• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya di Permukaan Air Laut pada Berbagai Musim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya di Permukaan Air Laut pada Berbagai Musim"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

KOEFISIEN ABSORPSI DAN ATENUASI CAHAYA DI

PERMUKAAN AIR LAUT PADA BERBAGAI MUSIM

DENNY ARDLY WIGUNA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya di Permukaan Air Laut pada Berbagai Musim adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

DENNY ARDLY WIGUNA. Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya di Permukaan Air Laut pada Berbagai Musim. Dibimbing oleh BISMAN NABABAN dan RISTI ENDRIAN ARHATIN.

Pengukuran koefisien absorpsi dan atenuasi cahaya dapat berguna dalam memperkirakan kualitas perairan, karakteristik optik perairan, serta digunakan dalam permodelan bio-optik kelautan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai dan variabilitas koefisien absorpsi dan atenuasi permukaan laut di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko berdasarkan perbedaan musim. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data hasil survei pada tiga musim (semi, panas, dan gugur) antara tahun 1999 dan 2000 dengan menggunakan instrumen AC-9. Pola distribusi spasial dan nilai rata-rata antar wilayah menunjukkan bahwa koefisien absorpsi dan atenuasi secara umum relatif tinggi di sekitar Mississippi dan Mobile, kemudian relatif rendah di sekitar wilayah offshore. Variabilitas yang terjadi disebabkan karena besarnya pengaruh fitoplankton, CDOM, dan detritus terhadap koefisien absorpsi dan atenuasi, terutama di sekitar wilayah Mississippi dan Mobile. Nilai rata-rata koefisien menunjukkan bahwa secara umum koefisien absorpsi dan atenuasi di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko relatif tinggi pada musim panas tahun 1999 (Su-99) dan relatif rendah pada musim semi tahun 2000 (Sp-00).

Kata kunci: atenuasi, absorpsi, musim, perairan Timur Laut Teluk Meksiko.

ABSTRACT

DENNY ARDLY WIGUNA. Absorption and Beam Attenuation Coefficient of Surface Water in Various Seasons. Supervised by BISMAN NABABAN dan RISTI ENDRIAN ARHATIN.

Absorption and beam attenuation coefficients measurement can be used in estimating water quality, optical characteristic of water column, also used in marine bio-optical models. This research aimed to determine values and variability of sea surface absorption and attenuation coefficients in northeastern Gulf of Mexico based on various seasons. The research was performed in three different seasons (spring, summer, and fall) between 1999 and 2000 with AC-9 instrument. The spatial distribution and mean values inter-regions showed that absorption and attenuation coefficients were generally relatively high in Missisippi and Mobile, then relatively low in offshore region. The variability were caused by high influence of phytoplankton, CDOM, and detritus toward the absorption and attenuation coefficients, especially in Mississippi and Mobile region. The mean values of coefficients showed that absorption and attenuation coefficients in northeastern Gulf of Mexico generally were relatively high on summer 1999 (Su-99) and relatively low on spring 2000 (Sp-00).

(5)

KOEFISIEN ABSORPSI DAN ATENUASI CAHAYA DI

PERMUKAAN AIR LAUT PADA BERBAGAI MUSIM

DENNY ARDLY WIGUNA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya di Permukaan Air Laut pada Berbagai Musim

Nama : Denny Ardly Wiguna NIM : C54080043

Disetujui oleh

Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. Risti E. Arhatin, S.Pi., M.Si.

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi. Penulisan skripsi ini dilakukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan dan motivasi. Selain itu, kepada Bapak Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. dan Ibu Risti Endriani Arhatin, S.Pi, M.Si selaku Dosen Pembimbing, teman-teman, serta semua pihak yang telah memberikan bimbingan, bantuan, dan sarannya demi kelancaran penyusunan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi bidang ilmu dan teknologi kelautan.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

METODE 3

Waktu dan Lokasi Penelitian 3

Bahan 4

Alat 5

Metode Perolehan Data 6

Metode Pengolahan Data 6

Filter data 7

Koreksi nilai air murni (millique) 8

Koreksi hamburan (scattering correction) 8

Analisis statistik 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Variabilitas dan Distribusi Spasial Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya 9

Musim Semi 10

Musim Panas 12

Musim Gugur 16

Variabilitas Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya Antar Musim 19

Gelombang biru 25

Gelombang hijau 27

Gelombang merah 28

SIMPULAN DAN SARAN 32

Simpulan 32

Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN 35

(10)

DAFTAR TABEL

1 Pelaksanaan cruise research 6

2 Perbandingan nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi cahaya antar musim pada panjang gelombang 440, 510, dan 676 nm. 27

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian 4

2 Skema instrumen AC-9 5

3 Diagram alir perolehan data 6

4 Diagram alir pengolahan data 7

5 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim semi tahun 1999 12 6 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim semi tahun 1999 13 7 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim semi tahun 2000 14 8 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim semi tahun 2000 15 9 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim panas tahun 1999 17 10 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim panas tahun 1999 18 11 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim panas tahun 2000 19 12 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim panas tahun 2000 20 13 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim gugur tahun 1999 21 14 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim gugur tahun 1999 22 15 Perbandingan spektral nilai rata-rata koefisien absorpsi (gambar atas)

dan atenuasi (gambar bawah) antar musim 23

16 Perbandingan spektral nilai rata-rata koefisien absorpsi (kolom kiri) dan atenuasi (kolom kanan) per wilayah pada tiap musim 24 17 Pola distribusi spasial & temporal nilai koefisien absorpsi (kolom kiri)

dan atenuasi (kolom kanan) pada panjang gelombang 440 nm pada

musim berbeda 26

18 Pola distribusi spasial & temporal nilai koefisien absorpsi (kolom kiri) dan atenuasi (kolom kanan) pada panjang gelombang 510 nm pada

musim berbeda 29

19 Pola distribusi spasial & temporal nilai koefisien absorpsi (kolom kiri) dan atenuasi (kolom kanan) pada panjang gelombang 676 nm pada

musim berbeda. 31

DAFTAR LAMPIRAN

1 Listing program koreksi nilai air murni (millique) 35 2 Contoh program MATLAB untuk melakukan koreksi hamburan

(scattering correction) 36

3 Rentang dan nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi tiap musim 37 4 Box & Whisker plot koefisien absorpsi dan atenuasi 39

(11)
(12)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Absorpsi merupakan proses penyerapan cahaya oleh medium air, komponen terlarut berwarna (colored dissolved organic matter (CDOM)), partikulat (fitoplankton dan non-fitoplankton), dan bahan organik lainnya di dalam air (Babin et al. 2003; D’sa and Miller 2002; Jacobson 2005; Kirk 1994; Mobley 1994; Nelson and Guarda 1995; Varkey et al. 2004). Dalam mendefinisikan absorpsi secara kuantitatif, dapat menggunakan kuantitas absorptance (A) yang dirumuskan sebagai berikut (Kirk 1994; Mobley 1994):

Koefisien absorpsi menunjukkan sebagian kecil dari incident light (cahaya datang) yang berinteraksi dengan suatu lapisan pada medium, yang kemudian menyebabkan proses penyerapan (Jacobson 2005; Kirk 1994). Koefisien absorpsi sendiri didefinisikan sebagai absorptance (A) per satuan jarak (Δr), yang secara matematik dirumuskan sebagai berikut (Mobley 1994):

a limΔ Δ ... (2)

dimana:

panjang gelombang (nm), r = ketebalan medium (m).

Atenuasi cahaya merupakan akumulasi dari proses kehilangan energi cahaya akibat penyerapan dan penghamburan dari cahaya langsung (direct beam) yang masuk ke medium. Oleh karena itu, penggabungan nilai koefisien absorpsi dan hamburan adalah sama dengan koefisien atenuasi (Jacobson 2005; Kirk 1994; Varkey et al. 2004) yang dirumuskan sebagai berikut:

c a b ... (3) dimana:

(13)

2

colored dissolved organic matter (CDOM) (Arnone et al. 2004; Nelson and Guarda 1995). Fitoplankton dan nonphytoplankton particulate matter (detritus) yang disebutkan di atas, dapat dikelompokkan ke dalam particulate matter. Variasi kandungan dalam kolom air yang disebutkan tersebut dapat menyebabkan energi cahaya yang menembus perairan terus berkurang. Oleh karena itu, koefisien atenuasi cahaya total dapat pula dirumuskan sebagai penjumlahan koefisien atenuasi oleh air murni (pure water), materi partikulat, dan materi organik terlarut yang dirumuskan sebagai berikut (Varkey et al. 2004):

c c cp cdom ... (4)

dimana :

w = pure water

p = particulate matter dom = dissolved organic matter

Sifat penyerapan cahaya oleh air umumnya sangat lemah dalam spektrum warna biru dan hijau, namun penyerapannya semakin meningkat dengan semakin meningkatnya panjang gelombang dan hampir menyerap maksimal pada spektrum gelombang merah (Kirk 1994; Mobley 1994). Keberadaan fitoplankton yang mengandung klorofil, karotenoid, dan biliprotein dalam kolom air dapat meningkatkan tingkat absorpsi cahaya (Kirk 1994; Smith 1979 dalam Jensen and Jensen 1998). Penyerapan cahaya oleh fitoplankton umumnya tinggi pada spektrum gelombang biru dan merah (Mobley 1994).

CDOM memiliki kontribusi absorpsi yang signifikan pada gelombang near ultraviolet dan panjang gelombang pendek pada spektrum cahaya tampak (Babin et al. 2003; D’sa and Miller 2002; Markager and Vincent 2000; Nelson and Guarda 1995). Semakin ke arah laut lepas, absorpsi CDOM umumnya akan menurun (Nelson and Guarda 1995).

Partikel detritus memiliki absorpsi yang tinggi pada spektrum gelombang biru, dan mengalami penurunan terhadap peningkatan panjang gelombang (Cleveland 1995; Mobley 1994). Area pantai atau pesisir merupakan wilayah yang memiliki kontribusi yang relatif lebih tinggi akan partikel nonphyoplankton, baik dari run off atau dari dekomposisi in situ (Cleveland 1995).

Atenuasi cahaya merupakan parameter yang mempengaruhi variasi warna perairan dan perambatan sinyal dalam penginderaan jauh. Terkait hal ini, komposisi kandungan suatu perairan akan mempengaruhi cahaya yang ditransmisikan, diserap, maupun yang dihamburkan dari perambatan sinyal. Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku cahaya sangat dipengaruhi oleh sifat dari medium yang dilalui atau karakteristik dari kolom perairan. Berdasarkan hal tersebut, maka pengetahuan mengenai atenuasi cahaya dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik suatu kolom perairan.

(14)

3 1979). Oleh karena itu, pengukuran atenuasi cahaya juga dapat berguna untuk memperkirakan kualitas perairan.

Atenuasi cahaya dalam kolom perairan memainkan peran penting dalam menentukan tingkat kedalaman yang masih dijangkau oleh sensor pada penginderaan jauh untuk pendeteksian dan penguraian variasi spektral reflektansi. Selain itu, pengukuran atenuasi cahaya dapat juga digunakan dalam pemodelan bio-optik dan kalibrasi citra ocean color. Pada pemodelan bio-optik atau algoritma ocean color masih perlu dilakukan untuk validasi data secara kontinu (Babin et al. 2003) dan masih diperlukan dalam meningkatkan keakuratan sensor pada citra ocean color generasi berikutnya (Nelson and Guarda 1995). Namun, pembuatan algoritma ocean color masih perlu pemahaman terkait proses-proses dan mekanisme yang mempenga uhi sinyal dalam penginde aan jauh D’sa and Miller 2002). Oleh karena itu, penelitian terkait atenuasi cahaya masih sangat penting untuk dilakukan.

Teluk Meksiko merupakan laut semi tertutup yang menghubungkan wilayah Samudera Atlantik melalui Selat Florida di sebelah timur dan Laut Karibia melalui Selat Yucatan di sebelah selatan (Oey et al. 2005). Teluk Meksiko terletak di sebelah tenggara Amerika Utara serta terbentang sekitar 1.600 kilometer dari timur ke barat, dan 900 kilometer dari utara ke selatan (Gulfbase 2012).

Kondisi fisik dan kimia perairan Teluk Meksiko sangat bervariasi dengan masukan air tawar dari sungai dan curah hujan, serta sirkulasi massa air yang masuk melalui Selat Yucatan (bersirkulasi sebagai loop current) dan keluar melalui Selat Florida (pada akhirnya membentuk gulf stream). Bagian-bagian dari loop current sering melepaskan diri membentuk pusaran atau 'gyres' yang dapat mempengaruhi pola arus regional (Horn 2012).

Aliran sungai, loop current, dan upwelling sangat mempengaruhi variabilitas konsentrasi klorofil dan colored dissolved organic matter (CDOM) di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko (Gilbes et al. 1996; Nababan 2005; Nababan et al. 2011). Selain itu, Perairan Timur Laut Teluk Meksiko memiliki karakteristik perairan yang sangat dinamis dan memiliki variabilitas perairan yang tinggi. Penelitian terkait absorpsi dan atenuasi di perairan ini masih kurang banyak dilakukan sehingga penelitian terkait variabilitas absorpsi dan atenuasi ini sangat penting dilakukan.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai dan variabilitas koefisien absorpsi dan atenuasi pada permukaan laut secara spasial dan temporal, pada berbagai musim yang berbeda di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

(15)

4

South Florida pada tiga musim (semi, panas, dan gugur) antara tahun 1999 dan 2000 di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko (27°18’-3 ° 42’ LU dan 82°36’ -89°36’ BB yang membentang da i Sungai Mississippi hingga Teluk Tampa) dengan mengikuti cruise track seperti terlihat pada Gambar 1.

Pengolahan data dilakukan pada bulan Maret hingga Desember 2012 di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Garis pada peta menunjukkan lintasan kapal riset ketika pengambilan data AC-9 dilakukan secara sinambung dan simbol segitiga merupakan stasiun dimana pada saat tertentu dilakukan kalibrasi dan cleaning terhadap alat AC-9. Lokasi pengamatan terbagi menjadi beberapa wilayah lagi yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik perairan terkait pola distribusi koefisien absorpsi dan atenuasi pada wilayah tersebut.

Pembagian wilayah pengamatan ini ditunjukkan oleh simbol persegi pada Gambar 1. Wilayah-wilayah tersebut diantaranya merupakan wilayah yang berdekatan dengan sungai-sungai, yaitu sungai Missisipi, Mobile, Escambia, Chochtawhatchee, Apalachicola, dan Suwannee. Selain wilayah yang berdekatan dengan sungai, pembagian wilayah juga meliputi wilayah sekitar Teluk Tampa dan tiga wilayah di sekitar laut lepas (offshore 1, 2, dan 3).

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

Bahan

(16)

5 University of South Florida dengan persetujuan Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. sebagai koordinator pengambilan data lapang. Data yang digunakan yaitu data absorpsi (absorption) dan atenuasi (attenuation) dengan menggunakan instrumen AC-9 pada tiga musim yang berbeda selama 2 tahun.

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah debubbler, GPS (Global Positioning System), instrumen AC-9 (Gambar 2), dan seperangkat komputer. Perangkat lunak yang digunakan dalam pengolahan data diantaranya yaitu WETview, Microsoft Excel 2007, Matlab R2010a, Surfer 9, Statistica 6.0, dan Minitab 14. GPS digunakan dalam navigasi pada saat pengambilan data, sedangkan instrumen AC-9 dan debubbler digunakan pada saat pengukuran data secara in situ di lapangan.

Debubbler merupakan perantara yang berfungsi sebagai penampung air laut sebelum diukur dengan instrumen AC-9 dengan tujuan menghilangkan udara yang terperangkap dalam air yang terpompa. AC-9 merupakan instrumen yang digunakan dalam pengukuran in situ pada inherent optical properties perairan, yaitu nilai absorpsi dan atenuasi pada panjang gelombang yang berbeda (Varkey et al. 2004). Instrumen AC-9 merupakan alat dengan sembilan kanal pada panjang gelombang 412, 440, 488, 510, 532, 555, 650, 676, dan 715 nm D’sa and Miller 2002; Varkey et al. 2004).

Perangkat lunak WETview digunakan dalam proses akuisisi dan penyimpanan data saat pengukuran dengan menggunakan instrumen AC-9. Selanjutnya, pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak Microsoft Excel, Matlab, Statistica, dan Surfer. Perangkat lunak Microsoft Excel digunakan untuk mengolah dan mengatur susunan data, sedangkan Matlab digunakan dalam melakukan filtering data dan mengoreksi nilai hasil pengukuran terhadap scattering error. Perangkat lunak Surfer digunakan untuk visualisasi hasil akhir pengolahan secara spasial. Selanjutnya, menggunakan perangkat lunak Statistica dan Minitab untuk uji statistik dan membuat plot box-whisker.

Gambar 2 Skema instrumen AC-9 (http://argon.coas.oregonstate.edu, 2013)

(17)

6

Metode Perolehan Data

Pengukuran sampel air laut dilakukan pada kolom air laut dekat permukaan (kedalaman sekitar 3 meter) di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko menggunakan instrumen AC-9 secara kontinu sepanjang lintasan penelitian (cruise track) dan pencatatan data diambil setiap 5 detik dengan menggunakan kapal riset Gyre yang dilakukan selama dua minggu setiap musim.

Setiap pelayaran mengamati sebelas line transect yang tegak lurus terhadap garis pantai dari isodepth 10 meter (dekat pantai) hingga 1000 meter ke arah lepas pantai. Pelaksanaan pelayaran dalam pengambilan data dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Pelaksanaan cruise research

No. cruise Tanggal mulai Tanggal selesai CruiseID Musim

1 15 Mei 1999 28 Mei 1999 Sp-99 Semi menghilangkan gas-gas yang terperangkap dalam air yang kemudian dialirkan ke alat AC-9 dengan laju 1 liter/menit (Gambar 3).

Debubbler

Gambar 3 Diagram alir perolehan data

Metode Pengolahan Data

(18)

7 (*.dat). Susunan data tersebut kemudian diatur sedemikian rupa dengan Microsoft Excel dan dilakukan koreksi waktu (time lag correction) agar dapat diolah pada tahap selanjutnya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.

Sebelum mengolah dan memvisualisasikan hasil akhir, data hasil pengukuran dengan AC-9 perlu dilakukan proses filtering dan koreksi terhadap beberapa variabel, baik berupa koreksi terhadap nilai air murni (millique) dan koreksi hamburan (scattering correction). Proses filtering tersebut dilakukan dengan menggunakan sebuah tool dari Matlab, yaitu cftool yang berguna dalam mem-filter data. Selanjutnya, koreksi data dilakukan terhadap nilai air murni (millique) dan diikuti dengan koreksi hamburan (scattering correction).

Setelah proses filtering dan koreksi dilakukan, maka nilai koefisien absorpsi dan atenuasi tersebut dapat divisualisasikan secara spasial menggunakan perangkat lunak Surfer. Selanjutnya, hasil visualisasi tersebut dapat dianalisis terkait nilai dan variabilitas koefisien absorpsi dan atenuasi pada musim yang berbeda (musim semi, panas, dan gugur) di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko.

Data AC-9

Filter Data

Koreksi nilai air murni (Millique)

Koreksi hamburan (scattering correction)

Visualisasi secara spasial di Surfer

Gambar 4 Diagram alir pengolahan data

Filter data

Proses filtering data dilakukan terhadap nilai air murni (millique) dan data AC-9 itu sendiri. Filtering data yang dilakukan untuk nilai air murni (millique) dilakukan dengan menggunakan fungsi logika IF yang digunakan pada perangkat lunak Microsoft Excel. Filtering yang dilakukan dengan fungsi logika IF ini, dilakukan agar dapat menghilangkan nilai yang dianggap pencilan/ menjauhi nilai pada sebaran normal untuk nilai air murni (millique). Formula yang digunakan dalam filter data ini menggunakan nilai batas bawah (BB) dan batas atas (BA) pada nilai sebaran untuk mengganti nilai pencilan yang menjauhi sebaran normal. Formula yang digunakan untuk filter data air murni (millique) ini, yaitu sebagai berikut:

(19)

8

Proses filtering pada data AC-9 dilakukan dengan menggunakan sebuah tool pada Matlab, yaitu menggunakan cftool. Pada tool ini, metode filtering yang digunakan dalam mem-filter data AC-9 yaitu moving average filtering. Rumus dasar untuk perhitungan filter dengan metode moving average yaitu:

s i 2N 11 y i N y(i N-1) y(i-N) ... (6)

Keterangan:

Ys (i) = nilai data ke-i

2N+1 = span

N = jumlah data tetangga yang berdekatan dengan Ys(i)

Koreksi nilai air murni (millique)

Berdasarkan pengukuran AC-9 terhadap air murni yang dilakukan, maka koefisien absorpsi dan atenuasi yang terukur dapat merepresentasikan absorpsi dan atenuasi untuk semua material yang terdapat pada sampel dengan mengurangi nilai pada air. Sehingga, nilai absorpsi dan atenuasi total pada sampel dikurangi dengan nilai pada air murni. Koreksi nilai air murni (millique) ini dilakukan dengan menggunakan listing program yang dibuat pada perangkat Matlab (Lampiran 1). Rumus untuk melakukan koreksi nilai air murni tersebut, yaitu

Koreksi hamburan (scattering correction)

Tabung (tube) absorption meters pada umumnya tidak dapat mengumpulkan semua cahaya yang terhamburkan atau yang tersebar dari sumber cahayanya. Hamburan cahaya yang tidak terkumpul ini dikenal sebagai eror hamburan (scattering error) dan menyebabkan instrumen mengukur koefisien absorpsi tidak sesuai dari yang semestinya (overestimate).

Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengoreksi pengukuran absorpsi terhadap scattering errors. Namun, metode koreksi hamburan yang dipergunakan adalah metode pengurangan nilai data absorpsi terhadap nilai absorpsi pada panjang gelombang yang direferensikan (gelombang near infrared), ketika penyerapan diasumsikan nol. Langkah koreksi ini menggunakan listing program pada Matlab yang tertera pada Lampiran 2. Pada metode ini, koreksi hamburan dilakukan dengan menggunakan rumus (Barnard 2003; Bell 2010) sebagai berikut:

(20)

9 Keterangan:

a = absorpsi hasil koreksi (scattering correction) (m-1) am = absorpsi hasil koreksi nilai air murni (m-1)

am ref) = absorpsi hasil koreksi nilai air murni pada panjang

gelombang near infrared (715 nm) (m-1)

Analisis statistik

Dalam membandingkan apakah nilai rata-rata dua atau lebih peubah identik atau paling tidak satu diantaranya berbeda nyata, dilakukan uji nonparametrik Kruskal Wallis. Hipotesis nol (H0) yang diajukan adalah terjadi kesamaan nilai

parameter rata-rata dari masing-masing populasi. Hipotesis satu (H1) diterima

bilamana nilai rata-rata dari paling tidak salah satu peubah berbeda nyata dari nilai rata-rata peubah lainnya. Pada uji Kruskal-Wallis, uji statistik yang digunakan adalah uji statistik khi kuadrat, yang digunakan untuk menentukan hipotesis diterima atau ditolak dengan rumus (Walpole 1993) sebagai berikut:

h n n 112 ∑ i2

ri = jumlah ranking pada kelompok sampel ke-i

ni = jumlah data dalam sampel ke-i

k = jumlah kelas

HASIL DAN PEMBAHASAN

Variabilitas dan Distribusi Spasial Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya

Variabilitas koefisien absorpsi (a) dan atenuasi cahaya (c) pada permukaan air laut di perairan Timur Laut Teluk Meksiko pada berbagai musim selengkapnya disajikan pada Lampiran 3. Nilai koefisien absorpsi (a) pada panjang gelombang 715 nm tidak ditampilkan, karena pada panjang gelombang ini (near infrared), koefisien absorpsi diasumsikan nol. Hal ini dilakukan sebagai langkah dalam melakukan koreksi hamburan (scattering correction).

(21)

10

terjadinya absorpsi oleh berbagai komponen seperti colored dissolved organic matter (CDOM), particulate non phytoplankton (detritus), dan fitoplankton yang lebih banyak terjadi pada panjang gelombang ini (Babin et al. 2003; Kirk 1994; Mobley 1994; Nelson and Guarda 1995).

Secara umum, kisaran nilai koefisien absorpsi pada panjang gelombang 412, 440, 488, 510, 532, 555, 650, dan 676 berturut-turut adalah sebagai berikut 0.0090 - 8.0242 m-1, 0.0118 - 5.0707 m-1, 0.0096 - 3.0275 m-1, 0.0098 - 2.2476 m-1, 0.0038 - 1.6223 m-1, 0.00001 - 2.5382 m-1, 0.00003 - 0.6661 m-1, dan 0.000002 - 0.6353 m-1. Selanjutnya, kisaran nilai koefisien atenuasi pada panjang gelombang 412, 440, 520, 532, 555, 650, 676, dan 715 nm berturut-turut adalah sebagai berikut 0.0151 - 16.7224 m-1, 0.0118 - 16.8708 m-1, 0.0068 - 17.7503 m-1, 0.0067 - 17.5247 m-1, 0.0066 - 17.7123 m-1, 0.0082 - 17.1340 m-1, 0.0048 - 18.6319 m-1, 0.0048 - 18.6058 m-1, dan 0.0060 - 17.4220 m-1 (Lampiran 3).

Pola sebaran spasial koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) tiap musim menunjukkan bahwa daerah sekitar pantai dan muara sungai (nearshore) umumnya memiliki nilai koefisien absorpsi dan atenuasi yang relatif tinggi dibandingkan laut lepas. Wilayah sekitar nearshore umumnya relatif tinggi di sekitar Mississippi dan Mobile, kemudian relatif rendah di wilayah offshore 1, 2, dan 3 hampir tiap musimnya. Relatif tingginya nilai di sekitar Mississippi dan Mobile tersebut mengindikasikan variabilitas partikulat dan materi terlarut di sekitar area tersebut relatif tinggi.

Variabilitas tersebut dipengaruhi pula oleh run off dari muara sungai, yang merupakan sumber masukan nutrien, CDOM, dan fitoplankton (Nababan 2005; Nababan et al. 2011) yang dapat mempengaruhi sebaran koefisien di sepanjang pesisir pantai. Besarnya koefisien atenuasi di wilayah nearshore, selain karena relatif tingginya materi CDOM, fitoplankton, dan bahan organik lainnya sebagai faktor absorpsi yang tinggi, juga dipengaruhi faktor hamburan yang lebih banyak terjadi akibat relatif tingginya kandungan klorofil dan bahan partikulate (Nababan 2005; Nababan et al. 2011; Kirk 1994; Mobley 1994). Rendahnya nilai koefisien absorpsi dan atenuasi di laut lepas disebabkan karena relatif kecilnya kandungan CDOM, fitoplankton, dan partikulat di wilayah tersebut.

Musim Semi

Nilai rata-rata koefisien absorpsi pada musim semi tahun 1999 pada masing-masing panjang gelombang 412, 440, 488, 510, 532, 555, 650, dan 676 nm secara umum mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari 0.4979 ± 0.3434 m-1 hingga 0.0213 ± 0.0253 m-1, kemudian nilai rata-rata koefisien atenuasinya (412 hingga 715 nm) mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari 0.9556 ± 1.1632 m-1 hingga 0.4771 ± 0.6112 m-1. Selanjutnya, pada musim semi tahun 2000, nilai rata-rata koefisien absorpsi pada masing-masing panjang gelombang tersebut diatas mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari 0.1059 ± 0.1546 m-1 hingga 0.0153 ± 0.0110 m-1. Kemudian nilai rata-rata koefisien atenuasinya (412 hingga 715 nm) mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari 0.3619 ± 0.6540 m-1 hingga 0.1950 ± 0.3635 m-1 (Lampiran 3).

(22)

11 Pola sebaran spasial koefisien absorpsi (a) pada musim semi tahun 1999 (Gambar 5) dan tahun 2000 (Gambar 7) menunjukkan bahwa koefisien absorpsi pada panjang gelombang 412 nm hingga 676 nm memiliki pola yang hampir sama, namun berbeda secara nilai. Hal ini terlihat pada nilai koefisien absorpsi antar panjang gelombang, yang menunjukkan penurunan nilai dari panjang gelombang 412 nm hingga 676 nm. Namun, pola sebaran spasial koefisien absorpsi baik pada musim semi tahun 1999 (Gambar 5) maupun tahun 2000 (Gambar 7) menunjukkan bahwa nilai koefisien absorpsi pada panjang gelombang 676 nm terlihat sedikit meningkat dibanding panjang gelombang 650 nm. Hal tersebut dapat pula dilihat pada rentang nilai yang ditunjukkan pada Lampiran 3. Peningkatan nilai ini terjadi karena pengaruh absorpsi dari fitoplankton di sekitar panjang gelombang 676 nm (Bricaud dan Stramski 1990; Cleveland 1995; Kirk 1994; Mobley 1994; Nelson and Guarda 1995; Suzuki et al. 1998).

Pola distribusi spasial menunjukkan bahwa koefisien absorpsi (Gambar 5) dan atenuasi (Gambar 6) tertinggi pada musim semi tahun 1999 (Sp-99) berada di sekitar Sungai Missisipi dan Mobile, sedangkan wilayah laut lepas (offshore 1, 2 dan 3) nilainya relatif paling rendah. Besarnya nilai koefisien absorpsi dan atenuasi di sekitar muara Sungai Missisipi disebabkan karena besarnya run off dari darat (karena sungai besar), sehingga menyebabkan nutrien maupun materi yang terdapat pada area Sungai Missisipi relatif tinggi dibanding yang lainnya.

Seperti yang dijelaskan Nababan (2005), Sungai Missisipi merupakan sungai yang sangat mempengaruhi variabilitas dan distribusi CDOM atau nutrien ke laut lepas (offshore), dan juga memiliki konsentrasi klorofil yang relatif tinggi tiap musimnya. Berbeda dengan wilayah Mississippi, semakin ke arah timur, nilai koefisien di wilayah timur semakin rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabilitas nutrien, CDOM, maupun fitoplankton di wilayah timur tersebut tidak setinggi di Mississippi.

Berbeda dengan musim semi tahun 1999 (Sp-99), Gambar 6 menunjukkan bahwa wilayah yang memiliki nilai koefisien absorpsi yang relatif paling tinggi pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) berada di sekitar Sungai Mobile, sedangkan wilayah sekitar Mississippi, Escambia, Choctawhatchee, Teluk Tampa, dan laut lepas (offshore 1, 2, dan 3) memiliki koefisien absorpsi yang relatif lebih rendah. Pola sebaran konsentrasi klorofil dan koefisien absorpsi CDOM di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko yang dilakukan Nababan (2005), hasilnya menunjukkan bahwa di wilayah Mobile memiliki konsentrasi klorofil dan absorpsi CDOM yang relatif tinggi pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) dibanding dengan wilayah lainnya. Kondisi tersebut diduga sebagai faktor yang menyebabkan relatif tingginya koefisien absorpsi di wilayah Mobile pada musim semi ini.

(23)

12

Gambar 5 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim semi tahun 1999 (Sp-99)

Musim Panas

(24)

13

Gambar 6 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim semi tahun 1999 (Sp-99)

(25)

14

Gambar 7 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim semi tahun 2000 (Sp-00)

absorpsi oleh detritus pada panjang gelombang ini (Cleveland 1995), sehingga memungkinkan fitoplankton sebagai faktor utama dalam peningkatan koefisien absorpsi tersebut.

(26)

15

Gambar 8 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim semi tahun 2000 (Sp-00)

(27)

16

Sedikit berbeda dengan musim panas tahun 1999 (Su-99), pola sebaran koefisien absorpsi pada musim panas tahun 2000 (Gambar 11) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai koefisien absorpsi pada panjang gelombang 555 dan 676 nm terhadap nilai koefisien absorpsi pada panjang gelombang sebelumnya (khusus wilayah tertentu). Peningkatan yang terjadi pada panjang gelombang 555 terhadap panjang gelombang 532, diduga sebagai pengaruh blooming fitoplankton yang terjadi pada musim panas, khususnya terjadi di wilayah offshore 2.

Blooming fitoplankton yang terjadi di sekitar offshore 2 ini, diduga karena pengaruh sirkulasi permukaan yang terjadi akibat pengaruh angin dan arus yang bergerak dari sekitar Mississippi ke arah timur hingga tenggara (east-southeastward : ESE) pada musim panas, membawa kandungan nutrien dan fitoplankton hingga mencapai wilayah offshore. Selain itu, Subramaniam dan Carpenter (1999) menyebutkan bahwa cyanobacteria dapat menyebabkan blooming di wilayah laut oligotropik tropis dan subtropis yang mengandung pigmen phycobilin, sehingga menyebabkan absorpsi yang relatif tinggi pada panjang gelombang 495, 545, dan 565 nm (Shimura and Fujita 1975). Subramaniam dan Carpenter (1999) menyatakan pula bahwa phycoerythrobilin dapat menyerap pada panjang gelombang 555 nm.

Nababan (2005) juga telah memetakan pola sebaran konsentrasi fucoxantin di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko, yang menunjukkan sebaran konsentrasi fucoxantin di wilayah sekitar offshore 2 memiliki konsentrasi yang relatif tinggi pada musim panas tahun 2000. Peningkatan koefisien absorpsi yang terjadi pada panjang gelombang 676 terhadap panjang gelombang 650 (Gambar 11 dan Lampiran 3), diduga akibat pengaruh absorpsi oleh fitoplankton sebagai faktor utama seperti yang dipaparkan sebelumnya pada musim panas tahun 1999, khususnya terjadi di wilayah Mississippi.

Pola sebaran koefisien atenuasi pada musim panas tahun 2000 (Gambar 12) sama seperti halnya pola sebaran koefisien absorpsinya (Gambar 11) yang menunjukkan wilayah Mississippi dan laut lepas (offshore 2) memiliki nilai koefisien yang relatif paling tinggi, sedangkan di wilayah sekitar Mobile, Escambia, Choctawhatchee, Apalachicola, Suwannee, Teluk Tampa, dan wilayah laut lepas (offshore 1 dan 3) relatif lebih rendah. Tingginya koefisien absorpsi dan atenuasi di sekitar Mississippi dan wilayah offshore 2 pada musim ini diduga karena pengaruh blooming fitoplankton seperti yang dijelaskan Nababan (2005). Blooming tersebut menyebabkan sebaran konsentrasi klorofil dan konsentrasi fucoxantin relatif tinggi pada musim ini, terutama di wilayah Mississippi dan offshore 2. hingga 715 nm) mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari 0.7749 ± 1.0024 m-1 hingga 0.3829 ± 0.5608 m-1 (Lampiran 3).

(28)

17

Gambar 9 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim panas tahun 1999 (Su-99)

koefisien. Pola sebaran koefisien absorpsi (Gambar 13) dan rentang nilai (Lampiran 3) pada musim gugur tahun 1999, menunjukkan bahwa koefisien absorpsi pada panjang gelombang 676 nm musim ini sedikit berbeda dengan musim semi dan panas tahun 1999. Koefisien absorpsi panjang gelombang 676 nm pada musim gugur ini memiliki nilai yang relatif rendah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa absorpsi oleh fitoplankton pada panjang gelombang ini relatif rendah pada musim tersebut.

(29)

18

Gambar 10 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim panas tahun 1999 (Su-99)

Teluk Meksiko pada musim gugur, yang menunjukkan konsentrasi klorofil di wilayah-wilayah tersebut relatif tinggi.

(30)

19

Gambar 11 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim panas tahun 2000 (Su-00)

terjadi akibat upwelling pada musim ini, sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan koefisien atenuasi.

Variabilitas Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya Antar Musim

Variabilitas koefisien absorpsi dan atenuasi cahaya antar musim dapat dilihat dari grafik perbandingan spektral nilai rata-rata antar musim yang ditunjukkan pada Gambar 15. Gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi antar musim secara umum paling tinggi pada musim panas tahun 1999 (Su-99) dan paling rendah pada musim semi tahun 2000 (Sp-00).

(31)

20

Gambar 12 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim panas tahun 2000 (Su-00)

(32)

21

Gambar 13 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim gugur tahun 1999 (Fa-99)

Nilai rata-rata koefisien atenuasi secara umum juga terlihat paling tinggi di daerah Mississippi, kecuali pada musim panas 1999 (Su-99) koefisien atenuasi paling tinggi ditemui di daerah Choctawhatchee dan musim semi 2000 (Sp-00) koefisien atenuasi paling tinggi ditemui di daerah Mobile (Gambar 16). Relatif tingginya koefisien atenuasi di sekitar Choctawatchee (musim panas 1999) ketika koefisien absorpsi rendah, mengindikasikan bahwa pengaruh kandungan fitoplankton, CDOM, dan detritus di wilayah tersebut tidak memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penyerapan cahaya. Oleh karena itu, koefisien atenuasi ini diduga lebih banyak dipengaruhi koefisien hamburan dari materi yang terkandung dalam perairan.

(33)

22

Gambar 14 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim gugur tahun 1999 (Fa-99)

(34)

23 memiliki sebaran mikrofitoplankton (> 20 µm) yang relatif sedang dan nanofitoplankton (2-20 µm) yang relatif tinggi. Hal ini diduga sebagai faktor yang dapat meningkatkan pengaruh koefisien hamburan lebih besar di wilayah tersebut.

Relatif tingginya koefisien atenuasi di wilayah Mobile pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) dibanding wilayah lainnya, diduga karena pengaruh sebaran fitoplankton dan CDOM di wilayah tersebut yang relatif tinggi. Hal ini didukung dengan sebaran klorofil dan absorpsi CDOM yang dilakukan Nababan (2005; 2011), yang menunjukkan sebarannya yang tinggi di wilayah Mobile pada musim tersebut. Selain itu, Nababan (20005; 2009) juga menunjukkan bahwa sebaran mikrofitoplankton (> 20 µm) di wilayah Mobile relatif tinggi pada musim semi tahun 2000 (Sp-00).

Secara umum nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi paling rendah ditemui pada daerah laut lepas (Offshore 1-3) kecuali pada musim panas 1999 (Su-99) dan 2000 (Su-00) (Gambar 16). Relatif tingginya koefisien absorpsi maupun atenuasi di daerah laut lepas (offshore 1-3) pada musim panas tahun 1999 (Su-99) dan tahun 2000 (Su-00) diduga karena pengaruh tranpor nutrien dari sekitar muara Sungai Mississippi ke arah timur dan tenggara akibat pengaruh pergerakan arus (loop current) yang pernah dijelaskan sebelumnya (Nababan 2005), sehingga menyebabkan terbawanya kandungan materi ke arah laut lepas. Perbandingan antar musim dibahas lebih detail pada perbandingan sebaran koefisien absorpsi dan atenuasi pada gelombang biru, hijau, dan merah yang dapat dilihat pada pembahasan berikutnya.

(35)

24

(36)

25

Gelombang biru

Panjang gelombang yang termasuk dalam spektrum gelombang biru, yaitu panjang gelombang 412, 440, dan 488 nm. Pola sebaran koefisien absorpsi dan atenuasi antar ketiga panjang gelombang tersebut menunjukkan pola yang hampir sama dalam satu musim, meskipun terlihat berbeda dari segi nilainya dan menunjukkan penurunan. Oleh karena itu, perbandingan antar musim ini hanya dibahas lebih detail pada salah satu panjang gelombang saja. Panjang gelombang yang digunakan yaitu 440 nm. Penggunaan panjang gelombang ini disebabkan karena pada panjang gelombang 440 nm lebih banyak digunakan untuk aplikasi estimasi konsentrasi fitoplankton dari satelit ocean color.

Perbandingan pola sebaran koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) pada panjang gelombang 440 nm ditampilkan pada Gambar 17. Pola sebaran dalam Gambar 17, mengindikasikan bahwa run off dari darat sangat mempengaruhi distribusi dari koefisien absorpsi dan atenuasi pada tiap musim. Hal ini dikarenakan run off memungkinkan terjadinya transport sumber nutrien atau CDOM ke muara sungai atau laut lepas. Oleh karena itulah distribusi koefisien absorpsi maupun atenuasi banyak ditemukan di wilayah sekitar pantai, terutama wilayah dekat muara sungai tiap musimnya.

Relatif tingginya koefisien absorpsi dan atenuasi di sekitar pantai (nearshore), terutama wilayah dekat sungai, dapat juga dipengaruhi oleh sebaran dan konsentrasi klorofil di sepanjang wilayah tersebut. Morel et al. (2006) menyatakan bahwa konsentrasi klorofil paling banyak ditemukan di perairan pesisir atau pantai yang kompleks. Sebaran konsentrasi klorofil di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko memang memiliki konsentrasi yang relatif tinggi di sekitar pantai dan muara sungai, seperti pola distribusi spasial konsentrasi klorofil yang dilakukan oleh Nababan (2005), yang menyebutkan pula bahwa konsentrasi klorofil memiliki korelasi positif dengan pengaruh run off.

Gambar 17 menunjukkan bahwa koefisien absorpsi dan atenuasi secara umum paling tinggi ditemui di sekitar Mississippi, kecuali pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) relatif tinggi di daerah Mobile. Meskipun demikian, kondisi tersebut menunjukkan betapa besarnya pengaruh Sungai Mississippi terhadap transpor partikulat dan materi terlarut, sehingga tingginya koefisien absorpsi maupun atenuasi. Relatif tingginya koefisien absorpsi maupun atenuasi di wilayah Mobile pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) diduga karena pengaruh sebaran klorofil dan absorpsi CDOM yang tinggi seperti yang pernah dijelaskan sebelumnya oleh Nababan (2005; 2011).

Selanjutnya, untuk wilayah laut lepas (offshore 1, 2, atau 3), nilai koefisien absorpsi dan atenuasi relatif rendah hampir pada tiap musim, kecuali pada musim panas (Su-99 dan Su-00). Sebaran koefisien pada musim panas (Su-99 dan Su-00) menunjukkan sebaran koefisien yang lebih menyebar hingga ke laut lepas. Sebaran tersebut menunjukkan bahwa wilayah offshore 1 dan 3 pada musim panas tahun 1999 99), serta wilayah offshore 2 pada musim panas tahun 2000 (Su-00) memiliki koefisien yang relatif cukup tinggi.

(37)

26

yang relatif tinggi dibanding musim panas tahun 1999 (Su-99). Hal ini disebabkan karena pada wilayah tersebut memiliki konsentrasi klorofil, absorpsi CDOM, dan konsentrasi fucoxantin yang relatif tinggi pada musim panas tahun 2000 (Su-00) (Nababan 2005).

(38)

27 Apabila membandingkan nilai rata-rata koefisien antar musim yang ditunjukkan pada Tabel 2, terlihat bahwa koefisien absorpsi dan atenuasi mencapai maksimum padamusim panas tahun 1999 (Su-99) dengan nilai rata-rata koefisien absorpsi sebesar 0.4640 ± 0.1347 m-1 dan nilai rata-rata koefisien atenuasi sebesar 1.2310 ± 0.5472 m-1. Selanjutnya, koefisien absorpsi dan atenuasi mencapai minimum pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) dengan nilai rata-rata koefisien absorpsi sebesar 0.0837 ± 0.1134 m-1 dan nilai rata-rata koefisien atenuasi sebesar 0.3350 ± 0.5931 m-1. Relatif tingginya rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi pada musim panas tahun 1999 (Su-99), mengindikasikan bahwa konsentrasi dan variabilitas klorofil, CDOM, dan materi partikulat lainnya sangat tinggi dibandingkan pada musim lainnya. Selain itu, dipengaruhi juga oleh radiasi matahari sepanjang musim panas yang relatif lebih maksimal dibanding musim lainnya.

Perbandingan koefisien absorpsi dan atenuasi antar musim dilakukan pula uji statistik dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis. Hasil uji statistik koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) untuk panjang gelombang 440 nm dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) untuk panjang gelombang yang diuji berbeda nyata tiap musimnya, pada selang kepercayaan 95% dan 99%. Selain uji statistik, perbandingan koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) antar musim ini, dapat pula dilihat dari plot box-whisker yang ditampilkan pada Lampiran 4. Berdasarkan plot box-whisker, perbedaan koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) antar musim sepanjang tahun 1999 dan 2000 relatif jelas perbedaannya. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata musimnya (ditunjukkan dengan kotak kecil) maupun dari sebaran datanya (ditunjukkan dengan kotak besar) pada plot box-whisker.

Tabel 2 Perbandingan nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi cahaya antar musim pada panjang gelombang 440, 510, dan 676 nm.

Musim Koefisien Absorpsi (m

-1

)

440 nm 510 nm 676 nm

Semi 1999 0.3417 ± 0.2651 0.1340 ± 0.1174 0.0254 ± 0.0436 Panas 1999 0.4640 ± 0.1347 0.1748 ± 0.0588 0.0171 ± 0.0256 Gugur 1999 0.3644 ± 0.1740 0.1467 ± 0.0844 0.0228 ± 0.0174 Semi 2000 0.0837 ± 0.1134 0.0421 ± 0.0513 0.0174 ± 0.0133 Panas 2000 0.1494 ± 0.1561 0.0692 ± 0.0683 0.0212 ± 0.0280

Koefisien Atenuasi (m-1)

Semi 1999 0.8503 ± 1.0643 0.6836 ± 0.8712 0.4942 ± 0.6477 Panas 1999 1.2310 ± 0.5472 1.0091 ± 0.4653 0.7380 ± 0.3715 Gugur 1999 0.6745 ± 0.9329 0.5953 ± 0.7907 0.4008 ± 0.5922 Semi 2000 0.3350 ± 0.5931 0.2796 ± 0.4926 0.2133 ± 0.3762 Panas 2000 0.5583 ± 0.7641 0.4359 ± 0.6214 0.3083 ± 0.4669

Gelombang hijau

(39)

28

gelombang 510 nm sebarannya lebih terlihat dibandingkan panjang gelombang lainnya, serta pola sebaran antar ketiganya yang tidak terlalu berbeda dalam satu musim. Pola sebaran koefisien absorpsi dan atenuasi pada panjang gelombang ini ditampilkan pada Gambar 18.

Secara umum, wilayah Mississippi memiliki pola sebaran koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) yang relatif tinggi tiap musimnya. Namun, pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) terlihat bahwa wilayah Mobile memiliki sebaran koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) yang relatif lebih tinggi dibanding Mississippi. Koefisien atenuasi (c) di sekitar Mississippi terlihat paling tinggi terjadi pada musim semi tahun 1999 (Sp-99) dan musim panas tahun 2000 (Su-00). Hal ini menunjukkan kandungan materi seperti fitoplankton dan bahan organik lainnya di Mississippi relatif tinggi pada musim tersebut.

Secara umum koefisien absorpsi dan atenuasi paling rendah ditemui di laut lepas, kecuali pada musim panas (Su-99 dan Su-00) memiliki variasi sebaran yang lebih tinggi. Koefisien atenuasi di wilayah offshore 1 dan 3 relatif tinggi pada musim panas tahun 1999 (Su-99), sedangkan koefisien atenuasi di wilayah offshore 2 relatif tinggi pada musim panas tahun 2000 (Su-00). Relatif tingginya koefisien absorpsi (a) atau atenuasi (c) di sekitar wilayah offshore 2 pada musim panas tahun 2000 (Su-00), diduga karena pengaruh blooming fitoplankton dan pengaruh sirkulasi permukaan yang dapat menyebarkan kandungan materi hingga ke wilayah laut lepas.

Nilai rata-rata koefisien antar musim dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan nilai rata-rata tiap musim, terlihat bahwa koefisien absorpsi dan atenuasi mencapai maksimum pada musim panas tahun 1999 (Su-99) dengan nilai rata-rata koefisien absorpsi sebesar 0.1748 ± 0.0588 m-1 dan nilai rata-rata koefisien atenuasi sebesar 1.0091 ± 0.4653 m-1. Nilai rata-rata antar musim menunjukkan bahwa koefisien absorpsi dan atenuasi mencapai minimum pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) dengan nilai rata-rata koefisien absorpsi sebesar 0.0421 ± 0.0513 m-1 dan nilai rata-rata koefisien atenuasi sebesar 0.2796 ± 0.4926 m-1.

Relatif tingginya rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi untuk panjang gelombang 510 nm yang terjadi pada musim panas tahun 1999 (Su-99), diduga sama seperti pada panjang gelombang 412 nm yang dipengaruhi oleh variabilitas materi partikulat dan komponen terlarut yang tinggi pada musim ini. Apabila dilihat secara pola sebarannya, pola distribusi spasial koefisien absorpsi dan atenuasi tidak terlalu sama. Hal ini dikarenakan masih ada kemungkinan dari pengaruh koefisien hamburan.

Perbandingan koefisien absorpsi dan atenuasi pada panjang gelombang 510 nm menunjukkan bahwa nilai rata-rata antar musim berbeda nyata berdasarkan uji Kruskal-Wallis (Lampiran 5) pada selang kepercayaan 95% dan 99%. Selain itu, perbandingan koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) antar musim ini dapat pula dilihat dari plot box-whisker (Lampiran 4) yang menunjukkan perbedaannya.

Gelombang merah

(40)

29 dikarenakan pada panjang gelombang 676 nm tersebut dapat merepresentasikan absorpsi yang didominasi oleh fitoplankton. Gambar 19 menunjukkan perbandingan pola sebaran koefisien absorpsi dan atenuasi pada panjang gelombang ini.

(41)

30

Koefisien absorpsi (a) didominasi di wilayah Mississippi, yang relatif tinggi pada musim semi tahun 1999 (Sp-99), musim panas tahun 1999 (Su-99) dan musim panas tahun 2000 (Su-00), sedangkan sebaran koefisien atenuasi (c) relatif lebih tinggi hampir tiap musim, kecuali pada musim semi tahun 2000 (Sp-00). Namun, apabila diperhatikan, wilayah Mississippi memiliki koefisien atenuasi (c) yang relatif paling tinggi terutama pada musim semi tahun 1999 (Sp-99) dan musim panas tahun 2000 (Su-00). Hal ini terlihat seperti pada panjang gelombang 510 nm (gelombang hiijau).

Secara umum koefisien absorpsi relatif paling rendah di daerah laut lepas, kecuali pada musim panas tahun 2000 (Su-00) koefisien absorpsi relatif tinggi di daerah offshore 2. Selanjutnya, koefisien atenuasi relatif paling rendah di laut lepas, kecuali di sekitar offshore 1 pada musim panas tahun 1999 (Su-99) dan sekitar offshore 2 pada musim panas tahun 2000 (Su-00) yang menunjukkan nilai tinggi. Koefisien absorpsi pada panjang gelombang 676 nm ini dipengaruhi oleh blooming fitoplankton dan sirkulasi permukaan pada musim tersebut. Sehingga, menyebabkan relatif tingginya koefisien absorpsi maupun atenuasi di sekitar wilayah laut lepas.

Tabel 2 menunjukkan bahwa bahwa koefisien absorpsi mencapai rata-rata maksimum pada musim semi tahun 1999 (Sp-99) dengan nilai rata-rata sebesar 0.0254 ± 0.0436 m-1, kemudian mencapai rata-rata minimum pada musim panas tahun 1999 (Su-99) dengan nilai rata-rata sebesar 0.0171 ± 0.0256 m-1. Relatif tingginya rata-rata koefisien absorpsi pada musim semi tahun 1999 (Sp-99), menunjukkan tingginya variabilitas materi partikulat dan komponen terlarut yang menjadi absorber pada panjang gelombang 676 di musim ini (terutama fitoplankton).

Berbeda dengan koefisien absorpsi, koefisien atenuasi antar musim (Tabel 2) menunjukkan bahwa rata-rata koefisien atenuasi mencapai maksimum dengan rata-rata sebesar 0.7380 ± 0.3715 m-1 pada musim panas tahun 1999 (Su-99), kemudian mencapai minimum pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) dengan rata-rata sebesar 0.2133 ± 0.3762 m-1. Relatif tingginya rata-rata koefisien atenuasi (c) pada musim panas tahun 1999 (Su-99), terlihat agak sedikit berbeda dengan nilai rata-rata koefisien absorpsi (a) pada musim tersebut yang menunjukkan paling rendah rata-ratanya. Hal ini mengindikasikan bahwa tingginya koefisien atenuasi pada musim panas tahun 1999 (Su-99), paling besar dipengaruhi oleh koefisien hamburan dibanding oleh absorpsinya.

(42)

31

(43)

32

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pola sebaran spasial koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) tiap musim menunjukkan bahwa daerah sekitar pantai dan muara sungai (nearshore) secara umum relatif tinggi dibandingkan di laut lepas. Hasilnya menunjukkan bahwa pola sebaran spasial umumnya relatif tinggi di sekitar Mississippi dan Mobile. Selain berdasarkan pola sebarannya, hasil perbandingan spektral nilai rata-rata antar wilayah pengamatan juga menunjukkan bahwa wilayah yang memiliki nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi paling tinggi atau mendominasi berada di wilayah Mississippi dan Mobile. Meskipun nilai sebaran koefisien absorpsi dan atenuasi di wilayah laut lepas umumnya relatif rendah, namun sebaran pada musim panas (Su-99 dan Su-00) menunjukkan bahwa sebaran koefisien absorpsi dan atenuasi pada musim tersebut menyebar hingga ke wilayah laut lepas (offshore) sehingga menunjukkan nilai yang relatif cukup tinggi.

Secara umum, kisaran nilai koefisien absorpsi pada panjang gelombang 412, 440, 488, 510, 532, 555, 650, dan 676 berturut-turut adalah sebagai berikut 0.0090 - 8.0242 m-1, 0.0118 - 5.0707 m-1, 0.0096 - 3.0275 m-1, 0.0098 - 2.2476 m-1, 0.0038 - 1.6223 m-1, 0.00001 - 2.5382 m-1, 0.00003 - 0.6661 m-1, dan 0.000002 - 0.6353 m-1. Selanjutnya, kisaran nilai koefisien atenuasi pada panjang gelombang 412, 440, 520, 532, 555, 650, 676, dan 715 nm berturut-turut adalah sebagai berikut 0.0151 - 16.7224 m-1, 0.0118 - 16.8708 m-1, 0.0068 - 17.7503 m-1, 0.0067 - 17.5247 m-1, 0.0066 - 17.7123 m-1, 0.0082 - 17.1340 m-1, 0.0048 - 18.6319 m-1, 0.0048 - 18.6058 m-1, dan 0.0060 - 17.4220 m-1.

Perbandingan spektral nilai rata-rata antar musim menunjukkan bahwa nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi antar musim secara spekral paling tinggi berada di musim panas tahun 1999 (Su-99) dan paling rendah musim semi tahun 2000 (Sp-00). Namun, pada panjang gelombang 676 nm (gelombang merah) nilai rata-rata koefisien absorpsi mencapai rata-rata maksimum pada musim semi tahun 1999 (Sp-99), kemudian mencapai rata-rata minimum pada musim panas tahun 1999 (Su-99). Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh absorber (terutama fitoplankton) pada panjang gelombang 676 nm relatif lebih tinggi pada musim semi tahun 1999 (Sp-99) dibandingkan musim panas tahun 1999 (Su-99).

(44)

33

Saran

Mengingat pentingnya proses dan mekanisme yang mempengaruhi warna laut atau perambatan sinyal dalam penginderaan jauh, maka penelitian terkait absorpsi dan atenuasi perlu dilakukan dan dikembangkan di perairan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Arnone RA, Wood AM, Gould RW Jr. 2004. The evolution of optical water mass classification. Oceanogr. Soc. 17(2):14-15.

Babin M, Stramski D, Ferrari GM, Claustre H, Bricaud A, Obolensky G, Hoepffner N. 2003. Variations in the light absorption coefficients of phytoplankton, nonalgal particles, dan dissolved organic matter in coastal waters around Europe. J. Geophys. Res. 108(C7):3211.

Barnard A. 2003. IOP tutorial-primary data processing. [Internet]. (diacu 2012 Mei 9); Tersedia dari: http://www.wetlabs.com.

Barnard A. 2011. AC meter protocol document. [Internet]. (diacu 2012 Mei 9); Tersedia dari: http://www.wetlabs.com.

Bell J. 2010. Compass, host software for acs/ac9 meters. [Internet]. (diacu 2012 Mei 9); Tersedia dari: http://www.wetlabs.com.

Bricaud A, Stramski D. 1990. Spectral absorption coefficient of living phytoplankton and nonalgal biogenous matter: A comparison between the Peru upwelling area and the Sargasso Sea. Limnol. Oceanogr. 35(3):562-582.

Cleveland JS. 1995. Regional models for phytoplankton absorption as a function of chlorophyll a concentration. J. Geophys. Res. 100(C7):13,333-13,344. D’sa EJ Mille RL. 2 2. Bio-optical properties in water influenced by the

mississipi river during low flow conditions. Rem. Sens. environm. 84:538-549.

Gilbes F, Tomas C, Walsh JJ, Muller-Karger FE. 1996. An episodic chlorophyll-a plume on the West Florida Shelf. Continent. Sh. Resear. 16:1201-1224. Gulfbase. 2012. General Facts about the Gulf of Mexico. [Internet]. (diacu 2012

Feb 9); Tersedia dari: http://www.gulfbase.org/facts.php.

Horn M. 2012. Florida, gulf of mexico textbook. [Internet]. (diacu 2012 Feb 9); Tersedia dari: http://www.mikehorn.com/en/yep/ pangaea-classroom-club/chapter-2---gulf-of-mexico-textbook1/.

Jacobson EC. 2005. Light attenuation in a nearshore coral reef ecosystems [tesis]. Hawaii (USA): University of Hawaii. 50 p.

Jensen DK, Jensen KJ. 1998. Light attenuation and photosynthesis of aquatic plant communities. Limnol. Oceanogr. 43(3):396-407.

Kirk JTO. 1994. Light and photosynthesis in aquatic ecosystems. 2nd ed. New York (USA): Cambridge University Press. 509 p.

(45)

34

Markager S, Vincent WF. 2000. Spectral light attenuation and the absorption of uv and blue light in natural waters. Limnol. Oceanogr. 45(3):642-650. Mobley CD. 1994. Light and water: radiative transfer in natural waters. San

Diego, California (USA): Academic Press, Inc. 579 p.

Morel A, Gentili B, Chami M, Ras J. 2006. Bio-optical properties of high chlorophyll Case 1 waters and of yellow-substance-dominated Case 2 waters. Deep-Sea Res. 1(53):1439-1459.

Nababan B. 2005. Bio-optical variability of surface waters in the northeastern gulf of mexico [disertasi]. Florida (USA): University of South Florida. 159 p. Nababan B. 2009. Chlorophyll specific absorption coefficients and the impact of

phytoplankton taxonomic group of surface waters in the northeastern gulf of mexico. J. Il. Teknol. Kelaut. Trop. 1(1):9-23.

Nababan B, Muller-Karger FE, Hu C, Biggs DC. 2011. Chlorophyll variability in the northeastern gulf of mexico. Internation. Journ. of Rem. Sens. 32:1-19. Nelson JR, Guarda S. 1995. Particulate and dissolved spectral absorption on the

continental shelf of the southeastern United States. J. Geophys. Res. 100(C5):8715-8732.

Oey LY, Ezer T, Lee HC. 2005. Loop current, rings and related circulation in the gulf of mexico: a review of numerical models and future challenges. New Jersey (USA): Princeton University. 26 p.

[OSU COAS] Oregon State University, College of Oceanic and Atmospheric Sciences. 2013. AC-9. [Internet]. (diacu 2013 Maret 26); Tersedia dari: http://argon.coas.oregonstate.edu/oceanoptics/ocean/instruments/ac9/ac9inst .html.

Shimura S, Fujita Y. 1975. Phycoerythrin and photosynthesis of the pelagic blue-green alga Trichodesmium thiebautii in the waters of Kuroshio, Japan. Mar. Biol. 31:121-128.

Smith VH. 1979. Nutrient dependence of pimary productivity in lakes. Limnol. Oceanogr. 24(6):1051-1064.

Subramaniam A, Carpenter EJ. 1999. Bio-optical properties of the marine diazotrophic cyanobacteria Trichodesmium spp. I. Absorption and photosynthetic action spectra. Limnol. Oceanogr. 44(3):608-617.

Suzuki K, Kishino M, Sasaoka K, Saitoh S, Saino T. 1998. Chlorophyll-specific absorption coefficients and pigments of phytoplankton off Sanriku, Northwestern North Pacific. J. Oceanogr. 54:517-526.

Varkey G, Suresh T, Matondkar SGP, Desa E, Kamath SS. 2004. Suspended sediment profiles derived from spectral attenuation coefficients measurements using neural network method. 3rd Indian National Conference on Harbour Ocean Engineering; 7-9 Desember 2004.

(46)

35 Lampiran 1 Listing program koreksi nilai air murni (millique)

Load NV528_2.txt %load data ac9 (sesuaikan)

Load average_milq.txt %load data millique (sesuaikan)

x1=NV528_2(:,:); % definisi data

row=length(x1); %ukuran vektor untuk mengetahui jumlah baris

data

x2=repmat(average_milq',row,1); %replicate matriks untuk nilai

millique sebanyak 'rowx1'

%Bagian 1. Pengurangan AC9 terhadap millique y1=x1(:,11)-x2(:,1); %a412

y2=x1(:,12)-x2(:,2); %a440 y3=x1(:,13)-x2(:,3); %a488 y4=x1(:,17)-x2(:,4); %a510 y5=x1(:,18)-x2(:,5); %a532 y6=x1(:,19)-x2(:,6); %a555 y7=x1(:,5)-x2(:,7); %a650 y8=x1(:,6)-x2(:,8); %a676 y9=x1(:,7)-x2(:,9); %a715 y10=x1(:,20)-x2(:,10); %c412 y11=x1(:,21)-x2(:,11); %c440 y12=x1(:,22)-x2(:,12); %c488 y13=x1(:,8)-x2(:,13); %c510 y14=x1(:,9)-x2(:,14); %c532 y15=x1(:,10)-x2(:,15); %c555 y16=x1(:,14)-x2(:,16); %c650 y17=x1(:,15)-x2(:,17); %c676 y18=x1(:,16)-x2(:,18); %c715

NV528_2_data=[y1 y2 y3 y4 y5 y6 y7 y8 y9 y10 y11 y12 y13 y14 y15

y16 y17 y18]; %gabung data hasil pengurangan agar dalam satu

(47)

36

Lampiran 2 Contoh program MATLAB untuk melakukan koreksi hamburan (scattering correction)

Load May_99_spring.txt

%% SCATTERING CORRECTION Using ZERO ABSORPTION (715)

a=May_99_spring(:,10:18); %data absorpsi semua panjang gelombang c=May_99_spring(:,19:27); %data atenuasi semua panjang gelombang

a_ref=May_99_spring(:,18); %data absorpsi pada panjang gelombang

715

aR=repmat(a_ref,1,9); %replicate matriks a_scatcor=a-aR;

%% HASIL GABUNG

LAT=May_99_spring(:,3); %lintang LON=May_99_spring(:,4); %bujur

May_99_spring_FINAL=[LON LAT a_scatcor c];

Save May_99_spring_FINAL.mat May_99_spring_FINAL

(48)

37 Lampiran 3 Rentang dan nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi tiap

musim

Rentang dan nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi musim semi tahun 1999 (Sp-99) tiap panjang gelombang

Panjang Koefisien Absorpsi (m-1) Koefisien Atenuasi (m-1) Gelombang Min Max Rata-rata Min Max Rata-rata

Rentang dan nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi musim panas tahun 1999 (Su-99) tiap panjang gelombang

Panjang Koefisien Absorpsi (m-1) Koefisien Atenuasi (m-1) Gelombang Min Max Rata-rata Min Max Rata-rata

Rentang dan nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi musim gugur tahun 1999 (Fa-99) tiap panjang gelombang

(49)

38

Rentang dan nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi musim semi tahun 2000 (Sp-00) tiap panjang gelombang

Panjang Koefisien Absorpsi (m-1) Koefisien Atenuasi (m-1) Gelombang Min Max Rata-rata Min Max Rata-rata

Rentang dan nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi musim panas tahun 2000 (Su-00) tiap panjang gelombang

Panjang Koefisien Absorpsi (m-1) Koefisien Atenuasi (m-1) Gelombang Min Max Rata-rata Min Max Rata-rata

Rentang nilai koefisien absorpsi dan atenuasi selama periode penelitian tiap panjang gelombang

Panjang Koefisien Absorpsi (m-1) Koefisien Atenuasi (m-1)

(50)

39 Lampiran 4 Box & Whisker plot koefisien absorpsi dan atenuasi

(51)

40

Box & Whisker Plot Koefisien Absorpsi pada 510 nm

Mean ±SD ±1.96*SD

Sp-99 Su-99 Fa-99 Sp-00 Su-00

-0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4

Box & Whisker Plot Koefisien Atenuasi pada 510 nm

Mean ±SD ±1.96*SD

Sp-99 Su-99 Fa-99 Sp-00 Su-00

(52)
(53)

42

Lampiran 5 Tabel uji statistik Kruskal-Wallis

Uji Kruskal-Wallis koefisien absorpsi (a) pada panjang gelombang 440 nm Musim Jumlah Median Rata-rata

Ranking H

Uji Kruskal-Wallis koefisien atenuasi (c) pada panjang gelombang 440 nm Musim Jumlah Median Rata-rata

Ranking H

Uji Kruskal-Wallis koefisien absorpsi (a) pada panjang gelombang 510 nm Musim Jumlah Median Rata-rata

Ranking H

Uji Kruskal-Wallis koefisien atenuasi (c) pada panjang gelombang 510 nm Musim Jumlah Median Rata-rata

(54)

43 Uji Kruskal-Wallis koefisien absorpsi (a) pada panjang gelombang 676 nm

Musim Jumlah Median Rata-rata

Ranking H

Khi-kuadrat α .05 α .01 Sp-99 7583 0.0116 17255.2

2423.26 9.488 13.277 Su-99 5729 0.0109 15352.1

Fa-99 6919 0.0166 24273.0 Sp-00 7387 0.0131 19227.6 Su-00 11563 0.0155 20653.6

Jumlah 39181 - 19591.0 - - -

Uji Kruskal-Wallis koefisien atenuasi (c) pada panjang gelombang 676 nm Musim Jumlah Median Rata-rata

Ranking H

Khi-kuadrat α 0.05 α .01 Sp-99 7583 0.2708 22640.0

14054.62 9.488 13.277 Su-99 5729 0.6293 32645.5

Fa-99 6919 0.2091 19869.5 Sp-00 7387 0.0831 10014.4 Su-00 11563 0.1937 17074.8

(55)

44

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 28 Juli 1989. Penulis merupakan anak kandung dari Bapak Baden Mucharam, S.Pi. dan Ibu Nunung Nuryani. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara.

Tahun 2005 hingga 2008 Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 4 Jl. Dreded No. 36 Bogor, Jawa Barat. Pada tahun 2008 Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur USMI (Undangan Saringan Masuk IPB).

Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, Penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Oseanografi Umum pada dua periode, yaitu pada periode tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012 di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Selain itu, Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Pemetaan Sumberdaya Hayati Laut tahun ajaran 2011/2012 di di departemen yang sama.

Gambar

Gambar 1. Wilayah-wilayah tersebut diantaranya merupakan wilayah yang
Gambar 2  Skema instrumen AC-9 (http://argon.coas.oregonstate.edu, 2013)
Tabel 1  Pelaksanaan cruise research
Gambar 5  Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim semi tahun 1999
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sekolah dapat (1) membeli buku-buku yang sesuai dengan minat, usia, dan jenjang kemampuan membaca siswa untuk memperkaya koleksi perpustakaan sekolah dan pojok baca kelas;

Dari hasil perhitungan nilai korelasi dapat diketahui bahwa besar nilai hubungan kekuatan otot lengan dengan akurasi servis atas bola voli pada siswa

Berkat situs jejaring sosial, anak menjadi lebih mudah berteman dengan orang lain di seluruh dunia, meski sebagian besar di antaranya tidak pernah mereka temui secara langsung.. 32

Perlindungan represif yang dapat diberikan kepada kreditur selaku pemegang sertipikat hak tanggungan adalah pembayaran uang klaim kepada kreditur oleh pihak asuransi

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk menggambarkan tingkat kesegaran jasmani siswa kelas V SD

1) Untuk tetap mengacu pada silabus, praktikan berusaha mengkait- kaitkan materi pembelajaran di kelas dengan materi yang seharusnya disampaikan sesuai silabus. 2) Praktikan

• Setelah seminar selesai segera lakukan perbaikan, tunjukkan kepada dosen pembimbing dan dosen peserta seminar perbaikan yang telah anda lakukan dengan membawa oret-oretan

Hasil pengujian hipotesis pertama bahwa variabel gaya kepemimpinan mampu menjelaskan variasi yang terjadi pada kinerja karyawan pada Hotel Travellers Suites Medan,