• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBUTUHAN PELATIHAN GABUNGAN KELOMPOK TANI DI KAMPUNG DOMBA TERPADU CINYURUP BANTEN DIDU WAHYUDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KEBUTUHAN PELATIHAN GABUNGAN KELOMPOK TANI DI KAMPUNG DOMBA TERPADU CINYURUP BANTEN DIDU WAHYUDI"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

DI KAMPUNG DOMBA TERPADU CINYURUP BANTEN

DIDU WAHYUDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebutuhan Pelatihan Gabungan Kelompok Tani di Kampung Domba Terpadu Cinyurup Banten adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dari bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

Didu Wahyudi

(3)

DI KAMPUNG DOMBA TERPADU CINYURUP BANTEN

ABSTRACT

DIDU WAHYUDI. Training Needs Analysis Farmers Group Combined in Integrated Village Sheep Cinyurup Banten. Under direction of M.SYAMSUL MA’ARIF and ANGGRAINI SUKMAWATI.

Habits of the people who cultivate crops in forest areas by opening new land, contribute to the deforestation of protected forests. Integrated Village Sheep (IVS) is one of the strategies to implement community empowerment through strengthening farmer organizations with an integrated agribusiness pattern between lamb and vegetable business. Farmers do not have the actual competence adequately for their optimal roles. Training needed to reduce the performance gap indicated at this time. The aims of this study were to analyze training needs of the farmer group combined in integrated village sheep Cinyurup Banten. The study population is farmers who are members of the Joint breeders Farmers Juhut Mandiri Cinyurup Banten. Training Needs Analysis was done by individuals’ analysis approach through gap analyzed between the Position Work Ability (PtWA) and Personal Work Ability (PnWA). The data collected by questionnaire, focus group discussion (FGD), and direct interview. The data then was analyzed by using method of Training Needs Assessment Tools (TNA-T). The results showed that the training needs in the field of management (organization), correlated very significantly with factors of gender (ρ = 0.002), frequency of group meetings (ρ = 0.004), understanding purpose of the meeting (ρ = 0.003), and benefits achieved from the group meetings (ρ = 0.003). In the technical area (the ability of farmers), training needs correlated very significantly with lack of understanding of the material presented in the meeting of the group (ρ = 0.019). Based o FGD, development of productivity of rancher was supported by KDT institution, i.e.: leadership, asset self collectiveness, local roles, and integrity organization.

(4)

Kampung Domba Terpadu Cinyurup Banten. Dibimbing oleh M. SYAMSUL MA’ARIF dan ANGGRAINI SUKMAWATI.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi kehidupan petani sayuran yang kegiatan usahataninya merambah ke lahan hutan lindung Kampung Cinyurup, Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang Tanjung, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten yang selain tingkat pendidikannya masih rendah, juga tidak memiliki mata pencaharian tetap (mencari kayu bakar). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kebutuhan pelatihan petani peternak dalam mengadopsi program

solving problem yang dikemudian dikenal dengan nama program Kampung

Domba Terpadu. Program ini dibentuk sebagai Buffer Zone (kawasan penyangga) yang dapat menyediakan ketersediaan rumput lapangan dan leguminosa sepanjang tahun dengan kualitas yang baik. Pola pikir yang dikembangkan adalah melakukan pemberdayaan masyarakat melalui penguatan organisasi petani (gapoktan) dengan pola usaha agribisnis terpadu antara usahaternak domba dan sayuran.

Metode untuk menentukan kebutuhan pelatihan gapoktan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis individu dengan metode Training Needs Assessment

Tools (TNA-T) yaitu menganalisis gap Kemampuan Kerja Jabatan (KKJ) dengan

Kemampuan Kerja Pribadi (KKP). Jika gap KKJ dengan KKP disebabkan oleh rendahnya pengetahuan, ketrampilan dan sikap, maka solusinya adalah dengan pelatihan. Akan tetapi jika bukan gap bukan disebabkan oleh faktor tersebut, maka solusinya bukan pelatihan tetapi dengan solusi lain sesuai dengan faktor-faktor penyebabnya. Selisih antara KKJ dan KKP merupakan kekurangan kemampuan yang perlu dilatih. Penetapan kebutuhan pelatihan ditentukan berdasarkan lokasi titik potong antara nilai KKJ dan KKP dengan menggunakan Diagram Peringkat Kebutuhan Pelatihan. Kemudian untuk memahaminya diinterpretasikan melalui suatu matrik interpretasi. Sehingga refleksi mengenai kondisi pekerjaan dan kompensi diketahui. Hubungan faktor karateristik petani peternak yang dominan (ρ < 0,05) terhadap kebutuhan pelatihan dianalisis dengan menggunakan crosstab analysis. Hal ini dimaksudkan untuk menganalisis sejauhmana bentuk kecenderungan hubungan antara karateristik petani peternak dengan kebutuhan pelatihan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kebutuhan pelatihan di bidang manajemen (organisasi), mempunyai kecenderungan hubungan sangat nyata dengan faktor-faktor: jenis kelamin (ρ = 0,002), frekuensi pertemuan kelompok (ρ = 0,004), memahami tujuan pertemuan (ρ = 0,003), dan merasakan manfaat dari pertemuan kelompok (ρ = 0,003). Di bidang teknis (kemampuan petani), kebutuhan pelatihan mempunyai kecenderungan hubungan sangat nyata dengan faktor ketidakpahaman terhadap materi yang disampaikan dalam pertemuan kelompok (ρ = 0,019). Berdasarkan FGD, pengembangan produktivitas petani peternak didukung pula oleh kelembagaan KDT, antara lain : kepemimpinan, swadaya permodalan, aturan main lokalita, dan kerjasama lintas organisasi.

(5)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

(6)

DI KAMPUNG DOMBA TERPADU CINYURUP BANTEN

DIDU WAHYUDI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Manajemen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(7)
(8)

Judul Tesis : Analisis Kebutuhan Pelatihan Gabungan Kelompok Tani di Kampung Domba Terpadu Cinyurup Banten

Nama : Didu Wahyudi

NRP : H251100211

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. M.Syamsul Ma’arif, M.Eng.,Dipl.Ing.,D.E.A. Dr.Ir. Anggraini Sukmawati, MM.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Manajemen

Dr. Ir. Abdul Kohar Irwanto, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 sampai bulan Juni 2012 ini adalah kebutuhan pelatihan, dengan judul Analisis Kebutuhan Pelatihan Gabungan Kelompok Tani di Kampung Domba Terpadu Cinyurup Banten.

Terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Ir. M.Syamsul Ma’arif, M.Eng.,Dipl.Ing.,D.E.A. dan Ibu Dr.Ir.

Anggraini Sukmawati, MM. selaku pembimbing yang telah banyak

memberikan saran dan arahan dalam penyelesaian studi.

2. Bapak Dr.Ir. Haryono, M.Sc. selaku Kepala Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi lanjutan program magister melalui program beasiswa. 3. Bapak Dr.Ir. Abdul Kohar Irwanto, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Ilmu

Manajemen Sekolah Pascasarjana IPB dan Bapak Dr.Drs. Sukiswo

Dirdjosuparto selaku penguji luar komisi pada ujian tesis.

3. Guru Besar dan Dosen Program Studi Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana IPB yang banyak memberikan wawasan ilmu pengetahuan, serta teman-teman staf akademik yang memberikan pelayanan prima selama penyelesaian studi. 5. Petani Gapoktan Juhut Mandiri, Penyuluh Kabupaten Pandeglang, Pimpinan

dan staf BPTP Banten yang telah memberikan dukungan dan membantu kelancaran pelaksanaan penelitian di lapang. Teman-teman MAN angkatan 2010 dan 2011 atas kebersamaan dan dukungannya.

6. Kedua orangtua, semoga ilmu yang didapatkan penulis menjadi ladang amal shaleh yang pahalanya diteruskan kepada almarhum dan almarhumah. Isteriku, Leily Amalia, S.TP.,M.Si. atas kesabaran dan pengertiannya. Kakak, adik, dan ponakan atas doa dan kasih sayangnya serta pihak terkait yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, Semoga Allah membalas semua kebaikan yang dilakukan.

Bogor, Oktober 2012

(10)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 Maret 1973 dari ayah Drs. Anda S.A. Bc.Ak. (Alm) dan Ibu R.Euis Romlah (Almh). Penulis merupakan putra ke empat dari tujuh bersaudara.

Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun 1994 penulis melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Triguna Bogor dengan pilihan mayor Manajemen dan lulus pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian.

Penulis bekerja sebagai staf di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (P/SE) sejak tahun 1993 sampai tahun 2004. Kemudian pada tahun 2005-sekarang penulis ditugaskan sebagai staf di Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP), dimana kedua satuan kerja tersebut di bawah koordinasi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian.

Bogor, Oktober 2012

(11)

x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN...xv 1 PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang ...1 1.2 Perumusan Masalah ...4 1.3 Tujuan Penelitian ...6 1.4 Manfaat Penelitian ...6 1.5 Batasan Penelitian ...6 2 TINJAUAN PUSTAKA...8

2.1 Definisi Manajemen Sumberdaya Manusia ...8

2.1.1 Pentingnya Manajemen Sumberdaya Manusia...8

2.1.2 Manajemen Sumberdaya Manusia dan Organisasi ...9

2.1.3 Perilaku Individu, Kelompok, dan Organisasi...9

2.2 Teori Kelembagaan dan Organisasi ...11

2.2.1 Teori Kelembagaan...12

2.2.2 Teori Organisasi...12

2.2.3 Teori Kelembagaan Baru ...13

2.3 Organisasi Petani...14

2.3.1 Intervensi Negara dan Pasar dalam Organisasi Petani...14

2.3.2 Organisasi Petani dalam Teori Kelembagaan Baru ...15

2.4 Gabungan Kelompok Tani ...16

2.4.1 Konsep Pengembangan Gapoktan ...17

2.5 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis ...18

2.5.1 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis Sebagai Usaha Ekonomi/ Perusahaan ...19

2.5.2 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis Sebagai Suatu Sistem Terpadu.19 2.6 Definisi, Tujuan, dan Jenis Pelatihan ...21

(12)

xi

2.6.3 Jenis Pelatihan...23

2.7 Analisis Kebutuhan Pelatihan (Training Needs Assessment)...24

2.8 Metode Training Needs Assessment Tool ...26

2.9 Penelitian Terdahulu ...26

3 METODE PENELITIAN ...29

3.1 Kerangka Pemikiran ...29

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian...32

3.3 Populasi, Sampel Data, dan Pengambilan Data Penelitian ...32

3.3.1 Populasi Penelitian...32

3.3.2 Sampel Data Penelitian ...32

3.3.3 Pengumpulan Data Penelitian ...33

3.4 Instrumen Penelitian...33

3.4.1 Uji Validitas Instrumen...34

3.4.2 Uji Reliabilitas Instrumen ...35

3.5 Analisis Data ...35

3.5.1 Metode Training Needs Assessment Tool ...35

3.5.2 Analisis Deskriptif ...38

4 GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN ...39

4.1 Demografi Objek Penelitian...39

4.2 Penetapan Kampung Domba Terpadu...39

4.3 Rancangan Usaha di Kampung Domba Terpadu ...40

4.4 Upaya Menjadikan Sumber Pendapatan Bulanan Petani ...41

4.5 Struktur Organisasi Gapoktan Juhut Mandiri...42

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ...47

5.1 Analisis Deskriptif...47

5.1.1 Sebaran Petani Berdasarkan Jenis Kelamin...47

(13)

xii

5.2 Analisis Kemampuan Kerja Jabatan dan Kemampuan Kerja Pribadi ...50

5.2.1 Kemampuan Kerja Jabatan ...50

5.2.2 Kemampuan Kerja Pribadi...52

5.2.3 Analisis Gap Kemampuan Kerja Jabatan dan Kemampuan Kerja Pribadi ...53

5.3 Analisis Fungsi dan Hubungan Karateristik Petani Terhadap Kebutuhan Pelatihan ...55

5.4 Karateristik Kurikulum (Materi) Pelatihan ...66

5.5 Karateristik Petani yang Membutuhkan Pelatihan dan Faktor Penyebab Gap Kompetensi...67

5.6 Kelembagaan Kampung Domba Terpadu Cinyurup Banten...72

5.7 Outcome Kegiatan Kampung Domba Terpadu ...75

5.8 Implikasi Manajerial ...76

6 SIMPULAN DAN SARAN ...79

6.1 Simpulan...79

6.2 Saran...80

(14)

xiii

1 Keragaman Jenis Bantuan Kurun Waktu Tahun 2007 s/d 2011 ...3

2 Rekonseptualisasi Terminologi Lembaga dan Organisasi ...12

3 Matrik Fungsi Agribisnis dan Organisasi yang Menjalankan ...17

4 Penelitian Terdahulu tentang Analisis Kebutuhan Pelatihan ...26

5 Jumlah Populasi dan Petani Penelitian...32

6 Instrumen Penelitian...34

7 Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ...35

8 Skala Likert Kemampuan Kerja Jabatan dan Kemampuan Kerja Pribadi ...36

9 Matrik Interpretasi Diagram Peringkat Kebutuhan Pelatihan ...38

10 Peran/Kontribusi Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam Program Kampung Domba Terpadu ...40

11 Perkembangan Pengelolaan Ternak Domba Gapoktan ...42

12 Monografi Gapoktan Juhut Mandiri per 12 Juni 2012 ...43

13 Standarisasi Kemampuan Kerja Jabatan ...51

14 Interpretasi Indikator Peringkat Kemampuan Kerja Jabatan ...51

15 Nilai Kemampuan Kerja Pribadi ...52

16 Interpretasi Indikator Peringkat Kemampuan Kerja Pribadi ...53

17 Analisis Gap Kemampuan Kerja Jabatan dan Kemampuan Kerja Pribadi ...53

18 Penentuan Daerah Pelatihan ...55

19 Hubungan Deskriptif Petani terhadap Kebutuhan Pelatihan ...56

20 Hubungan Faktor Pribadi terhadap Kebutuhan Pelatihan ...59

21 Hubungan Faktor Usahatani terhadap Kebutuhan Pelatihan...61

22 Hubungan Faktor Eksternal terhadap Kebutuhan Pelatihan...62

23 Hubungan Aktivitas Gapoktan terhadap Kebutuhan Pelatihan ...65

24 Hubungan Faktor Dominan terhadap Kebutuhan Pelatihan...66

25 Karateristik Kurikulum (Materi) Pelatihan ...67

(15)

xiv

1 Model Perilaku Kelompok ...10

2 Dampak Proses Kelompok ...10

3 Sistem Perilaku Organisasi...11

4 Dimensi Vertikal pada Jaringan Perusahaan ...20

5 Dimensi Horizontal pada Jaringan Perusahaan ...21

6 Kerangka Konseptual Analisis Kebutuhan Pelatihan...30

7 Kerangka Operasional Penelitian ...31

8 Diagram Peringkat Kebutuhan Pelatihan ...37

9 Bagan Struktur Organisasi Gapoktan Juhut Mandiri ...43

10 Sebaran Petani Berdasarkan Jenis Kelamin ...47

11 Sebaran Petani Berdasarkan Usia...48

12 Sebaran Petani Berdasarkan Tingkat Pendidikan...49

13 Sebaran Petani Berdasarkan Lama Gabung ...50

14 Peringkat Kebutuhan Pelatihan ...54

15 Jumlah Kegiatan Kunjungan periode Juni 2009 s/d Juni 2012 ...70

(16)

xv

1 Matrik Kinerja Pelaksanaan Penelitian ...84

2 Uji Validitas Instrumen Bidang Manajemen (Gapoktan)...85

3 Uji Validitas Instrumen Bidang Teknis (Petani) ...86

4 Hasil Analisis Regresi Berganda ...87

5 Daftar Istilah Singkatan...89

(17)

1.1 Latar Belakang

Keberhasilan eksistensi suatu organisasi ditentukan oleh bagaimana organisasi tersebut dapat memenuhi keinginan pelanggan. Leigh et al. (2000) menyatakan bahwa analisis kebutuhan pelatihan atau penilaian kebutuhan kebutuhan pelatihan merupakan langkah strategis dalam pengelolaan organisasi dalam bentuk intervensi pengembangan sumberdaya manusia melalui proses mengidentifikasi gap antara kinerja yang diperlukan dan kinerja saat ini. Dahiya dan Jha (2011) menyampaikan tujuan dari penilaian kebutuhan pelatihan adalah untuk memprioritaskan penyelesaian masalah kinerja dengan mengetahui gambaran berupa kondisi riil yang terjadi, seberapa pentingnya, bagaimana penjelasannya, bagaimana didefinisikan, bagaimana usulan perbaikan, dan apa yang menjadi prioritas. Analisis kebutuhan pelatihan sangat penting dilakukan karena menyediakan informasi mengenai tingkat keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge) sumberdaya manusia organisasi. Dengan informasi ini, manajemen dapat mengetahui gap antara kebutuhan organisasi dan kapabilitas karyawan. Pelatihan yang diselenggarakan dapat difokuskan untuk mengisi gap tersebut.

Pencapaian tujuan tersebut dilakukan melalui kegiatan mengidentifikasi persyaratan kinerja, pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pencapaian tujuan organisasi. Sebelum melakukan penilaian kebutuhan pelatihan setidaknya harus melakukan analisis terhadap tiga aspek utama terlebih dahulu, tiga aspek dimaksud adalah : organisasi, operasi/jabatan, dan individu (Cascio 1992; Schuler 1993; Erasmus et al. 2000; Miller 2002; Bernardin 2003; MDF 2005; dan Wulandari 2005). McClelland (1993) dalam Dahija dan Jha (2011) menyatakan bahwa penilaian kebutuhan pelatihan (training needs assessment) adalah suatu metode yang populer dan

berharga bagi pengembangan sumberdaya manusia dalam menentukan

keterampilan sebuah organisasi, pengetahuan dan bakat. Selain itu, metode ini

menyediakan informasi mengenai kebutuhan pelatihan yang dapat

(18)

Kebiasaan masyarakat dalam bercocok tanam di wilayah kehutanan dengan cara membuka lahan baru, memberikan kontribusi terhadap penggundulan hutan lindung. Salah satu strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Banten dalam mengurangi dampak kegiatan tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat melalui penguatan organisasi petani dengan pola usaha agribisnis terpadu antara usahaternak domba dan sayuran (Nurcahyati, 2009). Kampung Domba Ternak dalam penulisan selanjutnya disingkat KDT, terletak di Kampung Cinyurup, Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang Tanjung, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dibentuk sebagai Buffer Zone (kawasan penyangga) karena lokasi tersebut berbatasan dengan kawasan hutan lindung yang dapat menyediakan ketersediaan rumput lapangan dan leguminosa sepanjang tahun dengan kualitas yang baik. Pola pikir yang dikembangkan adalah dengan memberdayakan masyarakat sekitar hutan melalui usaha pemeliharaan ternak domba, maka usahatani sayuran yang banyak merambah hutan sekitar dapat dikendalikan melalui usaha konservasi dan keterkaitan usahatani (integrasi tanaman – ternak).

Pelatihan dalam pembangunan masyarakat bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat dalam arti luas. Keterbatasan kemampuan yang dialami petani di perdesaan relevan dengan tingkat pendidikan sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas kerja (Sudirman, 2006). Hasil penelitian terhadap organisasi petani di Cianjur Jawa Barat menyimpulkan bahwa petani belum memiliki kompetensi aktual yang memadai untuk berperan optimal (Alimin, 2004). Pelatihan sebagai

human investment, mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin di

perdesaan, karena dalam jangka pendek kegiatan pelatihan telah berhasil menciptakan lapangan kerja baru dan peningkatan pendapatan setelah terlebih dahulu meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya melalui pelatihan.

Merujuk kepada laporan yang diterbitkan oleh Kemristek (2011) tentang bantuan yang diberikan kepada program KDT Cinyurup Banten dari kurun waktu tahun 2007 sampai 2011 diketahui bahwa jenis bantuan yang bersifat manajemen sebanyak 12 kegiatan atau sebesar 28,57%, sedangkan jenis bantuan yang bersifat teknis sebanyak 30 kegiatan atau sebesar 71,43%. Jenis bantuan yang bersifat manajemen teridentifikasi sebanyak 1 kegiatan atau sebesar 8,33% (2,38% dari jumlah keseluruhan bantuan) berkaitan dengan kemampuan pengendalian berupa

(19)

penyusunan studi kelayakan usaha, dan sebanyak 11 kegiatan atau sebesar 91,67% (26,19% dari jumlah keseluruhan bantuan) berkaitan dengan kemampuan pemanfaatan alat produksi. Jenis bantuan yang bersifat teknis teridentifikasi sebanyak 12 kegiatan atau sebesar 40% (28,57% dari jumlah keseluruhan bantuan) berkaitan dengan bantuan sarana dan peralatan, sebanyak 14 kegiatan atau sebesar 46,66% (33,33% dari jumlah keseluruhan bantuan) berkaitan dengan bantuan bibit ternak, dan sebanyak 4 kegiatan atau sebesar 13,34% (9,53% dari jumlah keseluruhan bantuan) berkaitan bantuan pemeliharaan ternak (Tabel 1). Tabel 1. Keragaman Jenis Bantuan Kurun Waktu Tahun 2007 s/d 2011.

No. Uraian Volume Kegiatan Prosentase Kegiatan (%) Terhadap Terhadap Bidangnya Keseluruhan 1. Bidang Manajemen 12 100,00 28,57 a.Kemampuan pengendalian 1 8,33 2,38

b.Kemampuan pemanfaatan alat 11 91,67 26,19

Produksi

2. Bidang Teknis 30 100,00 71,43

a.Sarana dan peralatan 12 40,00 28,57

b.Bibit ternak 14 46,66 33,33

c.Pemeliharaan ternak 4 13,34 9,53

Jumlah 42 100,00

Sumber : Kemristek, 2011.

Keragaan tersebut menggambarkan bahwa prosentase bantuan yang diberikan kepada program KDT Cinyurup Banten kurun waktu tahun 2007 s/d 2011, bantuan yang bersifat teknis (71,43%) lebih tinggi dibandingkan bantuan yang bersifat manajemen (28,57%). Namun besarnya prosentase tersebut tidak serta merta mengatasi permasalahan yang ditemui di lapangan. Kajian dari Bank Indonesia Serang (2011) menyatakan bahwa kendala teknis yang muncul di tingkat petani adalah : (1) kurangnya pemahaman mengenai pemeliharaan ternak, hal ini tercermin dari pemberian pakan oleh petani yang belum efisien. Jika diukur secara kuantitas berlebih, namun tidak memperhatikan komposisi sesuai status fisiologik ternak, (2) pemberian pakan masih didominasi rumput liar sebesar 73,31% dan dedaunan sebesar 18,65%, (3) ketergantungan bibit unggul dari luar daerah (Garut) bagi peternak kecil menjadi kendala tersendiri.

Identifikasi dari aspek manajemen menunjukan bahwa keragaan tingkat pendidikan sumberdaya manusia pengurus gapoktan rata-rata hanya tamat

(20)

Sekolah Dasar. Hal ini menyebabkan mereka memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan teknis, administrasi, ataupun manajerial. Permasalahan lain adalah kurangnya pembinaan terhadap kepengurusan gapoktan. Jika merujuk kepada Tabel 1 dimana prosentase bantuan yang bersifat manajemen sebesar 28,57% dari total bantuan yang diterima, jelas menambah keterpurukan dari eksistensi gapoktan itu sendiri

. Pemberdayaan petani dengan pendekatan organisasi secara formal

merupakan hal yang umum tidak hanya di Indonesia, namun kurang berhasil dalam pelaksanaan. Hasil penelitian Pranadji et al. (2004) mengemukakan bahwa gejala pada saat ini hampir tidak ada organisasi (ekonomi) petani mampu bertahan hidup dan mengembangkan diri dengan baik. Hal ini disebabkan kebijakan “blue

print approach” dimana kebijakan tersebut mengandung kelemahan karena

bersifat umum, disusun dan dipikirkan oleh sekelompok orang saja secara terpusat (Uphoff, 1986 dalam Syahyuti, 2011). Dari sisi lain, keberhasilan organisasi selain ditentukan oleh kompetensi sumberdaya manusianya, juga pengaruhi oleh faktor lain, yaitu kelembagaan. Doliver (1993) dalam Wulandari (2005) menyatakan manajemen tidak dapat menentukan pelatihan begitu saja tanpa menganalisis dahulu kebutuhan dan tujuan apa yang ingin dicapai. Penilaian kebutuhan merupakan “road map” untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, oleh karena itu penelitian ini sangat penting untuk dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

Rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat desa khususnya golongan orang dewasa antara lain disebabkan rendahnya tingkat pendidikan, sehingga masyarakat belum dapat memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia dengan tepat guna untuk meningkatkatkan kesejahteraan mereka (Sudirman, 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kaum muda yang memiliki pola pikir dinamis dan rasional lebih cenderung melakukan urbanisasi untuk mencari pekerjaan atau sebagai buruh diperkotaan. Meskipun demikian, orang dewasa sebagai bagian dari masyarakat yang banyak tinggal di perdesaan sesungguhnya juga memiliki potensi, mereka punya prakarsa yang apabila distimulasi akan mampu mengembangkan dirinya. Kemampuan

(21)

keterampilan yang dimiliki masyarakat saat ini harus dapat dikembangkan agar dapat dijadikan sebagai sumber usaha sesuai kebutuhan mereka.

Pelatihan merupakan suatu proses yang bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan kepada siapapun sehingga dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat. Proses pelatihan dapat terlaksana bila didukung oleh ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas baik yang berasal dari masyarakat maupun instansi terkait. Dukungan yang diberikan dalam arti untuk mendampingi serta mampu berperan baik sebagai fasilitator, komunikator dan dinamisator selama program berlangsung, dan berfungsi sebagai konsultan sewaktu diperlukan oleh kelompok. Perubahan perilaku masyarakat untuk mandiri dan kreatif dalam mengembangkan usaha produktif merupakan fokus dari pelaksanaan program pelatihan.

Pertanian modern tidak hanya identik dengan mesin pertanian yang modern tetapi perlu ada organisasi yang dicirikan mampu menyentuh dan menggerakan ekonomi di perdesaan melalui pengembangan sistem agribisnis sesuai komoditas unggulannya di setiap desa. Gapoktan diharapkan berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan petani, sarana produksi, pemasaran produk, dan menyediakan informasi yang dibutuhkan petani. Oleh karena itu, pengembangan gapoktan harus dirancang sebagai upaya peningkatan kompetensi anggotanya dengan prinsip kemandirian lokal.

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas ditemukan suatu rumusan permasalahan pokok di kalangan petani Gapoktan Juhut Mandiri yang selama ini bermata pencaharian usahatani sayuran yang banyak merambah hutan dan pencari kayu bakar, untuk memadukan dengan usahatani sayuran dengan usaha ternak domba. Secara umum masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah “Kebutuhan pelatihan apa yang diperlukan petani yang tergabung dalam Gapoktan Juhut Mandiri dalam pelaksanaan program KDT ?“. Berangkat dari permasalahan tersebut, kemudian dirinci dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana gap kompetensi sumberdaya manusia gapoktan dalam suatu sistem

agribisnis program KDT, dilihat dari pendekatan Kemampuan Kerja Pribadi dan Kemampuan Kerja Jabatan?

2. Kebutuhan pelatihan apa yang diperlukan untuk mengurangi gap kompetensi sumberdaya manusia gapoktan dalam suatu sistem agribisnis program KDT?

(22)

3. Bagaimana hubungan keeratan faktor karateristik petani dengan kebutuhan pelatihan ?

4. Bagaimana gap kompetensi sumberdaya manusia gapoktan terjadi dan faktor apa yang mempengaruhinya?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui kebutuhan pelatihan dalam memecahkan persoalan yang dihadapi petani yang tergabung dalam Gapoktan Juhut Mandiri, pasca penetapan program solving problem konservasi hutan lindung ini, melalui sistem usahatani agribisnis terpadu (integrasi tanaman – ternak). Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah :

1. Menganalisis gap kompetensi sumberdaya manusia gapoktan dalam suatu sistem agribisnis program KDT, dilihat dari pendekatan Kemampuan Kerja Pribadi dan Kemampuan Kerja Jabatan

2. Menganalisis kebutuhan pelatihan yang diperlukan untuk mengurangi gap kompetensi sumberdaya manusia gapoktan dalam suatu sistem agribisnis program KDT

3. Menganalisis hubungan keeratan faktor karateristik petani dengan kebutuhan pelatihan

4. Menganalisis faktor penyebab terjadinya gap kompetensi sumberdaya manusia gapoktan

1.4 Manfaat Penelitian

Diharapkan dapat digunakan sebagai informasi baik sebagai bahan pertimbangan, perbandingan, serta bahan bacaan oleh peneliti lain yang ingin mengkaji analisis kebutuhan pelatihan.

1.5 Batasan Penelitian

Analisis kebutuhan pelatihan dilakukan dengan analisis individu yaitu melalui pendekatan Kemampuan Kerja Pribadi dan Kemampuan Kerja Jabatan dalam penulisan selanjutnya disingkat KKP dan KKJ, petani yang menjadi anggota gapoktan dalam program KDT Cinyurup Banten. Metode yang digunakan

(23)

Training Needs Assessment Tool dalam penulisan selanjutnya disingkat TNA-T

dengan keluaran mengetahui gap kinerja yang didapat dari hasil identifikasi awal kebutuhan teknis (petani) dan manajemen (gapoktan) yang disebabkan oleh rendahnya pengetahuan, keterampilan dan sikap. Jika ketiga faktor tersebut penyebabnya, maka solusinya adalah pelatihan. Akan tetapi jika bukan, maka solusinya bukan pelatihan tetapi dengan solusi lain sesuai dengan faktor-faktor penyebabnya. Selisih antara KKJ dan KKP merupakan kekurangan kemampuan yang perlu dilatih atau kelebihan kemampuan seseorang dikaitkan dengan tuntutan pekerjaan.

Gap yang teridentifikasi dianalisis hubungannya dengan karateristik petani

dengan menggunakan Crosstab Analysis. Tujuannya adalah untuk menganalisis keeratan hubungan faktor internal dan eksternal petani terhadap kebutuhan pelatihan (Alimin, 2004). Faktor internal petani terdiri dari : (1) faktor pribadi dan keluarga, yakni : umur, tingkat pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman berusahatani, jumlah penghasilan, dan jumlah pelatihanyang pernah diikuti, (2) Faktor Usahatani, yakni : luas penguasaan lahan, status penguasaan lahan, jumlah pekerja tetap dan jumlah modal. Adapun yang termasuk dalam faktor eksternal adalah : (1) keaktifan berkelompok, (2) keaktifan berkonsultasi pada sesama, dan (3) keaktifan berkonsultasi pada penyuluh.

(24)
(25)

2.1 Definisi Manajemen Sumberdaya Manusia

Manajemen sumberdaya manusia secara sederhana didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengelolaan sumberdaya manusia. Manajemen sumberdaya manusia merupakan satu gerakan pengakuan terhadap pentingnya unsur manusia sebagai sumberdaya yang potensial, yang perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu memberikan kontribusi yang maksimal bagi organisasi dan bagi pengembangan dirinya. Mangkunegara (2001) mengatakan bahwa manajemen sumberdaya manusia adalah suatu kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengadaan, pengembangan, pemberian balas jasa, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemisahan tenaga kerja dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Dessler (2009) mendefinisikan manajemen sumberdaya manusia merupakan proses memperoleh, melatih, menilai, dan memberikan kompensasi kepada karyawan, memperhatikan hubungan kerja, kesehatan, keamanan, dan masalah keadilan. Robbin (2007) mendefinisikan manajemen sumberdaya manusia adalah proses pengkoordinasian kegiatan-kegiatan pekerjaan sehingga pekerjaan tersebut terselesaikan secara efisien dan efektif dengan dan melalui orang lain. Efisien berarti memperoleh output terbesar dengan input tertentu; digambarkan sebagai “melakukan segala sesuatu secara benar”. Efektif adalah menyelesaikan kegiatan-kegiatan sasaran organisasi dapat tercapai; digambarkan sebagai “melakukan segala sesuatu yang benar’.

Dari paparan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa sumberdaya manusia diakui sebagai faktor penting dalam proses aktivitas organisasi yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi.

2.1.1 Pentingnya Manajemen Sumberdaya Manusia

Hariono (2010) memberikan alasan mengapa kita harus mempelajari manajemen sumberdaya manusia di dalam suatu organisasi ?. Pertama, untuk menggali potensi manusia dalam organisasi sehingga dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kedua, manusia sebagai makhluk sosial yang unik harus menjadi fokus perhatian terhadap keinginan (wants) dan kebutuhannya (needs)

(26)

yang harus dipenuhi. Ketiga, manusia memiliki cita-cita untuk mencapai tujuan yang diinginkan melalui jalur karir yang ditempuhnya. Keempat, organisasi adalah kumpulan orang-orang. Kesuksesan orang-orang di dalamnya haruslah sesuai dengan tujuan organisasi yang ingin dicapai. Kelima, organisasi dibentuk bukan hanya dalam jangka pendek, melainkan dalam jangka panjang sehingga kebutuhan SDM harus direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan dan dikendalikan secara efektif.

2.1.2 Manajemen Sumberdaya Manusia dan Organisasi

Fungsi-fungsi manajemen dalam organisasi sekurang-kurangnya meliputi aspek manajemen sumberdaya manusia, manajemen produksi dan operasi, manajemen keuangan, dan manajemen pemasaran. Manajemen sumberdaya manusia adalah salah satu fungsi utama dari suatu organisasi. Fungsi-fungsi lain tidak akan bisa berjalan tanpa adanya peran dari sumberdaya manusia yang memiliki kualitas. Gratton disitasi Mullins (2005) menyatakan setidaknya ada empat proposisi dasar yang ada kaitannya dengan organisasi yaitu :

1. Terdapat perbedaan yang mendasar antara orang sebagai asset dan asset tradisional dari keuangan atau teknologi

2. Memahami perbedaan yang mendasar akan menciptakan pandangan baru secara menyeluruh mengenai pemikiran dan pekerjaan dalam organisasi, yaitu suatu pergeseran pola pikir

3. Strategi usaha hanya dapat dilaksanakan dengan menggunakan manusia

4. Menciptakan pendekatan strategi dengan mengutamakan manusia melalui suatu dialog yang kuat dalam organisasi.

2.1.3 Perilaku Individu, Kelompok, dan Organisasi

Robbins (2007) mengidentifikasi mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku individu, yaitu : (1) usia, (2) jenis kelamin, (3) status perkawinan, (4) masa kerja, (5) kemampuan (fisik, intelektual dan kesuaian kemampuan dengan pekerjaan). Perilaku dalam kelompok dibagi ke dalam dua bagian yaitu pertama kelompok formal, perilaku ditentukan oleh dan diarahkan ke

(27)

sasaran organisasi dan yang kedua, kelompok informal terbentuk secara alamiah sebagai tanggapan terhadap kebutuhan akan kontak sosial.

Untuk mulai memahami perilaku kelompok kerja, perlu memandangnya sebagai substansi yang tertanam ke dalam sistem yang lebih besar. Perilaku kelompok dipengaruhi oleh kondisi eksternal yang dipaksakan dari luar. Kondisi-kondisi eksternal ini mencakup strategi keseluruhan organisasi, struktur wewenang, peraturan formal, sumber daya, proses seleksi karyawan, evaluasi kerja dan sistem imbalan, budaya, dan tatanan kerja fisik seperti ditunjukan pada Gambar 1.

Sumber : Robbins, 2007.

Gambar 1. Model Perilaku Kelompok

Gambar 2 menunjukkan pada pengerjaan tugas kelompok ada kecenderungan bagi individu untuk mengurangi upaya mereka. Dengan kata lain, kemalasan sosial melukiskan kerugian juga dapat menghasilkan hasil yang positif. Kelompok dapat menciptakan output yang lebih besar daripada jumlah input-nya.

Sumber : Robbins, 2007.

(28)

Munandar (2008) mengambarkan proses terbentuknya perilaku organisasi dimulai dari terbentuknya perilaku individu, kemudian perilaku individu membentuk perilaku kelompok dan perilaku kelompok menggambarkan perilaku organisasi (Gambar 3).

Sumber : Munandar, 2008.

Gambar 3. Sistem Perilaku Organisasi

2.2 Teori Kelembagaan dan Organisasi

Syahyuti (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dalam hal konsep, setidaknya ada empat bentuk cara untuk membedakan ~ kata yang menerangkan fenomena sosial ini ~ lembaga dan organisasi, yaitu : (1) tradisional dan modern, (2) asal pembentukannya dari bawah dan atas, (3) berbeda level namun dalam satu kontinum, dan (4) organisasi merupakan elemen dari lembaga. Menghadapi berbagai kekeliruan dan ketidaksepakatan selama ini, khususnya di Indonesia, maka perlu dilakukan perumusan rekonseptualisasi tentang terminologi lembaga dan organisasi (Tabel 2).

(29)

Tabel 2. Rekonseptualisasi Terminologi Lembaga dan Organisasi Terminologi dalam literatur berbahasa Inggris Terminologi dalam literatur berbahasa Indonesia Terminologi

semestinya Materi didalamnya

1. Institution Kelembagaan, Institusi

Lembaga Norma, nilai, regulasi pemerintah, pengetahuan petani tentang regulasi 2. Institutional Kelembagaan,

Institusi

Kelembagaan Hal-hal berkenaan dengan lembaga

3. Organization Organisasi, Lembaga

Organisasi Contoh: kelompok tani, koperasi, asosiasi petani berdasar komoditas 4. Organizational Keorganisasian,

Kelembagaan

Keorganisasian Hal-hal yang berkenaan dengan organisasi, misalnya perihal kepemimpinan,

keanggotaan, manajemen, dan keuangan organisasi Sumber : Syahyuti, 2010.

2.2.1 Teori Kelembagaan

Studi terhadap lembaga di mulai abad ke-19 dan 20, Max Weber mengemukakan hasil studinya tentang pengaruh birokrasi terhadap perilaku masyarakat. Teori ini berkembang menjadi lebih mikro dan individual melalui pendekatan Teori Perilaku (behavioural theory) dan Teori Pilihan Rasional (rational choice theory). Durkheim menjelaskan bahwa lembaga adalah sistem simbol yang berisi pengetahuan, kepercayaan dan otoritas moral yang menghasilkan keteraturan kolektif yang didasarkan pada tindakan rasional. Weber dan Durkheim sepakat menentukan faktor norma dan pengetahuan sebagai pembentuk perilaku.

2.2.2 Teori Organisasi

Studi tentang organisasi diawali dengan studi tentang birokrasi oleh Weber yang membangun Teori Lebih Rendah (middle range theory) dan dilanjutkan dengan Selznick dengan Teori Struktural Fungsional (function structure theory) dan kelembagaan lama (old institutional). Studi ini menekankan bahwa pentingnya kontrol norma yang secara bersamaan kemudian menginternalisasi aktor dan menekannya dalam situasi sosial.

(30)

2.2.3 Teori Kelembagaan Baru

Interaksi antara Teori Kelembagaan dan Teori Organisasi melahirkan Teori Kelembagaan Baru (new institutionalism theory). Studi mengenai hal ini mulai berinteraksi semenjak era 1970-an, yaitu tumbuhnya perhatian pada pentingnya bentuk-bentuk keorganisasian (organizational forms) dan lapangan organisasi (organization fields). Beberapa teori yang mempengaruhi munculnya Teori Kelembagaan Baru adalah Teori Birokrasi (Weber), Teori Kelembagaan Kultural (Parsons), Teori Rasionalitas Organisasi (Simmon dan March), Teori

Kelembagaan Terhadap Organisasi (Selznick), dan Teori Lingkungan

Kelembagaan (Alexander).

Syahyuti (2010) menegaskan bahwa ada tiga elemen yang menjadi akar dari pembentukan teori ini, yaitu: aspek regulatif, aspek normatif, dan aspek kultural-kognitif. Pertama, aspek regulatif perhatiannya tertujukan pada aturan (rule) yang ada dan “keuntungan apa” yang akan diperoleh pelaku dalam bertindak. Diyakini bahwa masyarakat dipenuhi oleh berbagai aturan, dan berperilaku dengan melihat aturan. Masyarakat akan berusaha memaksimalkan keuntungan untuk dirinya dengan menggunakan atau berkelit dari aturan yang ada. Karena, dalam perspektif ini masyarakat dipandang sebagai makhluk yang rasional. Kedua, aspek normatif perhatiannya tertujukan pada norma-norma yang hidup dan disepakati ditengah dimasyarakat. Norma sebagai penentu pokok perilaku individu dalam masyarakat, bersifat membatasi sekaligus mendorong individu. Norma pada hakekatnya menjelaskan tentang kewajiban individu. Ketiga, aspek cultural-kognitif perhatiannya tertujukan pada pengetahuan kultural yang dimiliki oleh individu dan masyarakat dengan menggunakan perspektif

pengetahuan. Intinya, dinyakini bahwa manusia memaknai segala hal

diseputarnya, termasuk norma dan regulasi, namun ia tidak langsung patuh sepenuhnya. Ia memaknai lagi norma dan regulasi yang ada, lalu memilih sikap dan perilakunya sendiri. Sehingga manusia sebagai aktor yang aktif. Berdasarkan ketiga aspek tersebut, lembaga dirumuskan sebagai yang menyediakan stabilitas dan keteraturan dalam masyarakat.

(31)

2.3 Organisasi Petani

Pemberdayaan petani dengan pendekatan pengorganisasian secara formal merupakan hal yang umum tidak hanya di Indonesia, namun kurang berhasil dalam pelaksanaannya. Negara menginginkan petani diorganisasikan secara formal. Sebagian besar organisasi petani dibentuk untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol dan kepentingan administratif bagi pelaksana program. Penelitian Pranadji et al. (2004) mengemukakan bahwa gejala pada saat ini hampir tidak ada organisasi (ekonomi) petani mampu bertahan hidup dan mengembangkan diri dengan baik. Hingga kini organisasi petani yang dibentuk dari atas hampir tidak ada yang mampu bertahan hidup dengan tingkat daya saing tinggi.

2.3.1 Intervensi Negara dan Pasar dalam Organisasi Petani

Negara dan pasar merupakan dua elemen lingkungan pokok yang mempengaruhi berjalannya organisasi petani. Modernisasi sangat mewarnai pendekatan pemerintah dalam pembangunan pertanian. Corak kebijakan pembangunan desa semasa Orde Baru ditandai “kuatnya negara masuk desa” dimana semua desa mengikuti model “desa di Jawa” (Sajogyo, 2002). Melalui Revolusi Hijau, terjadi introduksi teknologi, birokrasi dan pasar. Namun pendekatan yang disebabkan modernisasi tersebut menimbulkan dampak, antara lain : (1) timbulnya pelapisan sosial dan akumulasi penguasaan lahan, (2) hilangnya nilai egaliter dalam masyarakat, (3) hubungan patron-klien melemah digantikan hubungan komersial kalkulasi untung-rugi. Kondisi sosial politik ini memberikan lingkungan yang kurang kondusif untuk berkembangnya organisasi petani yang kuat dan berakar (Syahyuti, 2010).

Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam penelitian Syahyuti (2010) bahwa eksistensi organisasi milik petani bergantung kepada kondisi lingkungan dimana ia hidup. Dua kekuatan yang menentukan dalam eksistensi ini adalah negara dan pasar. Pertama, negara menginginkan petani diorganisasikan secara formal untuk kepentingan administratif petani dalam menjalankan program-program pemberdayaan petani di perdesaan sementara yang kedua, pasar cenderung menekan petani (secara individu dan kelompok) untuk berperilaku efisien dan

(32)

menguntungkan, melalui tekanan pasar menginginkan seluruh perilaku petani harus dapat dirasionalisasikan dan dikalkulasikan dalam dimensi untung-rugi.

2.3.2 Organisasi Petani dalam Teori Kelembagaan Baru

Era globalisasi merubah konstelasi paradigma pembangunan pertanian di tingkat dunia. Berbagai konsep yang sedang populer dewasa ini antara lain : pendekatan kemiskinan, ketahanan pangan, pembangunan wilayah, pembangunan berkelanjutan, gender, dan juga pemberdayaan (Syahyuti, 2007). Perubahan lingkungan tersebut mengharuskan Indonesia menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Hal ini nampak dari perubahan pola pembangunan sektor pertanian di Indonesia, semula pendekatan komoditas menjadi pendekatan Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis yang bercirikan pada orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani (Sudaryanto et al., 2005).

Paradigma baru ini ditandai dengan kuatnya intervensi negara terhadap pembangunan organisasi petani, melalui introduksi teknologi, birokrasi dan pasar terhadap pembangunan sektor pertanian. Syahyuti (2010) mengemukakan bahwa dampak dari intervensi tersebut mengakibatkan perubahan pada struktur ekonomi dan politik lokal petani. Petani mengembangkan organisasinya sesuai dengan kondisi dan pemahaman mereka, semisal : mempertimbangkan kebutuhan spesifik komoditas yang mereka usahakan. Teori Kelembagaan Baru seolah menjawab dinamika perubahan paradigma pembangunan pertanian. Pendekatan yang dilakukan dalam teori ini adalah untuk memaparkan kerangka pemikiran bagaimana petani menjalankan usahanya sehari-hari. Petani membangun relasi horizontal (sesama petani) dan relasi vertikal (dengan pemasok saprodi, permodalan, teknologi, dan pedagang hasil pemasaran). Dalam setiap relasi petani memiliki dua pilihan yaitu yang bersifat individual dan bentuk aksi kolektif.

Pengorganisasian petani pada hakekatnya merupakan upaya untuk

menjalankan tindakan kolektif, dengan kenyakinan bahwa tindakan kolektif lebih murah dan efektif. Agar tindakan kolektif berjalan, maka harus dapat diketemukan cara untuk memotivasi individu agar mau melibatkan diri. Organisasi hanyalah salah satu wadah dalam menjalankan tindakan kolektif. Tindakan kolektif yang selama ini gagal dijalankan dalam organisasi formal petani di Indonesia,

(33)

disebabkan petani telah memiliki berbagai relasi dimana relasi tersebut berada di luar organisasi formal. Petani enggan berorganisasi karena kompensasi yang diterima tidak sebanding dengan peningkatan pendapatan yang mereka peroleh. Perilaku ini sejalan dengan Teori Pilihan Rasional (rational choice theory). Syahyuti (2010) menyimpulkan bahwa pengembangan keorganisasian petani dimasa mendatang setidaknya perlu memperhatikan prinsip-prinsip : (1) organisasi formal untuk petani hanyalah sebuah opsi bukan keharusan, (2) pengembangan organisasi memperhatikan prinsip multi purpose sehingga tidak terikat lagi pada egosubsektor dan keproyekan, (3) organisasi hanyalah alat bukan tujuan, (4) petani dihargai sebagai individual yang rasional dan memahami kondisinya, (5) bentuk organisasi yang ditawarkan ke petani adalah yang mampu memperkuat relasi-relasi vertikal (dengan pemasok saprodi, permodalan, teknologi, pelaku pengolahan, dan pedagang hasil pertanian).

2.4 Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)

Departemen Pertanian (2008) mendefinisikan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sebagai kumpulan beberapa kelompok tani yang bergabung dan bekerjasama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha. Gapoktan terdiri atas kelompok tani yang ada dalam wilayah suatu wilayah administrasi desa atau yang berada dalam satu wilayah aliran irigasi petak pengairan tersier. Gapoktan pada hakekatnya organisasi yang dapat dipilih (opsi) disamping organisasi-organisasi lain yang juga terlibat dalam aktivitas ekonomi secara langsung. Pengembangan gapoktan dilatarbelakangi oleh kenyataan kelemahan aksesibilitas terhadap berbagai lembaga layanan usaha, misalnya lemah terhadap lembaga keuangan, terhadap lembaga penyedia sarana produksi pertanian, serta terhadap sumber informasi. Pada prinsipnya gapoktan diarahkan sebagai sebuah organisasi ekonomi yang mampu menjalankan fungsi-fungsi lainnya, yaitu : sebagai organisasi pengelolaan sumberdaya alam, untuk tujuan aktivitas kolektif, pengembangan usaha, dan melayani kebutuhan informasi.

(34)

2.4.1 Konsep Pengembangan Gapoktan

Tujuan utama pembentukan gapoktan adalah untuk memperkuat organisasi petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang jelas. Pembentukannya didasari bahwa pertanian modern tidak hanya identik dengan mesin pertanian yang modern tetapi perlu ada organisasi yang dicirikan dengan organisasi ekonomi yang mampu menyentuh dan menggerakkan perekonomian di perdesaan melalui pertanian. Setidaknya ada tiga peran pokok yang diharapkan dapat dimainkan oleh gapoktan. Pertama, gapoktan difungsikan sebagai organisasi strategis yang merangkum seluruh aktivitas organisasi petani di perdesaan. Kedua, gapoktan diharapkan mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bersama. Ketiga, gapoktan bertindak sebagai Organisasi Usaha Ekonomi Perdesaan sehingga dapat menerima Dana Penguatan Modal. Agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan, maka koordinasi untuk menata pelibatan setiap Gapoktan berada dalam koordinasi Dinas Pertanian setempat.

Konsep sistem agribisnis menggambarkan bahwa aktivitas pertanian perdesaan tidak akan keluar dari upaya untuk : menyediakan sarana produksi, permodalan usahatani, pemenuhan tenaga kerja, kegiatan berusaha tani (on farm), pemenuhan informasi teknologi, serta pengolahan dan pemasaran hasil pertanian.

Tabel 3 menunjukkan bahwa pada kondisi dilapangan organisasi yang

diintroduksikan saat ini sesungguh telah tumpang tindih.

Tabel 3. Matrik Fungsi Agribisnis dan Organisasi yang Menjalankan

No. Fungsi Organisasi Yang Menjalankan

Keltan Gapoktan P3A KUA Kop. UPJA PPD K.Agb Kelcapir 1. Penyediaan saprotan V V - V V V - - -2. Penyediaan modal V V - V V V - - -3. Penyediaan air irigasi V - V - - - -4. Kegiatan usahatani V V - - - V - - -5. Pengolahan V V - V V V - - -6. Pemasaran V V - V V - - - -7. Penyediaan infor&tek. V V - - - V V V V 8. Penyediaan info pasar V V - V V V V V V Sumber : Syahyuti, 2007.

(35)

2.5 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis

Pendekatan komoditas yang dilakukan pada masa Orde Baru tidak dapat disangkal memberikan hasil yang menakjubkan, salah satu bukti keberhasilan tersebut dengan tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Ciri pendekatan komoditas adalah pengembangan komoditas secara parsial dan lebih berorientasi pada peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani (Sudaryanto et al, 2005). Kelemahan mendasar sistem pendekatan komoditas (Simatupang, 2004) disebabkan antara lain : (1) tidak memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas, (2) tidak memperhatikan panduan horizontal, vertikal, dan spasial berbagai kegiatan ekonomi, dan (3) kurang memperhatikan aspirasi pendapatan petani. Pendekatan ini seringkali tidak efisien dan keberhasilannya sangat tergantung pada besarnya subsidi dan proteksi pemerintah, serta kurang mampu mendorong peningkatan pendapatan petani.

Persaingan pasar global mengharuskan perekonomian nasional di deregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga, dan proteksi lainnya. Sejak pertengahan 1970-an, para ahli mulai sadar bahwa sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian makro maupun perekonomian global (Simatupang, 2004). Akhirnya kemampuan bersaing bertumpu pada kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien. Partisipasi dan kemampuan wirausaha petani menjadi faktor kunci keberhasilan, serta saling tergantungnya antara usaha ekonomi dan non ekonomi. Seiring dengan itu, orientasi

pembangunan pertanian pun akan mengalami perubahan dari orientasi

peningkatan produksi menjadi orientasi peningkatan pendapatan dan

kesejahteraan.

Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis adalah usaha kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan pertanian. Bidang usahanya meliputi : usaha menghasilkan sarana produksi usahatani, usahatani, usaha pengolahan produksi usahatani, dan usaha perdagangan sarana produksi, produksi primer, dan produk olahan usahatani. Sistem ini tidak membedakan skala usaha, asalkan merupakan usaha ekonomi yang mengusahakan sarana dan produk pertanian dimana usaha produk pertanian menjadi komponen utamanya. Jadi usahatani keluarga pun dapat tergolong kategori ini. Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis mempunyai dua makna

(36)

yang berbeda namun saling berhubungan, yaitu : (1) suatu usaha ekonomi, dan (2) suatu sistem terpadu (Simatupang, 2004).

2.5.1 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis Sebagai Suatu Usaha Ekonomi/ Perusahaan

Sistem ini bercirikan oleh dua hal, yaitu : (1) berorientasi pada pasar; barang/jasa yang dihasilkan dijual melalui pasar dan sebagian atau seluruhnya sarana produksi yang dibutuhkan dibeli dari pasar, (2) bersifat rasional; bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya. Setidaknya ada dua pengertian mengenai konsep ini, yaitu : Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis tidak membedakan skala usaha, asalkan merupakan usaha ekonomi yang mengusahakan sarana dan produk pertanian, dan usaha produksi pertanian merupakan komponen utama dari sistem ini.

2.5.2 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis Sebagai Suatu Sistem Terpadu Merupakan satu kesatuan jaringan yang tidak terpisahkan antara empat komponen, yaitu (1) jaringan perusahaan, (2) konsumen, (3) kebijakan dan perekonomian makro, dan (4) lembaga penunjang. Hal ini mengambarkan bahwa sebagai suatu sistem terpadu Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis lebih luas dari

cakupan Sistem Perusahaan. Jaringan perusahaan Sistem Usaha

Pertanian/Agribisnis meliputi segala perusahaan yang berkaitan dengan komoditas pertanian. Jaringan ini terbagi menjadi tiga dimensi, yaitu : vertikal, horizontal, dan spasial.

1. Dimensi vertikal dicirikan oleh kaitan (arus) produk yang dihasilkan oleh setiap perusahaan. Bidang usahanya meliputi penghasil sarana penghasil sarana produksi usahatani, usahatani industri pengolahan hasil, dan pedagang. Sebagai contoh, alur vertikal disajikan pada Gambar 4.

(37)

Gambar 4. Dimensi Vertikal pada Jaringan Perusahaan

1. Dimensi horizontal dicirikan oleh kaitan sumberdaya yang digunakan dalam proses produksi yang dihasilkan oleh masing-masing perusahaan yang ada dalam jaringan vertikal. Gambar 5 merupakan contoh alur dimensi horizontal.

(38)

Gambar 5. Dimensi Horizontal pada Jaringan Perusahaan

2. Dimensi spasial berkaitan dengan lokasi atau regional dari Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis dengan berbagai hal, seperti : luas dan kebutuhan lahan, konsentrasi konsumen, dan ketersediaan sarana dan prasarana produksi. Oleh kerana itu Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis biasanya khas untuk suatu kawasan.

2.6 Definisi, Tujuan dan Jenis Pelatihan 2.6.1 Definisi Pelatihan

Sekula disitasi Hariono (2010) mengemukakan pendapat tentang pelatihan adalah suatu proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir di mana pegawai non manajerial mempelajari

(39)

pengetahuan dan keterampilan teknis dalam tujuan terbatas. Dessler (2009) mendefinisikan pelatihan sebagai proses mengajarkan karyawan baru atau yang ada sekarang, keterampilan dasar yang mereka butuhkan untuk menjalankan pekerjaan mereka. Menurut Mathis et al. (2006) pelatihan adalah suatu proses dimana orang orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, proses ini terikat dengan berbagai tujuan organisasi, pelatihan dapat dipandang secara sempit maupun luas. Secara terbatas, pelatihan menyediakan para pegawai dengan pengetahuan yang spesifik dan dapat diketahui serta keterampilan yang digunakan dalam pekerjaan mereka saat ini. Terkadang ada batasan yang ditarik antara pelatihan dengan pengembangan, dengan pengembangan yang bersifat lebih luas dalam cakupan serta memfokuskan pada individu untuk mencapai kemampuan baru yang berguna baik bagi pekerjaannya saat ini maupun di masa mendatang.

Simanjuntak (2005) mendefinisikan pelatihan merupakan bagian dari investasi sumberdaya manusia (human investment) untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan kerja, dan dengan demikian meningkatkan kinerja pegawai. Pelatihan biasanya dilakukan dengan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan jabatan, diberikan dalam waktu yang relatif pendek, untuk membekali seseorang dengan keterampilan kerja. Pelatihan didefinisikan oleh Ivancevich (2008) sebagai usaha untuk meningkatkan kinerja pegawai dalam pekerjaannya sekarang atau dalam pekerjaan lain yang akan dijabatnya segera. Selanjutnya, sehubungan dengan definisinya tersebut, Ivancevich mengemukakan sejumlah butir penting yang diuraikan sebagai berikut : (1) pelatihan adalah sebuah proses sistematis untuk mengubah perilaku kerja seorang/sekelompok pegawai dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi, (2) pelatihan terkait dengan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk pekerjaan yang sekarang dilakukan, (3) pelatihan berorientasi ke masa sekarang dan membantu pegawai untuk menguasai keterampilan dan kemampuan (kompetensi) yang spesifik untuk berhasil dalam pekerjaannya.

Dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah suatu kegiatan investasi sumberdaya manusia dalam bentuk peningkatan kompetensi

(40)

untuk membekali pekerja ketrampilan sesuai yang dibutuhkan yang dilakukan dalam jangka pendek.

2.6.2 Tujuan Pelatihan

Tujuan umum pelatihan sebagai berikut : (1) untuk mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif, (2) untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional, dan (3) untuk mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman pegawai dan dengan manajemen (pimpinan).

Secara umum ada tiga tahap pada pelatihan yaitu tahap penilaian kebutuhan, tahap pelaksanaan pelatihan dan tahap evaluasi. Mangkunegara (2005) menjelaskan bahwa tahapan-tahapan dalam pelatihan dan pengembangan meliputi (1) mengidentifikasi kebutuhan pelatihan (needs assessment), (2) menetapkan tujuan dan sasaran pelatihan, (3) menetapkan kriteria keberhasilan dengan alat ukurnya, (4) menetapkan metode pelatihan, (5) mengadakan percobaan (try out) dan revisi, dan (6) mengimplementasikan dan mengevaluasi.

2.6.3 Jenis-Jenis Pelatihan

Menurut Mathis dan Jackson (2006) pelatihan dapat dirancang untuk memenuhi tujuan berbeda dan dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai cara, yang meliputi :

1. Pelatihan yang dibutuhkan dan rutin, dilakukan untuk memenuhi berbagai syarat hukum yang diharuskan dan berlaku sebagai pelatihan untuk semua karyawan (orientasi karyawan baru).

2. Pelatihan pekerjaan/teknis, memungkinkan para karyawan untuk melakukan pekerjaan, tugas dan tanggung jawab mereka dengan baik.

3. Pelatihan antarpribadi dan pemecahan masalah, dimaksudkan untuk mengatasi masalah operasional dan antarpribadi serta meningkatkan hubungan dalam pekerjaan organisasional.

(41)

4. Pelatihan perkembangan dan inovatif, menyediakan fokus jangka panjang untuk meningkatkan kapabilitas individual dan organisasional untuk masa depan.

2.7 Analisis Kebutuhan Pelatihan (Traning Needs Assessment)

Secara umum analisis kebutuhan pelatihan didefinisikan sebagai suatu proses pengumpulan dan analisis data dalam rangka mengidentifikasi bidang-bidang atau faktor-faktor apa saja yang ada di dalam perusahaan yang perlu ditingkatkan atau diperbaiki agar kinerja pegawai dan produktivitas perusahaan menjadi meningkat. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh data akurat tentang apakah ada kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan. Mengingat bahwa pelatihan pada dasarnya diselenggarakan sebagai sarana untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi gap antara kinerja yang ada saat ini dengan kinerja standar melalui suatu pelatihan. Jika ditelaah secara lebih lanjut, maka analisis kebutuhan pelatihan memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah:

1. Memastikan bahwa pelatihan memang merupakan salah satu solusi untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja pegawai dan produktivitas perusahaan

2. Memastikan bahwa para partisipan yang mengikuti pelatihan benar-benar

orang-orang yang tepat

3. Memastikan bahwa pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan selama pelatihan benar-benar sesuai dengan elemen-elemen kerja yang dituntut dalam suatu jabatan tertentu

4. Mengidentifikasi bahwa jenis pelatihan dan metode yang dipilih sesuai dengan tema atau materi pelatihan

5. Memastikan bahwa penurunan kinerja atau pun masalah yang ada adalah disebabkan karena kurangnya pengetahuan, ketrampilan dan sikap-sikap kerja; bukan oleh alasan-alasan lain yang tidak bisa diselesaikan melalui pelatihan

6. Memperhitungkan untung-ruginya melaksanakan pelatihan mengingat bahwa sebuah pelatihan pasti membutuhkan sejumlah dana.

(42)

Gap yang akan dianalisis dalam kebutuhan pelatihan berkaitan dengan manusia

(pengetahuan, ketrampilan, dan sikap) dan organisasi, maka analisis kebutuhan pelatihan seyogyanya mencakup kedua area tersebut.

Cascio 1992; Schuler 1993; Erasmus et al. 2000; Miller 2002; Bernardin 2003; MDF 2005; dan Wulandari 2005) sependapat bahwa untuk menentukan kebutuhan pelatihan yang objektif dan sistematis harus melakukan tahapan analisis terhadap tiga aspek utama, yaitu : organisasi, operasi/jabatan, dan individu. Pertama, analisis organisasi. Analisis ini memfokuskan pada kebutuhan strategi perusahaan dalam merespon dinamika bisnis masa depan. Kebutuhan strategi perusahaan dirumuskan dengan mengacu pada dua elemen pokok yaitu strategi perusahaan dan nilai perusahaan. Kedua elemen tersebut merupakan faktor kunci efektifitas dan keberhasilan bagi organisasi dalam proses pencapaian tujuannya. Indikator dalam kedua elemen tersebut dipergunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang masih mengalami kekurangan paling besar, dan karenanya perlu diprioritaskan melalui penilaian kebutuhan pelatihan. Indikator-indikator dimaksud antara lain : perencanaan, komunikasi, kerjasama, pelayanan prima, pembelajaran, kepemimpinan, dan pengembangan.

Kedua, analisis operasi/jabatan. Analisis ini memfokuskan pada profil kompetensi yang dipersyaratkan untuk setiap jabatan. Identifikasi profil kebutuhan kompetensi jabatan bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pilihan modul pelatihan yang relevan dengan kebutuhan kompetensi jabatan. Alur proses identifikasi kompetensi jabatan dimulai dengan klarifikasi terhadap strategi dan nilai organisasi, kemudian dilakukan analisis terhadap peraturan dan alur kerja organisasi melalui pengumpulan dengan metode wawancara dan diskusi kelompok dan studi pengendalian mutu. Outputnya berupa penyempurnaan dalam bentuk validasi, perbaikan, dan implementasi.

Ketiga, analisis individu. Analisis ini memfokuskan pada gap antara tingkatan kompetensi yang dipersyaratkan dengan tingkatan aktual individu. Kinerja standar yang telah ditetapkan pada tingkat operasi merupakan kinerja yang ingin dicapai. Sedangkan informasi mengenai kinerja aktual individu dapat diperoleh dari data kinerja individu, penilaian supervisor, attitude survey, wawancara, dan sebagainya. Gap antara kinerja aktual dan kinerja yang ingin

(43)

dicapai akan diisi dengan pelatihan.

Dari tahap-tahap analisis tersebut dapat dikatakan bahwa analisis organisasi merupakan dasar untuk melakukan analisis operasi, dan analisis operasi sebagai dasar analisis individu. Ketiga analisis kebutuhan pelatihan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Kerugian yang diperoleh jika program pelatihan tidak terkoordinasi dengan tujuan dan sasaran organisasi adalah waktu dan biaya banyak dikeluarkan tanpa menghasilkan peningkatan kinerja.

2.8 Metode Training Needs Assessment Tool

Metode TNA-T adalah salah satu tipe analisis individu digunakan untuk menganalisis gap KKJ dengan KKP. Jika gap KKJ dengan KKP disebabkan oleh rendahnya pengetahuan, ketrampilan dan sikap, maka solusinya adalah dengan pelatihan. Akan tetapi jika bukan gap bukan disebabkan oleh faktor tersebut, maka solusinya bukan pelatihan tetapi dengan solusi lain sesuai dengan faktor-faktor penyebabnya. Selisih antara KKJ dan KKP merupakan kekurangan kemampuan yang perlu dilatih.

2.9 Penelitian Terdahulu

Tabel 4 adalah rangkuman dari beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan referensi dalam penelitian ini sebagai informasi agar penelitian yang dilakukan tidak tumpang tindih ataupun melakukan pengulangan penelitian terhadap obyek yang sama.

Tabel 4. Penelitian Terdahulu tentang Analisis Kebutuhan Pelatihan

Peneliti Tahun Lokasi Penelitian Metode

Penelitian Hasil Kajian

Puspita 2004 Bank BNI DivisiSyariah TNA-T

Pelatihan berbasis kompetensi membantu pegawai mengetahui apa yang belum diketahui dan pekerjaan apa yang belum dikerjakan

Alimin 2004 Petani di Kec.Sukanegara Kab.Cianjur Uji Korelasi Peringkat Spearman

Semakin tinggi taraf faktor internal pada petani sayur-sayuran, semakin tinggi kompetansi aktual dan semakin rendah gap kompetensi petani sehingga kebuthan pelatihan petani rendah. Semakin tinggi faktor eskternal semakin tinggi kompetensi aktual semakin rendah gap gap kompetensi petani sehingga kebutuhan pelatihan petani rendah

Taslaangreini 2004 PT. Bank Riau TNA-T

Kepala bagian memerlukan pelatihan, kebutuhan materi pelatihan ada yang sama ada yang berbeda sesuai dengan uraian jabatan

(44)
(45)

3.1 Kerangka Pemikiran

Pelatihan adalah salah satu strategi manajemen yang paling penting dalam pencapaian tujuan organisasi melalui peningkatan keterampilan organisasi berupa

upgrade sumberdaya manusia guna mengatasi gap dalam kinerja. Pelatihan dapat

membawa kembali investasi sebuah organisasi yang nilainya lebih berharga daripada biaya pelatihan itu sendiri. Penilaian kebutuhan pelatihan adalah suatu proses mengidentifikasi persyaratan kinerja dan gap antara kinerja yang diperlukan dan kinerja yang terjadi. Ada tiga aspek yang harus analisis sebelum melakukan penilaian kebutuhan pelatihan (Cascio,1992; Schuler,1993; Erasmus et

al.,2000; Miller,2002; Bernardin, 2003; MDF, 2005; dan Wulandari, 2005).

Aspek-aspek dimaksud adalah : organisasi, operasi/jabatan, dan individu.

Analisis individu memfokuskan pada gap antara tingkatan kompetensi yang dipersyaratkan dengan tingkatan kompetensi aktual individu. Kinerja standar yang telah ditetapkan pada tingkat operasi merupakan kinerja yang ingin dicapai. Sedangkan informasi mengenai kinerja aktual individu dapat diperoleh dari data kinerja individu, penilaian supervisor, attitude survey, wawancara, dan sebagainya. Gap antara kinerja aktual dan kinerja yang ingin dicapai akan diisi dengan pelatihan. McCann dan Tashima (1990) dalam penelitiannya menegaskan bahwa jika gap kinerja disebabkan oleh rendahnya pengetahuan, keterampilan dan sikap, maka solusinya adalah dengan pelatihan. Tetapi bila bukan disebabkan oleh faktor tersebut, maka solusinya bukan pelatihan tetapi dengan solusi lain sesuai dengan faktor-faktor penyebabnya.

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka kerangka konseptual dari penelitian ini seperti ditunjukkan pada Gambar 6 sedangkan Gambar 7 menunjukkan kerangka operasional penelitian.

(46)
(47)
(48)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian bertempat di KDT Cinyurup, Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang Tanjung, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian dilakukan dalam kurun waktu 4 bulan (Maret s/d Juni 2012).

3.3 Populasi, Sampel Data, dan Pengumpulan Data Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah petani Gapoktan Juhut Mandiri yang

beranggotakan sebanyak 180 orang (Kemristek, 2011).

3.3.2 Sampel Data Penelitian

Penentuan jumlah sampel data penelitian menggunakan metode Yamane. Hasil dari perhitungan jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 64 petani (Tabel 5).

Rumus berdasarkan metode Yamane yaitu :

……… (1) dimana :

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

d = Presisi yang ditetapkan (10%)

Tabel 5. Jumlah Populasi dan Petani Penelitian

No. Uraian Jumlah Populasi Petani

1. Ketua Gapoktan 1 1

2. Ketua Kelompok Tani 7 2

3. Anggota Kelompok Tani Gapoktan 172 61

Jumlah 180 64

Tahapan dalam metode penarikan sampel penelitian adalah sebagai berikut : 1. Penentuan desa sampel dilakukan dengan teknik pertimbangan (purposive

samping) dengan alasan : (a) Kampung Cinyurup adalah model program KDT

yang cukup berhasil dan upaya direplika ke daerah lain, (b) satu-satunya kampung di Indonesia yang memiliki empat domba unggul yaitu : domba

(49)

komposit sumatera, domba komposit garut, barbados cross, dan domba st.croix yang merupakan hasil sinergitas introduksi inovasi teknologi dari Balai Penelitian Ternak (Balitnak), Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten, dan Badan Ketahanan Pangan Provinsi Banten, (c) Pengembangan KDT Cinyurup merupakan hasil sinergisitas mulai dari 14 Satuan Kerja Perangkat Daerah (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, LSM), (d) KDT Cinyurup berwujud menjadi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang dilaksanakan stakeholder di daerah dengan pola klaster yang terintegrasi dari hulu ke hilir, pengembangannya tidak hanya sebatas ternak domba saja tetapi telah menjadi agrobisnis.

2. Pemilihan kelompok tani dan gabungan kelompok tani dilakukan dengan teknik pertimbangan (purposive sampling). Kelompok tani yang dipilih adalah 9 (sembilan) kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan Juhut Mandiri yang melaksanakan program KDT.

3. Pemilihan petani dilakukan dengan teknik pertimbangan dan berstrata tetap dimana sebagian ada yang kurang proporsional (disproportianate stratifed

random sampling).

3.3.3 Pengumpulan Data Penelitian

Metode pengumpulan data penelitian melalui wawancara dan FGD. Metode wawancara menggunakan instrumen kuesioner yang ditujukan kepada ketua gapoktan, ketua kelompok tani anggota gapoktan, petani anggota gapoktan, penyuluh, peneliti, dan pihak dari instansi terkait. Wawancara dilakukan untuk mengetahui KKJ dan KKP, karateristik petani, dan karateristik gapoktan. Studi kepustakaan diperoleh dengan cara membaca, mempelajari, dan mengutip pendapat dan teori-teori dari berbagai sumber yang berkaitan dengan penelitian .

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah kuesioner yang diisi oleh petani. Kuesioner sebagai alat pengumpul data yang merepresentasikan indikator-indikator dari setiap dimensi variabel. Berikut diuraikan mengenai

(50)

kisi-kisi penelitian yang berisikan variabel, sub variabel, dan indikatornya dalam pembentukan kuesioner penelitian (Tabel 6).

Tabel 6. Instrumen Penelitian

3.4.1 Uji Validitas Instrumen

Uji validitas bertujuan untuk menguji ketepatan isi guna mengoptimalkan kuesioner dari segi isi (content), kriteria yang berhubungan (criterition related), dan konstruk (construct). Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 18 petani. Uji validitas menggunakan rumus korelasi product moment, sebagai berikut :

(51)

Kelayakan item validitas (corrected item total correlation) menggunakan ukuran : jika X < 0,30 dianggap tidak valid, dan jika X > 0,30 dianggap valid (Azwar, 1999). Hasil uji validitas untuk bidang manajemen (gapoktan), menunjukkan bahwa semua item pertanyaan valid, tidak ada angka yang dibawah 0,30. Nilai terendah adalah 0,330 dan tertinggi adalah 0,737. Hasil uji validitas untuk bidang teknis (petani), menunjukkan bahwa semua item pertanyaan valid, tidak ada angka yang dibawah 0,30. Nilai terendah adalah 0,373 dan tertinggi adalah 0,884.

3.4.2 Uji Reliabilitas Instrumen

Hasil dari validitas akan di uji realibilitasnya (konsistensinya) dengan menggunakan rumus Spearman Brown

……… (3) Keterangan :

R 11 : Nilai reliabilitas

R b : Nilai koefisien korelasi

Kelayakan item reliabilitas menggunakan ukuran : jika X ≥ 0,70 dianggap reliabel (Nunnaly, 1978).

Tabel 7. Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian

No. Reliability Statistics Cronbach’s Alpha N of Items

1. Bidang Manajemen (Gapoktan) ,919 22

2. Bidang Teknis (Petani) ,918 14

Merujuk pada Tabel 7 Cronbach’s Alpha item bidang manajemen (gapoktan) dan teknis (petani) mempunyai nilai di atas 0,80 yang berarti memenuhi nilai baik untuk uji reliabilitasnya.

3.5 Analisis Data

3.5.1 Metode Training Needs Assessment Tool

Metode TNA-T digunakan untuk menganalisis gap KKJ dengan KKP. Langkah-langkah dalam menggunakan Metode TNA-T adalah sebagai berikut : 1. Menentukan lingkup kerja analisa kebutuhan pelatihan

Bahan yang dikumpulkan adalah data penilaian dari atasan terhadap bawahan dengan membandingkan KKP dengan KKJ sesuai standar kerja organisasi.

Gambar

Tabel 1. Keragaman Jenis Bantuan Kurun Waktu Tahun 2007 s/d 2011.
Gambar 1. Model Perilaku Kelompok
Gambar 3. Sistem Perilaku Organisasi
Tabel 2. Rekonseptualisasi Terminologi Lembaga dan Organisasi Terminologi dalam literatur berbahasa Inggris Terminologi dalam literaturberbahasa Indonesia Terminologi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menjamin kualitas farmasetik, sediaan yang dibuat harus memenuhi beberapa parameter fisik yang meliputi daya sebar, viskositas, dan daya lekat Uji sifat fisik repelan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa anti nyamuk elektrik yang dibuat dari ekstrak kulit buah langsat dengan beberapa konsentrasi ternyata mampu

Sebagai perempuan milik Tuhan yang diciptakan untuk menjadi penolong, kita harus dapat menjadi inspirasi bagi sesama melalui hal-hal yang sederhana, seperti : membantu pemerintah

Pada sistem pemesanan makanan dan minuman yang akan dibangun pada Ketty Resto memerlukan koneksi wireless sebagai penghubung antara pesanan pelanggan yang

perkara terhadap gugatan PARA PENGGUGAT dan guna menghindari adanya kekeliruan dalam memahami perkara ini serta untuk melengkapi uraian yang telah TERGUGAT III

Penyelenggaraan ketahanan dan keamanan secara nasional merupakan salah Penyelenggaraan ketahanan dan keamanan secara nasional merupakan salah satu fungi utama dari pemerintahan

53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Pasal 12, PNS yang memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala