# $ %&'%
!
"
( 7 ) !
() 7 *%+%&,&&-'
! 7 ! 2
" ) ! ) 5 6 # !
.
! !
" ) " # . ) ! # ! .
! ',<< ! (
' * # !2/ ( *
',,'# ! . ( ; ',,;
/ ',,,# ! ! ?!G'@
! ! E
%&&& %&&%#
/ ! 4 2 ?)42 @
/ / %&&%
$ )
( %&&,
?!G%@ ! !
H !
! ! 2 !
)
!
7
' " ) ! #
#
% ) 5 6 ! # /
# #
- " ) " # .# ! 2 /
#
; ) E 6 # ! /
# # # G
+ G !% ! 2 I3)# # #
! # #
"
#
#
. " #
# .
% ( %
) * ( +
, , , , +
! ,! ! , +
( ! ,! ! ,
-# " . ! ,! ! ,
( / / 0 1 0 " ! ! %
/ " . ! , 2
/ / 0 3 " +
# . * !
-# ,/ 4
# ,/ (, 4 &
& ! ! ( 0 ! " 5
& 6 78 5
& 6 9:8 +
& # 6 8 +
% ( . +
# ; #
# 1 / 4 #
# ) ! / * . #
# # ,/ 4 ##
# # , ( < ! . ##
# # 4 *,! , , #&
# # # 4 $ #&
# & ! ! #&
# & ! ! (, / ! , #%
# & ! ! , , #2
# & # ! ! *,! #5
& (; * ;( * &%
# ! 0 / ##
& ! , ? . ? / < ! / , / ! ., %
% ! . ! 4 / / ! ., . / ! 4 / / %>
> * 4 / / / / ! ! ., . / ! 4 = " %2
2 ,/ ! 4 0 / / %5
5 . ! / ! . 0 ,4 ! , -- @ - - %+
+ @ 4 ! 0 / >&
- ) " " ! 4 4 / @ 4 / 4 9, >>
) " " ! 4 / @ 4 / 4 9, >2
) " " ! 4 / @ 4 / 4 9, >5
# ! ! 4 ,/ ! / 4 ,/ ! . 2%
& (, / ! ! " . / ! ! " / 25
% , ! ! " / ! / 2+
> " / , ! 4 . " / 4 4 4 5
2 @ ,/ ! ! 9 .
+-5 @ 4 0 ! ,/ ! ! 9 . +
+ @ ,/ ! ! 9 . +
- @ 4 " ! . / / 0 6 8 " ! ! 4 6.8 +#
# , ! 4 #
& " 4 ! " 4 . ! / / . #>
% ( ! ! . &
> 7 ! , 6 8 04 6 8 %#
2 ! ! . ! ) 0 6 8 ! * ) 0 6 8 %%
5 . . / / 0 / 6 8 . / 6 8 %+
+ ,/ . , ! , 6 4 / 0 , 8 >
- ! 4 . . 4 / 6 8 / / , ! ! 6 8 >%
. / ,/ 4 4 / ! ,
2-* 4 !, 4 / . 2#
# . 2&
& ( < < = 6 8 / ! , " / 4 4 . 6 8 22
% , 4 / " . 6 8 / 4 / . 6 8 5
# ) " " ! 4 4 / " ! 4 4 2
& ) " " ! 4 / " ! 4 +
% ) " " ! 4 / " ! 4 #
> ,/ . ! ,' !" 0 / = 4 . 0 ##
2 ) ! / ,/ ! ! ! @ ! !4, / #%
5 ) ! / 4 0 ! ,/ ! ! ! @ ! !4, / #2
+ ) ! / . 0 ,4 ! , ! @ ! !4, / #+
- 4 " ! . / / 0 ! @ ! !4, / &
) ! / 4 " ! ! 4 &#
! @ ! !4, / &%
# ) ! / ,/ ! ! . ! ! &2
& , , / . 0 4 < ! ! &2
% ! ! / ! ! . ! ! &5
> ) " . 0 ,4 ! , . ! ! &5
2 ! ! 4 " ! . / / 0 . ! ! &+
5 ! ! 4 " ! ! 4 . ! ! &+
+ ! ! : !" ' ,<? 7? / 9:
$% %%% &' ( ( )%%*+
' ' ' (
, & , + - )./0 110)%%%
' '
2$ 3/. . #$ 33$
4 5
' '
, - &)%%/+ ' ' '
( 6 !% ,
768 &!//.+ 9
!+ (
)+ (
4
:
&7 !//) , )%%)+
4
' '
, - )./0 110)%%%
' '
' ( 4
,
: ;
)%!!
... #. ' ' '
!//! )%%/ (
( ( : ( &( +
!//3 !/// ' ( ( & +
( ( 6 ( ' (
( &)%%) )%%"+
' ' '
' (
1 < ( &1<(+ ( 1 & 1+ :
0
= &!//"+
,
<
& +
<
6
(
6 9 !+ ,
)+ ,
( 9 !+ ,
' ' '
)+ 6
! "
(
' ' :
; , , - )./0 110)%%%
-:
6
0 1
& +
:
& +
(
(
>
Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi tropis yang didominasi
oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Ekosistem mangrove tumbuh dengan baik didaerah pesisir yang terlindung seperti delta dan estuaria (Bengen 2001). Zonasi ekosistem mangrove dibentuk oleh keadaan topografi, frekuensi pasang surut, lamanya penggenangan, komposisi dan stabilitas sedimen tempat tumbuh (tipe substrat), salinitas air dan tanah, dinamika ‘propagule’ dan dinamika pemakanan
biji mangrove atau organisme yang berasosiasi dengan mangrove. Pada keadaan
tertentu hanya ditemukan satu zona (Saptarini 1996). Sementara itu zonasi
ekosistem magrove terbagi atas daerah yang dekat dengan laut dengan substrat
sedikit berpasir, daerah seperti ini sering ditumbuhi oleh spp Sedangkan
pada daerah pinggir daerah ini terdapat area yang sempit, berlumpur tebal dan
teduh sehingga tidak dapat tumbuh, jenis yang berasosiasi pada daerah
ini adalah (Bengen 2002a)
Dahuri (2003) mengatakan bahwa di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan satu jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43
jenis yang merupakan mangrove sejati ( ). Vegetasi mangrove dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu vegetasi utama, vegetasi pendukung, dan vegetasi asosiasi.
Keberadaan ekosistem pada suatu kawasan tentu saja banyak memberikan fungsi dan manfaat bagi lingkungan secara biotik, dan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya.
Menurut Bengen (2002), ekosistem mangrove memiliki beberapa fungsi bioekologis dan sosioekologis yaitu:
Fungsi perlindungan terhadap abrasi laut
Fungsi sebagai daerah penghasil makanan
Sebagai dan
Sebagai daerah bersarang burung
Habitat alami yang memberikan kesinambungan ekologis Fungsi mencegah terjadinya keasaman tanah
Fungsi perlindungan dari bahaya angin laut Fungsi menghambat intrusi air laut
Daerah penghasil kayu Daerah penghasil ikan
Daerah pariwisata
Manfaat lain dari tumbuhan mangrove adalah bahwa bijinya mengandung antioksidan dan bahan aktif untuk melindungi kulit dari sengatan sinar ultraviolet. Dari hasil penelitian hingga praklinis membuktikan bahwa biji mangrove
( ) mengandung flavonoid dan tanin. Manfaatnya sangat besar
untuk mencegah terjadinya kanker kulit akibat sering terbakar sinar matahari. Ekstrak biji mangrove mengandung Sun Protector Filter (SPF) 22. Sementara itu, Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk tabir surya SPF7nya minimal 15. Maka tabir surya dari mangrove itu lebih dari cukup untuk melindungi kulit dari sengatan matahari (Linawati, 2003).
Kerusakan vegetasi merupakan tipe dan intensitas dari efek manapun, efek yang terjadi pada satu ataupun lebih tipe vegetasi yang datang dari luar ekosistem baik yang bersifat sementara ataupun permanen akan mengurangi nilai finansiil atau akan merubah kemampuan pertumbuhan dan reproduksi.
Penyebab kerusakan ekosistem mangrove dapat di kategorikan kedalam tiga jenis (Kusmana dan Onrizal, 1998):
b) Ganguan Kimia, yang meliputi: Pencemaran air, tanah dan udara, serta adanya hujan asam.
c) Ganguan Biologi, yang meliputi: Adanya konversi mangrove untuk kegiatan
pemukiman, industri, pertambakan, pertanian, pertambangan, sarana angkutan dan penggunaan lahan non kehutanan. Kegiatan penebangan pohon yang tidak memperhatikan azas kelestarian hutan, serta adanya invasi
(piay) dan adanya jenis semak belukar lanilla.
Proses berkurangnya lahan mangrove di beberapa provinsi disebabkan bisa disebabkan oleh beberapa factor berikut ini (Kusmana 1998):
a) Konversi ekosistem mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain, seperti pemukiman, pertanian, industri, pertambangan dan lanilla.
b) Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh preusan7perusahaan Hak Pengelola Hutan (HPH) serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan lanilla.
c) Polusi di perairan estuary, pantai, dan lokasi7lokasi perairan lainnya dimana terdapat tumbuhan mangrove.
d) Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses sedimentasi dan abrasi yang tidak terkendali.
Kriteria Baku Kerusakan Mangrove sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 merupakan cara untuk menentukan status kondisi mangrove yang diklasifikasikan
dalam kriteria yaitu: a) Baik (Sangat Padat); b) Baik (Sedang);
c) Rusak
Kriteria baku kerusakan mangrove dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1 Kriteria baku kerusakan mangrove
!"# ! $ %$ #
1 Baik Sangat Padat >75 >1500
2 Sedang >50 – <75 1000 – <1500
& ' $ (
Mangrove memiliki kemampuan memperbaiki habitatnya sendiri dengan
mengembangkan strategi , pertumbuhan dan perkembangan, serta
regenerasi. Namun pada kondisi7kondisi tertentu regenerasi alami pada mangrove akan terhambat terutama bila terjadi perubahan kondisi fisik habitat kearah yang tidak normal seperti halnya perubahan hidrologi. Bila kondisi ini yang terbentuk maka tindakan perbaikan habitat secara konvensional (penanaman) sering tidak berhasil meskipun dilakukan secara berulang7ulang (Djamaluddin, 2004).
Menurut Permenhut Nomor: P.70/Menhut7II/2008 Tentang Pedoman Teknis
Rehabilitasi Hutan dan Lahan,
hutan produksi (yang tanahnya miskin/ kritis dan tidak dibebani hak serta tidak dicadangkan/proses perizinan untuk pembangunan hutan tanaman7 HTI/HTR), serta Taman Hutan Raya (Tahura) yang dikelola oleh
Kabupaten/Kota, dan di luar kawasan hutan pada lahan tegakan mangrove yang telah mengalami degradasi/deforestasi sehingga terganggu fungsi ekologis, sosial dan ekonominya. Disamping itu rehabilitasi dilakukan pula pada kawasan pantai berhutan bakau, sesuai Keppres No. 32 Tahun 1990 dimana perlindungan terhadap kawasan ini dilakukan untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota
laut disamping sebagai perlindungan pantai dari pengikisan air laut serta perlindungan usaha budidaya di belakangnya.
Rehablitasi perlu dipertimbangkan untuk dilakukan ketika suatu sistem telah berubah dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau memperbaharui diri secara alami. Pada kondisi seperti ini ekosistem
telah berhenti secara permanen, dan proses kedua untuk perbaikan secara alami pasca kerusakan telah terhambat oleh karena beberapa kondisi (Lewis 1982,
Djamaludin 2004). Untuk banyak kasus seringkali pengelola suatu program rehabilitasi melakukan penanaman mangrove sebagai kegiatan pertamanya. Sebaiknya kegiatan rehabilitasi yang dilakukan berdasarkan diketahuinya penyebab hilangnya ekosistem mangrove di wilayah tersebut, kemudian baru
ada. Bibit mangrove ditanam hanya jika mekanisme alami tidak memungkinkan dan apabila secara hidrologi telah memungkinkan (Djamaluddin 2004).
Menurut Lewis (1982) Djamaluddin (2004) semua habitat
mangrove dapat memperbaiki kondisi alami dalam waktu 15720 tahun, jika paling tidak dua kondisi ini terpenuhi:
a) Kondisi normal hidrologi tidak terganggu.
b) Ketersedian biji dan bibit mangrove serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi.
Jika kondisi hidrologi pada kondisi normal tetapi biji mangrove tidak dapat
mendekati daerah rehabilitasi, maka rehabilitasi dapat dilakukan secara konvensional yaitu melalui penanaman. Secara umum rehabilitasi mangrove dapat dilakukan tanpa penanaman, maka rehabilitasi fisik dilakukan dengan terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau tekanan lingkungan lainnya yang menghalangi perkembangan mangrove. Jika aliran air terhalangi dan
ditemukan adanya tekanan lain maka hal tersebut harus ditangani terlebih dahulu, dan perlu dipastikan ketersediaan bibit alami. Bila bibit alami tidak tersedia maka perlu dilakukan penanaman untuk membantu perbaikan secara alami (Djamaluddin 2004).
Sangat disayangkan banyak kegiatan rehabilitasi mangrove langsung dimulai dengan aktivitas penanaman tanpa mempertimbangkan mengapa
perkembangan secara alami tidak terjadi. Seringkali kegiatan seperti ini mengakibatkan terjadinya kegagalan, haltersebut dapat dilihat pada beberapa proyek yang telah dilakukan Di Indonesia. Ada lima tahap yang penting yang perlu diperhatikan untuk rehabilitasi mangrove, yaitu:
a) Memahami autekologi (ekologi tiap jenis mangrove), pola reproduksi,
distribusi benih dan keberhasilan pembentukan bibit.
b) Memahami pola hidrologi normal yang mengatur distribusi dan keberhasilan pembentukan dan pertumbuhan jenis mangrove yang menjadi target.
d) Disain program rehabilitasi fisik untuk memperbaiki hidrologi yang layak, dan jika memungkinkan digunakan benih alami mangrove untuk melakukan penanaman.
e) Hanya melakukan penanaman bibit, memungut, atau mengolah biji setelah memperhatikan langkah7langkah tersebut diatas.
Faktor yang paling penting dalam mendesain suatu kegiatan rehabilitasi mangrove adalah pengenalan hidrologi (frekuensi dan durasi pasang surut) yang berlaku pada suatu komunitas mangrove yang berdekatan dengan area rehabilitasi. Pengumpulan data akan memerlukan biaya yang cukup besar karena akan
mengamati batas air pasang surut, serta melakukan survei terhadap mangrove yang tumbuh sehat untuk mendapatkan suatu penampang distribusi spasial, kemiringan, dan morfologi suatu ekosistem mangrove yang kemudian menjadi model kontruksi. Penimbunan dan penggalian kembali bekas galian diperlukan untuk membentuk tingkat kemiringan yang sama serta ketinggian relatif terhadap
batas areal yang ditentukan untuk memastikan hidrologinya sudah tepat (Djamaluddin 2004).
Areal dimana penimbunan dilakukan terhadap lahan yang pernah ditumbuhi mangrove, dilakukan pengerukan kembali lahan tersebut untuk mencapai tanah humus mangrove sebelumnya, atau dapat pula disesuaikan dengan ketinggian magrove yang ada disekitarnya. Bentuk lain dari rehabilitasi mangrove yaitu
melibatkan penggabungan kembali areal7areal hidrologi yang terpisah ke situasi jangkauan air yang normal (Djamaludin, 2004).
Penanaman mangrove hanya diperlukan jika pertumbuhan alami tidak
mungkin terjadi akibat kurangnya bibit/kecambah ) taupun kondisi
tanah yang kurang mendukung. Ketika penanaman diperlukan, penempatan bibit
yang telah matang secara langsung ke dalam hunus dapat mempercepat pertumbuhan mangrove. Proses tersebut tidak dapat dilakukan pada mangrove jenis lainnya karena diperlukan pelepasan kulit biji dari kecambah sebelum pembentukannya, serta diperlukan akar yang menyentuh permukaan tanah secara langsung dengan kotiledon yang terbuka. Kematian bibit pada tahap awal jarang terjadi, namun tingkat keberhasilannya hanya sekitar 50 persen.
dapat juga ditanam sepanjang tahun dengan hasil yang memuaskan (Djamaluddin 2004).
termasuk yang terjadi pada kawasan hutan mangrove telah
menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim di berbagai perjuru dunia, sehingga rehabilitasi ekosistem mangrove dapat juga digunakan sebagai salah satu solusi pengurangan dampak pemanasan global tersebut, terutama di negara7negara kepulauan. Aksi nyata yang dapat dilakukan adalah reforestasi pada ekositem mangrove yang rusak, untuk program jangka panjang diperlukan kejelasan dan manfaat dari adanya ekosistem mangrove terhadap masyarakat setempat. Salah
satu program yang dianjurkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah yang menerapkan kegiatan yang ramah lingkungan dengan menggabungkan tumbuhan dengan perikanan. Program ini dapat menerapkan sistem empang parit atau empang inti, empang parit merupakan sistem dimana tumbuhan mangrove berada ditengah7tengah kolam dengan dikelilingi oleh parit,
sedangkan empang inti merupkan kebalikannya yaitu parit yang dibuat dikelilingi oleh tumbuhan mangrove. Sistem ini sebenarnya dapat memberikan banyak keuntungan antara lain adalah kontruksi kolam akan lebih stabil karena adanya perakaran dan kualitas air akan lebih baik karena tersaring akar. Sistem ini juga akan terbantu oleh proses dekomposisi material organik karena adanya mikrobia pada dasar (debris) dan daun mangrove yang jatuh bersifat alelopaty dapat
menurunkan patogen pada ikan. Selain itu sistem juga dapat
mengurangi intrusi air laut karena berfungsi sebagai dan merupakan
mitigasi terhadap karena dapat menyerap karbondioksida dari
udara. Oleh karena itu masyarakat setempat dapat berpartisipasi aktif dalam mengelola ekosistem mangrove sekaligus melakukan mitigasi terhadap perubahan
iklim (Primavera. 2000}.
) ) * + , * $
Kegiatan budidaya di wilayah pesisir berupa budidaya pada tambak merupakan kegiatan pemeliharaan dan pembesaran biota perairan dalam suatu perairan tambak dalam waktu tertentu untuk mendapatkan hasilnya dengan cara
laut dan menggunakan air laut (bercampur dengan air sungai) sebagai
penggenangnya. Tambak berasal dari kata ” ! yang berarti membendung
air dengan pematang sehingga terkumpul pada suatu tempat. Bentuk tambak
umumnya persegi panjang dan tiap petakan dapat meliputi areal seluas 0,5 sampai 2 ha. Deretan tambak dapat mulai dari tepi laut terus ke pedalaman sejauh 173 km (bahkan ada yang mencapai 20 km) tergantung sejauh mana air pasang laut dapat mencapai daratan (Hardjowigeno 2001). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), berdasarkan letak tambak terhadap laut dan muara sungai yang memberi air ke tambak, maka dapat dibedakan tiga jenis tambak, yaitu:
(a) Tambak layah, adalah tambak yang terletak dekat sekali dengan laut atau lebih jauh, tetapi air laut masih dapat menggenangi tambak tanpa mengurangi salinitas yang menyolok, sehingga tambak tersebut berisi air laut yang berkadar garam 30 ‰.
(b) Tambak biasa, adalah tambak yang terletak di belakang tambak layah dan
selalu terisi campuran air asin dari laut dan air tawar dari sungai, setelah kedua macam air tersebut tertahan dalam petakan tambak, maka terciptalah air payau dengan kadar garam 15 ‰.
(c) Tambak darat, adalah tambak yang terletak jauh dari pantai laut. Tambak ini kurang memenuhi syarat untuk produksi biota air payau karena salinitasnya rendah (5710 ‰).
Biota perairan yang umum dibudidayakan di tambak antara lain: udang
vaname (" ), udang windu (# ), udang putih
(# ) bandeng ($ ), kakap (" ), nila
merah (% ), dan rumput laut (& ). Di wilayah
Kalimantan mulai muncul usaha budidaya kepiting bakau ( ) di
Untuk memperoleh produksi tambak yang diharapkan, kegiatan budidaya tambak udang harus memperhatikan daya dukung lahan. Poernomo (1992) menyatakan daya dukung tambak dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: tipe
dasar pantai, tipe garis pantai, arus, amplitudo pasang surut, elevasi, mutu tanah, air tawar, jalur hijau, dan curah hujan. Dari daya dukung tersebut maka dapat ditentukan tingkat teknologi budidaya yang tepat, yaitu tradisional, semi intesif, atau intensif.
Pada umumnya tambak Di Indonesia yang dikelola dengan tidak menggunakan kincir, sedikit menggunakan pakan, serta menerapkan pemupukan
sudah mampu memproduksi udang antara 5007750 kg/ha/4 bulan. Tambak yang dikelola dengan sistem tradisional ini akan memberikan kelangsungan produksi yang lebih lestari dibanding sistem intensif (Widigdo 2002). Di Philipina tambak yang lestari dan memiliki mutu produk yang baik adalah tambak yang menerapkan teknologi rendah (tradisional) dengan target produksi sekitar 6007750
kg/ha/4 bulan (Widigdo 2002). Sejalan dengan itu, Poernomo (1992) menyatakan bahwa tambak semi intensif mempunyai target produksi antara 274 ton/ha, sedangkan untuk tambak ekstensif target produksinya antara 5007750 kg/ha. Tambak yang dikelola dengan sistem ekstensif akan memberikan kelangsungan produksi yang lestari daripada sistem semi intensif.
) ' $ (
Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan
mangrove dapat dikelola dengan model atau wanamina yang dikaitkan
dengan program rehabilitasi pantai dan pesisir. Kegiatan berupa
empang parit pada kawasan hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani
telah dimulai sejak tahun 1978. Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpangsari pada hutan jati, di mana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman polowijo, dengan jangka waktu 375 tahun masa kontrak (Wirjodarmodjo dan Hamzah 1984). Semula, empang parit ini hanya berupa parit selebar 4 m yang disisihkan dari tepi areal kegiatan reboisasi hutan mangrove, sehingga keluasannya mencapai 10715% dari total area garapan. Jarak tanam 3 m x 2 m,
menutup (Wirdarmodjo dan Hamzah, 1984; Perum Perhutani Jawa Barat, 1984). Sejak tahun 1990 dibuat sistem pola terpisah (komplangan) dengan 20 % areal untuk budidaya ikan dan 80% areal untuk hutan dengan pasang surut bebas. Dari
sistem semacam ini dengan pemeliharaan bandeng dan udang liar
dapat dihasilkan keuntungan sebesar Rp 5.122.000,7/ha/tahun untuk 2 kali panen
setiap tahun (Perum Perhutani 1995). Dalam membandingkan pola di
Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pola komplangan menunjukkan perbandingan relatif lebih baik daripada pola empang parit, baik dalam hal produktivitas perairan maupun pertumbuhan mutlak, kelangsungan hidup maupun biomassa
bandeng yang dipelihara pada masing7masing pola (Sumedi dan Mulyadhi, 1996). Selisih pertumbuhan mutlaknya hanya 9,6 g sedangkan biomassanya 7,1 kg/m3. Hasil ini berbeda dengan penelitian Poedjirahajoe (2000) yang mengemukakan bahwa justru pola empang parit menghasilkan bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata7rata 1 kg lebih berat dibandingkan dengan pola komplangan. Namun
demikian, kedua sistem ini turut membantu dalam meningkatkan pendapatan petambak. Masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove dengan sistem ini cukup besar. Data dari KPH Purwakarta menunjukkan bahwa dari luas areal mangrove seluas 14.535 ha dapat melibatkan sebanyak 4.342 KK dalam kegiatan (Perhutani Purwakarta, 2005). Kontribusi dari usaha budidaya tambak dengan luas total 208.000 ha dapat menghasilkan 129.279 ton ikan dan
udang yang apabila ditaksir, nilainya melebihi dari Rp 138 milyar. Kegiatan ini pun dilaporkan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 117.034 KK yang sudah barang tentu dapat memberikan penghasilan yang lebih baik bagi petani kecil (Fitzgerald and Savitri 2002).
) ) * - ' $ .
Pada $ $ ' Artikel 9 Mengenai
Pembagunan Budidaya (FAO. 1995) mensyaratkan antara lain bahwa :
a) Pemerintah harus mempromosikan pembangunan bertanggung jawab dan manajemen dalam akuakultur, termasuk melakukan evaluasi efek dari kegiatan akuakultur terhadap keragaman genetic dan kesatuan ekosistem berdasarkan
b) Pemerintah seharusnya membuat dan selalu meng rencana dan strategi pengembangan akuakultur, seperti halnya untuk menentukan pengembangan akuakoltur yang ramah lingkungan dan memungkinkan terjadinya
keseimbangan sumberdaya untuk kegiatan akuakultur dan aktivitas lainnya. c) Pemerintah seharusnya membuat prosedur yang spesifik untuk menilai
lingkungan budidaya dan akibat lainnya seperti buangan air, penggunaan lahan, pengguanaan obat7obatan dan bahan kimia,dan aktivitas lainnya.
d) Pemerintah seharusnya mendorong teknologi budidaya yang bertanggungjawab terhadap masyarakat umum, pelaku usaha, dan petani ikan.
e) Pemerintah seharusnya mendorong partisipasi aktif petani ikan dan masyarakat sekitar dalam pengembangan penerapan manajemen budidaya perikanan yang bertanggung jawab.
Menurut Fitzgerald dan William (2002), penerapan sistem tambak harus berdasarkan pada alasan yang tepat, prinsip dasarnya adalah
keberlanjutan pembangunan dan pertimbangan manajemen harus menjadi utama dalam pembangunan, misalnya penerimaan dan dampak dari keberadaan populasi alami terhadap spesies budidaya harus dapat diterima termasuk adanya benih dan tingkat kelangsungan hidup. Desakan pertumbuhan populasi pada kawasan mangrove akan memberikan pengaruh terhadap isu lingkungan, konservasi, sosial dan ekonomi. Pembangunan adalah sesuatu yang dinamis, banyak hal yang
mengikuti proses tersebut setiap saat termasuk aktivitas, penelitian, teknologi penanggulangan dan hal ini seharusnya terlihat dari kebijakan politik dan regulasi serta strategi penerapan dengan melakukan revisi secara berkala. Pengembangan harus dilaksanakan dengan berdasarkan pada kondisi lingkungan yang khusus dan disesuaikan dengan daya dukung lingkungan tersebut. Pembangunan
harus memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seacara ekonomi ekonomi dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Pendekatan terintegrasi akan memeberikan peluang terhadap aktivitas ekonomi dengan tetap menerapkan program konservasi dan rehabilitasi terhadap ekosistem mangrove.
Seperti disebutkan Bagarinao and Primavera (2005) pada $ #
( ) & * ,
kecil yang mengintegrasikan antara sistem pengelolaan mangrove dan akuakultur
( ), yaitu yang tidak merusak, berkelanjutan dan memberikan
manfaat kepada masyarakat nelayan. Pada artikel selanjutnya disebutkan bahwa
pemerintah seharusnya memberikan teknologi dan informasi yang tepat pada para petani ikan mengenai manjemen terbaik untuk penerapan pada kawasan mangrove. Teknologi tepat guna yang dapat diterapkan pada kawasan mangrove, antara lain adalah :
a) Sistem .
b) Budidaya kepiting sistem karamba.
c) Budidaya ikan sistem karamba.
d) Budidaya kerang sistem rakit pada saluran air.
e) Budidaya rumput laut sistem longline pada saluran air, dan lainya.
& (
Pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk pengembangan usaha tambak secara ideal perlu mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dan kelestarian ekosistem kawasan mangrove. Dalam upaya tersebut, dapat dikembangkan suatu pola pemanfaatan kawasan secara lestari dan berwawasan lingkungan yaitu melalui
pengembangan tambak sistem wanamina ( ).
Wanamina atau tambak tumpangsari, merupakan suatu pola
yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan hutan mangrove yang berpenduduk padat. Pola ini yaitu berupa kombinasi antara tambak/empang dengan tanaman mangrove (bakau), yang diharapkan di satu sisi mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan di sisi lainnya kelestarian kawasan mangrove tetap terpelihara. Pola ini pertama kali diterapkan di Burma,
dan berhasil dengan baik.
Pada dasarnya prinsip merupakan upaya perlindungan kawasan
hutan mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan mangrove bermata pencaharian sebagai nelayan. Dengan demikian pengembangan sistem tambak tumpangsari, disamping memang sesuai dari segi
Model tambak tumpangsari yang telah mulai banyak diterapkan di beberapa areal pertambakan di Indonesia ada 5 macam, yaitu model empang tradisional, komplangan, empang terbuka, model Tasik Rejo, dan model Kao7kao. Pendekatan
perbaikan kondisi ekosistem mangrove di luar ke75 model tersebut di atas yaitu perbaikan pada model tambak terbuka yang sama sekali tidak terdapat vegetasi mangrove. Caranya yaitu dengan menanam mangrove di sepanjang saluran primer dan sekunder, sempadan sungai, dan sempadan pantai.
Menurut PerMenHut No. P.70/Menhut7II/2008, silvofishery atau wanamina adalah pola tanam tumpangsari tambak pada daerah hutan:
a) Penanaman tumpangsari tambak dilaksanakan seperti halnya dengan penananam murni, tetapi dikombinasikan dengan kegiatan pertambakan. Penanaman selain pada tanggul juga dilakukan di pelataran tambak sesuai dengan rancangan;
b) Cara penanaman dapat secara langsung dengan buah/benih atau menggunakan
bibit yang telah disiapkan. Jarak tanam disesuaikan dengan kondisi lapangan; penyulaman maksimal 10 persen;
c) Pola tumpangsari tambak (sylvofishery/wanamina) terdiri dari 4 (empat) macam model yaitu: empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka dan kao7kao (Gambar 2).
Gambar 2 Macam7macam model + empang parit tradisional,
Sistem yang banyak dikembangkan di Indonesia secara umum ada dua model, yaitu empang parit atau lebih dikenal dengan tambak tumpang sari dan komplangan.
&
atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan
pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep ini
dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan
dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan.
Pola empang parit merupakan model yang umum dikem7
bangkan dengan membuat saluran air tempat membudidayakan/memelihara ikan ataupun udang. Saluran air ini mengelilingi lahan yang digunakan untuk , sedangkan tumbuhan mangrove dapat ditanam di bagian tengah,
sehingga terdapat perpaduan antara tumbuhan mangrove (wana/ ) dan
budidaya ikan (mina/ ). Kondisi ini dapat diterapkan pada areal bekas
tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran tambak (bagian
tengah) untuk ditanami mangrove, sedang7kan bagian caren atau parit tetap dibiarkan seperti semula. Dengan menggunakan sistem empang parit ini, maka lahan yang akan di7reforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak. Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu mangrove (Bengen, 2000). Namun demikian, menurut Fitzgerald (1997),
kepadatan mangrove yang ditanam dapat bervariasi antara 0,1772,5 pohon/m2.
Kepadatan mangrove tersebut akan mempengaruhi sistem budidaya
perikanan, karena produktivitas tambak sangat tergantung pada
dan kepiting bakau. Jenis mangrove yang ditanam umumnya adalah bakau
( sp) atau dapat juga menggunakan jenis api7api ( spp).
Kanal untuk memelihara ikan/udang berukuran lebar 375 m dan kedalaman
sekitar 40780 cm dari muka pelataran. Dengan berbagai modifikasi disain dasar tersebut, maka luasan perairan terbuka yang dapat digunakan untuk memelihara ikan/udang dapat disesuaikan hingga mencapai 40760%. Berbagai jenis ikan, seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih, dan baronang, serta berbagai jenis udang dan kepiting bakau dapat dipelihara secara intensif di kanal tersebut.
Menurut Fitzgerald dan William (2002), model empang parit menunjukan
hasil yang terbaik dalam upaya reforestasi pada daerah kolam, keberadaan mangrove ini sangat penting karean dapat mencapai 80% dari luas kolam yang ada dan akan dipengaruhi oleh pasang surut air pada kolam. Kanal pada kalam tersebut memiliki lebar 375 meter dan kedalaman 40780 cm dari permukaan tengah kolam,.ada banyak variasi pada model dasar ini untuk meningkatkan
luasan permukaan air. Berbagai jenis ikan, udang dan kepiting dapat budidayakan pada kolam dengan model ini.
Produktivitas kolam ini sangat ditentukan oleh pemanfaatan
pupuk hijau yaitu untuk mendorong terjadinya rantai makanan. Pengkayaan unsur organik pada daerah ini berasal dari sisa pohon mangrove, adapun kepadatan pohon mangrove berkisar antara 0,1772,5 pohon/m2 pada system empang parit.
Debris dan produksi organik dalam kolam sangat dipengaruhi faktor lain seperti keragaman pertumbuhan flora dan fauna non7mangrove (missal algae) yang membentuk bagian penting rantai makanan bagi spesies yang dibudidayakan Kepadatan mangrove hendaknya disesuaikan dengan spesies budidaya yang dilaksanakan, misalnya untuk ikan bandeng sebaiknya menggunakan kerapatan
mangrove rendah (0,2 pohon/m2), sedangkan untuk budidaya udang dan kepiting dapat menggunakan tingkat kerapadatan yang lebih tinggi (Fitzgerald & William. 2002).
Selanjutnya menurut Fitzgerald and William (2002), model tambak empang parit ini memiliki beberapa kelemahan jika dibandingkan model tambak konvensional, yaitu :
b) Pengelolaan yang lebih sulit.
c) Sirkulasi air berkurang sehingga berpotensi menyebabkan perairan lebih stagnan dengan kadar oksigen yang rendah.
d) Spesies yang dibudidayakan lebih terbatas (Misal : rumput laut akan terhalang pohon, pertumbuhan akan terhambat).
e) Pohon mangrove akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke kolam sehingga menyebabkan produktivitas phytoplankton dan algae bentik rendah.
f) Berpotensi adanya racun dari tannin pohon mangrove.
Aplikasi dari tambak silvofishery ini harus berdasarkan sebab yang jelas dan
terukur, misalnya kegiatan pemanfaatan pada daerah yang memiliki sensitivitas lingkungan seperti pada kawasan ekosistem mangrove. Pemilihan model silvofishery yang akan diterapkan sangat tergantung dan berdasarkan pada status ekosistem mangrove tersebut. Hal itu juga harus dikaitkan dengan kondisi
pendekatan integrasi berdasarkan . Kondisi ini
memerlukan pendekatan yang tinggi antara nilai mangrove dan nilai manfaat ekonomi dari usaha budidaya air payau.
& )
Model atau pola komplangan merupakan suatu sistem dengan
desain tambak berselang7seling atau bersebelahan dengan lahan yang akan
ditanami mangrove. Lahan untuk mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu air yang terpisah. Luas
areal yang akan digunakan untuk dengan model ini disarankan antara
274 ha, sehingga nantinya akan dikembangkan ukuran tambak yang standar untuk memelihara ikan/udang minimal adalah 1 ha. Model ini merupakan suatu metode
budidaya air payau dengan input yang rendah dan menghasilkan dampak negatif yang minimal terhadap lingkungan (ekosistem).
Sistem komplangan yang diterapkan tegak lurus dengan garis pantai memungkinkan sejumlah aliran air tawar menuju ke mangrove di dalam areal . Model ini juga dapat menjaga kelimpahan keanekaragaman
lebih cocok diterapkan pada areal dengan kepemilikan yang jelas, seperti lahan milik pemerintah atau ahan7lahan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat.
Clough (2002) memberikan rekomendasi manajemen teknis dari kegiatan
yang telah dilaksanakan mencakup tiga bidang yaitu: budidaya udang, silvikultur pada mangrove dan diversifikasi budidaya. Selain itu, rekomendasi yang dibuat pada kajian bidang ekonomi, sosial dan isu7isu perkembangan kebijakan. Untuk perbaikan pada kegiatan budidaya udang, rekomendasi difokuskan pada peningkatan kualitas air dan kualitas sedimen, teknik stok untuk benih udang windu, dan stok udang liar dan teknik pemanenan.
Selanjutnya menurut Fitzgerald and William (2002) beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam desain kolam silvofishery adalah sebagai berikut:
a) Rasio antara mangrove area dan area air kolam.
b) Rasio antara area air dan panjang tanggul kolam (menunjukan luas area produksi dengan nilai ongkos investasi).
c) Rasio lebar pintu untuk memasukan benih alam dan flushing tambak (50 cm/ha).
d) Tidal flushing rate and tidal flushing range.
e) Mengalirkan air pada kolam ketika air stagnan, yaitu terjadi kadar oksigen rendah terutama pada air bagian bawah.
f) Ukuran panjang dan lebar kanal dan,
g) Posisi lokaasi, keadaan tanah, kelimpahan stok alami.
Menurut Clough (2002), Untuk meningkatkan hasil pada tambak
sistem , ada beberapa yang perlu diperhatikan yaitu :
a) Menjaga kedalaman air kolam pada kisaran 1 meter dengan mengurangi lumpur yang ada, ketika lumpur sering menjadi permasalahan utama maka 30
% dari luas kolam harus digali pada kedalaman 1,5 meter termasuk saluran pembuangannya.
c) Meminimalkan efek yang merugikan dari pengangkatan sedimen pada dasar terhadap kolam dan ekosistem mangrove. Idealnya tanah dari lumpur kolam ditempatkan pada satu area yang luas untuk dijadikan kebun tanaman.
d) Melaksanakan pendederan benih udang yang baik, untuk #
disiapkan 10720% dari luas kolam dilakasanakan selama 20730 hari dengan pemberian pakan setiap hari berupa ikan rebus dan telur. Pada kolam pembesaran kepadatan 172 individu/m2 dengan monitoring setiap 10715 hari, diharapkan pada akhir pemeliharaan SR berkisar antara 30740 persen.
Untuk manajemen pemeliharaan mangrove disarankan beberapa hal
mengenai pananaman dan penjarangan sebagai berikut : a) Padat penanaman berkisar 7000710.000 pohon/ha.
b) Untuk selanjutnya penjarangan pertama dapat dilakukan umur 778 tahun menjadi 5000 pohon/ha.
c) Dan penjarangan yang kedua pada umur 12 tahun, yaitu menjadi 2000 pohon
perhektar.
d) Panen total dilakukan pada mangrove berumur 18720 tahun.
e) Perbedaan umur tanam dari masing7 masing petani adalah 274 tahun, yang tidak kalah penting adalah flexibilitas penerapan hal diatas oleh para petani. f) Diversifikasi tanaman dan jenis budidaya sangat dimungkinkan sesuai kondisi,
misalnya penanaman jenis pohon buah yang toleran terhadap salinitas, atau
jenis pohon kayu yang lain, atau budidaya kepiting bakau selain budidaya udang dan ikan.
g) Lebih penting lagi adalah rekomendasi strategi pembangunan jangka panjang untuk pemanfaatan tanah dan alokasi sumberdaya yang mengakibatkan perubahan topografi sehingga menyebabkan sedimentasi dan erosi pada muara
sungai.
Dengan penerapan sistem kita dapat memberikan manfaat
ekonomi dari kawasan mangrove dengan tetap menjaga aspek kelestarian lingkungan. Dalam hal ini dapat kita lihat, sistem ini memberikan manfaat secara terbatas pada upaya pemulihan pada kolam7kolam yang sudah tidak produktif (misalnya karena terkena penyakit) sehingga tetap dapat memberikan manfaat
ekonomi akan memperluas peluang diterimanya sistem sebagai suatu aktivitas yang memberikan nilai ekonomi di kawasan mangrove, sistem ini juga dapat menjadi alternatif aktivitas ekonomi untuk mengatasi permasalahan
kemiskinan dan mengurangi tekanan dari kegiatan pembangunan terhadap kawasan mangrove. Untuk itu perlu dijadikan pertimbangan dalam setiap kegiatan pembangunan dan strategi manajemen dikawsan pesisir, dan dapat memberikan jalan yang tepat untuk perubahan pelaksanaan budidaya intensif diluar kawasan
mangrove (Fitzgerald 2002)
Selanjutnya Fitzgerald and William (2002), menyatakan bahwa para petani
Di Indonesia menerima pendapatan kotor sekitar US$580 pertahun/ha (dengan kisaran US$3237946), sedangkan penerimaan bersihnya sekitar US$356 pertahun/ha. Seorang petani biasa mengelola 1,5710 hektar tambak silvofishery. Data menunjukan bahwa hasil produksi per unit tambak diperoleh pada luasan kolam yang tidak terlalu besar, riset selanjutnya diperlukan untuk menentukan dan
mengevalusi masing7masing model tambak sivofishery.
Seperti disebutkan pada Bagarinao and Primavera (2005) artikel 20
menyebutkan bahwa : Pemerintah seharusnya mempertimbangkan adany labeling produk dan sertifikasi pada produk budidaya dan perikanan yang ramah lingkungan (mangrove friendly), hal tersebut untuk meningkatkan kepedulian konsumen tentang produk ramah lingkungan dan memberikan insentif tambahan
pada para petani ikan. Pada artikel selanjutnya disebutkan bahwa pemerintah harus melaksanakan penelitian, transfer teknologi, pelatihan,desiminasi informasi, komunikasi dan penyebaran pendidikan terhadap masyarakat tentang pentingnya
konservasi dan ) ,' * (MFA).
Menurut David and Mirera (2008), peningkatan kesejahteraan masyarakat
Menurut Soewardi (2010) tahapan dalam melaksanakan kajian penerapan
tambak sistem dengan melakukan kajian pada sapek bioteknis dan
aspek sosial ekonomi, dengan rincian sebagai berikut:
1. Identifikasi teknologi budidaya yang telah diterapkan petambak 2. Menentukan kesesuaian air, lahan dan daya dukung kawasan
3. Merancang disain umum demplot
4. Merancang disain umum kawasan
5. Menyusun % # untuk tambak
/
1. Identifikasi gambaran umum wilayah calon lokasi kegiatan
2. Identifikasi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di lokasi proyek 3. Identifikasi persepsi masyarakat terkait dengan proyek ini
4. Membuat permodelan sosial7ekonomi untuk pengelolaan pertambakan pola .
0 *
Menurut Kadariah (1998), dalam mengukur atau menilai adanya suatu proyek yang akan atau yang telah didirikan digunakan kriteria sebagai berikut:
0 ! 1#
Net present value merupakan selisih anatara present value dari benefit dengan present value dari biaya. Suatu proyek akan diterima bila nilan NPV7nya positif, bila NPV7nya bernilai sama dengan nol maka proyek tersebut
mengembalikan persis sebesar atau disebut juga
proyek dalam keadaan , dan bila NPV7nya bernilai negative maka
0 ! %2#
Net benefit cost ratio merupakan perbandingan antara benefit bersih dari
tahun7tahun yang bersangkutan yang telah di kan, dimana benefit
bersih (Bt – Ct) dari pembilang bernilai positif dan penyebut adalah nilai (Ct – Bt) dari tahun7tahun dimana (Bt – Ct) bernilai negatife. Kriteria Net B/C adalah
proyek diterima apabila Net B/C ≥ 1, dan ditolak apabila Net B/C < 1 (Gray .
2005).
0 & ! ''#
Internal Rate of Return adalah nilai discount rate yang membuat NPV dari
proyek sama dengan nol (Gittinger, 2008). Selanjutnya Kadariah (1978)
menyatakan bahwa IRR juga dapat dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi suatu proyek asalkan setiap benefit bersih yang diwujudkan setiap tahun secara otomatis ditanamkan kembali pada tahun berikutnya dan mendapatkan
keuntungan (i) yang sama, yang diberi berbunga selama sisa umur proyek.
Kriteria IRR adalah bahwa apabila nilai IRR lebih besar atau sama dengan tingkat suku bunga yang berlaku (discount rate), maka proyek dinyatakan layak, dan sebaiknya bila IRR lebih kecil dari discount rate yang berlaku, maka proyek
dinyatakan tidak layak (Gray . 2005)..
3 (
Secara umum terdapat dua jenis pengertian kelembagaan atau institusi, pertama adalah institusi sebagai organisasi dan kedua adalah institusi sebagai
aturan main atau - ! Institusi sebagai suatu organisasi biasanya
menunjukan pada lembaga7lembaga formal seperti departemen dalam
pemerintahan, koperasi, bank, rumah sakit, dan sejenisnya. Institusi sebagai “rules of the game” merupakan aturan main, norma7norma, larangan7larangan, kontrak, dan lain sebagainya dalam mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi (North 1990; Rodgers 1994). Bromley
(1992) mengibaratkan organisasi sebagai dan institusi adalah
Suatu institusi terdiri dari tiga unsur utama yaitu batas jurisdiksi
(. ), hak kepemilikan ( ) dan aturan representasi
( ). Satu institusi berbeda dengan institusi lainnya apabila
satu atau lebih dari unsur7unsur tersebut berbeda. Untuk memahami institusi lebih mendalam dan dapat melihat dampak perubahan alternatif institusi terhadap performa, kita perlu terlebih dahulu mempelajari unsur7unsur dari institusi itu
sendiri (Schmid Allan 1987).
Landasan kerangka analitik institusi adalah mempelajari dampak perubahan alternatif institusi terhadap perubahan prilaku manusia yang akhirnya
akan menghasilkan performa yang berbeda. Perubahan institusi hanya akan menghasilkan performa yang berbeda
seperti: Inkompatibilitas,
ongkos eksklusi tinggi / 0 ongkos transaksi, skala ekonomi,
. dan seterusnya. Kemampuan suatu institusi mengkordinasikan,
selama 4 bulan, yaitu pada Bulan Maret 2011 sampai dengan Juni 2011
Gambar 3 Lokasi Penelitian.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder, data primer adalah data yang diambil langsung pada saat penelitian,
melalui observasi, kuisioner, dan wawancara langsung di lokasi penelitian. Data
sekunder didapatkan dari beberapa instansi terkait yaitu Dinas Kehutanan dan
Perkebunan (Dishutbun) dan Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanlut)
Kabupaten Kubu Raya, serta referensi yang menunjang dalam penelitian ini.
Adapun jenis data primer dan sekunder serta sumber data yang akan diambil
Tabel 2 Jenis data primer dan sekunder serta sumber data
Studi Literatur Intansi Terkait &
" #
! $ %
Penarikan contoh (sampel) untuk kondisi bioteknik kawasan tambak
dilakukan dengan yaitu metode penarikan contoh
secara tidak acak melainkan berdasarkan pertimbangan jenis dan pemanfaatan
sesuai tujuan dan kondisi di lapangan, serta dianggap representative. Data ini
sangat berguna untuk penyusunan sistem yang akan diterapkan,
wawancara dilakukan terhadap petambak, penangkap ikan dan pengepul.
Data yang diambil meliputi desain dan kontruksi tambak, teknologi
budidaya, hasil tangkapan pada kawasan mangrove, dan kondisi kualitas air.
Desain dan Kontruksi tambak, dilakukan pengukuran dan gambar teknik terhadap
desain dan kontruksi kolam yang ada saat ini. Data yang diambil meliputi:
a) Bentuk kolam
b) Ukuran panjang, lebar dan kedalaman
c) Kontruksi tanggul
d) Kontruksi pintu dan
e) Kontruksi pintu panen
Pengambilan data mengenai teknologi budidaya yang dilaksanakan dilokasi
adalah mengenai jenis komoditas yang dikembangkan dan tahapan budidaya yang
dilakukan. Data kualitas air, pengambilan sampel dilakukan pada beberapa lokasi
tambak sebagai ulangan. Aktivitas pengamatan disesuaikan dengan proses
pergantian air tambak yaitu pada saat pemasukan (air pasang) dan saat
pengeluaran (air surut).
Adapun data parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian ini dapat
dilihat pada tabel 3.
Tabel 3 Parameter kualitas air yang diukur
" #
Pengumpulan data sosial ekonomi pada penelitian ini menggunakan
metode wawancara, diskusi dan kuisioner. Wawancara dan diskusi dilakukan
terhadap petambak, masyarakat, pengelola kawasan lindung (Dishutbun KKR)
dan instansi yang terkait (Diskanlut KKR dan aparat Desa Dabong). Wawancara
dan kuisioner dilakukan terhadap petambak, dilanjutkan dengan wawancara yang
lebih mendalam terhadap tokoh9tokoh setempat. Kuisioner diberikan kepada 40
orang petambak yang melaksanakan usaha perikanan budidaya pada tambak,
sehingga diharapkan mampu memberikan gambaran secara terperinci mengenai
kondisi kegiatan usaha yang mereka laksanakan. Wawancara dengan pihak
pemerintah akan dipilih berdasarkan posisi dan keterlibatan mereka dalam
pengelolaan kawasan lindung. Penentuan responden untuk data sosial ekonomi
menggunakan teknik
" # ! " ( "
Pengumpulan berbagai data penunjang pada penelitian ini menggunakan
metode penelusuran berbagai pustaka/ referensi dan dokumen melalui kajian:
Peraturan pemerintah, laporan intansi terkait, dokumen dan peta kawasan lindung
serta penelitian9penelitian sebelumnya.
Data penunjang yang dikumpulkan meliputi data kondisi fisik wilayah,
kebijakan dan program pemerintah serta berbagai data untuk melengkapi data
ekosistem mangrove dan tambak, sosial ekonomi dan kelembagaan. Pengumpulan
data penunjang dilakukan dengan penelusuran berbagai pustaka/dokumen dari
instansi terkait seperti : Bappeda kabupaten Kubu Raya, Dinas Kehutanan, Dinas
Perikanan dan Kelautan, Badan Pusat Statistik (BPS), Kantor Desa Dabong,
Kantor Kecamatan Kubu dan lain9lain.
)
Kegiatan analisis data bioteknik dan ekonomi difokuskan pada kawasan
ekosistem mangrove yang telah di konversi menjadi tambak, dan analisis sosial9
termasuk petambak. Analisis data dilakukan dalam 4 (empat) tahap berurutan,
yaitu:
1) Analisis bioteknik kawasan, dengan melakukakan kajian penerapan
berdasarkan kondisi tambak dengan menggunakan
analisis deskriptif. Analisis bioteknik dilakukan dengan menganalisis data
bioteknik kawasan pada kegiatan tambak tradisional yang dilaksanakan saat
ini. Selanjutnya membuat rencana teknis penerapan model yang
meliputi desain kontruksi dan membuat prosedur teknologi budidaya yang
tepat.
2) Analisis sosial, dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi dan persepsi
khususnya petambak terhadap penerapan sistem
dinyatakan dalam satuan persentase. Sedangkan persepsi pengelola kawasan
dan institusi terkait dilakukan dengan wawancara secara mendalam dengan
pihak yang berkopeten.
3) Analisis kelembagaan, dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi
kelembagaan saat ini meliputi seluruh yang terkait dalam
pengelolaan ekosistem mangrove. Analisis kelembagaan dalam penelitian ini
dilakukan secara deskriptif kualitatif terhadap perencanaan dan pelaksanaan
pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove untuk penerapan sistem
4) Analisis kelayakan dilakukan dengan menggunakan studi kelayakan finansial
dan ekonomi jika tambak tersebut diterapkan sistem berdasarkan
perbandingan (rasio) antara manfaat ( ) yang akan diperoleh dengan
biaya9biaya ( ) yang harus dikeluarkan agar usaha tersebut dapat
berlangsung.
Adapun penjelasan tahap masing9masing analisis data tersebut, adalah
sebagai berikut:
) $ !
Analisis bioteknik dilakukan dengan menganalisis data bioteknik kawasan
kepada: Pedoman yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup dan
standar tahapan kegiatan budidaya pada tambak, teknologi dan
kualitas perairan. Selanjutnya membuat rencana teknis penerapan
yang meliputi: Penyusunan kawasan, menyusun desain kontruksi dan
membuat prosedur teknologi budidaya yang tepat.
Standar tahapan kegiatan budidaya yang diamati, secara jelas dapat dilihat
pada gambar 4 dibawah ini.
Gambar 4 Tahapan kegiatan usaha pembesaran udang di tambak.
Penelitian terhadap optimasi produksi dengan tetap mengintegrasikan
antara mangrove dan budidaya perikanan harus menjadi prioritas. Penelitian yang
dilaksanakan harus mengarah pada peningkatan produksi dari berbagai model
silvofishery. Hal penting lainnya adalah kegiatan reforestasi pada lahan9lahan
yang telah menjadi milik pribadi. Optimalisasi yang dimaksud adalah penggunaan
* ! $ ! +' ,
&
$
-#
)
. %
/
0
1 & 2
3
4 5
input produksi dan strategi penebaran jenis spesies yang berbeda dalam sistem
produksi polikultur (Macintosh 2002).
) #
Analisis persepsi yang digunakan untuk mengetahui pandangan
masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove Di Desa Dabong
dilakukan dengan mengajukan wawancara dan kuisioner kepada 40 petambak,
sedangkan terhadap lainnya dilakukan dengan teknik wawancara
secara mendalam. Sehingga dapat mengetahui kondisi, pengetahuan, motivasi
dan penerimaan sosial petambak serta dukungan dalam menentukan
tahap9tahap penerapan .
Dalam strategi penerapan bagian yang sangat menentukan
dalam keberhasilan pengelolaan kawasan tersebut adalah petambak, pengelola
kawasan dan institusi terkait. Institusi tersebut sangat berkepentingan dengan
kondisi dan potensi sumberdaya alam yang ada pada ekosistem mangrove.
Sehingga kondisi dan aktivitas tersebut di sekitar kawasan mangrove
akan memberikan dampak pada ekosistem mangrove, atau dengan kata lain
keberhasilan pengelolaan mangrove berbasis sangat tergantung dari
persepsi dan peran serta semua . Persepsi petambak diukur dengan
nilai kuantitatif beruapa persentase pandangan petambak terhadap pengelolaan
ekosistem mangrove Di Desa Dabong, yaitu berkisar antara 0% sampai 100%
yang menunjukan pandangan sangat buruk (0%) sampai dengan sangat baik
(100%). Sedangkan persepsi pengelola kawasan dan institusi terkait dilakukan
dengan wawancara secara mendalam dengan pihak yang berkopeten. Kondisi dan
persepsi petambak terhadap Di Desa Dabong terbagi menjadi 3 (tiga)
kelompok pertanyaan, antara lain :
1) Kondisi kegiatan usaha tambak dan status hutan lindung (4 pertanyaan)
2) Motivasi usaha dan kesadaran lingkungan (7 pertanyaan)
3) Pengetahuan dan motivasi petambak terhadap penerapan (5
pertanyaan).
Hasil jawaban dari responden tersebut selanjutnya dianalisis dengan
jumlah skor kriterium (skor tertinggi x jumlah pertanyaan x jumlah responden)
dan kemudian di kalikan dengan 100 untuk mendapatkan persentasinya. Kategori
tingkat nilai (N) yang diberikan pada hasil wawancara pengelolaan ekosistem
mangrove di Desa Dabong adalah sebagai berikut:
80 < N ≤ 100% = Sangat Baik, dengan nilai 5
60 < N ≤ 80% = Baik, dengan nilai 4
40 < N ≤ 60% = Sedang, dengan nilai 3
20 < N ≤ 40% = Kurang Baik, dengan nilai 2
0 < N ≤ 20 % = Tidak Baik, dengan nilai 1.
) 7
Dalam rangka untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya masyarakat
dihadapkan pada kenyataan terbatasnya faktor sumber9sumber produksi seperti
modal, keterampilan, dan sumberdaya alam, dimana faktor9faktor tersebut
merupakan input untuk mencapai tujuan. Berdasarkan kenyataan ini, maka
sebelum mengambil keputusan untuk melaksanakan suatu usaha atau kegiatan kita
harus terlebih dahulu merencanakannya secara matang. Selanjutnya dari
perencanaan kegiatan tersebut dilakukan perhitungan9perhitungan pendahuluan
yang didasarkan pada perbandingan (rasio) antara manfaat ( ) yang akan
diperoleh dengan biaya9biaya ( ) yang harus dikeluarkan agar usaha tersebut
dapat berlangsung. Menurut Djamin (1993), suatu kegiatan yang menggunakan
modal atau faktor9faktor produksi yang diharapkan akan memberikan manfaat
setelah jangka waktu tertentu, dinamakan proyek. Agar tujuan yang diharapkan
akan diberikan oleh proyek tersebut dapat tercapai, maka perencanaan atau
perhitungan9perhitungan pendahuluan berdasarkan rasio biaya dan manfaat adalah
penting.
Dalam analisis ini yang dimaksud proyek kegiatan kegiatan usaha tambak
udang vaname sistem yang akan dilaksanakan Di Desa Dabong,
analisis yang dilakukan menitikberatkan pada aspek finansial dan ekonomi
dimana manfaat yang diperhitungkan adalah semua yang bernilai uang. Maka
dalam perhitungan pendahuluan ini, bila kriteria “layak” pada analisis Net B/C
Selanjutnya menurut Kadariah, (1978), tujuan dari analisis proyek ialah
untuk memperbaiki pemilihan investasi. Kesalahan dalam memilih proyek dapat
mengakibatkan pengorbanan dari sumber9sumber yang tersedianya langka.
Karena itu perhitungan9perhitungan pendahuluan perlu dilakukan sebelum proyek
dilaksanakan untuk menentukan apakah proyek tersebut dapat memberikan
manfaat yang lebih besar bila dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan.
$ & 8
Menurut Gittinger (2008), dalam analisis proyek yang dilakukan oleh
bank dunia, baik biaya maupun manfaat didiskontokan sejak tahun pertama
proyek. Sebaliknya beberapa badan internasional dan banyak perusahaan swasta
hanya mulai mendiskonto biaya dan manfaat pada tahun kedua proyek, dengan
kata lain bahwa tahun pertama dianggap (t0). Namun demikian bila penggunaan
kedua cara tersebut diamati, maka hasilnya tidak akan menimbulkan
penyimpangan atau kesalahan yang konsisten dalam analisis proyek yang
dievaluasi dengan ukuran9ukuran manfaat proyek.
Berdasarkan perhitungan percobaan yang dilakukan terhadap beberapa
kasus dengan menggunakan NPV dan IRR, diperoleh hasil bahwa nilai NPV
proyek yang manfaat dan biayanya didiskontokan pada tahun ke92 proyek (tahun
pertama = t0 ) akan lebih besar daripada kalau proyek tersebut didiskontokan pada
tahun ke91 (tahun pertama = t1), sedangkan nilai tingkat pengendalian internal
(IRR) akan sama pada minimal level dua desimal. Dari kenyataan9kenyataan
tersebut, bahwa dapat disimpulkan bahwa penggunaan diskonto pada tahun
pertama dan tahun kedua tidak akan memberikan penyimpangan yang berarti
terhadap diterima atau ditolaknya suatu proyek. Untuk itu dalam analisis proyek
kedua cara tersebut dapat dipilih, dan dalam penelitian ini dipilih cara yang kedua
yaitu biaya dan manfaat proyek didiskontokan sejak tahun pertama proyek.
!
Pengertian modal seperti yang dikemukakan Bakker Riyanto (1995),
tangga perusahaan yang terdapat di neraca sebelah debit, maupun berupa daya beli
atau nilai tukar dari barang9barang itu yang tercatat disebelah kredit.
Bila dilihat dari manajemen modern, modal dan keuangan merupakan
salah satu aspek fungsional manajemen disamping pemasaran produksi dan aspek
personalia atau tenaga kerja. Tanpa memiliki permodalan yang baik, suatu usaha
tidak akan berjalan dengan baik walaupun syarat9ayarat lain untuk mendirikan
usaha terpenuhi. Pengendalian keuangan haruslah berdasarkan pedoman
perencanaan keuangan yang secara terperinci. Dengan pengelolaan modal yang
baik diharapkan akan dicapai keadaan usaha yang sehat. Menutut Riyanto (1995),
berdasarkan cara dan lamanya perputaran suatu modal, dapat dikelompokkan
menjadi dua macam yaitu modal tetap dan modal lancar
. Modal tetap adalah modal tahan lama yang tidak atau yang
secara berangsur9angsur habis pemakaiannya, sedangkan modal lancar adalah
modal yang digunakan untuk operasional sehari9hari dalam suatu perusahaan,
sumber modal yang digunakan untuk pembiayaan pada kegiatan usaha ini
alternatif yang mempunyai NPV tertinggi pada tingkatan pertama. Secara
matematis, Net Present Value dapat disajikan sebagai berikut (Gray . 2005):
(
)
t = jangka waktu perhitungan proyek.
Kriteria Usaha: NPV > 1, usaha layak untuk dilaksanakan
NPV = 1, pengembalian persis sebesar modal
; !9+=
NBCR adalah rasio jumlah nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Kriteria
alternatif yang layak adalah NBCR lebih besar dari 1 dan kita meletakkan
alternatif yang mempunyai NBCR tertinggi pada tingkat pertama. Secara
matematis, NBCR dapat disajikan sebagai berikut (Gray . 2005):
(
)
t = jangka waktu perhitungan proyek.
Kriteria Usaha: Net B/C > 1, usaha layak untuk dilaksanakan Net B/C = 1, usaha perlu ditinjau kembali Net B/C < 1, usaha tidak layak dilakukan
) $ "
Kelembagaan atau institusi merupakan suatu aturan main, norma9norma,
larangan9larangan, kontrak, dan lain sebagainya dalam mengatur dan
mengendalikan perilaku individu didalam masyarakat atau organisasi. Teori
kelembagaan ditujukan untuk mengetahui, menjelaskan dan memprediksi dampak
dari aturan main serta membahas bagaimana perubahan suatu aturan dapat
mempengaruhi kinerja pengelolaan ataupun ekonomi. Untuk mengembangkan
kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove agar efektif dan menghasilkan
suatu keragaan/ performa yang baik, maka beberapa hal yang perlu dipahami dan
dianalisis antara lain: (1) berbagai situasi sebagai sumber interdependensi, (2)
struktur kelembagaan (batas yuridiksi, hak kepemilikan dan aturan representatif),
dan (3) pengaruh kelembagaan terhadap keragaan/ performanya.
Untuk dapat menerapkan sistem pada kawasan hutan lindung Di
Desa Dabong, maka terlebih dahulu harus dilakukan analisis kelembagaan
terhadap pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove saat ini.
Pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove merupakan suatu himpunan aturan
untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam, kondisi ini merupakan bentuk
Solusi dalam permasalahan kelembagaan dicapai dengan mengidentifikasi
berbagai gejala yang muncul. Landasan kerangka analitik kelembagaan adalah
mempelajari dampak perubahan alternatif institusi terhadap perubahan perilaku
manusia yang dipengaruhi faktor situasi dan struktur kelembagaan. Perubahan
perilaku ini akhirnya akan menghasilkan performance yang berbeda, perubahan
institusi tersebut diharapkan juga menghasilkan performance yang lebih baik
sehingga dapat menjawab akar permasalahan kelembagaan yang terjadi, hal ini
dilakukan melalui penerapan berbagai kebijakan transisi dan kebijakan mendasar.
Penerapan kedua kebijakan dapat berhasil apabila kebijakan tersebut dapat
mengkontrol sumber interdependensi antar individu seperti inkompatibilitas,
ongkos eksklusi tinggi ongkos transaksi, skala ekonomi,
$ dan seterusnya.
Kemampuan suatu institusi mengkordinasikan, mengendalikan, atau
mengontrol interdependensi antar partisipan sangat ditentukan oleh kemampuan
institusi tersebut mengendalikan sumber interdependensi. Oleh karena itu
pengetahuan mengenai sumber interdependensi dan alternatif institusi sangat
penting karena kesalahan dalam pemahaman sumber interdependensi akan
menyebabkan perubahan institusi tidak efektif (Schmidt. 1987). Kerangka analisis
kelembagaan dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5 Kerangka analisis kelembagaan (Schmidt. 1987)
Analisis kelembagaan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif
kualitatif terhadap perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan SITUASI
STRUKTUR
KEBIJAKAN TRANSISI
KEBIJAKAN MENDASAR
PERILAKU PERFORMANCE AKAR
MASALAH
lindung mangrove. Untuk merubah perilaku ( ) masing9masing
sehingga dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik, maka perlu
dilakukan perubahan terhadap unsur9unsur/ struktur kelembagaan seperti yang
dinyatakan oleh Pakpahan (1989) yang meliputi tiga unsur utama, yakni:
a. Batas Yurisdiksi
Batas yuridiksi adalah batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang
dimiliki suatu lembaga atau kedua9duanya, batas yuridiksi menentukan siapa
dan apa yang tercakup dalam organisasi. Batas yuridiksi juga dapat
berimplikasi ekonomi para pihak yang terlibat dalam yuridiksi tersebut.
b. Hak Penguasaan
Konsep atau kepemilikan muncul dari konsep hak ( ) dan
kewajiban ( ) yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat,
tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat
dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Oleh karena itu tidak ada
seorangpun yang dapat menyatakan hak milik atau penguasaan tanpa
pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Implikasi dari hal ini adalah
hak seseorang adalah kewajiban dari orang lain seperti dicerminkan oleh hak
kepemilikan ( % ) adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol
terhadap sumberdaya (Pakpahan 1989).
c. Aturan representasi
Aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi
terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang
diambil dan apa akibatnya terhadap , akan ditentukan oleh
kaidah9kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan
keputusan. Dalam proses ini bentuk bentuk parisispasi tidak ditentukan oleh
rupiah seperti halnya aturan representasi melalui pasar. Partisipasi lebih
, - + *
. + ') ) / 0')) +$1 +
+ 0$ !# 2 +$1
+ . . + + 3 #
+ 3 0 + 1 + 3 0 + +
+ 1 ' , 4 0,41 ' , 0, 1
+ . 5
6 7 &7
+ 888
*
!
" !
* 8&9 0'(( 1# . + +
-0 + 1 + + + ' & " +
& 0 1 + +
+ "&2+ / 8 8 0'(('1
+ + . : .
+ * + + # :
: + 0$; : +1 + :
. 0 +
$; : +1 + 0
1 0 1
+
+ # :
* . + :
$&; +
"#
+
+ : + + +
# - < +
: + * + +
+ +
+ + + +
= + .
' > ) +
+ ) 0 1 $! 0 1
+ + +
+ # + : + + +&+ + :
? # 3 . # = + *
+ + + + +
+ > # + + + + : +
+ = : + "!
+@ + + # + + + + +
+ : 0 1 *
+ + + +
+ 3 . + + +
3 > 9 + + + +
+ : + :
? 9 . 9 &
- + + * + +
$ "
+ + &+ @ + + . +
. + +
+ + . +
.
+ + : + + . +
+ - # + .
+ + + +
-+ + + +
9 + + +
: + + . # +
+ + + . 9
.
:
9 # + +
+
. : + 0 + 1#
: +
+ & $#!)A
"'#($A : + ()#"( ++@ 0 +
$ ) 2" #" @ 1
$ % & %
* + . +
+ . +
-$ & %
* , ,7 0'(2"1 . +
: 0 3 1 + . +
0 /B1 + 3 +
-# /B +
.
+ - + . : 9 - / +
#
@ + + :
9 - @ &
+ - 8 + +
# + + + # + + +
+ +
0 1 + + # &
+ - & +
0/ + + '(((1
3 - + . + :
+ # + + #
0 1 + . #
. + # + #
: 0 + 1 3 9
-+ : + # +
+ # + # : :
+ # + # +
. + # #
: # +
3 9 - + + : + +#
+ . + +
# $ ! $ : 9 9
-+ + + + +# +
$ ' & (
* + . # .
+ + + + , 0'(2"1 +
. , + + . , .
4 + + &' +
+ &$ A
. & .
- /
+ + C % + +
& # + + + +
+
-? 0 1 - +
+ + . & . :
+ # +
-. + - # +
# + + &
+ * + 0
1# : + : +
5
+
-0 1 + - 0 1
-- # + +
+ - # :
* . +
> A
+ < + + .
+ # + : +
+ * .