelitian...34

7 Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ...35

8 Skala Likert Kemampuan Kerja Jabatan dan Kemampuan Kerja Pribadi ...36

9 Matrik Interpretasi Diagram Peringkat Kebutuhan Pelatihan ...38

10 Peran/Kontribusi Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam Program Kampung Domba Terpadu ...40

11 Perkembangan Pengelolaan Ternak Domba Gapoktan ...42

12 Monografi Gapoktan Juhut Mandiri per 12 Juni 2012 ...43

13 Standarisasi Kemampuan Kerja Jabatan ...51

14 Interpretasi Indikator Peringkat Kemampuan Kerja Jabatan ...51

15 Nilai Kemampuan Kerja Pribadi ...52

16 Interpretasi Indikator Peringkat Kemampuan Kerja Pribadi ...53

17 AnalisisGapKemampuan Kerja Jabatan dan Kemampuan Kerja Pribadi ...53

18 Penentuan Daerah Pelatihan ...55

19 Hubungan Deskriptif Petani terhadap Kebutuhan Pelatihan ...56

20 Hubungan Faktor Pribadi terhadap Kebutuhan Pelatihan ...59

21 Hubungan Faktor Usahatani terhadap Kebutuhan Pelatihan...61

22 Hubungan Faktor Eksternal terhadap Kebutuhan Pelatihan...62

23 Hubungan Aktivitas Gapoktan terhadap Kebutuhan Pelatihan ...65

24 Hubungan Faktor Dominan terhadap Kebutuhan Pelatihan...66

25 Karateristik Kurikulum (Materi) Pelatihan ...67

(15)

xiv

1 Model Perilaku Kelompok ...10

2 Dampak Proses Kelompok ...10

3 Sistem Perilaku Organisasi...11

4 Dimensi Vertikal pada Jaringan Perusahaan ...20

5 Dimensi Horizontal pada Jaringan Perusahaan ...21

6 Kerangka Konseptual Analisis Kebutuhan Pelatihan...30

7 Kerangka Operasional Penelitian ...31

8 Diagram Peringkat Kebutuhan Pelatihan ...37

9 Bagan Struktur Organisasi Gapoktan Juhut Mandiri ...43

10 Sebaran Petani Berdasarkan Jenis Kelamin ...47

11 Sebaran Petani Berdasarkan Usia...48

12 Sebaran Petani Berdasarkan Tingkat Pendidikan...49

13 Sebaran Petani Berdasarkan Lama Gabung ...50

14 Peringkat Kebutuhan Pelatihan ...54

15 Jumlah Kegiatan Kunjungan periode Juni 2009 s/d Juni 2012 ...70

(16)

xv

1 Matrik Kinerja Pelaksanaan Penelitian ...84

2 Uji Validitas Instrumen Bidang Manajemen (Gapoktan)...85

3 Uji Validitas Instrumen Bidang Teknis (Petani) ...86

4 Hasil Analisis Regresi Berganda ...87

5 Daftar Istilah Singkatan...89

(17)

1.1 Latar Belakang

Keberhasilan eksistensi suatu organisasi ditentukan oleh bagaimana organisasi tersebut dapat memenuhi keinginan pelanggan. Leigh et al. (2000) menyatakan bahwa analisis kebutuhan pelatihan atau penilaian kebutuhan kebutuhan pelatihan merupakan langkah strategis dalam pengelolaan organisasi dalam bentuk intervensi pengembangan sumberdaya manusia melalui proses mengidentifikasi gap antara kinerja yang diperlukan dan kinerja saat ini. Dahiya dan Jha (2011) menyampaikan tujuan dari penilaian kebutuhan pelatihan adalah untuk memprioritaskan penyelesaian masalah kinerja dengan mengetahui gambaran berupa kondisi riil yang terjadi, seberapa pentingnya, bagaimana penjelasannya, bagaimana didefinisikan, bagaimana usulan perbaikan, dan apa yang menjadi prioritas. Analisis kebutuhan pelatihan sangat penting dilakukan karena menyediakan informasi mengenai tingkat keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge) sumberdaya manusia organisasi. Dengan informasi ini, manajemen dapat mengetahui gap antara kebutuhan organisasi dan kapabilitas karyawan. Pelatihan yang diselenggarakan dapat difokuskan untuk mengisi gap

tersebut.

(18)

Kebiasaan masyarakat dalam bercocok tanam di wilayah kehutanan dengan cara membuka lahan baru, memberikan kontribusi terhadap penggundulan hutan lindung. Salah satu strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Banten dalam mengurangi dampak kegiatan tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat melalui penguatan organisasi petani dengan pola usaha agribisnis terpadu antara usahaternak domba dan sayuran (Nurcahyati, 2009). Kampung Domba Ternak dalam penulisan selanjutnya disingkat KDT, terletak di Kampung Cinyurup, Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang Tanjung, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dibentuk sebagaiBuffer Zone(kawasan penyangga) karena lokasi tersebut berbatasan dengan kawasan hutan lindung yang dapat menyediakan ketersediaan rumput lapangan dan leguminosa sepanjang tahun dengan kualitas yang baik. Pola pikir yang dikembangkan adalah dengan memberdayakan masyarakat sekitar hutan melalui usaha pemeliharaan ternak domba, maka usahatani sayuran yang banyak merambah hutan sekitar dapat dikendalikan melalui usaha konservasi dan keterkaitan usahatani (integrasi tanaman – ternak).

Pelatihan dalam pembangunan masyarakat bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat dalam arti luas. Keterbatasan kemampuan yang dialami petani di perdesaan relevan dengan tingkat pendidikan sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas kerja (Sudirman, 2006). Hasil penelitian terhadap organisasi petani di Cianjur Jawa Barat menyimpulkan bahwa petani belum memiliki kompetensi aktual yang memadai untuk berperan optimal (Alimin, 2004). Pelatihan sebagai

human investment, mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin di perdesaan, karena dalam jangka pendek kegiatan pelatihan telah berhasil menciptakan lapangan kerja baru dan peningkatan pendapatan setelah terlebih dahulu meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya melalui pelatihan.

(19)

penyusunan studi kelayakan usaha, dan sebanyak 11 kegiatan atau sebesar 91,67% (26,19% dari jumlah keseluruhan bantuan) berkaitan dengan kemampuan pemanfaatan alat produksi. Jenis bantuan yang bersifat teknis teridentifikasi sebanyak 12 kegiatan atau sebesar 40% (28,57% dari jumlah keseluruhan bantuan) berkaitan dengan bantuan sarana dan peralatan, sebanyak 14 kegiatan atau sebesar 46,66% (33,33% dari jumlah keseluruhan bantuan) berkaitan dengan bantuan bibit ternak, dan sebanyak 4 kegiatan atau sebesar 13,34% (9,53% dari jumlah keseluruhan bantuan) berkaitan bantuan pemeliharaan ternak (Tabel 1).

Tabel 1. Keragaman Jenis Bantuan Kurun Waktu Tahun 2007 s/d 2011.

No. Uraian

Volume

Kegiatan

Prosentase Kegiatan (%) Terhadap Terhadap Bidangnya Keseluruhan

1. Bidang Manajemen 12 100,00 28,57

a.Kemampuan pengendalian 1 8,33 2,38

b.Kemampuan pemanfaatan alat 11 91,67 26,19

Produksi

2. Bidang Teknis 30 100,00 71,43

a.Sarana dan peralatan 12 40,00 28,57

b.Bibit ternak 14 46,66 33,33

c.Pemeliharaan ternak 4 13,34 9,53

Jumlah 42 100,00

Sumber : Kemristek, 2011.

Keragaan tersebut menggambarkan bahwa prosentase bantuan yang diberikan kepada program KDT Cinyurup Banten kurun waktu tahun 2007 s/d 2011, bantuan yang bersifat teknis (71,43%) lebih tinggi dibandingkan bantuan yang bersifat manajemen (28,57%). Namun besarnya prosentase tersebut tidak serta merta mengatasi permasalahan yang ditemui di lapangan. Kajian dari Bank Indonesia Serang (2011) menyatakan bahwa kendala teknis yang muncul di tingkat petani adalah : (1) kurangnya pemahaman mengenai pemeliharaan ternak, hal ini tercermin dari pemberian pakan oleh petani yang belum efisien. Jika diukur secara kuantitas berlebih, namun tidak memperhatikan komposisi sesuai status fisiologik ternak, (2) pemberian pakan masih didominasi rumput liar sebesar 73,31% dan dedaunan sebesar 18,65%, (3) ketergantungan bibit unggul dari luar daerah (Garut) bagi peternak kecil menjadi kendala tersendiri.

(20)

Sekolah Dasar. Hal ini menyebabkan mereka memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan teknis, administrasi, ataupun manajerial. Permasalahan lain adalah kurangnya pembinaan terhadap kepengurusan gapoktan. Jika merujuk kepada Tabel 1 dimana prosentase bantuan yang bersifat manajemen sebesar 28,57% dari total bantuan yang diterima, jelas menambah keterpurukan dari eksistensi gapoktan itu sendiri

. Pemberdayaan petani dengan pendekatan organisasi secara formal merupakan hal yang umum tidak hanya di Indonesia, namun kurang berhasil dalam pelaksanaan. Hasil penelitian Pranadjiet al. (2004) mengemukakan bahwa gejala pada saat ini hampir tidak ada organisasi (ekonomi) petani mampu bertahan hidup dan mengembangkan diri dengan baik. Hal ini disebabkan kebijakan “blue print approach” dimana kebijakan tersebut mengandung kelemahan karena bersifat umum, disusun dan dipikirkan oleh sekelompok orang saja secara terpusat (Uphoff, 1986 dalam Syahyuti, 2011). Dari sisi lain, keberhasilan organisasi selain ditentukan oleh kompetensi sumberdaya manusianya, juga pengaruhi oleh faktor lain, yaitu kelembagaan. Doliver (1993) dalam Wulandari (2005) menyatakan manajemen tidak dapat menentukan pelatihan begitu saja tanpa menganalisis dahulu kebutuhan dan tujuan apa yang ingin dicapai. Penilaian kebutuhan merupakan “road map” untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, oleh karena itu penelitian ini sangat penting untuk dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

(21)

keterampilan yang dimiliki masyarakat saat ini harus dapat dikembangkan agar dapat dijadikan sebagai sumber usaha sesuai kebutuhan mereka.

Pelatihan merupakan suatu proses yang bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan kepada siapapun sehingga dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat. Proses pelatihan dapat terlaksana bila didukung oleh ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas baik yang berasal dari masyarakat maupun instansi terkait. Dukungan yang diberikan dalam arti untuk mendampingi serta mampu berperan baik sebagai fasilitator, komunikator dan dinamisator selama program berlangsung, dan berfungsi sebagai konsultan sewaktu diperlukan oleh kelompok. Perubahan perilaku masyarakat untuk mandiri dan kreatif dalam mengembangkan usaha produktif merupakan fokus dari pelaksanaan program pelatihan.

Pertanian modern tidak hanya identik dengan mesin pertanian yang modern tetapi perlu ada organisasi yang dicirikan mampu menyentuh dan menggerakan ekonomi di perdesaan melalui pengembangan sistem agribisnis sesuai komoditas unggulannya di setiap desa. Gapoktan diharapkan berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan petani, sarana produksi, pemasaran produk, dan menyediakan informasi yang dibutuhkan petani. Oleh karena itu, pengembangan gapoktan harus dirancang sebagai upaya peningkatan kompetensi anggotanya dengan prinsip kemandirian lokal.

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas ditemukan suatu rumusan permasalahan pokok di kalangan petani Gapoktan Juhut Mandiri yang selama ini bermata pencaharian usahatani sayuran yang banyak merambah hutan dan pencari kayu bakar, untuk memadukan dengan usahatani sayuran dengan usaha ternak domba. Secara umum masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah “Kebutuhan pelatihan apa yang diperlukan petani yang tergabung dalam Gapoktan Juhut Mandiri dalam pelaksanaan program KDT ?“. Berangkat dari permasalahan tersebut, kemudian dirinci dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanagap kompetensi sumberdaya manusia gapoktan dalam suatu sistem

agribisnis program KDT, dilihat dari pendekatan Kemampuan Kerja Pribadi dan Kemampuan Kerja Jabatan?

(22)

3. Bagaimana hubungan keeratan faktor karateristik petani dengan kebutuhan pelatihan ?

4. Bagaimana gap kompetensi sumberdaya manusia gapoktan terjadi dan faktor apa yang mempengaruhinya?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui kebutuhan pelatihan dalam memecahkan persoalan yang dihadapi petani yang tergabung dalam Gapoktan Juhut Mandiri, pasca penetapan program solving problem konservasi hutan lindung ini, melalui sistem usahatani agribisnis terpadu (integrasi tanaman – ternak). Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah :

1. Menganalisis gap kompetensi sumberdaya manusia gapoktan dalam suatu sistem agribisnis program KDT, dilihat dari pendekatan Kemampuan Kerja Pribadi dan Kemampuan Kerja Jabatan

2. Menganalisis kebutuhan pelatihan yang diperlukan untuk mengurangi gap

kompetensi sumberdaya manusia gapoktan dalam suatu sistem agribisnis program KDT

3. Menganalisis hubungan keeratan faktor karateristik petani dengan kebutuhan pelatihan

4. Menganalisis faktor penyebab terjadinyagapkompetensi sumberdaya manusia gapoktan

1.4 Manfaat Penelitian

Diharapkan dapat digunakan sebagai informasi baik sebagai bahan pertimbangan, perbandingan, serta bahan bacaan oleh peneliti lain yang ingin mengkaji analisis kebutuhan pelatihan.

1.5 Batasan Penelitian

(23)

Training Needs Assessment Tool dalam penulisan selanjutnya disingkat TNA-T dengan keluaran mengetahui gapkinerja yang didapat dari hasil identifikasi awal kebutuhan teknis (petani) dan manajemen (gapoktan) yang disebabkan oleh rendahnya pengetahuan, keterampilan dan sikap. Jika ketiga faktor tersebut penyebabnya, maka solusinya adalah pelatihan. Akan tetapi jika bukan, maka solusinya bukan pelatihan tetapi dengan solusi lain sesuai dengan faktor-faktor penyebabnya. Selisih antara KKJ dan KKP merupakan kekurangan kemampuan yang perlu dilatih atau kelebihan kemampuan seseorang dikaitkan dengan tuntutan pekerjaan.

(24)
(25)

2.1 Definisi Manajemen Sumberdaya Manusia

Manajemen sumberdaya manusia secara sederhana didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengelolaan sumberdaya manusia. Manajemen sumberdaya manusia merupakan satu gerakan pengakuan terhadap pentingnya unsur manusia sebagai sumberdaya yang potensial, yang perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu memberikan kontribusi yang maksimal bagi organisasi dan bagi pengembangan dirinya. Mangkunegara (2001) mengatakan bahwa manajemen sumberdaya manusia adalah suatu kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengadaan, pengembangan, pemberian balas jasa, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemisahan tenaga kerja dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Dessler (2009) mendefinisikan manajemen sumberdaya manusia merupakan proses memperoleh, melatih, menilai, dan memberikan kompensasi kepada karyawan, memperhatikan hubungan kerja, kesehatan, keamanan, dan masalah keadilan. Robbin (2007) mendefinisikan manajemen sumberdaya manusia adalah proses pengkoordinasian kegiatan-kegiatan pekerjaan sehingga pekerjaan tersebut terselesaikan secara efisien dan efektif dengan dan melalui orang lain. Efisien berarti memperoleh output terbesar dengan input tertentu; digambarkan sebagai “melakukan segala sesuatu secara benar”. Efektif adalah menyelesaikan kegiatan-kegiatan sasaran organisasi dapat tercapai; digambarkan sebagai “melakukan segala sesuatu yang benar’.

Dari paparan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa sumberdaya manusia diakui sebagai faktor penting dalam proses aktivitas organisasi yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi.

2.1.1 Pentingnya Manajemen Sumberdaya Manusia

(26)

yang harus dipenuhi. Ketiga, manusia memiliki cita-cita untuk mencapai tujuan yang diinginkan melalui jalur karir yang ditempuhnya. Keempat, organisasi adalah kumpulan orang-orang. Kesuksesan orang-orang di dalamnya haruslah sesuai dengan tujuan organisasi yang ingin dicapai. Kelima, organisasi dibentuk bukan hanya dalam jangka pendek, melainkan dalam jangka panjang sehingga kebutuhan SDM harus direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan dan dikendalikan secara efektif.

2.1.2 Manajemen Sumberdaya Manusia dan Organisasi

Fungsi-fungsi manajemen dalam organisasi sekurang-kurangnya meliputi aspek manajemen sumberdaya manusia, manajemen produksi dan operasi, manajemen keuangan, dan manajemen pemasaran. Manajemen sumberdaya manusia adalah salah satu fungsi utama dari suatu organisasi. Fungsi-fungsi lain tidak akan bisa berjalan tanpa adanya peran dari sumberdaya manusia yang memiliki kualitas. Gratton disitasi Mullins (2005) menyatakan setidaknya ada empat proposisi dasar yang ada kaitannya dengan organisasi yaitu :

1. Terdapat perbedaan yang mendasar antara orang sebagai asset dan asset tradisional dari keuangan atau teknologi

2. Memahami perbedaan yang mendasar akan menciptakan pandangan baru secara menyeluruh mengenai pemikiran dan pekerjaan dalam organisasi, yaitu suatu pergeseran pola pikir

3. Strategi usaha hanya dapat dilaksanakan dengan menggunakan manusia

4. Menciptakan pendekatan strategi dengan mengutamakan manusia melalui suatu dialog yang kuat dalam organisasi.

2.1.3 Perilaku Individu, Kelompok, dan Organisasi

(27)

sasaran organisasi dan yang kedua, kelompok informal terbentuk secara alamiah sebagai tanggapan terhadap kebutuhan akan kontak sosial.

Untuk mulai memahami perilaku kelompok kerja, perlu memandangnya sebagai substansi yang tertanam ke dalam sistem yang lebih besar. Perilaku kelompok dipengaruhi oleh kondisi eksternal yang dipaksakan dari luar. Kondisi-kondisi eksternal ini mencakup strategi keseluruhan organisasi, struktur wewenang, peraturan formal, sumber daya, proses seleksi karyawan, evaluasi kerja dan sistem imbalan, budaya, dan tatanan kerja fisik seperti ditunjukan pada Gambar 1.

Sumber : Robbins, 2007.

Gambar 1. Model Perilaku Kelompok

Gambar 2 menunjukkan pada pengerjaan tugas kelompok ada kecenderungan bagi individu untuk mengurangi upaya mereka. Dengan kata lain, kemalasan sosial melukiskan kerugian juga dapat menghasilkan hasil yang positif. Kelompok dapat menciptakanoutputyang lebih besar daripada jumlahinput-nya.

Sumber : Robbins, 2007.

(28)

Munandar (2008) mengambarkan proses terbentuknya perilaku organisasi dimulai dari terbentuknya perilaku individu, kemudian perilaku individu membentuk perilaku kelompok dan perilaku kelompok menggambarkan perilaku organisasi (Gambar 3).

Sumber : Munandar, 2008.

Gambar 3. Sistem Perilaku Organisasi

2.2 Teori Kelembagaan dan Organisasi

(29)

Tabel 2. Rekonseptualisasi Terminologi Lembaga dan Organisasi Terminologi dalam literatur berbahasa Inggris Terminologi dalam literatur berbahasa Indonesia Terminologi

semestinya Materi didalamnya

1.Institution Kelembagaan, Institusi

Lembaga Norma, nilai, regulasi pemerintah, pengetahuan petani tentang regulasi 2.Institutional Kelembagaan,

Institusi

Kelembagaan Hal-hal berkenaan dengan lembaga

3.Organization Organisasi, Lembaga

Organisasi Contoh: kelompok tani, koperasi, asosiasi petani berdasar komoditas 4.Organizational Keorganisasian,

Kelembagaan

Keorganisasian Hal-hal yang berkenaan dengan organisasi, misalnya perihal kepemimpinan,

keanggotaan, manajemen, dan keuangan organisasi Sumber : Syahyuti, 2010.

2.2.1 Teori Kelembagaan

Studi terhadap lembaga di mulai abad ke-19 dan 20, Max Weber mengemukakan hasil studinya tentang pengaruh birokrasi terhadap perilaku masyarakat. Teori ini berkembang menjadi lebih mikro dan individual melalui pendekatan Teori Perilaku (behavioural theory) dan Teori Pilihan Rasional (rational choice theory). Durkheim menjelaskan bahwa lembaga adalah sistem simbol yang berisi pengetahuan, kepercayaan dan otoritas moral yang menghasilkan keteraturan kolektif yang didasarkan pada tindakan rasional. Weber dan Durkheim sepakat menentukan faktor norma dan pengetahuan sebagai pembentuk perilaku.

2.2.2 Teori Organisasi

(30)

2.2.3 Teori Kelembagaan Baru

Interaksi antara Teori Kelembagaan dan Teori Organisasi melahirkan Teori Kelembagaan Baru (new institutionalism theory). Studi mengenai hal ini mulai berinteraksi semenjak era 1970-an, yaitu tumbuhnya perhatian pada pentingnya bentuk-bentuk keorganisasian (organizational forms) dan lapangan organisasi (organization fields). Beberapa teori yang mempengaruhi munculnya Teori Kelembagaan Baru adalah Teori Birokrasi (Weber), Teori Kelembagaan Kultural (Parsons), Teori Rasionalitas Organisasi (Simmon dan March), Teori Kelembagaan Terhadap Organisasi (Selznick), dan Teori Lingkungan Kelembagaan (Alexander).

(31)

2.3 Organisasi Petani

Pemberdayaan petani dengan pendekatan pengorganisasian secara formal merupakan hal yang umum tidak hanya di Indonesia, namun kurang berhasil dalam pelaksanaannya. Negara menginginkan petani diorganisasikan secara formal. Sebagian besar organisasi petani dibentuk untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol dan kepentingan administratif bagi pelaksana program. Penelitian Pranadjiet al. (2004) mengemukakan bahwa gejala pada saat ini hampir tidak ada organisasi (ekonomi) petani mampu bertahan hidup dan mengembangkan diri dengan baik. Hingga kini organisasi petani yang dibentuk dari atas hampir tidak ada yang mampu bertahan hidup dengan tingkat daya saing tinggi.

2.3.1 Intervensi Negara dan Pasar dalam Organisasi Petani

Negara dan pasar merupakan dua elemen lingkungan pokok yang mempengaruhi berjalannya organisasi petani. Modernisasi sangat mewarnai pendekatan pemerintah dalam pembangunan pertanian. Corak kebijakan pembangunan desa semasa Orde Baru ditandai “kuatnya negara masuk desa” dimana semua desa mengikuti model “desa di Jawa” (Sajogyo, 2002). Melalui Revolusi Hijau, terjadi introduksi teknologi, birokrasi dan pasar. Namun pendekatan yang disebabkan modernisasi tersebut menimbulkan dampak, antara lain : (1) timbulnya pelapisan sosial dan akumulasi penguasaan lahan, (2) hilangnya nilai egaliter dalam masyarakat, (3) hubungan patron-klien melemah digantikan hubungan komersial kalkulasi untung-rugi. Kondisi sosial politik ini memberikan lingkungan yang kurang kondusif untuk berkembangnya organisasi petani yang kuat dan berakar (Syahyuti, 2010).

(32)

menguntungkan, melalui tekanan pasar menginginkan seluruh perilaku petani harus dapat dirasionalisasikan dan dikalkulasikan dalam dimensi untung-rugi.

2.3.2 Organisasi Petani dalam Teori Kelembagaan Baru

Era globalisasi merubah konstelasi paradigma pembangunan pertanian di tingkat dunia. Berbagai konsep yang sedang populer dewasa ini antara lain : pendekatan kemiskinan, ketahanan pangan, pembangunan wilayah, pembangunan berkelanjutan, gender, dan juga pemberdayaan (Syahyuti, 2007). Perubahan lingkungan tersebut mengharuskan Indonesia menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Hal ini nampak dari perubahan pola pembangunan sektor pertanian di Indonesia, semula pendekatan komoditas menjadi pendekatan Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis yang bercirikan pada orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani (Sudaryantoet al., 2005).

Paradigma baru ini ditandai dengan kuatnya intervensi negara terhadap pembangunan organisasi petani, melalui introduksi teknologi, birokrasi dan pasar terhadap pembangunan sektor pertanian. Syahyuti (2010) mengemukakan bahwa dampak dari intervensi tersebut mengakibatkan perubahan pada struktur ekonomi dan politik lokal petani. Petani mengembangkan organisasinya sesuai dengan kondisi dan pemahaman mereka, semisal : mempertimbangkan kebutuhan spesifik komoditas yang mereka usahakan. Teori Kelembagaan Baru seolah menjawab dinamika perubahan paradigma pembangunan pertanian. Pendekatan yang dilakukan dalam teori ini adalah untuk memaparkan kerangka pemikiran bagaimana petani menjalankan usahanya sehari-hari. Petani membangun relasi horizontal (sesama petani) dan relasi vertikal (dengan pemasok saprodi, permodalan, teknologi, dan pedagang hasil pemasaran). Dalam setiap relasi petani memiliki dua pilihan yaitu yang bersifat individual dan bentuk aksi kolektif.

(33)

disebabkan petani telah memiliki berbagai relasi dimana relasi tersebut berada di luar organisasi formal. Petani enggan berorganisasi karena kompensasi yang diterima tidak sebanding dengan peningkatan pendapatan yang mereka peroleh. Perilaku ini sejalan dengan Teori Pilihan Rasional (rational choice theory). Syahyuti (2010) menyimpulkan bahwa pengembangan keorganisasian petani dimasa mendatang setidaknya perlu memperhatikan prinsip-prinsip : (1) organisasi formal untuk petani hanyalah sebuah opsi bukan keharusan, (2) pengembangan organisasi memperhatikan prinsip multi purpose sehingga tidak terikat lagi pada egosubsektor dan keproyekan, (3) organisasi hanyalah alat bukan tujuan, (4) petani dihargai sebagai individual yang rasional dan memahami kondisinya, (5) bentuk organisasi yang ditawarkan ke petani adalah yang mampu memperkuat relasi-relasi vertikal (dengan pemasok saprodi, permodalan, teknologi, pelaku pengolahan, dan pedagang hasil pertanian).

2.4 Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)

(34)

2.4.1 Konsep Pengembangan Gapoktan

Tujuan utama pembentukan gapoktan adalah untuk memperkuat organisasi petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang jelas. Pembentukannya didasari bahwa pertanian modern tidak hanya identik dengan mesin pertanian yang modern tetapi perlu ada organisasi yang dicirikan dengan organisasi ekonomi yang mampu menyentuh dan menggerakkan perekonomian di perdesaan melalui pertanian. Setidaknya ada tiga peran pokok yang diharapkan dapat dimainkan oleh gapoktan. Pertama, gapoktan difungsikan sebagai organisasi strategis yang merangkum seluruh aktivitas organisasi petani di perdesaan. Kedua, gapoktan diharapkan mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bersama. Ketiga, gapoktan bertindak sebagai Organisasi Usaha Ekonomi Perdesaan sehingga dapat menerima Dana Penguatan Modal. Agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan, maka koordinasi untuk menata pelibatan setiap Gapoktan berada dalam koordinasi Dinas Pertanian setempat.

Konsep sistem agribisnis menggambarkan bahwa aktivitas pertanian perdesaan tidak akan keluar dari upaya untuk : menyediakan sarana produksi, permodalan usahatani, pemenuhan tenaga kerja, kegiatan berusaha tani (on farm), pemenuhan informasi teknologi, serta pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Tabel 3 menunjukkan bahwa pada kondisi dilapangan organisasi yang diintroduksikan saat ini sesungguh telah tumpang tindih.

Tabel 3. Matrik Fungsi Agribisnis dan Organisasi yang Menjalankan

No. Fungsi Organisasi Yang Menjalankan

Keltan Gapoktan P3A KUA Kop. UPJA PPD K.Agb Kelcapir

1. Penyediaan

saprotan V V - V V V - -

-2. Penyediaan

modal V V - V V V - -

-3. Penyediaan

air irigasi V - V - - -

-4. Kegiatan

usahatani V V - - - V - -

-5. Pengolahan V V - V V V - -

-6. Pemasaran V V - V V - - -

-7. Penyediaan

infor&tek. V V - - - V V V V

8. Penyediaan

info pasar V V - V V V V V V

(35)

2.5 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis

Pendekatan komoditas yang dilakukan pada masa Orde Baru tidak dapat disangkal memberikan hasil yang menakjubkan, salah satu bukti keberhasilan tersebut dengan tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Ciri pendekatan komoditas adalah pengembangan komoditas secara parsial dan lebih berorientasi pada peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani (Sudaryanto et al, 2005). Kelemahan mendasar sistem pendekatan komoditas (Simatupang, 2004) disebabkan antara lain : (1) tidak memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas, (2) tidak memperhatikan panduan horizontal, vertikal, dan spasial berbagai kegiatan ekonomi, dan (3) kurang memperhatikan aspirasi pendapatan petani. Pendekatan ini seringkali tidak efisien dan keberhasilannya sangat tergantung pada besarnya subsidi dan proteksi pemerintah, serta kurang mampu mendorong peningkatan pendapatan petani.

Persaingan pasar global mengharuskan perekonomian nasional di deregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga, dan proteksi lainnya. Sejak pertengahan 1970-an, para ahli mulai sadar bahwa sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian makro maupun perekonomian global (Simatupang, 2004). Akhirnya kemampuan bersaing bertumpu pada kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien. Partisipasi dan kemampuan wirausaha petani menjadi faktor kunci keberhasilan, serta saling tergantungnya antara usaha ekonomi dan non ekonomi. Seiring dengan itu, orientasi pembangunan pertanian pun akan mengalami perubahan dari orientasi peningkatan produksi menjadi orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

(36)

yang berbeda namun saling berhubungan, yaitu : (1) suatu usaha ekonomi, dan (2) suatu sistem terpadu (Simatupang, 2004).

2.5.1 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis Sebagai Suatu Usaha Ekonomi/ Perusahaan

Sistem ini bercirikan oleh dua hal, yaitu : (1) berorientasi pada pasar; barang/jasa yang dihasilkan dijual melalui pasar dan sebagian atau seluruhnya sarana produksi yang dibutuhkan dibeli dari pasar, (2) bersifat rasional; bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya. Setidaknya ada dua pengertian mengenai konsep ini, yaitu : Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis tidak membedakan skala usaha, asalkan merupakan usaha ekonomi yang mengusahakan sarana dan produk pertanian, dan usaha produksi pertanian merupakan komponen utama dari sistem ini.

2.5.2 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis Sebagai Suatu Sistem Terpadu

Merupakan satu kesatuan jaringan yang tidak terpisahkan antara empat komponen, yaitu (1) jaringan perusahaan, (2) konsumen, (3) kebijakan dan perekonomian makro, dan (4) lembaga penunjang. Hal ini mengambarkan bahwa sebagai suatu sistem terpadu Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis lebih luas dari cakupan Sistem Perusahaan. Jaringan perusahaan Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis meliputi segala perusahaan yang berkaitan dengan komoditas pertanian. Jaringan ini terbagi menjadi tiga dimensi, yaitu : vertikal, horizontal, dan spasial.

(37)
[image:37.595.112.513.81.515.2]

Gambar 4. Dimensi Vertikal pada Jaringan Perusahaan

(38)
[image:38.595.111.491.71.472.2]

Gambar 5. Dimensi Horizontal pada Jaringan Perusahaan

2. Dimensi spasial berkaitan dengan lokasi atau regional dari Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis dengan berbagai hal, seperti : luas dan kebutuhan lahan, konsentrasi konsumen, dan ketersediaan sarana dan prasarana produksi. Oleh kerana itu Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis biasanya khas untuk suatu kawasan.

2.6 Definisi, Tujuan dan Jenis Pelatihan 2.6.1 Definisi Pelatihan

(39)

pengetahuan dan keterampilan teknis dalam tujuan terbatas. Dessler (2009) mendefinisikan pelatihan sebagai proses mengajarkan karyawan baru atau yang ada sekarang, keterampilan dasar yang mereka butuhkan untuk menjalankan pekerjaan mereka. Menurut Mathis et al. (2006) pelatihan adalah suatu proses dimana orang orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, proses ini terikat dengan berbagai tujuan organisasi, pelatihan dapat dipandang secara sempit maupun luas. Secara terbatas, pelatihan menyediakan para pegawai dengan pengetahuan yang spesifik dan dapat diketahui serta keterampilan yang digunakan dalam pekerjaan mereka saat ini. Terkadang ada batasan yang ditarik antara pelatihan dengan pengembangan, dengan pengembangan yang bersifat lebih luas dalam cakupan serta memfokuskan pada individu untuk mencapai kemampuan baru yang berguna baik bagi pekerjaannya saat ini maupun di masa mendatang.

Simanjuntak (2005) mendefinisikan pelatihan merupakan bagian dari investasi sumberdaya manusia (human investment) untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan kerja, dan dengan demikian meningkatkan kinerja pegawai. Pelatihan biasanya dilakukan dengan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan jabatan, diberikan dalam waktu yang relatif pendek, untuk membekali seseorang dengan keterampilan kerja. Pelatihan didefinisikan oleh Ivancevich (2008) sebagai usaha untuk meningkatkan kinerja pegawai dalam pekerjaannya sekarang atau dalam pekerjaan lain yang akan dijabatnya segera. Selanjutnya, sehubungan dengan definisinya tersebut, Ivancevich mengemukakan sejumlah butir penting yang diuraikan sebagai berikut : (1) pelatihan adalah sebuah proses sistematis untuk mengubah perilaku kerja seorang/sekelompok pegawai dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi, (2) pelatihan terkait dengan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk pekerjaan yang sekarang dilakukan, (3) pelatihan berorientasi ke masa sekarang dan membantu pegawai untuk menguasai keterampilan dan kemampuan (kompetensi) yang spesifik untuk berhasil dalam pekerjaannya.

(40)

untuk membekali pekerja ketrampilan sesuai yang dibutuhkan yang dilakukan dalam jangka pendek.

2.6.2 Tujuan Pelatihan

Tujuan umum pelatihan sebagai berikut : (1) untuk mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif, (2) untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional, dan (3) untuk mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman pegawai dan dengan manajemen (pimpinan).

Secara umum ada tiga tahap pada pelatihan yaitu tahap penilaian kebutuhan, tahap pelaksanaan pelatihan dan tahap evaluasi. Mangkunegara (2005) menjelaskan bahwa tahapan-tahapan dalam pelatihan dan pengembangan meliputi (1) mengidentifikasi kebutuhan pelatihan (needs assessment), (2) menetapkan tujuan dan sasaran pelatihan, (3) menetapkan kriteria keberhasilan dengan alat ukurnya, (4) menetapkan metode pelatihan, (5) mengadakan percobaan (try out) dan revisi, dan (6) mengimplementasikan dan mengevaluasi.

2.6.3 Jenis-Jenis Pelatihan

Menurut Mathis dan Jackson (2006) pelatihan dapat dirancang untuk memenuhi tujuan berbeda dan dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai cara, yang meliputi :

1. Pelatihan yang dibutuhkan dan rutin, dilakukan untuk memenuhi berbagai syarat hukum yang diharuskan dan berlaku sebagai pelatihan untuk semua karyawan (orientasi karyawan baru).

2. Pelatihan pekerjaan/teknis, memungkinkan para karyawan untuk melakukan pekerjaan, tugas dan tanggung jawab mereka dengan baik.

(41)

4. Pelatihan perkembangan dan inovatif, menyediakan fokus jangka panjang untuk meningkatkan kapabilitas individual dan organisasional untuk masa depan.

2.7 Analisis Kebutuhan Pelatihan (Traning Needs Assessment)

Secara umum analisis kebutuhan pelatihan didefinisikan sebagai suatu proses pengumpulan dan analisis data dalam rangka mengidentifikasi bidang-bidang atau faktor-faktor apa saja yang ada di dalam perusahaan yang perlu ditingkatkan atau diperbaiki agar kinerja pegawai dan produktivitas perusahaan menjadi meningkat. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh data akurat tentang apakah ada kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan. Mengingat bahwa pelatihan pada dasarnya diselenggarakan sebagai sarana untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi gap antara kinerja yang ada saat ini dengan kinerja standar melalui suatu pelatihan. Jika ditelaah secara lebih lanjut, maka analisis kebutuhan pelatihan memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah: 1. Memastikan bahwa pelatihan memang merupakan salah satu solusi untuk

memperbaiki atau meningkatkan kinerja pegawai dan produktivitas perusahaan 2. Memastikan bahwa para partisipan yang mengikuti pelatihan benar-benar

orang-orang yang tepat

3. Memastikan bahwa pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan selama pelatihan benar-benar sesuai dengan elemen-elemen kerja yang dituntut dalam suatu jabatan tertentu

4. Mengidentifikasi bahwa jenis pelatihan dan metode yang dipilih sesuai dengan tema atau materi pelatihan

5. Memastikan bahwa penurunan kinerja atau pun masalah yang ada adalah disebabkan karena kurangnya pengetahuan, ketrampilan dan sikap-sikap kerja; bukan oleh alasan-alasan lain yang tidak bisa diselesaikan melalui pelatihan 6. Memperhitungkan untung-ruginya melaksanakan pelatihan mengingat bahwa

(42)

Gap yang akan dianalisis dalam kebutuhan pelatihan berkaitan dengan manusia (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap) dan organisasi, maka analisis kebutuhan pelatihan seyogyanya mencakup kedua area tersebut.

Cascio 1992; Schuler 1993; Erasmus et al. 2000; Miller 2002; Bernardin 2003; MDF 2005; dan Wulandari 2005) sependapat bahwa untuk menentukan kebutuhan pelatihan yang objektif dan sistematis harus melakukan tahapan analisis terhadap tiga aspek utama, yaitu : organisasi, operasi/jabatan, dan individu. Pertama, analisis organisasi. Analisis ini memfokuskan pada kebutuhan strategi perusahaan dalam merespon dinamika bisnis masa depan. Kebutuhan strategi perusahaan dirumuskan dengan mengacu pada dua elemen pokok yaitu strategi perusahaan dan nilai perusahaan. Kedua elemen tersebut merupakan faktor kunci efektifitas dan keberhasilan bagi organisasi dalam proses pencapaian tujuannya. Indikator dalam kedua elemen tersebut dipergunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang masih mengalami kekurangan paling besar, dan karenanya perlu diprioritaskan melalui penilaian kebutuhan pelatihan. Indikator-indikator dimaksud antara lain : perencanaan, komunikasi, kerjasama, pelayanan prima, pembelajaran, kepemimpinan, dan pengembangan.

Kedua, analisis operasi/jabatan. Analisis ini memfokuskan pada profil kompetensi yang dipersyaratkan untuk setiap jabatan. Identifikasi profil kebutuhan kompetensi jabatan bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pilihan modul pelatihan yang relevan dengan kebutuhan kompetensi jabatan. Alur proses identifikasi kompetensi jabatan dimulai dengan klarifikasi terhadap strategi dan nilai organisasi, kemudian dilakukan analisis terhadap peraturan dan alur kerja organisasi melalui pengumpulan dengan metode wawancara dan diskusi kelompok dan studi pengendalian mutu. Outputnya berupa penyempurnaan dalam bentuk validasi, perbaikan, dan implementasi.

(43)

dicapai akan diisi dengan pelatihan.

Dari tahap-tahap analisis tersebut dapat dikatakan bahwa analisis organisasi merupakan dasar untuk melakukan analisis operasi, dan analisis operasi sebagai dasar analisis individu. Ketiga analisis kebutuhan pelatihan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Kerugian yang diperoleh jika program pelatihan tidak terkoordinasi dengan tujuan dan sasaran organisasi adalah waktu dan biaya banyak dikeluarkan tanpa menghasilkan peningkatan kinerja.

2.8 MetodeTraining Needs Assessment Tool

Metode TNA-T adalah salah satu tipe analisis individu digunakan untuk menganalisisgapKKJ dengan KKP. JikagapKKJ dengan KKP disebabkan oleh rendahnya pengetahuan, ketrampilan dan sikap, maka solusinya adalah dengan pelatihan. Akan tetapi jika bukan gap bukan disebabkan oleh faktor tersebut, maka solusinya bukan pelatihan tetapi dengan solusi lain sesuai dengan faktor-faktor penyebabnya. Selisih antara KKJ dan KKP merupakan kekurangan kemampuan yang perlu dilatih.

2.9 Penelitian Terdahulu

Tabel 4 adalah rangkuman dari beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan referensi dalam penelitian ini sebagai informasi agar penelitian yang dilakukan tidak tumpang tindih ataupun melakukan pengulangan penelitian terhadap obyek yang sama.

Tabel 4. Penelitian Terdahulu tentang Analisis Kebutuhan Pelatihan Peneliti Tahun Lokasi Penelitian Metode

Penelitian Hasil Kajian

Puspita 2004 Bank BNI Divisi

Syariah TNA-T

Pelatihan berbasis kompetensi membantu pegawai mengetahui apa yang belum diketahui dan pekerjaan apa yang belum dikerjakan

Alimin 2004 Petani di Kec.Sukanegara Kab.Cianjur Uji Korelasi Peringkat Spearman

Semakin tinggi taraf faktor internal pada petani sayur-sayuran, semakin tinggi kompetansi aktual dan semakin rendahgapkompetensi petani sehingga kebuthan pelatihan petani rendah. Semakin tinggi faktor eskternal semakin tinggi kompetensi aktual semakin rendah gap gap kompetensi petani sehingga kebutuhan pelatihan petani rendah

Taslaangreini 2004 PT. Bank Riau TNA-T

(44)
(45)

3.1 Kerangka Pemikiran

Pelatihan adalah salah satu strategi manajemen yang paling penting dalam pencapaian tujuan organisasi melalui peningkatan keterampilan organisasi berupa

upgradesumberdaya manusia guna mengatasi gap dalam kinerja. Pelatihan dapat membawa kembali investasi sebuah organisasi yang nilainya lebih berharga daripada biaya pelatihan itu sendiri. Penilaian kebutuhan pelatihan adalah suatu proses mengidentifikasi persyaratan kinerja dan gap antara kinerja yang diperlukan dan kinerja yang terjadi. Ada tiga aspek yang harus analisis sebelum melakukan penilaian kebutuhan pelatihan (Cascio,1992; Schuler,1993; Erasmuset al.,2000; Miller,2002; Bernardin, 2003; MDF, 2005; dan Wulandari, 2005). Aspek-aspek dimaksud adalah : organisasi, operasi/jabatan, dan individu.

Analisis individu memfokuskan padagap antara tingkatan kompetensi yang dipersyaratkan dengan tingkatan kompetensi aktual individu. Kinerja standar yang telah ditetapkan pada tingkat operasi merupakan kinerja yang ingin dicapai. Sedangkan informasi mengenai kinerja aktual individu dapat diperoleh dari data kinerja individu, penilaian supervisor, attitude survey, wawancara, dan sebagainya. Gap antara kinerja aktual dan kinerja yang ingin dicapai akan diisi dengan pelatihan. McCann dan Tashima (1990) dalam penelitiannya menegaskan bahwa jikagapkinerja disebabkan oleh rendahnya pengetahuan, keterampilan dan sikap, maka solusinya adalah dengan pelatihan. Tetapi bila bukan disebabkan oleh faktor tersebut, maka solusinya bukan pelatihan tetapi dengan solusi lain sesuai dengan faktor-faktor penyebabnya.

(46)
[image:46.595.100.423.63.758.2]
(47)
[image:47.595.105.551.87.751.2]
(48)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian bertempat di KDT Cinyurup, Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang Tanjung, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian dilakukan dalam kurun waktu 4 bulan (Maret s/d Juni 2012).

3.3 Populasi, Sampel Data, dan Pengumpulan Data Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah petani Gapoktan Juhut Mandiri yang beranggotakan sebanyak 180 orang (Kemristek, 2011).

3.3.2 Sampel Data Penelitian

Penentuan jumlah sampel data penelitian menggunakan metode Yamane. Hasil dari perhitungan jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 64 petani (Tabel 5).

Rumus berdasarkan metode Yamane yaitu :

……… (1) dimana :

n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi

d = Presisi yang ditetapkan (10%)

Tabel 5. Jumlah Populasi dan Petani Penelitian

No. Uraian Jumlah Populasi Petani

1. Ketua Gapoktan 1 1

2. Ketua Kelompok Tani 7 2

3. Anggota Kelompok Tani Gapoktan 172 61

Jumlah 180 64

Tahapan dalam metode penarikan sampel penelitian adalah sebagai berikut : 1. Penentuan desa sampel dilakukan dengan teknik pertimbangan (purposive

(49)

komposit sumatera, domba komposit garut, barbados cross, dan domba st.croix yang merupakan hasil sinergitas introduksi inovasi teknologi dari Balai Penelitian Ternak (Balitnak), Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten, dan Badan Ketahanan Pangan Provinsi Banten, (c) Pengembangan KDT Cinyurup merupakan hasil sinergisitas mulai dari 14 Satuan Kerja Perangkat Daerah (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, LSM), (d) KDT Cinyurup berwujud menjadi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang dilaksanakan stakeholder di daerah dengan pola klaster yang terintegrasi dari hulu ke hilir, pengembangannya tidak hanya sebatas ternak domba saja tetapi telah menjadi agrobisnis.

2. Pemilihan kelompok tani dan gabungan kelompok tani dilakukan dengan teknik pertimbangan (purposive sampling). Kelompok tani yang dipilih adalah 9 (sembilan) kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan Juhut Mandiri yang melaksanakan program KDT.

3. Pemilihan petani dilakukan dengan teknik pertimbangan dan berstrata tetap dimana sebagian ada yang kurang proporsional (disproportianate stratifed random sampling).

3.3.3 Pengumpulan Data Penelitian

Metode pengumpulan data penelitian melalui wawancara danFGD. Metode wawancara menggunakan instrumen kuesioner yang ditujukan kepada ketua gapoktan, ketua kelompok tani anggota gapoktan, petani anggota gapoktan, penyuluh, peneliti, dan pihak dari instansi terkait. Wawancara dilakukan untuk mengetahui KKJ dan KKP, karateristik petani, dan karateristik gapoktan. Studi kepustakaan diperoleh dengan cara membaca, mempelajari, dan mengutip pendapat dan teori-teori dari berbagai sumber yang berkaitan dengan penelitian .

3.4 Instrumen Penelitian

(50)

kisi-kisi penelitian yang berisikan variabel, sub variabel, dan indikatornya dalam pembentukan kuesioner penelitian (Tabel 6).

Tabel 6. Instrumen Penelitian

3.4.1 Uji Validitas Instrumen

Uji validitas bertujuan untuk menguji ketepatan isi guna mengoptimalkan kuesioner dari segi isi (content), kriteria yang berhubungan (criterition related), dan konstruk (construct). Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 18 petani. Uji validitas menggunakan rumus korelasiproduct moment, sebagai berikut :

(51)

Kelayakan item validitas (corrected item total correlation) menggunakan ukuran : jika X < 0,30 dianggap tidak valid, dan jika X > 0,30 dianggap valid (Azwar, 1999). Hasil uji validitas untuk bidang manajemen (gapoktan), menunjukkan bahwa semua item pertanyaan valid, tidak ada angka yang dibawah 0,30. Nilai terendah adalah 0,330 dan tertinggi adalah 0,737. Hasil uji validitas untuk bidang teknis (petani), menunjukkan bahwa semua item pertanyaan valid, tidak ada angka yang dibawah 0,30. Nilai terendah adalah 0,373 dan tertinggi adalah 0,884.

3.4.2 Uji Reliabilitas Instrumen

Hasil dari validitas akan di uji realibilitasnya (konsistensinya) dengan menggunakan rumusSpearman Brown

……… (3) Keterangan :

R 11 : Nilai reliabilitas

R b : Nilai koefisien korelasi

Kelayakan item reliabilitas menggunakan ukuran : jika X ≥ 0,70 dianggap reliabel (Nunnaly, 1978).

Tabel 7. Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian

No. Reliability Statistics Cronbach’s Alpha N of Items

1. Bidang Manajemen (Gapoktan) ,919 22

2. Bidang Teknis (Petani) ,918 14

Merujuk pada Tabel 7 Cronbach’s Alpha itembidang manajemen (gapoktan) dan teknis (petani) mempunyai nilai di atas 0,80 yang berarti memenuhi nilai baik untuk uji reliabilitasnya.

3.5 Analisis Data

3.5.1 MetodeTraining Needs Assessment Tool

Metode TNA-T digunakan untuk menganalisis gap KKJ dengan KKP. Langkah-langkah dalam menggunakan Metode TNA-T adalah sebagai berikut : 1. Menentukan lingkup kerja analisa kebutuhan pelatihan

(52)

2. Menyusun uraian tugas

Menetapkan variabel analisis lalu membuat uraian tugas setiap karyawan berdasarkan kebutuhan organisasi sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam organisasi.

3. Menyusun instrumen untuk mengukur kemampuan kerja

Instrumen yang digunakan untuk menilai KKJ dan KKP adalah kuesioner yang berisikan penilaian variabel analisis (Tabel 6).

4. Melaksanakan pengukuran peringkat kerja

Tabel 8 menggambarkan mengenai pengukuran kinerja dilakukan dengan membuat peringkat KKJ dan KKP, menggunakan skala kisaran nilai dari 1-9 yang dibagi menjadi tiga peringkat.

Tabel 8. Skala Likert Kemampuan Kerja Jabatan dan Kemampuan Kerja Pribadi

No. Skala Peringkat

1. 1 – 3 Kurang

2. 4 – 6 Cukup

3. 7 – 9 Baik

Sumber: Mc.Cann dan Tashima, 1990.

5. Mengolah dan manafsirkan data hasil pengukuran

Mengolah dan menafsirkan data pengukuran gap KKP dengan KKJ karyawan yang disusun ke dalam diagram kebutuhan pelatihan, yaitu gambar titik potong antara garis KKJ berada pada garis datar (sumbu x) sedangkan KKP berada pada garis tegak (sumbu Y). Langkah-langkah dalam mengolah dan menafsirkan pengukuran adalah sebagai berikut :

a. Menghitung KKJ

KKJ = ∑ ini ……….(4)

N dimana :

i = Nilai skala

ni = Jumlah petani yang menilai skala i

N = Jumlah petani seluruhnya b. Menghitung KKP

KKP = ∑ ini ………(5)

N dimana :

i = Nilai skala

ni = Jumlah petani yang menilai skala i

(53)

c. Menentukan kebutuhan pelatihan

Penentuan kebutuhan pelatihan ditentukan dengan menghitung selisih antara KKJ dan KKP, jika : KKJ – KKP > 1 maka diperlukan pelatihan.

d. Menetapkan peringkat kebutuhan pelatihan

Penetapan kebutuhan pelatihan menggunakan Diagram Peringkat Kebutuhan Pelatihan yang ditentukan berdasarkan lokasi titik potong antara nilai KKJ dengan nilai KKP.

No. Lokasi Kondisi Usulan Pelatihan

[image:53.595.95.500.203.753.2]

1. Daerah A KKJ jauh dibawah KKP Sangat mendesak 2. Daerah B KKJ dan KKP tidak jauh berbeda Mendesak 3. Daerah C KKJ dan KKP seimbang Tidak mendesak 4. Daerah D KKP menyamai atau melebihi KKJ Pengembangan

Gambar 8. Diagram Peringkat Kebutuhan Pelatihan

(54)
[image:54.595.65.473.83.618.2]

Tabel 9. Matrik Interpretasi Diagram Peringkat Kebutuhan Pelatihan

3.5.2 Analisis Deskriptif

Analisis yang dilakukan menggunakan Crosstab Analysis yang menampilkan tabulasi silang atau tabel kontingensi untuk mengidentifikasi dan mengetahui apakah ada korelasi atau hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain dengan menggunakan beberapa metode ujichi-squre testuntuk mengetahui hubungan antara baris dan kolom. Analisis ini dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 20. Kemudian dilakukan analisis regresi berganda yang berfungsi untuk meramalkan nilai pengaruh dua variabel bebas atau lebih terikat untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan fungsi atau hubungan kausal antara dua variabel bebas atau lebih dengan satu variabel terikat. Rumus regresi berganda adalah :

Ŷ = a + b1X1+ b2X2….bnXn ……….(6)

a = konstanta

b1, b2, bn = koefisien tiap-tiap variabel

Hubungan korelasinya disimpulkan dengan kondisi : Nyata : rsh ≤ rst pada α = 0,05

Sangat nyata : rsh ≤ rst pada α = 0,01

Tidak nyata : rsh > rst pada α = 0,05

(55)

4.1 Demografi Objek Penelitian

Lokasi KDT Cinyurup berada di lereng gunung karang dengan kemiringan minimum 30% . Luas wilayah Kelurahan Juhut 402,86 ha dan terbagi dalam 6 RW/28 RT dan 1.383 KK dengan jumlah penduduk 6.191 jiwa (laki-laki 3.721 orang dan perempuan 2.470 orang). Pemanfaatan wilayah terdiri dari lahan sawah (60 ha), ladang/kebun campuran (264,4 ha), pemukiman dan pekarangan (75 ha) dan lainnya (3,46 ha). Daerah ini memiiki evalasi 200-700 m dpl, curah hujan 2.000 mm/tahun, suhu udara 25-35 oC dan bertopografi miring/berlereng (Kardiyantoet al., 2011).

Kampung Cinyurup memiliki vegetasi rumput, tanaman palawija, sayuran, semak, tanaman tahunan, dan hijauan pakan ternak yang melimpah serta mampu menampung + 4.000 domba dewasa. Komoditas pertanian andalannya adalah tanaman perkebunan (cengkeh, kopi, melinjo, alpukat, kelapa) dan usahatani sayuran (wortel, bawang daun, leunca, labu siam, tomat, cabe rawit, sawi/caisin, buncis, kangkung, bayam). Di lokasi ini juga tumbuh tanaman liar, penduduk setempat menyebutnya dengan nama Talas Beneng (besar dan koneng) yang beratnya bisa mencapai 30 kg/pohon dan telah dimanfaatkan sebagai bahan olahan makanan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa setidaknya 80% plasma nutfah tanaman terong-terongan di Indonesia berada di lokasi ini.

4.2 Penetapan Kampung Domba Terpadu

(56)

Pandeglang), Sekretaris (Dinas Peternakan Kabupaten Pandeglang), Tim Ahli (Balitnak Bogor; BPTP Banten), Pembina (Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi), Anggota (Perum Perhutani; Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten, Kepala Desa/Kelurahan, PPL, Ketua Kelompok Ternak). Sejak tahun 2009, SKPD Pusat/Provinsi dan Kabupaten memiliki peran/kontribusi dalam Program KDT, seperti tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10. Peran/Kontribusi Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam Program Kampung Domba Terpadu

No. Organisasi/Kelembagaan Peran

1 Distanak Provinsi Banten Bantuan ternak

2 BP3KH Bantuan ternak

3 Disnak Kabupaten Pandeglang Bantuan ternak dan pendampingan teknis

4 Perhutani Lahan penanaman HMT

5 Distanbun Kabupaten Pandeglang Bantuan ternak dan penanaman HMT

6 Balitnak Tenaga ahli, teknologi peternakan dan

Pelatihan

7 BPTP Banten Pengawalan dan pendampingan

teknologi, pelatihan, pembinaan, demplot HMT

8 LSM Kopling Penguatan kelembagaan

9 Penyuluh Pendampingan teknis dan kelembagaan

10 Peternakan Menyediakan tenaga dan sebagian

kebutuhan pembuatan kandang Sumber : Kardiyantoet al., 2011

4.3 Rancangan Usaha di Kampung Domba Terpadu

Kebiasaan masyarakat yang bercocok tanam di wilayah kehutanan dengan membuka lahan baru, memberikan kontribusi terhadap penggundulan hutan lindung. Model “KDT” dirancang dalam suatu kawasan desa dan dikembangkan melalui model usaha ternak domba dengan pola usaha agribisnis. Target usaha yang hendak dicapai meliputi aspek hulu sampai dengan hilir. Dalam jangka panjang sifat usahanya akan diarahkan sebagai “cabang usaha” bahkan dapat menjadi “usaha pokok” dengan target 50-70 persen total pendapatan petani di perdesaan berasal dari usaha ternak domba.

(57)

kawasan penyangga hutan dan lingkungan (forest and environment bufferzone area). Keberadaan zona penyangga ini diharapkan menjadi benteng pencegah masyarakat untuk memasuki kawasan hutan lindung dan merusak hutan dengan menebang kayu dan mengambil hasil hutan lainnya tanpa terkontrol.

Upaya pengalihan prioritas usaha petani dari menanam sayuran di kawasan hutan ke usahatani ternak terpadu sebagai upaya peningkatan pendapatan petani. Kampung Cinyurup memiliki dukungan sumberdaya alam yang sangat menunjang bagi pengembangan ternak domba terutama dalam penyediaan pakan ternak. Terdapat sedikitnya 30 jenis hijauan pakan ternak (jenis rumput dan dedaunan) dan hamparan padang hijauan yang luas di lahan kehutanan.

4.4 Upaya Menjadikan Sumber Pendapatan Bulanan Petani

Dasar perhitungan teknis untuk menentukan besaran ekonomi usahaternak domba adalah Laju Reproduksi Induk (LRI). LRI adalah jumlah anak yang hidup sampai disapih per induk per tahun. LRI adalah gambaran kemampuan induk merawat anaknya sampai usia sapih. Semakin besar nilai LRI, semakin tinggi kinerja produksi usahaternak dan semakin besar tingkat keuntungannya. Berdasarkan hasil kajian di Desa Nagrak dan Cisaat Kabupaten Sukabumi (Suradisastra et al., 2011), jumlah dan komposisi ternak yang dipelihara untuk memenuhi nilai LRI antara 2,33 ekor dan 2,63 ekor per petani kooperator. Dimana setiap petani kooperator memelihara 6 ekor induk domba dan 1 ekor pejantan.

Pola pengembangan KDT Cinyurup adalah setiap petani kooperator yang menerima 1 ekor betina berkewajiban mengembalikan 2 ekor domba dewasa, jika menerima 1 ekor pejantan berkewajiban mengembalikan 1 ekor domba dewasa dalam kurun waktu 3 tahun dan setelah itu domba bantuan menjadi milik petani kooperator. Target skala usahanya adalah setiap petani kooperator memelihara 8 ekor induk betina dan 1 ekor jantan sebagai pemacek. Dengan pertimbangan, LRI jumlah anak yang dilahirkan per induk per tahun adalah 2 ekor, maka dengan 8 ekor induk per tahun dapat menghasilkan 16 ekor; apabila jarak beranak (lambing interval) dicapai 8 bulan (3 bulan masa kosong dan 5 bulan bunting), maka diperoleh anak sebanyak 16 ekor per tahun. Apabila target lambing interval

(58)

bulan peternak mampu menjual 1 ekor anak kambing dengan kisaran harga Rp 500.000 – Rp 700.000 per ekor. Maka target pendapatan 50% UMR Provinsi Banten (Rp. 490.000) dapat dipenuhi.

Tabel 11. Perkembangan Pengelolaan Ternak Domba Gapoktan

4.5 Struktur Organisasi Gapoktan Juhut Mandiri

(59)
[image:59.595.107.509.75.791.2]

Tabel 12. Monografi Gapoktan Juhut Mandiri, per Juni 2012.

[image:59.595.112.509.98.320.2]

Gapoktan Juhut Mandiri terdiri dari 11 keanggotaan kelompok tani, dimana 2 Kelompok Tani Noval Mandiri dan Suka Mandiri adalah kelompok tani yang sudah lama berdiri namun baru bergabung ke Gapoktan Juhut Mandiri dalam beberapa bulan terakhir. Komoditas usahanya integrasi ternak domba dan sayuran, domba dan tanaman duren, serta olahan talas beneng. Keragaan mengenai monografi gapoktan tersaji pada Tabel 12.

(60)

Sebagai organisasi, gapoktan Juhut Mandiri memiliki struktur organisasi dengan kelengkapan seperti; Rapat Anggota Tahunan (RAT), pengawas, pengurus, dan anggota. Agar organisasi berjalan dengan baik, maka masing-masing kelengkapan organisasi harus memiliki tugas dan tanggungjawab yang diatur secara jelas, dipahami dan dilaksanakan secara konsekwen. Pada umumnya masing-masing kelengkapan organisasi gapoktan masih kurang memahami tugas dan tanggungjawabnya, sehingga organisasi belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu pemahaman tentang organisasi dan kelengkapan gapoktan sangat diperlukan.

Rapat Anggota Tahunan

Rapat/pertemuan ini merupakan permusyawaratan tertinggi dalam rangka pertanggungjawaban pengurus dan pengawas kepada anggota yang dilaksanakan setiap akhir tahun.

Tugas Pengawas Gabungan Kelompok

1. Memberikan saran dan nasehat kepada pengurus gapoktan, baik diminta maupun tidak diminta dalam rangka meningkatkan kinerja pengurus gapoktan. 2. Melakukan pemeriksaan secara priodik terhadap seluruh kegiatan keuangan

maupun non keuangan pada gapoktan.

3. Memberikan saran perbaikan terhadap temuan-temuan yang kurang benar. 4. Membuat laporan hasil pengawasan dan menyampaikannya pada rapat anggota

tahunan.

Tugas Ketua Gabungan Kelompok

1. Mengkoordinasikan, mengorganisasikan seluruh kegiatan gapoktan.

2. Memimpin rapat pengurus, rapat pengurus dengan perwakilan kelompok dan rapat anggota tahunan.

3. Menandatangani surat menyurat.

4. Mewakili gapoktan dalam pertemuan dengan pihak lain. 5. Memimpin pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen gapoktan.

Tugas Wakil Ketua Gabungan Kelompok

(61)

Tugas Sekretaris Gabungan Kelompok

1. Bertanggungjawab terhadap pelaksanaan administrasi kegiatan non keuangan gapoktan.

2. Menyelenggarakan surat-menyurat dan pengarsipannya.

3. Menyusun laporan bulanan dan laporan tahunan kegiatan non keuangan gapoktan.

Tugas Bendahara Gabungan Kelompok

1. Bertanggungjawab menangani seluruh kegiatan administrasi keuangan gapoktan.

2. Menerima pembayaran, atas nama gapoktan dan menyimpannya dengan baik. 3. Melakukan pembayaran atas persetujuan Ketua Gapoktan

4. Menyimpan dan memelihara arsip transaksi keuangan. 5. Menyusun laporan keuangan bulanan dan tahunan gapoktan.

Tugas Seksi Pelayanan Gabungan Kelompok

1. Bertanggungjawab melayani dan memfasilitasi kepentingan anggota gapoktan, sesuai dengan jenis pelayanannya.

2. Menyelenggarakan fungsi-fungsi manajemen sesuai dengan bidang pelayanan yang ditangani.

(62)
(63)

5.1 Analisis Deskripti

Gambar

Gambar 4. Dimensi Vertikal pada Jaringan Perusahaan
Gambar 5. Dimensi Horizontal pada Jaringan Perusahaan
Gambar 6. Kerangka Konseptual Analisis Kebutuhan Pelatihan
Gambar 7. Kerangka Operasional Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa variabel faktor internal yakni umur dimana rata rata 47 tahun, tingkat pendidikan yang hanya tamat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, dan luas lahan