Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis IDENTIFIKASI POTENSI KERENTANAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) SEBAGAI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DENGAN MODEL LOGIT (KASUS PROPINSI DKI JAKARTA) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini dan dapat diperiksa kebenarannya
Bogor, September 2011
DEDE TARMANA. Identify Potential of Dengue Hermologic Fever (DHF) Vulnerabilities as Climate Change Impacts with The Logit Model (Study in Jakarta
Province).Under direction of MUHAMMAD NUR AIDI and I MADE
SUMERTAJAYA
Global warming as the trigger of climate change is a very important issue in many countries, the data showed global average temperature increase by 0.74oC during the 20th century. Rising sea levels from the 19th century until the 20th
The results of ordinal logistic regression analysis, the models with socio-demographic and climatic variables as predictor is a good model with about 80% accuracy rate, and pass the test individually and overall. So by using the model to calculate the degree of vulnerability of each district then the resulting degree of vulnerability to be spatial in the map.
century amounted to 0,17 m, this is consistent with extensive snow cover decreased by 7% since 1900. The fact of climate change and Indonesia's geographical position is on the growth of endemic mosquito Aedes aegypti as a dengue vector, Climate change will accelerate the spread of dengue virus due to changing rainfall patterns, high frequency and irregular rainfall and warmer temperatures will increase the number of mosquito Aedes aegypti.
The Purpose of this research is determining the association between risk factors of DHF with Climate (Temperature and Rainfall), determining the factors that influence susceptibility DHF region of Jakarta, and social demography in Jakarta area and the finally purpose is determining the potential vulnerability of dengue in the Jakarta province as well as display them spatially in a map of dengue due to climate change vulnerability.
DEDE TARMANA. Identifikasi Potensi Kerentanan DBD (Demam Berdarah Dengue) Sebagai Dampak Perubahan Iklim Dengan Model Logit ( Kasus Propinsi DKI Jakarta). Dibimbing oleh MUHAMMAD NUR AIDI dan I. MADE SUMERTAJAYA
Pemanasan global sebagai pemicu terjadinya perubahan iklim merupakan isu yang sangat penting diberbagai Negara. Temperatur rata-rata global naik sebesar 0.74o
The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yaitu organisasi yang dibentuk oleh PBB untuk menangani khusus berbagai hal terkait dengan perubahan iklim secara global. Indonesia sebagai bagian dari isu global berperan aktif dalam memantau perubahan iklim baik secara nasional, regional maupun internasional. Fakta telah terjadinya perubahan iklim, salah satunya di Jakarta bahwa temperatur udara bulanan meningkat sebesar 1.4
C selama abad ke-20, dimana pemanasan lebih dirasakan pada daerah daratan daripada lautan. Kenaikan permukaan lautdari abad ke-19 hingga abad ke-20 adalah sebesar 0.17 meter, hal ini selaras dengan berkurangnya luas tutupan salju sebesar 7% sejak tahun 1900. Informasi lain yang terjadi seiring dengan perubahan iklim yaitu frekuensi bencana alam banjir, longsor, kekeringan, gelombang panas, badai dan wabah penyakit (Malaria, Dengue Hermologic Fever) dibeberapa Negara mengalami peningkatan
termasuk di Indonesia. Bukti-bukti ini terus memicu pemikiran dari para ahli untuk mendapatkan gambaran kondisi yang terjadi dan mempersiapkan langkah untuk mengantisipasinya.
o
C/100 tahun pada bulan juli dan 1.04 o
Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) Menentukan adanya asosiasi antara resiko DBD dengan faktor-faktor Iklim (Suhu dan Curah Hujan) dan sosial kependudukan di wilayah DKI Jakarta; (2) Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan DBD di wilayah DKI Jakarta; (3) Menentukan potensi kerentanan DBD di wilayah DKI Jakarta serta menampilkannya secara spasial dalam peta potensi kerentanan DBD akibat perubahan iklim.
rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk variabilitas iklim dan iklim ekstrim”. Bila ditiliskan secara fungsi maka kerentanan adalah
) adaptasi kapasitas
, as sensitifit
(paparan,
Kerentanan= f . Terkait kerentanan DBD,
penyakit DBD adalah penyakit yang disebabkan adalah vektor nyamuk Aedes aegypti
yang siklus hidupnya berkaitan erat dengan kondisi iklim suatu tempat (misal : temperatur dan curah hujan)
Data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan data sekunder antara lain : data iklim rata-rata periode 1990-2008 (Curah hujan dan Temperatur); data kejadian kasus DBD tiap kecamatan; Data Potensi Desa tahun 2008, unsur yang digunakan yaitu kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, jumlah fasilitas kesehatan pada setiap kecamatan. Metode penelitian dimulai dengan langkah pengumpulan data peubah kerentanan terpilih yaitu iklim dan sosial kependudukan, pembobotan terhadap masing-masing peubah, khusus untuk peubah iklim dilakukan analisis iklim secara spasial dengan menggunakan interpolasi bobot jarak terboboti. Langkah selanjutnya yaitu melakukan analisis asosiasi peubah kerentanan DBD, memetakan peubah kerentanan kemudian melakukan overlay antara peubah kerentanan dan yang terakhir yaitu melakukan pemodelan regresi logistik ordinal potensi kerentanan DBD.
Hasil dari penelitian menunjukan bahwa peubah kerentanan curah hujan, temperatur, jumlah penduduk, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan, semuanya berpengaruh signifikan terhadap tingkat kerentanan DBD suatu wilayah. Hasil analisis kesesuaian 47% interval suhu 27.10C – 29.00C bersesuaian dengan kasus DBD pada klas menengah hingga tinggi, sedangkan untuk curah hujan menunjukan tingkatan DBD rendah hingga tinggi 83% bersesuaian dengan interval curah hujan 101-300 mm. Model potensi kerentanan yang terbentuk mempunyai kecocokan dalam melakukan pendugaan respon tingkat kerentanan DBD, berdasarkan nilai Concordan yaitu nilai yang menjadi ukuran prosentase sejauh mana model benar dalam menduga tingkat kerentanan DBD, nilai konkordan untuk model potensi kerentanan DBD ini sebesar 80%
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
DENGAN MODEL LOGIT
(KASUS PROPINSI DKI JAKARTA)
DEDE TARMANA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Statistika Terapan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Dede Tarmana
NRP : G152070074
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Muhammad Nur Aidi, M.S
Ketua Anggota
Dr. Ir. I Made Sumertajaya, M.Si
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB
Statistika Terapan
Dr. Ir. Anik Djuraidah, M.S Dr. Ir.Dahrul Syah, M.Sc, Agr
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt, yang telah memberikan taufiq serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Isi tesis secara lengkap berisi lima bagian yaitu Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan, serta Kesimpulan dan Saran.
Dalam penelitian tentang potensi kerentanan kesehatan penulis mengambil lokasi DKI Jakarta sebagai barometer untuk propinsi lainnya dan isu yang sedang berkembang yaitu perubahan iklim yang berpengaruh besar pada berbagai sektor kehidupan manusia. Sektor kesehatan menjadi fokus penelitian karena sektor ini memberikan gambaran terhadap kemampuan manusia dalam beradaptasi dengan perubahan iklim.
Ucapan terima kasih penulis tunjukan kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Muhammad Nur Aidi, MS, sebagai ketua pembimbing. 2. Bapak Dr. Ir. I Made Sumertajaya, M.Si, sebagai anggota pebimbing.
3. Bapak Dr. Ir. H. Aji Hamim Wigena, M.Sc selaku penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan tesis ini.
4. Ibu Dr. Ir. Anik Djuraidah, MS, sebagai ketua program studi Statistika Terapan, Para Dosen di Departemen Statistika, Staf Administrasi yang telah membantu pengurusan adminitrasi.
Akhirnya penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tesis ini, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun, sangat penulis tunggu untuk perbaikan pada penulisan/ penelitian selanjutnya.
Bogor, September 2011
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 27 Oktober 1976 merupakan anak kedua dari 4 bersaudara, lahir dari pasangan ibu Hj. Popoh Salipah (almh) dan ayah H. Mamat Hidayat.
Tahun 1994 penulis lulus dari SMAN 24 Bandung (sebelumnya SMAN 1 Ujungberung), pada tahun 1997 penulis lulus dari Balai Pendidikan dan Pelatihan kedinasan BMKG kemudian tahun 2000 melanjutkan studi ke jenjang S1 jurusan Matematika di Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa S2 program studi statistika terapan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis menikah dengan Mufidah Nur A’ini pada tahun 1998 dan dikaruniai dua putra yaitu Sultan Ali Shiddiq dan Muhammad Rizqi Baihaqi.
Halaman
DAFTAR TABEL... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Kerentanan ... 4
Perubahan Iklim ... 4
Demam Berdarah... 5
Interpolasi Kebalikan Jarak Terboboti ... 6
Regresi Logistik ... 7
Regresi Logistik Ordinal... 8
Pendugaan Parameter ... 10
Uji Parameter dan Ukuran Kebaikan Model ... 11
DATA DAN METODE ... 12
Data... 12
Lokasi Penelitian ... 12
Metode ... 13
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16
Analisis Umum Wilayah DKI Jakarta ... 16
Deskriptif Kasus DBD ... 17
Uji Kesesuaian Model ... 32
Peta Potensi Kerentanan DBD ... 35
KESIMPULAN DAN SARAN ... 37
Kesimpulan ... 37
Saran ... 37
DAFTAR PUSTAKA ... 38
Halaman 1. Jumlah Kepadatan Penduduk per Wilayah Kota Administrasi
DKI Jakarta 2011 ... 24
2. Korelasi Peubah Penyusun Kerentanan DBD dengan Tingkat DBD ... 26
3. Koefisien Model dan Uji Individu terhadap Koefisien-Konstanta ... 28
4. Uji Individu Parameter Model I ... 30
5. Uji Individu Parameter Model II... 32
6. Uji Kesesuaian dan Pemilihan Model Terbaik ... 33
7. Tabulasi Silang untuk Evaluasi Model ... 34
Halaman
1. Trend Kenaikan Temperatur Udara di Jakarta ... 5
2. Nyamuk Aedes aegypti dan Siklus Hidupnya ... 6
3. Peta Adminstrasi Kecamatan DKI Jakarta ... 12
4. Peta Topografi DKI Jakarta ... 16
5. Rata-rata Tahunan Kasus DBD DKI Jakarta ... 17
6. Peta Sebaran Kasus DBD di Provinsi DKI Jakarta ... 18
7. Rata-rata Bulanan Kasus DBD Propinsi DKI Jakarta ... 19
8. Peta Sebaran Stasiun BMKG dan Pos Hujan DKI Jakarta dan sekitarnya ... 20
9. Curah Hujan Rata-rata DKI Jakarta ... 20
10. Peta Curah Hujan Rata-rata pada saat Puncak DBD ... 21
11. Peta Temperatur Jakarta DKI Jakarta (April) ... 23
12. Peta Klasifikasi Jumlah Penduduk dan Tingkat DBD di Jakarta... 25
13. Peta Klasifikasi Sarana Kesehatan dan Tingkat DBD di Jakarta... 25
14. Peta Klasifikasi Sarana Pendidikan dan Tingkat DBD di Jakarta ... 26
Halaman
1. Rata-rata Bulanan Kasus DBD pada Klas Curah Hujan ... 39
2. Rata-rata Bulanan Kasus DBD pada KlasTemperatur ... 40
3. Laju (%)Pertumbuhan Penduduk Menurut Propinsi 2000-2025 ... 41
4. Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Propinsi 2000-2020 ... 42
5. Curah Hujan Rata-rata Bulanan DKI Jakarta (2000-2009) Temperatur Rata-rata Bulanan DKI Jakarta (2000-2009) ... 43
6. Rata-rata Kasus DBD tiap Kecamatan DKI Jakarta (2006-2009) ... 44
Latar Belakang
Dunia dengan segala aktifitas didalamnya telah mengalami perubahan
yang mengkhawatirkan. Fakta terakhir dalam bidang iklim yang paling
mendapatkan perhatian adalah telah terjadinya perubahan iklim secara global
ditandai kenaikan temperatur dan tinggi permukaan laut. Tingkat pemanasan
rata-rata sejak tahun 1850 selama lima puluh tahun terakhir hampir dua kali lipat dari
rata-rata seratus tahun terakhir. Temperatur rata-rata global naik sebesar 0.74o
Organisasi dunia PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) melalui program
lingkungannya bekerja sama dengan Organisasi Meteorologi Dunia (World
Meteorology Organization, WMO) membentuk The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988, tujuannya yaitu untuk meneliti dan menganalisa isu-isu ilmu pengetahuan yang muncul terkait dengan perubahan
iklim. Sejak tahun 1990 IPCC mengadakan konvensi-konvensi melibatkan
perwakilan dari berbagai negara dan telah mengeluarkan laporan-laporan. Pada
konvensi tahun 2007, IPCC mengeluarkan laporan yang berkaitan dampak
perubahan iklim terhadap bidang kesehatan. Secara umum salah satu isi
laporannya berisi bahwa perubahan iklim akan mengubah distribusi
nyamuk-nyamuk (Malaria dan Aedes Aegypti) dan penyakit-penyakit menular lainnya. C
selama abad ke-20, dimana pemanasan lebih dirasakan pada daerah daratan
daripada lautan. Kenaikan permukaan laut dari abad ke-19 hingga abad ke-20
adalah sebesar 0.17 meter. Hal ini selaras dengan berkurangnya luas tutupan salju
sebesar 7% sejak tahun 1900. Informasi lain yang terjadi seiring dengan
perubahan iklim yaitu frekuensi bencana alam banjir, longsor, kekeringan,
gelombang panas, badai dan wabah penyakit (Malaria, Dengue Hermologic Fever)
di beberapa Negara mengalami peningkatan termasuk di Indonesia. Bukti-bukti ini
terus memicu pemikiran dari para ahli untuk mendapatkan gambaran kondisi yang
Indonesia sebagai bagian dari isu global berperan aktif dalam memantau
perubahan iklim baik secara nasional, regional maupun internasional dalam rangka
untuk mengambil langkah adaptasi, antisipasi dan mitigasi dampaknya. Fakta
telah terjadinya perubahan iklim di Indonesia, salah satunya dibuktikan dengan
kenaikan temperatur udara bulanan sebesar 1.4 oC/100 tahun pada bulan juli dan
1.04 o
Fakta terjadinya perubahan iklim dan posisi geografis Indonesia yang
berada pada wilayah endemik pertumbuhan nyamuk aedes aegypti menuntut
masyarakat untuk siap menghadapinya. Menurut Dirjen P2PL kementerian
Kesehatan (2007) Perubahan Iklim akan mempercepat penyebaran virus DBD,
karena dengan berubahnya pola hujan, tingginya frekuensi dan tidak teraturnya
kejadian hujan serta suhu yang menghangat akan meningkatkan jumlah nyamuk
seiring dengan proses perkembangbiakan nyamuk aedes aegypti yang berlangsung
lebih cepat.
C/100 tahun pada bulan Januari di Jakarta, untuk tinggi permukaan laut naik
0,57 cm/tahun pada periode 1925-2000 dan naik 6-8 mm/ tahun secara rata-rata di
seluruh wilayah Indonesia (Daryono et al, 2008).
Memperhatikan proyeksi perubahan iklim kedepan berdasarkan kondisi
saat ini, maka akan ada lokasi-lokasi yang semakin rentan kesehatannya (penyakit
DBD). Dalam rangka mengantisipasi munculnya wabah penyakit DBD perlu
dibuat peringatan dini atau proyeksi kerentanan wilayah-wilayah terhadap
penyakit DBD sebagai dampak dari perubahan iklim. Penentuan kerentanan yang
dimaksud pada penelitian ini yaitu kerentanan berdasarkan pengklasifikasian
kasus DBD pada setiap kecamatan. Penyetaraan model logistik dengan fungsi
kerentanan yaitu terletak pada peubah bebasnya yang merupakan peubah
kerentanan, sedangkan peubah tak bebas kategori klasifikasi DBD dijadikan
sebagai dasar klasifikasi tingkat kerentanan. Untuk menggambarkan hubungan
tingkat kerentanan DBD yang datanya bersifat kategorik dapat digunakan model
persamaan regresi logistik. Selanjutnya dilakukan analisis spasial guna
menghasilkan informasi berupa peta wilayah kerentatan DBD. Pentingnya
informasi keterkaitan perubahan iklim, sosial kependudukan dengan DBD bisa
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yaitu :
- Menentukan adanya asosiasi antara resiko DBD dengan faktor-faktor Iklim
(Suhu dan Curah Hujan) dan sosial kependudukan di wilayah DKI Jakarta.
- Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan DBD di
wilayah DKI Jakarta
- Menentukan potensi kerentanan DBD di Wilayah DKI Jakarta serta
menampilkannya secara spasial dalam peta kerentanan DBD akibat
TINJAUAN PUSTAKA
Kerentanan
Kerentanan berdasarkan konsep yang dikeluarkan oleh IPCC mempunyai
definisi sebagai berikut : “Kerentanan adalah Tingkat kemampuan suatu sistem
yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk variabilitas iklim dan
iklim ekstrim”. Atau “Kerentanan merupakan fungsi yang terbuka, sensitifitas dan
kemampuan dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim atau dinyatakan dalam
bentuk fungsi seperti berikut
) adaptasi kapasitas
, as sensitifit f(paparan,
Kerentanan= ”
(Arief, AA & Hermania, F. 2009).
Peubah kerentanan yang ada dalam fungsi kerentanan merupakan peubah
yang akan menjadi acuan dalam pemodelan. Terkait dengan penentuan tingkat
kerentanan, maka sebagai awal untuk penentuan tingkat kerentanan DBD,
klasifikasi kasus DBD dijadikan dasar dalam penentuannya.
Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan dampak tidak langsung dari pemanasan global
yang terjadi akibat lebihnya energi matahari di atmosfir karena tertahan oleh gas
hidrokarbon yang berasal dari aktifitas di permukaan bumi. Sumber-sumber
hidrokarbon dari permukaan bumi antara lain berasal dari Industri, gas buang
kendaraan bermotor, pembukaan lahan dengan cara pembakaran, pembakaran
sampah dan lain-lain. Dengan adanya fenomena pemanasan global suhu rata-rata
bumi secara keseluruhan meningkat sebesar 1oC, akibatnya terjadi longsoran atau
lelehan batuan es yang berada di beberapa lokasi seperti daerah kutub, Greenland,
puncak-puncak gunung, di Indonesia terjadi di puncak jayawijaya (Indonesia).
Dampak lebih jauhnya adalah perubahan iklim secara nyata dimana pola hujan
yang tidak teratur, kejadian-kejadian iklim ekstrim semakin sering dan bukti
Gambar 1. Trend Kenaikan Temperatur Udara di Jakarta.
Hal terpenting dari perubahan iklim adalah dampaknya terhadap
kehidupan, sehingga perlu dipersiapkan langkah antisipasi, adaptasi dan mitigasi
untuk menghadapinya. Secara teoritik berdasarkan beberapa kajian yang telah
dilakukan, semua sektor akan mengalami kesulitan, seperti sektor pertanian akibat
dari tidak teraturnya pola hujan maka akan sulit untuk menentukan waktu tanam,
sektor kesehatan akibat semakin cepatnya masa reproduksi nyamuk maka penyakit
yang disebabkan oleh vektor ini menjadi semakin besar peluang kejadiannya.
Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah adalah penyakit yang disebabkan oleh virus demam
kelompok Flaviridae dan berpotensi mengancam 2,5 juta penduduk dunia yang tinggal di wilayah beriklim tropis dan subtropis. Penyakit ini banyak menyerang
pada usia anak-anak dan remaja yang ditandai dengan gejala demam secara
tiba-tiba dan manifestasi pendarahan yang menyebabkan kehilangan cairan darah
dalam tubuh hingga berakibat shock (dengue shock syndrome). Penyebab utama
demam berdarah adalah vektor nyamuk Aedes aegypti yang siklus hidupnya
berkaitan erat dengan kondisi iklim suatu tempat (misal : temperatur dan curah
hujan). Seiring dengan adanya fenomena perubahan iklim global maka
berdasarkan beberapa hasil kajian kondisi ini dapat memodifikasi sebaran
geografis sehingga yang semula disuatu wilayah tidak bisa hidup nyamuk aedes
Nyamuk aedes aegypti bersifat rumahan (peridometic), aktif menggigit pada siang hari dan menyukai darah manusia. Perkembangbiakannya sangat
menakjubkan karena dapat bertelur dengan jumlah berkisar antara 100-500 dan
dapat bertahan pada keadaan kering hingga lebih dari 1(satu) tahun. Tahapan
perkembangbiakannya melalui metamorfosis dimulai dari tahapan telur–larva–
pupa dan dewasa dengan waktu perkembangan antara 8-10 hari. Berdasarkan
topografi dan iklim, nyamuk aedes aegypti dapat hidup ideal pada ketinggian 1000
meter diatas permukaan laut dan sangat menyukai genangan-genangan di rumah
penduduk pada kondisi gelap, lembab, suhu kamar dan angin calm. Secara spasial
jarak jangkauan nyamuk terbang sekitar 100 meter dari tempat pupa menetas dan
bahkan hasil kajian terbaru di Puerto Rico ditemukan bahwa nyamuk betina
dewasa dapat menyebar lebih dari 400 meter.
Gambar 2. Nyamuk Aedes aegypti dan Siklus Hidupnya.
Interpolasi Invers Jarak Terboboti
Metode interpolasi invers jarak terboboti yaitu metode interpolasi dengan
cara membuat jarak antara titik yang di prediksi dengan titik yang diukur sebagai
faktor pembobot. Formula metode ini yaitu :
∑
== n
i i iZ Z
1
0 λ
Dimana Z0 = Nilai dari titik yang diprediksi
i
Z = Nilai terukur dari elemen-elemen titik disekitarnya
i
n = Jumlah titik yang nilainya terukur
Formula untuk menghitung bobot sendiri yaitu :
∑
=− −
= n
i p i
p i i
d d
1 0 0
λ
∑
==
n
i i
1
1
λ
Dimana di0 = Jarak antara titik yang nilainya diprediksi dengan titik yang
disekitarnya.
p = pangkat invers jarak terboboti.
Regresi Logistik
Pada kasus-kasus penelitian dengan tujuan untuk mengetahui hubungan
antara suatu peubah dengan peubah penyebab dimana peubah terikatnya berupa
data kategorik, maka analisis regresi linier standar tidak bisa dilakukan, oleh
karena itu salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah regresi logistik.
Model persamaan regresi logistik digunakan untuk dapat menjelaskan hubungan
antara X dan π
( )
x yang bersifat tidak linear, ketidaknormalan sebaran dari Y,keragaman respon yang tidak konstan dan tidak dapat dijelaskan oleh model
regresi linier biasa (Agresti, 1990). Metode regresi logistik adalah suatu metode
analisis statistika yang mendeskripsikan hubungan antara peubah respon yang
memiliki dua kategori atau lebih dengan satu atau lebih peubah penjelas berskala
kategori atau interval (Hosmer dan Lemeshow, 1989).
Jika data hasil pengamatan memiliki k peubah bebas yaitu
k x x
x1, 2,..., dengan peubah respon Y, dimana Y pada kasus biner mempunyai dua
kemungkinan nilai 0 dan 1, Y = 1 menyatakan bahwa respon memiliki kriteria
Y mengikuti sebaran Bernoulli dengan parameter π
( )
xi sehingga fungsi sebaranpeluang :
( )
[
( )
]
i[
( )
]
yii y
i
i x x
y
f = π 1−π 1− , yi =0,1
Model umum regresi logistik dengan k peubah penjelas yaitu
( )
(
(
( )
( )
)
)
x g x g x exp 1 exp + = πdengan melakuka n transformasi logit diperoleh
( )
( )
( )
− = i i i x x x g π π 1 lndengan g
( )
xi = β0 +β1x1+...+βkxk , g(xi) merupakan penduga logit yangberperan sebagai fungsi linier dari peubah penjelas. Karena fungsi penghubung
yang digunakan adalah fungsi penghubung logit maka sebaran peluang yang
digunakan disebut sebaran logistik (McCullagh dan Nelder, 1989).
Regresi Logistik Ordinal
Pada kasus umum model regresi yang melibatkan peubah respon bersifat
kategorik maka model pendekatannya adalah model regresi logistik. Data
kategorik pada peubah respon bisa berupa nominal atau ordinal, untuk kasus
peubah respon ordinal, model regresi yang dapat digunakan yaitu model regresi
logistik ordinal. Pada model logistik (link logit) ini sifat ordinal peubah respon Y
dinyatakan dalam peluang kumulatif sehingga kumulative logit model merupakan
model yang didapatkan dengan membandingkan peluang kumulatif yaitu peluang
kurang dari atau sama dengan kategori respon ke-j pada p peubah prediktor yang
dinyatakan dalam vektor X (P[Y≤j|X]), dengan peluang lebih besar dari kategori
respon ke-j (P[Y≥j|X]) (Hosmer dan Lemeshow, 2000). Peluang kumulatif
P(Y≤j|X) didefinisikan sebagai berikut :
+ + + = ≤
∑
∑
= = p k k k j p k k k j x x X j Y P 1 1 exp 1 exp ) ( β α β αDalam hal pengklasikasian, kumulatif logit model merupakan fungsi
klasifikasi. Fungsi klasifikasi yang terbentuk bila terdapat J kategori respon adalah
sejumlah J – 1. Jika πj(X)=P(Y = jX)menyatakan peluang kategori respon ke-j
pada p peubah prediktor yang dinyatakan dalam vektor X dan P(Y≤j|X) menyatakan peluang kumulatif pada p peubah prediktor yang dinyatakan dalam
vector X maka nilai πj(X)didapatkan dengan persamaan berikut :
) ( ) ( ) ( )
(Y j X 1 X 2 X X
P j
j π π π
γ = ≤ = + ++
dimana j = 1,2,…,J
Untuk lima kategori respon dimana j = 1,2,3,4,5 maka nilai dari peluang
kategori respon ke-j adalah:
+ + + = ≤ =
∑
∑
= = p k k k p k k k x x X Y P 1 1 1 1 1 exp 1 exp ) 1 ( β α β α γ + + + = + = ≤ =∑
∑
= = p k k k p k k k x x X X X Y P 1 2 1 2 2 1 2 exp 1 exp ) ( ) ( ) 2 ( β α β α π π γDengan memanfaatkan kedua peluang kumulatif diatas maka akan
didapatkan peluang untuk masing-masing kategori respon sebagai berikut :
+ + + − = ≤ − =
∑
∑
= = p k k k p k k k x x X Y P X 1 4 1 4 5 exp 1 exp 1 ) 4 ( 1 ) ( β α β α π (5)Untuk klasifikasi nilai πj(X)pada persamaan 1 sampai dengan 5 akan
dijadikan pedoman pengklasifikasian. Suatu pengamatan akan masuk dalam
respon kategori j berdasarkan nilai πj(X)yang terbesar (Wibowo, 2002).
Pendugaan Parameter
Ada beberapa metode pendugaan parameter dalam regresi, salah satunya
yaitu metode maksimum likelihood. Pendugaan parameter β untuk model regresi
logistik biner sederhana dengan p peubah bebas
pXp X pXp X e e Y
P β β β
β β β + + + + + + + = = ...... 1 0 1 0 1 ) 0 (
bisa menggunakan metode maximum likelihood. Secara sederhana dapat
disebutkan bahwa metode ini berusaha mencari nilai koefisien yang
memaksimumkan fungsi likelihood. Dengan nilai Y yang bersifat biner, kita
dapat menggunakan Bernoulli sebagai sebaran variabel Y sehingga fungsi
likelihood akan berbentuk
L=
( )
∏
[ ] [
]
= − − = n i y i y i i i i p p y f 1 1 1
Dengan : X pXp
pXp X
e e
Pi β β β
β β β + + + + + + + = ...... 1 0 1 0 1
Melalui transformasi logaritma maka operasi perkalian berubah menjadi
penjumlahan, kemudian fungsi likelihood diganti dengan fungsi log-likelihood.
Perlu diingat bahwa fungsi logaritma besifat monoton naik, sehingga jika log-likelihood mencapai maksimum maka fungsi likelihood juga demikian. Bentuk fungsi yang dimaksimumkan adalah
∑
[ ]
[
]
=
− −
+
= n
i
i i
i
i p y p
y
1
1 log ] 1 [ log
Penduga bagi koefisien β diperoleh sebagai solusi bagi permasalahan
memaksimumkan LL yang dapat diselesaikan melalui prosedur iterasi bobot
kuadrat terkecil (Iterative Weighted Least Squares = IWLS).
Uji Parameter dan Ukuran Kebaikan Model
Untuk mengukur tentang kesesuaian model regresi logistik, ada beberapa
ukuran statistic yang dapat dijadikan kriteria dalam penentuan kebaikan model,
diantaranya yaitu Pearson Chi-square, Deviance, Uji Rasio likelihood, dan uji
lainnya (AIC, BIC). Salah satu uji yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu :
Uji Rasio Likelihood
Keuntungan menggunakan metode maksimum likelihood adalah bahwa uji
rasio likelihood dapat di implementasikan untuk menaksir kesesuaian dari
kelebihan pendugaan parameter regresi logistik dengan menggunakan
MLE(Maksimum Likelihood Estimation).
Formula uji rasio likelihood adalah G=2(1−0) dimana 1=likelihood
tanpa peubah bebas dan 0=likelihood dengan peubah bebas. Nilai G mempunyai
kedekatan dengan distribusi chi-squrae berderajat bebas k (G≈Xk2) dengan
hipotesis :
H0 : β1 =β2=...=βk =0
H1 : Minimum ada satuβ≠0
Untuk sampel ukuran besar, pendekatan Z standar : SE
z= βˆ untuk pengujian
parameter secara individu akan bersesuaian dengan nilai Chi-Square berderajat
bebas df = 1 dimana nilai
2 2
1
2 ˆ
= =
=
SE Z
X df
DATA DAN METODE
Data
Data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan data sekunder antara
lain :
- Data indek iklim hasil dari pengindekan unsur Iklim rata-rata periode
2000-2009 (Curah hujan dan Temperatur) yang bersumber dari Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG),
- Data kejadian kasus DBD tiap kecamatan dari Dinas Kesehatan
- Data Potensi Desa tahun 2008, unsur yang digunakan yaitu sosial dan
ekonomi antara lain : kepadatan penduduk kecamatan, tingkat pendidikan
yang dominan pada setiap kecamatan, jumlah fasilitas kesehatan
kecamatan.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian difokuskan diwilayah DKI Jakarta dengan unit penelitian
tingkat administrasi kecamatan.
Metode
Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan pada penelitian ini, ada
beberapa tahapan analisis yang harus dilaksanakan, diantaranya yaitu :
1. Melakukan kajian khusus terhadap data iklim yang lokasinya hanya ada
beberapa titik sehingga bisa diperoleh gambaran iklim di Jakarta secara
menyeluruh, kajian tersebut meliputi :
- Melakukan Pendugaan data iklim di kecamatan-kecamatan yang tidak
tersedia datanya dengan menggunakan metode invers jarak terboboti
- Pengklasifikasian data iklim.
- Pemberian skor pada masing-masing interval klas unsur iklim, nilai
skor dihitung berdasarkan proporsi nilai klas terhadap total luas
kejadiannya..
- Pembuatan peta-peta hasil kajian terhadap unsur-unsur iklim.
2. Mengelompokan data kasus DBD tiap kecamatan kedalam lima kelas yaitu
: sangat rendah, rendah, menengah, tinggi, sangat tinggi. Teknik
pengelompokannya yaitu dengan membagi jangkauan/ jarak data
maksimum dan minimum ke dalam lima interval kelas yang sama jaraknya
3. Mengklasifikasikan data kependudukan, pendidikan dan jumlah
infrastruktur rumah sakit. Teknik pengkasifikasian data sarana pendidikan
dan infrastruktur kesehatan yaitu dengan menjumlahkan semua sarana
pendidikan dan sarana infrastruktur kesehatan. Hasil penjumlahan di bagi
ke dalam lima klas dengan cara membagi jarak mínimum-maksimum pada
interval yang sama.
4. Pemberian skor pada peubah jumlah sarana pendidikan dan infrastruktur
kesehatan dengan cara membagi nilai jumlah dengan nilai maksimum
jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk melihat nilai proporsi setiap wilayah
kecamatan terhadap kecamatan yang mempunyai jumlah maksimum.
5. Membuat Layout Peta kasus DBD, Kependudukan, Pendidikan dan jumlah
infrastruktur rumah sakit.
6. Melakukan analisis deskriptif terhadap seluruh unsur sehingga diperoleh
penjelasan gambaran umum kondisi propinsi DKI Jakarta terkait kasus
7. Melakukan tumpang tindih antara peta iklim, sosial kependudukan dengan
peta DBD.
8. Melakukan pemodelan kerentanan dengan menggunakan model regresi
logistik antara data kasus DBD dengan data yang mempunyai kesesuaian
tinggi dengan kasus DBD
logit[y≤ j]= β0 +β1x1+β2x2+β3x3+β4x4+β5x5
dengan y : Kasus DBD (1 = Sangat rendah, 2 = Rendah, 3 =
Menengah, 4 = Tinggi, 5 = Sangat tinggi)
x1
x
: Curah hujan
2
x
: Temperatur
3
x
: Jumlah Penduduk
4
x
: Jumlah Sarana Kesehatan
5 : Jumlah Sarana Pendidikan
9. Hasil perhitungan dari pemodelan kemudian di Petakan ke dalam peta
dasar kecamatan propinsi DKI Jakarta sebagai peta kerentanan DBD
10.Melakukan evaluasi data hasil model dengan membandingkan terhadap
data sebenarnya. Untuk melihat ini bisa dilakukan dengan tabulasi silang
Diagram Alur Penelitian
Pengumpulan Data
Pengelompokan dan pengklasifikasian data
DBD dan sosial kependudukan
Pemodelan logistik
Model Logistik untuk Kerentanan DBD
Pemetaan Wilayah Kerentanan DBD
Uji Model Kajian Data Iklim :
- Pendugaan data iklim dilokasi Yang tidak tersedia datanya
(Analisis Spasial)
- Mengklasifikasikan data-data iklim
Pembuatan Peta Iklim
Pembuatan Peta DBD dan sosial kependudukan
Melakukan tumpang tindih Peta Kasus DBD data
iklim,dan sosial kependudukan
Analisis Kesesuaian Iklim dan sosial kependudukan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Umum Wilayah DKI Jakarta
Secara geografi Jakarta terletak pada posisi koordinat 5019’12” –
6023’54” LS dan 106022’42” – 106058’48” BT yang terbagi kedalam 5 wilayah
kota dan 1 kabupaten Kepulauan Seribu yaitu kota Jakarta Pusat (8 Kecamatan),
Jakarta Barat (8 Kecamatan), Jakarta Utara (6 Kecamatan), Jakarta Timur (10
Kecamatan) dan Jakarta Selatan (10 Kecamatan). Gambar 5 menunjukan
Topografi keseluruhan Jakarta relatif datar tanpa ada pegunungan dengan 13
sungai mengalir dari daerah penopang Jakarta dan bermuara di laut Jawa yang
bersinggungan langsung dengan pantai Jakarta utara. Luas wilayah Jakarta sekitar
661,52 km² dengan rata-rata ketinggian 8 m dpl (diatas permukaan laut). Kondisi
karakteristik wilayah seperti ini memungkinkan adanya bencana-bencana yang
berkaitan aliran air (bencana banjir) akibat dari curah hujan wilayah Jakarta
[image:31.595.88.457.323.731.2]sendiri dan kiriman dari luar daerah Jakarta.
Gambar 4. Peta Topografi DKI Jakarta
Dengan status kota Jakarta sebagai ibu kota Negara dan kota metropolitan
yang bergelimang fasilitas serta lapangan kerja, menjadikan kota ini sebagai
Jakarta sangat tinggi. Selain kepadatan penduduk, tingginya volume kendaraan
juga menyebabkan kualitas udara Jakarta kurang baik. Hal ini sebagai dampak
pencemaran dari gas buang kendaraan. Bila dilihat dari sisi klimatologis, suhu
kota Jakarta secara teoritik merupakan suhu optimum untuk perkembangan
nyamuk aedes aegypti ditambah penunjang genangan curah hujan sebagai tempat perkembangbiakannya, sehingga diyakini kalau Jakarta mempunyai kerentanan
pada sektor kesehatan sebagai dampak dari perubahan iklim.
RATA-RATA TAHUNAN KASUS DBD TINGKAT KECAMATAN PROPINSI DKI JAKARTA
[image:32.595.100.538.230.461.2]-200 400 600 800 1,000 1,200 1,400 1,600 1,800 2,000 C EM PAKA PU T IH G AM BI R J O H AR BAR U KEM AYO R AN M EN T EN G SAW AH BESAR SEN EN T AN AH ABAN G CI L INCI NG KEL APA G AD IN G KO J A PAD EM AN G AN PEN J AR IN G AN T A NJ UNG P RI O K C EN G KAR EN G G R O G O L PET AM BU R AN KAL ID ER ES KEBO N J ER U K KEM BAN G AN PAL M ER AH T AM AN SAR I T AM BO R A CI L A NDA K J AG AKAR SA KEBAYO R AN BAR U KEBAYO R AN L AM A M AM PAN G PR APAT AN PAN C O R AN PASAR M IN G G U PESAN G G R AH AN SET IA BU D I T EBET CA K UNG C IPAYU N G CI RA CA S DURE N S A W IT J AT IN EG AR A KR AM AT J AT I M AKASAR M AT R AM AN PASAR R EBO P UL O G A DUNG J m l K as us D B D ( O rg)
Gambar 5. Rata-rata Tahunan Kasus DBD DKI Jakarta
Deskrptif Kasus DBD
Hasil analisis deskriptif data kasus DBD tingkat kecamatan di Provinsi
DKI Jakarta, tampak pada Gambar 5 bahwa rata-rata tahunan tertinggi terdapat
pada kecamatan Duren Sawit (1.785 kasus) dan terendah di kecamatan Tanah
Abang (251 kasus). Secara keseluruhan setiap kecamatan mempunyai tingkatan
kasus DBD yang berbeda namum demikian bila ditinjau secara spatial setiap
posisi atau jarak antara wilayah saling mempengaruhi. Hal ini ditunjukan juga
pada Gambar 6 sebaran kasus DBD yang telah diklasifikasikan, dimana pola
Gambar 6. Peta Sebaran Kasus DBD di Provinsi DKI Jakarta
Hampir sepanjang tahun di DKI Jakarta selalu terjadi kasus DBD. Hal ini
tampak jelas pada Gambar 7 yang menggambarkan kasus DBD berdasarkan waktu
dan menunjukan pola sinusoidal seperti halnya pola curah hujan. Puncak kasus
DBD terjadi pada bulan April untuk kemudian menurun sedikit satu bulan
berikutnya dan terus menurun hingga Oktober sebagai titik minimum, bulan
November naik kembali hingga puncaknya bulan April membentuk siklus tahunan
RATA-RATA BULANAN KASUS DBD PROPINSI DKI JAKARTA
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000
JAN PEB MRT APR MEI JUN JUL AGT SEPT OKT NOV DES
J
m
l K
as
us
D
B
D
(
O
[image:34.595.106.520.87.309.2]rg)
Gambar 7. Rata-Rata Bulanan Kasus DBD Propinsi DKI Jakarta
Kajian Iklim dan Sosial Kependudukan DKI Jakarta Curah Hujan
Unsur iklim yang menjadi bahasan penelitian ini yaitu Curah Hujan dan
Suhu, dimana dalam luasan wilayah provinsi DKI Jakarta (661,52 km², Sumber :
Bapeda DKI Jakarta) dan terdiri dari 42 kecamatan hanya terdapat 5 Stasiun
Meteorologi/Klimatologi/Geofisika serta 8 pos Hujan (Gambar 8). Kondisi ini
tentu perlu kajian khusus untuk mendapatkan data seluruh wilayah DKI Jakarta
mengingat unit penelitian penyusunan model kerentanan DBD yaitu level
kecamatan.
Curah hujan bulanan untuk wilayah Jakarta berkisar antara 50 mm sampai
dengan 350 mm, puncak tertingginya terjadi pada bulan Januari dan terendah pada
bulan Agustus atau September. Bila dilihat pola tahunan curah hujan, maka
bulan-bulan pada awal tahun merupakan waktu dengan limpahan air yang banyak
bahkan berlebih, sehingga apabila sudah terjadi kejenuhan tanah dalam
menampung air akan terjadi genangan atau banjir. Bencana ini akan menimbulkan
sanitasi lingkungan memburuk yang berdampak timbulnya bibit penyakit, selain
itu banyaknya genangan air di berbagai lokasi akan menjadi tempat pertumbuhan
DBD dengan lag time 3 bulan lebih awal, informasi ini cukup penting sebagai
[image:35.595.102.503.143.659.2]awal dalam mendeteksi timbulnya kasus DBD.
Gambar 8. Peta Sebaran Stasiun BMKG dan Pos Hujan DKI Jakarta dan
sekitarnya
CURAH HUJAN RATA-RATA AREA BULANAN PROVINSI DKI JAKARTA
0 50 100 150 200 250 300 350 400
JAN PEB MRT APR MEI JUN JUL AGT SEPT OKT NOV DES
C
ur
ah H
uj
an (
m
m
)
Secara spasial curah hujan diwilayah DKI Jakarta pada saat terjadinya
puncak kasus DBD berkisar antara 100 mm sampai dengan 300 mm, lebih spesifik
lagi hampir 75% wilayahnya berada pada kisaran curah hujan 100-200 mm,
[image:36.595.102.521.150.563.2]sedangkan 25% berkisar pada 200-300 mm seperti tampak pada Gambar 10.
Gambar 10. Peta Curah Hujan Rata-rata pada saat puncak DBD
Pada kondisi sebagai besar wilayahnya mempunyai curah hujan yang
masih cukup hingga tinggi, kemungkinan besar aktifitas manusia sebagian besar
berada didalam ruangan dan relatif tidak banyak bergerak, hal ini berpeluang
sangat besar akan terkena gigitan nyamuk aedes aegypti vektor penyabab
penyakit DBD yang sebagian besar sudah tumbuh menjadi nyamuk dewasa setelah
mendapatkan banyak tempat berkembang pada genangan-genangan air bulan
Selain gambaran diatas, rentannya manusia terkena penyakit adalah akibat
dari internal daya tahan tubuh yang lemah. Hal ini bisa dipahami bahwa pengaruh
eksternal pada saat kondisi cuaca sering turun hujan cukup dominan, tetapi
aktifitas olah raga menurun, sedangkan di sisi lain kondisi tubuh dituntut untuk
beradaptasi menyesuaikan ketahanannya. Bila kondisi ketahanan tubuh baik maka
tingkat kerentanan seseorang akan terkena penyakit menjadi rendah, sebaliknya
bila ketahanan tubuh pengaruh lemah maka resiko kerentanan seseoarang akan
terkena penyakit menjadi tinggi. Sehingga dari uraian diatas jelas bahwa pengaruh
tidak langsung faktor iklim mempunyai peranan penting dalam menentukan
kerentanan sektor kesehatan
Temperatur/ Suhu Udara
Suhu udara untuk wilayah Jakarta berkisar antara 200C - 340
Dari gambaran suhu udara sepanjang tahun, terkait dengan puncak kasus
DBD di DKI Jakarta rata-rata terjadi pada bulan April, maka dapat dijelaskan
bahwa pada bulan puncak kasus DBD suhu yang terjadi berkisar antara 27 C, dengan
suhu tertinggi terjadi pada bulan Agustus dan terendah terjadi pada bulan Januari.
Bila dilihat secara spasial seperti pada Gambar 11, suhu untuk wilayah Jakarta
bagian utara lebih panas dibanding bagian selatan, namun secara keseluruhan
kisaran suhu di Jakarta sepanjang tahun memungkinkan untuk pertumbuhan
nyamuk aedes aegypti.
0 C -
290C. Menurut teori kisaran suhu seperti tersebut merupakan kondisi optimum
bagi pertumbuhan nyamuk aedes aegypti yang bulan-bulan sebelumnya telah
Gambar 11. Peta Temperatur Jakarta
Sosial Kependudukan
Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia mempunyai kepadatan penduduk
cukup tinggi. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI
Jakarta, kepadatan penduduk wilayah Jakarta untuk masing-masing wilayah kota
tingkat.II ditampilkan pada Tabel 1. Dari kelima wilayah kota tingkat.II, jumlah
penduduk terbesar berada di Kota Jakarta Timur 2.634.779 orang sedangkan
terendah berada di Kota Jakarta Pusat 916.717, namum bila ditinjau dari tingkat
kepadatannya maka Kota Jakarta Pusat yang terpadat yaitu 19.447
Tabel.1 Jumlah Kepadatan Penduduk per Wilayah Kota Administrasi
Bulan : Januari 2011
Wilayah
WNI WNA
Total Luas (Km2)
Kepadatan
/ Km2 Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Jakarta
Pusat 500.254 416.127 190 146 916.717 47,14 19.447
Jakarta
Utara 777.269 645.408 269 240 1.423.186 139,03 10.237
Jakarta
Barat 869.301 765.950 334 302 1.635.887 125,25 13.061
Jakarta
Selatan 1.060.829 831.106 407 268 1.892.610 145,73 12.987
Jakarta
Timur 1.430.380 1.204.163 127 109 2.634.779 189,90 13.875
Sebaran penduduk berdasarkan wilayah administrasi Kecamatan Jakarta
sangat variatif, dari 42 kecamatan yang berada di Jakarta Daratan, Kecamatan
dengan jumlah penduduk terpadat adalah Tambora dan terendah Sawah Besar.
Selain 2 kecamatan tersebut masih terdapat 9 kecamatan yang tergolong padat
dengan jumlah penduduk berkisar antara 234.000 – 334.567 orang (Gambar 12),
kesembilan kecamatan tersebut adalah Tanjungpriok, Koja, Cakung, Durensawit,
Makasar, Cipayung, Tebet, Jatinegara, dan Kramatjati. Bila ditinjau dari
kepadatannya maka 10 Kecamatan tersebut mempunyai tingkat kerentanan
kesehatan yang lebih dibanding kecamatan lainnya sebagai dampak dari
Gambar 12. Peta Klasifikasi Jumlah Penduduk & Tingkat DBD di Jakarta
Gambar 13. Peta Klasifikasi Sarana Kesehatan & Tingkat DBD di Jakarta PETA KLASIFIKASI JUMLAH PENDUDUK
DAN RATA-RATA KASUS DBD/BULAN
[image:40.595.96.534.85.764.2]Gambar 14. Peta Klasifikasi Sarana Pendidikan & Tingkat DBD di Jakarta
Analisis Asosiasi Peubah Penyusun Kerentanan DBD Sebagai Dampak Perubahan Iklim
Analisis asosiasi dalam hal ini korelasi digunakan untuk mengetahui
seberapa jauh hubungan antara peubah penyusun kerentanan (iklim dan sosial
kependudukan) dengan tingkat kasus DBD. Secara lengkap hasil analisis asosiasi
masing-masing peubah (Iklim dan Sosial Kependudukan) terhadap DBD dapat
dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 2. Korelasi Peubah Penyusun Kerentanan DBD dengan Tingkat DBD
No Peubah Kerentanan Nilai korelasi dengan DBD
1 Jumlah Penduduk 0.49
2 Skor Jumlah Sarana Kesehatan 0.37
3 Skor Jumlah Sarana Pendidikan 0.41
4 Bobot Temperatur 0.17
5 Bobot Curah Hujan 0.10
Berdasarkan nilai korelasi antara peubah kerentanan dengan kasus DBD,
tampak pada tabel 2 bahwa untuk peubah sosial kependudukan (jumlah penduduk,
skor sarana kesehatan dan skor sarana pendidikan) mempunyai hubungan yang
dekat dengan kasus DBD. Kedekatan ini dipahami karena peubah sosial
kependudukan bersinggungan langsung dengan kasus DBD, berbeda dengan
peubah iklim yang tidak secara langsung berdampak pada kasus DBD. Seperti
dijelaskan sebelumnya pola iklim mempunyai lag waktu yang berbeda untuk
berdampak pada kasus DBD, dari gambar 7 dan 9 terlihat pola iklim (curah hujan)
mempunyai beda waktu antara 1-3 bulan.
Pemodelan Kerentanan DBD
Model kerentanan yang dimaksud pada penelitian ini yaitu kerentanan
berdasarkan kasus DBD yang disetarakan dengan peubah kerentanan pada fungsi
kerentanan dari IPCC. Penyusunan model kerentanan DBD didasari oleh tujuan
sebagai peringatan peningkatan kewaspadaan masayarakat dalam mengantisifasi
kejadian yang akan terjadi. Hal ini menjadi kunci dalam penetapan peubah-peubah
penyusun model kerentanan berkaitan dengan waktu kejadian tertinggi kasus
DBD. Dari hasil analisis deskriptif kejadian tertinggi kasus DBD yaitu pada bulan
April, sehingga peubah-peubah lainnya yang berkaitan dengan waktu disesuaikan/
dengan hal tersebut.
Untuk pemodelan kerentanan, terdapat beberapa kandidat peubah bebas
yang berpengaruh terhadap kerentanan DBD sebagai dampak perubahan iklim,
peubah-peubah tersebut merupakan hasil adopsi dari fungsi kerentanan yaitu
paparan, sensitifitas dan kapasitas adaptasi seperti yang telah diuraikan pada Bab
III Data dan Metode. Dengan adanya beberapa kandidat peubah dalam
penyusunan model, maka tentu dihasilkan beberapa model yang memungkinkan,
sehingga perlu dilakukan pengujian dari beberapa model tersebut untuk kemudian
dipilih model terbaik sesuai dengan kriteria ukuran kebaikan model. Pengujian
yang dilakukan yaitu pengujian secara individu masing-masing koefisien dan
Adapun kategori indek kerentanan terdapat 5(lima) kelas, yaitu :
-Sangat Rendah (1) - Tinggi (4)
-Rendah (2) - Sangat Tinggi (5)
-Menengah (3)
Berikut adalah beberapa model yang disusun oleh peubah-peubah berbeda
[image:43.595.93.516.251.758.2]untuk kemudian dipilih model terbaik :
Tabel 3. Koefisien Model dan uji individu terhadap koefisien-konstanta
No
Model
Nama Peubah Koefisien P-Value Odds
I
Konstanta(1) 0.09 0.535
Konstanta(2) 2.38 0.000
Konstanta(3) 4.10 0.000
Konstanta(4) 5.98 0.000
X1 = Jumlah Penduduk -0.00001 0.000 1.00
X2 = Jumlah Fasilitas kesehatan -0.34 0.000 0.71
X3 = Bobot Fasilitas Pendidikan -1.75 0.000 0.17
II
Konstanta(1) 2.62 0.000
Konstanta(2) 5.01 0.000
Konstanta(3) 6.89 0.000
Konstanta(4) 8.97 0.000
X1 = Jumlah Penduduk -0.00001 0.000 1.00
X2 = Jumlah Fasilitas Kesehatan -0.05 0.001 0.95
X3 = Bobot Fasilitas Pendidikan -1.53 0.000 0.22
X4 = Bobot Curah Hujan -2.08 0.000 0.13
Pada tabel.3 tampak ada dua kandidat model, yaitu model yang pertama
hanya melibatkan peubah prediktor sosial kependudukan dan model yang kedua
melibatkan peubah prediktor sosial kependudukan dan iklim. Dari kedua model ini
akan dianalisis guna mendapatkan informasi sejauh mana pengaruh perubahan
iklim dalam menentukan tingkat kerentanan kesehatan (DBD) di DKI Jakarta, hal
ini secara umum bisa dilihat dari perubahan koefisien regresi logistik pada kedua
model yaitu model yang melibatkan unsur iklim dan model yang tidak melibatkan
unsur iklim.
Model I
Untuk model indek kerentanan pertama (model I) yang disusun hanya oleh
peubah sosial kependudukan akan diperoleh informasi masing-masing peubah
prediktor terhadap respon tingkat DBD, peubah sosial kependudukan yang
menyusun model I diantaranya yaitu:
- X1
- X
(Jumlah Penduduk)
2
- X
(Jumlah Fasilitas Kesehatan)
3
Berdasarkan koefisien regresi logistik pada model I ini tampak pengaruh
masing-masing peubah prediktor terhadap peubah respon (tingkat DBD), untuk X (Skor Fasilitas Pendidikan)
1 yaitu
peubah jumlah penduduk nilai β = -0.00001, X2(Jumlah Fasilitas Kesehatan) nilai
β = -0.3443, X3 (Skor Fasilitas Pendidikan) nilai β = -1.7537. Semua nilai koefisien berbeda nyata dengan nol, artinya semua peubah dalam model
berpengaruh nyata terhadap tingkat DBD. Di tinjau dari nilai odds dapat
dijelaskan bahwa untuk jumlah penduduk dengan nilai odds 1 menandakan bahwa
dengan asumsi peubah lain tidak berubah, maka peningkatan prosentase peubah
jumlah penduduk akan menurunkan peluang kerentanan suatu kecamatan sebesar
1 kali dari peluang yang ada sebelumnya. Untuk peubah jumlah fasilitas kesehatan
nilai oddsnya 0.71, artinya dengan asumsi peubah lain tidak berubah, maka
peningkatan prosentase peubah jumlah fasilitas kesehatan akan menurunkan
sebelumnya. Begitupun juga untuk peubah skor fasilitas pendidikan yang
mempunyai nilai odds 0.17, artinya dengan asumsi peubah lain tidak berubah,
maka peningkatan prosentase skor fasilitas pendidikan akan menurunkan peluang
kerentanan suatu kecamatan sebesar 0.17 kali dari peluang yang ada sebelumnya.
Dari uraian diatas jelas bahwa faktor fasilitas kesehatan sangat berperan penting
terhadap tingkat kerentanan DBD, bila di analisis lebih lanjut dengan adanya
fasilitas kesehatan yang cukup, secara tidak langsung tingkat pembelajaran dan
pemahaman masyarakat sekitar terhadap kerentanan DBD menjadi lebih kuat.
Tabel. 4 Uji Individu Parameter Model I
No
Model
Nama Peubah Z2 P-Value
I
Konstanta(1) 0.3844 0.535
Konstanta(2) 315.7729 0.000
Konstanta(3) 739.84 0.000
Konstanta(4) 1211.04 0.000
X1 = Jumlah Penduduk 94.4784 0.000
X2 = Jumlah Fasilitas kesehatan 153.76 0.000
X3 = Bobot Fasilitas Pendidikan 29.3764 0.000
Hipotesis untuk pengujian parameter secara individu adalah
H0 : β = 0
H1 : β ≠ 0
Kriteria Uji dengan menggunakan pendekatan X2 df=1 adalah X02.05,1=3.84, dari
hasil hitung nilai Z2 2
1 ,
α
x
yang bersesuain dengan , maka hanya ada satu yang
menerima H0 yaitu α1 (0.384 < 3.84) yang berarti bahwa konstanta tersebut tidak
berbeda secara nyata dengan nilai 0(nol) atau dengan kata lain tidak berpengaruh.
Untuk nilai uji parameter lainnya semua menolak H0 yang berarti bahwa semua
parameter tersebut berpengaruh secara nyata terhadap pendugaan tingkat
kerentanan DBD.Pengujian parameter ini juga dimaksudkan untuk menyeleksi
Model II
Peubah prediktor pada model indek kerentanan yang kedua ini (model II)
adalah peubah sosial kependudukan dan unsur iklim saat ini. Prediktor untuk
model II antara lain :
- X1
- X
(Jumlah Penduduk)
2
- X
(Skor FasilitasKesehatan)
3
- X
(Skor Fasilitas Pendidikan)
4
- X
(Bobot Curah Hujan)
5
Berbeda dengan model yang pertama, pada model yang kedua ini sudah
ditambahkan unsur iklim yang pada saat ini telah mngalami perubahan, seperti
halnya pada model I akan dilakukan analisis pengaruh masing-masing peubah
prediktor terhadap respon tingkat DBD. Untuk X (Bobot Temperatur)
1 yaitu peubah jumlah penduduk
nilai β = -0.00001, X2 (Skor Fasilitas Kesehatan) nilai β = -0.0469, X3 (Skor
Fasilitas Pendidikan) nilai β = -1.5275, X4 (Bobot Curah Hujan) nilai β =
-2.0792, X5 (Bobot Temperatur) nilai β = -1.8993. Semua koefisien dari model II
berbeda nyata dengan nol, artinya semua peubah berpengaruh terhadap kerentanan
DBD. Semakin besar nilai koefisien menandakan semakin besar pengaruh suatu
peubah terhadap responnya. Tanda negatif pada koefisien berarti bahwa setiap
kenaikan nilai pada peubah akan mengurangi peluang kerentanannya. Bila dilihat
dari masing-masing odds dapat dijelaskan bahwa untuk peubah bobot curah hujan
rasio oddsnya 0.13, artinya dengan asumsi peubah lain tidak berubah, maka
peningkatan prosentase bobot curah hujan akan menurunkan peluang kerentanan
suatu kecamatan sebesar 0.13 kali dari peluang yang ada. Demikian juga untuk
peubah bobot temperatur, dengan nilai odds 0.15, artinya dengan asumsi peubah
lain tidak berubah, maka peningkatan prosentase bobot temperatur akan
menurunkan peluang kerentanan suatu kecamatan sebesar 0.15 kali dari peluang
yang ada. Interpretasi ini berlaku untuk kisaran temperatur dimana nyamuk aedes
aegypti mampu bertahan hidup (<. 32 O
Bila dilihat perubahan koefisien model I pada model II, masuknya peubah
iklim secara signifikan bisa mempengaruhi besarnya pengaruh peubah sosial
pada model, tingkat kapasitas dalam beradaptasi yang diwakili oleh peubah sosial
pendidikan harus lebih ditingkatkan, fasilitas kesehatan harus lebih siap, hal ini
guna mengurangi tingkat kerentanan DBD yang ada pada saat ini.
Tabel. 5 Uji Individu Parameter Model II
No
Model
Nama Peubah Z2 P-Value
II
Konstanta(1) 526.7025 0.000
Konstanta(2) 826.5625 0.000
Konstanta(3) 1155.32 0.000
Konstanta(4) 149.8176 0.000
X1 = Jumlah Penduduk 11.2225 0.000
X2 = Jumlah Fasilitas Kesehatan 18.5761 0.001
X3 = Bobot Fasilitas Pendidikan 116.8561 0.000
X4 = Bobot Curah Hujan 116.4241 0.000
X5 = Bobot Temperatur 526.7025 0.000
Hipotesis untuk pengujian parameter secara individu adalah
H0
H
: β = 0
1
Kriteria Uji dengan menggunakan pendekatan X
: β ≠ 0
2 df=1 adalah X02.05,1=3.84, dari
hasil hitung nilai Z2
2 1 ,
α
x
yang bersesuaian dengan , maka semua hasil uji parameter
secara individu berada pada kriteria untuk menolak H0 (Zhitung > 3.84) yang berarti
bahwa semua parameter tersebut berpengaruh terhadap tingkat kerentanan DBD.
Uji Kesesuaian Model
Pengujian keseluruhan kebaikan model dilakukan dengan menggunakan
uji Khi-kuadrat pearson, dan untuk pemilihan model terbaik dilihat dari nilai-nilai
ukuran kebaikan model dalam melakukan pendugaan terhadap tingkat kerentanan
DBD diantaranya yaitu nilai AIC (Akaike Information Criteria), BIC (Bayesian
Tabel.6 Uji kesesuaian dan Pemilihan Model Terbaik
Model
Uji Kesuaian Model Pemilihan Model Terbaik
Khi Kuadrat
Pearson
Df Nilai P Konkordan Diskordan Ties
Model I 9648.64 161 0.000 76.6 23.2 0.2
Model II 16615.7 159 0.000 79.5 20.3 0.2
Hipotesis Uji Kesesuian Model
H0 : β1 =β2=...=βk =0 (Model tidak mempunyai kecocokan/
berpengaruh dalam melakukan pendugaan
respon tingkat kerentanan DBD)
H1 : Min ada satuβ≠0(Model mempunyai kecocokan/ berpengaruh
dalam melakukan pendugaan respon tingkat
kerentanan DBD)
Hasil uji keseuaian model pada α=95%, baik model I maupun model II
berdasarkan nilai P (P-Value) maka Ho ditolak, yang berarti bahwa model I dan
model II mempunyai kecocokan/ berpengaruh dalam melakukan pendugaan
respon tingkat kerentanan DBD. Untuk pemilihan model terbaik, berdasarkan nilai
konkordan yaitu nilai yang menjadi ukuran prosentase sejauh mana model benar
dalam menduga tingkat kerentanan DBD, nilai konkordan untuk model II sebesar
80% lebih baik daripada model I(77%), selain itu berdasarkan uji individu pada
model I ada satu konstanta regresi yang tidak signifikan, maka dengan bukti-bukti
tersebut Model II lebih baik dari model I.
Bentuk model persamaan Model II yaitu :
(
)
(
1 2 3 4 5)
(
)
(
5.0138 0.00001 0.0469 1.5275 2.0792 1.8992)
( )exp 1 8992 . 1 0792 . 2 5275 . 1 0469 . 0 00001 . 0 0138 . 5 exp ) ( ) 2 ( ) ( 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 1 2 X X X X X X X X X X X X X Y P X π π π − − − − − − + − − − − − = − ≤ =
(
)
(
)
( ) 8992 . 1 0792 . 2 5275 . 1 0469 . 0 00001 . 0 8887 . 6 exp 1 8992 . 1 0792 . 2 5275 . 1 0469 . 0 00001 . 0 8887 . 6 exp ) ( ) 3 ( ) ( 2 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 2 3 X X X X X X X X X X X X X Y P X π π π − − − − − − + − − − − − = − ≤ =(
)
(
)
( ) 8992 . 1 0792 . 2 5275 . 1 0469 . 0 00001 . 0 9742 . 8 exp 1 8992 . 1 0792 . 2 5275 . 1 0469 . 0 00001 . 0 9742 . 8 exp ) ( ) 4 ( ) ( 3 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 3 4 X X X X X X X X X X X X X Y P X π π π − − − − − − + − − − − − = − ≤ = ) ( 1 ) ( 45 X π X
π = −
Persamaan regresi logistik ini digunakan untuk mengehitung kerentanan
DBD setiap kategori pada masing-masing kecamatan. Penentuan suatu wilayah
masuk ke dalam tingkat kategori kerentanan tertentu, berdasarkan nilai peluang
terbesar dari lima peluang yang ada.
Evaluasi terhadap model dilakukan dengan menggunakan analisis tabel
tabulasi silang sebagai berikut :
Tebel 7. Tabulasi Silang untuk Evaluasi Model
Klasifikasi nilai sebenarnya
Klasifikasi hasil perhitungan Model
1 2 3 4 5
1 0 1 3 0 0
2 0 6 3 4 1
3 0 3 8 2 0
4 0 0 1 6 1
5 0 0 0 3 0
Hasil evaluasi model yang tampak pada tabel 1, menunjukan bahwa dari 42 nilai
dugaan, sebanyak 20 nilai sesuai. Dari hasil ini jelas bahwa kemampuan model
Peta Potensi Kerentanan DBD
Setelah model terbaik logistik kerentanan kesehatan (DBD) sebagai
dampak dari perubahan iklim terbentuk, maka persamaan logistik kerentanan
tersebut digunakan menghitung dan menghasilkan nilai kerentanan dari seluruh
lokasi untuk kemudian ditampilkan dalam Peta Potensi Kerentanan seperti tampak
pada Gambar 15. Bila dibandingkan dengan peta tingkat klasifikasi DBD, maka
[image:50.595.99.527.183.692.2]48% nilainya sesuai.
Kerentanan Sangat Rendah Rendah Menengah Tinggi Sangat Tinggi
Kecamatan
- Cempaka Putih
Ciracas Gambir Grogolpetamburan
Jagakarsa Johar Baru Kelapa Gading
Kosambi Makasar Pademangan
Palmerah Pancoran Pasarrebo Pondokgede Sawah Besar
Senen Tanahabang
Cengkareng Cilandak Cipayung
Ciracas Gambir Jagakarsa Kalideres Kebayoran Lama
Kebonjeruk Kelapa Gading
Kemayoran Kembangan Kramatjati
Makasar Mampangprapatan
Palmerah Pancoran Pasarminggu
Pasarrebo Penjaringan Pesanggrahan
Senen Tanahabang Tanjungpriok
Tebet
Cakung Cengkareng
Cilincing Cipayung Duren Sawit
Jatinegara Kalideres Kebayoran Baru Kebayoran Lama
Kebonjeruk Kemayoran
Koja Kramatjati
Makasar Pasarminggu Pesanggrahan
Pulogadung Setia Budi Tamansari Tanjungpriok
Tebet
[image:51.842.62.776.112.504.2]KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang bisa diambil
kesimpulan, antara lain :
1. Hubungan antara peubah kerentanan (Jumlah penduduk, Skor sarana kesehatan,
Skor sarana pendidikan, Bobot curah hujan serta Bobot Temperatur) dengan DBD,
secara individu kurang kuat, khususnya pada peubah iklim (curah hujan dan
temperatur) nilai r sebesar 0.10 dan 0.17. Sedangkan untuk peubah sosial
kependudukan (Jumlah penduduk, Skor sarana kesehatan, Skor sarana pendidikan)
lebih baik dengan nilai r masing-masing 0.49, 0.37 dan 0.41.
2. Hubungan antara peubah kerentanan dengan DBD secara individu kurang kuat.
Tetapi pada saat peubah secara bersama masuk ke dalam model regersi logistik
untuk kerentanan, semuanya berpengaruh secara nyata terhadap kerentanan DBD.
Ini di buktikan dengan uji koefisien secara individu yang mengatakan bahwa semua
peubah berpengaruh nyata.
3. Model indek kerentanan kesehatan dampak perubahan iklim menunjukan tingkat
akurasi yang cukup, hampir 80% peluang untuk menduga data respon sesuai. Hasil
evaluasi model dengan membandingkan nilai model dan nilai sebenarnya,
menunjukan bahwa dari 42 dugaan, 48% sesuai dengan nilai sebenarnya.
Perhitungan kerentanan dengan menggunakan model yang dipetakan, menghasilkan
informasi cukup secara spasial untuk digunakan sebagai penanganan dalam
menghadapi masalah antisipasi sebaran DBD.
Saran
Untuk lebih menghasilkan model indek kerentanan yang lebih baik, diperlukan
penelitian yang lebih mendalam pada berbagai faktor yang berpengaruh terhadap tingkat
kerentanan dampak perubahan iklim pada sektor kesehatan khususnya DBD. Selain itu
penambahan series waktu data yang dipergunakan akan lebih mempertajam model yang
DAFTAR PUSTAKA
Agresti, Allan. 1990. Categorical Data Analysis. New York: John Wiley and Sons.
Agresti, Allan. 1996. An Introduction to Categorical Data Analysis. New York: John Wiley and Sons
Arief, A.A dan Hermania, F. 2009. Climate Change Vulnerability Mapping for Southest Asia. Singapore: EEPSEA
Bret Larget. 2007. “Poisson Regresion”. Jurnal Departemen of Botani & Statistic. Universitas of Wisconsin. Madison
Daryono, et al. 2008. Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta : Makalah Analisis Perubahan Iklim BMKG
English, P. and Team. 2007. Public Health Impact of Climate Change in California : Community Vulnerability and Adpatation Strategies. California: California Department of Public Health.
Hopp, M.J and Foley, J.A. 2001. Global Scale Relationship between Climate and Dengue Fever Vector Aedes Aegypti. Netherland : Kluwer Academic The Netherland.
Hosmer, D.W. dan S. Lemeshow. 1989. Applied Logistic Regression. New York: John Wiley and Sons.
Disjen P2PL, 2008. Akibat Pemanasan Global, Demam Berdarah Meningkat. Jakarta : Tempo Interaktif 13 April 2008
Issake, E.H. and R.M Srivastava,1989. An Introduction to Applied Geostatistics. Oxford University Press, New York
McCullagh, P. dan Nelder, J. A. 1989. Generalized Linear Models 2nd Edition. London: Chapman & Hall.
Sasmito, A.et el. 2007. Sistem Informasi Meteorologi untuk Peringatan Dini Ancaman DBD di Wilayah Surabaya. Jakarta: BMKG.
The Center for Health and Global Environment Harvard Medical School. 2005. Climate Change Futures Health, Ecological and Economic Dimensions. Swiss: UNDP.
Wibowo, W., 2002. Perbandingan Hasil Klasifikasi Analisis Diskriminan dan Regresi Logistik Pada Pengklasifikasian Data Respon Biner. KAPPAVol. 3, No.1, hal 36-45..
Lampiran.1
Rata-rata Bulanan Kasus DBD pada Klas Curah Hujan Provinsi DKI Jakarta
No Kecamatan Curah Hujan (mm)
0 - 50 50 - 100 100 - 200 200 - 300 > 300
1 Cilincing - 56 - -
2 Koja - 72 - -
3 Pademangan - 28 28 -
4 Kalideres - 32 32 -
5 Kelapa Gading - 58 - -
6 Tanjungpriok 103 103 103 -
7 Cakung - 120 - -
8 Cengkareng - 55 55 -
9 Kembangan - 37 - -
10 Penjaringan - 49 49 -
11 Pesanggrahan - 33 33 -
12 Tamansari - 30 - -
13 Tambora - 42 42 -
14 Cilandak - 92 92 -
15 Cipayung - 51 51 -
16 Ciracas - 57 57 -
17 Duren Sawit - 149 - -
18 Gambir - 23 23 -
19 Jagakarsa - 82 82 -
20 Jatinegara - 88 88 -
21 Kebayoran Baru - 46 - -
22 Kebayoran Lama - 91 91 -
23 Kebonjeruk - 70 70 -
24 Kramatjati - 82 82 -
25 Makasar - 49 49 -
26 Mampangprapatan - 49 - -
27 Matraman - 56 - -
28 Menteng - 26 - -
29 Palmerah - 52 52 -
30 Pancoran - 62 62 -
31 Pasarminggu - 122 122 -
32 Pasarrebo - 41 41 -
33 Pulogadung - 81 - -
34 Sawah Besar - 32 32 -
35 Setia Budi - 30 - -
36 Tanahabang - 21 21 -
37 Tebet - 85 - -
38 Cempaka Putih - 54 54 -
39 Johar Baru - 36 36 -
40 Kemayoran - 71 71 -
41 Senen - 40 40 -
Lampiran.2
Rata-rata Bulanan Kasus DBD pada Klas Temperatur Provinsi DKI Jakarta
No Kecamatan Temperatur
o
C
26.9 - 27.2 27.2 - 27.5 27.5 - 27.8 27.8 - 28.1 28.1 - 28.5
1 Cilincing 56 56 56 - -
2 Koja 72 72 72 - -
3 Pademangan 28 28 28 28 28
4 Tanjungpriok 103 103 103 103 103
5 Kalideres - 32 32 - -
6 Kelapa Gading - 58 58 58 58
7 Cakung - - 120 120 -
8 Cengkareng - - 55 - -
9 Kembangan - - 37 37 -
10 Penjaringan - - 49 28 -
11 Pesanggrahan - - 33 33 -
12 Tamansari - - 30 30 30
13 Tambora - - 42 42 -
14 Grogolpetamburan - - 52 52 -
15 Cilandak - - - 92 -
16 Cipayung - - - 51 -
17 Ciracas - - - 57 -
18 Duren Sawit - - - 149 -
19 Gambir - - - 23 23
20 Jagakarsa - - - 82 -
21 Jatinegara - - - 88 -
22 Kebayoran Baru - - - 46 -
23 Kebayoran Lama - - - 91 -
24 Kebonjeruk - - - 70 -
25 Kramatjati - - - 82 -
26 Makasar - - - 49 -
27 Mampangprapatan - - - 49 -
28 Matraman - - - 56 56
29 Menteng - - - 26 26
30 Palmerah -